• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Lahan Gambut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Lahan Gambut"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Lahan Gambut

Lahan gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah yang dibentuk oleh adanya penimbunan atau akumulasi bahan organik yang berasal dari reruntuhan vegetasi dalam kurun waktu lama. Akumulasi ini terjadi karena lambatnya laju dekomposisi dibandingkan dengan laju penimbunan bahan organik. Seperti gambut tropis lainnya, gambut di Indonesia dibentuk oleh akumulasi residu vegetasi tropis yang kaya akan kandungan lignin dan nitrogen. Karena lambatnya proses dekomposisi, di lahan gambut masih dapat dijumpai batang, cabang dan akar yang berukuran besar (Page et al. 2002).

Lahan gambut dalam keadaan alami selalu tergenang air sepanjang tahun sehingga tidak memungkinkan untuk digunakan sebagai lahan budidaya, kecuali terlebih dahulu diadakan reklamasi. Dengan kondisi alami yang selalu basah maka proses perombakan atau pematangan tanah gambut menjadi terhambat. Oleh karena itu diperlukan perbaikan tata air dengan tujuan memberikan suasana yang kondusif bagi proses perombakan atau pematangan tanah gambut dengan masuknya oksigen. Proses perombakan atau pematangan tanah penting untuk meningkatkan kesuburan tanah (Moorer & Shearer 1997).

Karakter Fisik Gambut

Kadar air tanah gambut berkisar antara 100-1.300% dari berat keringnya, artinya gambut mampu menyerap air hingga 13 kali bobotnya. Kadar air yang tinggi menyebabkan BD menjadi rendah, gambut menjadi lembek dan daya menahan bebannya rendah. BD tanah gambut lapisan atas bervariasi antara 0.1-0.2

g cm-3 tergantung pada tingkat dekomposisinya (Mutalib et al. 1991). Sifat fisik

tanah gambut lainnya adalah sifat mengering tidak balik. Gambut yang telah mengering, dengan kadar air kurang dari 100% (berdasarkan berat), tidak bisa lagi menyerap air jika dibasahi. Gambut yang mengering ini sifatnya sama dengan kayu kering yang mudah hanyut dibawa aliran air dan mudah terbakar. Dalam keadaan kering gambut yang terbakar menghasilkan energi panas yang lebih besar dari kayu atau arang terbakar. Gambut yang terbakar juga sulit dipadamkan dan

(2)

apinya bisa merambat di bawah permukaan sehingga kebakaran lahan bisa meluas tidak terkendali (Nugroho et al. 1997).

Karakter Kimia Gambut

Lahan gambut umumnya mempunyai tingkat kemasaman yang relatif tinggi dengan kisaran pH 3-5. Gambut oligotropik yang memiliki substratum pasir kuarsa di Berengbengkel, Kalimantan Tengah memiliki kisaran pH 3.25-3.75 (Salampak 1999). Sementara itu gambut di sekitar Air Sugihan Kiri, Sumatera Selatan memiliki kisaran pH yang lebih tinggi yaitu antara 4.1-4.3 (Hartatik et al. 2004).

Karakteristik kimia lahan gambut di Indonesia sangat ditentukan oleh kandungan mineral, ketebalan, jenis mineral pada substratum (di dasar gambut), dan tingkat dekomposisi gambut. Kandungan mineral gambut di Indonesia umumnya kurang dari 5% dan sisanya adalah bahan organik. Fraksi organik terdiri atas senyawa-senyawa humat sekitar 10-20% dan sebagian besar lainnya adalah senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, protein, dan senyawa lainnya.

Selulosa

Selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tumbuhan. Kandungan selulosa pada dinding sel tumbuhan tingkat tinggi sekitar 35-50% dari berat kering tanaman (Lynd et al. 2002). Selulosa merupakan polimer glukosa dengan ikatan β-1.4 glukosida dalam rantai lurus. Bangun dasar selulosa berupa suatu selobiosa yaitu dimer dari glukosa. Rantai panjang selulosa terhubung secara bersama melalui ikatan hidrogen dan gaya van der Waals (Perez et al. 2002). Selulosa mengandung sekitar 50-90% bagian berkristal dan sisanya bagian amorf (Aziz et al. 2002). Selulosa tidak memiliki rasa, tidak berbau, hidrofilik, tidak larut dalam air, bersifat chiral dan biodegradable (dapat didegradasi). Selulosa dapat dipecah menjadi unit-unit glukosa dengan perlakuan kimia dengan asam konsentrat pada suhu tinggi. Selulosa berasal dari unit D-glukosa, yang terkondensasi melalui ikatan glikosidik- β (1 → 4). Motif ikatan ini kontras dengan ikatan glikosidik-α (1 → 4) yang terdapat pada pati, glikogen, dan karbohidrat lainnya. Selulosa merupakan polimer rantai lurus, tidak seperti pati,

(3)

tidak melingkar atau tidak terjadi percabangan. Dibandingkan dengan pati, selulosa juga jauh lebih kristal. Pati mengalami transisi dari kristal menjadi amorf jika dipanaskan melampaui 60-70°C dalam air (seperti dalam memasak), selulosa membutuhkan suhu 320°C dan tekanan 25 MPa untuk menjadi amorf dalam air (Nishiyama et al. 2002)

Banyak sifat selulosa tergantung pada panjang rantai atau derajat polimerisasi, jumlah unit glukosa yang membentuk satu molekul polimer. Selulosa dari pulp kayu memiliki panjang rantai yang khas antara 300 dan 1700 unit; kapas dan serat tanaman lainnya serta selulosa bakteri memiliki panjang rantai berkisar dari 800-10.000 unit. Molekul dengan panjang rantai yang sangat kecil yang dihasilkan dari pemecahan selulosa yang dikenal sebagai selodekstrin; berbeda dengan selulosa berantai panjang, selodekstrin biasanya larut dalam air dan pelarut organik. Tanaman yang berasal dari selulosa biasanya terkontaminasi dengan hemiselulosa, lignin, pektin dan zat lainnya, sedangkan selulosa mikrob cukup murni, memiliki kadar air jauh lebih tinggi, dan terdiri dari rantai panjang (Klemm et al. 2005).

Selulosa telah menarik perhatian dunia sebagai sumber daya yang dapat dikonversi menjadi produk berbasis bio dan bioenergi. Namun saat ini, sejumlah besar limbah selulosa pertanian, industri dan kota telah terakumulasi atau tidak digunakan secara efisien karena tingginya biaya proses pemanfaatannya (Kim et

al. 2003). Oleh karena itu, telah menjadi lebih dari cukup menarik minat secara

ekonomi untuk mengembangkan proses perlakuan efektif dan pemanfaatan limbah selulosa sebagai sumber karbon murah.

Selulosa digunakan secara luas sebagai sumber makanan oleh berbagai organisme termasuk jamur dan bakteri (Davison & Blaxter 2005). Jamur dan bakteri memiliki sistem enzimatik selulase yaitu, ekso-β-1.4-glukanase (EC 3.2.1.91), endo-β-1.4-glukanase (EC3.2.1.4), dan β-1.4-glukosidase (EC 3.2.1.21). Komponen-komponen enzimatik bertindak secara berurutan dalam sistem yang sinergis untuk memfasilitasi pemecahan selulosa dan konversi biologis menjadi sumber energi, berupa glukosa (Beguin & Aubert 1994). Endo-β-1.4-glukanase secara acak menghidrolisis ikatan β -1.4 dalam molekul selulosa dan ekso-β -1.4-glukanase melepas sebuah unit selobiosa dan terakhir, selobiosa tersebut diubah

(4)

menjadi glukosa oleh β-1.4-glukosidase (Bhat & Bhat 1997). Secara keseluruhan, proses enzimatik untuk menghidrolisis bahan selulosa dapat dicapai melalui reaksi kompleks yang sinergis dari berbagai komponen enzimatik dalam proporsi optimal (Tomme et al. 1995).

Selulase

Selulase adalah enzim kompleks yang memotong secara bertahap rantai selulosa menjadi glukosa. Enzim ini terdiri dari eksoselulase atau eksobiohidrolase, endoselulase atau endo β-1,4-glukanase dan β-1,4-glukosidase atau selobiase. Selulase terdiri dari selobiohidrolase (CBH atau 1,4, β-D-glukan selobiohidrolase, E.C 3.2.1.91), endo-β-1,4-glukanase (EG atau endo-2,4-β-D-glukan 4 endo-2,4-β-D-glukanohidrolase, EC 3.2.1.4) dan β-glukosidase (BG, EC 3.2.1.21). Selulase menghidrolisis selulosa dengan produk utama glukosa, selobiosa dan selooligosakarida (Anindyawati 2010).

Berbagai kelompok mikroorganisme dari kapang, bakteri dan

aktinomisetes dapat menghasilkan selulase. Kapang dari jenis Trichoderma dan

Aspergillus sangat banyak ditemui sebagai penghasil hemiselulase. Selain itu,

menurut Chandel et al. (2007), beberapa kelompok mikroorganisme seperti

Clostridium, Cellulomonas, Trichoderma, Penicillium, Neurospora, Fusarium, Aspergillus dan sebagainya mempunyai aktivitas selulolitik dan hemiselulolitik

yang tinggi. Aktinomiset

Berdasarkan klasifikasinya, Aktinomiset termasuk kelas Schizomycetes, ordo Actinomycetales yang dikelompokkan menjadi empat familia, yaitu: Mycobacteriaceae, Actinomycetaceae, Streptomyceae, dan Actinoplanaceae. Genus yang paling banyak dijumpai hampir 70% adalah Streptomyces, sedangkan genus lain Nocardia, dan Micromonospora. Genus Streptomyces memiliki kemampuan untuk mendegradasi selulosa, hemiselulosa, dan lignin yang banyak terdapat pada tanaman (Holt et al. 1994; Madigan et al. 2000)

Aktinomiset termasuk dalam kelompok bakteri berfilamen, gram positif dengan % GC tertinggi diantara bakteri lainnya, yaitu sebesar 63-78% (Madigan

(5)

fragmentasi miselia. Aktinomiset memiliki dua macam miselia, yaitu miselia aerial dan miselia substrat, kedua miselia ini mampu menghasilkan pigmen yang menyebabkan perbedaan warna pada masing-masing koloni.

Aktinomiset sebagai Penghasil Enzim Pendegradasi Selulosa

Lignin adalah polimer kompleks yang terdiri dari unit fenilpropan yang dihubungkan oleh berbagai ikatan karbon dan eter. Di alam, secara fisik, lignin merupakan kerak selulosa dan resisten untuk didegradasi oleh kebanyakan organisme. Streptomyces viridosporus T7A (ATCC 39115) melakukan depolimerisasi lignin dalam mendegradasi selulosa dan memproduksi APPL (acid-precipitable polymeric lignin) yang larut dalam air sebagai produk utama degradasi lignin (Ramachandra 1988). Streptomyces viridosporus telah dikonfirmasi sebagai organisme yang aktif mendegradasi lignin bersama isolat

Streptomyces sp. UAH 15 (selanjutnya diklasifikasikan sebagai Streptomyces cyaneus CECT 3335), organisme ini memiliki kemampuan untuk melakukan

mineralisasi dan solubilisasi fraksi lignin dari lignoselulosa. Identifikasi dari enzim ekstraselular yang diproduksi S. cyaneus CECT 3335 selama pertumbuhannya menunjukkan terdapat aktivitas ekstraselular peroksidase dan fenol oksidase, dengan aktivitas fenol oksidase yang seratus kali lebih besar dibandingkan aktivitas peroksidase. Aktivitas kedua enzim ini ditemukan memiliki korelasi dengan kecepatan mineralisasi dan solubilisasi (Berrocal et al. 1997).

Kukolya et al. (2002) mendapatkan empat galur (K21, TB100T, TB108, TB110) yang secara struktur morfologi digolongkan ke dalam genus

Thermobifida lignoselulolitik dari kompos “hot core”. Semua galur menunjukkan

aktivitas selulase (termasuk selobiohidrolase and endoglukanase), endoxilanase, manosidase, protease, amilase dan memiliki kemampuan yang baik dalam

mendegradasi lignin. Streptomyces drozdowiczii M7aT yang diisolasi dari sampel

tanah Atlantica Mata Forest di Rio de Janeiro, Brazil, menunjukkan aktivitas

selulolitik pada suhu 70-100oC (Semedo et al. 2004), sedangkan Streptomyces

cellulolyticus LXT yang diisolasi dari sampel tanah daerah Jinan, Cina, diketahui mampu mendegradasi filter paper, α-cellulose, dan avicel (Li 1997).

(6)

16S rRNA

Di antara berbagai teknik yang digunakan, RNA ribosomal paling banyak digunakan sebagai penanda molekuler. Pada prokaryot terdapat tiga jenis RNA ribosomal, yaitu 5S, 16S, dan 23S rRNA. Di antara ketiganya, 16S rRNA yang paling sering digunakan. Molekul 5S rRNA memiliki urutan basa terlalu pendek, sehingga tidak ideal dari segi analisis statistika, sementara molekul 23S rRNA memiliki struktur sekunder dan tersier yang cukup panjang sehingga menyulitkan analisis (Stackebrandt & Goebel 1995). Analisis gen penyandi 16S rRNA telah menjadi prosedur baku untuk menentukan hubungan filogenetik dan menganalisis suatu ekosistem. 16S rRNA dapat digunakan sebagai penanda molekuler karena molekul ini bersifat ubikuitus dengan fungsi yang identik pada seluruh organisme. Molekul ini juga dapat berubah sesuai jarak evolusinya, sehingga dapat digunakan sebagai kronometer evolusi yang baik. Molekul 16S rRNA memiliki beberapa daerah yang memiliki urutan basa yang relatif konservatif dan beberapa daerah urutan basanya variatif (Pangastuti 2006).

Perbandingan urutan basa yang konservatif berguna untuk mengkonstruksi pohon filogenetik universal karena mengalami perubahan relatif lambat dan mencerminkan kronologi evolusi bumi. Sebaliknya, urutan basa yang bersifat variatif dapat digunakan untuk melacak keragaman dan menempatkan galur-galur dalam satu spesies. Jika urutan basa 16S rRNA menunjukkan derajat kesamaan yang rendah antara dua taksa, deskripsi suatu takson baru dapat dilakukan tanpa hibridisasi DNA-DNA (Stackebrandt & Goebel 1995). Biasanya jika derajat kesamaan urutan basa gen penyandi 16S rRNA kurang dari 97% dapat dianggap sebagai spesies baru.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan beberapa dosis tepung babadotan (Ageratum conyzoides L.) memberikan perbedaan yang nyata terhadap waktu awal

1) Praktik konservasi lingkungan. Meskipun merupakan tujuan wisata yang sangat populer, Pantai Tanjung Tinggi tidak memiliki praktik pelestarian lingkungan. 2) Mendorong

Pengembangan Trainer sebagai Alat Praktikum Pengujian Rangkaian Pembangkit PWM, Buck Converter, Boost Converter dan Buck-Boost Converter pada Mata Pelajaran Penerapan

Hasil uji repeated ANOVA (p<0,05) menunjukkan bahwa tidak terdapat penurunan yang signifikan jumlah koloni bakteri anaerob pada periodontitis apikalis kronis setelah

Sensor suhu LM35 adalah sebuah IC sensor suhu yang presisi dimana output tegangan nya berubah secara linier proporsional ke derajat Celcius (centigrade). IC LM35

x Retak sambungan bahu perkerasan, retak memanjang, umumnya terjadi pada sambungan bahu dengan perkerasan. Retak dapat disebabkan kondisi drainase dibawah bahu jalan lebih

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan ada beberapa kesamaan antara fakta dan teori pengetahuan terhadap peningkatan pengetahuan siswa tentang pencegahan penyalahgunaan

Semua pegawai / karyawan terutama staf bagian IT harus menyadari arti pentingnya fasilitas perusahaan sebagai aset sehingga semua orang mempunyai kewajiban untuk merawat