• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. METODE PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IV. METODE PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

IV

. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Gunung Endut yang merupakan bagian dari Taman Nasional Gunung Halimun Salak, yaitu dalam Resort Cisoka, Wilayah Lebak. Secara administratif, lokasi penelitian berada di Kabupaten Lebak, Banten. Waktu penelitian di lapangan diselesaikan dari bulan Januari 2008 sampai Agustus 2009.

B. Bahan dan Alat Penelitian

1. Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : (a).Data citra dijital satelit Landsat ETM tahun 2007 yang diperoleh dari Taman Nasional Gunung Halimun Salak; (b). Peta kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak skala 1 : 50.000, Citra QuikBird (Earthline) tahun 2006, peta dijital kontur, peta administrasi, dan peta jenis tanah kawasan Gunung Endut dari GHSNP.MP-JICA; (c). Data curah hujan kawasan Gunung Endut yang diperoleh dari Perkebunan Teh PT Nirmala Agung; (d). Bahan untuk pembuatan herbarium : alkohol 70 %, label gantung, sasak bambu, koran bekas, kertas karton, kantong plastik besar, kantong plastik berbagai ukuran dan kantong plastik sampah/kantong urea.

2. Alat Penelitian

Alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : (a). Perangkat komputer desktop Pentium IV dengan Ram 500 Mb dan Harddisk 40 Gb, perangkat lunak Microsoft Office 2007, Arc View ver.3.3 beserta file ekstensionnya, dan SPSS ver.13; (b) Alat pengecekan lapangan : GPS Garmin, abney level, kompas geologi, klinometer sunto, altimeter; (c) Alat dokumentasi : kamera dijital; (d) Peralatan inventarisasi vegetasi : kompas, meteran panjang (50 m),

(2)

meteran pendek (10 m) dari logam, pita diameter, gunting stek, patok-patok dari bambu/kayu; (e). Alat tulis menulis; dan (f)Peralatan jelajah lapangan.

C. Cara Kerja

1. Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kondisi lapangan tempat pengambilan data akan dilaksanakan. Termasuk dalam kegiatan ini adalah pengambilan data sekunder dari berbagai instansi yang terkait dan penduduk di sekitar kawasan Gunung Endut. Peta digital Gunung Endut diperoleh dari Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

2. Penentuan Area Kajian di Kawasan Gunung Endut

Vegetasi di area penelitian dikaji dengan membuat plot ukur secara systematic sampling. Tiga buah transek berukuran 10 x 2000 m dengan interval (sejajar) 200 m masing-masing diletakkan pada empat tempat di kawasan Gunung Endut, yaitu di bagian utara, selatan, barat dan timur, sehingga seluruh kawasan Gunung Endut dapat terwakili. Titik awal peletakan jalur pada puncak Gunung Endut (1297 m dpl), kemudian menurun dengan memotong tegak lurus topografi dan berakhir sesudah menempuh jarak 2000 m.

Untuk memudahkan kajian vegetasi maka pada setiap transek penelitian dibagi menjadi 5 buah blok penelitian yang masing-masing berukuran 10 x 400 m. Pada masing-masing blok tersebut dibuat plot-plot penelitian berukuran 10 x 10 m (data pohon) sebanyak 40 buah, dan di dalam petak 10 x 10 m dibuat lagi plot berukuran 5 x 5 m (data belta) dan 2 x 2 m (data semai/herba) secara sistimatis. Dengan demikian untuk keempat kawasan Gunung Endut terdapat 60 buah blok penelitian dengan luas sampling keseluruhan 24 Ha. Desain plot penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.

(3)

Keterangan : Plot ukur ukuran 10 x 10 m digunakan untuk pengambilan data pohon. Plot ukur ukuran 5 x 5 m digunakan untuk pengambilan data belta. Plot ukur ukuran2 x 2 m digunakan untuk pengambilan data semai/herba.

Gambar 5. Desain Plot Penelitian di Lapangan.

3. Teknik Pengambilan Data Lapangan a. Data Vegetasi

Data primer diperoleh melalui pencacahan lapangan yang dilakukan di setiap plot. Data yang dicatat adalah vegetasi tingkat pohon, belta, semai dan herba. Pengambilan data tumbuhan pohon dilakukan di dalam plot ukuran 10 x 10 m. Setiap pohon yang ada di dalam plot diukur diameternya pada ketinggian setinggi dada dan kemudian diidentifikasi sampai tingkat jenis. Selanjutnya, pada setiap pohon yang ditemukan di dalam plot, dicatat kehadiran maupun ketidakhadiran jenis tumbuhan dengan bentuk hidup liana dan epifit, serta ada atau tidaknya akar banir pada pohon tersebut.

Pada penelitian ini, yang dimaksud dengan tumbuhan pohon adalah semua tumbuhan berkayu dengan diameter setinggi dada (dbh) ≥ 10 cm. Ketentuan di dalam pengukuran diameter pohon adalah sebagai berikut :

Pengukuran dilakukan pada setinggi dada (130 cm di atas permukaan tanah). Untuk pohon yang berbanir lebih dari 130 cm di atas permukaan tanah, pengukuran dilakukan 20 cm di atas banir. Pohon yang bercabang, apabila letak percabangan lebih tinggi dari 130 cm maka pengukuran dilakukan setinggi 130 cm, sedangkan apabila tinggi percabangan di bawah 130 cm dari permukaan tanah, maka pengukuran dilakukan terhadap kedua cabangnya. Pengukuran diameter pohon yang berada pada permukaan tanah yang miring dilakukan di sebelah atasnya searah dengan

(4)

menurunnya lereng. Apabila setengah atau lebih dari garis menengah pohon tersebut masuk ke dalam plot, maka pengukuran terhadap diameternya dilakukan, namun jika sebaliknya tidak dilakukan.

Data tumbuhan belta diperoleh dari plot ukuran 5 x 5 m. Diameter belta adalah 2 - < 10 cm dan diukur 50 cm dari permukaan tanah. Tumbuhan bambu dan rotan diperlakukan sebagai belta.

Data tumbuhan semai dan herba diperoleh dari plot ukuran 2 x 2 m. Pengambilan data dilakukan dengan menentukan luas penutupan tajuk dari setiap tumbuhan semai dan herba yang ditemukan dan kemudian diidentifikasi sampai pada tingkat jenis. Tumbuhan herba adalah tumbuhan yang tidak memiliki bagian tubuh yang berkayu.

Dominansi vegetasi pohon dan belta ditentukan berdasarkan basal area, sedangkan untuk semai dan herba, dominansi ditentukan berdasarkan luas penutupan tajuk terhadap plot penelitian. Kerapatan yang diamati berdasarkan jumlah individu jenis yang hadir dalam setiap plot penelitian. Pengamatan terhadap kerapatan tidak dilakukan untuk vegetasi semai dan herba. Frekuensi ditentukan berdasarkan kehadiran setiap jenis di dalam plot penelitian. Data tumbuhan yang diambil juga termasuk data tumbuhan yang dibudidayakan oleh masyarakat setempat.

Untuk keperluan penentuan tipe vegetasi pada tingkat Aliansi dan Asosiasi, maka pada setiap plot ukuran 10 x 10 m dicatat setiap jenis tumbuhan yang hadir pada setiap strata dan kemudian menaksir luas penutupan tajuk dari setiap jenis tumbuhan tersebut. Penaksiran dilakukan dengan mengacu pada skala Braun-Blanquet. Penaksiran juga dilakukan tehadap ketinggian dari setiap strata pohon, belta, semai dan herba.

b. Data Lingkungan Abiotik

Data lingkungan abiotik yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi : 1. Koordinat geografis dan ketinggian tempat dari plot penelitian dengan

(5)

2. Data tanah, yang dilakukan dengan cara mengambil contoh tanah utuh dan 2 contoh tanah biasa pada setiap blok pengamatan. Kedua contoh tanah biasa kemudian dicampur sehingga menjadi contoh komposit. Data pH dan lengas tanah ditentukan langsung di lapangan dengan menggunakan peralatan soil tester. Data tanah lain yang dianalisis adalah tekstur tanah, kandungan C organik total, N total, P,K, dan Al.

3. Data taksiran persentasi luas penutupan plot yang tidak bervegetasi yang terdiri dari : (a) tanah terbuka; (2) tertutup oleh lapisan serasah, dan (3) tertutup oleh bebatuan.

4. Data berbagai gangguan yang terjadi pada plot pengamatan, yang terdiri atas : (a) kebakaran, (b) penyakit tumbuhan, (c) herbivora oleh hewan domestik, ( d) herbivore oleh satwa liar, (e) longsor, (f) banjir, (g) pembalakan liar, dan (h) perambahan. Data yang dikumpulkan berupa ada atau tidaknya kejadian gangguan pada plot penelitian. Data di atas diperoleh dengan pengamatan langsung di lapangan dan juga melalui keterangan penduduk di sekitar kawasan, dan dari petugas/jagawana Taman Nasional

5. Kemiringan dan panjang lereng plot penelitian.

c. Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari stasiun klimatologi terdekat yaitu data klimatologi kawasan penelitian yang mencakup : (1) Curah hujan rata-rata tahunan (mm); dan (2) jumlah bulan kering dalam setahun. Data lain dari Taman Nasional dan penduduk setempat berupa : (1) jenis-jenis satwa yang mendiami kawasan penelitian, (2) berbagai aktivitas manusia di kawasan penelitian, dan (3) peristiwa alam yang berlangsung pada kawasan penelitian.

4. Analisis Data

a. Kajian Komposisi Jenis Vegetasi

Komposisi jenis yang menyusun vegetasi pada area kajian dapat diketahui dari daftar jenis yang dicatat dari pengamatan di lapangan. Identifikasi pohon, belta,

(6)

semai dan herba langsung dilakukan di lapangan. Jenis tumbuhan yang tidak dapat diketahui namanya, dibuat herbariumnya dan kemudian diidentifikasi di Herbarium Bogoriense, Puslit Biologi LIPI dengan menggunakan buku-buku acuan Flora of Java (Backer & Bakhuizen van den Brink 1963 – 1968) dan Index Kewensis.

b. Penentuan penutupan tajuk strata vegetasi

Kajian ini akan menghasilkan data yang akan dimanfaatkan dalam klasifikasi vegetasi. Kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut :

a. Setiap jenis tumbuhan ditentukan rata-rata derajat penutupannya berdasarkan skala Braun-Blanquet

b. Berikutnya menghitung total rata-rata derajat penutupan besaran Braun-Blanquet

c. Menghitung total rata-rata derajat penutupan setiap jenis pada setiap plot dan untuk seluruh blok pengamatan

d. Langkah selanjutnya adalah menghitung prosentase penutupan masing-masing jenis terhadap luas plot. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :

Jumlah rata2 penutupan suatu jenis

% penutupan jenis = _______________________________ x 100 % Jumlah rata2 penutupan seluruh jenis

e. Penaksiran rata-rata penutupan setiap strata dilakukan dengan cara yang sama

f. Penaksiran rata-rata penutupan tanah tanpa vegetasi juga dilakukan dengan cara yang sama dengan langkah a sampai e.

(7)

c. Kajian Kemelimpahan dan Struktur Vegetasi

(1) Kemelimpahan Jenis Penyusun Vegetasi

Perhitungan kemelimpahan jenis di area kajian ditentukan berdasarkan kepentingan relatif dari jenis - jenis yang menyusun vegetasi dengan rumus-rumus berikut. Penentuan basal area pohon dihitung dengan rumus dari Mueller-Dombois & Ellenberg (1974) sebagai berikut :

b a = ( ½ d )² π

Keterangan : ba = basal area = luas penutupan bidang dasar; d = diameter batang setinggi dada (diukur pada ketinggian 130 cm dari permukaan tanah); dan π = 3,142875

Luas penutupan tajuk vegetasi herba dapat diketahui dengan menentukan prosentase luas penutupan tajuk herba terhadap alat kuadrat. Nilai yang diperoleh kemudian dikonversi ke skala Braun-Blanquet (Tabel 3).

Tabel 3. Kisaran Penutupan Tajuk Braun-Blanquet Kelas Penutupan Tajuk Kisaran Penutupan Tajuk

(%) Rata-rata 5 4 3 2 1 + R 75 – 100 50 – 75 25 – 50 5 – 25 1 – 5 < 1 << 1 87,5 62,5 37,5 15,0 2,5 0,1 * Keterangan : * Individu muncul hanya sekali, penutupan diabaikan

Langkah-langkah yang diperlukan untuk menghitung indeks nilai penting setiap jenis dilakukan dengan menggunakan serangkaian rumus-rumus yang dikemukakan oleh Cox ( 2002 ) dan Kusmana (1997) sebagai berikut :

Jumlah individu suatu jenis Kerapatan = __________________________ Luas petak contoh

(8)

Kerapatan mutlak suatu jenis

Kerapatan Relatif = _____________________________ x 100 % Kerapatan total seluruh jenis

Jumlah sub petak contoh suatu jenis hadir Frekuensi = __________________________________ Jumlah seluruh petak contoh

Frekuensi mutlak suatu jenis

Frekuensi Relatif = ___________________________ x 100 % Jumlah frekuensi seluruh jenis

Jumlah luas penutupan suatu jenis Dominansi = ______________________________ Luas petak contoh

Dominansi mutlak suatu jenis

Dominansi Relatif = _______________________________ x 100 % Jumlah dominansi seluruh jenis

Ketentuan yang digunakan dalam penentuan indeks nilai penting setiap strata adalah untuk pohon dan belta rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :

Indeks nilai penting = kerapatan relatif + frekuensi relatif + dominansi relatif. Adapun untuk tumbuhan semai dan herba, indeks nilai penting dihitung dari dominansi relatif dan frekuensi relatif, dengan rumus sebagai berikut :

Indeks nilai penting = dominansi relatif + frekuensi relatif

(2) Sebaran diameter kelas pohon

Struktur tegakan secara horizontal dari tegakan pohon juga dapat diketahui dengan mengkaji sebaran diameter dari setiap individu pohon yang ditemukan di dalam blok penelitian. Pada setiap blok penelitian, ditentukan kelas diameter dari setiap pohon yang ada di lokasi tersebut. Kelas diameter dibagi menjadi beberapa

(9)

kelas, yaitu kelas 10 – 19 cm, 20 – 29 cm, 30 – 39 cm, 40 – 49 cm, 50 – 59 cm, 60 – 69 cm, 70 – 79 cm, dan ≥80 cm.

Jika seluruh jenis pohon di dalam tegakan dikaji secara bersamaan sebaran kelas diameternya, maka akan diperoleh sebaran kelas diameter untuk tegakan, sedangkan jika dikaji sebaran diameter per jenis pohon maka akan diperoleh sebaran kelas diameter populasi.

(3). Indeks keanekaragaman Jenis

(a) Indeks keanekaragaman Jenis Shannon-Wienner

Indeks keanekaragaman jenis dihitung dengan menggunakan rumus Shannon-Wienner sebagai berikut :

H’ = - Σ pi ln pi (Michael 1984)

Keterangan : H’ = Indeks keanekaragaman jenis; pi = n/N; dimana n adalah indeks nilai penting suatu jenis dan N adalah total nilai penting seluruh jenis.

(b) Indeks kemerataan jenis

Indeks kemerataan jenis dihitung dengan rumus Pielou dalam Odum (1993), yaitu : H’

e = _________ Log s

Keterangan : e = Indeks kemerataan; H’ = Indeks keanekaragaman jenis; s = total kerapatan seluruh jenis pada suatu unit ekologi (untuk pohon dan belta) atau total dominansi seluruh jenis pada suatu unit ekologi (untuk semai dan herba).

(c) Indeks kekayaan jenis

Indeks kekayaan jenis dihitung dengan menggunakan rumus Menhinick dalam Ludwig dan Reynolds (1988) sebagai berikut :

(10)

S R =________ √ n

Keterangan : R = Indeks kekayaan jenis; S = Jumlah jenis; dan n = jumlah individu seluruh jenis (untuk pohon dan belta) atau jumlah dominansi seluruh jenis (untuk semai dan herba).

d. Analisis Data Tanah

Data pH dan lengas tanah ditentukan langsung di lapangan dengan menggunakan peralatan soil tester, sedangkan data jenis diketahui melalui operasi tumpang susun antara peta jenis tanah kawasan Gunung Endut dengan peta administrasi kawasan Gunung Endut. Data tanah lainnya yang dianalisis adalah tekstur tanah, kandungan C organic total, N total, P, K dan Al. Analisis tanah selain pH dan lengas dilakukan di laboratorium ilmu tanah IPB. Seluruh data lingkungan abiotik akan dijadikan data bertipe kategori sehingga dapat dimanfaatkan untuk penentuan unit asosiasi dari suatu tipe bervegetasi.

e. Penentuan Tipe Vegetasi Kawasan Gunung Endut

Tipe vegetasi pada setiap blok pengamatan diklasifikasi dengan mengacu pada kunci vegetasi UNESCO (Mueller-Dombois & Ellenberg 1974 a), dan NVCS (Tabel 4). Blok-blok penelitian yang memiliki formasi yang sama disatukan.

Klasifikasi yang digunakan bersifat hirarki. Klasifikasi berstruktur hirarki bermakna bahwa untuk setiap komponen atau unit klasifikasi terdapat tingkat generalisasi dan pemisahan. Ini berarti bahwa setiap tingkat pada hirarki dipecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan saling terpisah. Delineasi kelas-kelas pada setiap tingkat dalam hirarki berdasarkan pada kriteria objektif.

Pada unit 1 sampai 6 dari tipe vegetasi paling atas atau didasarkan pada struktural fisiognomi vegetasi. Atribut utama klasifikasi struktural bukan jenis tapi bentuk hidup tumbuhan, stratifikasi vertikal dari biomassa tumbuhan dan bagaimana penutupannya (coverage) diantara strata, dan juga aspek fenologi dan musim dari tumbuh-tumbuhan (Whitten et al. 1988). Penentuan setiap unit vegetasi berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh UNESCO, namun jika unit tersebut kriterianya tidak

(11)

jelas atau tidak ada dalam sistem klasifikasi vegetasi UNESCO maka akan mengacu pada sistem klasifikasi vegetasi NVCS.

Tabel 4. Hirarki sistem klasifikasi vegetasi UNESCO dan NVCS

No Tipe VegetasiUNESCO Tipe vegetasi NVCS Kriteria Delineasi 1 Kelas Formasi Kelas Fisiognomi Penutupan Tajuk 2 Subkelas Formasi Subkelas Fisiognomi Morfologi 3 Kelompok Formasi Kelompok

Fisiognomi

Iklim Makro

4 Formasi Formasi 1. Zona Kehidupan

2. Ketinggian Tajuk

5 Aliansi Floristik, Struktural,

Fisiognomi

6 Asosiasi Floristik

Berikut ini diuraikan langkah-langkah yang ditempuh untuk menentukan Aliansi dan Asosiasi dari tipe vegetasi ( lihat juga Wiharto 2009 ).

(1) Menyusun Tabel Dasar. Tabel ini disusun dengan mengurutkan seluruh plot yang menyusun suatu blok penelitian yang akan dianalisis menjadi kolom dan jenis yang terdapat pada setiap plot tersebut menjadi baris. Jenis yang menyusun bentuk hidup pohon diletakkan pada kelompok baris paling atas dari tabel, diikuti oleh bentuk hidup belta, semak dan terakhir herba.

(2) Jenis yang terdapat pada Tabel Dasar kemudian diurutkan letaknya berdasarkan frekuensi kehadiran jenis tersebut dalam plot –plot kelompok tegakan. Jenis dengan frekuensi kehadiran tertinggi diletakkan pada baris teratas. Pengurutan dilakukan per bentuk hidup

(3) Langkah berikutnya adalah membentuk Tabel Konstansi. Untuk itu setiap jenis yang menyusun Tabel Dasar ditentukan konstansinya atau frekuensi kehadirannya pada plot-plot blok pengamatan.

Selanjutnya jenis - jenis yang ada dipisahkan menjadi 3 kelompok berdasarkan derajat konstansi. Kelompok tersebut adalah :

(12)

(a) Kelompok jenis dengan konstansi > 60%, yang disebut kelompok jenis konstan. Jenis - jenis ini mempunyai distribusi yang merata pada seluruh plot yang dikaji. Kelompok ini kurang berarti dalam klasifikasi.

(b) Kelompok jenis dengan konstansi sedang, yaitu antara 10 – 60 %. Kelompok jenis ini juga disebut jenis differensial. Kelompok jenis ini mempunyai distribusi yang tebatas pada plot yang sedang dikaji. Kelompok jenis ini penting dalam klasifikasi, dan dimanfaatkan dalam penentuan Aliansi dan Asosiasi.

(c) Kelompok jenis dengan konstansi < 10 %. Kelompok jenis ini merupakan jenis yang kehadirannya dalam plot penelitian bersifat kebetulan sehingga tidak banyak berperan dalam klasifikasi.

Penyortiran kelompok-kelompok jenis ini dilakukan dengan memanfaatkan perangkat lunak Microsoft Excel.

(4) Penentuan Aliansi vegetasi dilakukan dengan metode Ordinasi menggunakan analisis faktor. Aliansi dan Asosiasi dari suatu tipe vegetasi ditentukan dengan memperhatikan komposisi floristik dan faktor lingkungan abiotik. Pada kegiatan ini jenis - jenis dikelompokkan berdasarkan kesamaan distribusinya pada plot pengamatan dan kondisi lingkugan abiotik dari plot tersebut. Dengan demikian jenis - jenis yang berdistribusi pada plot-plot yang sama akan membentuk asosiasi tersendiri yang berbeda dengan kelompok jenis lain dengan asosiasi yang lain pula.

(5) Teknik yang digunakan untuk penentuan Aliansi dan Asosiasi adalah dengan analisis klaster menggunakan Metode Tetangga Terdekat (Nearest Neighbor Method) yang sering juga disebut dengan Single Linkage Method. Langkah-langkah yang ditempuh dalam perhitungan dengan metode ini adalah sebagai berikut :

(a) Membuat matriks disimilaritas dengan memanfaatkan persamaan Euclidean Distance sebagai berikut .

(13)

__________________________________ d(j,k) = √(x1j – x1k)² + (x2j – x2k )² +...+ (xsj - xsk)² ____________ s = √Σ (xij - xik )² i=1 Keterangan : d = jarak

X1j = Nilai pertama variabel ke satu pada objek ke j

X1k = Nilai pertama variabel ke satu pada objek ke k

X sj = Nilai pertama variabel ke s pada objek ke j Xsk = Nilai pertama variabel ke s pada objek ke k

Xij = Nilai variabel i pada objek ke j Xik = Nilai variabel i pada objek ke k

(b) Berikutnya adalah menentukan nilai terkecil yang terapat pada matriks disimilaritas yang terbentuk. Nilai ini menunjukkan jarak terkecil diantara 2 objek. Selanjutnya nilai-nilai matriks disimilaritas antara kedua objek tersebut digabung. Jika kedua objek tersebut adalah objek p dan q, nilai yang diambil untuk digabung ditentukan dengan rumus berikut :

d tr = min (d pr, d qr), yaitu jarak klaster t ke r adalah merupakan jarak terkecil atau nilai terkecil dari objek p dan q.

(c) Proses awal diulang lagi dengan mencari nilai terkecil diantara 2 objek dan melakukan penggabungan. Hal ini terus dilakukan sampai tidak ada lagi objek yang dapat digabung.

(d) Berdasarkan langkah yang ditempuh di atas, maka hasil akhir klasifikasi dapat ditampilkan dalam bentuk diagram dendrogram.

(e) Melalui diagram dendrogam dapat diketahui Aliansi, yang merupakan kumpulan dari berbagai asosiasi tumbuhan dan penentuannya berdasarkan jenis yang paling dominan pada strata teratas.

(f) Melalui diagram dendrogram juga akan diketahui kelompok-kelompok jenis diagnostik yang membentuk asosiasi dari tipe vegetasi.

(14)

(g) Aliansi diberi nama berdasarkan jenis yang paling dominan dari beberapa asosiasi yang ada yang terletak pada strata teratas. Dominan dalam kasus ini adalah jenis yang memiliki penutupan tajuk yang paling luas. Jika pada strata teratas terdapat beberapa jenis yang memiliki luas penutupan tajuk yang sama, maka hanya akan diambil 3 jenis saja. Jenis yang muncul pada strata yang sama dipisahkan dengan simbol ”-”. Untuk asosiasi, pemberian nama dilakukan sama dengan aliansi dan jika ditemukan jenis dominan pada strata yang lebih rendah, maka dipisahkan dengan simbol ”/”. Jenis pada strata dominan diletakkan pada awal nama asosiasi.

Proses klasifikasi secara hirarki dilakukan dengan memanfaatkan perangkat lunak SPSS, melalui prosedur menu analyze, classify, dengan pilihan Hierarchical cluster. Hasil akhir analisis klaster ditampilkan dalam bentuk dendrogram yang lengkap dengan koefisien jaraknya. Uji lanjut melalui analisis diskriminan dengan memanfaatkan perangkat lunak SPSS. Pada SPSS prosedur ini dilaksanakan dengan memanfaatkan/menu

analyze, Classify, dengan pilihan Discriminant Analysis.

f. Klasifikasi citra

Klasifikasi citra dilakukan menggunakan pendekatan nilai digital dengan metode klasifikasi terbimbing (supervised classification) berdasarkan spektral penciri kelasnya. Penciri kelas diperoleh melalui pembuatan training area. Training area untuk setiap aliansi dibuat berdasarkan jalur survey yang telah dianalisis dan dikelompokkan berdasarkan aliansi. Sedangkan training area untuk tutupan lahan lain seperti awan, bayangan awan, dan non vegetasi dibuat menggunakan Area of

Interest (AOI) pada masing-masing tutupan lahan tersebut. Setelah pembuatan

training area, dilakukan evaluasi keterpisahan (separability evaluation) untuk

mengetahui sejauhmana kelas-kelas yang telah dibuat dapat dibedakan satu sama lain. Kriteria keterpisahan pada klasifikasi terbimbing disajikan pada Tabel 5.

(15)

Tabel 5. Kriteria keterpisahan pada klasifikasi terbimbing

Nilai keterpisahan Kriteria keterpisahan

2000 Sempurna (excellent)

1900 – <2000 Baik (good)

1800 – <1900 Cukup (fair)

1600 – <1800 Kurang (poor)

< 1600 Tidak terpisahkan (inseparable)

Selain evaluasi keterpisahan, dilakukan juga evaluasi kontingensi

(contingency evaluation) untuk mengetahui jumlah piksel yang sesuai maupun yang

tidak sesuai antara training area yang dibuat dengan pengkelasan menurut nilai digital. Proses evaluasi kontingensi akan menghasilkan matriks kontingensi atau

error matrix. Berdasarkan error matrix tersebut dapat dilakukan analisis akurasi hasil

klasifikasi yang akan menghasilkan nilai akurasi pembuat, akurasi pengguna, akurasi umum, dan akurasi Kappa. Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung

masing-masing akurasi adalah:

Akurasi pengguna (User’s accuracy) = Xii/Xi+ (100%)

Akuras pembuat (Producer’s accuracy) = Xii/X +i (100%)

Akurasi umum (Overall accuracy):

%

100

1

N

X

OA

r i ii

=

=

Akurasi Kappa (Kappa accuracy):

%

100

2 1 1

+ + = + + =

=

i i r i i i r i ii

X

X

N

X

X

X

N

κ

Dimana:

Xii = nilai diagonal dari matrik kontingensi baris ke-i dan kolom ke-i X+i = jumlah piksel dalam kolom ke-i

X i+ = jumlah piksel dalam baris ke-i N = banyaknya piksel dalam contoh

(16)

Tahap akhir dari klasifikasi citra tersebut adalah pembuatan peta/citra hasil klasifikasi. Peta tersebut akan mencakup seluruh lokasi kajian berdasarkan penciri kelas (signature) yang telah dibuat melalui pembuatan training area. Secara teori, tahap ini dilakukan jika akurasi umum atau akurasi Kappa telah mencapai 85%.

g. Kajian Preferensi Ekologis

Untuk mengkaji preferensi ekologis dari jenis - jenis dominan yang ada pada setiap aliansi vegetasi, digunakan analisis χ² kuadrat, dan untuk melihat antara jenis dengan faktor abiotik digunakan koefisien kontingensi. Untuk mengkaji bagaimana hubungan antara jenis - jenis dengan berbagai faktor abiotik dalam berdistribusi di setiap aliansi vegetasi Gunung Endut dilakukan dengan uji statistik Chi-Square. Jenis-jenis tumbuhan yang dipilih untuk kajian ini adalah jenis-jenis yang memiliki nilai INP tertinggi urutan 1 sampai 3 pada seluruh aliansi vegetasi di Gunung Endut. Pertimbangannya, karena jenis-jenis terpilih tersebut merupakan jenis paling dominan di Gunung Endut, sehingga merupakan jenis yang paling baik beradaptasi dengan berbagai faktor lingkungan yang menyusun habitat dari jenis - jenis ini di Gunung Endut.

Faktor abiotik yang dikaji adalah faktor-faktor yang membedakan antara aliansi vegetasi di Gunung Endut. Faktor-faktor ini selanjutnya dibagi ke dalam kelas-kelas tertentu, sehingga hasil uji chi-square nantinya akan menghasilkan hubungan antara penyebaran jenis dengan berbagai faktor abiotik dalam berbagai kategori pada berbagai blok penelitian di suatu aliansi vegetasi. Untuk parameter tanah, pembagian ke dalam kelas-kelas mengikuti pedoman Laboratorium Tanah IPB, sedangkan untuk faktor abiotik yang tidak memiliki kelas tersendiri, pembagian dilakukan dengan cara membagi rata nilai faktor abiotik tersebut ke dalam kelas-kelas tersendiri.

(17)

h. Kajian Hubungan Antara Struktur dan Komposisi Vegetasi dengan Faktor Lingkungan Abiotik

(1) Penentuan Hubungan antara Komposisi dan Struktur Vegetasi dengan Faktor Lingkungan Abiotik

Pengkajian hubungan antara komposisi dan struktur vegetasi dengan faktor lingkungan abiotik dilakukan dengan analisis Korelasi Kanonikal dengan memanfaatkan perangkat lunak SPSS. Pada SPSS prosedur ini dilaksanakan dengan memanfaatkan Syntax Editor.

(2) Penentuan Homogenitas Komunitas

Homogenitas komunitas tumbuhan ditentukan dengan hukum frekuensi dari Raunkiaer (1938) dalam Kusmana (1989) dan Kershaws (1973) sebagai berikut : (b) Kelas A = Jenis dengan frekuensi mutlak 1 – 20 %

(c) Kelas B = Jenis dengan frekuensi mutlak 21 – 40 % (c) Kelas C = Jenis dengan frekuensi mutlak 41 – 60 %

(d) Kelas D= Jenis dengan frekuensi mutlak 61 – 80 % (e) Kelas E= Jenis dengan frekuensi mutlak 81 – 100 %

Kriteria yang digunakan adalah :

(a) Distribusi normal, jika A>B>C atau C ≤D <E (b) Komunitas homogen, jika E≥D

(c) Komunitas heterogen, jika B,C,D relatif tinggi (d) Komunitas terganggu jika E <D

(3) Penentuan kesamaan antara Blok Pengamatan dalam setiap Aliansi Vegetasi

Kesamaan antara blok pengamatan dalam setiap aliansi vegetasi dengan rumus sebagai berikut :

IS = 2 W x 100 % A + B

Dimana : IS = Indeks similaritas (kemiripan)

A = Jumlah nilai penting dari tegakan pertama B = Jumlah nilai penting dari tegakan kedua

W= Jumlah nilai penting terkecil untuk masing-masing jenis di dalam kedua tegakan yang diamati

(18)

(4) Pola Penyebaran Jenis

Pola penyebaran jenis pada strata pohon dan belta dihitung dengan Standardized

Morisita Index of Dispersion (Smith-Gill 1975 dalam Krebs 1989) dengan

langkah-langkah berikut :

(a) menghitung Indeks Penyebaran Morisita dengan rumus berikut : Σ x² - Σx

Id = n [ _________ ] (Σ x)² - Σ x

Keterangan : Id = Indeks Penyebaran Morisita; n = Luas plot/kuadrat penelitian; x = plot/kuadrat penelitian

(b) Menghitung dua titik signifikansi dari Indeks Penyebaran Morisita sebagai berikut :

χ² 0.975 – n – Σ xi

Mu = ___________________

( Σ xi) - 1

Keterangan: Mu = Indeks Keseragaman = Nilai chi-kuadrat tabel dengan derajat bebas n-1 dan derajat kepercayaan 97.5 % pada area sisi kanan; xi = jumlah individu dalam plot/kuadrat ke i ( i = 1,..,n); n = jumlah plot kuadrat.

χ² 0.025 – n – Σ xi

Mc = ________________

(Σ xi) - 1

Keterangan: Mc = Indeks Pengelompokan = Nilai chi-kuadrat tabel dengan derajat bebas n – 1 dan derajat kepercayaan 2,5 % pada area sisi kanan.

(c) Selanjutnya menghitung standardized Morisita index dengan menggunakan satu dari empat rumus di bawah ini :

Id - Mc

Jika Id ≥ Mc > 1.0 digunakan rumus Ip = 0.5 + 0.5 ( _________ )

n – Mc

Id - 1

Jika Mc > Id ≥ 1.0 digunakan rumus Ip = 0.5 ( __________ )

(19)

Id - 1

Jika 1.0 > Id > Mu digunakan rumus Ip = - 0.5 ( ________ )

Mu – 1

Id - Mu

Jika 1.0 > Mu > Id digunakan rumus Ip = - 0.5 + 0.5 ( _________ )

Mu

Standardized Morisita index of dispersion (Ip) berkisar antara – 1.0 sampai + 1.0,

dengan batas 95 % derajat kepercayaan pada + 0.05 dan – 0.05. Pola pengelompokan akan menghasilkan nilai Ip = 0, pola acak akan menghasilkan Ip di atas 0,dan pola seragam akan menghasilkan nilai Ip di bawah 0.

(5) Penentuan Perbedaan Struktur Vegetasi dan Keanekaragaman Jenis di Antara Tipe-Tipe Vegetasi di Kawasan Gunung Endut

Perbedaan struktur vegetasi dan keanekaragaman jenis pada setiap tipe vegetasi dikaji dengan statistik U Mann-Whitney yang diperoleh dengan cara-cara berikut :

(a) Hipotesis statistik yang digunakan adalah Ho : Mx = My yang berarti tidak ada perbedaan diantara kedua populasi; Ho : Mx ≠ My

(b) Hitung statistik U Mann-Whitney; S = jumlah skor ranking pada sampel pertama. Penentuan sampel mana yang menjadi sampel pertama ditentukan dengan penetapan; n = jumlah hasil pengamatan pada sampel pertama.

(c) Kriteria penolakan Ho jika T ≤ Wα/2 atau T > W1-α/2; dimana Wα/2 = nilai kritis T untuk n, m, dan α/2 sesuai dengan tabel Man-Whitney; m = jumlah hasil pengamatan pada sampel kedua; α = tingkat signifikasi yang dalam penelitian ini 0.05; an W1-α/2 = nm – Wα/2.

(d) Jika jumlah pengamatan n atau m lebih dari 20 maka nilai kritis T yang diperoleh dari tabel U Mann-Whitney tidak dapat digunakan, sehingga untuk itu digunakan rumus Z normal berikut dan hasilnya dibandingkan dengan tabel distribusi normal

(20)

T – mn/2 Z = _____________ √ nm (n + m + 1) 1/2

Kegiatan perhitungan statistik U Mann-Whitney dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SPSS dengan memanfaatkan fasilitas Two Independent Samples Test yang terdapat pada menu Non Parametric Test.

Gambar

Gambar  5. Desain Plot Penelitian di Lapangan.
Tabel 5.   Kriteria keterpisahan pada klasifikasi terbimbing

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis dari tulisan ini menunjukan bahwa dalam proses pembelajaran daring yang dilakukan di SDIT Ar-Rahman memunculkan problem baru yang dipengaruhi oleh beberapa

The Study of Relationship between Quality of Work Life and Job Satisfaction of High School Teachers in Bandar Abbas.. Peranan Quality of Work Life (QWL) dan

Berikan informasi tambahan tentang pupuk organik dan anorganik (seperti yang terdapat dalam bahan bacaan, untuk melengkapi hasil diskusi dari kelompok) dan kaitannya

3.500.000.- (tiga juta lima ratus ribu rupiah) lalu pada hari Senin tanggal 17 Juli 2017 sekira pukul 01.00 wib saksi SURYA RAMADHAN BIN TEGUH SAPUTRA (Alm.) datang kerumah

27.5 Keterlambatan pelaksanaan pekerjaan akibat Keadaan Kahar yang dilaporkan paling lambat 14 (empat belas) hari sejak terjadinya Keadaan Kahar, tidak dikenakan

Penelitian kali ini menggunakan kombinasi antara definisi tersebut dengan kriteria diagnosis nyeri punggung bawah miogenik, diantaranya yaitu adanya riwayat yang

“(Para) Pelaku Usaha”: Orang perseorangan yang tinggal di Indonesia dengan maksud untuk ikut serta dalam pertemuan usaha, kontak-kontak usaha termasuk perundingan-perundingan

Sampel penelitian diambil dengan cara membagi setiap stasiun menjadi 3 transek dengan jarak 50 meter setiap transeknya, lalu membagi transek menjadi 4 plot dengan ukuran 10 x