• Tidak ada hasil yang ditemukan

N. Sari 1, D. Renate 1, Indriyani 1 1 Fakultas Pertanian. Universitas Jambi, Kampus Pondok Meja Jl. Tribrata Km 11. Jambi, Indonesia.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "N. Sari 1, D. Renate 1, Indriyani 1 1 Fakultas Pertanian. Universitas Jambi, Kampus Pondok Meja Jl. Tribrata Km 11. Jambi, Indonesia."

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1

Pengaruh Suhu Pemanasan Terhadap Kualitas dan Kadar Dihydrocapsaicin Cabai

Merah Giling Kasar Selama Pengolahan

The Effect of Heating Temperature on The Quality and Levels of Dihydrocapsaicin Coarsely

Ground Red Chilies During Processing

N. Sari

1

, D. Renate

1

, Indriyani

1 1

Fakultas Pertanian. Universitas Jambi, Kampus Pondok Meja Jl. Tribrata Km 11. Jambi, Indonesia. E-mail: novita190798@gmail.com

ABSTRAK – Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suhu pemanasan terhadap kualitas dan kadar

dihydrocapsaicin cabai merah giling kasar selama pengolahan. Penelitian ini dilakukan menggunakan rancangan acak

lengkap (RAL), dengan 5 perlakuan suhu pemanasan yaitu (70,75,80,85,dan 90o C). Sampel diulang sebanyak 4 kali sehingga diperoleh 20 satuan percobaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu pemanasan berpengaruh terhadap kadar air, vitamin C, dan total mikroba , tetapi tidak berpengaruh terhadap warna cabai merah giling kasar. Suhu pemanasan juga menyebabkan kadar dihydrocapsaicin cabai merah giling kasar cenderung mengalami kenaikan. Perlakuan suhu pemanasan 90o C merupakan suhu maksimal untuk pemanasan dengan kandungan dihydrocapsaicin 62,91 µg/g dan kepedasan 1012,851 SHU, kadar air 73,01%, warna L 45,30, warna a* +14,76, warna b* +24,75, dan oHue 59,19, vitamin C 94,6 mg/100 gr, serta total mikroba 4,78 log cfu/mL.

Kata Kunci: Cabai merah giling kasar, dihydrocapsaicin, suhu pemanasan

ABSTRAC – ABSTRACT - The purpose of this study was to determine the effect of temperature on the quality and levels of dihydrocapsaicin coarsely ground red chilies during processing. The research was conducted using a completely randomized design (CRD), with 5 temperature treatments, namely (70,75,80,85, and 90o C). The sample was repeated 4 times in order to obtain 20 experimental units. The results showed that temperature had an effect on air content, vitamin C, and total microbes, but had no effect on color coarsely ground red chilies. The temperature also causes the dihydrocapsaicin levels of coarsely milled red chilies to tend to increase. Treatment temperature recognition 90o C is a maximum temperature for heating with dihydrocapsaicin levels 62.91 µg / g and spiciness of 1012,851 SHU, water content 73.01%, color L 45.30, color a * +14.76, color b * +24, 75, and oHue 59.19, vitamin C 94.6 mg / 100 gr, and total microbes 4.78 log cfu / mL.

Keywords: coarsely ground red chilies, dihydrocapsaicin, heating temperature 1. PENDAHULUAN

Cabai merah (Capsicum annum L) merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan hortikultura, yang dapat dikonsumsi baik segar maupun olahan. Cabai menjadi bahan yang dibutuhkan masyarakat luas, yang menyebabkan permintaan produksi dan konsumsi cabai meningkat setiap tahun (Badan Standarisasi Nasional, 2016). Menurut Piay et al (2010) cabai merah memiliki kandungan kadar air yang tinggi (55-85%) sehingga akan berdampak cabai cepat mengalami kerusakan hingga mencapai 40%. Keadaan tersebut mengakibatkan produsen cepat menjual cabai merahnya untuk mengurangi kerusakan, selain itu perlu dilakukan pengolahan cabai merah lebih lanjut. Pengolahan cabai merah dilakukan agar konsumen dapat menikmati cabai merah dalam bentuk olahan yang lebih praktis, karena pola konsumsi masyarakat Indonesia yang sudah beralih dari cabai segar ke cabai olahan.

Olahan cabai merah terdiri dari saus cabai, sambal, puree cabai, cabai kering, minyak cabai, bubuk cabai, oleoresin dan cabai merah giling. Rosaria (2007) menyatakan bahwa cabai merah giling adalah produk yang perlu proses pengolahan lebih lanjut untuk mengkonsumsinya, sehingga

dapat dikatakan produk setengah jadi. Pengolahan cabai merah giling pada penelitian ini menggunakan cabai merah yang digiling kasar. Lubis (2000) menyatakan bahwa cabai merah giling kasar merupakan cabai dengan hasil gilingan yang masih memiliki biji-biji utuh yang tidak hancur.

Aguiar et al., (2016); Suprapty et al., (2017) menyatakan bahwa kualitas utama cabai untuk dikonsumsi adalah kepedasannya, yang sangat penting bagi konsumen dan keperluan industri olahan cabai. Othman et al., (2011) menyatakan bahwa rasa pedas pada cabai memiliki tingkat kepedasan yang berbeda yang dinyatakan dalam satuan Scoville Heat Unit (SHU). Tingkat kepedasan cabai dalam satuan SHU terdiri dari tidak pedas (0-700) SHU, agak pedas (700-3000) SHU, cukup pedas (3000-25.000) SHU, Pedas (25.000-70.000) SHU dan sangat pedas (>80.000) SHU (Weis, 2002 dalam Toontoom, 2014). Rasa pedas yang dihasilkan cabai berasal dari kandungan senyawa capsaicin dan dihydrocapsaicin yang merupakan molekul dominan, mencapai sekitar 90% dari total capsaicinoid dalam cabai (Aguiar et al., 2016).

Dihydrocapsaicin merupakan senyawa tanpa bau lipofilik yang tidak berwarna, larut dalam

(2)

2

dimetil sulfoksida dan etanol, serta mudah rusak

oleh proses oksidasi. Hasil penelitian Paz et al., (2010) kandungan dihydrocapsaicin paprika Habanero dengan perlakuan segar, direbus dan dipanggang, diketahui bahwa perlakuan paprika yang dipanggang lebih tinggi kandungan dihydrocapsaicin dibandingkan perlakuan cabai segar dan direbus, yaitu segar (463,4 48,1 g), rebus (419,20 51,0 g), dan dipanggang (727,3 39,0 g). Pada penelitian ini pula diketahui proses perebusan menurunkan kandungan dihydrocapsaicin dibandingkan paprika segar. Pemanggangan dan perebusan merupakan proses dari pemanasan.

Rosaria (2007) melaporkan bahwa cabai giling yang berada dipasaran tidak dilakukan proses pemanasan sehingga cepat mengalami kerusakan, oleh sebab itu pada penelitian ini cabai merah giling kasar dilakukan proses pemanasan. Pemanasan pada produk pangan ini diperlukan kondisi untuk mengurangi reaksi oksidasi-oksidasi yang disebabkan adanya oksigen yang dapat menurunkan mutu seperti senyawa capsaicin dan dihydrocapsaicin. Suhu pemanasan untuk mendapatkan kondisi tersebut adalah 80o C sampai 90o C yang dipanaskan selama 8-10 menit (Hariyadi et al., 2006, dalam, Khusnayaini, 2011).

Ahmed et al., (2002) menyatakan bahwa proses pemanasan puree cabai pada suhu 50-90o C mengalami degradasi senyawa capsaicin, dari 559 g puree cabai segar menjadi 441 g setelah pemanasan. Suhu 85o C senyawa capsaicin mengalami degradasi 19,1%. Hasil penelian lainnya Renate (2014) menyatakan bahwa pemanasan dengan suhu 80oC selama 10 menit menghasilkan degradasi capsaicin terendah dan sangat efektif dibandingkan dengan lama pemanasan lainnya pada cabai merah giling. Penelitian dihydrocapsaicin pada olahan cabai masih jarang dilakukan, padahal dihydrocapsaicin merupakan komponen penting terhadap rasa pedas dan tidak bisa diabaikan, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian berbasis dihydrocapsaicin pada olahan cabai yaitu cabai merah giling kasar.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suhu pemanasan terhadap kualitas dan kandungan dihydrocapsaicin selama pengolahan.

II. METODE PENELITIAN a. Waktu dan Tempat

penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juli 2020 di Laboratorium Analisis dan Pengolahan Pangan, Jurusan Teknologi Pertanian dan Laboratorium Terpadu Universitas Jambi, serta Laboratorium Kesehatan Daerah DKI Jakarta.

b. Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah cabai merah keriting segar

yang diperoleh dari Desa Sebapo, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi yang memiliki kriteria tidak busuk, matang berwarna merah tua, dan tidak ada kotoran dan bercak yang sulit dibersihkan, serta bahan tambahan yang digunakan garam, asam sitrat, dan natrium benzoat. Bahan untuk analisa yaitu aquadest, alkohol, indikator amilum 1%, larutan iodin 0,01 N, etanol p.a 96%, standar senyawa dihydrocapsaicin, kertas saring, media PCA (Plate Count Agar), dan garam fisiologis.

Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu mesin penggiling cabai, timbangan anlitik, botol jar, baskom, dan waterbath, sedangkan alat yang digunakan untuk analisa yaitu buret, statif, cawan, pipet tetes, desikator, oven, loyang, alat-alat gelas (tabung reaksi, cawan petri, gelas beaker, dan erlenmeyer), rak tabumg reaksi, hot plate, sentrifuse, vortex, HPLC (High Performance Liquid Chromatography), colour reader, pipet mikro, dan tabung vial.

c. Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan pada penelitian yaitu menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan lima perlakuan suhu pemanasan. Setiap perlakuan diulang sebanyak empat kali sehingga didapat 20 satuan percobaan, perlakuan tersebut yaitu suhu pemanasan 70, 75, 80, 85, dan 90o C. Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dianalisis menggunakan analisis ragam pada taraf 5% an 1%, apabila berpengaruh nyata maka dilanjutkan dengan uji Duncan New Multiple Range Test (DNMRT). Data dihydrocapsaicin dianalisa secara deskriptif dengan menampilkan data analisa dalam bentuk tabel.

d. Pelaksanaan Penelitian

Sterilisasi Botol Jar dan alat-alat Gelas (Martius, 2018)

Botol jar dan alat-alat gelas yang telah dibersihkan dibungkus menggunakan kertas kopi dan diikat. Alat gelas yang sudah dibungkus dimasukkan ke dalam autoklaf untuk dilakukan proses sterilisasi. Sterilisasi menggunakan autoklaf berlangsung selama 15 menit pada suhu 121o C dengan tekanan 1 atm.

Pembuatan Media PCA (Murtius, 2018)

Sebanyak 11,75 gram media PCA yang sudah ditimbang dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 mL, dan ditambahkan akuades sampai tanda batas. Erlenmeyer yang sudah berisi media PCA dan akuades, diaduk menggunakan stirer dan dipanaskan menggunakan hot plate sampai menjadi bening. Cairan media yang sudah bening diangkat dan ditutup menggunakan kapas yang dilapisi

disimpan di kulkas dan apabila akan digunakan dipanaskan kembali.

(3)

3

Pembuatan cabai merah giling Kasar (Renate et

al, 2014) yang dimodifikasi

Cabai merah keriting dilakukan sortasi dan dipisahkan dari tangkainya. Tahap selanjutnya dilakukan penimbangan sebanyak 250 gram, kemudian dicuci dan dilakukan blanching pada suhu 80°C selama 3 menit. Cabai merah kemudian dihancurkan menggunakan mesin penggiling cabai dipasaran,pada saat penggilingan ditambahkan asam sitrat 0,5%, asam benzoat 0,05% dan garam 6%, selanjutnya cabai giling dimasukkan ke dalam botol jar yang sudah disterilisasi.

Proses Pemanasan (Afrianti, 2014) yang

dimodifikasi

Cabai yang sudah dilakukan proses penggilingan selanjutnya dipanaskan di dalam waterbath yang berisi air 2/3 dari tinggi botol jar. Pemanasan dilakukan dengan cara mengatur suhu pemanasan sesuai suhu perlakuan (70,75, 80, 85, dan 90o C) dan sampel cabai giling dimasukkan dalam keadaan tutup botol dibuka dan diletakkan di dalam waterbath. Tahap selanjutnya adalah sampel cabai giling ditunggu suhunya mencapai suhu sesuai perlakuan, setelah suhu tercapai baru dihitung waktu pemanasannya selama 10 menit. Sampel cabai giling yang telah dipanaskan selama 10 menit langsung ditutup dan dikeluarkan dari waterbath, kemudian diberi label untuk selanjutmya dianalisa.

Ekstraksi Sampel (Renate, 2014)

cabai giling yang telah dilakukan perlakuan pemanasan ditimbang sebanyak ±3,5 g (berat sampel), kemudian sampel cabai giling dimasukkan ke dalam tabung tube pyrex ukuran 50 mL. Ke dalam tabung ditambahkan etanol 96% sebanyak 10 mL, selanjutnya tabung ditutup dengan penutup (line cap, tidak kedap udara). Sample kemudian diaduk menggunakan vortex selama 10 detik selanjutnya tabung diletakkan di dalam waterbath pada suhu 70oC selama 4 jam. Sample diaduk menggunakan vortex setiap jam. Sampel yang mengalami pemanasan selama 4 jam, diangkat dari waterbath dan diletakkan di temperatur ruang untuk didinginkan. Sampel yang sudah dingin selanjutnya disentrifuse untuk memperoleh supernatan. Supernatan yang diperoleh dipindahkan ke dalam tabung vial berkapasitas 20 mL (volume supernatan 10 mL, jika kurang ditambahkan beberapa mL etanol 96%).

Penetapan Standar dihydrocapsaicin

Tahap awal pembuatan kurva standar yaitu pembuatan larutan stok 1000 ppm dengan menimbang standar dihydrocapsaicin 0,025 gr dan ditambahkan ethanol pa 96% sebanyak 25 mL. Larutan stok dihydrocapsaicin 1000 ppm dibuat secara seri yaitu 0, 5, 10, 15, 30, 50 ppm. Masing-masing larutan standar dihydrocapsaicin

disuntikkan ke alat HPLC untuk memperoleh puncak area. Hasil pembacaan sampel pada HPLC dapat dilihat pada layar monitor yang selanjutnya dibuat grafik kurva kalibrasi konsentrasi standar dihydrocapsaicin.

e. Parameter yang diamati

Analisa Dihydrocapsaicin (Renate, 2014) yang dimodifikasi

Supernatan yang diperoleh dari ekstraksi sampel kemudian dianalisa menggunakan HPLC dengan cara disuntikkan pada HPLC. Perhitungan kadar dihydrocapsaicin dilakukan menggunakan persamaan regresi dari kurva standar yaitu:

y=bx+ a Keterangan : x = Konsentrasi dihydrocapsaicin standar (μg/mL) y = Luas puncak a = Slope b = Intercept

dari persamaan tersebut maka kadar dihydrocapsaicin dapat dihitung menggunakan rumus:

dihydrocapsaicin dalam sampel (µg/mL)=

rata-rata konsentrasi mL ekstraksi

kandungan dihydrocapsaicind ihitung dengan rumus di bawah ini :

Dihydrocapsaicin (µg/ml)bb=

Dari data hasil tersebut dapat dilakukan perhitungan tingkat kepedasannya. Tingkat kepedasan dalam satuan SHU didapatkan dengan mengalikan konsentrasi dihydrocapsaicin dengan koefisien nilai kalor yaitu 16,1 dapat diuraikan dengan rumus berikut:

SHU= konsentrasi dihydrocapsaicin (µg/g) ×16,1 Kadar Air (Sudarmadji et al, 1997).

Cabai merah giling ditimbang sebanyak 2 gram dalam cawan yang sudah dikeringkan dan diketahui beratnya. Kemudian cabai merah giling dimasukkan ke dalam oven pada suhu 105 oC selama 3 – 5 jam. Selanjutnya didinginkan dalam desikator sampai mencapai suhu kamar, kemudian ditimbang. Cabai merah giling dipanaskan lagi ke dalam oven selama 30 menit, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Perlakuan tersebut diulang sampai beratnya menjadi konstan. Kadar air cabai merah giling dihitung dengan rumus:

Kadar air =

x 100%

Keterangan :

A: Berat cawan (gram)

B: Berat cawan dan sampel sebelum dikeringkan (gram)

(4)

4

C: Berat cawan dan sampel setelah dikeringkan

(gram)

Warna (Andarwulan et al., 2011)

Sampel cabai giling disiapkan dan colour reader dinyalakan dengan menekan tombol power switch dan tombol lab, selanjutnya ditempelkan sampel pada alat colour reader dan tekan tombol measuring, hasil yang diperoleh meliputi L (Lightness), a (Redness), b (Yellowness) dengan skala 0 – 100. Nilai L*= 0 menunjukkan sampel berwarna gelap atau hitam, a* dengan range warna dari merah (nilai positif) yaitu (+80) sampai hijau (nilai negarif) yaitu (-50), serta b* dengan range warna kuning (nilai positif) yaitu (+70) sampai biru (nilai negatif) yaitu (-70). Nilai a dan b digunakan untuk menghitung oHue yang didapatkan dengan rumus oHue = tan-1 (b/a).

Kandungan vitamin C metode Iodometri (Nafisafallah, 2015)

Cabai merah gilling ditimbang sebayak 10 gram ke labu takar 100 ml dan ditambahkan aquadest hingga tanda tera. Kemudian campuran disaring untuk memisahkan fitratnya. Setelah itu diambil 5 ml filtrat cabai merah giling dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 125 ml. Ditambah 2 ml indikator amilum 1 % dan 20 ml aquadest lalu dititrasi dengan larutan iod 0,01 N hingga berwarna biru tua. Persentase vitamin c dihitung dengan menggunakan rumus :

Kadar vitamin C(mg/100g) =

Total Mikroba (Lubis, 2000) yang dimodifikasi

Sampel cabai merah giling ditimbang sebanyak 1 gram dan dimasukkan ke dalam 9 ml larutan pengencer (garam fisiologis) yang selanjutnya disebut pengenceran 10-1 dan diguncangkan (keatas dan kebawah) sebanyak 25 kali agar homogen. Pengenceran dilakukan sampai 10-6, selanjutnya sebanyak 1 ml diambil dari pengenceran 10-4 sampai 10-6 dan diinokulasikan pada cawan petri steril secara aseptis. Media PCA dituangkan ke dalam cawan petri sebanyak 10-15 ml. Cawan petri diguncang membentuk angka delapan dan dibiarkan membeku, selanjutnya setelah beku di kemas dengan plastik wrap secara rapat. Tahap selanjutnya diinkubasikan selama 48 jam. Jumlah total mikroba pada sampel cabai giling yang tumbuh dapat dihitung dengan rumus berikut:

Jumlah koloni per ml =

koloni

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dihydrocapsaicin

Kandungan dihydrocapsaicin yang dihasilkan dengan metode HPLC pada cabai merah giling kasar dengan perlakuan suhu pemanasan juga dapatmenjadi dasar pengukuran kepedasan SHU (Scoville Heat Unit). Hasil tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil analisa dihydrocapsaicin cabai merah giling kasar Suhu Pemanasan Dihydrocapsaicin (µg/g) Tingkat Kepedasan (SHU) 70o C 39,63 638,043 75 o C 55,03 885,983 80 o C 54,14 871,654 85 o C 57,57 926,887 90 o C 62,91 1012,851

Tabel 1 menunjukkan bahwa kandungan

dihydrocapsaicin pada sampel cabai merah giling kasar mengalami kenaikan. Kandungan dihydrocapsaicin terendah terdapat pada suhu pemanasan 70o C yaitu 39,63 µg/g dan tertinggi terdapat pada suhu 90o C yaitu 62,91 µg/g, dan tingkat kepedasan berkisar antara 638,043-1012,851 SHU yang berada pada tingkatan agak pedas.

Menurut Bernal et al., (1993) menyatakan bahwa bagian vanillyl capsaicin mudah teroksidasi oleh enzim peroksidase. Enzim ini dapat berperan dalam degradasi capsaicin, sehigga pada penelitian ini kandungan dihydrocapsaicin cenderung mengalami kenaikan seiring dengan meningkatnya suhu pemanasan, yang diduga karena telah terinaktivasinya enzim peroksidase secara sempurna pada saat pemanasan berlangsung.

Kadar Air

Berdasarkan hasil sidik ragam ternyata suhu pemanasan berpengaruh nyata terhadap kadar air cabai merah giling kasar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar air mengalami penurunan dengan semakin tingginya suhu pemanasan. Nilai kadar air cabai merah giling kasar dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kadar air cabai merah giling dengan perlakuan suhu pemanasan

Suhu Pemanasan Kadar air (%)

70o C 74,23 a

75 o C 74,20 a

80 o C 73,57 ac

85 o C 73,15 c

90 o C 73,01 c

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji DMRT.

(5)

5

Menurut Fitriani (2008) pemanasan

menyebabkan penguapan air lebih banyak sehingga kadar air di dalam bahan semakin kecil. Penguapan ini juga diakibatkan karena terjadinya perbedaan tekanan uap antara air pada bahan dengan uap air pada udara. Tekanan uap air pada bahan umumnya lebih besar dari tekanan uap air udara sehingga terjadi perpindahan massa air dari bahan ke udara disekitar. Standar mutu untuk cabai giling sampai saat ini belum ada sehingga masih mengacu pada standar mutu saus cabai. Menurut Hartuti danSinaga (1994) saus cabai yang dapat diterima secara organoleptik memiliki kadar air lebih kecil dari 83,3%, sehingga kadar air pada penelitian ini dapat diterima secara organoleptik karena kadar air tertinggi hanya 74,23%.

Vitamin C

Hasil analisis sidik ragam perlakuan suhu pemanasan berpengaruh sangat nyata terhadap kandungan vitamin C cabai merah giling kasar. Hasil analisa vitamin C dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kandungan vitamin C cabai merah giling kasar dengan perlakuan suhu pemanasan

Suhu Pemanasan Vitamin C (mg/100 gr)

70 o C 134,25 d

75 o C 127,60 c

80 o C 114,4 bc

85 o C 105,60 ab

90 o C 94,6 a

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang tidak sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji DNMRT.

Tabel 3 menunjukkan bahwa cabai merah

giling kasar memiliki kandungan vitamin C berkisar antara 94,6-134,25 mg/100 g. Kandungan vitamin C tertinggi ada pada suhu pemanasan 70o C yaitu 134,25 mg/100 g dan terendah pada suhu pemanasan 90o C. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu pemanasan maka vitamin C pada cabai merah giling kasar mengalami penurunan. Kesuma (2019) menambahkan bahwa penurunan kadar vitamin C pada proses pemanasan disebabkan karena vitamin C merupakan vitamin yang paling tidak stabil bersifat larut dalam air dan sangat mudah rusak oleh pemanasan. Winarno (1988) dalam Palupi (2003) melaporkan bahwa vitamin C juga sangat mudah teroksidasi dan proses pemanasan juga dapat mempercepat reaksi oksidasi vitamin C.

Warna

Sebagai salah satu indikator mutu cabai, pengukuran warna ini dilakukan terhadap cabai merah giling kasar. Hasil analisis anova perlakuan suhu pemanasan tidak berpengaruh nyata terhadap warna yang dihasilkan. Hasil pengukuran warna pada cabai merah giling kasar dapat dilihat pada

Tabel 4.

Tabel 4. Nilai warna L*, a*, b* dan oHue terhadap

cabai merah giling kasar dengan perlakuan suhu pemanasan

Suhu Derajat Warna

Pemanasan L* a* b* oHue 70 o C 45,57 +15,22 +25,24 58,39 75 o C 45,55 +15,02 +25,02 59,02 80 o C 45,49 +14,97 +25,02 59,11 85 o C 45,41 +14,80 +24,96 59,33 90 o C 45,30 +14,76 +24,75 59,19

Hasil analisis sidik ragam suhu pemanasan tidak berpengaruh nyata pada parameter L*, a* b*, dan nilai ohue warna cabai merah giling kasar. Hasil penilitian pada tabel 4 untuk nilai oHue berkisar antara 58,39 – 59,33 yang menandakan bahwa cabai merah giling kasar memiliki warna merah kekuningan. Nilai L*, a*, dan b* cabai merah giling kasar terlihat bahwa perubahan yang sangat kecil akibat dari perlakuan suhu pemanasan. Ismail dan Revathi (2006) melaporkan bahwa dalam paprika merah yang dihaluskan nilai warna hanya mengalami perubahan yang kecil (L*, a*, dan b*).

Nilai L* (kecerahan) suhu pemanasan 70-90oC terjadi penurunan nilai kecerahan, hal ini menandakan bahwa semakin tinggi suhu pemanasan semakin menurunkan nilai kecerahan cabai merah giling kasar. Nilai kecerahan tertinggi didapatkan pada suhu 70 o C yaitu sebesar 45,57 dan terkecil pada suhu 90o C yaitu 45,30. Wahid (2000) melaporkan bahwa nilai kecerahan pada cabai identik dengan kesegarannya, semakin segar cabai maka nilai kecerahannya semakin tinggi. Nilai kecerahan yang berbeda ini diakibatkan karena selama proses pemanasan pigmen pembentuk warna pada cabai mengalami degradasi. Nilai a* pada penelitian cabai merah giling kasar berkisar antara +14,76 sampai +15,22 yang menandakan warna merah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu pemanasan maka nilai a* mengalami penurunan. Menur

ut Wahid (2000) perlakuan pemanasan terbukti menurunkan nilai warna merah, hal ini disebabkan karena proses panas yang diberikan pada cabai giling tersebut mengakibatkan terjadinya degradasi pada pigmen karotenoid yang menyebabkan warna merah.

Nilai b* pada penelitian ini berkisar +24,75 sampai +25,24 menunjukkan warna kuning . Wahid (2000) menyatakan bahwa pigmen karotenoid pada cabai mudah mengalami degradasi karena pemanasan.

(6)

6

Total Mikroba

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam ternyata suhu pemanasan berpengaruh nyata terhadap total mikroba yang dihasilkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu pemanasan, total mikroba yang terdapat pada cabai merah giling kasar mengalami penurunan. Hasil penelitian terhadap total mikroba dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Total mikroba cabai merah giling kasar dengan perlakuan suhu pemanasan. Suhu

Pemanasan Total Mikroba Log Cfu/mL

70o C 6,29 b

75 o C 5,26 a

80 o C 5,15 a

85 o C 5,04 a

90 o C 4,78 a

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji DNMRT. Puthi (1980) dalam Wahid (2000) yang melaporkan bahwa jumlah mikroba pada cabai giling akan menurun dengan perlakuan panas pada suhu 85-95o C. Hasil penelitian Rosaria (2007) juga menyatakan bahwa pengolahan cabai giling yang tidak mendapat perlakuan panas menyebabkan kandungan total mikroba yang tinggi. Hal ini disebabkan karena suhu pemanasan dapat merusak sel mikroba. Ketika membran sel rusak dan menurunnya aktivitas di dalam sel, sehingga sel akan mati. Pleczar (2007) juga menyatakan bahwa pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh suhu. Proses pemanasan digunakan untuk menurunkan dan menghilangkan sejumlah mikroba sampai kadar yang dapat diterima dan menghasilkan kondisi yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba patogen dan pembusuk (Estiasih dan ahmadi, 2014).

IV. Kesimpulan dan Saran a. Kesimpulan

1. Suhu pemanasan cabai merah giling kasar berpengaruh terhadap kadar air, vitamin C, dan total mikroba, namun tidak berpengaruh terhadap warna. semakin tinggi suhu pemanasan maka kadar dihydrocapsaicin mengalami peningkatan sebesar 58,74% pada cabai merah giling kasar selama pengolahan. 2. Suhu pemanasan cabai merah giling kasar 90o C

merupakan suhu maksimal untuk pemanasan dengan kadar dihydrocapsaicin 62,91µg/g. Dengan pemanasan 90o C kualitas cabai merah giling kasar yaitu kadar air 73,01%, nilai kecerahan L 45,30, warna a* +14,76, warna b* +24,75, dan oHue 59,19, vitamin C 94,6 mg/100 gr, serta total mikroba 4,78 Log cfu/ mL.

3. Suhu pemanasan 85o C atau 90o C merupakan suhu pemanasan yang dapat digunakan untuk menghasilkan kualitas cabai merah giling yang baik dan kadar dihydocapsaicin tertinggi.

5.2 Saran

Dari hasil penelitian disarankan agar dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh kualitas dan kadar dihydrocapsaicin pada cabai merah giling selama penyimpanan.

DAFTAR PUSTAKA

Afrianti, L. H. 2014. Teknologi Pengawetan Pangan. Alfabeta: Bandung.

Aguiar, A.C., Countinho, J.P., Barbero, A.F., Godoy, H.T., dan Martinez, J. 2016. Comparative Study of Capsaicinoid Cmpositiom in Capsicum Peppers Grown in Brazil.

International Journal of Food Properties. Taylor and

Francis Group. Brazil.

Ahmed, J. Shivhare U.S., and Debnath. S. 2002. Colour Degradation and Rheology of Green Chili Puree During Thermal Processing. International Journal of Food Science and Technology. 37:57-63.

Almatsier, Sunita. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.

Amaliah, Nur. 2018. Penentuan Kadar Capsaicin Menggunakan Metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Pada Cabe Katokkon. Jurnal Sains Terapan. Vol 4, No, 1. Andarwulan, N., F. Kusnandar, dan Herawati, D. 2011. Food

Analysis. Jakarta: Dian Rakyat.

Badan Standarisasi Nasional (BSN). 2016. SNI:4480:2016. Cabai. Jakarta.

Bahar, dkk. 2017. Pengaruh Etilen Terhadap Kadar Capsaicin Pada Empat Varietas Cabai (Capsicum Annuum L.) Di Lingkungan Dan Kondisi Iklim Kabupaten Rokanhulu.

Jurnal Sungkai Vol.5 No.1.

Bernal, M.A., Calderon, A.A., Pedreno, M.A., Munoz, R., Barcelo, A. R., and de Caceres, F. M. 1993. Capsaicin oxidation by peroxidase from Capsicum annum (var. Annuum) fruits. J. Agric. Food Chem. 41:1041-1044. Castillo, E., Gavilan, A.T., Severiano, P., Arturo, N., and

Mungula, A.L. 2007. Lipase Catalyzed Synthesis of Pungent Capsaicin Analogues. Journal of Food

Chemistry, 100:1202-1208.

Estiasih, T., dan Ahmadi. 2014. Teknologi Pengolahan Pangan. PT: Bumi Aksara. Jakarta.

Etiasih, T dan Ahmadi, K. 2009. Teknologi Pengolahan Pangan. Malang: Bumi Aksara.

Feng, P. 1997. A Summary of Background Information and Foodborne Illness Associated With The Consumption of Sprouts. Center For Food Safety and Applied

Nutrition, Washington, DC, 96-99.

Fitriani, S. 2008. Pengaruh Suhu dan lama Pengeringan Terhadap Beberapa Mutu Manisan Belimbing Wuluh (Averrhoa blimbi L.) Kering. Jurnal sagu 7, no (01). Handoko, L.P., dan Yeni Variyana. 2017. Studi Efektivitas

Ekstraksi (Capsaicin) dari Cabai (Capsicum) dengan Metode MASE (Microwave Assited Soxhlet Extraction). Skripsi. Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya.

Harrison, M. K., dan Harris, N. D. 1985. Effects of Processing Treatments on Recovery of Capsaicin in Jalapeno Peppers. Journal of Food Science, 50, 1764-1765. Hartuti, Nur. 1994. Pengaruh Varietas dan Suhu Pemanasan

terhadap mutu Saus Cabai. Laporan Penelitian Pasca Panen. Balai Penelitian Hortikultura Lembang). Di dalam A, Santika. Agribisnis Cabai. Penebar Swadaya. Hok, K. T., Setyo, W., dan Soetaredjo, F.E. 2007. Pengaruh

(7)

7

Vitamin A dan C pada Proses Pembuatan Pasta Tomat.

Widya Teknik 6, no 2: 111-120.

Ikhsani, A.Y., dan Susanto, W.H. 2014. Pengaruh Proporsi Pasta Labu Kuning dan Cabai Rawit serta Konsentrasi Ekstrak Rosella Merah Terhadap Sifat Fisik Kima Organoleptik Saus Labu Kuning [in Press April 2015].

Jurnal Pangan dan Agroindustri 3, no. 2

(2014):499-510.

Ismail, N., dan Revathi, R. 2006. Studirs on the Effects of Blanching Time, Evaporation Time, Temperature and Hydrocolloid on Physical Properties of Chili (Capsicum annum var kulai) Puree. LWT-Food Science and

Tecjnology, 39, 91-97.

Iwai, K., Suzuki, T., dan Fujiwake, H. 1979. Formation and accumulation of Pungent Principle of Hot Pepper Fruits, Capsaicin and its Analogues, in Capsicum annum var. Annum cv. Karayatsubusa at differentgrowth stages after flowering. Agricultural and

biological chemistry, 43 (12), 2493-2498.

Kesuma, R., Lestari, S.D., dan Widiastuti, I. 2019. Pengaruh Pemanasan Terhadap Kandungan Proksimat, Mineral dan Vitamin C Selada Air (Nasturtium Offinale). (Doctoral Dissetation, Sriwijaya University). Khusnayaini, A, A. 2011. Pengaruh Tingkat Sterilitas Pada

Proses Pengalengan Terhadap Sifat Fisik Gudeg Yang dihasilkan. Skripsi. IPB. Bogor.

Lubis, Yenny. 2000. Studi Proses Pembuatan Cabai Merah (capsicum annum) Giling. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Martius, W.S. Praktek Dasar Mikrobiologi. 2018. Universitas Andalas. Padang. Sumatera Barat.

Mirawati M, H Djajaningrat, A Purwanti. Kualitas Bakteriologis Cabai Giling yang Dijual di Pasar Tradisional Wilayah Pondok Gede. 2013. Jurnal Teknologi Ilmu Kesehatan. Nafisafallah, F.2015. Pengaruh Penggunaan Jenis dan

Perlakuan Cabai yang Berbeda Terhadap Kualitas Saus Pedas Jambu Biji Merah. Skripsi. Fakultas

Teknik. Universitas Negeri Semarang.

Napitupulu, C.C., dan Ratman, R. 2014. Analisis Vitamin C pada Buah Pepaya, Sirsak, dan Langsat yang Tumbuh di Kabupaten Donggala. Jurnal Akademika Kimia 3(3), 121-128.

Othman et al., 2011. Determination of Capsaicinand Dihydrocapsaicinin Capsicum Fruit Samples using High Performance Liquid Chromatography. Department of Chemistry, College of Science, King Saud University. Saudi Arabia.

Palupi, Sri. 2003. Perbedaan Kadar Vitamin C pada Asinan Buah Mangga. Fakultas Teknik. Universitas Negri Yogyakarta. Yogyakarta.

Pelczar, M.J.Chan. ESC. 2007. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Piay, S.S., Tyasdjaja, A., Ermawati, Y., dan Hantoro, F.R.P. 2010. Budidaya dan Pascapanen Cabai Merah (Capsaicum annum L.). Unggara: BPTP Jawa Tengah. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2019. Outlock Cabai

Komoditas Pertanian Subsektor Hortikultura. Kementerian Pertanian. Jakarta.

Renate, dharia. 2014. Model Kinetika Degradasi Capsaicin Cabai Merah Giling Pada Berbagai Kondisi Suhu Penyimpanan. Disertasi. Universitas Sriwijaya. Renate, Dharia. 2014. Model Kinetika Degradasi Capsaicin

Cabai Merah Giling Pada Berbagai Kondisi Suhu Penyimpanan. Jurnal Agritech. Vol. 34, No. 3. Rosaria. 2007. Studi Keamanan Cabe Giling di Kota Bogor.

Skripsi Departemen ilmu dan Teknologi pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Srinivasan, K. 2005. Spices as Influencer of Body metabolism: An Overview of Three Decades of Research. Food

Research International, 38, 78-86.

Sudarmadji. S., Haryono. B dan Suhardi. 1977. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty : Yogyakarta.

Sundari, D., Almasyuri, A., dan Lamid, A. 2015. Pengaruh Proses Pemasakan terhadap Komposisi Zat Gizi Bahan Pangan Sumber Protein. Media Litbangkes, 25(4), 235-242.

Suprapty, G., Eva, D., dan Imelda. 2017. Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Cabai Besar (Capsicum Annum L) Pada Tingkat Rumah Tangga Di Kota Pontianak. Jurusan Sosial EkonomiPertanian, Fakultas Pertanian. Universitas Tanjungpura. Pontianak. Suzuki, T., Fujiwake, H., dan Iwai, K. 1980. Intracelluler

Localization of Capsaicinoid, in Capsicum Fruit 1. Microscopic Investigation of The Structure of The Placenta of Capsicum annum var. Annum cv. Karayatsubusa. “ Plant and Cell Psycology 21(5), 839-853.

Toontom, Nitchara. 2014. Hotness and Pungent Odour Profiles of Processed Dried Chili (Capsicum annuum Linn Var. Acuminatun Fingerh). Thesis. Songkla University. Victoria-Campos, Claudia I., de Jesus Ornelas-Paz, J., Ramos

Aguilar, O.P., Failla, M. L., Chitchumroonchokchai, C., Ibarra-Junquera, V., and Perez-Martinez, J. D. 2015. The Effect Of Ripening, Heat Processing And Frozen Storage on The In Vitro Bioaccessibility of Capsaicin And Dihydrocapsaicin From Jalapeno Peppers In Absence And Presence Of Two Dietary Fat Types. Food Chemistry, 181, 325-332.

Wahid, Nur. 2000. Studi Pengembangan Industri Cabai Giling dalam Kemasan Botol. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Winarno, F.G. 2017. Cabai: Potensi Pengembangan Agrobisnis.

(8)

Gambar

Tabel  1.  Hasil  analisa  dihydrocapsaicin  cabai  merah  giling kasar   Suhu  Pemanasan  Dihydrocapsaicin (µg/g)  Tingkat  Kepedasan  (SHU)  70 o  C  39,63  638,043  75  o  C  55,03  885,983  80  o  C  54,14  871,654  85  o  C  57,57  926,887  90  o  C
Tabel  3  menunjukkan  bahwa  cabai  merah  giling  kasar  memiliki  kandungan  vitamin  C  berkisar  antara  94,6-134,25  mg/100  g
Tabel  5.  Total  mikroba  cabai  merah  giling  kasar  dengan perlakuan suhu pemanasan

Referensi

Dokumen terkait

Hasil studi ini menunjukkan, dimensi-dimensi relationship marketing (komunikasi, penanganan konflik, komitmen, dan kepercayaan) yang digunakan dalam penelitian ini,

Puji Syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “ Pemerolehan Sintaksis Anak Usia Lima

Argumen utama yang dibangun adalah Krisis Teluk tidak dapat dilepaskan dari konstelasi politik regional yang juga melibatkan relasi antara Saudi dengan Iran sebagai dua

Kebutuhan untuk mengatur penggunaan jalur data dan bandwidth yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan, Untuk mengatasi pemasalahan di atas, perlu dibangun sebuah sistem

Untuk mengukur dan membandingkan kinerja perusahaan perbankan sebelum dan sesudah merger dipilihlah analisis yang digunakan oleh bank Indonesia adalah CAMEL

(Imam Ghozali, 2006) c) Uji Heteroskedastisitas, bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari residual satu pengamatan ke

ajak, temani dan mandiri. 2) Model yang dikembangkan layak untuk digunakan berdasarkan validasi yang telah dilakukan oleh ahli/praktisi dengan kualitas validasi

An Nabhani, Taqiyuddin, Membangun Ekonomi Alternatif Perspektif Islam. Penerjemah : Maghfur Wachid Surabaya, Risalah Gusti, 1996. Nur Rianto Al, Dasar-Dasar Ekonomi Islam, Solo: