• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peranan penting dalam penelitian ini. Serta juga akan dipaparkan tentang expansi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peranan penting dalam penelitian ini. Serta juga akan dipaparkan tentang expansi"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bagian ini akan dipaparkan tentang tinjauan pustaka. Tinjauan pustaka yang menunjang dalam penelitian ini adalah tentang sensor, serat optik,

fiber coupler dan logam tembaga. Karena ketiga bahan tersebut mempunyai

peranan penting dalam penelitian ini. Serta juga akan dipaparkan tentang expansi

linear. Expansi linear tersebut yang akan menunjang pada proses pemanasan

logam tembaga.

2.1. Sensor

D Sharon dkk. 1982 (dalam www.docstoc.com), mengatakan sensor adalah suatu peralatan yang berfungsi untuk mendeteksi gejala-gejala atau sinyal-sinyal yang berasal dari perubahan suatu energi seperti energi listrik, energi fisika, energi kimia, energi biologi, energi mekanik dan sebagainya. Contoh: kamera sebagai sensor penglihatan, telinga sebagai sensor pendengaran, kulit sebagai sensor peraba, LDR (light dependent resistance) sebagai sensor cahaya, dan lainnya.

William D.C, 1993 (dalam www.docstoc.com), mengatakan transduser adalah sebuah alat yang bila digerakan oleh suatu energi di dalam sebuah sistem transmisi, akan menyalurkan energi tersebut dalam bentuk yang sama atau dalam bentuk yang berlainan ke sistem transmisi berikutnya”. Transmisi energi ini bisa berupa listrik, mekanik, kimia, optik (radiasi) atau termal (panas). Contoh: generator adalah transduser yang merubah energi mekanik menjadi energi listrik,

(2)

motor adalah transduser yang merubah energi listrik menjadi energi mekanik, dan sebagainya.

William D.C, 1993 (dalam www.docstoc.com), mengatakan alat ukur adalah sesuatu alat yang berfungsi memberikan batasan nilai atau harga tertentu dari gejala-gejala atau sinyal yang berasal dari perubahan suatu energi. Contoh: voltmeter, ampermeter untuk sinyal listrik, tachometer, speedometer untuk kecepatan gerak mekanik, lux-meter untuk intensitas cahaya, dan sebagainya.

Peryaratan Umum Sensor dan Transduser

Dalam memilih peralatan sensor dan transduser yang tepat dan sesuai dengan sistem yang akan disensor maka perlu diperhatikan persyaratan umum sensor berikut ini: (D Sharon dkk., 1982, dalam www.docstoc.com)

a. Linearitas

Ada banyak sensor yang menghasilkan sinyal keluaran yang berubah secara kontinyu sebagai tanggapan terhadap masukan yang berubah secara kontinyu. Sebagai contoh, sebuah sensor panas dapat menghasilkan tegangan sesuai dengan panas yang dirasakannya. Dalam kasus seperti ini, biasanya dapat diketahui secara tepat bagaimana perubahan keluaran dibandingkan dengan masukannya berupa sebuah grafik. Gambar 2.1 memperlihatkan hubungan dari dua buah sensor panas yang berbeda. Garis lurus pada Gambar 2.1(a). memperlihatkan tanggapan linear, sedangkan pada Gambar 2.1(b). adalah tanggapan non-linear.

(3)

Gambar 2.1. Keluaran dari transduser panas (D Sharon dkk., 1982, dalam www.docstoc.com)

b. Sensitivitas

Sensitivitas akan menunjukan seberapa jauh kepekaan sensor terhadap kuantitas yang diukur. Sensitivitas sering juga dinyatakan dengan bilangan yang menunjukkan “perubahan keluaran dibandingkan unit perubahan masukan”. Beberepa sensor panas dapat memiliki kepekaan yang dinyatakan dengan “satu volt per derajat”, yang berarti perubahan satu derajat pada masukan akan menghasilkan perubahan satu volt pada keluarannya. Sensor panas lainnya dapat saja memiliki kepekaan “dua volt per derajat”, yang berarti memiliki kepakaan dua kali dari sensor yang pertama. Linearitas sensor juga mempengaruhi sensitivitas dari sensor. Apabila tanggapannya linear, maka sensitivitasnya juga akan sama untuk jangkauan pengukuran keseluruhan. Sensor dengan tanggapan pada Gambar 2.1(b) akan lebih peka pada temperatur yang tinggi dari pada temperatur yang rendah.

100 Te m p era tu r (m as u ka n ) 1 100 Te m p era tu r (m as u ka n ) 1 0 0 Tegangan (keluaran)

(a) Tangapan linear (b) Tangapan non linear

(4)

c. Tanggapan Waktu

Tanggapan waktu pada sensor menunjukan seberapa cepat tanggapannya terhadap perubahan masukan. Sebagai contoh, instrumen dengan tanggapan frekuensi yang jelek adalah sebuah termometer merkuri. Masukannya adalah temperatur dan keluarannya adalah posisi merkuri. Misalkan perubahan temperatur terjadi sedikit demi sedikit dan kontinyu terhadap waktu, seperti tampak pada Gambar 2.2(a).

Frekuensi adalah jumlah siklus dalam satu detik dan diberikan dalam satuan hertz (Hz). { 1 hertz berarti 1 siklus per detik, 1 kilohertz berarti 1000 siklus per detik]. Pada frekuensi rendah, yaitu pada saat temperatur berubah secara lambat, termometer akan mengikuti perubahan tersebut dengan “setia”. Tetapi apabila perubahan temperatur sangat cepat lihat Gambar 2.2(b) maka tidak diharapkan akan melihat perubahan besar pada termometer merkuri, karena ia bersifat lamban dan hanya akan menunjukan temperatur rata-rata.

Gambar 2.2 Temperatur berubah secara kontinyu (D. Sharon dkk, 1982, dalam www.docstoc.com)

Ada bermacam cara untuk menyatakan tanggapan frekuensi sebuah sensor. Misalnya “satu milivolt pada 500 hertz”. Tanggapan frekuensi

Rat a-ra ta Waktu Te m p era tu r 1 siklus 50 40 30 50 40 30

(5)

dapat pula dinyatakan dengan “decibel (db)”, yaitu untuk membandingkan daya keluaran pada frekuensi tertentu dengan daya keluaran pada frekuensi referensi.

Pemilihan Jenis Sistem sensor suhu

Hal-hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan pemilihan jenis sistem sensor suhu adalah: (Yayan I.B, 1998, dalam www.docstoc.com)

1. Level suhu maksimum dan minimum dari suatu substrat yang diukur 2. Jangkauan (range) maksimum pengukuran

3. Konduktivitas kalor dari substrat

4. Respon waktu perubahan suhu dari substrat 5. Linearitas sensor

6. Jangkauan temperatur kerja

Selain dari ketentuan diatas, perlu juga diperhatikan aspek phisik dan kimia dari sensor seperti ketahanan terhadap korosi (karat), ketahanan terhadap guncangan, pengkabelan (instalasi), keamanan dan lain-lain.

2.2. Serat optik

Serat optik adalah pandu gelombang dielektrik atau media transmisi gelombang cahaya yang terbuat dari bahan transparan berbentuk silinder. Serat optik terdiri dari bagian inti (core) yang dikelilingi oleh bagian yang disebut selubung (clading). Bagian terluar dari serat optik disebut jaket (coating) yang berfungsi sebagai pelindung. Bagian inti yang mempunyai indeks bias merupakan jalur utama pemanduan gelombang cahaya, sedangkan bagian

(6)

selubung mempunyai indeks bias yang nilainya sedikit lebih rendah daripada (Keiser,1991).

Gambar 2.3. Skema bagian penyusun serat optik (Keiser, 1991).

Berdasarkan struktur indeks bias bahan bagian inti, serat optik terbagi menjadi dua jenis, yaitu serat optik step-index dan serat optik graded-index. Jenis

step-index bagian inti mempunyai nilai indeks bias yang seragam, sedangkan jenis graded-index bagian inti mempunyai nilai indeks bias yang menurun secara

gradual dari sumbu serat sampai ke bidang batas selubung. Selubung kedua jenis mempunyai nilai indeks bias yang seragam. Berdasarkan jumlah moda gelombang yang terpandu, serat optik dibedakan menjadi dua, yaitu serat optik moda tunggal (singlemode) jika hanya satu moda gelombang yang dipandu dan serat optik moda jamak (multimode) jika moda gelombang yang terpandu lebih dari satu (Suematzu, 1982). Perbandingan struktur serat optik singlemode dan multimode,

step-index dan graded-index serta profil indeks biasnya diperlihatkan pada

(7)

Gambar 2.4a. Struktur serat optik singlemode, multimode, step-index,

graded-index, serta profil indeks biasnya (Krohn, 2000).

Gambar 2.4b. Perbedaan serat optik multimode dan singlemode (Keiser, 1991). Mekanisme pemanduan gelombang cahaya dalam serat optik berdasarkan pada hukum Snellius dan pemantulan dalam total. Untuk memudahkan pemahaman mekanisme pemanduan gelombang cahaya dalam serat optik

step-index, digunakan teori sinar dalam mendeskripsikan perambatan muka gelombang

(8)

Gambar 2.5. Perambatan sinar pada serat optik step-index (Keiser, 1991). Penerapan hukum Snellius dilakukan pada proses pemantulan dan pembiasan sinar pada bidang batas antara dua medium yang berbeda. Sinar yang datang dari medium rapat (n1) ke medium kurang rapat (n2) akan dibiaskan menjauhi garis normal. Pada bidang batas antara core dan cladding dalam Gambar 2.4, jika sudut  diperbesar secara gradual maka pada sudut tertentu sinar akan dirambatkan pada bidang batas kedua medium yaitu bidang batas core dan

cladding (sinar tidak dibiaskan pada cladding). Sudut  pada keadaan tersebut dinamakan sudut kritis yang dilambangkan dengan c.

Gambar 2.6. Sketsa perambatan sinar pada serat optik (Keiser, 1991) Dengan menggunakan hukum Snellius diperoleh nilai sudut c, maka n1 sin c = n2 sin 1 dengan 1 = 900 karena sinar merambat pada bidang batas antara core dan cladding (gelombang evanescant) sehingga:

(9)

n1 sin c = n2 sin 900 sin c =       1 2 n n c = arcsin       1 2 n n (2.1)

dengan n1 dan n2 menunjukkan indeks bias core dan indeks bias cladding. Dalam ungkapan sudut θ melalui hubungan θc =

2

c maka sin c = sin (

2

– θ c),

dengan θc merupakan sudut kritis sehingga sudut kritis dapat ditulis menjadi:

cos θc =       1 2 n n θc = arccos       1 2 n n (2.2)

Untuk nilai sudut θc < θ dalam Gambar 2.6, tidak ada sinar yang dibiaskan ke dalam selubung, sehingga seluruh sinar akan terpandu dalam core serat optik.

Untuk mengetahui sudut sinar masukan pada bagian core serat optik agar sinar dapat terpandu, diterapkan hukum Snellius pada bidang batas antara core dan udara. Agar sinar dapat terpandu, maka sudut θ = θc dan θo = θo max dengan demikian persamaan Snellius menjadi :

nsin θo max = n1 sin θc (2.3)

nsin θo max = n1 sin (90o- c)

nsin θo max = n1 cos θc

dengan n adalah indeks bias udara yang nilainya 1, sehingga persamaan (2.3) dapat dituliskan kembali menjadi persamaan (2.4)

(10)

sin θo max = n12 n22 (2.4)

Persamaan (2.4) menunjukkan hubungan antara sudut masukan sinar dengan indeks bias ketiga medium yang berinteraksi. Hubungan tersebut dinyatakan sebagai tingkap numeris atau NA (numerical aperture), sehingga nilai NA serat optik dapat ditulis sebagai berikut:

NA = 2

2 2 1 n

n (2.5)

Didefinisikan beda indeks bias antara core dan selubung () menurut persamaan: Δ = 1 2 1 n n n  (2.6) NA = 2 2 2 1 n n  = n1

n1n2

Perbedaan nilai n1 dan n2 sangat kecil sehingga

n1n2

= 2n , oleh sebab itu: 1

NA = n1 2  (2.7)

Nilai Δ berkisar 1 % sampai 3 % untuk serat optik multimode dan 0,2 % sampai 1 % untuk serat optik singlemode (Keiser, 1991). Nilai NA untuk serat optik step-index berkisar antara 0,2 – 0,5, serat optik graded-index di sekitar 0,2 (Hoss, 1993). Untuk serat optik step-index multimode dari bahan plastik berdiameter core besar, nilai NA antara 0,3 – 0,5 (Krohn, 2000).

2.3. Teori Moda pada Serat optik Step-Index

Pandu gelombang adalah sebuah struktur yang memandu gelombang, seperti gelombang elektromagnetik atau gelombang bunyi. Terdapat beberapa jenis pandu gelombang, satu diantaranya adalah pandu gelombang optik. Pandu

(11)

gelombang optik atau optical wave guide adalah penyalur cahaya yang terdiri atas material dielektrik berbentuk lempeng, kepingan, atau silinder dan dikelilingi oleh material dielektrik lainnya dengan indek bias lebih rendah. Pandu gelombang planar adalah pandu gelombang optik ditinjau berdasarkan geometrinya. Pandu gelombang planar terdiri atas inti film pusat dengan ketebalan < 0.1mm yang terletak diantara dua lapisan dengan indek bias lebih rendah dari pada inti, namun harus tidak sama.

Tiap jenis pandu gelombang optis, baik silinder maupun planar, memiliki moda. Karena pandu gelombang yang ditinjau merupakan pandu gelombang optik, maka moda pada pandu gelombang ini merupakan moda optik. Moda optik adalah solusi spesik dari fungsi gelombang yang memenuhi syarat batas yang sesuai dan memiliki sifat bahwa distribusi spasialnya tidak berubah terhadap perambatannya.

Jumlah moda yang terdapat dalam suatu pandu gelombang ditentukan oleh sebuah parameter tunggal yang disebut parameter-V atau disebut juga frekuensi ternormalisasi (normalized frequency). Analisis mengenai moda diawali dengan tinjauan pada serat optik moda tunggal step index melalui penyelesaian persamaan Maxwell. Bentuk persamaan Maxwell tersebut adalah sebagai berikut:

1. .D (2.8a) 2. .B0 (2.8b) 3. t B E       (2.8c)

(12)

4. t D j H       (2.8d)

Bentuk persamaan Maxwell pada kondisi bebas muatan sumber adalah sebagai berikut: 1. .D0 (2.9a) 2. .B0 (2.9b) 3. t B E       (2.9c) 4. t D j H       (2.9d)

dengan E dan H adalah vektor medan listrik dan medan magnet, sedangkan D dan B adalah rapat fuks. Kerapatan flux berhubungan dengan vektor medan dengan hubungan D = εoE + P dan B = µoH + M, εo dan µo masing – masing adalah

permitivitas ruang hampa dan permeabilitas ruang hampa, sedangkan P dan M masing-masing adalah polarisasi listrik dan magnet terinduksi. Untuk serat optik nilai M = 0 karena sifat nonmagnetic kaca silika.

Persamaan (2.9c) dan (2.9d) menunjukkan bahwa antara E dan H saling terkopel satu sama lain. Untuk memisahkannya, dilakukan dengan cara menerapkan operasi curl dan substitusi kedua persamaan sehingga didapatkan persamaan sebagai berikut:

2 12 22 0     t E c E (2.10) 2 12 2 2 0     t H c H (2.11)

(13)

dengan

 1

c adalah kecepatan gelombang elektromagnetik di medium, sedangkan pada daerah vakum

0 0 0 1    c . Persamaan (2.10) dan (2.11)

memperlihatkan medan E dan H tidak saling terkopel satu sama lain. Secara umum, persamaan (2.10) dan (2.11) dapat ditulis dalam bentuk persamaan gelombang berikut: 0 1 2 2 2 2     t c   (2.12)

Fungsi gelombang mempresentasikan medan harmonik E dan H yang tidak saling terkopel. Jika solusi persamaan (2.12) berbentuk persamaan

j t

U

  exp 

dengan U menyatakan amplitude kompleks gelombang UUoexp

jkr

dan

jkr

exp menyatakan faktor harmonik maka dari persamaan (2.12) diperoleh persamaan Helmholtz sebagai berikut:

0 2 2 U k U (2.13) dengan c

k  yang merupakan konstanta perambatan. Dari hubungan o c c n dan o o

k  2 , maka knko dengan 0 menunjukkan medium vakum.

Untuk mengetahui persamaan gelombang EM dalam serat optik, maka koordinat posisi gelombang EM disesuaikan dengan geometri serat optik yang berbentuk silinder. Jika diasumsikan gelombang EM merambat dalam arah z,

(14)

maka fungsi gelombang untuk medan E dan H dalam koordinat silinder, masing-masing dapat ditulis sebagai berikut:

 

jt zo r e E t z r E,, , ,  (2.14)

 

jt zo r e H t z r H,, , ,  (2.15)

Persamaan (2.14) dan (2.15) juga merupakan solusi persamaan (2.12), masing-masing untuk medan harmonik E dan H , sedangkan  identik dengan k yang menyatakan konstanta perambatan gelombang EM dalam arah z.

Berikutnya akan ditentukan komponen-komponen medan E dan Hdalam arah r,, dan z dalam serat optik.

Untuk medan E:

 

 

j t z z r r z t j o r e E e E e E e e E t z r E       , , , ˆ ˆ ˆ ,        (2.16) dengan :

 

j z r E r e E  0 (2.17a)

 

e j z E E    0   (2.17b) z z E E  (2.17c) r r j E z E   dan zjEE     (2.17d) Sementara itu untuk medanH :

 

 

j t z z r r z t j o r e H e H e H e e H t z r H                 ,  , , , (2.18) kemudian

j t z z r re H e H e e H j t H t B                      (2.19)

(15)

sehingga hubungan E dan H untuk masing-masing komponen vektor adalah: r z j rE e E r              1 = jHr (2.20a)   E j H j r E r z   (2.20b)

 

z r j H E r rE r               1 (2.20c)

Jika langkah yang sama di terapkan pada persamaan (2.9d), akan diperoleh hubungan H dan E untuk masing-masing komponen vektor sebagai berikut:

r z j rH e H r              1 = r E j  (2.21a)   H j E j r H r z   (2.21b)

 

z r j E H r rH r               1 (2.21c)

dengan saling mensubstitusikan persamaan-persamaan yang didapatkan dari hubungan E dan H dengan hubunganH dan E untuk masing-masing komponen vektor maka akan didapatkan persamaan:

                z z r qj Er r H E 2 (2.22a)              r H E r q j E z  z    2 (2.22b)             r H E r q j H z z r   2 (2.22c)

(16)

                 qj Erz qj r Hz H 2 2 (2.22d)

Untuk mendapatkan persamaan gelombang pada medan E dan H dalam koordinat silinder dilakukan dengan cara sebagai berikut: Substitusi persamaan (2.22c) dan (2.22d) ke persamaan (2.21c) sehingga didapatkan:

0 1 1 2 2 2 2 2 2           z z z z E q E r r E r r E  (2.23)

Persamaan (2.23) adalah persamaan gelombang untuk medan E

 

Ez

dalam koordinat silinder. Cara yang sama dilakukan untuk mendapatkan persamaan gelombang untuk medan H

 

Hz

yaitu mensubstitusikan persamaan (2.22a) dan (2.22b) ke persamaan (2.20c), sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut:

0 1 1 2 2 2 2 2 2           z z z z H q H r r H r r H  (2.24)

Persamaan (2.23) dan (2.24) masing-masing memuat E dan z H saja, artinya z E z dan H tidak saling terkopel. Secara umum, kopling antara z E dan z H z ditentukan oleh syarat batas komponen medan EM. Jika syarat batas tidak dapat menunjukkan kopling antar komponen-komponen medan, maka solusi moda dapat diperoleh dengan menentukan Ez 0 dan Hz 0(moda TE atau TM). Jika

z

E dan H keduanya tidak sama dengan nol, maka disebut moda hibrid dan z dilambangkan dengan HE atau EH yang bergantung pada kontribusi E dan z H z mana yang lebih dominan. Moda hibrid memiliki tingkat analisa yang lebih rumit.

Untuk mengetahui bentuk fungsi gelombang medan E dan H dalam serat optik, dilakukan dengan cara sebagai berikut: Serat optik adalah pandu gelombang

(17)

EM yang berbentuk silinder, sehingga rambatan gelombang EM dalam serat optik seperti diperlihatkan oleh Gambar 2.7.

Gambar 2.7. Rambatan gelombang EM dalam serat optik

Pada gambar tersebut, nn1 untuk r < a (core) dan nn2untuk r > a (cladding),

serta gelombang EM diasumsikan merambat pada arah sumbu z. Dalam koordinat silinder, persamaan Helmholtz mempunyai bentuk sebagai berikut:

0 1 1 2 0 2 2 2 2 2 2 2 2              U k n z U U r r U r r U  (2.25)

dengan UU

r,,z

adalah amplitudo kompleks medan E dan H serta r,, dan z menyatakan posisi dalam koordinat silinder. U dalam koordinat silinder pada persamaan (2.25) merepresentasikan E dan z H yaitu medan listrik dan medan z magnet ke arah z. Jika diasumsikan amplitudo kompleks merambat ke arah z dan dinyatakan dalam bentuk sebagai berikut:

r z

  

U r e jl z

U ,,  

(2.26)

dengan  adalah konstanta perambatan dan l 0,1,2,.... menunjukkan perioditas  dengan periode 2 , maka persamaan (2.25) akan berbentuk:

0 1 2 2 2 2 0 2 2 2                U r l k n r U r r U (2.27)

(18)

Syarat gelombang terpandu adalah n <2k0  <n , untuk itu ddidefinisikan 1k0

parameter sebagai berikut:

2 2 0 2 1 2 n k kT (2.28a) dan 2 0 2 2 2 2 n k  (2.28b)

Untuk gelombang terpandu, 2

T

k dan 2 bernilai positif dan

T

k dan

bernilai real. k menyatakan komponen transversal gelombang terpandu di dalam T

core, sedangkan menyatakan komponen transversal gelombang di cladding atau gelombang evaniscent. Dengan demikian persamaan (2.27) dapat di pisahkan antara core dengan di cladding seperti persamaan berikut:

0 1 2 2 2 2 2           U r l k dr dU r dr U d T , r ≤ a (2.29a) 0 1 2 2 2 2 2           U r l dr dU r dr U d , r ≥ a (2.29b)

Persamaan (2.29) berbentuk persamaan Bessel dengan solusi berupa fungsi Bessel. Agar fungsi tidak bernilai ∞ di r0(core) dan di r ∞ (cladding), maka solusi terbatas adalah sebagai berikut:

 

k r J1 T , r ≤ a

 

rU (2.30)

 

r K1  , r ≥ a

 

x

J1 dan K1

 

x adalah fungsi Bessel jenis pertama dan kedua orde l . Pada limit

(19)

 

                    2 2 1 cos 1 2 1 1 x x x lJ , r ≤ a (2.31a)

 

e x x l x x K                 8 1 4 1 2 2 2 1 1  , r ≥ a (2.31b)

Persamaan (2.31) menunjukkan bahwa J1

 

x berosilasi, sedangkan K1

 

x

menurun secara eksponensial seiring bertambahnya x (Saleh, 1991). Dengan demikian berbentuk amplitudo kompleks medan adalah sebagai berikut:

 

 

jl zT z r a AJ k r e U   1 , r ≤ a (2.32a)

 

 

jl zz r a AK r e U   1 , r ≥ a (2.32b)

Untuk nilai k besar, distribusi medan di dalam core berosilasi secara cepat, T sedangkan untuk nilai  besar, penurunan amplitudo medan terjadi secara cepat sehingga penetrasi medan (gelombang) di dalam cladding menjadi kecil (Keiser,1991). Distribusi amplitudo medan di core dan cladding untuk l = 0 dan l

= 3 diperlihatkan pada Gambar 2.8.

Gambar 2.8. Distribusi amplitudo medan di core dan cladding untuk orde 0 dan 3 (Saleh, 1991)

Jika persamaan (2.28a) dan (2.28b) dijumlahkan, maka diperoleh persamaan (2.35).

(20)

 

2 0 2 0 2 2 2 1 2 2 n n k NA k kT     (2.33)

Ruas paling kanan persamaan (2.33) bernilai konstan, sehingga jika nilai k besar T maka nilai  kecil, pada keadaan ini penetrasi medan ke cladding menjadi besar (Salah, 1991). Jika persamaan (2.33) dikalikan dengan a2, terdefinisi parameter V yang berkaitan dengan keadaan cutoff dengan definisi sebagai berikut:

aNA V 0 2    (2.34)

Jika nilai V ≤ 2,405, maka serat optik bertipe singlemode (Keiser,1991).

Solusi bagi  ditentukan melalui syarat batas bahwa di bidang batas yaitu

a

r komponen medan E dan z E di dalam core dan cladding harus bernilai

sama, demikian pula dengan H dan z H , hubungan antara komponen E dengan z

E dan H denganz H dapat diperoleh dengan saling mensubstitusikan diantara

persamaan (2.9c) dan (2.9d), dalam koordinat silinder hasilnya adalah sebagai berikut:              r H E r k n j E z  z    2 0 2 (2.35a)              r E H r k n j H z  z    2 0 2 (2.35b)

Mengacu pada persamaan (2.32) untuk nilai E dan z H , maka akan diperoleh z E

dan H di dalam core dan cladding. Dengan menerapkan syarat batas

0

2 1 z

z E

(21)

indeks 1 dan 2 menunjukkan daerah core dan cladding, akan diperoleh persamaan berikut:

                2 1 2 2 0 2 2 1 2 0 2 1 1 1 1 1      T k a l k n k n (2.36) dengan :

 

 

r k J k r k J T T T 1 1 1  dan

 

 

r K r K     1 1 1 

Persamaan (2.36) adalah persamaan non linear, sehingga solusi bagi  dengan batas n2k0n1k0 harus dilakukan dengan metode numerik (Keiser, 1991). Solusi

bagi  bernilai diskrit dengan orde l dan m adalah sebagai berikut:

    M m l k n lm 1 0 1 2  (2.37)

Dengan M adalah jumlah moda yang didefinisikan sebagai berikut:

2 2

4 V

M (2.38)

Dalam hal ini lm terkait dengan moda-moda TE , lm TM , lm EH atau lm HE . lm

2.4. Fiber Coupler

Pemahaman tentang pengkopel dapat divisualisasikan dengan sepotong kabel serat optik yang membawa sinyal menuju ke dua terminal yang berbeda. Sinyal tersebut tentunya harus dibelah menjadi dua dan hal ini dapat dilakukan dengan mudah menggunakan sebuah alat yang disebut pengkopel (coupler), sehingga pengkopel untuk tujuan ini disebut splitter (pembagi). Pengkopel juga bersifat bi-direksional dan dapat menghantarkan cahaya ke dua arah, maju maupun balik, sehingga pengkopel dalam kasus ini disebut sebagai combiner (penggabung) yang penggunaannya untuk menggabungkan sinyal-sinyal dari

(22)

beberapa sumber berbeda ke dalam satu saluran transmisi serat optik tunggal. Dalam kasus pengkopel, energi cahaya yang masuk mengalami hamburan (scattering) atau penyerapan (absorbing) saat merambat didalam pengkopel sehingga sebagaiannya tidak muncul diujung keluaran (output). Perbedaan antara

splice mekanik dengan pengkopel terdapat pada jumlah penggunaan serat optik

dikedua ujung alat. Apabila terdapat sebuah serat optik tunggal dikedua ujung alat, maka alat tersebut adalah splice mekanik jika lebih dari satu maka disebut pengkopel.

Jika dua pandu gelombang berada pada jarak yang sedemikan dekat, maka cahaya terpandu dari salah satu pandu gelombang dapat terkopel pada pandu gelombang lainnya. Dengan kata lain, terjadi proses transfer daya optik antar pandu gelombang. Untuk kasus coupling antara dua pandu gelombang sejajar yang diasumsikan untuk serat optik singlemode diilustrasikan pada Gambar 2.9.

Gambar 2.9. Kopling cahaya pada dua pandu gelombang planar (Saleh, 1991). Analisa secara eksak dari proses pengkopelan cahaya pada pandu gelombang sangat sulit, tetapi untuk kopling lemah (weakly), penggunaan teori untuk moda terkopel masih memadai. Teori moda terkopel digunakan dengan asumsi bahwa moda pada masing-masing pandu gelombang sebelum terkopel (salah satu pandu gelombang belum ada) adalah sama. Amplitudo kompleks

(23)

medan listrik pada pandu gelombang 1 dan pandu gelombang 2 jika tidak terkopel ditulis dalam bentuk sebagai berikut:

 

y z au

 

y e j z E 1 1 1 1 ,   (2.39)

 

y z a u

 

y e j z E 2 2 2 2 ,    (2.40)

Indeks 1 dan 2 masing-masing menyatakan pandu gelombang 1 dan 2, sedangkan

a , u

 

y dan  masing-masing menyatakan moda amplitudo, fungsi distribusi medan transversal dan konstanta perambatan gelombang cahaya pada arah z. Sebelum terkopel, a dan 1 a adalah konstan. Saat terjadi kopel, 2 a dan 1 a berubah 2

menjadi fungsi z yang ditulis a1

 

z dan a2

 

z . Sedangkan u1

 

y , u2

 

y , 1 dan 2

 tidak berubah.

Proses kopling dianggap sebagai efek hamburan yang artinya medan pada pandu gelombang 1 merupakan hamburan medan dari pandu gelombang 2, hamburan tersebut mengubah amplitudo medan pada pandu gelombang 2, demikian pula sebaliknya medan pada pandu gelombang 2 merupakan hamburan dari pandu gelombang 1. Analisis saling interaksi antara dua pandu gelombang tersebut merujuk pada dua persamaan diferensial orde satu yang saling terkopel dengan perubahan terjadi pada amplitude a1

 

z dan a2

 

z . Kedua persamaan tersebuat adalah sebagai berikut:

 

 

zej z a jC dz z da   21 2 1 (2.41a)

 

jC a

 

z e j z dz z da  1 12 2 (2.41b)

(24)

dengan :  12 (2.42)

   

       

d a a dy y u y u k n n C 2 1 1 2 0 2 2 2 21 2 (2.43a)

   

       

d a a dy y u y u k n n C 1 2 2 2 0 2 2 1 12 2 (2.43b) 21

C dan C adalah koefesien kopling, 12

Persamaan (2.41a) dan (2.41b) adalah persamaan moda terkopel. Dengan asumsi bahwa amplitudo cahaya masukan pada pandu gelombang 1 adalah a1

 

0 dan pada pandu gelombang 2 tidak ada cahaya yang masuk atau a2

 

0 0,maka solusi bagi a1

 

z dan a2

 

z pada persamaan moda terkopel adalah sebagai berikut:

 

 

       a ez j z z a j z      sin 2 cos 0 2 1 1 (2.44a)

 

z jC a

 

e z a j z

 sin 0 2 1 12 2     (2.44b) dengan 21 12 2 2 2  C C         (2.45)

Daya optik pada kedua pandu gelombang adalah sebagai berikut:

 

 

                P z z z P     2 2 2 1

1 0 cos 2 sin (2.46a)

 

z P

 

k z P  2 2 2 12 1 2  0 sin (2.46b)

Persamaan (2.46a) dan (2.46b) memperlihatkan pertukaran daya optik secara periodik diantara kedua pandu gelombang dengan periode sebesar 2/ .

(25)

Jika kedua pandu gelombang identik, yaitu 1 2 dan C12 C21 K,

maka  0 dan  K, dengan demikian persamaan (2.44a) dan (2.44b) menjadi :

 

z a

 

Kz

a1  1 0 cos (2.47a)

 

z ja

 

Kz

a2  1 0 sin (2.47b)

Sehingga daya optik pada pandu gelombang yang identik adalah :

 

z P

 

Kz P 2 0 1  0 cos (2.48a)

 

z P

 

Kz P 2 0 2  0 sin (2.48b)

Perlu dicatat bahwa kedua pandu gelombang di asumsikan tanpa redaman atau atenuasi. Grafik pertukaran daya optik terhadap jarak interaksi z (yang akhirnya disebut sebagai panjang kopling) diperlihatkan pada Gambar 2.10.

Gambar 2.10. Grafik pertukaran daya optik terhadap jarak interaksi z Pertukaran daya optik secara penuh terjadi setiap periode (n +

2 1 )

dengan n = 0,1,2,….. maka untuk pertukaran daya optik secara penuh dapat ditulis hubungan: K n z          2 1 (2.49)

(26)

Jika z = Lc, dengan Lc adalah panjang kopling, maka : K n Lc          2 1 (2.50)

Fiber coupler merupakan salah satu pandu gelombang yang tersusun atas

dua pandu gelombang sejajar yang mampu mentransmisikan informasi melalui banyak saluran. Salah satu sifat dari fiber coupler adalah kemampuannya memindahkan daya ke pandu gelombang kedua ketika pandu gelombang pertama ditransmisikan gelombang optik. Hal ini dikarenakan terjadinya kopling dalam

fiber coupler yang mempengaruhi perambatan daya gelombang optik sepanjang

pandu gelombang. Pada bidang optik, fiber coupler dapat berfungsi sebagai pemecah berkas cahaya (splitter), pembagi daya (power divider), optical swtcing, divais WDM, divais interferometer baik Michelson maupun Mach Zender serta divais optik yang lain. Fiber coupler dapat dibuat dari serat optik singlemode maupun multimode dengan cara menggabungkan (fused) kedua buah serat optik tersebut dengan panjang daerah interaksi dan lebar gap tertentu. Proses kopling atau transfer daya optik pada fiber coupler serat optik analog dengan pandu gelombang planar. Bedanya distribusi medan yang terkopel pada directional

coupler serat optik berbentuk fungsi Bessel. Proses perpindahan daya gelombang

optik antar pandu gelombang dapat dijelaskan menggunakan teori moda tergandeng (couple mode theory). Berdasarkan teori moda tergandeng (couple

mode theory), bila lebar gab antara dua pandu gelombang sangat kecil akan

mengakibatkan gelombang evanescent dari kedua buah pandu gelombang disepanjang daerah gab saling memberikan gangguan (perturbation), kopling

(27)

antar keduanya akan menyebabkan amplitudo gelombang optik yang merambat pada masing-masing pandu gelombang berubah sepanjang jarak rambatnya. Jika ke dalam pandu gelombang pertama ditransmisikan gelombang optik, maka sebagian berkasnya ter-evanescant ke pandu gelombang kedua. Berkas pada pandu gelombang tersebut terpandu dan sebagian berkasnya akan ter-evanescant ke pandu gelombang pertama lagi. Overlaping antar gelombang evanescent yang saling berinterferensi mengakibatkan terjadinya proses perpindahan daya antar pandu gelombang optik. Jika interferensinya saling menguatkan akan terbentuk gelombang optik simetri dengan tetapan perambatan βb, dan ketika interferensinya

saling melemahkan maka akan terbentuk gelombang optik asimetri dengan tetapan perambatannya βa.

Fiber coupler yang tersusun dari dua buah serat optik mempunyai empat

buah port dan disebut fiber coupler serat optik struktur simetri 2×2. Skema fiber

coupler serat optik struktur simetri 2×2 yang dibuat dengan metode fused biconal tapared diperlihatkan pada Gambar 2.11.

Gambar 2.11. Fiber coupler strutur simetri 2 x 2 berbahan serat optik dengan metode fused (Fernando, 2007)

Berdasarkan Gambar 2.11, jika port Al bertindak sebagai port masukan dengan mengambil analogi teori moda terkopel untuk pandu gelombang planar

(28)

singlemode, maka sebagian berkas cahaya akan terkopel menuju port keluaran B2

dengan rasio kopling (ratio coupling) tertentu saat melewati daerah interaksi kopling sepanjang Le. Berkas cahaya yang tidak terkopel akan keluar menuju port A2. Rasio kopling ditentukan oleh panjang daerah interaksi kopling (Lc) dan lebar gap antar core serat optik (g) yang digabungkan. Akibat struktur penggabungan serat optik, sebagian kecil berkas cahaya dipantulkan menuju port Al dan Bl. Rasio daya optik berkas cahaya pantulan yang menuju port B I terbadap daya optik masukan disebut Crosstalk. Proses kopling berkas cahaya diantara kedua serat optik menyebabkan rugi (losses) akibat struktur fiber coupler. Rugi tersebut adalah rugi keluaran atau excess loss yaitu fraksi daya optik keluaran terbadap daya optik masukan dan rugi sisipan atau insertion loss yaitu fraksi daya optik pada port keluaran B2 terhadap daya optik masukan (Samian dkk., 2008).

Parameter-paremeter fiber coupler sebagai divais optik antara lain copling

ratio (CR), excess loss (Le) dan Crosstalk (Ct). Berikut beberapa pengertian dari

parameter-parameter fiber coupler. Seberapa besar proporsi dari daya input yang muncul di masing-masing ujung output disebut sebagai rasio pembagian atau

copling ratio (CR). Rasio daya optik berkas cahaya pantulan yang menuju port P3

terhadap daya optik masukan disebut Crosstalk. Proses kopling berkas cahaya diantara kedua serat optik menyebabkan rugi (losses) akibat struktur fiber coupler. Rugi tersebuat adalah rugi keluaran atau excess loss yaitu fraksi daya optik keluaran terhadap daya optik masukan. Dengan mengacu pada Gambar 2.11, parameter-parameter tersebut dituliskan dalam persamaan-persamaan sebagai berikut:

(29)

2 1 2 P P P CR   (2.51)         

P

P

L

output inout ins (2.52) 2 1 log 10 P P Po Le   (2.53) 3 log 10 P Po Ct  (2.54)

Jika P1 = P2 , maka nilai CR = 0,5, disebut coupler 3 dB (Fernando, 2007).

Standarisasi fabrikasi fiber coupler adalah pemenuhan nilai parameter-parameter

fiber coupler hasil fabrikasi sesuai dengan nilai parameter standar seperti yang

diperlihatkan pada Tabel 2.1 berikut:

Tabel 2.1. Standarisasi parameter fiber coupler (Hoss, 1993).

2.5. Expansi Linear

Untuk sebuah benda dalam bentuk batang atau kawat seringkali yang perlu diperhitungkan hanya perubahan panjangnya saja akibat perubahan suhu. Andaikan semua benda berbentuk balok berukuran , , dan pada suatu suhu . Jika suhu balok itu naik menjadi , ukuran balok tersebut menjadi

(30)

, , dan . Pada kebanyakan zat, perubahan relatif atau fraksional dari ukuran-ukuran panjang benda itu sama, artinya:

(2.55)

Jika expansi linear suatu zat didefinisikan sebagai perubahan fraksional dari panjangnya persatuan perubahan suhu, dimensi panjangnya , maka:

(2.56)

(2.57)

Koefisien muai panjang (koefisien expansi linear) suatu bahan berhubungan dengan daya tahan bahan terhadap perubahan suhu. Semakin rendah koefisien muai panas suatu bahan, semakin tinggi daya tahan bahan dalam menerima perubahan suhu. Setiap bahan yang dipanaskan akan mengalami pertambahan ukuran karena pemuaian. Pertambahan ukuran pada arah satu dimensi bisa disebut sebagai pertambahan panjang, pada arah dua dimensi dinyatakan sebagai pertambahan luas. Pertambahan panjang pada arah tiga dimensi dinyatakan sebagai pertambahan volum. Besar pertambahan panjang akibat kenaikan suhu masing-masing bahan berbeda bergantung koefisien muai panjang dari bahan tersebut.

Gambar 2.12. Pertambahan Panjang Logam Akibat Perubahan Suhu (Edward, 2005)

(31)

Pemuaian yang lazim dialami oleh bahan yang mengalami pemanasan yang ditimbulkan oleh peningkatan getaran termal atom-atom. Pendekatan menghasilkan pertambahan panjang sebanding dengan kenaikan suhu , sehingga persamaan (2.16) menjadi:

(2.58)

Gambar 2.13. Plot Hubungan Panjang Logam (L) dengan suhu (T) (Meiners,1986)

Atom-atom suatu bahan tidak bergetar pada suhu 00C (-273 K). Pada keadaan seperti ini atom-atom menduduki keadaan dengan energi terendah diantara tetangga-tetangganya. Bila suhu naik, peningkatan energi memungkinkan atom-atom bergetar dengan jarak antar atom yang lebih besar dan kecil. Hal ini mengakibatkan muai panas karena rata-rata jarak antar atom membesar.

Tabel 2.2. Harga Rata-rata Untuk Beberapa Bahan (Lawrence, 1991) Zat Padat α (0C)-1 Aluminium 2,4 x 10-5 Kuningan 2,0 x 10-5 Tembaga 1,7 x 10-5 Kaca 0,4 s/d 0,9 x 10-5 Baja 1,2 x 10-5 Invar 0,09 x 10-5 Kwarsa 0,04 x 10-5

(32)

Atom-atom bahan yang mempunyai koefisien muai panjang tinggi memerlukan suhu yang relatif lebih kecil dari pada bahan yang mempunyai koefisien muai panjang kecil untuk bergetar dengan jarak antar atom yang lebih besar. Sehingga semakin kecil nilai koefisien muai panjang, maka semakin tinggi nilai titik lebur bahan.

Tabel 2.3. Nilai titik lebur beberapa logam (Emsley, 1998)

Jenis Logam Titik Lebur (K)

Aluminium 933,52 Tembaga 1356,6 Emas 1337,58 Perak 1235,08 Baja 996-1473 2.6. Tembaga

Tembaga adalah suatu unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki lambang dan nomor atom 29. Lambangnya berasal dari bahasa Latin Cuprum. Tembaga merupakan konduktor panas dan listrik yang baik. Selain itu unsur ini memiliki korosi yang lambat sekali. Tembaga mempunyai koefiesien muai panjang sebesar 1,7 x 10-5 (C0)-1 (Lawrence, 1991). Tembaga mempunyai

kesamaan struktur elektron dengan perak dan emas, sehingga ketiganya mempunyai banyak sifat yang mirip. Diantaranya adalah ketiganya memiliki konduktivitas panas dan listrik yang tinggi, serta mudah dibentuk. Di antara logam murni pada suhu kamar, tembaga memiliki resistivitas listrik dan

(33)

kuonduktivitas panas tertinggi setelah perak (Hammond, 2004). Pada 385 W m-1

°C -1 tembaga memiliki konduktivitas termal tertinggi dibandingkan emas dan perak. Hal ini disebabkan karena hampir semua elektron valensi (satu per atom) mengambil bagian dalam konduksi. Yang dihasilkan elektron bebas dalam jumlah tembaga ke densitas muatan sebesar 8960 kg/m3. Densitas muatan tinggi

bertanggung jawab atas agak lambat kecepatan arus di kabel tembaga (kecepatan

drift dapat dihitung sebagai rasio dari rapat arus untuk mengisi kepadatan).

Misalnya, dengan kepadatan arus 5x106 A/m2 (biasanya, kepadatan arus

maksimum hadir dalam jaringan kabel rumah tangga dan distribusi grid) kecepatan drift hanya sedikit lebih dari ⅓ mm/s (Seymour, 1972).

Gambar

Gambar 2.1.  Keluaran dari transduser panas (D Sharon dkk., 1982, dalam  www.docstoc.com)
Gambar 2.2  Temperatur berubah secara kontinyu (D. Sharon dkk, 1982, dalam  www.docstoc.com)
Gambar 2.3. Skema bagian penyusun serat optik (Keiser, 1991).
Gambar 2.4b. Perbedaan serat optik multimode dan singlemode (Keiser, 1991).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Rapat kelompok staf medis sebagaimana yang dimaksud ayat 1 harus dihadiri oleh koordinator pelayanan medis serta harus dihadiri oleh penanggung jawab klinik dan atau

[r]

Cara ini sangat menguntungkan bagi karyawan karena mengakibatkan take home pay yang diterima karyawan lebih besar, tetapi bagi perusahaan cara ini kurang menguntungkan

Dari hasil simulasi yang dilakukan dengan object oriented unbalanced 3 phase load flow diperoleh tegangan untuk masing-masing fasa seperti diperlihatkan pada grafik

pemeliharaan irigasi lahan kering adalah pendekatan kualitatif. Peneliti telah memiliki sebuah model kelembagaan hasil penelitian terdahulu yang terdapat pada bakal

Mem!uat kesimpulan tahapan pem!uatan produk multimedia interakti$ !er!asis halaman Men'kom$nikasikan 6asil pem!uatan produk multimedia interakti$ !er!asis halaman T$'as

Subjek juga menyatakan rasa senang setelah mengikuti terapi relaksasi otot, hal ini mengindikasikan bahwa terdapat perubahan psikis yang positif yaitu, adanya emosi

Hasil evaluasi mengenai cara yang dilakukan oleh guru PAI dalam upaya meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami kandungan ayat-ayat Al-Qur’an di SMA Islam Sabilurrosyad Dari