• Tidak ada hasil yang ditemukan

8. PROGRAM PENGEMBANGAN KEDELAI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "8. PROGRAM PENGEMBANGAN KEDELAI"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

8.1. Analisis Kebijakan

Kedelai merupakan salah satu komoditi palawija yang termasuk dalam kebijakan pengadaan pangan melalui upaya peningkatan produksi. Saat ini pemerintah berencana untuk berswasembada kedelai pada tahun 2011. Pemilihan komoditi kedelai dalam kebijakan pangan didasarkan pada kemampuannya untuk diolah menjadi berbagai macam produk makanan dengan harga yang relatif rendah, sehingga mampu dibeli oleh masyarakat golongan menengah ke bawah.

Kebutuhan kedelai terus meningkat dari tahun ke tahun. Beberapa faktor penyebab meningkatnya kebutuhan kedelai adalah konsumsi yang terus meningkat seiring dengan pertambahan penduduk, membaiknya pendapatan per kapita, meningkatnya kesadaran masyarakat akan gizi makanan dan berkembangnya industri pengolahan berbahan baku kedelai. Produksi kedelai beberapa tahun belakangan ini cenderung menurun tajam, sejalan dengan menurunnya luas panen setiap tahunnya.

Dalam rangka peningkatan produksi, Pemerintah telah berupaya dengan lakukan berbagai macam program. Implementasi berbagai program tersebut diantaranya program Bimas (Bimbingan Masal), Inmas (Intensifikasi Masal), Inmum (Intensifikasi Umum), Insus (Intensifikasi Khusus), Supra Insus, kemudian program Operasi Khusus (Opsus) kedelai yang diterapkan sampai tahun 1986. Program berikutnya adalah Gema Palagung melalui peningkatan Indeks Pertanaman (IP). Terakhir pada tahun 2004 dilakukan program Pengembangan Kedelai Intensif (Bangkit Kedelai) yang direncanakan pada 2011 Indonesia dapat berswasembada kedelai dengan produksi dapat mencapai + 2 juta ton.

Komoditi kedelai mulai mendapat perhatian lebih besar terutama sejak Pelita IV, yaitu setelah pemerintah mampu berswasembada beras pada tahun 1984 dan

(2)

permintaan kedelai dalam negeri terus meningkat, sehingga untuk memenuhi kekurangannya dilakukan impor.

Upaya pemerintah untuk mendorong peningkatan produksi kedelai melalui :

(1) Intensifikasi merupakan upaya peningkatan produksi total melalui subsidi input produksi dan penggunaan benih unggul.

(2) Ekstensifikasi merupakan upaya peningkatan produksi total melalui perluasan areal tanam yang diprioritaskan di lahan sawah irigasi, tadah hujan dan lahan marginal.

(3) Penetapan harga dasar untuk menciptakan harga yang layak dan menarik bagi petani, sehingga petani tertarik untuk meningkatkan produksinya.

Kebijakan intensifikasi secara nasional pernah dilakukan pemerintah, misalnya pada tahun 1985, sehingga pengelolaan lahan di Jawa, Sumatera dan Sulawesi dilakukan secara intensifikasi. Kebijakan harga dasar pernah dilakukan pemerintah untuk menaikkan harga jual petani, misalnya pada tahun 1980 ditetapkan harga dasar pupuk urea Rp 70/kg dan tahun 1990 menjadi Rp 165/kg. Kebijakan penetapan harga dasar kedelai dilakukan selama lima Pelita dan dilakukan penyesuaian-penyesuaian, yaitu pada tahun 1969, 1973, 1974, 1978, 1979, 1983, 1984, 1988 dan 1990. Pada tahun 1988 harga dasar kedelai Rp 733/kg menjadi Rp 889/kg pada tahun 1990.

Kebijakan perdagangan kedelai pernah dilakukan pemerintah sejak tahun 1997 melalui Bulog dengan melakukan impor terbatas dengan menyesuaikan volume impor dengan kebutuhan. Disamping itu, di dalam negeri pemerintah melalui Bulog melakukan kebijakan perdagangan yang penyalurannya melalui Kopti dan Non Kopti untuk menjaga stabilitas harga dengan tetap memperhatikan tingkat harga dasar agar petani tetap meningkatkan produksinya (Amang, 1996). Dengan pengendalian distribusi kedelai impor mampu mengendalikan harga tingkat petani dan distribusinya. Pengendalian ini dilakukan melalui mekanisme pengendalian kedelai impor, karena keunggulan kualitas dan harga, sehingga harganya lebih tinggi. Namun jika harga kedelai impor lebih murah, maka Bulog dapat

(3)

mengendalikan harga dengan mengurangi distribusi kedelai impor, sehingga harga kedelai dalam negeri dapat terkendali dengan baik.

Kebijakan lainnya adalah kebijakan pemerintah melalui Bulog terhadap industri olahan kedelai adalah penetapan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10 persen dari harga satuan. Pajak ini digeser dari produsen ke konsumen untuk menaikkan harga jual (Amang, 1996). Kenaikan harga jual produk-produk olahan kedelai akan mempengaruhi konsumsi, dan tentunya akan mempengaruhi permintaan kedelai nasional.

Menurut penelitian Siregar (2003), kedelai tidak memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif, namun mempunyai keunggulan dayasaing dari segi finansial. Terdapat tiga faktor penting yang menentukan daya saing kedelai dari segi finansial, yaitu :

(1) Harga internasional. Titik impas harga internasional (CIF) sebesar US $ 244/ton kedelai akan memberikan dayasaing kedelai lokal, cateris paribus. (2) Nilai tukar dolar terhadap rupiah. Komoditi kedelai akan memiliki dayasaing

finansial jika nilai tukar dolar terhadap rupiah Rp 7.765/ US $, ceteris

paribus.

(3) Produktivitas. Keunggulan finansial dapat ditingkatkan jika produktivitas kedelai juga dapat ditingkatkan. Titik impas produktivitas kedelai sekitar 1.5 ton/ha, ceteris paribus. Sebenarnya kenaikan produktivitas sebesar itu tidak sulit dicapai dengan dilakukannya perbaikan teknologi, yaitu dengan penggunaan benih unggul bermutu dan pupuk berimbang.

Produktivitas rata-rata nasional yang dicapai saat ini (2004) masih rendah, yaitu 1.28 ton/ha. Hasil penelitian Puslitbangtan menunjukkan bahwa + 13 varietas yang dilepas mempunyai produktivitas 1.5 – 2.5 ton/ha. Menurut Sudaryanto, dkk. (2004) bahwa rendahnya produktivitas aktual komoditi kedelai yang dicapai diduga disebabkan :

(4)

(2) Penghapusan subsidi sarana produksi menyebabkan biaya produksi meningkat.

(3) Sebagian petani tidak mampu menerapkan teknologi usahatani secara baik.

Berdasarkan hasil kajian Sumarno, dkk. (1998) terdapat lima kendala utama yang menunjukkan masih kurangnya ketersediaan teknologi budidaya spesifik lokasi dan rendahnya adopsi teknologi oleh petani dalam pengembangan kedelai di Indonesia, yaitu :

(1) Hama dan penyakit tanaman. Tanaman kedelai sangat rawan penyakit dari awal penanaman sampai dengan waktu panen.

(2) Pemupukan tanaman. Sebagian besar petani belum menggunakan pupuk berimbang.

(3) Kendala genetik. Varietas baru perlu beradaptasi di lingkungan baru.

(4) Manajemen irigasi dan drainase. Tanaman kedelai rentan terhadap kekurangan air dan sekaligus kelebihan air.

(5) Cara tanam. Petani melakukan cara tanam disebar dan tidak secara larikan.

Menurut hasil studi dayasaing yang dilakukan Suryana, dkk. (2005) menunjukkan bahwa usahatani kedelai di Indonesia mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif yang rendah, baik secara tradisional dan komersial untuk rezim pasar pada perdagangan antar wilayah (IRT), substitusi impor (IS) dan promosi ekspor (EP). Hal ini diperlihatkan oleh nilai RCR (Researce Cost Ratio) yang lebih besar dari satu. Artinya untuk memperoleh penerimaan 1 US $ diperlukan biaya lebih dari US $ 1. Untuk usahatani kedelai secara tradisional, RCR dari IRT 1.52; IS 1.43; dan EP 2.18. Untuk usahatani kedelai secara komersial, RCR dari IRT 1.27; IS 1.18; dan EP 1.91.

Menurut Sudaryanto (2001), untuk mencapai titik impas efisiensi ekonomi (RCR = 1) dibutuhkan peningkatan produktivitas sekitar 70 persen. Upaya peningkatan produktivitas merupakan strategi yang memiliki potensi dan peluang yang harus terus diupayakan. Pengembangan kedelai lebih tepat diarahkan pada upaya pemenuhan kebutuhan domestik (substitusi impor) dan arah pengembangannya ke

(5)

wilayah luar Jawa. Wilayah pengembangan kedelai perlu mempertimbangkan kesesuaian lahan dan faktor sosial ekonomi.

Disamping peningkatan produktivitas, tindakan strategis yang perlu terus diupayakan adalah peningkatan stabilitas hasil dan penekanan kehilangan hasil saat panen dan pengolahan hasil. Pemberantasan hama dan penyakit, perbaikan manajemen usahatani serta penanganan panen dan pasca panen memiliki potensi dan peluang peningkatan produksi yang cukup besar. Program penyuluhan dan pengembangan kedelai perlu diarahkan untuk ketiga aspek tersebut dalam menunjang keberhasilan pengembangan kedelai.

Untuk memperoleh kemampuan dayasaing yang tinggi, pengembangan kedelai diarahkan pada peningkatan produksi, perbaikan mutu dan dayaguna produk olahan yang mampu bersaing dengan komoditi non kedelai. Disamping itu dibutuhkan dukungan untuk melindungi harga kedelai petani dan kebijakan pemberlakuan tarif impor. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Malian (2004) bahwa pemerintah perlu melakukan proteksi terhadap komoditas substitusi impor, khususnya komoditi yang banyak diusahakan petani agar 80 persen dari kebutuhan nasional dapat dipenuhi dari dalam negeri untuk jangka menengah dan jangka panjang.

Ketergantungan konsumsi kedelai yang cukup besar berdampak pada ketergantungan terhadap kedelai impor apabila produksi di dalam negeri tidak mengalami peningkatan secara nyata. Sementara itu kedelai impor disinyalir menggunakan teknologi transgenik yang keamanannya bagi kesehatan manusia masih pro dan kontra. Produk transgenik dalam tubuh akan menyebabkan karsinogenik (kanker) (YLKI, 2002). Untuk itu, perlu adanya program dan dukungan nyata bagi peningkatan produktivitas dan produksi kedelai berupa kebijakan-kebijakan strategis. Upaya terobosan sangat diperlukan dalam rangka menghambat laju ketergantungan terhadap impor kedelai. Untuk mencapai hal tersebut perlu disusun strategi kebijakan secara jangka pendek dan jangka panjang.

(6)

Strategi kebijakan jangka pendek yang dapat ditempuh antara lain dengan: (1) Penciptaan teknologi spesifik lokasi.

(2) Peningkatan produktivitas dan produksi kedelai. (3) Perbaikan kualitas kedelai lokal.

(4) Pengaturan harga dan efisiensi pemasaran.

(5) Pengaturan keterkaitan harga internasional dan nasional.

Strategi kebijakan jangka panjang adalah mengupayakan tercapainya swasembada kedelai, yaitu produksi kedelai lokal dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri.

8.2. Strategi Kebijakan Jangka Pendek 8.2.1. Penciptaan Teknologi Spesifik Lokasi

Penciptaan teknologi spesifik lokasi melalui dukungan penelitian yang mantap diharapkan dapat meningkatkan produksi kedelai dan pada gilirannya diharapkan mampu menekan tingkat ketergantungan terhadap kedelai impor. Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (2005) di Indonesia terdapat 2,5 juta hektar lahan kering potensial yang dapat diberdayakan untuk pengembangan kedelai. Pada tahun 2001-2004 Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan telah melepas varietas unggul yang adaptif pada lahan kering masam di Sumatera dan Kalimantan, yaitu varietas Tanggamus, Sibayak, Nanti, Ratai dan Seulawah yang memiliki potensi produktivitas lebih dari 2 ton/hektar.

Perbaikan kesuburan lahan terutama pada lahan kering masam dapat dilakukan dengan pemberian pupuk hayati yang dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian. Kombinasi penggunaan varietas unggul dan penggunaan pupuk hayati ini akan dapat memperluas areal tanam dan meningkatkan produktivitas kedelai.

Kesadaran dan partisipasi petani untuk menerapkan teknologi maju dalam budidaya kedelai perlu ditumbuhkan. Beberapa cara dapat ditempuh untuk mendorong petani mengadopsi teknologi guna meningkatkan produktivitasnya, antara lain : (1) melakukan demplot teknologi maju oleh penyuluh, (2) melakukan pelatihan kelompoktani untuk memahami teknologi budidaya maju oleh penyuluh, (3) diadakannya perlombaan keberhasilan usahatani kedelai, (4) pembentukan

(7)

semacam ‘gugus kendali mutu’ pada kelompoktani untuk memecahkan permasalahan budidaya secara mandiri, (5) adanya pembinaan berkelanjutan oleh penyuluh dan aparat Pemerintah Daerah. Disamping itu, petani diberi kemudahan mendapatkan sarana produksi oleh pemerintah. Demikian juga, pemasaran hasil panen perlu diawasi/diatur Pemerintah Daerah agar harganya tidak jatuh saat panen raya.

Dalam masalah ketersediaan benih terkadang sulit diadakan pada saat diperlukan. Untuk memperoleh benih dengan daya tumbuh yang masih baik, penyediaan benih kedelai harus berasal dari penyiapan benih pada musim tanam sebelumnya, sehingga perlu perencanaan kebutuhan benih yang mantap. Untuk memperlancar proses penyediaan benih hendaknya dapat ditangani oleh penangkar lokal, seperti petani maju dengan bimbingan penyuluh. Penangkar benih lokal harus menyediakan benih dengan memanfaatkan sistem ‘jabalsim’ (jalur benih antarlapang dan antarmusim).

Program peningkatan produksi dan produktivitas perlu didukung perakitan dan pengembangan benih varietas unggul berdaya hasil tinggi (2.5-2.7 ton/ha) dan toleran terhadap cekaman lingkungan. Menurut Marwoto dan Hilman (2005), pada tahun 2001-2004, Badan Litbang Pertanian telah melepas 11 varietas unggul kedelai, yaitu varietas berbiji besar (Anjasmoro, Mahmeru dan Panderman) dan varietas berbiji sedang untuk lahan sawah (Sinabung, Kaba, dan Ijen), untuk lahan kering (Tanggamus, Sibayak, Nanti, Ratai dan Seulawah). Untuk itu dalam upaya meningkatkan produksi dan produktivitas kedelai, penggunaan benih kedelai harus disesuaikan dengan varietas yang sesuai.

Kesadaran dan partisipasi petani perlu ditumbuhkan untuk menerapkan teknologi budidaya maju. Beberapa cara dapat ditempuh untuk mendorong petani mengadopsi teknologi guna meningkatkan produktivitasnya, antara lain dengan melakukan : (1) demplot teknologi maju oleh penyuluh, (2) pelatihan kelompoktani untuk memahami teknologi budidaya maju oleh penyuluh, (3) perlombaan keberhasilan usahatani kedelai, (4) pembentukan semacam ‘gugus kendali mutu’ pada kelompoktani untuk memecahkan permasalahan budidaya secara mandiri, (5)

(8)

pembinaan berkelanjutan oleh penyuluh dan aparat Pemerintah Daerah. Disamping itu, petani diberi kemudahan mendapatkan sarana produksi oleh pemerintah. Demikian juga, pemasaran hasil panen perlu diawasi Pemerintah Daerah agar harganya tidak jatuh.

8.2.2. Upaya Peningkatan Produksi Kedelai

Upaya memenuhi kebutuhan nasional dapat dicapai melalui penambahan luas panen, peningkatan produktivitas dan stabilitas produksi. Untuk itu, sejalan dengan tuntutan pembangunan nasional, pengembangan luas panen secara nasional perlu diarahkan ke wilayah luar Jawa. Wilayah ini masih memiliki peluang untuk meningkatkan produktivitas per hektar melalui peningkatan mutu intensifikasi maupun penerapan teknologi spesifik lokasi. Demikian pula potensi perluasan areal panen masih cukup besar, baik di lahan sawah maupun lahan kering yang dilakukan melalui peningkatan indeks pertanaman (IP) dan perluasan areal baru. Upaya perluasan areal tanam perlu dukungan teknologi kedelai yang sangat tergantung jenis lahan dan agroekologi. Dukungan teknologi pada berbagai jenis lahan dapat dilihat pada Tabel 17.

Dalam upaya perluasan areal tanam kedelai, kegiatan yang perlu diutamakan adalah :

(1) Pemilihan varietas unggul yang sesuai periode tanamnya (crop growing

period).

(2) Penggunaan benih yang bermutu tinggi. (3) Penyiapan lahan agar bebas gulma. (4) Pengendalian gulma seawal mungkin.

(5) Sanitasi lingkungan untuk mengurangi semak sebagai sumber hama.

(6) Penggunaan inokulasi rhizobium untuk mengurangi penggunaan pupuk urea. (7) Penyesuaian waktu tanam dengan ketersediaan air.

(8) Pengendalian hama dan penyakit berdasarkan pemantauan saat pertanaman. (9) Penyiapan alat dan tenaga saat panen dan pasca panen.

(9)

Tabel 17. Dukungan Teknologi untuk Perluasan Areal Tanam Kedelai

Sumber : Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian (1999)

8.2.3. Harga dan Efisiensi Pemasaran

Harga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap keputusan petani untuk melakukan produksi. Harga kedelai hampir tidak tersentuh oleh kebijakan pemerintah karena harga lebih banyak ditentukan oleh mekanisme pasar yang terkait dengan permintaan dan persediaan. Harga di tingkat petani berfluktuasi yaitu saat situasi normal harga lebih tinggi daripada saat panen raya.

Lahan perluasan areal panen Dukungan teknologi Lahan bekas sawah, Varietas unggul adaptif (Wilis, Kerinci, dll) musim kemarau Inokulasi rizobium

Teknik budidaya baku kedelai pada lahan sawah (Adisarwanto, et al .,1993; Marwan et al ., 1990) Lahan kehutanan dan Varietas unggul adaptif (Dempo, Raung, Lokon) perkebunan Inokulasi rizobium

Pengapuran bila pH < 5.5

Teknik budidaya baku kedelai pada lahan kering (Sumarno, et al.,1991)

Lahan tegalan terlantar Varietas unggul adaptif (Wilis, dan lain-lain) Inokulasi rizobium

Pemupukan NPK, pupuk organik Pengapuran bila pH < 5.5

Teknik budidaya baku kedelai pada lahan kering Lahan bukaan baru Varietas unggul adaptif

Inokulasi rizobium Pemupukan NPK

Pengapuran bila diperlukan

Teknik budidaya baku kedelai pada lahan kering Lahan tegalan Varietas unggul genjah

Inokulasi rizobium Pemupukan NPK Pengapuran

(10)

Dari persaingan harga pasar, harga kedelai impor jauh lebih murah daripada kedelai produksi dalam negeri. Hal ini merupakan salah satu desinsentif bagi petani untuk menanam kedelai, disamping kenaikan harga jagung sebagai tanaman kompetitor. Selama harga kedelai impor masih rendah, arus impor masih tinggi, maka harga kedelai petani tetap dihargai murah, sehingga petani tidak bergairah menanam kedelai. Untuk itu perlu adanya kebijakan dalam pemasaran kedelai, sehingga prospek pasar kedelai nasional menjadi baik. Kendala ekonomi lainnya yang sering dihadapi petani adalah masalah fluktuasi harga. Harga kedelai jatuh saat panen raya, terlebih setelah kontrol kedelai impor oleh Bulog dilepas, maka harga kedelai semakin terpuruk.

Harga ini diantaranya dipengaruhi oleh tingkat efisiensi pemasaran komoditas bersangkutan. Efisiensi pemasaran kedelai dapat dilihat dari perbedaan harga jual di tingkat petani terhadap harga beli di tingkat konsumen. Semakin kecil perbedaan harga jual dan harga beli, maka semakin besar tingkat efisiensinya.

Untuk itu, perlu adanya strategi distribusi dan pemasaran untuk memperpendek rantai tata niaga dari petani ke konsumen dalam rangka meningkatkan efisiensi dalam pendistribusian dan pemasaran kedelai. Strategi yang diperlukan adalah (1) meningkatkan efisiensi biaya pemasaran dan posisi tawar petani, sehingga petani memperoleh harga yang wajar, (2) meningkatkan harga jual kedelai di tingkat petani.

Untuk maksud tersebut, maka program pengembangan kedelai mencakup : (1) Pengembangan kemitraan antara petani dengan industri olahan kedelai.

(2) Pengendalian impor melalui penerapan kebijakan proteksi, misalnya residual efek kedelai transgenik dengan mencantumkan label bebas transgenik.

(3) Peningkatan perdagangan antar pulau dalam rangka memperlancar aliran distribusi produksi.

(11)

(5) Pengembangan teknologi pengolahan produk berbasis kedelai domestic yang sesuai dengan kebutuhan industri dan pasar.

Program yang perlu dikembangkan ke depan antara lain dengan pembelian kedelai petani oleh pemerintah (proteksi produk) untuk meningkatkan gairah petani untuk berproduksi.

8.2.4. Upaya Perbaikan Kualitas Kedelai Lokal

Kualitas kedelai sangat penting dalam pemilihan bahan baku industri. Perbedaan kualitas antara kedelai lokal dengan impor sangat berpengaruh terhadap pemilihan bahan baku untuk industri. Industri tempe membutuhkan kedelai dengan kualitas tinggi terutama di perkotaan, karena penampakan fisik kedelai berpengaruh terhadap kualitas produk tempe yang dihasilkan dan akibatnya indutri tempe cenderung menggunakan kedelai impor. Sementara itu industri tahu yang dibutuhkan adalah sari kedelai (rendemennya) lebih tinggi yang diperoleh dari kedelai lokal, sehingga kualitas kedelai tidak menjadi permasalahan.

Menurut Siregar (2000), perbedaan kualitas suatu komoditi dapat diukur dari perbedaan harga (premium kualitas). Nilai premium kualitas akan semakin tinggi apabila perbedaan mutu semakin besar. Peningkatan nilai premium kualitas bersamaan dengan peningkatan harga kedelai impor yang mengindikasikan bahwa daya subsititusi kedelai lokal terhadap impor rendah. Untuk memperbaiki kualitas kedelai lokal, maka penanganan pasca panen di tingkat petani perlu mendapat perhatian serius.

Perbaikan kualitas kedelai lokal ini merupakan masalah dilematik. Produksi kedelai nasional masih jauh di bawah kebutuhan nasional, tentu saja harga kedelai lokal cukup tinggi. Kondisi ini diduga kurang menumbuhkan disintensif bagi petani untuk meningkatkan kualitas dengan melakukan pasca panen yang lebih baik agar produk kedelai yang dihasilkan memperoleh harga lebih tinggi. Sementara itu, pedagang pengumpul desa umumnya tidak memberikan perbedaan harga beli yang

(12)

memadai terhadap kualitas kedelai yang lebih baik dan kedelai yang dikeringkan secara sempurna atau tidak.

8.2.5. Dampak keterkaitan harga internasional dan nasional

Dalam perdagangan global, status Indonesia adalah pengimpor bersih (net

importer) dengan proporsi volume impor yang relatif kecil terhadap volume

perdagangan dunia. Proporsi volume impor kedelai Indonesia rata-rata sebesar 1- 2 persen dari volume perdagangan kedelai dunia. Hal ini berarti Indonesia tidak dapat mempengaruhi harga di pasar dunia atau Indonesia berada dalam posisi sebagai penerima harga (price taker). Menurut Saliem, et al. (2004), hubungan antara pasar dunia dan pasar nasional bersifat hierarkies, dalam arti pasar dunia merupakan pasar sentral (pemimpin), sedangkan pasar nasional merupakan pasar cabang. Dalam konteks ini, harga di tingkat importir menjadi acuan dalam pembentukan harga di tingkat pedagang besar, selanjutnya harga di tingkat pedagang besar dijadikan acuan dalam pembentukan harga di tingkat produsen maupun pengecer. Dengan demikian, harga kedelai di tingkat petani ditentukan oleh pedagang pengumpul desa yang mengacu kepada harga kedelai impor. Apabila harga kedelai impor murah, maka harga kedelai tingkat petani juga murah, sehingga tidak dapat menutupi biaya usahataninya

Menurut Saliem (2004) pada era perdagangan bebas, persaingan yang semakin ketat merupakan tantangan sekaligus peluang bagi pengembangan kedelai. Agar dapat menangkap peluang tersebut sebesar-besarnya, sistem pertanian Indonesia harus dapat selalu menyesuaikan dengan lingkungan yang dinamis dan melakukan efisiensi. Untuk mengatasi berbagai perubahan tersebut, maka arah kebijakan pembangunan sektor pertanian pada umumnya dan khususnya pada pengembangan kedelai, antara lain :

(1) dari kebijakan sentralisasi ke arah desentralisasi,

(2) dari pendekatan komoditas ke pendekatan yang memperhitungkan keunggulan, (3) dari pendekatan yang berorientasi produksi ke pendekatan yang mengutamakan

(13)

(4) dari teknologi padat karya ke teknologi padat keterampilan dan penggunaan alat mekanisasi pertanian secara tepat guna,

(5) dari strategi substitusi impor ke promosi ekspor yang mempercepat pembangunan,

(6) dari pertanian subsistein ke pertanian yang mengandalkan agribisnis dan mengarah pada sistem pasar terbuka dalam era globalisasi.

(7) dari produksi komoditas primer ke produksi agroindustri yang meningkatkan nilai tambah,

(8) pergeseran pusat-pusat pertumbuhan yang telah ada ke upaya mencari sumber pertumbuhan baru,

(9) dari dominasi peran pemerintah kepada meningkatnya partisipasi masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan pertanian, seiring dengan upaya kebijaksanaan deregulasi yang dilaksanakan secara konsisten dan bertahap.

8.3. Strategi Kebijakan Jangka Panjang

Pada tahun 1992, Indonesia pernah mencapai swasembada kedelai dengan luas tanam mencapai 1.6 juta hektar dan produksi 1.8 juta ton. Walaupun produksi kedelai pada tahun 1974-1999 meningkat namun ternyata belum dapat mengimbangi laju peningkatan konsumsi kedelai, sehingga pemerintah melakukan impor kedelai yang jumlah dan nilainya semakin meningkat setiap tahun.

Sejak tahun 2000, impor kedelai meningkat secara drastis seiring dengan penurunan produksi pada tahun tersebut. Penurunan produksi kedelai nasional disebabkan membanjirnya kedelai impor yang masuk ke Indonesia dengan harga lebih murah dan tidak dikenakan tarif/bea masuk impor. Impor selama periode 2000-2003 meningkat dengan laju 14,03% per tahun, Volume impor yang meningkat dengan harga murah ini disebabkan pula oleh rendahnya tingkat efisiensi dalam negeri, sementara adanya subsidi ekspor dari negara eksportir diberikan kepada petani negara impor dan importir (Suryana, 2005). Impor biji kedelai pada tahun 1994 sejumlah 800.460 ton dan sepuluh tahun kemudian (2004) impor meningkat menjadi 1.387.140 ton (+ 60 % dari kebutuhan nasional).

(14)

Kebutuhan kedelai nasional rata-rata + 2 juta ton/tahun. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, produksi dalam negeri hanya mampu memenuhi + 800.000 ton/tahun (+ 40 persen dari kebutuhan kedelai nasional). Untuk memenuhi kekurangan kedelai tersebut diperoleh dari impor yang mencapai + 1.200.000 ton/tahun (+ 60 persen dari kebutuhan kedelai nasional). Sebagai akibat dari besarnya impor tersebut, devisa negara yang hilang sebesar + Rp 3 triliun/tahun dari biji kedelai dan belum termasuk impor bungkil kedelai + 1,2 juta ton (setara dengan Rp 2 triliun/tahun).

Saat ini perlu adanya program pemerintah dalam upaya meningkatkan dayasaing kedelai lokal terhadap kedelai impor, yaitu dengan menekan laju impor dan meningkatkan kesempatan petani untuk melakukan budidaya kedelai secara lebih menguntungkan sehingga dapat menghemat devisa negara sebesar Rp 3 triliun. Untuk itu diperlukan terobosan-terobosan dan upaya khusus untuk dapat meningkatkan produksi kedelai. Upaya teknis dalam meningkatkan produksi kedelai adalah melalui kegiatan perluasan areal tanam kedelai dan peningkatan produktivitas terutama di lokasi sentra-sentra produksi kedelai. Program pemerintah saat ini adalah mengupayakan swasembada kedelai tahun 2007 – 2012. Hal ini sejalan dengan Instruksi Presiden RI pada bulan Juni 2006 agar mempercepat program swasembada kedelai sebelum tahun 2015.

Upaya pencapaian produksi dan peningkatan produktivitas kedelai dilakukan dengan berbagai upaya antara lain : memberikan bantuan benih unggul kedelai, penyediaan dan pengawasan pupuk bersubsidi, perbaikan jaringan irigasi, perberian peralatan pra dan pasca panen serta pengawalan pengamanan produksi dari serangan Organisme Penggangu Tanaman (OPT).

Dalam upaya mendorong peningkatan produksi dan keberhasilan pencapaian swasembada kedelai tahun 2012, strategi yang perlu dilakukan dari subsistem hulu sampai ke hilir. Pada subsistem hulu (up-stream) perlu perbaikan infrastruktur, kesiapan lahan dan air, modal serta sarana produksi. Dalam subsistem budidaya (on-farm) ditargetkan perluasan areal mencapai + 500.000 hektar dan peningkatan

(15)

produktivitas sebesar 50 – 100 ku/ha. Pada subsistem hilir (down-stream) perlu penataan tata niaga kedelai, berupa kenaikan tarif impor, peningkatan harga jual dan stabilitas harga. Secara terinci harus diupayakan berbagai regulasi, pelayanan dan kebijakan yang saling mendukung antara lain:

(1) Hulu, yaitu :

a. Ketersediaan sarana produksi (benih, pupuk dan obat-obatan) yang memenuhi enam tepat ( jumlah, jenis, mutu, waktu, lokasi dan harga). b. Pembangunan irigasi untuk memenuhi kekurangan air dengan rehabilitasi

dan lain-lain. (2) On Farm

a. Pengairan pada lahan-lahan bermasalah dengan pembuatan sumur bor/pantek.

b. Benih. Penggunaan benih bermutu varietas unggul baru + 10 persen. Untuk itu diperlukan kegiatan untuk mendorong pengadaan dan penyaluran benih bermutu varietas unggul dengan mengembangkan industri perbenihan.

c. Penyediaan pupuk

d. Pengendalian hama dan penyakit e. Panen dan pasca panen

f. Kemitraan (3) Hilir

a. Peningkatan, pengendalian dan stabiliatas harga b. Pembatasan impor

c. Pemberlakuan tarif impor kedelai d. Pelabelan pangan transgenik e. Permodalan

Upaya peningkatan produksi kedelai lokal merupakan suatu peluang dan tantangan, bila ditinjau dari sisi : (a) kebutuhan akan kedelai semakin meningkat, (b) adanya isue kedelai impor berasal dari kedelai transgenik yang berdampak buruk bagi kesehatan pada jangka panjang, (c) impor kedelai semakin membengkak setiap tahunnya dan devisa negara yang hilang semakin meningkat.

(16)

Indonesia mempunyai potensi besar dalam upaya peningkatan produksi kedelai, yaitu kita memiliki petani yang berpengalaman dalam teknik budidaya kedelai, potensi lahan memungkinkan untuk pengembangan kedelai, tersedianya teknologi dan varietas yang sesuai dengan spesifik lokasi.

Kegiatan utama yang diperlukan dalam dalam upaya peningkatan produksi kedelai adalah :

(1) Peningkatan produksi dan produktivitas kedelai melalui penyediaan benih unggul bermutu, pupuk organik, pupuk bio hayati dan sarana temu lapang petani sebagai sarana tukar menukar informasi teknologi.

(2) Pengembangan benih kedelai bersubsidi kepada petani miskin melalui sistem Jabalsim (Jalinan Arus Benih Anatar Lapang dan Antar Musim).

(3) Penguatan kelembagaan kelompoktani, kelembagaan perbenihan dan pemasaran hasil

(4) Pengendalian organisme pengganggu tanaman kedelai.

(5) Peningkatan kegiatan perlombaan dan penghargaan kepada petani kedelai berprestasi.

(6) Pengembangan agroindustri pengolahan tahu/kedelai, dan hasil olahan kedelai lainnya di pedesaan.

(7) Perbaikan infrastruktur sampai ke tingkat desa.

(8) Penguatan modal usaha kelompok (PMUK) dan lembaga yang mandiri dan mengakar kepada masyarakat, seperti pondok pesantren atau perusahaan yang perduli dengan upaya peningkatan produksi kedelai.

(9) Kepastian harga melalui Dana Penguatan Modal, Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan.

(10) Mekanisme penyediaan sarana produksi dan alat mesin pertanian. (11) Penerapan prinsip Good Govermence, kebijakan dan regulasi. (12) Penjaminan kredit pertanian dan subsidi bunga modal investasi.

Gambar

Tabel 17. Dukungan Teknologi untuk Perluasan Areal Tanam Kedelai

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa melalui model pendekatan pembelajaran Visualization, Auditory dan Kinestetic (VAK) dalam pembelajaran matematika dapat meningkatkan

Skripsi berjudul “Determinan Penghentian Penggunaan IUD di Indonesia (Analisis Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007)” telah diuji dan disahkan oleh

BIASAKAN YANG BETUL; BETULKAN YANG

[r]

DIPLOMA 3 (r€rakreditasi) STRATA 1 Cr€rakreditasi) STRATA 2 (Terakeditasi). Akuntai5i. STRATA 3Ferahedit

54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta perubahannya dan aturan turunannya, untuk menentukan peserta yang akan diusul sebagai calon pemenang perlu

persyaratan melampirkan contoh cetak, mohon untuk memperjelas materi yang akan dicetak.. Apakah materi yang akan dicetak, satu materi atau data

Pada hari ini, Senin tanggal Enam belas bulan Mei tahun Dua ribu enam belas pukul 10.00 s/d 14.00 WIB, Kami Pokja ULPD Kepulauan Riau telah melaksanakan Rapat Aanwijzing