• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAHASAN UMUM. Modal Sosial dan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBAHASAN UMUM. Modal Sosial dan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBAHASAN UMUM

Modal Sosial dan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga

Apabila merujuk pada pola pembangunan Indonesia dalam Pasal 33 UUD 1945 yang memberi arah pembangunan ekonomi untuk menuju kesejahteraan sosial. Kata kunci pembangunan di Indonesia adalah kualitas Sumberdaya Manusia (SDM). Kemudia n, UU RI No 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000-2004, pembangunan pangan dan gizi tercantum dalam bidang ekonomi serta sosial budaya. Hal ini jelas menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi yang dikembangkan selama ini tidak berdampak positif terhadap kualitas SDM. Artinya adalah, setiap peningkatan pertumbuhan ekonomi, GDP dan pendapatan perkapita ternyata tidak berpengaruh positif terhadap peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia. Kenyataan ini menunjukkan bahwa tujuan pembangunan untuk mewujudkan pembangunan Indonesia seutuhnya belum tercapai.

Seperti yang dialami oleh penduduk dunia ternyata di Indonesia tidak jauh berbeda bahwa kesejahteraan masyarakat antar daerah menunjukkan tingkat disparitas dan inequality yang cuk up kentara. Apabila kesejahteraan didekati dengan nilai Product Domestic Regional Bruto (PDRB), ternyata pembangunan terpusat di pulau Jawa yaitu mencapai 59,56 persen dari total pendapatan, Sumatera 22,05 persen, sedangkan pulau lainnya (Kalimantan, Sulawesi dan lain-lain) hanya 8,22 persen. Kesenjangan pendapatan atau disparitas kesejahteraan penduduk ini bermuara dari pola pembangunan yang mengacu pada pembangunan ekonomi, dan dilaksanakan secara fragmented dengan bertumpu pada pertumbuhan ekonomi dan sedikit sekali menyentuh pembangunan sumberdaya manusia apalagi pembangunan yang mengarah pada pemberdayaan masyarakat.

Padahal tujuan pembangunan adalah membangun manusia Indonesia seutuhnya dengan arah pembangunan yang berorientasi kepada masyarakat. Berkenaan dengan itu, arah pembangunan masa akan datang harus dilaksanakan secara holistik dan komprehensif dengan melibatkan masyarakat. Supaya arah pembangunan ini dapat berjalan dengan efektif dan efisien maka pola pembangunan ini dapat memanfaatkan berbagai bentuk struktur sosial yang ada

(2)

dimasyarakat dan salah satunya adalah modal sosial. Modal sosial adalah berupa tingkat keterpercayaan, rasa percaya, norma dan jaringan kerja baik informal maupun formal yang ada di masyarakat mempunyai peran yang cukup penting dan dapat memicu peningkatan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi (James Coleman, (1990), Pierre Bourdieu, (1993), Robert Putnam, (1995), dan Francis Fukuyama, (1999). Studi kasus di Indonesia, World Bank melaporkan bahwa modal sosial mempunyai kontribusi dan berpengaruh positif terhadap peningkatan kesejahteraan keluarga (Grootaert, 1999). Hal ini sejalan dengan visi dan misi program Millenium Development Goals (MDGs) bahwa pemberantasan kemiskinan dan kelaparan berbasis pada masyarakat atau penduduk sehingga penduduk dunia pada tahun 2015, minimal separo dari target pembangunan bebas dari kemiskinan, kemelaratan dan sejenisnya.

Kesejahteraan Ekonomi Keluarga dan Disparitas

Kesejahteraan diartikan suatu tata nilai kehidupan dan penghidupan bagi setiap individu, keluarga dan masyarakat terhadap berbagai aspek, seperti: ekonomi, sosial, maupun spritual untuk mengadakan usaha- usaha pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani. Oleh karena itu, program pembangunan peningkatan kesejahteraan harus dilaksanakan secara holistik dan komprehensif, sedangkan selama ini pendekatan yang digunakan untuk menilai tingkat kesejahteraan masyarakat hanya bertumpu pada pendekatan ekonomi baik yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) maupun Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sehingga program yang dijalankan selama ini belum banyak hasil yang dapat dirasakan oleh masyarakat. Untuk mengatasi hal tersebut, penelitian tentang kesejahteraan keluarga di daerah perdesaan Provinsi Jambi menggunakan dua pendekatan, yakni: Kesejahteraan Ekonomi Objektif (KEO) dan Kesejahteraan Ekonomi Subjektif (KES). Kesejahteraan Ekonomi Objektif (KEO) keluarga di wilayah penelitian diukur dengan proxy besarnya pengeluaran keluarga. Pengeluaran keluarga yaitu pengeluaran yang diperuntukkan pembelian kebutuhan keluarga sehari- hari, yakni kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya. Dengan kata lain, pengeluaran keluarga dialokasikan untuk kebutuhan

(3)

pangan, non pangan dan kebutuhan investasi sumberdaya manusia. Porsi pengeluaran tersebut akan mencerminkan tingkat kesejahteraan suatu kelompok masyarakat (Mangkuprawira, 2002: 74). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara pengeluaran kecil (miskin) dengan pengeluaran relatif besar (keluarga berkecukupan). Distribusi pengeluaran pada kelompok hampir berkecukupan keatas mencapai 79,4 persen. Apabila dibedakan berdasarkan wilayah agroekologi ternyata persentase pengeluaran terbesar keluarga contoh terdapat di wilayah pesisir pantai yaitu mencapai 87 persen lebih, sedangkan di wilayah pegunungan hanya sekitar 72 persen. Merujuk pada standar kemiskinan, ternyata persentase pengeluaran keluarga contoh yang berada pada tingkatan pengeluaran kurang berkecukupan hanya sebesar 34,8 persen, sedangkan yang tergolong sangat miskin hanya 5,2 persen. Hal ini menunjukkan bahwa keluarga contoh di daerah penelitian berdasarkan pada tingkat pengeluaran dapat di kategorikan pada kelompok sejahtera.

Distribusi tingkat pengeluaran keluarga menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan yakni distribusi pengeluaran keluarga antara kelompok terendah dengan kelompok penerima pengeluaran paling atas relatif merata. Kelompok 40 persen penerima pengeluaran terbawah rata-rata di atas 17 persen, sedangkan distribusi pengeluaran 10 persen kelompok penerima pengeluaran teratas dengan nilai juga cukup baik yaitu antara 14-16 persen. Dengan kata lain, terdapat nilai Bobot Ketidaksamarataan (BK) masing- masing wilayah 1,6 dan 1,9. N ilai BK wilayah pesisir pantai relatif lebih kecil dibandingkan dengan BK wilayah pegunungan. Hal ini mengindikasikan bahwa distribusi pengeluaran keluarga di wilayah pesisir pantai relatif sedikit kurang merata dibandingkan dengan distribusi pengeluaran keluarga di daerah penelitian wilayah pegunungan. Ketidaksamarataan pengeluaran masyarakat nelayan disebabkan adanya pola hubungan kerja antara buruh dengan majikan. Dengan kata lain, terjadi saling ketidak percayaan antara nelayan (buruhan) dengan pemilik modal dalam mengelola usaha.

Kesejahteraan Ekonomi Subjektif (KES) adalah wujud kebudayaan dan terbentuk dalam proses interaksi sosial dalam masyarakat sehingga persepsi kesejahteraan masyarakat desa akan berbeda dengan persepsi kesejahteraan masyarakat kota bahkan berbeda dengan persepsi yang dibuat oleh pemerintah

(4)

namun kesemuanya dipengaruhi oleh nilai-nilai yang menjadi pedoman hidupnya untuk mewujudkan kesejahteraan itu sendiri. Kesejahteraan masyarakat desa diperoleh dari nilai- nilai lokal melalui hasil sosialisasi dari nilai- nilai budaya dan agama karena secara sosiologis dan psikologis bahwa setiap manusia mempunyai nilai tersendiri tentang persepsi kesejahteraan. Secara operasional, ada dua pendekatan mengenai KES yaitu pendekatan kebahagiaan dan kepuasan. Namun variabel kepuasan merupakan indikator yang lebih baik dibandingkan dengan variabel kebahagiaan karena ia dapat lebih mudah melihat kesenjangan antara aspirasi dengan tujuan yang ingin dicapai. Tingkat kepuasan dapat menggambarkan tingkat kemampuan seseorang mengevaluasi suatu aksi atau dapat menjangkau berbagai kelompok kesejahteraan, sedangkan kebahagiaan (happiness) hanya dapat merasakan berbagai peristiwa pada kelompok tertentu dalam aksesnya dengan masyarakat dan institusi. Kemudian, kepuasan (satisfaction) individu, keluarga dan atau masyarakat dapat menggambarkan tingkat kemampuan mengkonsumsi barang dan jasa serta harapan masa depan (Peck dan Goodwin, 2003:7).

Kesejahteraan Ekonomi Subjektif (KES) diukur dengan melihat tingkat kepuasan keluarga terhadap pemenuhan kebutuhan sehari- hari. Data menunj ukkan bahwa distribusi tingkat kesejahteraan ekonomi subjektif keluarga (subjective economic well-being) di wilayah penelitian relatif baik. Hal ini ditandai dengan persentase masyarakat setempat yang merasa puas dalam pemenuhan keperluan mereka sehari- hari, baik kebutuhan pangan, non pangan maupun investasi relatif memuaskan yaitu mencapai 60,3 persen. Namun demikian, apabila dibedakan berdasarkan wilayah penelitian ternyata persentase terbesar kesejahteraan masyarakat terdapat di wilayah pegunungan yaitu mencapai 68,4 persen, sedangkan di wilayah pesisir, tingkat kesejahteraan yang merasa puas dalam pemenuhan kebutuhan mereka sehari-hari hanya sekitar 51 persen. Hal ini berhubungan terbalik dengan tingkat pengeluaran keluarga. Dengan arti kata, tingkat pengeluaran sebagai proxy kesejahteraan ekonomi objektif tidak selalu berkorelasi positif dengan tingkat kepuasan. Hasil analisis menunjukkan bahwa distribusi kepuasan keluarga di daerah penelitian baik pada tingkat kepuasan keluarga di wilayah pesisir pantai maupun di wilayah pegunungan ternyata

(5)

memiliki tingkat distribusi cukup merata, yakni 40 persen penerima kepuasan terbawah rata-rata di atas 17 persen. Sebaliknya, distribusi penghasilan 10 persen kelompok penerima kepuasan teratas denga n nilai juga cukup baik yaitu di bawah 17 persen. Berdasarkan data distribusi tersebut dapat diketahui bahwa BK kedua wilayah penelitian menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan dengan nilai berkisar antara 2,24–1,9. Apabila merujuk kepada standar yang digunakan oleh Bank Dunia dan Kuznets maka distribusi kepuasan keluarga di kedua wilayah penelitian tergolong merata karena jauh lebih besar dari angka 0,3. Namun, melalui hasil analisis (Uji U-test) diperoleh bahwa tingkat kesejahteraan keluarga di wilayah pegunungan lebih merata dibandingkan dengan keluarga di wilayah pesisir pantai baik kesejahteraan ekonomi objektif maupun kesejahteraan ekonomi subjektif (kepuasan keluarga).

Peran Modal Sosial terhadap Kesejahteraan Ekonomi Keluarga

Modal sosial merupakan investasi strategis baik secara individu maupun kelompok. Sadar ataupun tidak sadar bahwa modal sosial dapat menghasilkan hubungan sosial secara langsung dan tidak langsung dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Penelitian tentang modal sosial kaitannya dengan kesejahteraan sudah cukup banyak dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya namun konsep penelitian tentang modal sosial baru melihat dalam konteks institusi atau kelembagaan dan jaringan kerja, padahal modal sosial bukan semata- mata bentuk kelembagaan atau jaringan kerja yang terdapat di masyarakat tetapi perannya cukup kompleks karena berkaitan erat dengan perilaku anggota kelompok atau asosiasi baik formal maupun informal. Untuk itu, melalui penelitian keterkaitan modal sosial dengan kesejahteraan keluarga ini mengkombinasikan antara konsep kelembagaan dan karakter individu. Modal sosial merupakan bentuk jaringan kerja sosial dan ekonomi di masyarakat yang terjadi antar individu dan kelompok baik formal maupun informal yang bermanfaat dan menguntungkan. Modal sosial dikategorikan melalui dua dimensi yang saling berhubungan

(6)

(interrelated), yakni: dimensi struktural, dan dimensi karakter22. Hasil pelitian menunjukkan bahwa tingkat asosiasi lokal yang dimiliki keluarga contoh di daerah penelitian cukup bervariatif baik dilihat dari jumlah asosiasi yang diikuti, partisipasi maupun manfaat dari asosiasi lokal itu sendiri. Namun, sebagian besar keluarga contoh memiliki asosiasi lokal tergolong tinggi yaitu mencapai 57,3 persen. Artinya, proporsi keluarga contoh yang memiliki asosiasi lokal pada tingkat tinggi dan sangat tinggi mencapai 57,3 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa kepemilikan asosiasi lokal bagi keluarga contoh di daerah penelitian cukup penting. Apabila dibedakan berdasarkan daerah penelitian ternyata kelompok masyarakat yang memiliki tingkat asosiasi lokal tertinggi (kepemilikan asosiasi lokal tinggi+sangat tinggi) terdapat di wilayah pegunungan dengan persentase sebesar 67 persen, sedangkan di wilayah pesisir pantai sekitar 53 persen. Relatif rendahnya tingkat asosiasi lokal yang dimiliki keluarga contoh yang terdapat di wilayah pesisir pantai sangat erat kaitannya dengan jumlah dan tingkat partisipasi mereka dalam kelompok atau organisasi yang terdapat dalam desa. Keterlibatan keluarga contoh dalam berbagai asosiasi lokal sangat sedikit sekali, baik kegiatan ekonomi maupun kegiatan lainnya, dan hal ini diperparah lagi oleh jumlah asosiasi yang berkembang di wilayah pesisir pantai sangat terbatas bila dibandingkan dengan daerah wilayah pegunungan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah asosiasi lokal yang diikuti keluarga contoh di daerah penelitian tergolong besar karena lebih dari 59 persen keluarga contoh mengikuti sebanyak tiga atau lebih asosiasi lokal. Dengan semakin banyaknya jumlah asosiasi lokal yang diikuti oleh anggota keluarga contoh diharapkan dapat mendukung atau mempengaruhi tingkat kebersamaan dan solidaritas sesama anggota masyarakat sehingga pada gilirannya akan berdampak terhadap kesejahteraan dan kemajuan desa. Kemudian, pada masa era globalisasi, reformasi dan otonomi daerah, asosiasi lokal yang berkembang di daerah dan diikuti oleh anggota masyarakat akan sangat berperan dalam membendung dan

22

Konsep ini mengacu pada konsep yang dikembangkan oleh Bourdieu (1986), Coleman (1988), dan Putnam, Leonardi, dan Nanetti (1993), Grootaert (1997), Woolcock (1998), Fukuyama (1999), Uphoff (1999) (Dasgupta P., 2000:218), dan Flores dan Fernando (2003) (disempurnakan).

(7)

menopang berbagai informasi berupa inovasi baru yang datang dari luar terutama yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan pembangunan daerah.

Tinggi rendahnya peran modal sosial terhadap kesejahteraan keluarga dilihat dari tingkat partisipasi mayarakat dalam berbagai kelompok atau asosiasi. Tingkat partisipasi anggota keluarga contoh dalam asosiasi lokal dilihat dari dua aspek, yakni tingkat keaktifan dalam pertemuan dan pengambilan keputusan selama mengikuti pertemuan. Rata-rata partisipasi anggota keluarga dalam mengikuti berbagai kegiatan atau pertemuan dalam kelompok/asosiasi kemasyarakatan cukup tinggi yaitu mencapai 57 persen. Dengan arti kata, setiap anggota keluarga dapat mengikuti berbagai kegiatan atau pertemuan kelompok/asosiasi lebih dari 50 persen. Namun demikian, apabila dibedakan berdasarkan daerah penelitian ternyata anggota keluarga contoh di wilayah pesisir pantai memiliki tingkat partisipasi relatif lebih rendah dibandingkan dengan anggota keluarga contoh di wilayah pegunungan, masing masing 49, dan 66 persen. Dengan kata lain, anggota keluarga contoh di daerah wilayah pesisir pantai kurang aktif dalam mengikuti berbagai aktivitas dan pertemuan kelompok/asosiasi sehingga akan berdampak kepada produktivitas kelembagaan itu sendiri.

Variabel manfaat secara struktural merupakan elemen penting dalam modal sosial karena variabel ini berkaitan erat dengan keterlibatan seorang individu atau kelompok dalam asosiasi. Artinya, semakin besar nilai manfaat dari suatu asosiasi bagi keluarga maka kontribusi setiap aktor semakin besar dan sebaliknya. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa tingkat manfaat asosiasi bagi keluarga contoh di daerah penelitian cukup besar, hal ini ditandai dengan tingginya nilai persentase yaitu mencapai 70 persen lebih. Hasil Focus Group Discussion (FGD) di wilayah pegunungan menyimpulkan bahwa asosiasi desa yang ada di daerah ini baik asosiasi formal maupun informal cukup penting dalam meningkatkan perekonomian dan hubungan sosial dalam masyarakat. Keberadaan asosiasi di desa pegunungan sangat berperan sekali terutama sistem kerja gotong royong ”collective action”, misalnya membangun jalan menuju ke sentra produksi (kebun), membangun dan atau membersih hulu sungai untuk pengairan persawahan, membangun fasilitas umum (masjid), madrasah, dan

(8)

fasilitas umum lainnya. Hasil temuan lapangan diperolah informasi bahwa terdapat lebih dari 18 asosiasi (formal dan informal) lokal yang dapat dimanfaatkan oleh keperluan atau kepentingan keluarga responden. Apabila dibedakan berdasarkan daerah penelitian ternyata asosiasi lokal terbanyak yang berkembang dan dapat dimanfaatkan oleh keluarga contoh terdapat di wilayah pegunungan yaitu sebanyak 16 unit, sedangkan di wilayah pesisir pantai hanya 10 unit.

Secara keseluruhan, asosiasi sosial merupakan persentase terbesar yang dibutuhkan bagi anggota keluarga contoh yaitu mencapai 33 persen, kemudian persentase terbesar kedua adalah asosiasi yang bergerak untuk kebutuhan pangan yaitu mencapai 24 persen, sedangkan persentase terkecil yaitu asosiasi yang bergerak di bidang kesehatan (6 persen). Namun, apabila dibedakan berdasarkan daerah penelitian tampaknya terdapat perbedaan yang cukup signifikan kebutuhan asosiasi yang terdapat di wilayah pegunungan dengan wilayah pesisir pantai. Kebutuhan asosiasi di wilayah pegunungan misalnya, kebutuhan asosiasi dari lima kelompok yang berkembang di masyarakat kebutuhannya cukup proporsional kecuali asosiasi yang bergerak di bidang kesehatan, sedangkan kebutuhan asosiasi yang terdapat di wilayah pesisir pantai hanya tertumpu pada kelompok sosial yaitu mencapai 46 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat yang terdapat di wilayah pesisir pantai memiliki tingkat interaksi sosial di masyarakat tergolong rendah. Kenyataan ini didukung oleh hasil diskusi (FGD) dengan tokoh-tokoh masyarakat bahwa umumnya masyarakat di daerah tersebut memiliki tingkat hubungan antar sesama anggota masyarakat sangat terbatas. Keterbatasan hubungan keakraban antar sesama anggota masyarakat karena banyaknya kelompok kesukuan sehingga sulit untuk membuat satu kesatuan asosiasi untuk kepentingan bersama. Disisi lain, masyarakat pesisir lebih banyak melakukan aktivitas secara individual daripada kelompok kecuali kalau ada anggota masyarakat yang mendapat musibah (meninggal) itupun hanya membantu memberi doa ya ng disebut sebagai asosiasi sosial (yasinan).

Kebutuhan asosiasi terbesar yang dibutuhkan oleh masyarakat di wilayah pegunungan adalah asosiasi yang bergerak di bidang pangan yaitu mencapai 30 persen. Hasil temuan lapangan menunjukkan bahwa asosiasi ya ng bergerak di

(9)

bibidang pangan ini berasal tiga jenis asosiasi yang berkembang di masyarakat, yakni: Kelompok Usahatani (KUT), Kelompok Perkumpulan Petani Pemakai Air (KP3A) dan asosiasi Kelembagaan Adat. KUT misalnya adalah asosiasi yang di sponsori oleh pemerintah yang bergerak dibidang pertanian: bantuan bibit (tanaman, ternak dan ikan) dan bantuan lainnya, KP3A adalah asosiasi desa yang berkembang dimasyarakat di wilayah pegunungan yaitu kelompok pengelola air irigasi yang digunakan untuk pengairan padi sawah, dan kelembagaan adat disamping berfungsi sebagai lembaga sosial, pendidikan juga berperan sebagai kelompok yang bergerak untuk keperluan pangan masyarakat (contoh: raskin).

Asosiasi terbesar kedua yang berkembang di wilayah pegunungan dan dibutuhkan oleh masyarakat yaitu asosiasi yang bergerak di bidang pendidikan (26 persen). Melihat distribusi yang ada, asosiasi yang bergerak dibidang pendidikan ini berasal dari beberapa jenis asosiasi, yakni: Asosiasi Karang Taruna, Majlis Taklim, PKK, kelompok keagamaan, dan kelompok kesenian tradisional. Asosiasi lain yang cukup memberi andil terhadap kesejahteraan masyarakat di wilayah pegunungan adalah asosiasi yang bergerak di bidang sosial, tambahan modal dan kesehatan. Asosiasi yang bergerak di bidang sosial adalah asosiasi ”leg,” kelembagaan adat, kesenian tradisional, dan asosiasi PBB. Asosiasi ”leg” di wilayah pegunungan secara umum disebut kelompok yasinan. Oleh karena, asosiasi ini mayoritas bergerak pada kelompok kalbu maka kelompok ini disebut dengan istilah ”leg23.” Asosiasi yang bergerak dalam bidang tambahan modal terdiri dari beberapa asosiasi, yakni: asosiasi ”handel24,” arisan, KUT dan Koperasi (KUD dan keluarga). Asosiasi ”handel” sangat efektif membatu keluarga baik untuk keperluan lebaran (pada saat lebaran) maupun untuk keperluan tambahan modal kerja karena yang mendapatkan bantuan dari asosiasi ini (uang milik bersama) tidak dikenakan bunga. Asosiasi POSYANDU sebagai asosiasi yang bergerak dibidang kesehatan tampaknya masih relatif kecil manfaatnya bagi masyarakat. Namun demikian, menurut hemat peneliti rendahnya

23

“leg” artinya sekumpulan atau sekelompok orang yang berasal dari hubungan pertalian darah atau garis turunan tertentu (bonding) dengan tujuan bersama terutama kerjasama pada saat menghadapi musibah kematian, secara umum disebut dengan istilah kelompok yasinan.

24

“handel” artinya sistem kerja kelompok (kalbu) dengan mengambil upahan dan setiap mendapat upahan, penghasilannya disimpan terlebih dahulu dan dibagikan menjelang hari raya idul fitri.

(10)

manfaat POSYANDU bagi masyarakat di daerah perdesaan banyak disebabkan oleh faktor kesungguhan pemerintah memberikan akses pelayanan kepada masyarakat. Hasil temuan di lapangan diperoleh informasi bahwa hampir sebagian besar POSYANDU yang ada di daerah penelitian sudah banyak yang tidak berfungsi lagi namun dengan adanya upaya revitalisasi POSYANDU diharapkan asosiasi tersebut dapat melayani masyarakat terutama pelayanan kesehatan anak-anak.

Dimensi lain dari modal sosial adalah karakter anggota masyarakat. Karakter seorang individu merupakan “the sum total of the disinguishing qualities of a person” atau sering juga disebut dengan istilah “moral exellence and strength” (Webster, 1993). Lichona (Hastuti, 2006,11) melihat bahwa karakter terdiri dari tiga dimensi yang saling terkait satu sama lainnya, yakni: pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral (moral feeling), dan perilaku bermoral (moral behavior). Artinya, seorang individu yang berkarakter baik apabila mereka dapat mengetahui tentang berbagai kebaikan (knowing the good), menginginkan dan selalu mencintai kebaikan (loving the good), dan seorang individu selalu melakukan berbagai tindakan yang baik (acting the good). Implementasi dalam kehidupan sehari- hari dan seorang individu yang berkarakter baik dapat dilihat pada pola hidup dan interaksi sosial mereka dengan masyarakat dalam konteks: nilai keterpercayaan, solidaritas dan semangat kerja. Nilai keterpercayaan diukur dari tiga dimensi, yaitu: komitmen terhadap norma yang berlaku, kejujuran, dan tanggung jawab. Solidaritas masyarakat dilihat dari aspek: tingkat ketergantungan antar anggota masyarakat, saling bantu membantu, dan aspek kepekaan terhadap kemajuan desa, sedangkan aspek semangat kerja diukur dari disiplin dan keuletan kerja masyarakat.

Hasil pengamatan lapangan, terdapat lebih dari 50 persen keluarga contoh di daerah penelitian tergolong pada kelompok dengan karakter masyarakat yang tinggi dan sangat tinggi. Dengan arti kata, bahwa rata-rata pola hidup dan interaksi sosial masyarakat di daerah penelitian khususnya di daerah perdesaan Provinsi Jambi relatif kondusif. Namun, apabila dibedakan berdasarkan wilayah penelitian ternyata proporsi keluarga contoh terbesar pada kelompok karakter yang tinggi dan sangat tinggi terdapat di wilayah pegunungan (74,8 %),

(11)

sedangkan masyarakat di wilayah pesisir pantai yang tergolong pada kelompok berkarakter tinggi dan sangat tinggi hanya sekitar 33,8 persen. Artinya, kelompok masyarakat yang memiliki karakter baik (kelompok karakter tinggi + sangat tinggi) di wilayah pesisir pantai jauh lebih kecil dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang ada di wilayah pegunungan . Hasil pengamatan lapangan dan wawancara mendalam dengan tokoh masyarakat di wilayah pesisir pantai diperoleh kesimpulan bahwa rendahnya karakter masyarakat di daerah penelitian disebabkan keberagaman etnisitas. Terdapat empat suku besar yang berkembang dengan pola dan gaya hidup yang sangat kontras satu dengan lainnya, yakni: suku melayu, bugis, banjar, dan suku jawa. Keempat suku tersebut memiliki ciri dan kepentingan masing- masing sehingga akan berdampak terhadap kepentingan masyarakat secara umum dan pada gilirannya dapat merenggangkan interaksi sosial masyarakat secara utuh. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Robinson (2002:8) bahwa keberagaman etnisitas dapat mempengaruhi tingkat income inequality dan kebersamaan masyarakat.

Elemen pertama tentang karakater masyarakat adalah keterpercayaan. Keterpercayaan diukur dalam bentuk tingkat keyakinan seseorang terhadap perkataan, perjanjian, dan tindakan secara konsisten pada saat terjalinnya hubungan antar individu atau kelompok/organisasi dalam masyarakat. Tingkat keterpercayaan seseorang dapat dilihat dari dimensi: tingkat komitmen, kejujuran dan tanggung jawab. Rata-rata tingkat keterpercayaan masyarakat di daerah penelitian tergolong relatif baik karena nilai kelompok masyarakat yang tergolong pada kelompok keterpercayaan tinggi dan sangat tinggi yaitu mencapai 57,8 persen. Artinya, hampir sebagian besar masyarakat di daerah perdesaan Provinsi Jambi memiliki tingkat keterpercayaan tinggi. Berdasarkan wilayah penelitian, ternyata terdapat perbedaan yang cukup besar kelompok masyarakat yang memiliki tingkat keterpercayaan tinggi antara masyarakat di wilayah pesisir pantai dengan wilayah pegunungan . Hasil pengelompokan menunjukkan bahwa masyarakat di wilayah pegunungan memiliki tingkat keterpercayaan jauh lebih baik dibandingkan dengan tingkat keterpercayaan masyarakat yang ada di wilayah pesisir pantai dengan nilai masing- masing 75,9 dan 37,1 persen. Relatif tingginya tingkat keterpercayaan masyarakat yang ada di wilayah pegunungan sangat

(12)

terkait dengan pola hubungan individu dalam masyarakat. Pola hubungan atau interaksi individu dalam masyarakat Kerinci yaitu menganut sistem ”kalbu.” Sistem kalbu adalah interaksi sosial/hubungan sosial masyarakat dalam kelompok atau turunan tertentu yang dibingkai dalam sebuah kedepatian dan lembaga adat dengan satu tujuan. Artinya, satu depati dengan depati lain saling kait mengkait dan saling ketergantungan untuk membangun sebuah kelembagaan yang kokoh yang disebut dengan kelembagaan adat.

Hasil FGD menunjukkan bahwa keterpercayaan seorang individu yang mapan dan dapat dipercayai di wilayah pegunungan karena mereka merasakan bahwa dirinya adalah milik orang lain dan sebaliknya masyarakat luas adalah bagian dari kepentingan mereka dalam menjalankan interaksi/hubungan sosial. Tercapainya keterpercayaan yang terkait dengan hubungan masyarakat dalam kelompok kalbu dan kedepatian disebabkan oleh adanya komitmen, kejujuran dan tanggung jawab masing- masing anggota untuk kepentingan bersama.

Elemen kedua dari karakter adalah solidaritas. Solidaritas yaitu saling mau menerima, merasa memiliki sebagai anggota dari sebuah sistem, dimana mereka saling bergantung satu sama lain, mereka saling percaya untuk memenuhi keinginan bersama sehingga ketentraman dan keharmonisan dapat tercapai. Tinggi rendahnya tingkat solidaritas masyarakat dilihat dari tiga dimensi: ketergantungan satu sama lainnya, saling bantu membantu, dan adanya kepekaan terhadap kemajuan desa. Secara operasional solidaritas masyarakat merupakan frekuensi interaksi antara satu individu dengan individu lainnya yang merujuk pada seberapa jauh individu melakukan kontak-kontak langsung antara satu dengan lainnya. Semakin positif sifat interrelasi diantara anggota kelompok yang berupa solidaritas, atau semangat kemasyarakatan, semakin besar kecenderungannya untuk saling memperhatikan keinginan masing- masing dalam mencari jalan ke arah saling memberi kepuasan dan kerjasama. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat solidaritas masyarakat di daerah penelitian relatif merata antara solidaritas masyarakat yang baik dan kurang baik karena data yang diperoleh diantara kedua tingkat solidaritas tersebut relatif berimbang: 41,5 persen tingkat solidaritas kurang baik dan 58,5 persen tingkat solidaritas tergolong baik. Namun, menurut wilayah penelitian ternyata persentase masyarakat terbesar yang memiliki tingkat

(13)

solidaritas tergolong baik terdapat di wilayah pegunungan (76,4 persen). Hasil wawancara menunjukkan bahwa tingginya tingkat solidaritas masyarakat di wilayah pegunungan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya karena kuatnya kelembagaan adat yang ada di daerah tersebut.

Elemen ketiga dari karakter masyarakat adalah semangat kerja. Seorang individu atau kelompok masyarakat dikatakan atau dicirikan sebagai seorang semangat kerja tinggi (tipe pekerja keras) apabila mereka selalu melakukan kegiatan dengan disiplin (ulet, pantang menyerah) dan melakukan pekerjaan dengan segera serta memanfaatkan waktu dengan efektif dan efisien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata keluarga contoh di daerah penelitian yang dapat digolongkan pada kelompok masyarakat dengan tipe bekerja keras hanya 38 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa rata-rata etos kerja masyarakat di daerah penelitian tergolong rendah. Apabila dilihat berdasarkan wilayah penelitian ternyata masyarakat keluarga contoh yang memiliki etos kerja yang rendah terdapat di wilayah pesisir pantai yaitu mencapai 70 persen, sedangkan masyarakat di wilayah pegunungan hanya 52 persen. Kurangnya sifat masyarakat untuk bekerja keras di daerah penelitian terutama di wilayah pesisir pantai terlihat dari kurangnya pemanfaatan waktu kerja, sistem kerja banyak bersifat individual dan kurang kesungguhan dalam menghadapi berbagai pekerjaan terutama pekerjaan produktif terkecuali keluarga contoh yang berada di daerah penelitian tergabung dalam kelompok transmigrasi mereka umumnya relatif lebih produktif dibandingkan dengan masyarakat lain non transmigran. Hal ini ditunjukkan oleh fakta bahwa setiap anggota rumah tangga di daerah transmigrasi memiliki berbaga i ragam pekerjaan, baik bidang pekerjaan usahatani (pangan dan perkebunan) maupun pekerjaan dibidang jasa sehingga mereka dapat memperoleh penghasilan yang berfungsi untuk menjaga kelangsungan hidup keluarga.

Oleh karena modal sosial bukan merupakan kapital yang dapat mentransformasi langsung terhadap suatu hasil yang diharapkan maka ia dapat dikatakan produktif atau berperan dalam meningkatkan penghasilan atau kesejahteraan keluarga harus melalui berbagai mekanisme. Sesuai dengan manfaat dan akses dari modal sosial yang diharapkan masyarakat sehingga efek modal sosial yang dapat mempengaruhi penghasilan dan kesejahteraan keluarga

(14)

yaitu melalui tiga mekanisme, yakni: sharing informasi diantara anggota kelompok, sistem kerja bersama atau gotong royong (collective action) baik untuk kegiatan produktif maupun kegiatan sosial, dan pengambilan keputusan bersama (musyawarah). Hasil temuan ini didukung oleh konsep yang dikembangkan oleh Naraya n dan Pritchett (1999:872-873) bahwa modal sosial dapat mempengaruhi berbagai bentuk keluaran (outcomes) bagi masyarakat melalui lima mekanisme, yakni (1) dapat meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memonitor berbagai kegiatan atau kebijakan pemerintah melalui jaringan sosial (social network); (2) dapat meningkatkan berbaga i bentuk tindakan atau kebijakan bersama dalam memecahkan berbagai persoalan dalam masyarakat; (3) dapat memudahkan berbagai bentuk difusi inovasi melalui peningkatan hubungan antar individu; (4) dapat mengurangi ketidaksempurnaan informasi yang diterima masyarakat, seperti dalam pemanfaatan fasilitas kredit, berbagai bentuk produksi, lahan pertanian, dan lapangan kerja; dan (5) dapat meningkatkan asuransi informal (informal insurance) bagi rumahtangga.

Besar kecilnya pengaruh modal sosial terhadap peningkatan penghasilan dan kesejahteraan keluarga sangat ditentukan oleh tipe interaksi sosial yang berkembang atau yang diikuti oleh anggota keluarga. Namun demikian, tipe interaksi ini sangat bergantung dengan jenis dan keragaman asosiasi yang terdapat dimasyarakat. Jenis asosiasi lokal yang terdapat di daerah penelitian cukup heterogen baik yang berakar dari kelompok masyarakat sendiri maupun yang disponsori oleh pemerintah maka tipe interaksi sosial yang berkembang di daerah penelitian menganut trio tipe, yakni: interaksi sosial melalui kekerabatan keluarga( bonding), melalui kolega atau teman ( bridging) dan interaksi sosial melalui lembaga atau institusi formal (lingking). Hasil yang terdapat di daerah penelitian ini sejalan dengan konsep yang dikembangkan oleh Woolcock (Thomas dan Heres, 2004), bahwa modal sosial dapat dilihat dari tiga tipe ikatan hubungan atau koneksi (type of networks). Pertama, modal kekerabatan (bonding capital), yaitu ikatan hubungan yang berkaitan dengan hubungan kekerabatan (emosional tinggi) yakni: hubungan antar anggota keluarga, teman dekat, dan tetangga. Kedua, modal pergaulan (bridging capital), yaitu tingkat kekerabatan relatif lebih jauh dibandingkan dengan modal kekerabatan, seperti: teman kerja,

(15)

dan kolega. Ketiga, hubungan kelembagaan (linking capital), yaitu ikatan hubungan lebih renggang lagi dibandingkang kedua ikatan hubungan diatas. Hubungan kelembagaan hanya dapat terjadi pada ikatan hubungan secara formal (formal institutions) baik untuk kepentingan individu maupun kepentingan masyarakat luas.

Implikasi Penelitian Keterkaitan Modal Sosial dengan Kesejahteraan Ekonomi Keluarga

Setelah dilakukan uji pengaruh antara variabel laten eksogenus (sosio-demografi, manajemen sumberdaya dan variabel modal sosial) secara bersama-sama terhadap variabel laten endogenus kesejahteraan (kesejahteraan ekonomi objektif dan subjektif) ternyata modal sosial tidak menunjukkan tingkat signifikansi terhadap kesejahteraan keluarga. Setelah dilakukan modifikasi model (alternatif-2), laten variabel eksogenus asosiasi lokal dan karakter masyarakat digabung menjadi satu laten variabel yaitu menjadi laten variabel modal sosial diperoleh hasil bahwa laten variabel sosio-demografi berpengaruh positif terhadap kesejahteraan keluarga baik terhadap kesejahteraan ekonomi objektif maupun kesejahteraan ekonomi subjektif dengan nilai betha masing- masing adalah 6,55 dan 10,84.

Melalui uji model berikut yaitu alternatif model ketiga, laten variabel sosio-demografi dikeluarkan, dan asosiasi lokal dan karakter masyarakat kembali dimasukkan sebagai laten variabel. Hasil analisis menunjukkan bahwa laten variabel eksogenus manajemen sumberdaya keluarga, asosiasi lokal dan laten variabel eksogenus karakter masyarakat tidak menunjukkan signifikansi terhadap laten variabel endogenus tingkat kesejahteraan keluarga (Lampiran 21). Alternatif model lainnya (alternatif-4), laten variabel sosio-demografi masih tetap dikeluarkan, sedangkan laten variabel asosiasi lokal dan karakter masyarakat kembali digabungkan menjadi satu laten variabel dengan nama laten variabel modal sosial. Hasil analisis menunjukkan, hanya laten variabel eksogenus modal sosial yang berpengaruh positif terhadap kesejahteraan keluarga baik terhadap kesejahteraan ekonomi objektif maupun kesejahteraan ekonomi subjektif dengan nilai betha masing- masing adalah 3,01 dan 3,18. sedangkan laten variabel

(16)

manajemen sumberdaya keluarga tidak menunjukkan signifikansi terhadap kesejahteraan keluarga.

Melalui pengujian berbagai alternatif model secara komplit ini dapat disimpulkan bahwa laten variabel eksogenus modal sosial tidak dapat menunjukkan tingkat signifikansinya terhadap kesejahteraan keluarga baik terhadap kesejahteraan ekonomi objektif maupun kesejahteraan ekonomi subjektif pada saat pengujian model secara bersama-sama. Hal ini diduga bahwa laten variabel modal sosial tidak bisa digabungkan secara bersamaan dengan laten variabel eksogenus lainnya dalam melihat keterkaitannya terhadap kesejahteraan kerluarga karena variabel modal sosial tidak berpengaruh secara langsung terhadap peningkatan kesejahteraan keluarga. Namun secara terpisah, laten variabel modal sosial menunjukkan signifikansi yang cukup kuat terhadap kesejahteraan keluarga.

Model Pemberdayaan Masyarakat di Daerah Perdesaan

Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan. Menurut McArdle (Hikmat, 2001:2) pemberdayaan adalah sebagai proses pengambilan keputusan oleh orang-orang yang secara konsekue n melaksanakan keputusan tersebut dan dapat bekerja secara mandiri. Implikasinya, seperti yang dicontohkan oleh Schumacker dalam pemberdayaan masyarakat miskin (Thomas: Hikmat, 2001:2). Pemberdayaan masyarakat miskin dapat tercapai bila ditunjang oleh adanya struktur sosial yang tidak berpengaruh negatif terhadap kekuasaan (powerful). Dengan kata lain, kelompok miskin dapat diberdayakan melalui ilmu pengetahuan dan kemandirian sehingga dapat berperan sebagai agen pembangunan.

Berkenaan dengan pemberdayaan masyarakat perdesaan berbasis modal sosial diartikan sebagai proses pembelajaran orang dewasa yang berkesinambungan dan ditujukan untuk memberikan kekuatan baik kekuatan ekonomi, ilmu pengetahuan sosial maupun kekuatan pengetahuan spritual. Pemberdayaan ini dilakukan secara sinergis antara pihak luar (pemerintah,

(17)

lembaga non pemerintah, maupun stakeholder) dengan tokoh masyarakat dan peserta atau aktor yang terlibat dalam kegiatan pemberdayaan dengan pola individu dan kelompok. Kegiatan pemberdayaan dilakukan dua tahap, tahap pertama adalah pembekalan kognitif (pengetahuan: ekonomi, sosial maupun spritual), dan tahap kedua adalah pembekalan dalam bentuk action atau disebut dengan istilah intervensi secara ekonomi.

Model pemberdayaan bagi masyarakat perdesaan di daerah penelitian menggunakan pendekatan input-proses-output dan outcome yang di dasarkan pada model teoritis yang telah teruji dan dikonfirmasikan melalui model persamaan struktural (SEM). Sebetulnya, model pemberdayaan ini merupakan upaya meningkatkan keberadaan masyarakat perdesaan melalui proses pembelajaran yang menggunakan prinsip-prinsip pendidikan orang dewasa yang dilaksanakan secara berkesinambungan oleh fasilitator yang dapat mendukung dan memberikan andil dalam pembangunan masyarakat. Berdasarkan model persamaan struktural (SEM), maka dirumuskan model pemberdayaan masyarakat perdesaan berbasis modal sosial dengan harapan menghasilkan masyarakat madani (civil society). Hasil temuan ini didukung oleh hasil penelitian Lawang (2004:215) pada Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) se Indonesia bahwa pemberdayaan masyarakat lebih mudah dilakukan melalui modal sosial terutama pada komunitas sosial yang memiliki tradisi kebersamaan yang cukup lama dan memiliki struktur sosial yang muncul dari kehidupan mereka sehari- hari.

Kasus di wilayah pesisir pantai, dan sesuai dengan permasalahan yang dihadapi maka model atau strategi pemberdayaan dimulai dari cara mengatasi berbagai barrier (rintangan) budaya (cultural) yang melekat selama ini yaitu budaya pasrah dan kurang memanfaatkan waktu. Sebagai contoh, mereka sebagai nelayan harus menghadapi berbagai musim. Menurut pengakuan nelayan, ada tiga musim melaut, yakni: (1) musim penimur (musim makmur atau musim panen) terjadi lebih kurang tiga bulan yaitu antara bulan April-Juni, (2) musim normal terjadi lebih kurang lima bulan yaitu antara bulan Juli-November, dan (3) musim pacak kelik atau sering disebut dengan istilah musim pacak gadai terjadi lebih

(18)

kurang empat bulan yaitu antara bulan Desember–Maret. Selama musim pacak gadai ini, menurut hasil Focus Group Discussion (FGD) pada kelompok nelayan dan indepth interview, diperoleh informasi bahwa selama musim pacak kelik mereka hanya tinggal di rumah dan sesuai dengan istilah yaitu musim pacak gadai maka musim ini para nelayan membelanjakan semua penghasilan yang diperoleh sebelumnya dan tidak ada upaya untuk mencari pekerjaan alternatif. Berdasarkan hal tersebut dan sesuai dengan teori yang ada serta hasil penelitian lainnya maka model strategi pemberdayaan masyarakat pesisir pantai atau khususnya nelayan adalah memberdayakan mereka dalam mengikis barrier cultural pasrah dengan mencari alternatif pekerjaan yaitu dalam bentuk mixed-farming melalui modal sosial kelompok kerja bersama baik berasal dari kelompok kesukuan maupun kelompok kerja nelayan. Adapun usaha untuk kelompok kerja bersama sebagai pekerjaan sampingan yaitu usaha perkebunan kelapa dalam, dagang, jasa angkutan dan lain sebagainya yang sesuai dengan pola usahatani yang berkembang di wilayah sekitar pesisir pantai. Hal lain yang perlu diberdayakan masyarakat nelayan yaitu menggalang silaturrahmi diantara kelompok kesukuan. Menurut Hardinsyah (2007:84), melalui silaturahmi dapat membangun interaksi dan hubungan sosial yang kuat, untuk: (1) menumbuhkan rasa saling simpati, saling pengertian, saling menghargai dan kasih sayang, (2) mempermudah akses terhadap berbagai informasi termasuk informasi kesempatan kerja dan kesempatan usaha, (3) menumbuhkan nilai-nilai yang disepekati bersama yang bertujuan untuk mengatasi masalah bersama dan bahkan tak jarang menghasilkan kelembagaan usaha bersama, dan (4) membangun kembali ingatan-ingatan yang telah ada yang dikonteksikan dalam kepentingan sosial dan ekonomi bagi kehidupan individu yang bersilaturarahmi maupun masyarakat secara luas.

Referensi

Dokumen terkait

Penulis menggunakan metode GI (Group Investigation ) dalam pembelajaran Kompetensi Dasar Alat Optik pada Siswa Kelas 8C SMP N 4 Surakarta Tahun 2011/2012

JADWAL KLASIKAL MATERI PENUNJANG {MP}. TPQ/RA AR RIBATH

((Visualisasi adalah sarana paling utama dalam uslub Al-Qur'an, dia mengungkapan dengan gambaran inderawi imajinasi sesuatu yang maknawi, keadaan kejiwaan, kejadian

Stroke atau cedera serebrovaskuler adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkkan oleh terhentinya suplai darah ke bagian otak. Stroke adalah suatu kondisi yang

Siaran kearifan lokal dalam penelitian ini yaitu bentuk program acara pada radio komunitas baik berupa hiburan, berita, program bahasa, melalui pendekatan bahasa dan

Jika seseorang mengalami tanda-tanda dan gejala berikut ini, sebaiknya memeriksakan diri ke dokter untuk memastikan apakah diriinya kekurangan zat besi atau ada masalah medis

Sedangkan penilaian dari calon pengguna yaitu konselor sekolah diperoleh d imana artinya modul kesehatan mental re ma ja telah me menuhi kriteria a kseptabilitas

Sebagaimana yang dinyatakan oleh (Hidayat, 2008) bahwa subprime mortgage ini terjadi karena dalam beberapa tahun terkahir cukup banyak kredit perumahan di Amerika