• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMODELAN HIDROGRAF MENGGUNAKAN PENDEKATAN GEOMORFOLOGI (Studi Kasus Sub Daerah Aliran Sungai Cicatih, Kabupaten Sukabumi) JONSEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMODELAN HIDROGRAF MENGGUNAKAN PENDEKATAN GEOMORFOLOGI (Studi Kasus Sub Daerah Aliran Sungai Cicatih, Kabupaten Sukabumi) JONSEN"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

PEMODELAN HIDROGRAF MENGGUNAKAN PENDEKATAN

GEOMORFOLOGI (Studi Kasus Sub Daerah Aliran Sungai Cicatih,

Kabupaten Sukabumi)

JONSEN

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006

(2)

RINGKASAN

JONSEN. Pemodelan Hidrograf dengan Menggunakan Pendekatan Geomorfologi

(Studi Kasus Sub DAS Cicatih, Kabupaten Sukabumi). Dibimbing oleh

HIDAYAT PAWITAN.

Suatu Informasi data masukan dan luaran DAS dapat diperoleh dengan

cara melakukan pengamatan dan pengukuran kejadian hujan dan debit sungai

pada suatu tempat dengan jangka waktu pengukuran yang cukup memadai.

Kendala yang dihadapi di Indonesia saat ini adalah stasiun pengukuran aliran

sungai yang dapat menyediakan data aliran sungai masih sangat sedikit. Untuk

menyelesaikan hal tersebut dibuatlah suatu model simulasi hidrologi yang telah

banyak dikembangkan. Salah satunya yaitu model H2U (Hydrogramme Unitaire

Universel) atau dalam bahasa inggrisnya dinamakan Universal Unit Hydrograph

yang dikembangkan oleh laboratorium hidrologi, di Perancis oleh Duchesne pada

tahun 1998. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis geomorfologi DAS dan

menguji model H2U yang digunakan untuk mensimulasi debit di Sub DAS

Cicatih. Analisis geomorfologi yang dilakukan berdasarka n hukum Horton

sedangkan untuk model H2U menggunakan parameter-parameter meliputi

panjang maksimum dan rata-rata alur hidarulik pada jaringan sungai dan lereng

serta orde sungai maksimum yang dihitung berdasarkan peta jaringan sungai

berskala 1:100.000 dan Parameter kecepatan aliran pada jaringan sungai dan

lereng yang ditetapkan berdasarkan studi literatur dan trial and error.

Hasil analisis geomorfologi menunjukan bahwa Sub DAS Cicatih

berdasarkan referensi Chow (1964) pada kondisi normal kecuali untuk rasio luas

yang lebih kecil nilainya . Jaringan sungai hidrologi mempunyai dimensi yang

sama yaitu dimensi fraktal. Untuk pengujian model H2U pada Sub DAS Cicatih

memberikan hasil simulasi yang memuaskan. Hal ini ditunjukkan oleh nilai

koefisien kemiripan berdasarkan kriteria Nash and Sutcliffe antara debit

pengukuran dan debit simulasi di atas 70%, untuk 8 episode hujan terpilih pada

tahun 2001 dan 2002.

(3)

PEMODELAN HIDROGRAF MENGGUNAKAN PENDEKATAN

GEOMORFOLOGI (Studi Kasus Sub Daerah Aliran Sungai Cicatih,

Kabupaten Sukabumi)

JONSEN

G24101033

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar

Sarjana Sains Pada

Departeman Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006

(4)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : PEMODELAN HIDROGRAF MENGGUNAKAN PENDEKATAN

GEOMORFOLOGI (Studi Kasus Sub Daerah Aliran Sungai Cicatih,

Kabupaten Sukabumi)

Nama : JONSEN

NRP : G24101033

Menyetujui,

Pembimbing Skripsi

Prof. Dr. Ir. Hidayat Pawitan, M.Sc.

NIP. 130516292

Mengetahui,

Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS.

NIP. 131473999

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan pa da tanggal 30 Oktober 1983 dari Ayah

Arfandi Loei dan Ibu Tok Sai Kaw. Penulis merupakan anak terakhir dari dua

bersaudara.

Tahun 2001 penulis lulus dari SMU Negeri 99 Jakarta Timur dan pada

tahun yang sama menjadi mahasiswa IPB melalui jalur Ujian Masuk Peruguruan

Tinggi Negeri (UMPTN) dan memilih Program Studi Meteorologi, Departemen

Geofosika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi Asisten mata kuliah

Klimatologi Pertanian pada tahun ajaran 2004/2005, mata kuliah Analisis

Hidrologi pada tahun ajaran 2005/2006, dan Hidrologi untuk D3 pada tahun

ajaran yang sama. Selain itu penulis juga aktif di beberapa organisasi seperti

menjadi Koordinator Seksi Pendidikan KMBA 2002-2003 dan Koordinator

Asistensi Agama pada tahun 2002-2003, koordinator seksi kerohanian KMBB

2002/2003, dan Pengurus Himagreto di Departemen PSDA tahun 2003/2004.

Selain aktif di organisasi penulis juga aktif dalam beberapa kepanitiaan Seperti

Pesta Sains 2004, Waisak Puja 2002-2003, Kathina 2002-2003, Seminar, PPA

2003 dan Matrik 2003.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan segala Rahmat serta Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Pemodelan Hidrograf dengan Menggunakan Pendekatan Geomorfologi (Studi Kasus Sub DAS Cicatih, Kabupaten Sukabumi)”. Laporan ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hidayat Pawitan, MSc. selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan tulisan ini.

2. Bapak Drs. Bambang Dwi Dasanto M.Si dan I Putu Santikayasa, S.Si yang telah bersedia menjadi dosen penguji pada sidang skripsi.

3. Bapak Dr. Ir. Budi Kartiwa, MSc. yang telah memberikan informasi awal tentang model H2U 4. Bapak Ir. Adang Much lis yang membantu dalam hal perizinan untuk memperoleh data-data

selama penelitian.

5. Bapak Bambang Kunadi selaku Kepala PLTA Ubrug yang memberi bantuan berupa data dan informasi seputar sungai Cicatih.

6. Ibu, Ayah, dan Kakak di rumah atas segala pengorbanan dan doanya.

7. Mas Taufik yang memberikan masukan dan informasi selama penelitian di Lab.Hidromet. 8. Teman-teman di Departemen Geofosika dan Meteorologi atas masukan dan kerjasama yang

baik selama ini.

9. Teman-teman di kosan Manggala (Walim, Asep, Gajah, Catur, Deni, Ujang, Rudi dll.) atas kebersamaan, persahabatan dan keceriaan

10. ”A34202044”, orang yang spesial dalam hidupku yang selalu memberi dorongan dan semangat dalam menyelesaikan laporan akhir ini.

Akhirnya penulis berharap karya ini dapat bermanfaat bagi kita semua walaupun penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan saran diterima dengan lapang dada.

(7)

DAFTAR ISI

Hal.

Daftar G ambar

ii

Daftar Tabel

iii

Daftar Lampiran

iv

I. PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan

1

II. TINJAUAN PUSTAKA

1

Daur Hidrologi

1

Daerah Aliran Sungai

2

Hidrograf Debit Sungai

3

Model H2U

4

Teori

4

Parameter Model H2U

4

Analisis Geom orfologi

5

Analisi Hujan Netto

7

III. METODOLOGI

8

Daerah Kajian

8

Waktu dan Tempat

8

Alat dan Bahan

8

Metode Kajian

9

Asumsi

9

Pengumpulan Data

9

3.4.3. Analisis Data

9

IV. KEADAN UMUM DAERAH KAJIAN

12

Topografi

12

Iklim

13

Penutupan lahan

14

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

15

Geomorfologi DAS

15

Orde Sungai dan Rasio Percabangan

15

Panjang Sungai dan Rasio Panjang

16

Luas Sungai dan Rasio Luas

17

Dimens i Fraktal

17

Parameter Model H2U

18

Pemisahaan Aliran Permukaan dengan Aliran Dasar

19

Koefisien Aliran Permukaan (Kr)

20

(8)

VI. KESIMPULAN

22

DAFTAR PUSTAKA

22

DAFTAR GAMBAR

Hal.

Gambar 1. Daur hidrologi di permukaan

2

Gambar 2. Bagan alir daur hidrologi

2

Gambar 3. Komponen hidrograf satuan

3

Gambar 4. Teknik pembuatan grid pada DAS untuk menentukan

panjang alur hidra ulik

5

Gambar 5. Sistem orde sungai menurut Strahler

6

Gambar 6. Pengaruh bentuk DAS dan rasio percabangan

terhadap hidrograf aliran

6

Gambar 7. Pengaruh luas DAS terhadap hidrograf aliran

7

Gambar 8. Konsep indeks infiltrasi

7

Gambar 9. Peta administrasi Sub DAS Cicatih, Kab. Sukabumi

8

Gambar 10. Letak stasiun penakar curah hujan di sekitar Sub DAS Cicatih

9

Gambar 11. Pemisahan hidr ograf dengan metode garis lurus

10

Gambar 12. Diagram alir penelitian

12

Gambar 13. Peta kemiringan lereng Sub DAS Cicatih

12

Gambar 14. Isohyet rata-rata tahunan di Sub DAS Cicatih

13

Gambar 15. Wilayah curah hujan dengan menggunakan

13

metode Thiessen di Sub DAS Cicatih

13

Gambar 16. Curah hujan rata-rata bulanan selama kurun waktu

10 tahun (1993-2003) di Sub DAS Cicatih dengan

metode Thiessen serta nilai maksimum dan minimumnya

13

Gambar 17. Box plot curah hujan bulanan di 15 stasiun penakar

selama kurun waktu 10 tahun (1993-2003)

di Sub DAS Cicatih

14

Gambar 18. Box plot suhu bulanan selama 10 tahun(1988-1999)

di Sub DAS Cicatih

14

Gambar 19. Peta penutupan lahan Sub DAS Cicatih tahun 1999

15

Gambar 20. Peta jaringan hidrologi Sub DAS Cicatih

15

Gambar 21. Hubungan antara logaritmik jumlah orde dengan

orde di Sub DAS Cicatih

16

Gambar 22. Hubungan antara logaritmik panjang sungai dengan

orde di Sub DAS Cicatih

16

Gambar 23. Hubungan antara logaritmik luas sungai rata-rata dengan

orde di Sub DAS Cicatih

17

Gambar 24. Peta Sub DAS Cicatih dan stasiun pengamatan aliran sungai

18

Gambar 25. Kurva pdf lereng di Sub DAS Cicatih

19

Gambar 26. Kurva pdf jaringan sungai di Sub DAS Cicatih

19

Gambar 27. Kurva pdf

DAS

waktu tempuh butir hujan di Sub DAS Cicatih

19

(9)

DAFTAR TABEL

Hal.

Tabel 1. Tabel 1. Nilai koefisien limpasan (Kr) untuk berbagai kawasan

7

Tabel 2. Luas wilayah Sub-sub DAS yang berada di Sub DAS Cicatih

8

Tabel 3. Contoh hasil dari pdf DAS dan intensitas hujan netto

11

Tabel 4. Metode konvolusi debit sungai

11

Tabel 5. Persentase luas lahan pada berbagai kelas kemiringan lereng

13

Tabel 6. Tipe iklim Schimdt-Ferguson (SF) dan Koppen (K)

pada daerah-daerah di Sub DAS Cicatih

14

Tabel 7. Luas (ha) daerah pada masing-masing tipe penutupan lahan

14

Tabel 8. Jumlah orde dan nila i R

B

Sub DAS Cicatih

16

Tabel 9. Panjang rata-rata (m

2

) dan nilai R

L

Sub DAS Cicatih

16

Tabel 10. Luas sungai tiap orde di Sub DAS Cicatih

17

Tabel 11. Nilai R

B

, R

L

dan dimensi Fraktal pada berbagai DAS

di Perancis dan Indonesia

18

Tabel 12. Parameter model H2U di Sub DAS Cicatih

18

Tabel 13. Nilai parameter dan persamaan untuk pemisahan hidrograf

19

Tabel 14. Koefisien aliran permukaan dari 8 episode hujan terpilih

20

Tabel 15. Hasil perbandingan komponen hidrograf Qp dan tp

tiap episode hujan

21

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Hal.

Lampiran 1. Panjang Sub DAS Cicatih pada orde 1

24

Lampiran 2. Panjang Sub DAS Cicatih pada orde 2 dan 3

25

Lampiran 3. Panjang Sub DAS Cicatih pada orde 4, 5, dan 6

26

Lampiran 4. Gambar jaringan sungai dan orde sungai

pada Sub-sub DAS di Sub DAS Cicatih

27

Lampiran 5. Curah hujan bulanan di Sub DAS Cicatih

30

Lampiran 6. Data suhu udara dalam

o

C stasiun Pakuwon

31

Lampiran 7. Gambar peluang hujan di Stasiun Citeko pada 8 episode hujan

32

Lampiran 8. Konvolusi antara pdf lereng dan pdf jaringan sungai

33

Lampiran 9. Gambar Pemisahan aliran permukaan dan aliran dasar

34

Lampiran 10. Contoh perhitungan simulasi debit sungai pada

episode hujan 8 Januari 2001 dengan Kr = 0.21

35

Lampiran 11. Data hasil pengujian model H2U pada episode hujan

4 Januari 2001 sebesar 50 mm

37

Lampiran 12. Data hasil pengujian model H2U pada episode hujan

8 Januari 2001 sebesar 24 mm

38

Lampiran 13. Data hasil pengujian model H2U pada episode hujan

27 Januari 2001 sebesar 20 mm

39

Lampiran 14. Data hasil pengujian model H2U pada episode hujan

30 Januari 2001 sebesar 26 mm

40

Lampiran 15. Data hasil pengujian model H2U pada episode hujan

10 Januari 2002 sebesar 25 mm

41

Lampiran 16. Data hasil pengujian model H2U pada episode hujan

19 Januari 2002 sebesar 42 mm

42

Lampiran 17. Data hasil pengujian model H2U pada episode hujan

22 Janua ri 2002 sebesar 35 mm

43

Lampiran 18. Data hasil pengujian model H2U pada episode hujan

(11)

DAFTAR GAMBAR

Hal.

Gambar 1. Daur hidrologi di permukaan

2

Gambar 2. Bagan alir daur hidrologi

2

Gambar 3. Komponen hidrograf satuan

3

Gambar 4. Teknik pembuatan grid pada DAS untuk menentukan

panjang alur hidra ulik

5

Gambar 5. Sistem orde sungai menurut Strahler

6

Gambar 6. Pengaruh bentuk DAS dan rasio percabangan

terhadap hidrograf aliran

6

Gambar 7. Pengaruh luas DAS terhadap hidrograf aliran

7

Gambar 8. Konsep Indeks infiltrasi

7

Gambar 9. Peta Administrasi Sub DAS Cicatih, Kab. Sukabumi

8

Gambar 10. Letak stasiun penakar curah hujan di sekitar Sub DAS Cicatih

9

Gambar 11. Pemisahan hidrograf dengan metode garis lurus

10

Gambar 12. Diagram alir penelitian

12

Gambar 13. Peta kemiringan lereng Sub DAS Cicatih

12

Gambar 14. Isohyet rata-rata tahunan di Sub DAS Cicatih

13

Gambar 15. Wilayah curah hujan dengan menggunakan

13

metode Thiessen di Sub DAS Cicatih

13

Gambar 16. Curah hujan rata-rata bulanan selama kurun waktu

10 tahun (1993-2003) di Sub DAS Cicatih dengan

metode Thiessen serta nilai maksimum dan minimumnya

13

Gambar 17. Box plot curah hujan bulanan di 15 stasiun penakar

sela ma kurun waktu 10 tahun (1993-2003)

di Sub DAS Cicatih

14

Gambar 18. Box plot suhu bulanan selama 10 tahun(1988-1999)

di Sub DAS Cicatih

14

Gambar 19. Peta Penutupan Lahan Sub DAS Cicatih tahun 1999

15

Gambar 20. Peta jaringan hidrologi Sub DAS Cicatih

15

Gambar 21. Hubungan antara logaritmik jumlah orde dengan

orde di Sub DAS Cicatih

16

Gambar 22. Hubungan antara logaritmik panjang sungai dengan

orde di Sub DAS Cicatih

16

Gambar 23. Hubungan antara logaritmik luas sungai rata-rata dengan

orde di Sub DAS Cicatih

17

Gambar 24. Peta Sub DAS Cicatih dan stasiun pengamatan aliran sungai

18

Gambar 25. Kurva pdf lereng di Sub DAS Cicatih

18

Gambar 26. Kurva pdf jaringan sungai di Sub DAS Cicatih

19

Gambar 27. Kurva pdf

DAS

waktu tempuh butir hujan di Sub DAS Cicatih

19

(12)

DAFTAR TABEL

Hal.

Tabel 1. Tabel 1. Nilai koefisien limpasan (Kr) untuk berbagai kawasan

7

Tabel 2. Luas wilayah Sub-sub DAS yang berada di Sub DAS Cicatih

8

Tabel 3. Contoh hasil dari pdf DAS dan intensitas hujan netto

11

Tabel 4. Metode konvolusi debit sungai

11

Tabel 5. Persentase luas lahan pada berbagai kelas kemiringan lereng

13

Tabel 6. Tipe iklim Schimdt-Ferguson (SF) dan Koppen (K)

pada daerah-daerah di Sub DAS Cicatih

14

Tabel 7. Luas (ha) daerah pada masing-masing tipe penutupan lahan

14

Tabel 8. Jumlah Orde dan nilai R

B

Sub DAS Cicati

16

Tabel 9. Luas Sungai tiap orde di Sub DAS Cicatih

17

Tabel 10. Nilai R

B

, R

L

dan dim ensi Fraktal pada berbagai DAS

di Perancis dan Indonesia

17

Tabel 11. Parameter model H2U di Sub DAS Cicatih

18

Tabel 12. Nilai parameter dan persamaan untuk pemisahan hidrograf

19

Tabel 13. Koefisien aliran permukaan dari 8 episode hujan terpilih

19

Tabel 14. Hasil perbandingan komponen hidrograf Qp dan tp

tiap episode hujan

21

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Hal.

Lampiran 1. Panjang Sub DAS Cicatih pada orde 1

24

Lampiran 2. Panjang Sub DAS Cicatih pada orde 2 dan 3

25

Lampiran 3. Panjang Sub DAS Cicatih pada orde 4, 5, dan 6

26

Lampiran 4. Gambar jaringan sungai dan orde sungai

pada Sub-sub DAS di Sub DAS Cicatih

27

Lampiran 5. Curah hujan bulanan di Sub DAS Cicatih

30

Lampiran 6. Data suhu udara dalam

o

C stasiun Pakuwon

31

Lampiran 7. Gambar peluang hujan di Stasiun Citeko pada 8 episode hujan

32

Lampiran 8. Konvolusi antara pdf lereng dan pdf jaringan sungai

33

Lampiran 9. Gambar Pemisahan aliran permukaan dan aliran dasar

34

Lampiran 10. Contoh perhitungan simulasi debit sungai pada

episode hujan 8 Januari 2001 dengan Kr = 0.21

35

Lampiran 11. Data hasil pengujian model H2U pada episode hujan

4 Januari 2001 sebesar 50 mm

37

Lampiran 12. Data hasil pengujian model H2U pada episode hujan

8 Januari 2001 sebesar 24 mm

38

Lampiran 13. Data hasil pengujian model H2U pada episode hujan

27 Januari 2001 sebesar 20 mm

39

Lampiran 14. Data hasil pengujian model H2U pada episode hujan

30 Januari 2001 sebesar 26 mm

40

Lampiran 15. Data hasil pengujian model H2U pada episode hujan

10 Januari 2002 sebesar 25 mm

41

Lampiran 16. Data hasil pengujian model H2U pada episode hujan

19 Januari 2002 sebesar 42 mm

42

Lampiran 17. Data hasil pengujian model H2U pada episode hujan

22 Januari 2002 sebesar 35 mm

43

Lampiran 18. Data hasil pengujian model H2U pada episode hujan

(14)

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Sub DAS Cicatih merupakan anak sungai dari DAS Cimandiri dan geografis terletak antara 106o39’8’’- 106o57’30’’ BT dan 6o42’54’’- 7o00’43’’ LS dengan luas 52.979 ha atau 530 km2 yang secara administratif masuk ke dalam Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Aliran sungai pada DAS ini salah satunya digunakan untuk pembangkit energi listrik yang berkekuatan 18,36 Mega Watt, sehingga aliran sungai akan berpengaruh terhadap energi listrik yang dihasilkan.

Daerah aliran sungai (DAS) adalah satu kesatuan wilayah di atas suatu titik tertentu pada suatu sungai yang dibatasi oleh punggung bukit/gunung yang dapat ditelusuri pada peta topografi (Linsley dan Franzini, 1989). Keberadaan air di suatu DAS merupakan salah satu tahap dari perjalanan air dalam daur hi drologi, yakni siklus yang dilalui air dari atmosfer ke bumi dan kembali lagi ke atmosfer. Tahapan ini menjadi bagian yang penting karena menyangkut persediaan sumber daya air untuk berbagai kepentingan.

Salah satu tujuan pengelolaan DAS adalah untuk men capai terwujudnya kondisi tata air yang optimal sehingga sumber daya air tetap tersedia. Kondisi tata air tersebut dapat dikenali dari sifat aliran air sungai sebagai luaran DAS. Luaran DAS sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat masukan DAS yang berupa hujan dan karakteristik fisik DAS (Geomorfologi). Informasi data masukan dan luaran DAS dapat diperoleh dengan cara melakukan pengamatan dan pengukuran kejadian hujan dan debit sungai pada suatu tempat dengan jangka waktu pengukuran yang cukup memadai. Kendala yang dihadapi di Indonesia saat ini adalah stasiun pengukuran arus sungai yang dapat menyediakan data aliran sungai masih sangat sedikit dan bila data tersedia hanya pada DAS yang dianggap penting saja.

Berbagai model simulasi hidrologi telah banyak dike mbangkan di negara maju untuk menjelaskan proses perubahan masukan hujan menjadi luaran berupa debit aliran sungai dengan mempertimbangkan faktor geomorfologi DAS. Model tersebut menggunakan parameter-parameter (seperti

panjang sungai, luas sungai dan kecepatan aliran sungai) sebagai data masukannya lebih sederhana, mudah diukur dan cepat memperoleh hasil luaran nya. Model ini diharapkan dapat digunakan untuk memecahkan masalah pada DAS/Sub DAS yang kurang lengkap atau tidak ada data alirannya. Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan suatu model hidrologi yang cocok untuk menghitung hidrograf berdasarkan parameter-parameter yang mudah terukur. Salah satu model yang dirancang untuk mensimulasikan debit aliran sungai yang terjadi p ada suatu DAS adalah model H 2U (Hydrogramme Unitaire Universel) yang dikembangkan oleh laboratorium hidrologi, Ecole Nationale Supérieure Agronomique (ENSA) oleh Duchesne (1998).

1.2. Tujuan

Kajian ini bertujuan untuk menganalisis geomorfologi DAS dan menguji model H2U yang digunakan untuk mensimulasi debit.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daur Hidrologi

Daur hidrologi adalah suatu proses pergerakan air secara kontinyu dari atmosfer, kemudian dalam bentuk presipitasi jatuh ke bumi, melalui berbagai peristiwa dan proses masuk kedalam saluran-saluran atau sungai-sungai mengalir kembali ke laut dan mengguap kembali ke udara (Seyhan, 1990)

Air yang jatuh di permukaan tanah pada suatu DAS terpisah menjadi dua bagian, yaitu bagian yang mengalir di permukaannya yang disebut sebagai aliran permukaan dan seterusnya menjadi aliran di sungai. Aliran permukaan sebelum mencapai sungai/saluram tertahan di permukaan tanah dalam cekungan-cekungan dan sampai jumlah tertentu merupakan bagian air yang hilang karena proses infiltrasi, dan di bawah permukaan tanah dapat terjadi aliran lateral yang disebut aliran bawah permukaan yang juga dapat mencapai sungai. Bagian lain dari air yang terinfiltrasi diteruskan sebagai air perkolasi yang dapat mencapai akuifer menjadi aliran air bumi (base flow). Air ini

(15)

dapat juga mengalir ke sungai. Selain itu aliran air sungai dapat juga berasal dari air hujan yang langsung jatuh di atasnya (Harto, 1993)

Gambar 1. Daur hidrologi di permukaan (http://www.lablink.or.id/Hidro/Siklus/air -siklus.htm) Menurut Ward dan Robinson (1990)

siklus hidrologi menyediakan konsep pengantar yang bermanfaat dalam menggambarkan hubungan antara presipitasi dan aliran sungai yang dapat dinyatakan dalam berbagai cara. Pengertian konsep

siklus hidrologi secara lebih luas dapat digunakan sebagai konsep kerja untuk analisis dari berbagai permasalahan DAS, misalnya dalam pengelolaan DAS (Asdak, 1995).

Gambar 2. Bagan alir daur hidrologi (Seyhan, 1990)

2.2. Daerah Aliran Sungai Secara fisik DAS merupakan suatu bentang alam yang menerima, menyimpan curah hujan yang jatuh di atasnya dan

(16)

mengatur serta mengalirkannya melalui sungai-sungai kecil menuju sungai utama yang akhirnya bermuara di danau, waduk atau lautan. Bentang alam tersebut dibatasi oleh pemisah alami berupa perbukitan, pegunungan dan lapisan batuan kedap air di bawah permukaan tanah (Manan, 1982).

DAS dapat dianggap sebagai suatu ekosistem yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang teratur. Kondisi iklim, tanah dan sistem jaringan sungai merupakan komponen abiotik DAS, sedangkan jenis dan penyebaran vegetasi termasuk dalam komponen biotik DAS (Seyhan, 1990).

Salah satu unsur iklim yang mempunyai peranan penting dalam proses hidrologi DAS adalah curah hujan yang merupakan masukan DAS. Curah hujan didalam DAS akan mengalami berbagai proses dan akhirnya akan keluar sebagai luaran DAS yang berupa aliran sungai dan uap air. Pada dasarnya aliran sungai terjadi karena adanya akumulasi massa air yang berasal dari aliran permukaan (Runoff), aliran bawah permukaan (subsurface flow) dan aliran air bumi (base flow). Massa air tersebut mengalir ke saluran- saluran air alami yang membentuk jaringan sungai akibat adanya gaya gravitasi (Sosrodarsono dan Takeda, 2003).

2.3. Hidrograf Aliran Sungai

Hidrograf adalah suatu diagram yang mengambarkan variasi debit sungai atau tinggi muka air menurut waktu (Sosrodarsono dan Takeda, 2003). Menurut Harto (1993) hidrograf menunjukkan tanggapan menyeluruh DAS terhadap masukan tertentu. Sesuai dengan sifat dan perilaku DAS yang bersangkutan, hidrograf aliran selalu berubah sesuai dengan besaran dan waktu terjadinya masukan. Bentuk hidrograf pada umumnya sangat dipengaruhi oleh sifat hujan yang terjadi, akan tetapi juga dapat dipengaruhi oleh sifat DAS yang lain

Bentuk hidrograf dipengaruhi oleh banyak faktor. Suyono (1986) mengelompokkan faktor-faktor itu menjadi faktor-faktor tetap berupa faktor morfometri DAS (luas, bentuk, kelerengan DAS, pola jaringan sungai, kerapatan drainase, dan landaian sungai utama), dan faktor tidak tetap (curah hujan, laju infiltrasi, evapotraspirasi dan tata guna lahan). Hidrograf debit adalah kurva yang menunjukkan variasi debit sesaat sebagai fungsi waktu, diukur pada outlet DAS. Bentuk hidrograf yang berasal dari hujan tunggal berdurasi pendek yang jatuh di atas DAS mengikuti suatu bentuk umum. Pada Gambar 3. mengilustrasikan suatu komponen-komponen yang dapat diketahui dari kurva hidrograf.

Gambar 3. Kompenen hidrograf satuan ( Viessman, 1989) Keterangan:

A-B = waktu

D =Lama curah hujan

tp = waktu puncak (waktu mulai terjadi aliran permukaan (run off) sampai terjadi puncak aliran )

tb = waktu dasar ( panjang hidrograph satuan atau total waktu terjadi aliran )

tl = waktu kelambatan (waktu dari setengah massa curah hujan sampai puncak aliran langsung)

(17)

Menurut Seyhan (1990), bentuk hidrograf merupakan salah satu ilustrasi dari tanggapan aliran sungai terhadap masukan curah hujan. Dalam daur hidrologi, air yang turun sebagai hujan dapat menyumbang terhadap debit sungai melalui empat cara: 1. Curah hujan saluran (channel

precipitation), yait u hujan yang jatuh langsung di atas alur sungai. Jumlahnya relatif kecil, namun langsung memberikan sumbangan terhadap aliran sungai tanpa mengalami keterlambatan atau hambatan apapun.

2. Limpasan permukaan (surface run -off), yakni air hujan yang dalam perjalannya menuju masih tetap berada di atas permukaan tanah.

3. Aliran antara (inter flow ), adalah sebagian air yang terinfiltrasi, tapi belum mencapai muka air tanah, kemudian bergerak secara lateral melalui lapisan atas tanah sampai masuk ke sungai.

4. Aliran air bumi (ground water flow) atau disebut juga aliran dasar (base flow), yakni air hujan yang terinfiltrasi, selanjutnya mengalami proses perkolasi sampai mencapai air bumi dan akhirnya mengalir menuju sungai.

Untuk menyederhanakan pembahasan, lazimnya aliran total hanya dibagi menjadi dua bagian, yaitu limpsan langsung (direct runoff) dan aliran dasar (base flow) (Linsley dan Franzini, 1989). Dalam analisis hidrograf aliran sungai penyerdanaan ini akan sangat membantu. 2.4. Model H2U

2.4.1. Teori

Model H2U atau dalam bahasa Inggrisnya Universal Unit Hydrograph, dikembangkan oleh laboratorium hidrologi, Ecole Nationale Supérieure Agronomique disingkat ENSA oleh Duchesne pada tahun 1998. Model ini lahir sebagai pembuktian secara teoritis, asumsi bahwa hidrograf debit dan juga fenomena fisik lainnya dapat dianalogikan seperti distribusi kecepatan molekul menurut hukum Maxwell atau repartisi spektral radiasi benda hitam menurut hukum Planck (Duchesne dan Cudennec, 1998 dalam Kartiwa, 2005).

Model ini merupakan pengembangan lebih lanjut konsep GIUH (Geomorphologic Instantaneous Unit Hydrograph) dimana menurut Rodr iguez-Iturbe dan Valdes (1979) hidrograf satuan

dapat diturunkan dari fungsi kerapatan probabilitas (probability density function/pdf) waktu tempuh seti ap butir hujan dari titik jatuhnya di permukaan DAS sampai titik pelepasan (outlet), yang kemudian diturunkan persamaan sebagai berikut:

dimana: tp: time to peak (jam) dan qp:debit puncak (1/jam), v: kecepatan rata-rata aliran (m/s), L? : panjang sungai maksimum (km) dan RB, RL, RA adalah rasio percabangan, rasio panjang dan rasio luas.

Model H2U menghitung kurva pdf (kerapatan jaringan sungai) butir hujan berdasarkan dua parameter yang dapat dihitung secara mudah pada peta jaringan sungai yaitu n, order sungai maksimum menurut Strahler (Strahler, 1952) dan L rataan, yaitu panjang rata-rata jalur aliran air.

2.4.2. Penentuan Parameter Model H2U Parameter model yang merupakan parameter fungsi tran sfer ditentukan berdasarkan identifikasi peta dan juga studi literatur. Parameter yang meliputi penentuan order sungai maksimum (berdasarkan metode Horton yang dimodifikasi oleh Strahler) dan panjang alur hidraulik dilakukan berdasarkan analisis peta topografi dan jaringan sungai, sedangk an penetapan kecepatan aliran untuk lereng dilakukan berdasarkan studi literatur dan uji trial and error

a. Penentuan Panjang Alur Hidraulik Alur hidraulik diistilahkan sebagai alur di atas permukaan tanah yang dilalui aliran air yang berasal dari suatu kejadian hujan. Alur hidraulik diukur dari mulai titik jatuh butir hujan hingga titik luaran DAS. Alur hidraulik dapat berupa cekungan permanen yang teramati secara visual di lapang sehingga dapat dipetakan (disebut alur hidraulik jaringan sungai) maupun alur hidraulik artifisial yang tidak teramati sehingga diasumsikan merupakan alur yang memotong garis kontur, yang terbentuk karena gerakan mengalir dari air akibat

38 . 0 55 . 0 44 . 0 Ω −     = L A B p R R R v L t

v

R

L

q

p

1

.

31

L0.43 Ω

=

(18)

l

3

l

2

A

l

o

l

1

kontur

Pada titik A, panjang total :

L

Total

= l

o

+ L

L = l

1

+ l

2

+ l

3

gravitasi bumi (disebut alur hidraulik lereng).

Gambar 4. mengilustrasikan teknik pembuatan grid untuk menentukan panjang

alur hidraulik lereng dan dan panjang alur hidraulik jaringan sungai dari setiap butir hujan yang jatuh dipermukaan DAS, yang direpresentasikan oleh titik-titik pusat grid.

Gambar 4. Tekn ik pembuatan grid pada DAS untuk menentukan panjang alur hidraulik b. Penentuan Kecepatan Aliran

Kecepatan aliran pada jaringan sungai dan pada lereng ditentukan berdasarkan studi literatur penelitian sejenis. Kecepatan aliran pada jaringan sungai juga dapat ditentukan melalui kemiringan DAS, dimana semakin besar kemiringan DAS semakin cepat aliran sungai. Persamaan kecepatan aliran rata-rata pada jaringan sungai (V) dapat dicari dengan persamaan dibawah ini (Llamas, 1993 dalam Irianto, 2003):

V = 20 sin3/5 a, dimana sin a adalah c/a

di mana:

a =jarak terpanjang sungai orde 1 sampai outlet

c = beda tinggi antara titik ujung sungai orde 1 yang terpanjang dengan outlet

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Dunne (1978) menunjukkan bahwa pada tanah jenuh, kecepatan aliran pada lereng berkisar antara 0,03 dan 0,15 m/s tergantung kemiringan DAS dan ketebalan aliran. Sedangkan Emmet (1978) melaporkan bahwa kecepatan aliran pada lereng berkisar antara 0,005 dan 0,3 m/s.

Nilai-nilai yang disebutkan di at as, dapat menjadi acuan pada saat pengujian trial and error model aliran permukaan untuk mendapatkan nilai kecepatan aliran yang paling sesuai sehingga kualitas simulasi yang didapatkan memuaskan. 2.5. Analisis Geomorfologi DAS

(19)

Geomorfologi adalah bentuk atau karakteristik dari suatu DAS yang di analisa dari jaringan sungai. Analisis morfometri DAS dilakukan dengan menggunakan konsep fraktal yang diperkenalkan oleh Mandelbrot (1967). Maldelbrot (1967) dalam Irianto (2003) memperkenalkan kerangka kerja matematika dari dimensi bentuk yang tidak teratur (irregular) dengan proporsi skala identik dari bentuk aslinya. Jaringan hidrologi sungai merupakan salah satu contoh obyek fraktal di alam yang perlu dikaji untuk mengetahui karakteristuik DAS terhadap debit puncak (peak flow) dan waktu mencapai debit puncak (time to peak). Parameter-parameter yang akan diamati untuk mengetahui karakteristik dan morfometri daerah aliran sungai antara lain rasio panjang, rasio percabangan sungai, rasio luas, debit puncak dan waku responnya.

Orde sungai menunjukkan tingkat kerapatan jaringan sungai suatu DAS. Tingkatan sungai (stream order) berpengaruh lan gsung terhadap proses pembentukan hidrograf. Dalam perjalanan air hujan di DAS, air hujan mula-mula akan terkumpul (terkonsentrasi) di sungai-sungai tingkat satu sebelum mengalir ke sungai dengan tingkatan lebih tinggi. Sehingga jumlah dan panjang sungai tiap tingkat akan berpengaruh langsung terhadap bentuk hidrograf yang terjadi (Chow, 1964)

Penentuan orde sungai diklasifikasi oleh Horton dan dimodifikasi oleh Strahler adalah (Chow, 1964):

§ Tempat dimulainya aliran air sampai dengan percabangan berikutnya disebut orde pertama § Apabila dua aliran dari orde yang

sama bergabung akan membentuk orde setingkat lebih tinggi,

§ Jika dua or de yang berbeda bergabung akan membentuk aliran yang mempunyai orde paling tinggi

Gambar 5. Sistem orde sungai menurut Strahler (1952)

Menurut Chow (1964), nisbah bifurkasi atau rasio percabangan (Rb) mencirikan debit puncak dan waktu dasar hidrograf. Makin tinggi Rb, berarti makin banyak jumlah sungai tingkat satu, berarti makin banyak Sub DAS yang menyebabkan semakin lama air hujan tertahan di Sub DAS-Sub DAS, sehingga makin lama air hujan sampai ke sungai utama. Semakin lama air hujan sampai ke sungai utama maka berarti makin panjang waktu dasar hidrograf.

Nilai RB tidak akan sama dari tiap - tiap ode satu dengan berikutnya karena adanya variasi dari bentuk atau geometri sungai tersebut. Nilai RB dalam kondisi normal adalah 3 - 5 , rasio panjang (RL)1.5 – 3.5, sedangkan rasio luas (RA) 3-6 (Chow, 1964).

Gambar 6. Pengaruh Bentuk DAS dan rasio percabangan terhadap hidrograf aliran (Chow, 1964).

Corak dan bentuk daerah aliran akan sangat berpengaruh terhadap karakteristik hidrograf aliran yang terbentuk. Menurut Sosrodarso dan Takeda (2003), bentuk daerah sungai dapat dibedakan menjadi 4 jenis:

1. Daerah aliran bentuk burung (Gambar 6A), yaitu bentuk aliran dungai dimana anak -anak sungai mengalir ke sungai utama. Daerah pengaliran ini

(20)

mempunyai debit puncak yang kecil tetapi periode waktunya agak panjang. 2. Daerah aliran radial (Gambar 6B), yaitu

daerah berbentuk kipas atau lingkaran dan anak-anak sungainya mengkonsentrasi ke suatu titik secara radial. Daerah ini mempunyai debit puncak yang besar.

3. Daerah aliran paralel (Gambar 6C), yaitu dua jalur sub daerah aliran bertemu di bagian hilir, sehingga biasanya banjir yang terjadi di sebelah hilir titik pertemuan sungai-sungai 4. Daerah pengairan yang kompleks, yaitu

bentuk saerah aliran yang merupakan gabungan dari ketiga bentuk di atas.

Luas DAS sebagai faktor yang menonjol dalam pembentukan hidrograf aliran, karena luas DAS menentukan besarnya daya tampung DAS terhadap masukan air hujan. Makin luas DAS berarti makin besar daya tampung, berarti makin besar volume air yang dapat disimpan dan disumbangkan oleh DAS, sehingga bentuk dari hidrograf akan berbeda untuk tiap luas DAS yang berbeda (Haan, 1982).

Gambar 7. Pengaruh luas DAS terhadap hidrograf aliran (Asdak, 2002).

Sebaran jaringan sungai secara statistika berupa rasio percabangan, rasio panjang rata-rata sungai dan rasio luas merupakan parameter yang sangat berguna untuk mengetahui struktur fraktal jaringan sungai. Dimensi fraktal merupakan rasio logaritmik dari rasio percabangan terhadap rasio panjang sungai sehingga diperoleh nilai dimensi fraktal.

2.6. Analisis Hujan Netto

Hujan netto adalah bagian dari hujan total yang tidak dapat ditahan oleh permukaan ataupun terinfiltrasi ke dalam tanah. Hujan netto adalah faktor penting dalam studi transformasi hujan menjadi

aliran (debit) (Chow, 1964). Ada dua metode yang umum digunakan dalam penentuan hujan netto yaitu: metode indeks infiltasi (? ) dan metode koefisien aliran permukaan (Kr). Kedua Metode ini digunakan apabila data hidrograf tersedia.

Indeks infilt rasi adalah nilai infiltrasi rata-rata yang diperoleh dari grafik hubungan antara intensitas hujan dan waktu, seperti pada G ambar 8. C ara untuk memperoleh volume hujan netto ini akan sama dengan volume hujan yang menyebabkan runoff (Chow, 1964). Pada metode ini diasumsikan bahwa infiltrasi yang terjadi adalah konstan.

Gambar 8. Konsep Indeks infiltrasi (? ) Cara kedua menggunakan metode koefisien aliran permukaan (Kr), dimana koefisien aliran permukaan adalah rasio antara volume aliran permukaan dengan volume curah hujan. Pada Tabel 1. ditampilkan nilai koefisien limpasan untuk berbagai kawasan disekitar daerah aliran sunga i.

Bila tidak tersedia data hidrograf, umumnya digunakan metode persamaan infiltrasi, seperti metode Green Ampt (1911), Horton (1933), Philip (1957) ataupun metode SCS (Soil Conservation Service) tahun 1972.

Tabel 1. Nilai koefisien limpasan (Kr) untuk berbagai kawasan (Chow, 1964)

(21)

III. METODOLOGI 3.1. Daerah Kajian

Sub DAS Cicatih yang merupakan anak sungai dari DAS Cimandiri secara geografis terletak antara 106o 39’8’’-106o57’30’’ BT dan 6o42’54’’-7o00’43’’ LS yang secara administratif masuk ke dalam

Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Sub DAS ini memiliki lima sub-sub DAS yaitu Sub-sub DAS Ciheulang, Sub-sub DAS Cileuleuy, Sub-sub DAS Cicatih Hulu, Sub-sub DAS Cipalasari dan Sub-sub DAS Cikembar. Peta masing-masing sub-sub DAS terdapat pada lampiran 5. Sub DAS Cicatih mencakup 15 kecamatan yaitu Bojong Geteng, Caringin, Centayan, Cibadak, Cicurug, Cidahu, Cikembar, Cikidang, Cisaat, Kadudampit, Kalapanunggal, Nagrak, Parakansalak, Parungkuda, dan Warungkiara. Peta Administras i disajikan pada G ambar 9.

Gambar 9. Peta Administrasi Sub DAS Cicatih, Kab. Sukabumi. Luas Sub DAS Cicatih adalah

52.979 ha atau 530 km2. Sub-sub DAS Ciheulang merupakan wilayah terluas yang mencapai 30% seluruh total Luas Sub DAS atau 15.911 ha. Berikut ini urutan sub-sub DAS yang mempunyai luas terbesar sampai terkecil: Cicatih hulu dengan luas 9.939 ha, Cipalasari dengan luas 9.306 ha, Cileuleuy dengan luas 9234 ha dan Cikembar yang merupakan daerah hilir dengan luas 8.589 ha. Luas dan Persatase di sajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Luas wilayah Sub-sub DAS yang

berada di Sub DAS Cicatih No. Nama Luas

(ha) Luas (%) 1. Cicatih hulu 9.939 18,8 2. Cipalasari 9.306 17,6 3. Ciheulang 15.911 30,0 4. Cileuleuy 9.234 17,4 5. Cikembar 8.589 16,2 Total 52.979 100,0

3.2. Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan selama 8 bulan (1 April – 30 Nopember 2005). Pengelolaan data dilakukan di Lab.Hidrometeorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi. 3.3. Bahan dan Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini digunakan adalah seperangkat komputer dengan software Microsoft Office 2003 (untuk pengolahan data dan penulisan laporan), Arc View 3.3 + Extensions (untuk analisis data spasial berupa peta-peta), Surfer 7.0 (untuk membuat isohyet), Minitab 14.0 (untuk membuat grafik box plot), kurvimeter (untuk menghitung panjang alur hidraulik pada lereng dan jaringan sungai), penggaris dan alat tulis.

Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini diantaranya:

(22)

data digital elevation model (DEM)

• Data curah hujan dan debit aliran sungai yang berpasangan pada tahun-tahun terpilih.

• Peta tipe penggunaan lahan tahun 1999

3.4. Metode Kajian 3.4.1. Asumsi

• Pola hujan jam-an di DAS, di anggap sama dengan pola hujan di stasiun Citeko dimana letak stasiun dapat dilihat pada Gambar 10. Hal ini dikarenakan tidak adanya penakar curah hujan otomatis yang merekam data dalam interval waktu jam.

Gambar 10. Letak stasiun penakar curah hujan di sekitar Sub DAS Cicatih

3.4.2. Pengumpulan Data 1. Data time series

- Intensitas curah hujan interval waktu jam

- Debit aliran sungai interval waktu jam(m3/s)

2. Data digital peta rupabumi (1:25000)

• Peta topografi di Sub DAS Cicatih

• Peta jaringan sungai yang dibangun dari data digital elevation model (DEM) menggunakan software PC Raster.

• Peta Administrasi Sub DAS Cicatih 3.4.3. Analisis data

• Analisis Geomorfologi

a. Penentuan orde sungai berdasarkan klasifikasi Horton yang dimodifikasi oleh Strahler

b. Perhitungan panjang tiap segmen orde sungai dilakukan dengan otomatisasi GIS.

c. Perhitungan rasio percabangan (RB), rasio panjang (RL), dan rasio luas (RA) dengan menggunakan persamaan berikut (Rodriguez-iturbe dan JB Valdes, 1979):

dimana: N?: Jumlah orde sungai berorde ? L?: Panjang orde sungai berode ? A?: Luas orde sungai berorde ? d. Dimensi fraktal dari jaringan

hidrlologi dihitung menurut La Barbera and Rosso (1987) dan Tarboton et al.(1990) dalam Irianto (2003) yang dirumuskan dengan persamaan: L B R R D log log =

dimana: D: dimensi fraktal jaringan hidrologi sungai

• Pemisahan Aliran Permukaan dan Aliran Dasar

Teknik pemisahan hidrograf dilakukan untuk memisahkan aliran permukaan (direct runoff) dan aliran dasar (base flow). Metode yang digunakan dalam pemisahan tersebut adalah straight line metho d (penarikan garis lurus). Analisis dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu: 1. Memplot kurva debit (m3/s) dengan

waktu selama satu episode banjir (kurva tunggal).

2. Menentukan titik mulai terjadinya aliran permukaan dan waktunya sampai titik berakhirnya melalui ujung kurva yang menurun (recession curve) yang dijabarkan dalam persamaan:

Qt = Qo exp – k*? t Qt = titik akhir terjadinya aliran

permukaan

Qo = titik awal terjadinya aliran permukaan

k = konstanta penurunan

3. Untuk mencari nilai k dari persaman kurva resesi, dengan menurunkan persamaan di atas menjadi :

t

Q

Q

k

=

ln

0

ln

t

4. Masukkan nilai

k

ke persamaan Qt= Qoexp– k* ?t diperoleh nilai Qt dan waktunya tt.

5. Tarik garis lurus titik Qo dan Qt diperoleh persaman garis linier

) 1 ( ) ( + = ω ω N N RB ) 1 ( ) ( − = ω ω L L RL ) 1 ( ) ( − = ω ω A A RA

(23)

hubungan Qo, to, Qt dan tt dengan y = a-bx dimana sumbu y= base flow dan sumbu x= waktu kumulatif

6. Masukan nilai waktu kumultif pada persamaan linier sehingga diperoleh nilai base flow

7. Nilai aliran permukaan diperoleh dengan mengurangi nilai debit dengan nilai base flow

Gambar 11. Pemisahan hidrograf dengan metode garis lurus

• Penentuan Curah Hujan Netto

Penentuan curah hujan netto dengan menggunakan koefisien aliran permukaan, dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Kr : Koefisien aliran permukaan Vr : Volume aliran permukaan (m3) S : Luas DAS (m2)

Pt : Tinggi hujan total dalam satu kejadian hujan (mm)

Intensitas hujan diperoleh dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

D(t) : tinggi hujan pada waktu t (mm) t : interval waktu pengamatan (t)

Intensitas hujan netto dapat diperoleh dengan mengalikan antara koefisien aliran limpasan dengan tinggi hujan tiap jamnya, dimana

Pn(t)= Kr * P(t)

Pn (t) : Intensitas hujan netto p ada waktu t P(t) : Intensitas hujan dalam waktu t

Model H2U (Hydrogramme Unitaire Universel)

Model H2U menghitung kurva pdf (probability density functian ) butir hujan berdasarkan dua parameter yaitu n, order sungai maksimum dan L rataan, yaitu

panjang rat a-rata jalur aliran air. Dengan menetapkan kecepatan aliran pada lereng, pdf waktu tempuh butir hujan pada lereng dapat dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut: o v l t V o v v e l V t . . ) ( − = ρ

ρv(t) :pdf lereng sebagai fungsi waktu t.

v

V

:kecepatan aliran rata-rata pada lereng lo :panjang rata-rata jalur hidraulik pada

lereng

t :interval waktu (1 jam)

Sedangkan untuk menghitung pdf waktu tempuh butir hujan pada jaringan sungai, digunakan persamaan sebagai berikut:

ρRH(t) :pdf jaringan sungai sebagai fungsi waktu t.

n :orde maksimum DAS VRH :kecepatan aliran rata-rata pada

jaringai sungai

L :panjang rata-rata jalur hidraulik pada jaringan sungai

Γ :fungsi gamma t :interval waktu (1 jam)

Untuk mendapatkan pdf (probability density function) DAS,

L t V n n n RH RH RH e t n L V n t 2. . . 1 2 2 . . 2 1 . . 2 . ) ( − −       Γ       = ρ Pt S Vr Kr * 1000 * = t t D t P( )= ()

(24)

dihitung berdasarkan hasil konvolusi antara pdf lereng dengan pdf jaringan sungai :

ρDAS(t) :pdf DAS sebagai fungsi waktu t.

ρv(t) :pdf lereng sungai sebagai fungsi waktu t.

ρRH(t) :pdf jaringan sungai sebagai fungsi waktu t.

• Metode Simulasi Debit

Q(t) : debit aliran permukaan pada waktu t S : luas DAS

Pn(t) : intensitas hujan netto pada waktu t ?(t) : pdf waktu tempuh butir hujan pada

waktu t (dihitung dari pdf panjang alur hidraulik berdasarkan penetapan kecepatan aliran) U : simbol konvolusi

Tabel 3. Contoh hasil dari pdf DAS dan intensitas hujan netto.

t (jam)

t

1

t

2

t

3

...

t

n

pdf DAS (

?

DAS

(t))

?

1

?

2

?

3

...

?

n

Pn (t)(mm/s)

Pn

1

Pn

2

Pn

3

...

P n

t

Tabel 4. Metode konvolusi debit sungai

Debit ke-t

Konvolusi

Debit

(m

3

/detik)

Q

1

Q

2

Q

3

Q

4

Q

5

...

Qt

Pn

1

*?

1

*S

((Pn

2

*?

1

) + (Pn1* ?

2

))*S

((Pn

3

*?

1

) + (Pn

2

*?

2)

+ (Pn

3

* ?

3

))*S

((Pn

4

*?

1

) + (Pn

3

*?

2

) + (Pn

2

* ?

3

) + (Pn

1

*?

4

))*S

((Pn

5

*?

1

) + (Pn

4

*?

2

) + (Pn

3

* ?

3

) + (Pn

2

*?

4

)+(Pn1* ?

3

)*S

...

Pn

t

* ?

n

*S

Selanjutnya kurva fungsi curah hujan dan debit hasil simulasi diplotkan membentuk suatu hidrograf aliran.

• Pengujian Model

Untuk mengevaluasi kualitas hasil simulasi, dilakukan uji perbandingan antara debit pengukuran dengan debit simulasi menggunakan koefisien kemiripan F (Nash dan Sutcliffe, 1970):

(

)

(

)

= = − − − = n i obs sim n i sim obs Q t Q t Q t Q F 1 2 1 2 ) ( ) ( ) ( 1 F = koefisien kemiripan (F = 1; F=1, simulasi sempurna)

Qobs(t) = debit pengukuran pada wakt u ke- t (m3/s)

Qsim(t) = debit simulasi pada waktu ke - t (m3/s)

obs

Q

= debit pengukuran rata-rata (m3/s) Hasil uji F dalam simulasi debit

dibagi kedalam tiga kriteria, yaitu buruk (F<0,5), sedang (0,5>F<0,7) dan baik (F>0,7).

)

(

)

(

)

(

t

v

t

RH

t

DAS

ρ

ρ

ρ

=

[

(

)

(

)

]

)

(

t

S

Pn

t

t

Q

=

ρ

DAS

(25)

Gambar 12. Diagram alir penelitian IV. KEADAAN UMUM DAERAH

KAJIAN 4.1. Topografi

Ketinggian tempat bervariasi mulai 200 meter di atas permukaan laut (mdpl) pada daerah hilir sampai mencapai 3000 mdpl di Gunung Pangrango. Sub DAS Cicatih merupakan daerah yang berbukit-bukit sampai bergunung pada daerah Gunung Salak dan Pangrango , diselingi dengan dataran/lembah diantara bukit dan sungai yang mengalir di sela-selanya.

Kemiringan lereng bervariasi mulai dari datar - sangat curam (Gambar 13). Daerah sangat curam sekali dengan kemiringan lebih dari 50% terletak di daerah hulu sungai dimana terdapat Gunung Salak dan di Sub-sub DAS Cieulang yang terdapat Gunung Pangrango dan Gunung Gede. Secara keseluruhan Sub DAS Cicatih

merupakan daerah yang datar sampai landai seperti di Sub-sub DAS Cikembar. Sekitar 68% wilayah ini merupakan wilayah yang datar sampai landai yang berkemiringan antara 0-20 %. Wilayah dengan kemiringan lereng dengan kategori sangat curam sekali (>50%) sekitar 3% dari keseluruhan wilayah atau 1589 ha. Tabel 5. menyajikan luas (ha) dan persentasenya untuk masing-masing kelas kemirigan lereng.

(26)

Cibunar Pakuwon Cicurug Sinaga r Sekarwangi Cikembar C ipendeuy Cisampor a Cicatih Ciboda s Gambar 13. Peta kemiringan lereng Sub

DAS Cicatih

Tabel 5. Persentase luas lahan pada berbagai kelas kemiringan lereng

4.2. Iklim

Sub DAS Cicatih memiliki curah hujan yang tinggi dengan rata-rata curah hujan tahunan lebih dari 2.000 mm. Dari 14 stasiun pengamatan curah hujan , Stasiun Salabintana menerima curah hujan tahunan tertinggi (3624 mm) dengan rataan bulanan 302 mm dan Stasiun Cibunar menerima curah hujan terendah (2271 mm) dengan rataan bulanan sebesar 189 mm. Tinggi curah hujan tahunan disajikan dalam bentuk isohyet pada Gambar 14.

Gambar 14. Isohyet rata-rata tahunan di Sub DAS Cicatih.

Berdasarkan perhitungan curah hujan wilayah dengan metode Thiessen, selama kurun waktu 10 tahun (1993-2003) didapatkan bahwa curah hujan terendah

terjadi pada bulan Juli dan tertinggi pada bulan November (Gambar 15.). Setelah mencapai nilai maksimum curah hujan akan mengalami penurunan dan akan kembali naik pada bulan Maret setelah itu kembali mengalami penurunan sampai mencapai nilai minimum pada bulan Agustus.

Gambar 15. Wilayah curah hujan dengan menggunakan metode Thiessen di Sub DAS Cicatih

Gambar 16. Curah hujan rata-rata bulanan selama kurun waktu 10 tahun (1993-2003) di Sub DAS Cicatih dengan metode Thie ssen serta nilai maksimum dan minimumnya.

Pada Gambar 16. dibawah ini disajikan box plot dari curah hujan rata-rata bulanan diseluruh 15 stasiun yang ada di Sub DAS Cicatih selama periode 1993-2003. Berdasarkan G ambar 16, terlihat pola penyebaran dari data-data hujan tidak secara

0 5 0 100 150 200 250 300 350 400 450 500

Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agst Sep Okt Nov Des

Bulan

Tinggi Hujan (mm)

(27)

normal. A da beberapa bulan yang memiliki nilai pencilan seperti bulan Januari dan Agustus. Pada bulan Januari dapat diketahui bahwa ada stasiun curah hujan di Cicatih yang curah hujan bulanan berbeda diantara stasiun lainnya. Untuk Bulan Agustus terdapat dua pencilan yaitu terdapat dua stasiun penakar curah hujan yang datanya berbeda dengan stasiun lain.

Gambar 17. Box plot curah hujan bulanan di 15 stasiun penakar selama kurun waktu 10 tahun (1993-2003) di Sub DAS Cicatih Menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson daerah-daerah di Sub DAS Cicatih termasuk ke dalam tipe iklim A yang berarti daerah sangat basah dengan vegetasi hutan hujan tropik dan B yang berarti daerah basah dengan vegetasi masih hutan hujan tropik (Tabel 6). Sedangkan berdasarkan klasifikasi iklim Koppen seluruh wilayah Sub DAS Cicatih termasuk tipe iklim Af yang berarti bahwa suhu minimumnya lebih dari 18 oC dan curah hujan minimumnya lebih dari 60 mm.

Tabel 6. Tipe iklim Schimdt-Ferguson (SF) dan Koppen (K) pada daerah-daerah di Sub DAS Cicatih

Stasiun Tipe Iklim

SF K Parakansalak A Af Cicurug B Af Cipetir A Af Sinagar A Af Mandaling B Af Cisampora B Af Cikembang B Af Salabintana A Af Sukabumi B Af Sumber: Rafii (1995)

Berdasarkan Gambar 18, dapat diketahui dari nilai tengah bahwa suhu udara di Sub DAS Cicatih mencapai nilai maksimum pada bulan Mei dan minimum pada bulan Februari. Suhu rata-rata bulanan di wilayah ini berkisar antara 24.6 oC sampai 26.0 oC. Pada Bulan Januari, Maret dan April terdapat nilai pencilan sehingga pada bulan dan tahun tertentu suhu udara dalam kondisi tidak normal atau terjadi penyimpangan.

Gambar 18. Box plot suhu bulanan selama 10 (tahun 1989-1999) tahun di Sub DAS Cicatih.

4.3. Penutupan Lahan

Terdapat tujuh tipe penutupan lahan di Sub DAS Cicatih, yaitu hutan, kebun/perkebunan, tegalan, sawah, pemukiman, rumput/tanah kosong, semak belukar, dan tubuh air (Gambar 19). Tipe penutupan lahan yang mendominasi wilayah ini adalah kebun/perkebunan yang mencapai 28% dari luasan total atau sekitar 14.720 ha sedangkan tubuh air hanya menempati luasan 9 ha (0,02%). Luas dan persentase penutupan lahan di Sub DAS Cicatih dapat dilihat pada Tabel 7. di bawah ini.

Tabel 7. Luas (ha) daerah pada masing-masing tipe penutupan lahan

Ti ng g i H u ja n ( m m ) Des Nov Okt Sept Agus Jul Jun Mei Apr M ar Feb Jan 500 400 300 200 100 0 Bulan

(28)

Gambar 19. Peta Penutupan Lahan Sub DAS Cicatih tahun 1999. Berdasarkan Gambar 19 di

atas daerah hutan berada pada daerah hulu sungai yang mempunyai kelerengan curam sampai sangat curam sekali tep atnya disekitar Gunung Salak, Gunung Pangrango dan Gunung Gede. Hanya sebagian kecil hutan yang berada di daerah tengah DAS yaitu yang berada di Gunung Walat. Daerah persawahan sebagian besar berada di wilayah tengah dan hulu DAS yang berada pada daerah dengan kemiringan kurang dari 20%. Untuk daerah perkebunan yang mendominasi DAS ini terletak pada daerah tengah dan hilir DAS dengan kemiringan kurang dari 10%.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Geomorfologi DAS

5.1.1. Orde Sungai dan Rasio Percabangan Langkah awal analisis jaringan hidrologi Sub DAS Cicatih adalah penentuan orde sungai berdasarkan klasifikasi Horton yang dimodifikasi oleh Strahler. Jaringan Hidrologi Sub DAS Cicatih mempunyai lima Sub-sub DAS yang meliputi Sub-sub DAS Cicatih Hulu, Cipalasari, Ciheulang, Cileuleuy dan Cikembar dapat dilihat pada Gambar 20, dimana Sub DAS Cicatih mempunyai orde sungai sampai pada orde ke enam dengan 166 buah anak sungai pada orde-1 yang memberikan kontribusi aliran air sampai pada outlet DAS, 41 buah sungai orde-2, 14 buah sungai orde-3, 4 buah sungai orde-4, 2 buah sungai orde-5 dan 1 buah sungai orde-6.

(29)

Sistem orde sungai tergantung pada jumlah orde yang secara langsung proporsional untuk mengukur kontribusi sungai dan dimensi sungai karena jumlah orde dapat menentukan peubah dimensi fraktal berupa rasio percabangan yang merupakan rasio jumlah segmen orde N? terhadap jumlah segmen orde yang lebih tinggi N? +1. Jumlah orde dan nilai RB tiap orde pada Sub DAS Cicatih dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Tabel 8):

Tabel 8. Jumlah orde dan nilai RB Sub DAS Cicatih

Dari tabel di atas, terlihat bahwa nilai rasio percabangan Sub DAS Cicatih pada setiap orde sungai dengan kisaran 2- 4.2 sesuai dengan referensi dari Chow (1964) nilai RB pada kondisi normal adalah 2-5 untuk sungai yang struktur geologi tidak merubah pola drainase. Nilai rasio percabangan tidak sama dari satu orde ke orde berikutnya karena perubahan variasi dalam geometri sungai.

Perhitungan nilai rataan RB untuk jaringan sungai dapat dibuat slope dari regresi antara logaritmik jumlah orde (sumbu y) dan orde (sumbu x) yang mempunyai hubungan linier. Pada Gambar 21 ini menunjukkan hubungan regresi linier antara logaritmik jumlah orde dan orde.

Gambar 21. Hubungan antara logaritmik jumlah orde dengan orde di Sub DAS Cicatih

Dari grafik regresi semi logaritmik tiap orde sungai diperoleh nilai RB Sub DAS Cicatih adalah 2,8. RB merupakan dimensi properti atau bentuk yang dipengaruhi oleh sistem drainase yang materialnya homogen untuk persamaan geometrik. Menurut Chow (1964), semakin kecil nilai RB suatu DAS maka bentuk hidrograf yang akan dihasilkan semakin landai dan jika nilai RB semakin besar, maka bentuk hidrograf yang dihasilkan akan ekstrim dimana penurunan dan kenaikan aliran sungai akan berlangsung cepat. Berdasarkan nilai RB yang diperoleh, bentuk hidrograf yang akan dihasilkan tidak jauh berbeda hidrograf pada DAS C pada Gambar 6.

5.1.2. Panjang Sungai dan Rasio Panjang Perhitungan panjang tiap segmen orde sungai dilakukan dengan otomatisasi GIS Strahler, panjang segmen sub DAS Cicatih secara lengkap dapat dilihat pada lampiran 1-3. Unt uk nilai RL tiap orde dapat dilihat pada Tabel 9 dibawah ini:

Tabel 9. Panjang rata-rata (m2) dan nilai RL Sub DAS Cicatih

Dari nilai rataan panjang tiap orde sungai dapat menentukan peubah dimensi fraktal yakni rasio panjang sungai yang nilai rat aannya diperoleh dari persamaan regresi semi logaritmik (Gambar 22).

Gambar 22. Hubungan antara logaritmik panjang sungai dengan orde di Sub DAS Cicatih

y = -0,4451x + 2,5383 R2 = 0,9823 0 0,5 1 1,5 2 2,5 0 1 2 3 4 5 6 7 Orde (?)

Log jumlah orde (log ?)

y = 0.3292x R2 = 0.4643 y = 0.0441x R2 = 0.6623 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 0 1 2 3 4 5 6 7 Orde (?)

Log panjang sungai rata

2

(Log L?)

(30)

Berdasarkan Gambar 22. nilai RL Sub DAS Cicatih adalah 2,1 yang berarti RL dalam kondisi normal menurut referensi Chow (1964), dimana nilai RL pada kondisi normal adalah 1,5 – 3,5. Dilihat dari gambar terdapat nilai pencilan pada orde 6, bila data tersebut dihilangkan maka nilai RL menjadi 1.1 sehingga jauh dari referensi. Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai pencilan tidak dapat dihilangkan karena dapat menyebabkan nilai RL jauh dari referensi baku yang digunakan.

Berdasarkan Persamaan Rodriguez-Iturbe dan Valdes (1979) nilai RL akan mempengaruhi debit puncak dan waktu

untuk mencapainya. Bila nil ai RL semakin tinggi maka debit puncak yang akan di hasil semakin besar dan sebaliknya. Sedangkan untuk waktu mencapai debit puncak akan semakin lama jika nilai RL semakin kecil dan sebaliknya.

5.1.3. Luas Sungai dan Rasio Luas

Penentuan luas tiap orde sungai dilakukan dengan software DIGEM sehingga diperoleh luas total DAS Cicatih sampai pada orde ke enam 52979 ha, sedangkan luas tiap orde sungai dapat dilihat pada Tabel 10 di bawah ini:

Tabel 10. Luas Sungai tiap orde di Sub DAS Cicatih

Orde (?)

A

?

(m

2

)

N

?

A

ω

(m

2

)

A

? -1

(m

2

)

R

A

1

295373294

166

1779357

2

124135378

41

3027692

1779357

1,7

3

59119552

14

4222825

3027692

1,4

4

20321281

4

5080320

4222825

1,2

5

5360000

2

2680000

5080320

0,5

6

20986829

1

20986829 2680000

7,8

Gambar 23. Hubungan antara logaritmik luas sungai rata-rata dengan orde di Sub DAS Cicatih Dari Gambar 23 di atas diperoleh nilai regresi logaritmik tiap orde sungai sehingga nilai RA atau rasio luas Sub DAS Cicatih adalah 1,42. Dari gambar tersebut juga diketahui bahwa pada orde 5 terdapat nilai yang menyimpang (pencilan), bila nilai tersebut dihilangkan maka RA untuk Sub DAS Cicatih adalah 1.6. Kedua nilai ini sangat kecil dari referensi Chow (1964) yang berkisar 3-6 dalam kondisi normal. Salah satu faktor yang menyebabkan nilai ratio luas sangat kecil adanya kesalahan dalam menganalisis luas tiap orde sungai karena sangat sulitnya dalam menentukan nilai tersebut. Berdasarkan persamaan

Valdes-Iturbe dan Valdes (1979) nilai RA akan mempengaruhi waktu mencapai debit puncak. Bila nilai RA kecil maka waktu diperlukan mencapai debit puncak juga akan panjang dan sebaliknya.

5.1.4. Dimensi Fraktal

Berdasarkan hukum Horton (1945) dalam Liu (1992) menyatakan bahwa sebaran jaringan sungai secar a statistika berupa rasio percabangan sungai, rasio panjang rata- rata sungai dan rasio luas merupakan parameter yang sangat berguna untuk mengetahui struktur fraktal jaringan sungai. Dimensi fraktal merupakan rasio logaritmik dari rasio percabangan terhadap rasio panjang sungai sehingga diperoleh nilai dimensi fraktal DAS Cicatih 1,4. Berdasarkan Tabel 11. nilai dimensi fraktal jaringan hidrologi relatif sama untuk DAS yang besar dan kecil walaupun terdapat perbedaan stuktur geometrik percabangan dan panjang segmen tiap sungai berbeda-beda. Berdasarkan hal tersebut maka jaringan sungai mempunyai dimensi yang sama yaitu dimensi fraktal. Nilai dimensi fraktal sekitar 1-2 dimana arti dari nilai tersebut adalah dimensi garis lurus sedangkan angka dibelakang koma berhubungan dengan bentuk percabangan. Bila nilai dibelakang koma semakin besar maka bentuk percabangan akan semakin

y = 0.1509x + 6.1075 R2 = 0.5759 y = 0.2036x + 6.0255 R2 = 0.9586 6.0 6.2 6.4 6.6 6.8 7.0 7.2 7.4 0 1 2 3 4 5 6 7 Orde (?)

Log Luas rata-rata

(31)

rumit dan sebaliknya. Dimensi fraktal mempunyai arti suatu dimensi bentuk yang tidak teratur dengan skala yang identik dari bentuk aslinya.

Tabel 1 1. Nilai RB, RL dan dimensi Fraktal pada berbagai DAS di Perancis dan Indonesia

5.2. Parameter Model H2U

Parameter model diidentifikasi berdasarkan analisis peta Sub DAS Cicatih skala 1:100.000, yang didapatkan dari studi topografi menggunakan data DEM. Informasi yang didapatkan dari analisis peta meliputi panjang alur hidraulik maksimum

dan rata-rata untuk jaringan sungai dan lereng, serta orde sungai maksimum menurut kriteria Strahler (195 2). Sedangkan kecepatan aliran pada jaringan sungai dan lereng ditetapkan berdasarkan studi literatur dan optimisasi. Hasil pengukuran parameter-parameter model disajikan pada Tabel 11.

Gambar 24. Peta Sub DAS Cicatih dan stasiun pengamatan aliran sungai Tabel 1 2. Parameter model H2U di Sub DAS Cicatih

(32)

Berdasarkan nilai parameter model H2U yang ditampilkan pada Tabel 11, dapat diperoleh kurva fungsi kerapatan probabilitas (pdf) waktu tempuh butir hujan pada lereng dan jaringan sungai di Sub DAS Cicatih yang dihitung berdasarkan aplikasi model H2U. Kurva pdf lereng (?v(t)) di tampilkan pada Gambar 25 dan kurva pdf jaringan sungai (?RH(t)) disajikan pada Gambar 26.

Gambar 25. Kurva pdf lereng sungai di Sub DAS Cicatih

Gambar 26. Kurva pdf jaringan di Sub DA S Cicatih

Setelah memperoleh nilai dan grafik pdf lereng serta jaringan sungai, dilakukan konvolusi antara nilai pdf lereng dan jaringan sungai, sehingga diperoleh pdf DAS secara keseluruhan dimana nilai pdf ini yang akan digunakan dalam simulasi debit.

Hasil konvolusi ditampilkan pada Lampiran 9 sedangkan Bentuk kurva pdf DAS dapat dilihat pada Gambar 27.

Gambar 27. Kurva pdfDAS waktu tempuh butir hujan di Sub DAS Cicatih Gambar 27. menunjukkan bahwa titik puncak kurva pdf waktu tempuh butir hujan terjadi saat waktu mencapai 10800 detik atau 3 jam. Besaran ini merupakan waktu yang dibutuhkan butir hujan yang jatuh di titik terjauh permukaan DAS untuk mencapai outlet DAS, atau dengan pengertian lain waktu yang dibutuhkan Sub DAS Cicatih untuk merespon input hujan dan mengkonversinya menjadi debit aliran sungai.

5.3. Pemisahaan Aliran Permukaan dengan Aliran Dasar

Berdasarkan Hidrograf pengamatan, dapat dipisahkan antara aliran permukaan dan aliran dasar dengan menggunakan metode garis lurus (straight line method). Dalam pemisahan dengan menggunakan metode garis lurus perlu ditentukan nilai Q0, to, Qt,, tt dan nilai k (Tabel 12.). Untuk nilai to dianggap sama dengan 1 jam. Nilai-nilai tersebut akan menentukan nilai aliran dasar dengan membuat persamaan garis lurus (y = a+bx). Grafik pemisahan hidrograf tiap episode hujan terdapat pada Lampiran 9.

0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 0.35 0.40 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Waktu (jam) ? v (t) 0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 0.35 0 1 2 3 4 5 Waktu (jam) ? RH (t)

pdf Sub DAS Cicatih (?DAS) VRH = 2,05m/s; Vv=0,04 m/s; ?t = 1 jam 0.00 0.02 0.04 0.06 0.08 0.10 0.12 0.14 0.16 0.18 0.20 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0 11 12 1 3 1 4

Waktu (t) dalam jam

?

DAS

(t)

(33)

5.4. Koefisien Aliran Permukaan (Kr) Berdasarkan hasil pemisahan aliran permukaan dan aliran dasar dapat diketahui nilai koefisien aliran permukaan. Nilai Kr dengan metode tersebut disajikan dalam Tabel 14. Menurut Arsyad (2000) faktor yang mempengaruhi koefisien limpasan adalah laju infiltrasi tanah, penutupan lahan dan karakteristik curah hujan. Pada penent uan Kr dengan pemisahan hidrograf faktor laju infiltrasi dan penutupan lahan dianggap konstan sehingga faktor karektristik hujan menjadi penentu.

Tabel 14. Koefisien aliran permukaan dari 8 episode hujan terpilih

Dari tabel 13 diatas terlihat bahwa nilai koefisien limpasan untuk 8 episode

hujan sekitar 0.16-0.25 artinya sebagian kecil (sekitar 16-25%) hujan yang turun di kawasan DAS akan menjadi aliran permukaan sehingga air hujan yang terinfiltrasi ke dalam tanah lebih besar. 5.5. Pengujian Model H2U dan Nilai Uji F

Pemilihan episode hujan untuk simulasi berdasarkan dari hujan tunggal yang menghasilkan hidrograf aliran dengan puncak tunggal dan tinggi hujan harian yang lebih dari 20 mm. Dari Kriteria tersebut menghasilkan 8 episode hujan. Tinggi curah hujan harian diperoleh dengan merata-ratakan hujan harian yang terekam di Sub DAS Cicatih, sehingga hujan yang digunakan adalah hujan wilayah. Untuk memperoleh hujan jam-jaman, dilakukan dengan mengalikan curah hujan harian dengan nilai normalized (selang antara 0-1) jam -jaman pada Stasiun Citeko. Grafik unt uk pola hujan pada tiap episode hujan terdapat pada Lampiran 8.

Setelah diperoleh hujan dengan interval jam dapat dilakukan simulasi untuk memperoleh grafik hidrograf. Grafik analisis hidrograf simulasi dari kedelapan episode hujan terpilih disajikan pada Gambar 28 dibawah ini.

Sub DAS Cicatih, Episode Hujan 4 Januari 2001 dengan CH = 50 mm 0.0 50.0 100.0 150.0 200.0 250.0 19:00 20:00 21:00 22:00 23:00 0:00 1:00 2:00 3:00 4:00 5:00 6:00 7:00 8:00 9:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 1/4/2001 1/5/2001 Waktu (Jam) Debit (m 3/s) 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Curah hujan (mm)

Hujan Debit Pengukuran Debit Simulasi

F = 0,77

Sub DAS Cicatih, Episode Hujan 8 Januari 2001 dengan CH = 24 mm 0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 120.0 16:00 17:00 18:00 19:00 20:00 21:00 22:00 23:00 0:00 1:00 2:00 3:00 4:00 5:00 6:00 7:00 8:00 9:00 8/1/2001 9/1/2001 Waktu (Jam) Debit (m 3/s) 0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0 40.0 Curah hujan (mm)

Hujan Debit Pengukuran Debit Simulasi

F = 0,97

Sub DAS Cicatih, Episode Hujan 27 Januari 2001 dengan CH = 20 mm 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0 100.0 16:00 17:00 18:00 19:00 20:00 21:00 22:00 23:00 0:00 1:00 2:00 3:00 4:00 5:00 6:00 7:00 8:00 Debit (m 3/s) 0 5 10 15 20 25 30 35 40 Curah hujan (mm) F = 0,97

Sub DAS Cicatih, Episode Hujan 30 Januari 2001 dengan CH = 26 mm 0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 120.0 14:00 15:00 16:00 17:00 18:00 19:00 20:00 21:00 22:00 23:00 0:00 1:00 2:00 3:00 4:00 5:00 6:00 7:00 8:00 Debit (m 3/s) 0 5 10 15 20 25 30 35 40 Curah hujan (mm) F = 0.90

Gambar

Gambar 1. Daur hidrologi di permukaan    (http://www.lablink.or.id/Hidro/Siklus/air -siklus.htm)  Menurut Ward dan Robinson (1990)
Gambar 3. Kompenen hidrograf satuan ( Viessman, 1989)  Keterangan:
Gambar 4. mengilustrasikan teknik  pembuatan grid untuk menentukan panjang
Gambar 5.  Sistem orde  sungai  menurut  Strahler  (1952)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Debit dugaan menggunakan model SWAT dan debit hasil pengukuran pada kejadian hujan dan penggunaan lahan tahun 2003, 2006 dan 2009 masing-masing disajikan dalam Gambar 8, 9 dan

Secara umum penanggulangan longsor pada Restorasi Sungai Cikapundung disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah air hujan yang berinfiltrasi ke dalam

KRS adalah perbandingan antara debit maksimum (Qmaks) dengan debit minimum (Qmin) dalam suatu DAS. Nilai KRS ini dapat menunjukkan fluktuasi antara musim hujan dan musim

Jika grafik rating curve antara tinggi muka air dan debit aliran mempunyai koefisien korelasi dan koefisien determinasi yang baik maka grafik tersebut dapat

Curah hujan dan suhu udara ini akan berpengaruh langsung terhadap nilai evapotranspirasi tanaman, dimana curah hujan merupakan faktor penting pada siklus hidrologi

Garis lengkung sedimen (sediment rating curve) merupakan suatu metode atau persamaan yang digunakan umtuk menganalisa hubungan antara debit aliran dengan debit suspensi.. Didalam

Kesesuaian Hidrograf Satuan Sintetik Terhadap Hidrograf Satuan Terukur (Studi Kasus Sub Sub Daerah Aliran Sungai Pedindang Bagian Tengah) beserta perangkat yang ada

terlihat bahwa daerah kecamatan Ungaran Timur dan kecamatan Banyumanik dengan curah hujan yang tinggi dengan penutupan lahan yang sebagian besar pemukiman memiliki