Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga SKRIPSI
OLEH Ali Hamdan NIM.C31212102
\
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga SURABAYA
2017
v ABSTRAK
Skripsi yang berjudul “Studi Analisis Terhadap Pertimbangan Hakim Memutus Cerai Talak dalam Perkara No.4403/Pdt.G/2014/Pa.Sby Tentang Berani Kepada Suami” adalah hasil penelitian yang menjawab : Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus perkara cerai talak karena istri berani kepada suami dalam perkara Nomor : 4403/Pdt.G/2014/PA.Sby? Bagaimana Analisis Hukum Islam terhadap pertimbangan hakim dalam memutus perkara cerai talak karena istri berani kepada suami dalam perkara Nomor: 4403/Pdt.G/2014/PA.Sby?
Data penelitian dihimpun dengan menggunakan pendekatan kualitatif melalui pengumpulan data dengan teknik studi dokumen dan wawancara. Selanjutnya data yang telah dihimpun dianalisis dengan metode deskriptif analitis, yakni metode dengan menggambarkan dan memaparkan data yang telah terkumpul dengan pola pikir induktif. Berdasarkan penelitian ini perceraian terbilang sangat banyak. Salah satunya adalah perselisihan yang terjadi secara terus menerus yang tidak mungkin untuk didamaikan. Dalam hal ini Perselisihan terjadi disebabkan karena istri tidak menjalankan kewajibannya sebagaimana yang telah ditentukan kewajibanyya tersebut. antara lain, meninggalkan rumah tanpa izin suami, tidak melayani suami sebagaimana yang semestinya, tidak mau memasak, tidak mau melayani anak dan berani kepada suami, dalam hal itu dapat dihukumi nusyuz. Terkait putusan 4403/Pdt.G/2014/Pa.Sby merupakan contoh bagaimana Majelis Hakim memutus cerai. Melihat dasar pertimbangan hukum yang dibuat oleh Majelis Hakim tidak sesuai dengan apa yang tertera dalam Undang-undang maupun hukum Islam. Misalnya ada beberapa pertimbangan Hakim dalam putusan tersebut yang tidak selaras dengan amar putusan tersebut. Alasan dasar yang menjadi latar belakang diputuskannya cerai oleh majelis hakim adalah istri berani kepada suaminya.
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa Hakim sudah selayaknya menyimpulkan bahwa berani kepada suami dapat dijadikan sebagai kategori nusyuz. Bukti kuat mengatakan bahwa berani dapat disamakan dengan nusyuz karena jelas istri tidak menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya karena istri yang tidak menjalankan kewajibannya dapat dihukumi nusyuz. Akan tetapi majelis hakim berpendapat lain yang mana majelis hakim tersebut mendefinisikan bahwa arti nusyuz itu sebagai amoral. Di dalam Kompilasi Hukum Islam nusyuz bisa dikatakan sebagai sikap tidak patuhnya istri terhadap suami atau enggan memenuhi permintaan suami dan tidak menjalankan kewajibannya sebagai istri.
xi
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM... i
PERNYATAAN KEASLIAN... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii
PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK... v
KATA PENGANTAR... vi
PERSEMBAHAN... viii
MOTTO... x
DAFTAR ISI... xi
DAFTAR TRANSLITERASI... xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah... 7
C. Rumusan Masalah... 8
D. Kajian Pustaka... 9
E. Tujuan Penelitian... 10
F. Kegunaan Hasil Penelitian... 11
G. Definisi Operasional... 11
H. Metode Penelitian... 12
I. Sistematika Pembahasan... 16
BAB II PERCERAIAN MENURUT HUKUM ISLAM A. Pengertian dan Bentuk-Bentuk Putusnya Perkawinan... 18
B. Hak dan Kewajiban Suami Istri... 25
xii
BAB III PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SURABAYA
NO. 4403/PDT.G/2014/PA. SBY TENTANG
PERTIMBANGAN HAKIM MEMUTUS CERAI
TALAK KARENA BERANI KEPADA SUAMI
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Surabaya... 40
B. Deskripsi Perkara Dalam Putusan PA Surabaya... 44
1. Duduk Perkara... 44
2. Pertimbangan dan Dasar Hukum Hakim... 49
C. Dasar Pengambilan Keputusan oleh Hakim... 59
BAB IV BERANI KEPADA SUAMI MENURUT HUKUM ISLAM A. Analisis Sikap Berani Kepada Suami Sebagai Pertimbangan Hakim Memutus Cerai... 62
B. Analisis Hukum Islam Terhadap Pertimbangan Hakim Memutus Cerai Dalam Perkara Nomor 4403/Pdt.G/2014/Pa.Sby... ... 67
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 81
B.Saran... 82
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1 Perkawinan juga merupakan
sunatulla>h yang umum berlaku pada semua mahluk tuhan, baik pada manusia,
hewan maupun tumbuh-tumbuhan.2 Hal itu ditegaskan dalam al-quran bahwa
Allah telah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan, hidup
berjodoh-jodoh adalah naluri segala mahluk Allah Swt termasuk manusia, sebagaimana
firman-Nya dalam SurahYasin: 36
Artinya: “Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”. (QS. Yasin. 36)3
Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh As-Sunnah menuliskan bahwa
Perkawinan merupakan suatu cara yang dipilih Allah Swt sebagai jalan bagi
manusia untuk beranak, berkembang biak dan kelestarian hidupnya, setelah
1Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan Tahun
1974 (Bandung: CV Nuansa Aulia, 2012), 76.
2 Sa’id bin Abdullah bin Thalib Al-Hamdani, Risalah Nikah, (Hukum Perkawinan Islam), (Jakarta:
Pustaka Amani, 2002),1.
3 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-qur’a>n al-kari>m dan Terjemahannya, (Bandung:
masing-masing pasangan melakukan peranannya yang positif dalam
mewujudkan tujuan Perkawinan.4 Allah SWT. berfirman dalam surah Arrum
21:
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.5
Perkawinan merupakan jalan terbaik yang harus dilakukan oleh
laki-laki maupun perempuan yang ingin memperoleh keturunan dengan jalan yang
diridai oleh Allah Swt. Perkawinan dilaksanakan dengan tujuan
menentramkan dua hati yang berbeda yang saling memiliki rasa cinta dengan
satu ikatan suci sehingga tidak ada kemaksiatan terhadap Allah Swt dalam
bentuk apapun.
Persoalan yang berkaitan dengan Perkawinan di Indonesia telah diatur
dalam peraturan Perundang-undangan yang berlaku bagi warga Negara
Indonesia. aturan yang dimaksud adalah dalam bentuk Undang-undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan peraturan pelaksanaannya dalam
bentuk Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Undang-undang ini
merupakan hukum materil Perkawinan, sedangkan hukum formilnya
ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Sedangkan sebagai
4 Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, Jilid 6, (Bandung: PT. Alma’arif, 1990), 8.
aturan pelengkap yang menjadi pedoman bagi Hakim di lembaga Peradilan
Agama adalah Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang telah di tetapkan
melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam.6
Dilihat dari segi fungsinya, hukum Perkawinan Islam merupakan
bagian dari muamalah, karena ia mengatur hubungan antara sesama manusia.
Hukum Perkawinan dalam kepustakaan Hukum Islam disebut Fikih
munakahat yang ketentuan-ketentuan hukum Fikihnya mengatur nikah talak,
rujuk, serta persoalan hidup keluarga lainnya. Sedangkan perkataan
Perkawinan sendiri menurut ilmu Fikih, disebut dengan istilah nikah yang
mengandung dua arti, yaitu (1) menurut bahasa adalah berkumpul atau
bersetubuh (2) arti menurut hukum adalah akad atau perjanjian (suci) dengan
lafal tertentu antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk hidup
bersama sebagai suami istri.7
Tujuan Perkawinan sendiri yaitu untuk menghalalkan hubungan suami
istri. tujuan yang lebih khusus dari adanya Perkawinan adalah memelihara
keturunan, memlihara gen manusia, untuk mendapatkan ketenangan jiwa,
serta yang paling utama adalah untuk menghindarkan diri dari perbuatan yang
dianggap keji di hadapan Allah Swt yakni zina.8
6 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2009), 1.
7 Taufiqurrahman Syahuri, legislasi hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada
media group), 68.
8 Abdul Aziz Muhammad Azzan, Fiqh Munakahat Khitbah, Nikah, dan Talak, (Abdul Majid
Suatu Perkawinan pastinya terdapat hak-hak dan kewajiban suami
terhadap istri dalam keluarga selama akad nikah telah berlangsung dan
memenuhi syarat dan rukunnya. Perkawinan juga menimbulkan akibat hukum.
Dengan demikian, akad tersebut manimbulkan hak dan kewajiban selaku
suami dalam keluarga, yang meliputi: hak suami istri secara bersama, hak
suami atas istri, dan hak istri suami. termasuk di dalamnya adab suami
terhadap istrinya seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw.9
ُﺖْﻨُﻛْﻮَﻟ
آ
ًﺮِﻣ
اًﺪَﺣَا
ْنَا
َﺪُﺠْﺴَﻳ
ُتْﺮَﻣَﻷٍﺪَﺣِﻷ
َةَأْﺮَﻤْﻟا
ْنَا
َﺪُﺠْﺴَﺗ
َﺎﻬ ِﺟْوَﺰِﻟ
Artinya: Andaikan aku menyuruh seseorang sujud kepada orang lain niscaya aku perintahkan perempuan bersujud kepada suaminya.(1159)10
Kompilasi Hukum Islam juga menyebutkan bahwa kewajiban suami
istri secara rinci sebagai berikut.
a. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
b. Suami istri wajib saling mencintai, menghormati, setia, dan memberikan nafkah lahir batin bagi suami serta sikap patuh dan taat dari seorang istri.
c. Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak – anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasman, rohani, maupun kecerdasannya, serta pendidikan agamanya.
d. Suami istri wajib memelihara kehormatannya.
e. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama.11
a. Hak suami atas istri
Diantara hak suami terhadap istrinya, yang paling pokok adalah: 1. Ditaati dalam hal yang tidak maksiat
9 Tihami dan Sohari, Fikih Munakahat, Cetakan Ke 4 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014),
153.
10Sunanal-Tirmidzi, No 1159, 206.
2. Istri menjaga dirinya sendiri dan harta suami
3. Menjauhkan diri dari mencampuri sesuatu yang dapat menyusahkan suami
4. Tidak bermuka masam dihadapan suami
5. Tidak menunjukan keadaan yang tidak disenangi suami.12
b. Kewajiban suami terhadap istri
1. Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami-istri secara bersama.
2. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
3. Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna bagi agama, nusa, dan bangsa.
4. Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung: a. Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi istri.
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi istri dan anak.
5. Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b diatas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya. 6. Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya
sebagaimana pada ayat (4) huruf a dan b .
7. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri nusyuz.13
c. Kewajiaban istri terhadap suami
Diantara kewajiaban istri terhadap suami adalah sebagia berikut: 1. Taat kepada suami
2. Pandai mengambil hati suami melalui makanan dan minuman 3. Mengatur rumah dengan baik
4. Menghormati keluarga suami
5. Bersikap sopan, penuh senyum kepada suami.
6. Tidak mempersulit suami, dan selalu mendorong suami untuk maju. 7. Ridha dan syukur terhadap apa ynag diberikan suami.
8. Selalu berhemat dan suka menabung.
9. Selalu berhias, bersolek untuk atau dihadapan suami 10.Jangan selalu cemburu buta.
Kompilasi Hukum Islam terkait kewajiban istri terhadap suami
dijelaskan sebagai berikut:
12 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat Cetakan ke 4 (Jakarta: Prenada Media Group, 2012),
158-159.
1. Kewajiaban utama bagi seorang istri adalah berbakti lahir batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam.
2. Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.
3. Istri dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban, sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1), kecuali dengan alasan-alasan yang sah.
4. Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal untuk kepentingan anaknya.
5. Kewajiban suami tersebut pada ayat ayat (2) diatas berlaku kembali setelah istri tidak nusyuz
6. Ketentuan ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus didasarkan atas bukti yang sah.14
Seorang wanita mempunyai kewajiban untuk senantiasa taat kepada
suaminya, kecuali dalam hal kemaksiatan atau yang bertentangan dengan
syariat Islam, maka istri harus menolaknya. Salah satu ketaatan istri kepada
suami adalah tidak keluar rumah, kecuali dengan seizinnya.15
Jika dari hak-hak suami istri tersebut tidak berjalan dengan baik maka
akan mengakibatkan perceraian yang mana perceraian tersebut dapat
dikabulkan jika terdapat alasan yang sah. Menurut ketentuan pasal 39 tersebut
ditegaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang
pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan. Alasan-alasan
tersebut ialah.
Dalam kitab Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 bahwa Perkawinan
dapat diputus karena:
14Ibid., 163-164.
Dalam pasal 38 putusnya perkawinan karena:
a. Kematian b. Perceraian
c. Atas keputusan pengadilan
Selain itu dalam pasal 39 dijelaskan bahwa:
1. Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan setelah Pengadilan bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak. 2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami
istri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami istri.
3. Tatacara perceraian didepan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.16
Selain dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 dalam Kompilasi
Hukum islam (KHI) juga dijelaskan tentang alasan percerain antara lain:
a. Salah satu pihak berbuat zina.
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut –tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alsan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah Perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami atau istri.
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.17
Berangkat dari hal tersebut, penulis ingin menganalisis kasus putusan
No 4403/Pdt.G/2014/PA.Sby tentang gugatan cerai di PA Surabaya yang
dalam positanya menggunakan alasan sering terjadinya perselisihan dan
pertengkaran antara suami istri selama tiga bulan disebabkan termohon suka
ganti-ganti pacar, termohon berani kepada suami dan sering keluar rumah
16Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
tanpa pamit suami dan suka menginap. Dalam hal ini, hakim PA Surabaya
berpedoman pada ketentuan pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan jo pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 jo pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam tentang alasan
perceraian berupa perselisihan dan pertengkaran terus menerus.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Beberapa masalah telah dipaparkan dalam latar belakang maslah di
atas. oleh karena itu, dalam penelitian ini beberapa masalah di atas dapat di
identifikasi sebagai berikut:
1. Hikmah pernikahan yang tidak tercapai
2. Alasan-alasan hakim pengadilan agama Surabaya mengabulkan gugatan
cerai melalui putusan nomor: 4403/Pdt.G/2014/PA.Sby
3. Akibat dikabulkannya permohonan cerai talak nomor
4403/Pdt.G/2014/PA.Sby oleh pengadilan agama Surabaya.
4. Dasar pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Surabaya memutus perkara
nomor 4403/Pdt.G/2014/PA.Sby
5. Berani kepada suami sebagai pertimbangan hakim memutus cerai menurut
hukum Islam.
6. Alasan-alasan perceraian yang dapat mempengaruhi putusan hakim.
Untuk mempermudah dalam pembahasan, maka penelitian ini
1. Pertimbangan hakim memutus perkara cerai talak karena istri berani
kepada suami dalam perkara Nomor : 4403/Pdt.G/2014/PA.Sby
2. Analisis Hukum Islam terhadap pertimbangan hakim memutus perkara
cerai talak karena istri berani kepada suami dalam perkara Nomor:
4403/Pdt.G/2014/PA.Sby
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, dapat dirumuskan masalah pokok
dalam penelitian ini, yaitu:
1. Apa pertimbangan hakim memutus perkara cerai talak karena istri berani
kepada suami dalam perkara Nomor : 4403/Pdt.G/2014/PA.Sby
2. Bagaimana Analisis Hukum Islam terhadap pertimbangan hakim \memutus
perkara cerai talak karena istri berani kepada suami dalam perkara Nomor:
4403/Pdt.G/2014/PA.Sby
D. Kajian Pustaka
Penelitian tentang larangan nikah dengan berbagai aspek dan sudut
pandang yang berbeda-beda sudah dilakukan sebelumnya. Di antara judul
skripsi yang berkaitan dengan masalah penyebab terjadinya perceraian adalah:
1. Tatik Fitriyah dalam skripsinya yang berjudul “Penyelesaian Perceraian
Karena Alasan Syiqaq di Pengadilan Agama Wilayah Gerbang
Kertasusila” membahas tentang perceraian disebabkan syikak dengan
penelitian di sini mayoritas penyebab perkara perceraian adalah shiqaq
dan yang diteliti adalah model penyelesaiannya18
2. M. Syaifuddin Zuhri dalam skripsinya yang berjudul “Perselisihan
Tempat Tinggal Sebagai Alasan Perceraian (Studi Terhadap Putusan di
PA Yogyakarta Tahun 2009)”. Bahwa dari suami maupun istri tidak
berkenan diajak tinggal bersama karena lebih pada faktor letak geografis
dan kultur budaya yang berbeda, istri tidak menghargai suami sebagai
seorang suami yang sah dan dalam faktor ekonomi suami yang tidak
bertanggung jawab.19
3. Abdul Malik dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Yuridis Terhadap
Putusan Pengadilan Agama Gresik No. 0181/Pdt.G/2013/PA.Gs Tentang
Cerai Talak Karena Ada Pria Idaman Lain” membahas tentang istri tidak
mau ketika diajak bersetubuh dan selalu beralasan capek dan mempunyai
pria idaman lain.20
4. Muhammad Hamdan Asyrofi dalam skripsinya yang berjudul “Hak Dan
Kewajiban Suami Istri (Studi Pemikiran Sayyid Muhammad Bin Alawi
Al-Maliki dalam Kitab Adab al-Islam Fi Nizam al-Usrah)” membahas
tentang hak dan kewajiban suami yaitu untuk memberikah mahar,
18 Tatik Fitria, “Penyelesaian Perceraian Karena Alasan Syiqaq Di Pengadilan Agama Wilayah
Gerbang Kertasusila”,(Skripsi – IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2004).
19 M. Syaifuddin Zuhri, “Perselisihan Tempat Tinggal Sebagai Alasan Perceraian (Studi Terhadap
Putusan Di Pa Yogyakarta Tahun 2009)”. (Skripsi- UIN Sunan Kalijaga, 2011)
20 Abdul Malik, “Analisis Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Agama Gresik No.
nafkah, dan pendidikan sementara hak dan keajiban istri yaitu wajib taat
pada suami, mengatur rumah tangga.21
E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang tersebut di atas maka tujuan dari
penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pertimbangan hakim memutus perkara cerai talak
karena istri berani kepada suami dalam perkara Nomor :
4403/Pdt.G/2014/PA.Sby
2. Untuk memberikan pemahaman tentang hasil analisis Hukum Islam
terhadap perkara No. 4403/Pdt.G/2014/PA.Sby
F. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat,
sekurang-kurangnya dalam dalam 2 (dua) hal di bawah ini :
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas dan
memperkaya ilmu pengetahuan tentang motif berani kepada suami yang
bisa menjadi alasan perceraian.
2. Dalam tataran praktis, diharap supaya penelitian dapat dijadikan bahan
referensi atau pertimbangan bagi hakim, praktisi Hukum Islam. Hasil
penelitian ini juga dapat digunakan sebagai bahan acuan atau literatur
bagi mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel
21 Hamdan Asyrofi, “Hak Dan Kewajiban Suami Istri Studi Pemikiran Sayyid Muhammad Bin
Surabaya khususnya dan para pembaca pada umumnya di bidang
pernikahan atau perceraian.
G. Definisi Operasional
Skripsi ini berjudul “Studi Analisis Terhadap Pertimbangan Hakim
Memutus Cerai Talak dalam Perkara No.4403/Pdt.G/2014/Pa.Sby Tentang
Berani Kepada Suami”. Adapun definisi yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah :
1. Berani kepada suami : Sikap beraninya istri kepada suami dengan
ditunjukkan melalui perbuatan nyata.
2. Cerai : Putusnya suatu perkawinan yang sah didepan hakim pengadilan
berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-undang.
3. Hukum Islam : Seperangkat peraturan yang bersumber dari al-Quran,
Hadis, pendapat para ulama’ Fikih
H. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah seperangkat pengetahuan tentang
langkah-langkah yang sistematis dan logis tentang pencarian data yang berkenaan
dengan masalah tertentu yang diolah, dianalisis, diambil kesimpulan dan
selanjutnya dicari cara penyelesaiannya.22 Berdasarkan rumusan masalah dan
tujuan penelitian diatas maka pendekatan yang sangat relevan digunakan
dalam penelitian ini adalah qualitative research atau penelitian kualitatif.
Untuk menghasilkan penelitian yang baik, kiranya penulis perlu
mengemukakan metode penelitian yang akan digunakan dalam ini, yang
dijabarkan sebagai berikut:
1. Data yang dikumpulkan
a. Data tentang alasan perceraian yang terdapat di dalam putusan
Pengadilan Agama Surabaya dalam perkara No.
4403/Pdt.G/2014/PA.Sby.
b. Pertimbangan dan dasar hukum yang dipakai oleh hakim Pengadilan
Agama Surabaya dalam perkara No. 4403/Pdt.G/2014/PA.Sby.
2. Sumber data
Adapun sumber data yang digunakan penulis dalam penelitian ini
terdiri dari:
a. Sumber primer, yaitu sumber yang diperoleh penulis secara langsung,
dengan menggunakan alat pengukur atau alat pengambilan data
langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang dicari.23 Dalam
hal ini adalah berupa salinan putusan di Pengadilan Agama Surabaya
No. 4403/Pdt.G/2014/PA.Sby, serta wawancara dengan Hakim yang
menangani perkara ini dan juga panitera yang terlibat didalamnya.
b. Sumber sekunder, yaitu sumber yang diperoleh dari bahan pustaka
yang telah ada atau data tersebut sudah tersedia yang berfungsi untuk
melengkapi sumber data primer.24 Data informasi yang dimaksud
berupa dokumen tertulis seperti buku-buku, majalah, peraturan
23 Saifuddin Azwar, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, Cet. IV, 2003), 91.
perundang-undangan, jurnal serta artikel terkait. Data sekunder yang
dimaksud sebagai berikut sebagai berikut:
- Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
- Kompilasi Hukum Islam karangan Abdul Rahman.
- Fiqh Munakahat karangan Abdul Rahman Ghozali.
- Hukum Perkawinan Islam di Indonesia karangan Amir
Syarifuddin.\
- Fiqih Lima Mazhab karangan Muhammad Jawad Mughniyah
- Fikih Keluarga karangan Syaikh Hasan Ayyub.
- Sumber-sumber lain yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Interview
Percakapan yang dilakukan oleh antara responden dan
koresponden untuk memperoleh informasi dengan pola tanya jawab
yang sudah terstruktur. 25 Dalam hal ini penulis mengadakan
wawancara dan tanya jawab dengan Hakim Pengadilan Agama
Surabaya tentang mengapa memutus cerai karena istri berani kepada
suami.
b. Studi Dokumen
Suatu kegiatan mengumpulkan dan memeriksa informasi atau
keterangan yang berhubungan dengan bahasan penelitian.26 Penulis
25Suharsimi, Prosedur Penelitian (Jakarta: PT. Adi Mahastya, 2002), 132.
menggunakan studi dokumen untuk menelaah teks putusan hakim
Nomor 4403/Pdt.G/2014/PA. Sby.
4. Teknik pengolahan data
Teknik pengolahan data meliputi kegiatan sebagai berikut:27
a. Editing
Pengecekan atau pengoreksian data yang telah dikumpulkan.
Teknik ini digunakan untuk memeriksa kelengkapan yang sudah
penulis dapatkan melalui teks keputusan Nomor:
4403/Pdt.G/2014/PA. Sby. Tentang cerai talak di Pengadilan Agama
Surabaya.
b. Organizing
Penyusunan kembali data-data yang telah didapatkan dalam
penelitian yang diperlukan dalam kerangka paparan yang sudah
direncanakan dangan rumusan masalah secara sistematis.28 Penulis
melakukan pengelompokan data yang dibutuhkan untuk analisis dan
menyusun data-data tersebut dengan sistematis untuk memudahkan
penulis menganalisis data.
5. Teknik analisis data
Teknik yang dipakai dalam analisis adalah dengan menggunakan
metode:
27 M. Iqbal Hasan, Pokok-pokok Materi Metodologi penelitian dan Aplikasinya, (Jakarta: Gralia
Indonesia, 2002), 121.
28 Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2013),
a. Metode deskriptif analitis, yaitu teknik yang diawali dengan
menjelaskan dan menggambarkan secara sistematis semua fakta aktual
yang diketahui, kemudian dianalisis dan ditarik kesimpulan sehingga
dapat memberikan pemahaman yang konkrit tentang istri berani
kepada suami.
b. Teknik pola deduktif, yaitu pola berfikir yang diawali dengan
mengemukakan kenyataan yang bersifat khusus dari hasil riset
terhadap putusan PA Surabaya tentang berani kepada suami sebagai
alasan perceraian. Untuk selanjutnya dikemukakan teori-teori yang
bersifat umum yang berkaitan dengan perkara tersebut kemudian
ditarik sebuah kesimpulan.
I. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah penulisan dan pemahaman skripsi ini, maka
penulis perlu menyusun sistematika pembahasan agar penulis skripsi lebih
terarah dan menjadi suatu gambaran umum mengenai isi skripsi ini. skripsi ini
dibagi menjadi lima bab, yaitu:
Bab pertama, merupakan bab pendahuluan yang menguraikan latar
belakang masalah, rumusan masalah, identifikasi masalah, batasan masalah,
kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan peneltian, definisi operasional,
Bab kedua, pada bab ini merupakan landasan teori. bab ini membahas
tentang putusnya Perkawinan. membahas perceraian dalam Islam meliputi
pengertian dan bentuk-bentuk putusnya perkawinan, alas an perceraian.
Bab ketiga tentang deskripsi dan penyajian data penelitian. bab ini
meliputi gambaran umum pengadilan agama Surabaya, deskripsi perkara
dalam putusan dan tentang pertimbangan dasar hukum Hakim PA Surabaya
dalam perkara Nomor: 4403/Pdt.G/2014/PA.Sby.
Bab keempat tentang Analisis. Bab ini membahas tentang Analisis sikap
berani kepada suami sebagai pertimbangan Hakim memutus cerai dalam
perkara Nomor : 4403/Pdt.G/2014/PA.Sby.
1
BAB II
PERCERAIAN MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengertian dan Bentuk-Bentuk Putusnya Perkawinan
Putusnya perkawinan adalah berakhirnya hubungan dan ikatan antara
suami istri. Putusnya perkawinan dalam Islam secara umum disebabkan oleh
empat hal, yakni:
1. Putusnya perkawinan atas kehendak Allah Swt melalui takdirnya, di
mana salah satu pasangan meninggal dunia.
2. Putusnya perkawinan karena kehendak suami dan adanya
alasan-alasan tertentu. Hal ini bisa disebut dengan talak.
3. Putusnya perkawinan karena kemauan dari seorang istri. Hal ini bisa
disebabkan oleh intervensi keluarga, keberatan sang istri dalam
menjalankan rumah tangga bersama suami atau alasan-alasan yang
dibenarkan oleh syarak. Cara ini biasa disebut dengan khulu’.
4. Putusnya perkawinan atas kehendak hakim. Sebagai pihak ketiga
yang melihat permasalahan antara istri dan suami yang membuat
suatu perkawinan tidak dapat dilanjutkan. Hal ini biasa disebut
dengan fasakh.1
Menurut Abdul Ghofur Anshori, dalam kehidupan rumah tangga
sering dijumpai (suami isteri) mengeluh dan mengadu kepada orang lain
ataupun kepada keluarganya, akibat tidak terpenuhinya hak yang harus
1Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: KencanaPrenada Media
diperoleh atau tidak dilaksanakannya kewajiban dari salah satu pihak, atau
karena alasan lain, yang dapat berakibat timbulnya suatu perselisihan di
antara keduanya (suami isteri) tersebut. Tidak mustahil dari perselisihan itu
akan berbuntut pada putusnya ikatan perkawinan (perceraian).2
Pada prinsipnya, perkawinan itu dibangun untuk sebuah kebahagiaan
pasangan antara suami dan istri selama hidup berlangsung. Apabila salah satu
pihak tidak dapat melaksanakan kewajibannya masing-masing dengan baik
dan salah satu pihak tidak dapat menerimanya, dan tidak ada jalan lagi selain
bercerai, maka perceraian diperbolehkan.
Untuk memutuskan suatu hubungan perceraian harus terdapat
sebab-sebab yang memperbolehkannya untuk melakukan perceraian baik menurut
hukum Islam maupun menurut undang-undang. Dilarang bercerai tanpa alasan
dan tanpa sebab. Karena perkawinan merupakan suatu ikatan yang sakral dan
suci. Sebab-sebab putusnya perkawinan menurut hukum Islam antara lain:
1. Talak
Talak berasal dari kata bahsa arab “ithlaq” yang berarti
melepaskan atau meninggalkan. Dalam istilah Fikih berarti pelepasan
ikatan perkawinan yaitu perceraian anatara suami istri. 3 Dalam
mengemukakan arti talak secara terminologis, ulama mengemukakan
rumusan yang berbeda, namun esensinya sama, yakni melepaskan
2Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam (Perspektif Fikih dan Hukum Positif),
(Yogyakarta: UII Press, 2011), 233.
hubungan pernikahan dengan menggunakan lafal talak dan
sejenisnya.4Sedangkan menurut istilah syarak, talak yaitu:
ﱡﻞَﺣ
ِﺔَﻄِﺑَر
ﱠﺰﻟا
ِجاَو
ُءَﺎْاَو
َﻼﻌْﻟا
ِﺔَﻗ
ﱠﺰﻟَا
ِﺔَﻴِﺟْو
Artinya: Melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri
Hak menjatuhkan talak dalam Islam berada di tangan suami,
akan tetapi dalam menjatuhkan talak, suami tidak boleh
sewenang-wenang. Hal ini dikarenakan suami pernah melakukan janji untuk hidup
bersama dengan seorang perempuan untuk melalui masa yang lama,
akan tetapi secara tiba-tiba ingin meninggalkan dan menceraikan
perempuan tersebut tanpa adanya alasan yang jelas.
Wanita yang ditalak, menurut kesepakatan para ulama mazhab,
disyaratkan harus seorang istri. Sementara itu, mazhab Imamiyah
memberi syarat khusus bagi sahnya talak terhadap wanita yang telah
dicampuri, serta bukan wanita yang telah mengalami menopose dan
tidak pula sedang hamil, hendaknya dia dalam keadaan suci (tidak haid
dan tidak pernah dicampuri pada masa sucinya itu antara dua haid).
Kalau wanita tersebut ditalak dalam keadaan haid, nifas, atau pernah
dicampuri pada sucinya, maka talaknya tidak sah.5
Oleh sebab itu, suami tidak boleh menjatuhkan talak apabila istri
sedang dalam keadaan haid. Dalam menjatuhkan talak suami harus
menunngu istri dalam keadaan suci terlebih dahulu. Jadi talak
4Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam...., 105-106.
melepaskan ikatan atau bisa juga disebut dengan mengurangi atau
melepaskan ikatan dengan menggunakan kata-kata yang telah
ditentukan.
Menurut pasal 117 dalam Kompilasi Hukum Islam, talak adalah
ikrar suami di hadapan sidang PengadilanAgama yang menjadi salah
satu sebab putusnya perkawinan, dengancara sebagaimana dimaksud
dalam pasal 129, 130, dan 131.6
2. Fasakh
Fasakh berasal dari bahasa arab dari kata fa-sa-kha yang secara
etimologi berarti membatalkan. Bila dihubungkan kata ini dengan
perkawinan berarti membatalkan perkawinan atau merusak perkawinan.
Dalam arti terminologis ditemukan beberapa rumusan yang hampir
bersamaan maksudnya, diantaranya yang terdapat dalam KBBI,7yakni
pembatalan ikatan pernikahan oleh Pengadilan Agama berdasarkan
tuntutan istri maupun suami yang dapat dibenarkan oleh Pengadilan
Agama karena pernikahan yang telah terlanjur dan menyalahi aturan
hukum sebuah pernikahan.
Fasakh dapat juga diartikan “mencabut” atau “menghapus” yang
maksudnya ialah perceraian yang disebabkan oleh timbulnya hal-hal
yang dianggap berat oleh suami atau istri ataupun keduanya sehingga
6Kompilasi Hukum Islam, 35.
mereka tidak sanggup untuk melaksanakan kehidupan suami-istri dalam
mencaai tujuan rumah tangga.8
Memfasakhkan nikah diperbolehkan apabila salah seorang suami
ataupun istri cacat pada badannya, keduanya boleh memilih bercerai
atau meneruskan pernikahannnya. Kecacatan itu diantaranya yaitu.
1. Karena ada balak (penyakit belang kulit)
2. Karena gila
3. Karena canggu (penyakit kusta)
4. Karena ada penyakit menular, umpamanya sipilis, TBC, dan
lain-lain
5. Tumbuhnya daging pada kemaluan perempuan yang
menghambat maksud perkawinan (jima’)
6. ‘Unnah atau mati zakar, impoten (tidak hidup untuk jima’)
karena tidak dapat mencapai apa yang dimaksud dalam
pernikahan.
Fasakh itu boleh dilakukan apabila ada sebab-sebab syar’i yang
mungkin merugikan pihak perempuan, di antaranya:
1. Pernikahan yang dilakukan oleh wali dengan laki-laki yang bukan
jodohnya, seperti bukan dengan orang yang merdeka, atau orang
pezina dengan orang yang masih terpelihara.
2. Suami yang tidak mau memulangkan istrinya dan tidak pula
menafkahinya, sedangkan istri tidak rela.9
Pada dasarnya hukum fasakh itu adalah mubah atau boleh, tidak
disuruh dan tidak pula dilarang, karena hukumnya sesuai dengan
keadaan dan bentuk tertentu itu.10 Dasar hukumnya sesuai dengan hadis
Rasulullah Saw.
ﺐﻌﻛ ﻦﺑ ﺪﻳز ﻦﺑ ﻞﻴﲨ ﻦﻋ
نأ
ﻞﺧد ﺎﻤﻠﻓ رﺎﻔﻏ ﲏﺑ ﻦﻣ ةأﺮﻣإ جوﺰﺗ ﻢﻠﺳو ﻪﻴﻠﻋ ﷲا ﻲﻠﺻ ﷲا لﻮﺳر
ﺎﻬﻴﻠﻋ
ﻓ ﻮ
ﻊﺿ
ﻪﺑﻮﺛ
ﻰﻠﻋ ﺪﻌﻗو
ﰒ شاﺮﻔﻟا ﻦﻋ ز ﺎﺤﻨﻓ ظﺎﻴﺑ ﺎﻬﺠﺸﻜﺑ ﺮﺼﺑأ شاﺮﻓا
ﺎﻴﺛ ﻚﻴﻠﻋ ىﺬﺧ لﺎﻗ
ﺎﺌﻴﺷ ﺎﻫ ﺎﺗأ ﺎﳑ ﺬﺧ ﺄﻳ ﱂو ﻚﺑ
) .
ﺪﲪأ ﻩاور
(
Artinya: “Dari Jamil bin Zaid bin Ka’ab r.a bahwasannya rasulullah Saw pernah menikahi seorang perempuan bani ghafar, maka tatkala ia akan bersetubuh dan perempuan itu telah yang meletakkan kainnya, dan ia duduk diatas pelaminan, kelihatannya putih (balak) dilambungnya lalu ia berpaling (pergi dari pelaminan itu) seraya berkata, ambillah kain engkau, tutupilah badan engkau, dan beliau telah mengambil kembali barang yang telah diberikan kepada perempuan itu” (HR. Ahmad).11
3. Khulu’
Pengertian khulu’ menurut bahasa, kata khulu’ dibaca dhammah
huruf kha yang bertitik dan sukun lam dari kata khila’ dengan dibaca
fathah artinya naza’ (mencabut). Sedangkan menurut syarak adalah
sebagaimana yang dikemukakan As-Syarbini dan Al-Khatib adalah
pemisah antara suami istri dengan pengganti yang dimaksud (iwadh)
yang kembali ke arah suami dengan lafal talak atau khulu’.12
9Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqih Mazhab Syafi’i Buku 2, (Bandung: Pustaka Setia, 2007),
388-392.
10Amir Syarifuddin, HukumPerkawinan Islam..., 244.
11 Malik, Muwattha, Malik, (Beirut: Daar Al-Fikr, 1974), 298.
12 Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, (Jakarta:
Sedangkan dalam bukunya Muhammad Jawad
Mughniyah,13khulu’ ialah penyerahan harta yang dilakukan oleh istri
untuk menebus dirinya dari ikatan suaminya. Sedangkan menurut
istilah khulu’ berarti talak yang diucapkan oleh istri dengan
mengembalikan mahar yang pernah dibayarkan oleh suaminya. Artinya,
tebusan itu dibayarkan oleh seorang istri kepada suaminya yang
dibencinya, agar suaminya itu dapat menceraikannya.
Jika seorang wanita membenci suaminya karena keburukan
akhlaknya, ketaatannya terhadap agama, atau karena kesombongan
atau karena yang lain-lain dan ia sendiri khawatir tidak dapat
menunaikan hak-hak Allah Swt, Maka diperbolehkan baginya
mengkhuluk dengan cara memberikan ganti berupa tebusan untuk
menebus dirinya dari suaminya.14 Hal itu didasarkan pada firman Allah
Swt, dalam surah al-Baqarah 229:
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa
13Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab..., 456.
keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim”. (Qs. Al-Baqarah: 229).15
Pada dasarnya hukum khulu’ itu adalah boleh, tetapi makruh
seperti talak karena adanya pemutusan talak yang diperintahkan syarak.
Khulu’ diperbolehkan jika ada sebab yang menuntut, seperti suami
cacat fisik atau cacat sedikit pada fisik atau suami tidak dapat
melaksanakan hak istri atau wanita khawatir tidak dapat melaksanakan
kewajiban hukum-hukum Allah Swt. Jika tidak ada sebab yang
menuntut khuluk maka terlarang hukumnya sebagaimana hadis di
bawah ini:
ﻦﻋ ﺲﻳردإ ﰊا ﻦﻋ ﺔﻋرز ﺐّﻄﳋا ﰊا ﻦﻋ ﺚﻴﻟ ﻦﻋ ﻪﻴﺑا ﺔﺒﻠﻌﻨﺑداوذ ﻦﺑ ُﻢﺣاﺰﻣ ﺎﻨﺛﺪﺣ ﺐﻳﺮﻛ ﻮﺑا ﺎﻨﺛﺪﺣ
ص ﱯﻨﻟا ِﻦﻋ نﺎﺑﻮﺳ
.م
.
َلَﺎﻗ
ُتﺎَﻘِﻓﺎَﻨُﻤْﻟا ﱠﻦُﻫ ُتﺎَﻌِﻠَﺘْﺨُﻤْﻟا
.
Artinya: “Wanita yang khuluk adalah wanita munafik. Para ulama menghukumi makruh”.16
B. Hak dan Kewajiban Suami Istri
Dengan tujuan untuk mengurangi terjadinya perselisihan yang
berkelanjutan maka perlu adanya pembagian hak dan kewajiban suami istri,
antara lain:
1. Hak dan kewajiban suami istri menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974
Pasal 30
Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat
Pasal 31
1. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
2. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. 3. Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.
Pasal 32
1. Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
2. Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami istri bersama.
Pasal 33
Suami istri wajib saling mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
Pasal 34
1. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. 2. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
3. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.17
2. Hak dan kewajiban suami istri menurut Kompilasi Hukum Islam
(KHI)
a. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah yang menjadi
sendi dasar dari susunan masyarakat. b. Suami istri wajib saling mencintai, menghormati, setia, dan
memberikan nafkah lahir batin bagi suami serta sikap patuh dan taat dari seorang istri.
c. Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasman, rohani, maupun kecerdasannya, serta pendidikan agamanya.
d. Suami istri wajib memelihara kehormatannya.
e. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama.18
Kewajiban suami terhadap istri
1. Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami-istri secara bersama.
2. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. 3. Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan
memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna bagi agama, nusa, dan bangsa.
4. Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung: a. Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi istri.
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi istri dan anak.
c. Biaya pendidikan bagi anak.
5. Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b diatas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya.
6. Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana pada ayat (4) huruf a dan b .
7. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri nusyuz.19
Kewajiban istri terhadap suami dijelaskan sebagai berikut:
1. Kewajiaban utama bagi seorang istri adalah berbakti lahir batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam.
2. Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.
3. Istri dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban, sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1), kecuali dengan alasan-alasan yang sah.
4. Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal untuk kepentingan anaknya.
5. Kewajiban suami tersebut pada ayat ayat (2) diatas berlaku kembali setelah istri tidak nusyuz.
6. Ketentuan ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus didasarkan atas bukti yang sah.20
C. Alasan-Alasan Perceraian
Alasan-alasan perceraian dalam Islam dapat digolongkan pada tiga hal
berikut :
1. Nusyuz Istri
Arti kata nusyuz ialah membangkang. Menurut Slamet Abidin
dan H. Aminuddin, nusyuz berarti durhaka. Maksudnya, seorang istri
melakukan suatu perbuatan yang menentang suami tanpa adanya alasan
yang dapat diterima oleh syarak21 Adapun secara terminologi ialah
pembangkangan seorang wanita terhadap suaminya dalam hal-hal yang
diwajibkan oleh Allah untuk ditaatinya. Seakan-akan wanita itu merasa
tinggi, bahkan lebih tinggi daripada suaminya.22
Ahmad Warson Al-munawir dalam kamusnya memberi arti
nusyuz dengan tempat yang tinggi. Dan jika konteksnya dikaitkan
dengan hubungan suami istri maka ia mengartikan sebagai kedurhakaan,
penentangan istri terhadap suami.23
Menurut Al-Qurtubi, nusyuz adalah: “mengetahui dan meyakini
bahwa istri itu melanggar apa yang sudah menjadi ketentuan Allah dari
pada taat pada suami”.24
Al-Nawawi, salah seorang ulama pengikut madzhab Shafi’i,
menjelaskan bahwa nusyuz isteri ialah ketika seorang isteri
21Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih MunakahatJakarta: Raja Grafindo, (Persada, 2014), 185. 22Syaikh Mahmud al-Mashri, Perkawinan Idaman, (Jakarta: Qisthi Press, 2010), 359.
23Achmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (yogyakarta: pustaka progresif, ed. II,
2002), 1419
meninggalkan suaminya tanpa seizin suami tersebut. Artinya, seorang
isteri dapat dikatakan telah berbuat nusyuz jika ia pergi meninggalkan
suaminya tanpa izin dari suaminya.25
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang dimaksud nusyuz
adalah wanita keluar dari rumah suaminya tanpa ada alasan yang benar.
Sedangkan ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat
bahwa nusyuz adalah keluarnya wanita dari ketaatan yang wajib kepada
suami.26
Dalam bahasan tentang kewajiban istri terhadap suami telah
dijelaskan beberapa hal yang harus dilakukan istri terhadap suaminya,
seperti berkata yang lemah lembut dan tidak mengeras di hadapan suami,
dan juga melaksanakan apa yang disuruh suami dan meninggalkan apa
yang dicegah oleh suaminya, selama yang demikian tidak menyalahi
norma Agama meminta izin kepada suami waktu akan bepergian keluar
rumah, menjaga suami, harta suami dan harta kekayaannya dan lain-lain
kewajiban yang ditetapkan oleh agama.27
Para ulama mazhab sepakat bahwa istri yang melakukan nusyuz
tidak berhak atas nafkah, tetapi mereka berbeda pendapat tentang
batasan nusyuz yang mengakibatkan gugurnya nafkah.
Hanafi berpendapat: manakala istri mengurung dirinya dalam
rumah suaminya dan tidak keluar dari rumah tanpa izin suaminya, maka
25Muhyiddin Yahya bin Sharaf al-Nawawi, al-Majmu’ Sharh} al-Muhadhdhab juz XVI (Beirut:
Dar al-Fikr, t.t.), 445
dia masih disebut patuh (muthi’ah), sekalipun dia tidak bersedia
dicampuri tanpa dasar syarak yang benar. Penolakannya yang seperti itu
sekalipun haram, tetap tidak menggugurkan haknya atas nafkah. Yang
menjadikan sebab keharusan memberikan nafkah kepadanya adalah
ketika wanita tersebut dirumah suaminya. Persoalan ranjang dan
berhubungan seksual tidak ada hubungannya dengan kewajiban nafkah.28
Hanafi berbeda pendapat dengan seluruh mazhab lainnya, Sebab
seluruh mazhab yang lain sepakat bahwa manakala istri tidak
memberikan kesempatan kepada suami untuk mengauli dirinya dan
ber-khalwat dengannya tanpa alasan berdasar syarak maupun rasio. Akan
tetapi istri tersebut dipandang sebagai wanita nusyuz yang tidak berhak
atas nafkah. Bahkan Syafi’i mengatakan bahwa, sekadar kesediaan
digauli dan berkhalwat sama sekali belum dipandang cukup kalau istri
tidak menawarkan dirinya kepada suaminya seraya mengatakan dengan
tegas, “Aku menyerahkan diriku kepadamu.”29
Apabila istri bersedia untuk digauli dan mau tinggal bersama
suaminya, tetapi kurang sopan dalam berbicara dan bersikap serta sering
melawan ketika diperintah oleh suami. Manakala perbuatannya itu
memang merupakan watak yang telah menyatu dengan dirinya, dan
sikapnya terhadap orang lain juga sama termasuk kepada ayah ibunya,
maka wanita seperti itu tidak dianggap nusyuz. Tetapi bila hal itu tidak
merupakan watak aslinya, artinya dia bersikap baik kepada orang lain
tetapi tidak kepada suaminya maka dapat dihukumi nusyuz.30
Ayat al-Qur’an yang mengatur mengenai nusyuz yang dilakukan
oleh seorang isteri ialah surat al-Nisa ayat 34\
Artinya: “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar”. (QS. An-Nisa’ :34)31
Selain menunjukkan tentang adanya nusyuz yang dilakukan oleh
istri, ayat ini juga menerangkan tentang langkah-langkah yang harus
dilakukan untuk menyelesaikan masalah nusyuz yang terjadi.
Berdasarkan hal tersebut yang harus dilakukan oleh suami sebelum
menceraikan istrinya yang nusyuz yaitu dengan cara sebagai berikut:
a. Menasehati
Jika seorang istri menyeleweng, tidak taat kepadanya,
menolak ketika diajak ketempat tidur, atau keluar dari rumahnya
tanpa seizin suaminya itu merupakan kedurhakaan istri kepadanya,
maka suami harus menasehati istri berbagai kemungkinan baik dan
buruknya dari tindakannya itu32pada saat yang tepat dan dengan
kata-kata yang menyentuh, tidak menimbulkan kejengkelan. Sebagai
30Ibid., 4004.
31Depag RI, Al-Quran Terjemahan Indonesia, (Jakarta: Sari Agung, 2002), 151.
jalan pertama yaitu dengan cara mengingatkannya kepada Allah,
kewajiban kepada suami, dan hak-hak suami yang wajib
dilaksanakan dan menjauhkan pandangannya dari perbuatan dosa
dan prilaku durhaka.
Selain itu, istri harus diingatkan bahwa ia akan kehilangan
hak mendapatkan nafkah, pakaian, dan hak ditinggalkan dari tempat
tidur sendirian bilamana ia tetap durhaka kepada suaminya.33
b. Pisah ranjang
Hal itu dilakukan dengan cara memisahkan diri dari tempat
tidurnya dari tempat tidur istri, dan memalingkan dan
membelakanginya ataupun dengan meninggalkan pergaulan
dengannya, berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya: “Dan tinggalkanlah mereka dari tempat tidur”
Al-hajru maksudnya adalah perintah kepada suami untuk
meninggalkan istri didorong oleh rasa tidak senang pada
kelakuannya. Ini dipahami dari kata hajr, yang berarti
meninggalkan tempat atau keadaan yang tidak baik atau tidak
disenangi menuju ke tempat dan atau keadaan yang baik atau lebih
baik.
Jika demikian, melalui perintah ini, suami dituntut untuk
melakukan dua hal pula. Pertama, menunjukkan ketidaksenangan
atas sesuatu yang buruk dan telah dilakukan oleh istrinya, dalam
hal ini adalah nusyuz, dan kedua, suami harus berusaha untuk
meraih dibalik pelaksanaan perintah itu sesuatu yang baik atau
lebih baik dari keadaan semula.
Fi al-madhaji atau tempat pembaringan maksudnya adalah
suami hendaknya jangan meninggalkan rumah, bahkan tidak
meninggalkan kamar tempat tidur suami istri biasanya tidur.
Kejauhan dari pasangan yang sedang dilanda kesalahpahaman
dapat memperlebar jurang perselisihan, bahkan anak-anak dan
anggota keluarga dirumah sekalipun.
Keberadaan dalam kamar membatasi perselisihan itu dan
karena keberadaan dalam kamar dalah untuk menunjukkan
ketidaksenangan suami atas kelakuan istri, yang ditinggalkan
adalah hal yang menunjukkan ketidaksenangan suami itu.34
c. Memukul sewajarnya
ِﺮْﻀَﺗَﻻَو
ِب
َﻪْﺟَﻮْﻟا
ْﺢّﺒَﻘُـﺗَﻻَو
,
َﻻَو
ْﺮُﺠْﻬَـﺗ
ﱠﻻِإ
ِﰲ
ِﺖْﻴَـﺒْﻟا
Artinya: “Janganlah engkau memukul wajahnya, janganlah mencacinya, dan janganlah menghajarnya, kecuali di dalam rumah” (HR. Abu Daud no. 2142)35
Tujuan dari memukul istri disini bukan untuk menyakitinya,
melainkan hanya untuk mendidik dan menyadarkannya dengan
pukulan yang halus tanpa menyakiti dan meninggalkan bekas luka
pada tubuh. Dan hendaknya suami tidak memukul wajah sebab
wajah itu merupakan pusat kecantikan seseorang perempuan.
Namun, yang dimaksud dari pemukulan ini hanyalah demi
peringatan atau pengajaran demi memperbaiki hubungan, bukan
merusak ataupun melampiaskan kebencian.36
ىور
ﻮﺑأ
دواد
ﻦﻋ
ﻢﻴﻜﺣ
ﻦﺑ
ﺔﻳوﺎﻌﻣ
يﲑﺸﻘﻟا
ﻦﻋ
ﻪﻴﺑأ
لﺎﻗ
:
ﺖﻠﻗ
لﻮﺳرﺎﻳ
،ﷲا
ﱡﻖَﺣﺎﻣ
ِﺔَﺟْوَز
َﺣَأ
َﺎﻧِﺪ
،؟ِﻪْﻴَﻠَﻋ
ْنَأ
ﺎَﻬَﻤِﻌْﻄُﺗ
،َﺖْﻤِﻌَﻃاَذِإ
َﻮُﺴْﻜَﺗَو
َﺎﻫ
،َﺖْﻴَﺴَﺘْﻛَذِإ
،َﺖْﺒَﺴَﺘْﻛِوَأ
ِبِﺮْﻀَﺗَﻻَو
،َﻪْﺟَﻮْﻟا
َﻻَو
،ْﺢﱠﺒَﻘُـﺗ
ْﺮُﺠْﻬَـﺗَﻻَو
ِﰲَﻵِإ
ا
ِﺖْﻴَـﺒْﻟ
Artinya: “Abu dawud meriwayatkan dari hakim bin mu’awiyah al-qusyairi dan ayahnya, beliau berkata: Aku bertanya, “wahai rasulullah, apa hak istri terhadap suami”? Beliau SAW menjawab: kamu memberinya makan ketika kamu makan, dan memberinya pakaian ketika kamu berpakaian atau bekerja, dan janganlah kamu memukul wajah dan jangan menjelek-jelekkan, dan janganlah mendiamkan kecuali dirumah”37
Selain itu dalam hadis juga dijelaskan tentang kewajiban seorang istri sebagai berikut:
َﺎﻨَﺛَﺪَﺣ
ُﺪﱠﻤَُﳏ
ُﻦْﺑ
ٍرﺎَﺸَﺑ
:
َﺎﻨﺛَﺪَﺣ
ُﻦْﺑا
ّيِدَء ِﰊأ
،
ْﻦَﻋ
َﺔَﺒْﻌُﺷ
،
ْﻦَﻋ
َنﺎَﻤْﻴَﻠُﺳ
،
ْﻦَﻋ
ِْﰊَأ
ٍمِزَﺎﺣ
،
ْﻦَﻋ
ِْﰊَأ
َةَﺮْـﻳَﺮُﻫ
،
ﱠﻦَﻋ
ﱠِﱯﱠﻨﻟا
َلَﺎﻗ
:
}
اَذِإ
َﺎﻋَد
ٌﻞُﺟﱠﺮﻟا
ُﻪَﺗَأَﺮْﻣا
َﱄِإ
ِﻪِﺷاَﺮِﻓ
،
ْﺖَﺑَﺄَﻓ
َءْﻲِﺠَﺘْـﻧَأ
،
َﺎﻬْﺘَﻨَﻌَﻟ
ُةﺎَﻜِﺋﻼﻤْﻟا
ﱠﺖَﺣ
َﺢِﺒْﺼُﺗ
{
Artinya: “Jika seorang suami mengajak istrinya keatas ranjangnya, tetapi iya tidak mematuhinya, maka para malaikat akan melaknatnya sampai pagi” No 519338.
Hadis diatas mengandung makna yang mengharuskan wanita
untuk memenuhi ajakan suaminya bercampur. Karena sabda
beliau, “ketempat tidur” sebagai kinayah (kiasan) dari kata jimak’,
sebagaimana yang terkandung dalam sabda beliau, “anak itu untuk
36Baqir Al Habsyi, Fiqih Praktis,... 175.
tempat tidur”. Dan dalil yang mewajibkan hal tersebut adalah
adanya laknat dari para malaikat kepada wanita tersebut, karena
pada malaikat itu tidak akan melaknat kecuali atas perintah Allah
dan tidak lain melainkan sebagai hukuman, dan hukuman itu tidak
akan pernah ada kecuali karena adanya pelanggaran terhadap
kewajiban.
Sedangkan sabda rasulullah “sehingga pagi hari tiba”,
merupakan dalil yang menunjukkan kewajiban istri memenuhi
ajakan suami adalah pada malam hari (bersenggama). Hadis ini
termasuk golongan hadis marfu yang mana tingkat kesohihannya
dapat tipertanggung jawabkan.39
Adapun suami boleh memukul dengan tangan, tongkat yang
ringan, dan benda-benda lain yang tidak membahayakan. Namun
yang lebih utama ialah cukup dengan menakut-nakuti saja tanpa
adanya pukulan.40
2. Nusyuz suami mengandung arti pendurhakaan suami kepada Allah
karena meninggalkan kewajibannya terhadap istrinya. Nusyuz suami
terjadi apabila ia tidak melaksanakan kewajibannya terhadap istrinya,
baik meninggalkan kewajiban yang bersifat materi atau meninggalkan
kewajiban yang bersifat nonmateri diantaranya menggauli istrinya
dengan baik.
39 Syaikh Hasan ayyub, Fikih Keluarga,...207.
Nusyuz juga mengandung arti luas yaitu segala perbuatan buruk
yang dilakukan suami ketika menggauli istrinya, seperti terlalu kasar,
menyakiti fisik dan mental istri, tidak melakukan hubungan badan dalam
waktu tertentu dan tindakan lain yang bertentangan dengan asas
pergaulan baik.
Adapun tindakan istri bila menemukan pada suaminya sifat
nusyuz, dijelaskan Allah dalm surat an-Nisa’ (4) ayat 128:
Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(QS. An-Nisa’ : 128)41
Adapun cara penyelesaiannya yaitu dengan perdamaian, akan
tetapi jika hal ini tidak berhasil maka suami dan istri harus menunjuk dua
orang juru damai. Juru damai ini bisa dari seorang wakil suami dan
seorang wakil pihak istri. Apabila dari pihak keduanya tetap tidak bisa
mendamaikan masalah tersebut maka bisa mengambil dari tokoh
masyarakat atau pemuka agama.
3. Syiqa>q
Syiqa>q artinya perselisihan, pertikaian, pertengkaran, dan konflik yang
terjadi antara suami istri.42Pada ayat 35 surat an-Nisa’ tentang syiqa>q ini
Allah Swt, menerangkan cara yang baik untuk diterapkan ketika terjadi
pertengkaran dan ketika takut terjadi perpecahan:
Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q.S. An-Nisa : 35)43
Konflik antara suami isteri itu ada beberapa sebab dan
macamnya. Macam-macam konflik tersebut bisa disebabkan karena
syiqa>q (perselisihan) yang berujung pada talak (perceraian). Jalan yang
paling baik untuk menyelesaikan konflik antara suami dan isteri yaitu
dengan mengutus seorang hakam (penengah) yang bermaksud
memperbaiki hubungan antara mereka dan apabila hakam yang ditunjuk
tidak dapat melaksanakan tugasnya maka harus menunjuk hakam yang
lainnya44. Jika jalan terang ini tidak dilalui, dikhawatirkan akan terjadi
perpecahan antara mereka tanpa dapat menegakkan tiga rukun rumah
tangga: ketenangan, kecintaan, dan kasih sayang.45
42Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat..., 51. 43Depag RI, Al-Quran Terjemahan Indonesia,...151. 44Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia,...273.
Berkaitan dengan masalah diatas, jika dalam suatu hubungan
sudah tidak dapat di damaikan dan berakibat pada putusnya perkawinan
maka perceraian dapat dikabulkan berdasarkan alasan-alasan tersebut
antara lain:
Dalam kitab Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974
menjelaskan bahwa Perkawinan dapat diputus antara lain:
Dalam pasal 38 putusnya perkawinan karena:
a. Kematian b. Perceraian
c. Atas keputusan pengadilan
Selain itu dalam pasal 39 dijelaskan bahwa:
1. Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan setelah Pengadilan bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak. 2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara
suami istri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami istri.
3. Tatacara perceraian didepan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.46
Selain Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974
Kompilasi Hukum Islam juga menjelaskan secara rinci alasan-lasan
perceraian, yaitu
a. Salah satu pihak berbuat zina.
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah Perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami atau istri.
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
g. Suami melanggar taklik-talak.
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.47
\
BAB III
PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SURABAYA NO. 4403/PDT.G/2014/PA. SBY TENTANG PERTIMBANGAN HAKIM MEMUTUS CERAI TALAK
KARENA BERANI KEPADA SUAMI
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Surabaya
Pengadilan Agama surabaya merupakan suatu Pengadilan tingkat
pertama yang menangani masalah Hukum Perdata Islam dan berada dibawah
kekuasaan Mahkamah Agung sesuai dengan keputusan Presiden No.21
Tahun 2004.1
Berdasarkan UU No.7 tahun 1989 jo UU No.3 tahun 2006,2bahwa
kekuasaan dan wewenang Peradilan surabaya adalah memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara antara orang yang beragama Islam dalam bidang
nikah, talak, rujuk, waris, wasiat, hibah, sedekah dan ekonomi syari’ah.
Pengadilan Agama surabaya sebagai pengadilan agama kelas 1A
yang berkedudukan di Jl. Ketintang Madya VI.3, Surabaya, dasar
pembentu