STATUS TERUMBU KARANG DI PROPINSI NUSA TENGGARA
BARAT: SEBUAH KAJIAN
Imam Bachtiar
Dosen FPMIPA, FKIP Universitas Mataram Email: [email protected] Abstrak
Kondisi umum terumbu karang di Propinsi Nusa Tenggara Barat dikaji ulang berdasarkan data yang telah dan yang belum dipublikasikan, sejak tahun 1996. Metode survey yang digunakan dalam kompilasi data dibatasi pada metode transek garis. Berdasarkan data yang tersedia dari 18 lokasi, 34 stasiun, 166 transek didapatkan bahwa tidak ada lagi terumbu karang dalam kondisi baik sekali (ekselen). Kondisi terumbu karang dalam kategori baik sekitar 8,82%, kategori sedang 38,24% dan kategori jelek 52,94%. Kondisi terumbu karang ini secara umum lebih jelek dibandingkan dengan hasil kompilasi data yang dipublikasikan tahun 1997. Tiga penyebab kerusakan utama yang bisa diidentifikasi adalah pengeboman ikan, pemucatan karang akibat El Nino dan pembuangan jangkar.
CORAL REEF STATUS OF THE PROVINCE OF NUSA TENGGARA BARAT: A REVIEW
Abstract
Status of coral reefs condition on the Province of Nusa Tenggara Barat (NTB) was reviewed using available published and unpublished data since 1996. The review was carried out only on data obtained from line-transect surveys only. Based on surveys in 18 reefs, 34 stations, and 166 line-transects, it is likely that coral reef in excellent condition is no longer exist in NTB. Percentage of coral reefs in good, fair and bad conditions are 8.82%, 38.24% and 52.94% respectively. These conditions are worse than data published in 1997. Three major possible causes of coral reef degradation were blast fishing, El Nino related coral bleaching and anchor damages.
1. Pendahuluan
Terumbu karang merupakan sumberdaya laut yang sangat penting bagi keberlanjutan pembangunan perikanan, pariwisata dan budaya. Karena itu, terumbu karang memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi bagi pembangunan masyarakat pesisir (Cesar, 2000). Sayangnya, terumbu karang di Nusa Tenggara Barat (NTB) sudah banyak yang rusak dalam dekade terakhir. Kumpulan hasil survei P3O-LIPI (1995) menunjukkan, bahwa dari 27 stasiun pengamatan di NTB hanya 2 (7%) lokasi yang dalam kondisi baik sekali, 7 (26%) lokasi kondisi baik, 4 (15%) lokasi kondisi sedang dan 14 (52%) lokasi kondisi rusak (Tomascik et al., 1997). Perlu dicatat bahwa sebagian data tersebut diambil sebelum tahun 1990 (Soekarno, 1990), sehingga terumbu karang yang tercatat dalam kondisi baik atau baik sekali bisa jadi sudah berubah dalam rentang 10 tahun. Karena itu penilaian status kondisi terumbu karang secara reguler menjadi sangat penting untuk melihat arah dan laju perkembangan kondisi terumbu karang dan ancaman-ancaman perusakan yang mungkin berubah.
Penyebab kerusakan terumbu karang di wilayah NTB tidak banyak berbeda dengan penyebab kerusakan terumbu karang secara nasional. Bachtiar (1997) menginventarisasi penyebab kerusakan terumbu karang di NTB. Dari daftar tersebut, penggalian karang,
pengeboman ikan dan penangkapan ikan dengan potas merupakan penyebab kerusakan karang yang paling banyak ditemukan. Sedangkan penyebab kerusakan yang lain, misalnya pembuangan jangkar, sedimentasi, siput Drupella dan bintang laut Acanthaster plancii, ditemukan di beberapa lokasi saja.
Pada awal tahun 1998, telah terjadi pemucatan karang (coral bleaching) akibat fluktuasi suhu air laut yang lebih besar dari biasanya di Selat Lombok (unpublished data). Pemucatan karang tersebut merupakan gejala global, yang juga terjadi di Australia, Seychelles, Mauritus, Kenya, Madagaskar, Maldive, Sri Lanka, India, Malaysia, Samoa, Galapagos, Brazil (Berkelmans and Oliver, 1999), serta Jepang, Laut Merah dan kawasan Karibia (Wilkinson, 2000). Di NTB, pemucatan karang membunuh sebagian besar karang batu di kawasan pantai barat dan selatan Pulau Lombok, mulai dari Gili Indah, Sekotong, Selong Belanak, Kuta dan Teluk Ekas. Di kawasan Gili Sulat (Sambelia) dan sekitarnya hingga Teluk Jukung, ternyata dampak pemucatan tidak tampak bekasnya pada tutupan karang. Di Pulau Moyo, Tanjung Menangis dan Pulau Danger, pemucatan karang pernah dilaporkan oleh pengelola usaha selam setelah peristiwa pemucatan karang Lombok Barat (Alfian, pers. com.).
Berdasarkan peta dampak pemucatan karang tersebut, maka data kondisi terumbu karang di kawasan pantai barat dan selatan Pulau Lombok sangat perlu diperbarui dengan data tahun 1999, atau yang lebih baru. Sedangkan data terumbu karang di kawasan pantai timur Pulau Lombok, pantai barat Pulau Sumbawa masih tidak banyak dipengaruhi oleh pemucatan karang.
Di wilayah Kabupaten Dompu dan Bima, terumbu karang banyak dijumpai di kawasan Teluk Saleh, Teluk Cempi, Teluk Waworada dan bagian barat Selat Flores. Sayangnya lokasi-lokasi tersebut jauh dari kawasan wisata selam sehingga membutuhkan dana yang besar untuk melakukan survey. Apalagi sebagian kawasan tersebut, misalnya Teluk Waworada, merupakan daerah terpencil yang jauh dari ibukota kabupaten. Sulitnya transportasi dan tingginya biaya operasional survey menyebabkan tidak adanya data di kawasan ini. Pulau Sangiang yang terletak di Laut Flores, Kabupaten Bima, pernah disurvei melalui suatu proyek Departemen Kelautan dan Perikanan. Tetapi sulitnya akses terhadap data tersebut membuat tulisan ini menjadi lebih tidak lengkap.
Makalah ini dimaksudkan untuk memberikan deskripsi umum tentang kondisi terumbu karang di seluruh wilayah Propinsi Nusa Tenggara Barat, berdasrkan informasi yang tersedia saat ini.
2. Bahan dan Metode
Metode yang paling umum untuk menilai kondisi terumbu karang adalah dengan transek garis sebagaimana dikembangkan dalam English et al. (1994). Karena itu dalam tulisan ini kondisi terumbu karang di NTB dinilai berdasarkan kumpulan data transek-transek yang tersedia, baik yang sudah dipublikasikan maupun yang belum. Berdasarkan kumpulan data tersebut dinilai prosentase terumbu karang yang dalam kondisi sangat baik (excellent), good (baik), sedang (fair) dan jelek (bad). Metode lain, seperti manta tow, tidak digunakan dalam tulisan ini untuk memberikan informasi tambahan tentang kondisi terumbu karang di NTB. Metode ini sulit dibandingkan dengan manta tow di lokasi lain, karena itu sulit digunakan sebagai referensi baku.
Menelusuri kemungkinan penyebab rusaknya terumbu karang agak sulit dilakukan karena kejadiannya biasanya sudah berlalu. Walaupun demikian kita biasanya masih bisa melihat jejak-jejak penyebab kerusakan berdasarkan beberapa petunjuk yang ada.
sangat mirip dengan jejak pembuangan jangkar yang intensif. Jejak pemucatan karang juga sulit dibedakan dengan jejak pemangsaan karang. Karena itu, informasi-informasi tambahan diperlukan untuk mendekati masalah ini, walaupun sering juga masih sulit membedakan jejak kedua pasangan penyebab kerusakan tersebut.
Banyaknya pecahan karang bisa dijadikan indikasi adanya pengeboman ikan, terutama jika di lokasi itu tidak ada kegiatan pembangunan atau pembuangan jangkar yang intensif. Permukaan pecahan karang biasanya mengalami suksesi ditumbuhi oleh mikro-algae dan karang lunak. Karena itu, proporsi mikro-algae atau karang lunak yang tumbuh di atas pecahan karang juga merupakan indicator yang baik dari pengeboman karang dimasa lalu.
Banyaknya karang yang “mati berdiri” juga bisa menjadi petunjuk yang baik terjadinya kematian karang akibat pemangsaan atau pemucatan. Pemangsaan yang intensif oleh siput Drupella pernah ditemukan di Gili Meno seluar 10 are (unpublished data). Pemangsaan karang oleh bintang laut mahkota berduri, seperti yang pernah terjadi di Pulau Menjangan, Bali, tidak pernah dilaporkan terjadi di kawasan NTB.
3. Hasil dan pembahasan
a. Kondisi terumbu karang dari transek garis
Sebagian besar (52,94%) terumbu karang di NTB dalam kondisi yang jelek pada tahun 2003 (Tabel 1). Sedangkan terumbu karang yang mempunyai kondisi baik hanya 8,82% dan kondisi sedang sekitar 38,24%. Tidak ada terumbu karang yang dalam kondisi baik sekali (ekselen). Hasil kompilasi data ini sangat berbeda dengan data sebelumnya yang dikumpulkan oleh Suharsono, P3O-LIPI, dalam Tomascik et al (1997). Membandingkan kedua kompilasi data tersebut, tahun 1995 dengan tahun 2003, sekitar 7% terumbu karang yang kondisinya baik sekali dan 12% yang kondisinya baik, telah berubah menjadi kondisi sedang. Perubahan ini tidak terjadi dalam kurun waktu delapan tahun tersebut, karena kompilasi data tahun 1995 menggunakan data sejak pertengahan tahun 1980-an, dan kompilasi data tahun 2003 menggunakan data sejak tahun 1996.
Perlu juga diketahui bahwa kondisi terumbu karang dalam data tersebut merupakan rata-rata dari data pada kedalaman 3 dan 10 meter. Dalam beberapa kasus, tutupan karang di kedalaman 3 meter sangat baik sedangkan di kedalaman 10 meter sangat jarang, sehingga didapatkan angka rata-rata tutupan karang yang kurang (sedang). Kasus seperti ini bisa dijumpai pada terumbu karang di Gili Anyaran, Gili Lawang, Gili Maringke, Pulau Panjang, Pulau Danger Kecil, dan Pulau Moyo.
Interpretasi terhadap data yang digunakan dalam Tabel 1 tersebut juga perlu dilakukan dengan melihat beberapa keterbatasan yang ada. Sebagian data tidak mewakili wilayah perairan di sekitarnya secara keseluruhan. Hal ini bisa terjadi akibat perbedaan tujuan survey yang berbeda-beda. Sebagian dari survey memang dirancang untuk melihat potret terumbu karang di suatu kawasan tertentu, misalnya di kawasan Taman Wisata Laut Gili Indah, atau di kawasan pesisir Lombok Timur bagian selatan. Tetapi sebagian survey lainnya dirancang untuk memilih lokasi wisata selam atau lokasi wilayah konservasi sehingga dipilih pulau-pulau yang mempunyai terumbu karang yang indah atau lebih baik dari lokasi di sekitarnya, misalnya di kawasan Sekotong atau Gili Sulat dan sekitarnya. Dengan demikian, secara umum kondisi terumbu karang di NTB lebih buruk daripada yang bisa dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kondisi terumbu karang di Propinsi Nusa Tenggara Barat. Data diambil dengan metode transek garis. SP=suaka perikanan (fish sanctuary)
Tahun Sumber Ekselen Baik Sedang Jelek data
Pulau Lombok dan sekitarnya
Gili Trawangan 3 12 0 1 1 1 2000 Muchlis (2003) Gili Meno 2 8 0 0 0 2 2000 Bachtiar
(unpublished data) Gili Air 2 8 0 0 0 2 2000 Bachtiar
(unpublished data) Gili Poh 2 12 0 0 2 0 1999 Bachtiar et al
(2003)
Gili Amben 2 12 0 0 0 2 1999 Bachtiar et al (2003)
Gili Anyaran 2 12 0 0 1 1 1999 Bachtiar et al (2003)
SP Sapak Kokok 2 4 0 0 1 1 2001 Bachtiar
(unpublished data) SP Gusoh
Sandak
1 4 0 0 1 0 1999 Bachtiar dan Karnan (2003) Gili Maringke 1 2 0 0 1 0 1999 Bachtiar dan
Karnan (2003) Gili Sulat 2 8 0 0 1 1 2001 Bachtiar
(unpublished data) Gili Lawang 2 8 0 0 2 0 2001 Bachtiar
(unpublished data) Gili Petagan 1 4 0 0 0 1 2001 Bachtiar
(unpublished data)
Pulau Sumbawa dan sekitarnya
Pulau Danger Kecil
2 24 0 0 1 1 1996 Bachtiar (2000a)
Pulau Saringgit 1 12 0 0 1 0 1996 Bachtiar (2000b) Pulau Karamat 1 12 0 0 0 1 1996 Bachtiar (2000b) Pulau Moyo 4 8 0 0 1 3 2000 Bachtiar dan
Karnan (2002) Pulau Panjang 2 8 0 1 0 1 2003 Rachmawati
(unpublished Data) Pulau Kalong 2 8 0 1 0 1 2003 Rachmawati
(unpublished Data)
Jumlah 34 166 0 3 13 18
8.82 38.24 52.94
Kondisi terumbu karang (stasiun)
Prosentase (%)
Lokasi Jumlah stasiun
Jumlah transek
b. Penyebab kerusakan terumbu karang.
Penyebab kerusakan terumbu karang pada umumnya adalah pengeboman ikan. Penangkapan ikan destruktif ini terlihat bekasnya di 23 (46%) stasiun pengamatan (Tabel 2). El-Nino yang menyebabkan pemucatan karang massal pada tahun 1998 menempati rutan kedua. Bekas kematian massal akibat El-Nino dijumpai pada 12 (24%). Faktor lainnya yang mempunyai kontribusi terhadap kerusakan kterumbu karang adalah pembuangan jangkar (18%), sedimentasi (10%) dan pemangsaan/penutupan oleh biota lain (2%). Tidak dilaporkan adanya pemotasan sebagai faktor utama dalam perusakan terumbu karang di NTB.
Pengeboman ikan memang menjadi issue utama pengelolaan terumbu karang di propinsi NTB. Karena itu, dua proyek kelautan yang sudah berjalan, yaitu COREMAP dan Co-Fish, menempatkan penurunan pengeboman sebagai indicator utama keberhasilan proyek. Pada tahun 1998 uji-coba pengelolaan berbasis masyarakat (PBM) dari Proyek COREMAP telah berhasil memulai kesadarn masyarakat untuk mengelola sumberdaya terumbu karang di wilayahnya sendiri. Walalupun rencana pengelolaan dalam bentuk awig-awig
(hukum adat Sasak dan Bali) yang difasilitasi oleh COREMAP tidak bisa berjalan, tetapi penyusunan awig-awig tersebut telah menggerakkan masyarakat di Gili Indah dan sekitarnya untuk membuat sendiri secara swadaya awig-awig anti pengeboman. Awig-awig anti pengeboman ini ternyata telah berhasil menurunkan pengeboman dari wilayah Gili Indah dan sekitarnya secara signifikan (Bachtiar, 2000c). Kisah sukses di Gili Indah ini menunjukkan bahwa masyarakat mampu melakukan pengelolaan secara mandiri jika diberi pelimpahan wewenang oleh pemerintah daerah.
Keberhasilan menurunkan pengeboman di suatu kawasan juga dicapai oleh Proyek Co-Fish di Kabupaten Lombok Timur. Awig-awig yang dibuat oleh masyarakat dengan fasilitasi proyek telah mengurangi dan menghilangkan pengeboman ikan di tiga kawasan, yaitu Teluk Ekas, Teluk Serewe dan Teluk Jukung. Di kawasan Teluk Ekas dan Teluk Serewe, pengeboman ikan bisa dihilangkan hingga 100%, sedngkan di Teluk Jukung pengeboman ikan bisa dikurangi hingga >90% (unpublished data). Hasil Proyek Co-Fish ini menunjukkan bahwa awig-awig yang difasilitasi oleh suatu proyek pemerintah juga bisa diimplementasikan dengan sangat baik oleh masyarakat.
Pemucatan karang (coral bleaching) masal merupakan penyebab utama kematian masal karang batu di Selat Lombok bagian timur. Sekitar 90% karang batu mati dalam periode ini (Bachtiar and Devantier, in perss.). Pemucatan juga pernah dilaporkan terjadi di Selat Alas hingga sekitar Pulau Moyo. Tetapi penulis melihat tidak ada tanda-tanda kematian masal akibat pemucatan di Selat Alas, baik di bagian barat maupun bagian timur. Hal ini bisa berarti bahwa pemucatan masal karang di Selat Alas tidak berlangsung lama sehingga karang yang memucat bisa pulih dan hidup kembali. Pengamatan penulis di Nusa Lembongan, Bali, yang terletak di bagian barat Selat Lombok, juga menunjukkan kecilnya dampak pemucatan karang terhadap kematian karang batu. Sedangkan pada waktu yang sama sebagian besar karang batu dalam keadaan mati di bagian timur Selat Lombok. Variasi dampak El-Nino yang menyebabkan pemucatan karang mungkin menunjukkan variasi aliran arus laut dan mungkin juga variasi ketahanan organism terhadap stress fluktuasi suhu air laut.
Tabel 2. Dugaan penyebab kerusakan terumbu karang berdasarkan tampakan bekas-bekas kematian karang pada transek garis. SP=suaka perikanan (fish sanctuary)
Lokasi Waktu Sumber
Bom Jangkar Biota lain Potasi um Pemuti han Sedi men
Gili Trawangan 3 2 3 0 0 3 0 2000 Muchlis (2002) Gili Meno 2 2 1 1 0 2 0 2000 Bachtiar
(unpublished data) Gili Air 2 2 1 0 0 2 0 2000 Bachtiar
(unpublished data) Gili Poh 2 1 0 0 0 1 0 1999 Bachtiar et al (2003) Gili Amben 2 2 0 0 0 1 1 1999 Bachtiar et al (2003) Gili Anyaran 2 1 0 0 0 1 0 1999 Bachtiar et al (2003) SP Sapak Kokok 2 1 0 0 0 0 1 2001 Bachtiar (unpublished data) SP Gusoh Sandak
1 0 1 0 0 0 0 1999 Bachtiar dan Karnan (2003)
Gili Maringke 1 1 0 0 0 0 0 1999 Bachtiar dan Karnan (2003)
Gili Sulat 2 1 0 0 0 0 0 2001 Bachtiar
(unpublished data) Gili Lawang 2 1 1 0 0 0 0 2001 Bachtiar
(unpublished data) Gili Petagan 1 1 0 0 0 0 0 2001 Bachtiar
(unpublished data)
Pulau Sumbawa dan sekitarnya
Pulau Danger 2 1 0 0 0 0 1 1996 Bachtiar (2000a) Pulau Saringgit 1 0 0 0 0 0 1 1996 Bachtiar (2000b) Pulau Karamat 1 1 0 0 0 0 0 1996 Bachtiar (2000b) Pulau Moyo 4 4 1 0 0 2 0 2000 Bachtiar dan Karnan
(2002) Pulau Panjang 2 1 0 0 0 0 1 2003 Rachmawati
(unpublished Data) Pulau Kalong 2 1 1 0 0 0 0 2003 Rachmawati
(unpublished Data) Jumlah 34 23 9 1 0 12 5 46 18 2 0 24 10 Prosentase (%) Jumlah stasiun
Penyebab kerusakan (stasiun)*
Pulau Lombok dan sekitarnya
Pembuangan jangkar banyak menyebabkan kematian karang di sekitar pelabuhan, lokasi-lokasi wisata selam dan snorkelling. Dampak jangkar juga ditemukan di tempat-tempat terlindung tempat-tempat nelayan beristirahat atau di lokasi dekat pembangunan budidaya mutiara. Dalam tahap konstruksi rakit budidaya, banyak jangkar dibuang ke terumbu sehingga meninggalkan bekas pecahan karang yang luas. Sedangkan setelah budidaya mutiara dalam tahap operasi, maka terumbu karang di sekitarnya biasanya terlindung dengan baik (Black, 2000). Hal seperti ini bisa ditemukan juga di Pulau Kalong (Sumbawa) dan di sekitar Gili Petelu (Lombok Timur).
Sedimentasi yang parah bisa membunuh karang dengan tertutupnya permukaan polip oleh lumpur sedimen. Hal seperti ini belum pernah dilaporkan terjadi di NTB. Sedimentasi sebagai faktor perusakan karang dalam tulisan ini adalah sebagai penghambat utama pemulihan karang batu. Dasar terumbu yang keras dan substrat kerangka karang di atasnya terlalu banyak tertutup oleh sediment sehingga tidak bisa lagi ditempeli oleh larva karang. Hal ini terjadi di Teluk Ekas dan Pulau Saringit.
Pemangsaan karang oleh bintang laut mahkota berduri Achantaster plancii tidak pernah terjadi dalam skala yang mengkhawatirkan di NTB, walaupun bintang laut tersebut pernah ditemukan dalam jumlah kecil di kawasan Gili Meno, Sekotong, Teluk Ekas dan Pulau Moyo. Tetapi pemangsaan karang oleh siput Drupella yang meninggalkan bekas cukup luas pernah ditemukan di Gili Meno. Kematian karang karena penutupan (overgrowth) oleh sponges terjadi berkali-kali di bagian utara Gili Meno. Hal ini menarik untuk dikaji lebih lanjut, mengapa kelimpahan siput Drupella yang tinggi dan munculnya sponge merayap (encrusting sponge) hanya terjadi dibagian utara Gili Meno.
Penambangan (penggalian) karang untuk bahan baku konstruksi tidak masuk dalam penyebab kerusakan karang utama di NTB karena biasanya transek tidak dilakukan di lokasi penggalian karang. Sebagian besar transek dilakukan di pulau-pulau kecil atau taket, yang biasanya tidak dijangkau oleh penambang karang. Tidak adanya petunjuk penggunaan potas juga lebih banyak disebabkan sulitnya melacak jejak-jejak pemotasan di terumbu karang yang sudah rusak.
4. Kesimpulan
Dari keterbatasan data yang tersedia bisa disimpulkan bahwa kondisi terumbu karang di Propinsi Nusa Tenggara Barat telah mengalami penurunan kualitas dibandingkan tahun 1997. Berdasarkan data yang diambil dari tahun 1996-2003, kondisi terumbu karang dalam kategori baik sekitar 8,82%, kategori sedang 38,24% dan kategori jelek 52,94%. Kondisi yang sebenarnya bisa lebih jelek karena sebagian data yang digunakan dalam kajian ini diambil secara sengaja pada lokasi yang kondisinya paling baik. Penurunan kondisi terumbu karang tersebut diperkirakan sebagian besar disebabkan oleh pengeboman ikan, pemucatan karang akibat El Nino dan pembuangan jangkar.
Referensi
Bachtiar, I. (1997). Konservasi terumbu karang: permasalahan yang dihadapi di Nusa Tenggara Barat. Gema Rinjani 37:75-81.
Bachtiar, I. (2000a). Kondisi terumbu karang di Pulau Danger Kecil Kabupaten Sumbawa. Jurnal Penelitian Universitas Mataram (Edisi Sains dan Teknologi) 22: 20-29.
Bachtiar, I. (2000b). Ekosistem terumbu karang di Kepulauan Panjang. Jurnal Penelitian Universitas Mataram (Edisi Sains dan Teknologi) 23:1-9.
Bachtiar, I. (2000c). Community based coral reef management:: Lessons learned from the Marine Tourism Park Gili Indah, Lombok Barat. Komunitas (Journal of rural studies) 3(1):67-77.
Bachtiar, I. and Karnan (2002). Terumbu karang di Taman Wisata Laut Pulau Moyo.
Jurnal Biologi Tropis 3(2):99-108.
Bachtiar, I. and Karnan (2003). Coral reefs in the southern coast of the district of Lombok Timur. Jurnal Biologi Tropis 4(1):51-58.
Bachtiar, I., Karnan, Santoso, D. (2003). Status terumbu karang di Gili Anyaran, Gili Amben dan Gili Poh, Kabupaten Lombok Barat. Jurnal Penelitian Universitas Mataram (Edisi Sains dan Teknologi) 3(2):1-9.
Bachtiar, I. and Devantier, L. (in perss.). Coral reefs of the Marine Recreation Park Gili Indah 1996-2000: assessing the 1998 coral bleaching impact.
Berkelmans, R. and Oliver, J.K. (1999). Large-scale bleaching of corals on the Great Barrier Reef. Coral Reefs 18:55-60.
Black, M. (2000). Can pearl culture contribute to coral reef conservation in Indonesia.
Jurnal Pesisir dan Lautan 3(2):60-65.
Cesar, H.S.J. (2000). Coral reefs: Their functions, threats and economic value. In: Cesar, H.S.J. (ed.). Collected Essays on the Economics of Coral Reefs. CORDIO. Kalmar. Pp. 14-39
English, S., Wilkinson, C. and Baker, V. (eds.). (1994). Survey Manual for Tropical Marine Resources. Australian Institute of Marine Sciences. Townsville. Pp. 368.
Muchlis (2003) Strategi konservasi terumbu karang. Hayati. In perss.
Soekarno, R. (1990). Comparative studies on the status of Indonesian coral reefs.
Netherlands Journal of Sea Research 23(2):215-222.
Tomascik, T., Mah, A.J., Nontji, A., and Moosa, M.K. (1997). The Ecology of the Indonesian Seas. Part Two. Periplus Editions (HK) Ltd. Pp. 1388.
Wilkinson, C. (2000). The 1997-98 mass coral bleaching and mortality event: 2 years on. In: Wilkinson, C. (ed.) Status Coral Reefs of the World: 2000. Australian Institute of Marine Science. Townsville. Pp. 21-34.