• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. digunakan masyarakat di Menganti, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. BM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. digunakan masyarakat di Menganti, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. BM"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa Madura (BM) merupakan salah satu bahasa daerah yang digunakan masyarakat di Menganti, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. BM digunakan sebagai alat komunikasi masyarakat Menganti dalam kehidupan sehari-hari termasuk untuk upacara ruwatan kampung (RK). RK merupakan salah satu adat Jawa yang masih dipertahankan di Menganti. Secara turun-temurun masyarakat melakukan tradisi Jawa yang berjalan sejak zaman dahulu sampai sekarang. Bahasa yang digunakan dalam ruwatan tersebut adalah BM. BM digunakan sebagai alat komunikasi dan berinteraksi antarmasyarakat Menganti. Penduduk masyarakat kampung Menganti terdiri atas Jawa dan Madura. Bahasa yang digunakan dalam komunitas masyarakat ini adalah bahasa Jawa dan Madura. BM sebagai bahasa ibu atau bahasa pertama (B1), bahasa yang diperoleh sejak masyarakat lahir.

Masyarakat di Kampung Menganti merupakan warga keturunan etnik Madura. BM digunakan masyarakat di beberapa kampung yang ada di Menganti, seperti di Kampung Bongso Wetan, Kampung Sumur Geger, Kampung Dukuh, Kampung Pengalangan, Kampung Songgat, dan Kampung Bongso Kulon. Hal itu bisa dilihat pada komunitas masyarakat kampung yang menggunakan BM sebagai alat komunikasi ataupun dalam upacara adat Jawa, termasuk dalam kegiatan upacara. Masyarakat menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa kedua (B2) dalam berinteraksi dengan masyarakat lainnya yang berasal dari luar kampung.

(2)

BM digunakan masyarakat Menganti sebagai alat komunikasi dalam berbagai kegiatan, terutama untuk mewadahi upacara tradisi Jawa yaitu, RK. Pemakaian BM secara turun-temurun mampu menjadikan BM sebuah ciri dan entitas masyarakat Menganti. Masyarakat Menganti menggunakan BM sebagai bahasa pertama (B1) dan tetap menjaga bahasa leluhur dalam bentuk kegiatan upacara termasuk RK. Itu menunjukkan bahwa masyarakat Menganti masih tetap menjalankan tradisi leluhurnya, yaitu upacara ritual RK. RK dilaksanakan oleh masyarakat Menganti dari zaman dahulu. Masyarakat melaksanakan tradisi Jawa berupa RK untuk menjaga dan melestarikan budaya dan tradisi Jawa dengan komunitas etnik keturunan Madura sehingga bahasa dan tuturan yang dipakai dalam RK adalah bahasa Madura.

Bahasa merupakan alat penyampai pesan dari penutur kepada pendengar, khususnya masyarakat sebagai pemakai bahasa Madura di Kampung Menganti yang mewadahi upacara ritual RK. Pemakaian BM di masyarakat kampung tersebut sudah terjadi secara turun-temurun sebagai bahasa sehari-hari dalam bentuk kegiatan upacara adat Jawa dan upacara yang lainnya. Masyarakat di Kampung Menganti merupakan warga keturunan etnik Madura. Namun, mereka tetap menggunakan tradisi dan upacara adat Jawa termasuk RK. BM telah mewadahi semua kegiatan upacara dalam berbagai kegiatan upacara warga masyarakat keturunan. Bahasa juga mengandung visi dan fungsi budaya; merekam, memelihara, dan mewarsikan konsep-konsep kolektif, nilai historis, filosofi, sosial budaya, dan ekologis.

Bahasa adalah konvensi sosial, sekaligus pembangun dan penerus makna dan nilai (Barker, 2004: 109). Bahasa memiliki peran penting dalam kontak

(3)

antarmasyarakat setempat untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat secara turun-temurun termasuk dalam konsep RK masyarakat Menganti. Menurut Jakobson (1960), bahasa memiliki enam fungsi, yaitu (1) fungsi referensial, pengacu pesan; (2) fungsi emotif, pengungkap keadaan pembicara; (3) fungsi konatif, pengungkap keinginan pembicara yang langsung atau segera dilakukan; (4) fungsi metalingual; (5) fungsi fatis, pembuka, pembentuk, pemelihara hubungan atau kontak antara pembicara dan penyimak; dan (6) fungsi puitis, penyandi pesan. Dari penjelasan di atas tergambar bahwa fungsi bahasa bagi masyarakat memiliki peran yang penting dalam menyampaikan pesan, baik secara langsung maupun tidak langsung oleh penutur kepada keturunannya pada generasi berikutnya, khususnya masyarakat Kampung Menganti pada tradisi upacara yang sudah ada sejak zaman dahulu, yaitu upacara RK.

Bahasa memiliki fungsi sosial di masyarakat. Terdapat tujuh fungsi bahasa dalam kehidupan sosial masyarakat, yaitu (1) fungsi ekspresif atau emotif; (2) fungsi direktif, konatif, atau persuasif; (3) fungsi puitik; (4) fungsi kontak (fisik atau psikologis); (5) fungsi metalinguistik; (6) fungsi referensial; dan (7) fungsi kontekstual atau situasional (Tarigan, 1987: 13).

Bahasa sebagai alat untuk menyampaikan ekspresi mengenai pola pikiran masyarakat yang mempunyai sejarah panjang jika ditelusuri sejarah studi bahasa pada masa lalu. Konsep bahasa sebagai alat menyampaikan ekspresi pesan telah mampu menjaga tradisi, melestarikan suatu budaya, dan kekayaan leluhur, seperti upacara RK di Menganti. Bahasa mampu menjaga warisan berupa tuturan yang disampaikan secara turun-temurun kepada

(4)

generasi keturunannya. Hal itu telah membuktikan bahwa fungsi dan peran bahasa bagi masyarakat adalah untuk menjaga dan melestarikan kekayaan budaya dan tradisi leluhurnya, khususnya warga di Kampung Menganti.

Bahasa memiliki fungsi untuk menyampaikan pesan dari masyarakat terdahulu (leluhur) kepada generasi penerusnya termasuk dalam upacara RK. RK merupakan salah satu upacara tahunan masyarakat Jawa pada umumnya, khususnya masyarakat kampung di Menganti. Dalam upacara ruwatan terdapat doa dan tuturan yang disampaikan oleh tokoh masyarakat pada saat memimpin upacara RK. Tuturan yang terjadi secara turun-temurun di masyarakat berupa bahasa lisan dari leluhur kepada keturunannya. Tuturan berupa doa dan leksikon yang ada disampaikan melalui fungsi bahasa kepada masyarakat. Bahasa atau ekspresi verbal memiliki makna tersurat dan tersirat dikaitkan dengan makna konteksnya (Riana, 2003: 10). Dengan menggunakan bahasa, termasuk BM masyarakat Menganti tetap mewarisi, menjaga, dan melestarikan budaya Jawa sebagai tradisi. Salah satu diantaranya adalah RK.

Bahasa juga memiliki dua fungsi secara garis besar. Pertama, fungsi makro, yaitu penggunaan bahasa dalam fungsinya yang lebih khusus untuk kebutuhan setiap manusia. Fungsi mikro ini meliputi fungsi bahasa yang menyangkut kebutuhan individu atau kepentingan pribadi. Kedua, fungsi makro adalah fungsi bahasa secara lebih luas yang memenuhi kebutuhan sosial dengan melampaui kepentingan pribadi. Fungsi makro ini masih berhubungan dengan fungsi mikro. Fungsi secara makro meliputi (1) fungsi ideasional, (2) fungsi interpersonal, (3) fungsi estetika bahasa, (4) fungsi tekstual, dan (5) fungsi sosiologi (Sabarani, 2004: 38). Fungsi-fungsi makro tersebut lebih

(5)

menekankan fungsi teoretis bahasa dalam komunikasi bahasa, khususnya dalam komunikasi bahasa secara tuturan dari generasi sebelumnya kepada generasi berikutnya.

Tuturan komunikasi yang terjadi secara turun-temurun di Kampung Menganti dapat diwujudkan dalam bentuk upacara tradisional seperti upacara RK. Dengan memahami fungsi bahasa, baik secara makro maupun mikro, maka tuturan dan tradisi masyarakat Kampung Menganti seperti RK terjaga dengan baik melalui pesan secara temurun-temurun sampai dengan sekarang. Tuturan yang ada di masyarakat Kampung Menganti sebagai warga keturunan etnik Madura berupa tuturan BM.

BM merupakan salah satu bahasa daerah dengan komunitas terbesar ada di Pulau Madura, tetapi masyarakat lain di luar Pulau Madura juga menggunakan BM sebagai bahasa sehari-hari dalam berkomunikasi. Penutur BM itu bermigrasi ke tempat-tempat lain dengan cara kemungkinan melalui transmigrasi atau melalui kisah sejarah seperti masyarakat Madura yang berada di Menganti. BM adalah bahasa daerah yang digunakan sebagai sarana komunikasi sehari-hari oleh masyarakat di Pulau Madura, baik yang bertempat tinggal di Pulau Madura, pulau-pulau kecil sekitarnya, maupun di perantauan, khususnya masyarakat di Kampung Menganti yang merupakan komunitas warga keturunan etnik Madura. BM menempati posisi keempat dari tiga belas besar bahasa daerah terbesar di Indonesia dengan jumlah penutur sekitar 13,7 juta jiwa (Lauder, 2004: 21).

Penduduk Menganti merupakan masyarakat penutur asli bahasa Madura sehingga untuk berkomunikasi dalam ranah keluarga dan komunitas lainnya

(6)

menggunakan BM sebagai bahasa sehari-hari. Komunitas masyarakat Menganti merupakan masyarakat Jawa keturunan etnik Madura sehingga bahasa yang digunakan oleh masyarakat Menganti adalah BM. Menurut informasi, dahyang (bahasa Jawa: leluhur) buyot (bahasa Jawa: panggilan untuk menyebut leluhur) Lani dan Mbah Seran adalah nenek moyang yang pertama kali membabat alas di Kampung Menganti (terutama Kampung Lempungan dan Kampung Bongso Wetan). Dahyang kampung itu berasal dari Pulau Madura yang melakukan babat alas (bahasa Jawa: membentuk kampung) di Menganti (Selangun, 87 tahun). Peristiwa babat alas itu telah terjadi beberapa generasi sampai sekarang atau kemungkinan sudah ratusan tahun lalu.

Masyarakat Menganti tidak mengetahui secara pasti kapan dahyang mereka melakukan babat alas ‘membuka hutan’. Dengan demikian, keturunan masyarakat di beberapa Kampung Menganti, sampai anak keturunannya sekarang mewarisi bahasa, yaitu BM. Namun, masyarakat Menganti tetap menjaga budaya dan tradisi Jawa, yaitu upacara RK. BM di lingkungan masyarakat Menganti ini berkolerasi dengan letak geografis dan masyarakat sosial Jawa, termasuk kolerasi budaya, adat, bahasa, dan tradisi masyarakat setempat. Masyarakat menggunakan BM dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, adat tradisi, dan budaya yang dianut adalah adat dan budaya Jawa. Tradisi yang mewadahinya adalah BM di Menganti.

Upacara ritual (UR) RK sebenarnya sangat erat hubungannya dengan kepercayaan masyarakat di Pulau Jawa selama ratusan tahun. Masyarakat tradisional suku Jawa memercayai bahwa kehidupan mereka sebenarnya

(7)

sangat kuat dipengaruhi oleh Sang Kala, yang dalam dunia pewayangan diperankan oleh Bhatara Kala, yakni dewa yang dipercayai masyarakat Jawa sebagai dewa pembawa maut, pembawa sial, atau pembawa malapetaka dalam kehidupan manusia di alam, baik manusia secara individu maupun sebagai manusia secara kelompok. Dalam hal ini, istilah kala sebenarnya memiliki arti waktu. Menurut bahasa Jawa, kata sangkala, berarti terompet. Pada zaman dahulu, sangkala digunakan untuk memberikan aba-aba atau tanda kepada pasukan untuk mulai melakukan penyerangan, penyerbuan, atau digunakan untuk memberikan aba-aba kepada pasukan untuk menghentikan penyerangan. Istilah ruwat mempunyai arti pelihara atau rawat. Dalam bahasa Jawa, kata diruwat mempunyai arti dipelihara atau dirawat. Istilah memelihara atau merawat dalam bahasa Jawa disebut ngruwat, ngrawat, angruwat, angrawat, hangruwat, atau hangrawat sedangkan pelaksanaan kegiatannya, dalam

bahasa Jawa disebut ruwatan atau rawatan. Menurut kepercayaan orang Jawa, upacara ritual ruwatan harus dilaksanakan apabila salah satu anggota keluarga yang melakukan kesalahan, melanggar pantangan, sakit, atau ada suatu kondisi atau hal yang tidak sepantasnya telah dilakukan dalam keluarga tersebut.

Menurut Kamajaya (1992: 10), kata ruwatan berasal dari kata ruwat yang berarti bebas, lepas. Kata mangruwat, angrawat atau ngruwat berarti membebaskan, melepaskan. Dalam tradisi lama atau kuno yang diruwat adalah makhluk yang hidup mulia atau bahagia, tetapi kemudian berubah menjadi hina dan sengsara. Mereka yang hidup sengsara atau hina itu harus diruwat, artinya dibebaskan dari atau dilepas dari hidup sengsara. Dalam bahasa Jawa Kuno kata ruwat berarti bebas dan kata rumuwat berarti menghapus,

(8)

membebaskan. Ruwatan pada dasarnya membuang sukerta (pembersih diri dari kotoran) yang pelaksanaannya dilakukan dengan pertunjukan pakliran.

Pelaksanaan upacara ruwatan atau ngruwat dipandang dari segi pendidikan mempunyai dua sisi pandang, yaitu dari sisi secara horizontal dan sisi vertikal. Secara horizontal ngruwat adalah pendidikan yang sifatnya praktis. Dengan melaksanakan upacara ruwatan maka seseorang bisa mengambil intisari nilai moral yang terkandung di dalamnya. Misalnya dalam sebuah lakon Murwakala banyak sekali ajaran dan nasihat dapat disampaikan pada masyarakat, terutama yang berhubungan dengan sikap harus berhati-hati dan menjaga etika. Contoh lain adalah peristiwa lahirnya Bathara Kala. Hal itu memberikan pelajaran pada masyarakat bahwa seseorang harus mengerti kedudukan dan dapat menempatkan diri bila akan melakukan sesuatu.

Upacara ruwatan merupakan salah satu tradisi masyarakat Jawa yang terjadi sejak zaman dahulu. Ruwatan sebagai upacara tradisional masyarakat Jawa memiliki makna dan tujuan untuk menyampaikan pesan moral kepada generasi berikutnya, khususnya masyarakat di Kampung Menganti. UR ruwatan kampung termasuk dalam salah satu ritual Jawa yang masih dilaksanakan oleh masyarakat keturunan etnik Madura di kampung-kampung Menganti. Secara umum, upacara ritual merupakan tatanan tindakan dan tuturan yang kelihatannya makin nyata apabila tindakan itu dipertontonkan dan tuturannya disuarakan. Upacara ritual itu memiliki tujuan untuk menyampaikan pesan yang ditetapkan di dalam tata cara, tetapi tindakan dan tuturannya menjadi bagian dari tata caranya sendiri dan memberikan makna kepada upacara yang bersangkutan, terutama warga masyarakat yang melakukan upacara ruwatan.

(9)

Upacara ruwatan sebagai tradisi Jawa juga terjadi dan dilaksanakan secara turun-temurun di Kampung Menganti. Upacara ruwatan tersebut sudah ada secara

turun-temurun di masyarakat dari generasi terdahulu sampai generasi sekarang.

UR secara rasional kiranya dapat diuraikan memiliki tujuan untuk menyucikan jiwa anak sukerta dengan dibekali berbagai ajaran etik dan moral yang terungkap dalam makna simbolik setiap perlengkapan termasuk sesajennya (Kamajaya. 1992: 3). Tujuan upacara ruwatan ini untuk membuang sukerta (pembersih diri dari kotoran) bagi masyarakat Menganti agar masyarakat selalu dilimpahkan panennya, diberikan kemakmuran masyarakat, terhindar dari mala bencana, dan sebagai ucapan syukur kepada Tuhan.

Topik penelitian ini berkaitan dengan upacara tradisional masyarakat Jawa, yaitu RK. Penelitian ini tidak membicarakan secara umum upacara RK, tetapi hanya membahas leksikon-leksikon yang digunakan dalam upacara RK. Punahnya sebuah bahasa diakibatkan bahasa tersebut mati. Sebuah bahasa dikatakan mati pada saat individu penutur asli tidak mau menggunakan lagi (Drystal, 2003: 1). Peneliti memandang penting melakukan penelitian ini karena terdapat sejumlah leksikon yang mulai mengalami penyusutan dan kemudian punah. Leksikon-leksikon yang dahulunya dipakai, dikenal, dan diketahui oleh masyarakat dalam upacara RK sekarang tidak dipakai. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Adapun leksikon-leksikon yang tidak digunakan lagi, misalnya taker, tengolon, menyan, dan bekoh. Leksikon-leksikon tersebut mulai tidak digunakan lagi dalam pelaksanaan upacara RK. Faktor-faktor kebergeseran leksikon tersebut dibicarakan pada bagian berikutnya dalam penelitian ini.

(10)

Penelitian tentang kebergeseran dan kebertahanan leksikon RK ini berlokasi di Kampung Menganti. Menganti merupakan salah satu kecamatan yang terletak di Gresik, Jawa Timur. Letak Kecamatan Menganti berada pada jarak 30 km selatan Kota Gresik. Menganti berbatasan dengan kota/kabupaten lainnya di Jawa Timur. Kecamatan Menganti berada di ujung tenggara Kabupaten Gresik. Di sebelah timur dan utara berbatasan dengan Surabaya, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Mojokerto, sebelah barat berbatasan dengan kecamatan lainnya yang masih berada dalam wilayah Kabupaten Gresik, yaitu Kecamatan Cerme dan Kecamatan Kedamean.

Kehidupan masyarakat Menganti mayoritas sebagai petani. Hal itu disebabkan oleh keadaan semua wilayah Menganti termasuk lahan pertanian dan didukung oleh kondisi tanah yang subur sehingga sangat cocok untuk bertani. Kehidupan bercocok tani di Kampung Menganti telah terjadi sejak leluhur mereka yang seorang petani. Kehidupan masyarakat kampung di Menganti sebagai petani terjadi secara turun-temurun sampai sekarang. Kecamatan Menganti terdiri atas dua puluh dua desa. Desa tersebut tersebar di wilayah Menganti. Ada beberapa desa yang terbagi lagi dari beberapa dusun, seperti Desa Pengalangan dan Setro. Penelitian ini berlokasi di beberapa kampung di Menganti, seperti Kampung Bongso Wetan, Kampung Sumur Geger, Kampung Dukuh, Kampung Pengalangan, Kampung Songgat, dan Kampung Bongso Kulon. Masyarakat di kampung tersebut merupakan warga keturunan etnik Madura. Mereka menggunakan bahasa Madura sebagai bahasa dalam ranah keluarga dan lingkungan bermasyarakat, khususnya untuk

(11)

mewadahi semua upacara sebagai tradisi Jawa seperti upacara RK. Di samping itu, masyarakat di Kampung Menganti juga termasuk kedwibahasaan (bilingual) dan multibahasa seperti bahasa Jawa (BJ) dan bahasa Indonesia (BI). Namun, masyarakat di Kampung Bongso Wetan, misalnya, juga ditemukan masyarakat yang monolingual. Mereka merupakan masyarakat yang hanya mengerti, memahami, dan berbicara BM.

Masyarakat kampung menggunakan BM pada ranah formal dan resmi dalam segala kegiatan di kampung. Masyarakat kampung akan menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia apabila ke luar membaur dengan masyarakat luar kampung dan melakukan komunikasi dengan masyarakat lain yang bukan keturunan Madura, seperti masyarakat di Kota Surabaya dan Sidoarjo. Kedua kota/kabupaten tersebut merupakan perbatasan dengan Kabupaten Gresik sehingga kemungkinan besar komunikasi dengan menggunakan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia cukup besar. Penduduk Menganti diperkirakan berjumlah kurang lebih 121.382 jiwa (sensus 2012).

Secara umum, pelaksanaan upacara ritual RK terbagi tiga tahapan. Adapun tahapan pelaksanaannya dapat diuraikan sebagai berikut.

a) Prapelaksanaan RK

Prapelaksanaan upacara RK dilakukan di tempat-tempat sakral, seperti sentono, punden, pesarean, dan petelasan. Sebelum melaksanakan kegiatan

RK, semua perangkat dan masyarakat kampung, seperti Kepala Dusun (Kasun) Ketua RW, Ketua RT, dan tokoh masyarakat melakukan rembok kampong (rapat kampung) beberapa bulan. Tujuan melaksanakan rembok

(12)

panitia RK, maka panitia beserta masyarakat mulai menyiapkan dan kemudian melaksanakan prapelaksanaan RK. Tahap awal yang dilakukan sebelum pelaksanaan RK adalah membersihkan tempat sejarah dan tempat lainnya yang diyakini masyarakat sebagai petilasan leluhur mereka. Kegiatan prapelaksanaan itu dipimpin oleh Kepala Kampung (Kasun) atau tokoh masyarakat kampung. Setelah melaksanakan prapelaksanaan dalam upacara RK, maka warga masyarakat kembali ke tempat masing-masing untuk membersihkan tempat rumah pekarangan juga untuk menghormati danyang yang berada di tiap-tiap tanah pekarangan. Pada malam harinya, masyarakat kampung berkumpul di balai dusun untuk melakukan doa bersama dan menyiapkan segala keperluan untuk hari pelaksanaannya. Doa bersama merupakan bagian dalam prapelaksanaan upacara RK yang kemudian dilanjutkan dengan tradisi awal dalam rangkaian tersebut, yaitu acara tandakan. Namun, acara tersebut dimulai, para waranggono dan sinden harus sowan ke punden, tempat leluhur di kampung.

b) Pelaksanaan RK

Upacara RK dilaksanakan pada hari kedua. Hari ini merupakan inti dari pelaksanaan upacara RK. Upacara ini dilaksanakan di punden tiap-tiap kampung. Secara umum letak punden berada di pinggir barat kampung, seperti pada Kampung Bongso Wetan dan Bongso Kulon. Secara umum, pelaksanaan upacara RK dimulai pada pukul 08.00 WIB sampai sekitar pukul 01.00 WIB di punden di tiap-tiap kampung. Dalam pelaksanaan inti upacara RK ini, panitia juga mengundang pejabat kabupaten (Muspida), pejabat kecamatan, Koramil, Polsek, kepala desa, perangkat desa, dan kepala kampung dusun dari

(13)

tetangga kampung sebelah. Pada pelaksanaan upacara RK, masyarakat berduyun-duyun menuju ke punden dengan membawa berbagai macam hasil panen yang telah dipetik sebelumnya, seperti pisang, sayur, mangga, tomat, jeruk, hasil panen lainnya, dan membawa moncek (bahasa Jawa: tumpeng).

Upacara RK ini dipimpin oleh tokoh masyarakat kampung untuk mempersembahkan sesajen upacara dan keperluan lain di dalam punden. Setelah aturan meminta edih oleh tokoh adat selesai dilanjutkan dengan rangkaian upacara seperti laporan panitia upacara. Acara berikutnya, yaitu dilanjutkan dengan sambutan dari kepala kampung, kepala desa, Pak Camat, Koramil, dan perwakilan dari bupati.

Setelah acara sambutan selesai, acara selanjutnya adalah doa. Doa dipimpin oleh tokoh agama masing-masing, misalnya di kampung Bongso Wetan dan Kulon terdapat dua agama, yaitu Hindu dan Islam, maka doanya pun bergantian dari Islam lalu Hindu atau sebaliknya. Namun, kampung lainnya seperti Kampung Sumur Geger, Kampung Dukuh, Kampung Songgat, dan Kampung Pengalangan doanya secara agama Islam saja karena di kampung tersebut semua masyarakat beragama Islam. Setelah doa bersama selesai warga kampung yang hadir di punden, baik tetangga kampung yang menyaksikan maupun masyarakat penjual mainan anak-anak bisa bergabung untuk menikmati semua persembahan yang telah dilakukan oleh masyarakat kampung. Seusai acara pelaksanaan RK di punden, acara berikutnya adalah kesenian-kesenian tradisional sebagai bagian rangkaian upacara RK yang dipusatkan di balai kampung, seperti geluk (gulat tradisional), tayub, orkes, dan yang terakhir adalah pertunjukan kesenian ludruk.

(14)

c) Pascapelaksanaan RK

Setelah semua pertunjukan itu selesai sebagai inti pelaksanaan upacara RK, maka pada hari berikutnya, yaitu pascapelaksanaan RK. Pada hari tersebut semua masyarakat bergotong royong membersihkan tempat-tempat suci, seperti punden, makam, sungai, jembatan, dan tempat yang dianggap suci oleh masyarakat setempat agar tetap bersih dan terjaga keberadaannya seperti sebelum pelaksanaan upacara ritual RK dilakukan. Tujuan pascapelaksanaan ini adalah untuk mengembalikan kesakralan dengan membersihkan seperti sebelumnya.

Dari kegiatan upacara RK tersebut, terdapat beberapa leksikon yang digunakan oleh masyarakat Menganti. Leksikon-leksikon tersebut ada yang mengalami kebergeseran dan kebertahanan. Leksikon-leksikon yang masih bertahan tetap digunakan dalam upacara RK, sedangkan leksikon-leksikon yang sudah bergeser dan mengalami kepunahan tidak digunakan lagi dalam upacara RK. Adapun leksikon yang ditemukan dalam upacara ritual RK, seperti aloh, among, anak-potoh, ancak, areng, bekoh, bumbung, boyot dungah, gedeng, jeretan, kaleh, labuh, moncek, prek, sakseh, sentono, somor,

dan taker. Leksikon-leksikon tersebut merupakan sebagian kecil dari sejumlah data yang diperoleh dalam penelitian ini.

Pelaksanaan upacara RK di Menganti tidak lepas dari hubungan masyarakat sosial dengan bahasa yang telah terjadi secara turun-temurun. Bahasa dan masyarakat sosial merupakan dua unsur yang saling berhubungan sehingga budaya dan adat istiadat Jawa tetap terjaga, khususnya upacara RK di

(15)

kampung-kampung Menganti ini. Adat-istiadat, budaya, dan tradisi sebagai wujud tetap terjaganya upacara RK di masyarakat Menganti.

Menurut Koentjaraningrat (2009: 93--95) adat istiadat adalah adalah ilmu yang mempelajari seluruh pengetahuan, gagasan, dan konsep yang secara umum hidup dalam masyarakat. Artinya, pengetahuan, gagasan, dan konsep yang dianut oleh sebagian besar warga suatu masyarakat (Koentjaraningrat, 2009: 93--95). Ilmu-ilmu itu juga mempelajari tingkah laku umum, yaitu tingkah laku yang menjadi pola bagi sebagian warga suatu masyarakat, khususnya masyarakat di Kampung Menganti. Adat istiadat merupakan perpaduan dari semua gagasan, ilmu pengetahuan yang terjadi di masyarakat. Hubungan masyarakat sosial, lingkungan, budaya, adat istiadat dengan penutur bahasa akan memengaruhi variasi-variasi bahasa dalam bentuk pemerolehan bentuk-bentuk leksikon dalam tuturan khususnya pada upacara RK yang digunakan oleh masyarakat Menganti, terutama leksikon-leksikon dalam BM.

Penelitian ini membahas kebergeseran dan kebertahanan leksikon RK di Menganti dengan menggunakan kajian sosiolinguistik. Kajian ini dipilih untuk membantu menjawab permasalahan-permasalahan yang terjadi di masyarakat Menganti sebagai penutur BM. Kehidupan masyarakat yang berada di perantauan tidak bisa terlepas dari keadaan masyarakat yang dwibahasa, pilihan bahasa, multibahasa, alih kode, diglosia, dan campur kode. Aspek-aspek tersebut sebagai alasan peneliti menggunakan kajian sosiolinguistik.

(16)

1.2 Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

a) Leksikon-leksikon RK apa sajakah yang mengalami kebergeseran dan kebertahanan?

b) Sejauh mana tingkat pemahaman masyarakat Menganti terhadap leksikon upacara RK?

c) Faktor-faktor apakah yang memengaruhi kebergeseran dan kebertahanan leksikon RK?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Secara terperinci, dipaparkan satu per satu di bawah ini.

1.3.1 Tujuan Umum

Adapun tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengumpulkan dan mendokumentasikan pengetahuan leksikon-leksikon RK masyarakat Kampung Menganti. Dengan demikian, akan terukur rasa untuk mengetahui, mengenal, memahami, menggunakan, dan rasa memiliki leksikon RK masyarakat kampung terhadap lingkungan sosial budaya dan adat istiadat leluhur mereka. Dengan mengenal dan mengakrabi lingkungan, budaya, adat istiadatnya, dan menggunakan leksikon tersebut, maka dalam diri generasi akan muncul sikap mencintai, melindungi, menjaga, menggunakan, dan melestarikan UR sebagai adat setempat dengan baik. Artinya, mereka telah menyelamatkan keberlangsungan budaya dan tradisi leluhur di kampung mereka demi

(17)

keberlangsungan upacara ritual RK mulai saat ini dan untuk generasi yang akan datang dari ancaman kepunahan.

1.3.2 Tujuan Khusus

Secara khusus, penelitian ini bertujuan seperti di bawah ini.

(a) Menjelaskan bentuk-bentuk leksikon RK pada kategori kelas kata apa saja yang mengalami kebergeseran dan kebertahanan;

(b) Menjelaskan tingkat pemahaman masyarakat terhadap leksikon RK yang menyangkut tingkat pemahaman pada tradisi upacara ritual Jawa yang mengaitkan dengan sejumlah leksikon dan maknanya dalam BM; dan (c) Menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi kebergeseran dan

kebertahanan leksikon RK.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini memilik dua manfaat, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis. Kedua manfaat tersebut dapat dikemukakan secara terperinci di bawah ini.

1.4.1 Manfaat Teoretis

Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, yaitu ilmu linguistik, terutama dalam bidang sosiolinguistik. Selain itu, penelitian ini diharapkan mampu menjawab permasalahan-permasalahan mengenai bentuk-bentuk leksikon RK pada kategori kelas kata apa saja yang mengalami kebergeseran dan kebertahanan, dan sejauh mana tingkat pemahaman masyarakat terhadap leksikon-leksikon upacara ritual RK, terutama yang telah mengalami kebergeseran dan yang

(18)

masih kebertahanan, baik dilihat dari segi lingkungan, sosial budaya, adat istiadat, maupun tradisi masyarakat yang pada akhirnya akan memperkaya bahasa dan budaya Indonesia secara umum dan bahasa serta budaya masyarakat Menganti pada khususnya.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini berupaya untuk:

(a) mendeskripsikan, dan mengidentifikasikan, serta mendokumentasikan leksikon-leksikon yang terekam dalam upacara ritual RK baik di lingkungan persawahan maupun di sekitar punden. Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat untuk membuka kesadaran pikiran para generasi muda, khususnya masyarakat Kampung Bongso Wetan, Kampung Sumur Geger, Kampung Dukuh, Kampung Pengalangan, Kampung Songgat, dan Kampung Bongso Kulon sebagai salah satu penerus dan ahli waris bahasa dan budaya Madura yang sudah ada sejak leluhur mereka dan berlangsung secara turun-temurun;

(b) memberikan kesadaran kepada masyarakat Kampung Menganti agar tetap menjaga, mengenali, menggunakan, dan melestarikan BM sebagai bahasa ibu (B1) mereka melalui leksikon-leksikon upacara RK. Hal itu sebagai upaya tetap menjaga budaya, adat istiadat, dan tradisi masyarakat keturunan etnik Madura yang telah lama menetap di Jawa, khususnya di Kecamatan Menganti;

(c) menunjukkan identitas akan jati diri masyarakat di kampung-kampung wilayah Menganti sebagai komunitas keturunan etnik Madura yang menetap di Pulau Jawa dan secara letak sosial dan geografis masih

(19)

melestarikan tradisi Jawa. Selain itu, masyarakat Menganti tetap menjaga budaya, tradisi Jawa meskipun mereka merupakan keturunan Madura yang sudah menetap di Pulau Jawa; dan

(d) hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada generasi muda tentang pentingnya menjaga nilai-nilai adiluhung budaya leluhur masyarakat di Menganti dan juga menjaga lingkungan yang merupakan kekayaan alam, sosial, dan budaya sebagai ciri kekhasan yang terealisasikan melalui bahasa, khususnya BM.

Referensi

Dokumen terkait

Pasal 1 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup “Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi,

Dari penjabaran konsep-konsep pada penjelasan sebelumnya dapat disimpulkan maksud dari judul yang diambil yaitu “Struktur Organisasi dan Tata Zonasi Permukiman adat di

Jadi, ekologi pertanian adalah ilmu yang mempelajari tentang makhluk hidup dan lingkungan budi daya tanaman yang diusahakan oleh manusia.. Sedangkan ekologi pertanian

Pada tahap ini dilakukan studi pendahuluan ini untuk mempelajari geologi regional secara umum dan geologi daerah penelitian secara khusus serta dasar ilmu tentang analisa

Dalam kajian budaya yang berorientasi media, pendekatan etnografi digunakan dalam skripsi peneliti yang berjudul “Adat Istiadat Perkawinan Masyarakat Melanau di

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka, secara garis besar tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah ingin mengetahui secara umum tentang Strategi

Dengan berlandaskan gagasan dari berbagai pengalaman dalam melakukan aktivitas adat dan agama, terutama pemyimpangan dalam pelaksanaan upacara dan judi tajen, melahirkan sebuah

Desain komunikasi visual adalah ilmu yang mempelajari konsep komunikasi dan ungkapan daya kreaatifi yang diaplikasikan dalam berbagai bentuk media komunikasi visual dengan