• Tidak ada hasil yang ditemukan

SASTRA PERANAKAN TIONGHOA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SASTRA PERANAKAN TIONGHOA"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

SASTRA PERANAKAN TIONGHOA

KELOMPOK 1 : 1. Amani Khairiyah 2. Dhinda Wulandari 3. Putri Aulia Salsta

(2)

LATAR BELAKANG

Kemunculan Sastra Indonesia- Tianghoa tiba saat suatu batas ikatan yang agak erat dengan penerjemah hasil karya sastra Tiongkok ke dalam bahasa Melayu - Rendah. Cerita- cerita rakyat Tiongkok yang di terjemahkan ke dalam bahasa Melayu - Rendah yang di mulai sejak abad ke -19 (Lan. 2013, hal. 304).

Sekelompok masyarakat Tionghoa yang baru saja tiba dari Tiongkok, baru saja memiliki satu keturunan yang tinggal di Indonesia, bisa saja dikatakan sebagai orang Tionghoa. Dan orang Tionghoa yang sudah tinggal di Indonesia dalam beberapa kurun waktu juga bisa disebut orang Tionghoa. Tetapi jika ditinjau dari sudut pandang psikologis, akan terlihat ada perbedaan di antara kedua kelompok orang Tionghoa ini (Lan, 1962, hlm. 7).

Perbedaan di antaranya, kedua kelompok tersebut bisa dilihat dari kelompok yang pertama yaitu kelompok Tionghoa-Totok. Tionghoa -Totok sebutan untuk orang Tionghoa yang baru saja tiba dari Tiongkok yang umumnya bertujuan tidak untuk tinggal tetap di Indonesia dan kelak ia akan kembali ke negerinya. Mereka memilih Indonesia hanya untuk mencari nafkah dan sifatnya sementara. Bahkan jika ada yang sudah meninggal pun jenazahnya akan tetap dipulangkan ke negerinya (Lan, 1962, hlm. 8).

Sedangkan Kelompok yang kedua, yakni Tionghoa-Peranakan, Tionghoa-Peranakan sebutan untuk Tionghoa yang sudah memiliki beberapa keturunan yang terus menetap di Indonesia, sedikitnya dua sampai tiga keturunan. Umumnya mereka sudah tidak bisa berbahasa Tionghoa lagi, sementara hubungan mereka dengan negeri Tiongkok sudah terputus. Bagi mereka Indonesia adalah tanah air mereka. Tidak ada sedikit harapan dan pemikiran untuk mereka kembali ke Tiongkok walaupun mereka masih melakukan tradisi Tiongkok.

Sastra Melayu Tionghoa pada awalnya ditulis dalam bahasa Melayu Dikembangkan oleh komunitas Tionghoa dan Tionghoa perantauan Hindia Belanda, terutama di pulau Jawa, pada tingkat yang lebih rendah Di Malaysia dari akhir abad ke-19 hingga 1945 Sastra dilupakan. Generasi sebelumnya yang menikmatinya berangsur-angsur habis, dan generasi baru menerima pendidikan di lingkungan yang relevan Orang yang berbeda telah kehilangan kontak dengan budaya masa lalu, mereka pikir itu tidak benar Berguna dan ketinggalan zaman saat berurusan dengan karya sastra.

Di Indonesia sendiri banyak penulis bahasa Melayu Tionghoa yang punya karya , ia menulis buku-buku pada generasi yang mendahului Balai Pustaka, seperti Percobaan Romawi "Setia "sama dengan" Saltima "Tio Ie Soei," membesarkan Salah "sama saja dengan Karya Vjoo

(3)

Cheong Seng berjudul "Nona Olanda Sebagai Istri Tionghoa", Salah Pilih sama dengan Miss Iam Im Tan Boen Kim. Ada tokoh perempuan dalam cerita ini yang marah karena berusaha Pendidikan Belanda. Penulis Indonesia pertama mengerjakan temanya Usia dua puluhan adalah masalah nyata dan sibuk berbicara komunitas seperti adat istiadat, kawin paksa, budaya, tradisi dan modernisasi. Penulis Cina juga melihat masalah serupa karena pengaruhnya Kebudayaan Barat dibawa oleh pemerintah kolonial Belanda.

Kekayaan dan Harta karun kesusastraan etnis Tionghoa harus dikaji ulang sebagai keragaman budaya Indonesia. Memang, pemerintahan Orde Baru telah menjunjung budaya Tionghoa di Indonesia baik dalam masalah agama, budaya dan sastra.

KARAKTERISTIK

Sastra Peranakan Tionghoa memang merupakan jenis sastra yang sangat khusus yang mungkin hanya terdapat di Indonesia saja, tapi bukanlah sesuatu yang tidak berdasar. Munculnya sastra ini juga adalah suatu kewajaran dari sejarah perkembangan masyarakat jajahan di Indonesia. Sastra peranakan tionghoa itu umumnya langsung mengambil bahan ceritanya dari peristiwa-peristiwa aktual yang terjadi dalam masyarakat di bawah judulnya sering tercantum kalimat : Satoe tjerita yang soenggoe-soenggoe soedah terjadi di ...

Ini tampaknya telah menjadi tradisi baik yang membuat sastra peranakan Tionghoa lebih bersifat realistis dan tak terpisah dari kehidupan masyarakatnya. Mula – mula tema yang digarapnya memang agak terbatas pada lingkungan kehidupan masyarakat peranakan Tionghoa, tapi kemudian setelah kebangkitan nasional Indonesia, terutama sesudah memasuki tahun 20-an, tema yang di garapnya telah meluas ke masyarakat pribumi, dan tidak sedikit karya-karya yang langsung mengambil tempat,tokoh,kejadian dari masyarakat pribumi sebagai pokok ceritanya. Karena adanya tradisi seperti yang disebut di atas, karya-karya dari sastra peranakan Tionghoa itu lebih gesit dan lebih berani menimba bahan-bahan kreasinya dari peristiwa-peristiwa yang sedang bergolak di tengah masyarakat, sehingga tema yang digarapnya, bidang yang disorotnya, masalah yang digubrisnya lebih luas dari pada sastra Balai Pustaka. Sehingga dalam karya-karya nya pun tidak tercermin. Dalam perkembangan bahasa Indonesia, sastra peranakan Tionghoa pun telah memberikan sumbangannya. Bahasa yang di pakainya adalah bahasa Melayu umum yang lebih mementingkan kepraktisan sehingga lebih lincah, luwes dan hidup dari pada bahasa baku balai pustaka, dan dalam proses perkembangannya juga menuju ke bahasa Indonesia sekarang. Ternyata sastra peranakan Tionghoa itu jeuh lebih kaya, lebih luas dan lebih bermutu dari pada yang di sangka orang semula.

(4)

TOKOH DAN KARYA SASTRA YANG BERPENGARUH

Karya-karya yang di tulis para pengarang atau intelektual Tiong hoa juga mengungkapkan pemikiran mereka dengan demikian, Sastra peranakan Tionghoa itu semua menjadi sumber inspirasi dan bahan kreasinya yang menghasilkan sejumlah novel seperti drama :

a. Drama di Boven Digoel Oleh Kwee Tek Hoay (1929-32).

drama di Boven Digoel oleh Kwee Tek Hoay, roman ini mulai dimuat sebagai feuilleton dalam majalah Panorama (seluruhnya 180 nomor), begitu hangat sambutannya dari kalangan pembaca sehingga pada tahun 1938 perlu diterbitkan kembali dalam bentuk buku empat jilid denganjumlahhalamannyamencapai718 halaman - sebuah roman besar yang tak pernah dicapai sastra Balai Pustaka pada masa itu yang penting bukan hanya tebalnya saja, tapi juga isinya yang sangat kaya dan luas, merangkul macam-macam masalah penting seperti politik, percintaan, filsafat, keagamaan sampai ke masalah kreasi sastra dan bahasa. Yang tak kurang menarik adalah kritik si pengarang melalui tokoh-tokoh ceritanya. terhadap bahasa baku Balai Pustaka. Dikatakannya bahwa bahasa Melayu Riau yang kukuh dipertahankan oleh pemerintah Hindia Belanda itu adalah bahasa «yang asing dan sabagian besar tidak tjotjok dengan kabiasaan kita», bahwa «styl dan atoerannya Melajoe Riouw tida bisa dipake boeat loekisan pikiran satjara atoeran Barat yang sifatnya terang dan ringkes», maka itu «styl yang dipake dalam boekoe-boekoe dari Volkslectuur ada jelek, tidak menoeroet natuur, hingga waktoe menoetoerkan orang bitjara, atawa meloekiskan orang poenja tabeat dan tingkah lakoe, tidak tjotjok dengan kaadaaan sabenarnja», dengan demikian buku-buku Balai Pustaka, termasuk yang ditulis oleh beberapa pengarang yang termasyur «samoea bersifat entjer, tida ada rasanja apa-apa.

b. Darah dan air mata di Boven Digoel Oleh Oen Bo Tik (1931)

c. Antara idoep dan mati atawa boeroen Oleh Boven Digoel Oleh Wiranta (1931) d. Merah Oleh Lim Khing Hoo (1937)

e. Dan baru-baru ini dalam suatu kesempatan di perlihatkan sebuah novel bahasa sunda yang menurut dugaan ada kemungkinan besar hasil karya seorang peranakan Tionghoa, Judulnya Tjin Nio atawa istri sadjati di medan perang tiongkok-Japan (1938) Oleh A.S. Tamoe wiredja. Walaupun baru sebuah novel bahasa Sunda yang sempat ditemukan dan dibicarakan, namun dari isi dan mutu novel ini agaknya kita sudah bisa memperoleh kesan bahwa sastra peranakan Tionghoa dalam sastra Sunda telah mencapai suatu tingkat yang lumayan. Dan kenyataan bahwa novel Tjin Nio ini cepat terjual habis sehingga perlu segera dicetak ulang membuktikan bahwa sambutannya cukup baik dan pembacanya tidak sedikit.

f. Tjerita Njai Soemirah Karya Thio Tjin Boen, (1917)

Tjerita Njai Dasima (c.1896) yang diadaptasi ulang dari karya G. Francis oleh tiga pengarang peranakan Tionghoa, yakni Lim Kim Hok, Tjiang O.S., dan Lim Pakoe membuktikan bahwa topik per‐ nyaian dalam pemikiran peranakan Tionghoa menjadi satu topik cerita yang populer pada masa itu. Kenyataan itu ju‐ ga didukung oleh terbitnya cerita per‐ nyaian oleh

(5)

para pengarang yang bukan peranakan Tionghoa. Selain itu, pada ta‐ hun 1904 juga terbit satu teks yang ber‐ judul cerita Njai Alimah oleh Oei Soei Tiong. Njai Alimah menyampaikan infor‐ masi tentang kehidupan pernyaian yang melibatkan kelompok etnik Eropa, Arab, dan Tionghoa (Salmon, 1981:32). Masa berikutnya, terbit satu cerita yang berte‐ ma pernyaian yakni Tjerita Njai Soemirah (1917) oleh Thio Tjin Boen dan Tjerita Njai Marsina (1922) karya Numa. Tjerita Njai Soemirah (1917) karya Thio Tjin Boen ini menjadi satu kasus yang ter‐ sendiri sebab Soemirah tidak dijadikan nyai tetapi dinikahi dan dibawa ke Shanghai. Kompleksitas kasus Tjerita Njai Soemirah (1917) itu terletak pada perso‐ alan ras, agama, dan bangsa.

g. Peniti dasi berlian karya Tan King Tjan (1922)

Tan King Tjan dalam Peniti Dasi Barlian (1922) mengungkapkan pemikir‐ annya tentang pernyaian. Melalui tokoh Soemarti, yang ditolong oleh Liang Djin, dia melegalkan atau mendukung sistem pernyaian ini. Hal ini dibuktikan ketika Soemarti bersedia menjadi “istri” Liang Djin karena persoalan perbedaan bangsa dan ras. Soemarti diletakkan pada posisi inferior dalam ras dan kebangsaan bila dihadapkan pada Hiang Nio. Soemarti menyadari bahwa dirinya tidak sebangsa dan tidak pantas menjadi istri sah Liang Djin. Atas desakan dan bujukan Soemarti, akhirnya Liang Djin menyetujui Hiang Nio menjadi istri sahnya. Soemarti mela‐ markan Hiang Nio untuk “suaminya”, Liang Djin, sehingga Hiang Nio resmi menjadi istri sah Liang Djin, sedangkan Soemarti rela menempati posisi sebagai gundik Liang Djin. Persoalan nyai dalam novel Peniti Dasi Barlian (1922) ini juga menunjuk‐ kan adanya persoalan bangsa atau ras. Perbedaan bangsa menyebabkan perbe‐ daan status dan derajat sehingga posisi yang dianut juga berbeda. Persoalan nyai juga erat hubungannya dengan persoalan uang dan ekonomi. Sang Tuan jika hen‐ dak memelihara nyai biasanya harus me‐ miliki kekayaan yang cukup. Dalam kasus Soemarti ini, rasa inferior sebagai perem‐ puan pribumi lebih menonjol. Selain itu, persoalan kawin campur tampaknya ma‐ sih menjadi masalah yang utama yang menimbulkan banyak perbedaan penda‐ pat. Novel Peniti Dasi Barlian (1922) kar‐ ya Tan Kin Tjan ini setidak‐ tidaknya telah memberikan informasi tentang nyai yang erat hubunganya dengan sikap inferior, kebangsaan, dan kawin campur. Mentali‐ tas minder martabat tampaknya di‐ konstruksikan dan disosialisasikan da‐ lam novel ini, terutama perempuan pri‐ bumi dengan bangsa Asia kelas dua.

h. Siek Hiang Hio atau Achirnja Toch Beroentoeng, Tjeritanja saorang prampoean (1924) karya Thio Sing Liong, Boenga Roos dari Tjikembang (1927)

i. Magdalena Chen (1933) karya oey kim soey j. Nona Bing Nio (1935) karya Siem Kiem Tjang

k. Di antara karya-karya sastra yang terbit di awal masing-masing periode, terdapat dua karya yang memiliki persamaan sehingga keduanya dapat dibandingkan, yaitu Lo Fen Koei dan Sitti Nurbaya. Lo Fen Koei karya Gouw Peng Liang yang terbit pada tahun 1903 dan Sitti Nurbaya karya Marah Rusli yang terbit pada tahun 1922 sama-sama menceritakan adanya seorang pria kayaraya yang ingin mendapatkan seorang wanita untuk menjadi istrinya dengan menghalalkan berbagai macam cara.

(6)

PERISTIWA SASTRA

Sastra Peranakan Tionghoa dalam Konstelasi Kesusastraan Indonesia

Forum Apresiasi Sastra (FAS) mengadakan bincang-bincang tentang sastra peranakan Tionghoa, 26 Juni 2019, bertempat di hall kampus IV Universitas Ahmad Dahlan (UAD) bersama Sunlie Thomas Alexander. Sunlie merupakan sastrawan Indonesia peranakan

Tionghoa yang telah menulis berbagai buku, seperti cerpen Makam Seekor Kuda (2018), Istri

Muda Dewa Dapur (2012), Malam Buta Yin (2009), dan kumpulan puisi Sisik Ular Tangga (2014).

Salah satu masalah yang sangat lama terpendam yaitu belum adanya pengakuan atas kepeloporan orang-orang Tionghoa dalam proses kebangsaan Indonesia melalui

perkembangan kesusastraan Melayu-Tionghoa. Padahal, kesusastraan ini sudah ada sejak 1870. Kesusastraan Melayu-Tionghoa, yang ditulis dalam bahasa Melayu oleh dan untuk orang Tionghoa perantauan, berkembang di Hindia Belanda khususnya di Jawa dan dalam tingkatan lebih rendah di Malaysia dari akhir abad ke-19 sampai tahun 1945. Sejak itu kesusastraan tersebut perlahan mulai terlupakan.

Menurut Claudine Salmon dalam bukunya Sastra Indonesia Awal Kontribusi Orang

Tionghoa, selama hampir 100 tahun (1870−1960) kesastraan Melayu-Tionghoa melibatkan

806 penulis yang menghasilkan 3.005 karya. Sebaliknya, berpatok pada catatan Prof. Dr. A. Teeuw, selama hampir 50 tahun (1918−1967), kesastraan modern Indonesia (tidak termasuk terjemahan) hanya ada 175 penulis dan sekitar 400 karya. Dihitung sampai 1979, sebanyak 284 penulis dan 770 karya.

Dalam kurun waktu 1920−1980-an, banyak penulis Tionghoa yang ikut serta

menyumbangkan buah karyanya bagi perkembangan sastra di tanah air. Misalnya, Tjio Peng Hong, Im Yang Tjoe, Kwee Tek Hoay, Njoo Cheong Seng, Tan Sioe Tjhoan, Oen Bo Tik, Liem Khing Hoo, Gan San Hok, Soe Lie Piet, Pouw Kioe An, Tan Mo Goan, Wang Renshu, dan Siauw Giok Tjhan.

Jauh sebelum penerbitan roman berbahasa Indonesia karangan Marah Rusli berjudul Sitti

Nurbaya (1922), 30 tahun sebelumnya, penulisan prosa telah muncul berupa roman Melayu

Klasik yang langsung ditulis dalam bahasa Melayu oleh para pengarang Tionghoa. Antara tahun 1880 dan 1930, ditemukan sekitar 280 judul roman yang diterjemahkan dari bahasa Tionghoa. Karya-karya terjemahan tersebut tidak hanya dibaca oleh masyarakat Tionghoa Peranakan, tetapi juga dibaca oleh penduduk Hindia Belanda yang kini bernama Indonesia. (JM).

Referensi

Dokumen terkait

Realitas sosial yang direfleksikan oleh suatu karya sastra dapat mencakup aspek sosial (struktur sosial, status sosial, relasi sosial baik antar komunitas, antarjender,

2) Sastra sebagai cermin masyarakat, sehingga yang terutama mendapatkan perhatian adalah: (a) sejauh mana sastra mencerminkan masyarakat pada waktu karya sastra itu

Lebih lanjut Yock menjelaskan jika sastra Islam melayu pada awalnya merupakan hasil saduran dari karya sastra bahasa parsi dan Arab oleh dua kelompok yang paling

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan arti dari hikayat adalah karya sastra tulis dalam bentuk prosa yang panjang, bersifat sastra lama yang ditulis dalam bahasa

Masuknya kebudayaan Barat berpengaruh banyak pada warga Tionghoa waktu itu, sebab mereka sendiri tidak menguasai budaya Jawa dan seni.. Di samping itu, sistem

Gagasan ini menunjukkan bahwa teks sastra ini membangun konsep bangsa dan nasionalisme dengan cara yang berbeda, yakni nasionalisme atas dasar keragaman lokalitas

Berdasarkan hasil kuisioner dari 8 mahasiswa program studi Sastra Tionghoa yang diwawancara, semua mengatakan bahwa drama televisi Taiwan memberikan dampak terhadap

1 Tahun 2021 URL: http://jurnal.unsil.ac.id/index.php/bihari P-ISSN : 2655-3600, E-ISSN: 2714-7908 Eksistensi Kaum Tionghoa dalam Dunia Pers di Hindia Belanda Tahun 1869-1942 Iyus