• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh. Lina Dayanti *) Di bawah bimbingan Milda Ernita dan Ediwirman. Abstrak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Oleh. Lina Dayanti *) Di bawah bimbingan Milda Ernita dan Ediwirman. Abstrak"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN INTENSITAS SERANGAN Phytophthora palmivora DENGAN KEHILANGAN HASIL PADA TANAMAN KAKAO (Theobroma cacao L.) di KECAMATAN RANAH BATAHAN KABUPATEN PASAMAN BARAT

Oleh Lina Dayanti*)

Di bawah bimbingan Milda Ernita dan Ediwirman

*)

Program Studi Agroteknologi Universitas Tamansiswa Abstrak

Penelitian mengenai “Hubungan Intensitas Serangan Phytophthora palmivora dengan Kehilangan Hasil pada Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.) di Kecamatan Ranah Batahan Kabupaten Pasaman Barat” telah dilakukan pada kebun kakao milik rakyat di Kecamatan Ranah Batahan, Pasaman Barat dan di laboratorium Hama Penyakit Tanaman Universitas Andalas Padang. Penelitian ini dimulai dari bulan April sampai Juni 2013 dengan tujuan untuk mengetahui besarnya intensitas serangan Phytophthora palmivora yang menyerang tanaman kakao di Kecamatan Ranah Batahan, Pasaman Barat dan mengukur kehilangan hasil akibat penyakit tersebut. Penelitian ini dilakukan pada kakao jenis Criollo dan Forastero. Penentuan sampel dengan menggunakan metode Two Stage Stratified Random Sampling Sampel tanaman kakao diambil secara acak sebanyak 100 pohon dan sampel buah diambil sebanyak 5% untuk masing-masing sampel pohon. Variabel yang diamati adalah intensitas serangan, perkembangan gejala penyakit, hubungan intensitas serangan dengan kehilangan hasil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensitas serangan jamur Phytophthora palmivora pada tanaman kakao di Kecamatan Ranah Batahan untuk kakao Criollo mencapai 28,70% dengan kehilangan hasil 52,33% dan pada kakao Forastero intensitas serangan mencapai 35,54% dengan kehilangan hasil 46,99%.

Kata kunci: Tanaman kakao, Phytophthora palmivora, intensitas serangan, kehilangan hasil.

PENDAHULUAN

Kakao merupakan tanaman perkebunan yang mempunyai peranan penting bagi perekonomian nasional. Komoditas biji kakao menduduki tempat yang sejajar dengan komoditas perkebunan lainnya, seperti kelapa sawit dan karet (Tumpal, Riyadi, dan Nuraeni, 2012). Indonesia sebagai produsen kakao ketiga di dunia mempunyai kontribusi ± 12 % terhadap produksi dunia. Kakao merupakan salah satu komoditas ekspor andalan penyumbang devisa bagi negara di sektor non migas, ekspor kakao olahan Indonesia pada tahun 2006 mencapai 80.991 ton dengan nilai US$ 175.314.000 (Karmawati, Mahmud, Syakir, Munarso, Ardana, dan Rubiyo, 2010).

(2)

Luas areal tanaman kakao di Indonesia mencapai 1.462.000 Ha dengan produksinya mencapai 1.315.800 ton/th. Kurang lebih dari 90% luas areal kakao di Indonesia merupakan perkebunan rakyat (Siswanto dan Karmawati, 2011). Komoditas kakao merupakan sumber pendapatan utama bagi banyak petani, terutama sejak terjadinya krisis ekonomi (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2011).

Sumatera Barat merupakan salah satu daerah pengembangan komoditas kakao. Pengembangan kakao dapat menyerap tenaga kerja, meningkatkan produktivitas petani, mendorong agribisnis dan pengembangan wilayah (Dinas Perkebunan Sumatera Barat, 2010). Tahun 2007, Sumatera Barat dicanangkan sebagai sentra produksi kakao untuk wilayah Indonesia bagian barat dengan target pengembangan seluas 100.000 Ha tanaman kakao. Perkembangan produksi kakao di Sumatera Barat terus meningkat secara signifikan. Tahun 2012 lahan yang digunakan untuk pengembangan tanaman kakao telah mencapai luas 116.461 Ha dengan total produksi mencapai 59.679 ton/th (Statistik Pertanian, 2012). Daerah pengembangan kakao di Sumatera Barat tersebar di berbagai kabupaten.

Pasaman Barat menjadi salah satu pusat pengembangan kakao di Sumatera Barat. Perkebunan kakao di Kabupaten Pasaman Barat merupakan perkebunan rakyat (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010). Produksi kakao di Pasaman Barat mengalami peningkatan, tahun 2003 luas pertanaman kakao 8.077 Ha dengan produksi 3.246 ton/tahun dan tahun 2010 luas pertanaman kakao telah mencapai 11.094 Ha dengan produksi 7.296,82 ton/tahun (Dinas Perkebunan Kabupaten Pasaman Barat, 2004 – 2012).

Kecamatan Ranah Batahan dulu berpotensial menghasilkan buah kakao, namun sekarang mengalami penurunan bahkan ada beberapa perkebunan rakyat yang tidak produktif lagi. Pada tahun 2003 luas pertanaman kakao 384 Ha dapat mencapai produksi sebesar 237 ton/tahun dan terus mengalami penurunan, hingga tahun 2012 luas lahan mencapai 1.005 Ha dengan total produksi 167,04 ton/tahun dan produksi rata-rata hanya mencapai 166,20 kg/Ha, masih jauh tertinggal dari standar produksi yang dianjurkan yaitu 1.000 kg/Ha (Dinas Perkebunan Kabupaten Pasaman Barat, 2004 - 2012).

Rendahnya produksi kakao tersebut disebabkan karena berkembangnya hama dan penyakit serta kurangnya pengetahuan dan keterampilan petani dalam teknologi budidaya kakao terutama dalam pemeliharaan diantaranya: pemupukan, pemangkasan dan pengendalian hama dan penyakit. Salah satu penyakit penting pada tanaman kakao adalah penyakit busuk buah kakao yang disebabkan oleh jamur P. palmivora Butlher. (Semangun, 2000; Tumpal, Riyadi, dan Nuraeni, 2012).

(3)

Diduga penurunan hasil kakao di Kecamatan Ranah Batahan karena serangan jamur P. palmivora dan peranan jamur tersebut di dalam menurunkan hasil kakao masih belum diketahui, untuk itu maka telah dilakukan penelitian dengan judul “Hubungan Intensitas Serangan Phytophthora palmivora dengan Kehilangan Hasil pada Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.) di Kecamatan Ranah Batahan Kabupaten Pasaman Barat”. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui besarnya intensitas serangan P. palmivora yang menyerang buah kakao dan mengukur kehilangan hasil akibat serangan jamur P. palmivora di Kecamatan Ranah Batahan Pasaman Barat.

BAHAN DAN METODE

Penelitian telah dilakukan di perkebunan kakao milik masyarakat di Kecamatan Ranah Batahan, Pasaman Barat dan identifikasi jamur P. palmivora telah dilaksanakan di laboratorium Hama Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang yang dimulai dari bulan April sampai Juni 2013.

Bahan dan alat yang digunakan untuk survei dilapangan adalah tanaman kakao yang dijadikan sampel (buah), buku, pena, mistar, dan kamera digital. Sedangkan bahan dan alat yang digunakan untuk identifikasi jamur dilaboratorium adalah buah kakao yang terserang jamur P. palmivora, alkohol 70%, aquadest steril, kertas HVS, pinset, jarum oase, kaca objek, mikroskop, kamera digital dan buku panduan identifikasi jamur.

Metode penelitian ini bersifat deskriptif dan tidak memberikan perlakuan (non treatment) pada tanaman kakao. Pengamatan terhadap penyakit dilakukan dengan survei lapangan dan melihat gejala luar secara visual.Pengambilan sampel dilakukan secara acak. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah sampel acak berstratifikasi dan bertingkat (two stage stratified random sampling). Hubungan antara intensitas serangan dengan kehilangan hasil diperoleh dengan menganalisis data intensitas serangan dan bobot biji/buah dalam persamaan garis linear dengan bentuk Y= a + b(x), dimana Y= kehilangan hasil, a dan b = konstanta dan x = intensitas serangan. Dugaan kehilangan hasil diperoleh dengan mensubstitusikan data intensitas serangan dan bobot biji/buah kedalam persamaan

garis linear.Untuk penelitian di laboratorium, identifikasi morfologi jamur P. palmivora diambil dari sampel buah kakao yang terserang penyakit busuk

buah, kemudian diidentifikasi miselium jamurnya di Laboratorium Hama Penyakit Tanaman untuk mengidentifikasi morfologi jamur P. palmivora yang menyerang tanaman kakao di Kecamatan Ranah Batahan.

Parameter pengamatan meliputi; persentase dan Intensitas Serangan Jamur Phytophthora palmivora, perkembangan gejala serangan penyakit busuk buah pada kakao berdasarkan diameter bercak, hubungan antara ntensitas serangan

(4)

pada buah terhadap bobot biji, hubungan antara intensitas serangan dengan kehilangan hasil dan morfologi jamur Phytophthora palmivora.

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Persentase dan Intensitas Serangan Jamur P. palmivora

Hasil pengamatan yang dilakukan terhadap jumlah buah dan pohon terserang dan intensitas serangan P. palmivora dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Tabel 1. Persentase serangan Phytophthora palmivora Jenis kakao Sampel Total sampel Jumlah terserang Persentase serangan (%) Criollo a. Pohon 23 20 86,95 b. Buah 98 24 24,48 Forastero a. Pohon 77 58 75,32 b. Buah 324 104 32,09

Tabel 2. Intensitas serangan Phytophthora palmivora Jenis kakao Sampel Total

sampel

Jumlah terserang

Intensitas serangan rata-rata (%)

Criollo Buah 98 24 28,70

Forastero Buah 324 104 35,54

Tabel 1 dan 2 menunjukkan bahwa persentase serangan P. palmivora pada tanaman kakao Criollo mencapai 86,95 %, dari 23 pohon yang diamati ada 20 pohon yang buahnya terserang oleh patogen dan intensitas serangan mencapai 28,70 %, sedangkan persentase serangan pada kakao Forastero mencapai 75,32 %, dari 77 pohon yang diamati, 58 diantaranya buahnya terserang oleh jamur P. palmivora dan intensitas serangan mencapai 35,54%.

Intensitas serangan pada kakao Forastero (35,54%) lebih tinggi dibandingkan kakao Criollo (28,70) (Tabel 2). Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Van Hall selama 3 tahun di Jawa yang melaporkan bahwa intensitas serangan P. palmivora lebih tinggi pada kakao Criollo (Mahon dan Purwantara, 2004). Tingginya intensitas serangan pada kakao Forastero disebabkan adanya faktor tingkat ketahanan buah kakao terhadap serangan patogen dan faktor lingkungan.

Jumlah buah yang terserang P. palmivora pada kakao Forastero lebih tinggi, yaitu dari 234 sampel buah ada 104 buah yang terserang patogen dengan persentase serangan 32,09%. Sedangkan pada kakao Criollo mempunyai tingkat

(5)

serangan yang lebih rendah yaitu, dari 98 sampel buah yang digunakan ada 24 buah yang terserang patogen tersebut dengan persentase serangan 24,48% (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah buah maka tingkat serangan juga akan semakin tinggi. Kakao Forastero lebih produktif dan buahnya lebih banyak jika dibandingkan dengan kakao Criollo. Buah yang lebih banyak atau lebat pada pohon akan memudahkan jamur ini untuk menyebarkan sporanya dari buah yang sakit ke buah yang sehat. Berdasarkan hasil penelitian oleh Kebe, Goran, Tahi, Paulin, Clement and Eskes, (1999) dan Rubiyo et al., (2010), bahwa ada dua faktor yang diidentifikasi berpengaruh terhadap ekspresi kerentanan tanaman kakao terhadap P. palmivora yaitu tingkat kelebatan buah dan kemampuan tanaman menghindar dari infeksi P. palmivora.

Jumlah buah yang banyak pada pohon berkemungkinan besar akan memudahkan penularan penyakit busuk buah. Spora P. palmivora akan lebih mudah menginfeksi buah sehat yang berdekatan dengan buah yang sakit. Jika buah yang terinfeksi berada di bawah, maka spora dapat terangkut oleh serangga-serangga seperti semut dan dapat mencapai buah yang tinggi, jika yang terinfeksi adalah buah yang tinggi, maka sporangium akan terbawa oleh air hujan ke buah yang berada di bawahnya. Pernyataan tersebut didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Gregory, Griffin, Maddison dan Ward (1984) di Nigeria yang menunjukkan bahwa infeksi P. palmivora yang disebabkan oleh curah hujan dan kontak langsung antara buah sakit dengan buah sehat mencapai lebih dari 71%. Semangun (2000) juga melaporkan bahwa penyakit busuk buah berbanding lurus dengan jumlah buah dan curah hujan. Busuk buah lebih banyak terdapat pada pohon yang lebat buahnya.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, Kehutanan dan Ketahanan Pangan (BP4KKP) (2012), bahwa daerah Kecamatan Ranah Batahan terletak pada ketinggian antara 23-800 meter di atas permukaan air laut (dpal), suhu rata-rata 250C (suhu minimum 220C, maksimum 280C) dan rata-rata curah 4.200 mm/tahun. Keadaan geografi, suhu dan curah hujan di Kecamatan Ranah Batahan disajikan pada Lampiran 2 dan Lampiran 3. Keadaan tersebut bisa menjadi faktor pendukung tingginya laju perkembangan penyakit busuk buah dan tingkat serangan P. palmivora, seperti yang dilaporkan oleh Ramlan (2010) bahwa pelepasan dan perkecambahan spora P. palmivora terjadi pada suhu 15-30 0C, sedangkan infeksi pada buah akan terjadi pada suhu 20-300C. Tumpal et al., (2012) juga melaporkan bahwa curah hujan yang melebihi 4.000 mm/tahun erat kaitannya dengan penyakit busuk buah.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tondok (2012) di Sulawesi tengah bahwa serangan penyakit busuk buah paling tinggi terjadi di pertanaman kakao pada ketinggian antara 600 sampai 800 m dpl, suhu rata-ratanya adalah 230C

(6)

(maksimum 300C, minimum 20,40C). Penelitian serupa juga dilakukan oleh Sujud, Sastrahidayat, Mudjiono dan Muhibuddin (2013) di Maluku Utara pada daerah dengan ketinggian tempat antara 8 sampai 210 m di atas permukaan air laut bahwa intensitas penyakit busuk buah tertinggi terjadi pada daerah dengan ketinggian 186-210 m di atas permukaan air laut, sehingga ketinggian tempat juga dapat meningkatkan intensitas penyakit busuk buah, karena suhu dan kelembaban pada setiap daerah akan berbeda sehingga intensitas dan serangan P. palmivora juga akan berbeda pada setiap pertanaman kakao.

Faktor lingkungan khususnya iklim mikro di sekitar pertanaman kakao akan lebih dominan sebagai faktor penyebab tingginya intensitas serangan. Hal ini akan berhubungan dengan cara budidaya tanaman kakao. Oleh karena itu, petani yang mempunyai lahan pada ketinggian tersebut perlu mengantisipasi tingginya penyakit busuk buah, misalnya dengan mengurangi kelembaban dengan pemangkasan, lebih intensif melakukan sanitasi kebun dari sumber patogen seperti kulit kakao dan buah sakit dan mengusahakan agar tanaman tetap sehat dengan melakukan pemupukan yang rutin.

B. Perkembangan Gejala Serangan Penyakit Busuk Buah pada Kakao Berdasarkan Diameter Bercak.

Bentuk dan morfologi buah kakao tersebut mempunyai hubungan terhadap ketahanan buah kakao pada serangan P. palmivora pra penetrasi.

0 5 10 15 20 25 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 pe rkemb angan di am et er be rcak (c m/hari )

hari sesudah infeksi (HSI)

C1 C2 C3 C4 C5 C6 0 5 10 15 20 25 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 pe rk e m ba n ga n di am e te r b e rc ak (c m/h ari )

hari sesudah infeksi (HSI)

F1 F2 F3 F4 F5 F6

Gambar 4. Laju perkembangan penyakit busuk buah kakao (cm/hari). Kakao jenis Criollo (A). Kakao jenis Forastero (B). Keterangan: C1 – C6 = sampel Criollo, F1 – F6 = sampel Forastero.

(7)

Permukaan buah kakao Criollo yang kasar akan menahan air diantara kulit kakao sehingga patogen akan mudah berkecambah dan menetrasi buah kakao. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Karmawati et al., (2010) bahwa bentuk morfologi permukaan kulit buah kakao juga dapat mempengaruhi tingkat serangan patogen, kulit buah kakao Criollo yang kasar, tidak rata dan banyak lekukan menjadi tempat menggenangnya air sehingga spora akan mudah berkembang dan menginfeksi buah, berbeda dengan bentuk permukaan kulit buah kakao forastero yang hampir rata dan licin.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bercak coklat akibat infeksi patogen pada kakao Criollo muncul pada banyak titik infeksi sehingga perkembangan penyakit akan lebih cepat dari pada kakao Forastero, bercak-bercak coklat tersebut akan terus berkembang hingga buah menjadi busuk total. Gambar laju perkembangan gejala serangan P. palmivora pada buah kakao Criollo dan Forastero disajikan pada Lampiran 5 Gambar 3. Penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Sulaksono, Toana, La alang, Leny dan Salmina (1999) yang melaporkan bahwa percobaan dengan tipe morfologi buah berpengaruh nyata terhadap ketahanan buah yang diukur dengan luas bercak infeksi.

Gambar 4 menunjukkan bahwa adanya perbedaan perkembangan diameter bercak diantara sampel buah Criollo dan Forastero. Dari 6 sampel buah Criollo yang digunakan, sampel C2 menunjukkan laju perkembangan bercak yang sangat cepat (2,21 cm/hari) dan pada sampel C6 laju perkembangan bercak cukup lambat (0,99 cm/hari), begitu juga dengan kakao Forastero, sampel F2 menunjukkan perkembangan bercak yang cukup cepat (1,70 cm/hari) dan sampel F4 perkembangan bercaknya cukup lambat (0,98 cm/hari). Hal ini menunjukkan bahwa ketahanan kakao dalam mempertahankan diri dari serangan patogen. berbeda antara buah kakao.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada buah kakao yang toleran dan rentan terhadap serangan P. palmivora dari kakao Criollo maupun Forastero. Hal ini berhubungan dengan mekanisme ketahanan struktural maupun biokimiawi. P.palmivora tetap mampu menginfeksi buah kakao Criollo dan Forastero yang tahan dan yang rentan, tetapi penyebaran patogen pada kakao yang rentan berbeda dengan yang tahan (Tarjot, 1974). Buah kakao yang rentan terhadap P. palmivora sel yang terinfeksi menjadi rusak dengan cepat dan terlihat adanya bercak kecoklatan, sehingga perkembangan busuk buah berlangsung cepat. Kakao yang tahan terhadap P. palmivora jika terinfeksi patogennya akan bertahan lama didalam sel sebelum munculnya nekrosis. Perpindahan patogen antar sel menjadi terhambat sehingga perkembangan busuk buah juga melambat.

(8)

Senyawa fenolik yang terdapat pada tumbuhan tidak sehat tetapi dihasilkan setelah terjadi infeksi ialah fitoaleksin. Fitoaleksin dihasilkan oleh sel sehat yang berdekatan dengan sel-sel rusak dan nekrotik untuk mencegah patogen berkembang. Selain senyawa-senyawa tersebut, ada beberapa senyawa protein yang sudah diidentifikasi dan berhubungan dengan tingkat ketahanan yaitu, glukanase, kitinase dan peroksidase. Rubiyo (2009b) melaporkan bahwa aktifitas kitinase dan peroksidase terhadap klon kakao yang diuji menunjukkan adanya peran kitinase pada ketahanan kakao terhadap infeksi P. palmivora. Peningkatan aktifitas kitinase pada klon yang tahan umumnya konsisten meningkat. Begitu juga pada enzim peroksidase.

C. Hubungan antara Intensitas Serangan pada Buah terhadap Bobot Biji. Hubungan antara intensitas serangan terhadap bobot biji kakao jenis Criollo dan Forastero menunjukkan hasil yang berbeda pada setiap intensitas serangan. Untuk lebih jelasnya, berat bobot biji akibat serangan P. palmivora disajikan pada Tabel 2.

Tabel 3. Bobot biji buah kakao akibat serangan jamur Phytophthora palmivora. Intensitas serangan (%) Bobot biji (g/buah)

Criollo Forastero 0 >0 –25 >25 – 50 >50 – 75 >75 – 100 41,12 38,90 21,44 24,48 17,24 19,67 15,32 14,11 13,69 12,48

Tabel 3 menunjukkan bahwa penurunan bobot biji mulai terlihat pada intensitas serangan buah >0–25%, pada intensitas serangan tersebut, kakao Criollo mengalami penurunan bobot biji dari 41,12 menjadi 21,44 g/buah, pada kakao Forastero mengalami penurunan bobot biji dari 38,90 menjadi 24,48 g/buah. Penurunan bobot biji ini semakin bertambah seiring dengan meningkatnya intensitas serangan. Pada kakao Criollo dengan tingkat intensitas serangan >75-100 %, bobot biji menurun menjadi 14,11 g/buah, pada kakao Forastero bobot biji menurun menjadi 12,48 g/buah.

Penurunan bobot biji ini berkaitan dengan pembusukan biji akibat serangan P. palmivora yang dapat ditemukan pada semua tingkatan umur buah sejak buah masih muda sampai menjelang masak. Ritonga (2013) melaporkan bahwa patogen ini menyerang jaringan internal buah dan menyebabkan biji kakao berkerut dan berubah warna (Gambar 5). Jika dijemur biji akan berkerut dan bobotnya semakin ringan sehingga dapat menyebabkan kerugian total.

(9)

Gambar 5. Serangan Phytophthora palmivora pada buah muda (A), pembusukan pada biji (B), biji menjadi hitam dan berkerut (C).

Penurunan bobot biji mulai terlihat pada tingkat kerusakan >0 – 25%. Hal ini disebabkan karena serangan P. palmivora di pertanaman kakao menyerang pada semua tingkatan umur buah kakao Criollo maupun Forastero. Namun, umumnya jamur ini menyerang buah yang masih muda atau buah yang sedang berkembang. Hal ini disebabkan karena buah yang masih muda memiliki kulit buah yang masih lunak dan ketahanannya terhadap serangan patogen masih rendah. Jika hal ini terjadi maka petani tidak dapat memanen buah tersebut dan dapat menyebabkan kerugian total.

D. Hubungan antara Intensitas Serangan dengan Kehilangan Hasil

Hubungan antara intensitas serangan pada buah dengan kehilangan hasil pada kakao Criollo menunjukkan pola persamaan garis linear Y= 0,12x + 18,08 dengan R2 = 0,96 dan pada kakao Forastero, menunjukkan persamaan garis linear Y= 0,21x + 10,82 dengan R2 = 0,97.

Gambar 6. Hubungan intensitas serangan pada buah dengan kehilangan hasil (g/buah).

(10)

Kehilangan hasil berdasarkan persamaan garis linear tersebut menunjukkan bahwa peningkatan intensitas serangan diiringi dengan meningkatnya kehilangan hasil. Berdasarkan nilai intensitas tersebut, dapat diasumsikan bahwa pada kakao Criollo maupun Forastero intensitas serangan yang kurang dari 10 % tidak berpengaruh terhadap kehilangan hasil dan intensitas yang lebih besar dari 10 % akan mempengaruhi tingkat kehilangan hasil. Mulai dari 18,08 g/buah pada kakao Criollo, kehilangan hasil akan bertambah 0,12 g/buah untuk setiap kenaikan 1% intensitas serangan dan pada kakao Forastero dimulai dari 10,82 g/buah kehilangan hasil akan bertambah 0,21 g/buah untuk setiap kenaikan 1% intensitas serangan. Nilai korelasi untuk kakao Criollo dan Forastero cukup besar (0,96 dan 0,97), maka dapat diartikan bahwa hubungan antara intensitas serangan P. palmivora dengan kehilangan hasil pada kakao di Kecamatan Ranah Batahan cukup erat.

Tabel 4. Dugaan persentase kehilangan hasil (g/buah) yang disebabkan oleh Phytophthora palmivora berdasarkan persamaan linear Y= 0,12x + 18,08 dan Y= 0,21x + 10,82.

Jenis kakao

Intensitas serangan Kehilangan hasil menurut persamaan garis linear Interval (%) Rata-rata (%) …g… ...%... Criollo 0 – 10 7,97 19,03 46,27 >10 – 20 15,31 19,91 48,41 >20 – 30 25,56 21,14 51,41 >30 – 40 35,42 22,33 54,30 >40 – 50 50,00 24,08 58,56 Forastero 0 – 10 6,17 12,11 31,13 >10 – 20 15,96 14,17 36,42 >20 – 30 24,60 15,98 41,07 >30 – 40 34,54 18,28 46,99 >40 – 50 48,98 21,10 54,24

Intensitas serangan 7,97-50,00% untuk kakao Criollo menyebabkan kehilangan hasil 46,27–58,56%, sedangkan pada kakao Forastero intensitas serangan 16,17 – 48,98% menyebabkan kehilangan hasil 31,13-54,24% (Tabel 4). Hal ini berhubungan dengan penjelasan sebelumnya bahwa besarnya intensitas serangan akan diiringi dengan meningkatnya kehilangan hasil. Semakin meluasnya jaringan yang rusak akibat infeksi jamur P. palmivora maka penurunan bobot biji akibat pembusukan akan semakin tinggi. Ningsih (2011) berpendapat apabila bercak semakin meluas, maka pembusukan biji dalam buah akan semakin meluas pula.

(11)

E. Identifikasi Morfologi Jamur P. palmivora.

Gambar 7. Bentuk dan morfologi spora Phytophthora palmivora. Buah kakao yang terserang P.palmivora (A), gumpalan sporangia pada miselium (B), klamidospore (C.a), papilla (C.b), sporangium (C.c).

Jamur yang dominan ditemukan pada penyebab busuk buah kakao adalah jamur P. palmivora. Hasil pengamatan yang dilakukan secara mikroskopis terhadap P. palmivora memiliki karakter hifa yang bercabang dan tidak bersekat, sporangium berbentuk ovoid dan terdapat papilia pada ujungnya (Gambar 7 C.b). Klamidospore berbentuk bulat dengan dinding yang agak tebal (Gambar 7 C.a). Hasil pengamatan ini sesuai dengan pendapat Motulo et al., (2007) yang telah mendeskripsikan ciri morfologi dari P. palmivora yaitu, sporangianya mempunyai papilla yang mencolok. Bentuk sporangia sangat beragam tergantung pada isolatnya, pada umumnya berbentuk elipsoid sampai ke ovoid dan mempunyai papilla yang menonjol. Klasifikasi morfologi jamur Phytopthora yang dilakukan oleh Waterhouse (1963) juga menunjukkan bahwa ciri yang khas dari sporangia P. palmivora adalah mempunyai papilla yang jelas pada ujung sporangiumnya. Papilla ini berfungsi untuk tempat keluarnya zoospore dari sporangium. Klamidospore merupakan spora yang berdinding tebal dan berfungsi sebagai spora resisten. Klamidospore biasanya terbentuk pada interkalar (terbentuk diantara hifa) atau terminal (pada ujung hifa), membentuk dinding tebal dan membulat.

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa intensitas serangan P. palmivora pada tanaman kakao di Kecamatan Ranah Batahan pada kakao Criollo mencapai 28,70% dengan kehilangan hasil 52,33% dan pada kakao Forastero intensitas serangan mencapai 35,54% dengan kehilangan hasil 46,99%.

A B C

a b

(12)

B. Saran

1. Petani dianjurkan untuk menanam kakao jenis Forastero karena kakao Forastero memiliki tingkat produksi yang lebih tinggi dan lebih toleran terhadap infeksi jamur P. palmivora.

2. Perlu adanya peningkatan dan perbaikan cara budidaya kakao bagi petani agar penyakit busuk buah dan kehilangan hasil bisa ditekan dan diharapkan untuk melakukan penelitian selanjutnya terhadap beberapa klon kakao dari jenis Criollo maupun Forastero yang mempunyai tingkat ketahanan lebih tinggi untuk mendapatkan bibit unggul yang resisten terhadap serangan P. palmivora.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. Biologi Penyakit Phytophthora palmivora Busuk Buah Kakao penyakitphytophthora-palmivora.html: diakses pada tanggal 16 Desember 2012.

______.2011. Buku Panduan Teknis Budidaya Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.). Gerakan Nasional Peningkatan produksi dan Mutu Kakao: 2011. 75 hal.

______.2012. Kuisioner Statistik Perkebunan. Kecamatan Ranah Batahan Kabupaten Pasaman Barat: 2012.

______.2012a. Isolasi Buah Kakao yang Terserang Phytophthora Palmivora. http://patrayasa.blogspot.com/2012/06/isolasi-buah-kako-yang terserang: diakses pada tanggal 16 Desember 2012.

______.2012b.KlasifikasiKakao.(http://informasi.budidaya.blogspot.

com/2008/03 klasifikasi-tanaman- kakao-anatomi-buah.html: diakses pada tanggal 16 Desember 2012.

Asaad, Aliem, B., Nurjanani, dan Warda. 2010. Kajian Pengendalian Penyakit Busuk Buah Kakao Phytophthora sp. Menggunakan Trichoderma dan Kombinasinya Dengan Penyarungan Buah. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PBJ dan PFJ XX Komisariat Daerah Sulawesi Selatan: Hal 276-280.

Baharudin, A. Purwantara, S. Ilyas, dan M.R., Suhartanto. 2012. Isolasi dan Identifikasi Cendawan Terbawa Benih Kakao Hibrida. Jurnal Litri. (18)1. Maret 2012: Hal. 40-46.

Darmono,T. W, Jamil, I. dan Andreas, D. 2006. Pengembangan Penanda Molekuler untuk Deteksi Phytophthora Palmivora pada Tanaman Kakao. Faperta IPB.Menara Perkebunan 2006 74(2): 87-96 hlm.

(13)

Deberdt, P., Mfegue, C.V., Tondje, P.R., Bon, M.C., Ducamp, M., Hurard, C., Begoude, B.A.D., Ndoumbe-Nkeng, M., Hebbar, P.K and Cilas, C. 2008. Impact of environmental factors, chemical fungicide and biological control on cacao pod production dynamics and black pod disease (Phytophthora megakarya) in Cameroon. Biological Control 44:149-159.

Dinas Perkebunan Kabupaten Pasaman Barat. 2004-2012. Pasaman Barat Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Pasaman Barat. Provinsi Sumatera Barat.

Dinas Perkebunan Sumatera Barat. 2010. Perkembangan Luas dan Produksi Komoditi Perkebunan di Sumatera Barat 25Agustus 2010: Diakses pada tanggal 20 Desember 2012.

Direktorat Jenderal Perkebunan .2010. Statistik Perkebunan Indonesia. DepartemenPertanian.http://regionalinvestment.bk.go.id/newsipid/id/com modityarea.php?ia=13&ic=3: Diakses pada tanggal 16 Desember 2012.

Drenth, A. and Guest, D. I. 2004. Diversity and Management of Phytophthora in Southeast Asia. ACIAR Monograph N0. 114, 238p.

Drenth, A. and Sendall, B. 2004. Isolation of Phytopthora from Infected Plant Tissue and Soil, and Principles of Species Identification. In: Diversity and Management of Phytophthora in Southeast Asia. ACIAR Monograph N0. 114, 238p.

Gregory, P.H., Griffin, M.J., Maddison, A.C. dan Ward, M.R. 1984. Cocoa Blak Pod: a reinterpretation. Cocoa Growers Bulletin. 35 – 21p.

Hariyadi, Sehabudin, U. dan Winasa, I.W. 2009. Identifikasi Permasalahan dan Solusi Pengembangan Perkebunan Kakao Rakyat Di Kabupaten Luwu Utara Provinsi Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian IPB 2009: 21 hlm.

Hartanto. H. 2012. Identifikasi Potensi Anti Oksidan Minuman Coklat dari Kakao Lindak (Theobroma cacao. L) Dengan Berbagai Cara Preparasi: Metode Radikal Bebas 1, 1 Diphenyl-2- Picry Lhydrazil (DPPH). Skripsi. Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya: 71 hlm.

Hartati, L. 2011. Mengenal Organisme Penganggu Tumbuhan Karantina Golongan Cendawan. POPT Balai Besar Karantina Pertanian: Belawan. Hidayah. 2011. Busuk Buah Kakao dan Upaya Pengendalian. Diakses pada

tanggal 25 Juni 2013.

Karmawati, E., Mahmud, Z., Syakir, M., Munarso, J., Ardana, K. dan Rubiyo. 2010. Budidaya dan Pasca Panen Kakao. Puslitbang Perkebunan. Bogor: 92 hal

(14)

Kebe, I.B., Goran jakn, G.H., Tahi, D, Paulin, Clement, D. and Eskes, A.B. 1999. Phatology and Breeding for Resistance Black Pod: a reintertation. Cocoa Growers Bulletin. 35,5-21.

Kurniasih. 2012. Pemanfaatan Marka Molekuler Untuk Mendukung Perakitan Kultivar Unggul Kakao (Theobroma cacao. L). Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana. IPB.

Mahon, MC. dan Purwarntara, A. 2004. Phytophthora On Cocoa. In: Diversity and Management of Phytophthora in Southeast Asia. ACIAR Monograph N0. 114, 238p.

Mardinus. 2006. Jamur Patogenik Tumbuahan. Andalas University Press. Kampus Unand Limau Manis.

Motulo, H,. Sinaga, M., Hartono, A, Sustika, G. Aswidinnoor, H. 2007. Karakter Morfologi dan Molekuler Isolat Pytophthora palmivora Asal Kelapa dan Kakao. Jurnal Litri Vol. 13 No. 3: September 2007. 111-118 hlm.

Ningsih, L.O. 2011. Identifikasi Beberapa Penyakit Pada Tanaman Kakao (Theobroma cacao.L) di Desa Bayur Kecamatan Samarinda Utara. Bioprospek Vol. 8 No. 11: September 2011.

Nurmansyah. 2010. Efektifitas Minyak Seraiwangi dan Fraksi Sitronellal terhadap Pertumbuhan Jamur P.palmivora Penyebab Penyakit Busuk Buah Kakao. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Solok. Bul.Littro. Vol.21. No.1:Hal. 43-53.

Ramlan. 2010. Pengelolaan Penyakit Busuk Buah Kakao .Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PBJ dan PFJ XX Komisariat Daerah Sulawesi Selatan: 380-387 hlm.

Rivai, F .2006. Kehilangan Hasil Akibat Penyakit Tanaman. Andalas University Press: UNAND. 281 hlm.

Rivai, F. 2003. Epidemiologi Penyakit Tanaman. Universitas Putra Indonesia (UPI) YPTK: Padang-press. 204 hlm.

Rubiyo, Purwantara, A. dan Sudarsono. 2010. Ketahanan 35 Klon Kakao terhadap Infeksi Phytophthora palmivora Butl Berdasarkan Uji Detached Pod. Jurnal litri Vol.16. No. 4 Desember 2010: 172-178 hlm.

Rubiyo. 2009a. Kajian Genetika Ketahanan Tanaman Kakao (Theobroma Cacao L.) Terhadap Penyakit Busuk Buah di Indonesia. Institut Pertanian Bogor: Diakses pada tanggal 20 Desember 2012.

(15)

Rubiyo. 2009b. Aktivitas Enzim Kitinase, Peroksidase serta Kerapatan Stomata pada Ketahanan Kakao (Treobroma cacao L) terhadap Penyakit Busuk Buah (Phytophthora palmivora). Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana: IPB. Rusliana, E. M. S. 1998. Ekstrak Kulit Buah Kakao (Theobroma cacao. L).

Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian: IPB.

Semangun, H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan Di Indonesia. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. 835 hlm.

Siswanto dan Karmawati, E. 2011. Percepatn Adopsi Teknologi PHT Kakao di Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Perkebunan 2011. 147-155 hlm.

Sri-Sukamto dan Pujiastuti, D. 2004. Keefektifan beberapa bahan pengendali penyakit busuk buah kakao Phytophthora palmivora. Pelita Perkebunan 20(3):132-142.

Statistik Pertanian. 2012. Potensi Kakao di Sumatera Barat. Kementrian Pertanian. Jakarta Selatan. Diakses pada tanggal 4 Oktober 2013.

Sudjud, S., Sastrahidayat, I.R., Mudjiono, G. dan Muhibuddin, A. 2013. The Intensity Distribution of Cacao Pod Rot Disease (Phytophthora Palmivora. Butl) in Smallholder Plantation in North Maluku Indonesia. Jurnal of Biologi Agricultural and Healthcare Vol.3 No.7. 2013.

Sulaksono, P., Toana, M.H., La alang, D., Lenny, P.C. dan Salmina, M. 1999. Hubungan Antara Tipe Morfologi dan Umur Buah Kakao dengan Ketahanan Buah terhadap Infeksi oleh Phytophthora Palmivora Butl. Prosiding Seminar Nasional, 1999. Palu.

Tarjot, M,. 1974. Physiologi of Fungus. In: P.H. Gregory (ed). Phytophthora Disease of Cocoa: 103-116. Longman London.

Tondok, E. T,. 2012. Aksosiasi Faktor Lingkungan dan Praktek Budidaya dengan Epidemi Penyakit Busuk Buah Kakao: Studi Kasus di Tepi Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana: IPB.

Tumpal, H.S., Riyadi, S., dan Nuraeni, L. 2012. Budi Daya Cokelat. Penebar Swadaya: Jakarta. 172 hal.

Waterhouse, G.M. 1963. Key to The Species of Phytophthora de Bary. In: Kew Surrey, England: Commonwealth Micological Institut, Micological Paper.

Gambar

Tabel 1. Persentase serangan Phytophthora palmivora  Jenis  kakao  Sampel  Total  sampel  Jumlah  terserang  Persentase serangan (%)  Criollo  a
Gambar 4. Laju perkembangan penyakit busuk buah kakao (cm/hari). Kakao jenis   Criollo (A)
Tabel 3. Bobot biji buah kakao akibat serangan jamur Phytophthora palmivora.
Gambar  6.  Hubungan  intensitas  serangan  pada  buah  dengan  kehilangan  hasil  (g/buah)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Basel adalah strategi yang termasuk dalam tiga strategi utama untuk pengembangan pertanian padi berdasarkan preferensi petani di daerah pertanian belum berkembang (Tabel 16).

MIKA (Mikroorganisme akar) dihasilkan melalui proses fermentasi larutan akar tanaman dengan penambahan larutan nutrisi untuk mengembangbiakkan bakteri endofit yang berada

jumlah spesies 6 jenis dari famili Poma- centridae, Scaridae dan Siganidae. Kelimpahan ikan herbivora dan tutupan karang hidup berpengaruh negatif terhadap

Model pembelajaran kooperatif jigsaw adalah tipe pembelajaran kooperatif yang mendorong beberapa anggota dalam suatu kelompok atau sebagai tim ahli yang

Apabila dimaknai secara leksikal meskipun pada dasarnya, maka makna yang muncul menjadi tidak masuk akal ketika melekatkan konsep kata fire pada kata I .Untuk

Hal tersebut yang menjadi pertimbangan penulis untuk mengembangkan sistem registrasi KRS yang memanfaatkan teknologi wireless yaitu teknologi J2ME, untuk memudahkan mahasiswa

Survey GPS untuk pemantauan penurunan muka tanah yang dilakukan di Jakarta ini telah dilakukan tiga belas kali dimulai dari tahun 1997 sampai dengan tahun 2011, seperti

di kelompok A TK Abdhu Sallam Banjarmasin diperoleh kesimpulan bahwa pemahaman konsep bilangan anak masih rendah, anak mengalami kesulitan dalam menunjukkan bilangan 1-10