ANALISIS MAQA<S{ID AL-SHARI
’
AH TERHADAP TRADISI
PERJODOHAN DENGAN KRITERIA KAFA<
’
AH HARTA DAN
NASAB DI DESA PALASA KECAMATAN TALANGO
KABUPATEN SUMENEP
SKRIPSI
Oleh
Sri Widayanti Lestari
NIM C91213143
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syari’ah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga
Surabaya
ABSTRAK
Skripsi ini merupakan hasil penelitian lapangan tentang ”Analisis Maqa<s{id
Al-Shari’ah Terhadap Tradisi Perjodohan Dengan Kriteria Kafa<’ah Harta Dan
Nasab di Desa Palasa Kecamatan Talango Kabupaten Sumenep”. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan menegenai 1. Bagaimana tradisi
perjodohan dengan kriteria Kafa<’ah harta dan nasab di Desa Palasa Kecamatan
Talango Kabupaten Sumenep? Dan 2. Bagaimana analisis maqa<s{id al-shari’ah
terhadap tradisi perjodohan dengan kriteria kafa<’ah harta dan nasab di Desa
Palasa Kecamatan Talango Kabupaten Sumenep?
Data peneletian ini diperoleh dari Desa Palasa Kecamatan Talango Kabupaten Sumenep yang menjadi obyek penelitian. Tekhnik analisis data penelitian ini menggunakan tekhnik deskriptif verifikatif dengan pola pikir deduktif yaitu tekhnik analisis data yang menggambarkan data apa adanya dan berangkat dari
variabel yang bersifat umum. Dalam hal ini teori Maqasid al-shari’ah kemudian
diverifikasikan kepada data yang bersifat umum. Dalam hal ini praktek
perjodohan dengan kriteria Kafa<’ah harta dan nasab.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa tradisi perjodohan dengan kriteria Kafa<’ah harta dan nasab boleh saja dilakukan selama itu bertujuan untuk kemaslahatan bersama, baik kemaslahatan dalam keluarga itu sendiri maupun di dalam masyarakat sekitar. Karena tujuan dari agama Islam itu sendiri adalah
untuk kemaslahatan umat, selama perjodohan dengan kriteria Kafa<’ah harta dan
nasab tidak menyalahi agama Islam maka boleh dilakukan.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
BIODATA PENULIS ... ix
PERSEMBAHAN ... x
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TRANSLITERASI ... xiv
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 8
C. Rumusan Masalah ... 8
D. Kajian Pustaka ... 9
E. Tujuan Penelitian ... 11
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 11
G. Definisi Operasional ... 12
H. Metode Penelitian ... 13
BAB II: TINJAUAN UMUM TENTANG MAQA<S{ID AL-SHARI’AH DAN KAFA<’AH DALAM PERKAWINAN
A. Pengertian Maqa<s{id Al-Shari’ah (Tujuan Hukum Islam) ... 18
B. Kafa<áh dalam Perkawinan ... 29
BAB III: TRADISI PERJODOHAN DENGAN KRITERIA KAFA<’AH HARTA
DAN NASAB DI DESA PALASA, KECAMATAN TALANGO
KABUPATEN SUMENEP
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 41
B. Tradisi Perjodohan dengan Kriteria Kafa<’ah Harta dan Nasab di Desa
Palasa, Kecamatan Talango Kabupaten Sumenep ... 42
C. Faktor yang Melatar Belakangi Terjadinya Perjodohan dengan Kriteria
Kafa<’ah Harta dan Nasab ... 50
BAB IV: ANALISIS MAQA<S{ID AL-SHARI’AH TERHADAP TRADISI
PERJODOHAN DENGAN K RITERIA KAFA<’AH HARTA DAN
NASAB DI DESA PALASA, KECAMATAN TALANGO
KABUPATEN SUMENEP
A. Analisis Terhadap Tradisi Perjodohan dengan Kriteria Kafa<áh Harta dan
Nasab di Desa Palasa Kecamatan Talango Kabupaten Sumenep ... 57
B. Analisis Maqa<s{id Al-Shari’ah Terhadap Tradisi Perjodohan dengan
Kriteria Kafa<áh Harta dan Nasab di Desa Palasa Kecamatan Talango
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ... 69
B. Saran ... 69
DAFTAR PUSTAKA ...
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam merupakan agama fitrah.1 Kefitrahan tersebut dibuktikan
dengan menjaga manusia pada syahwatnya dan nalurinya serta
memberikan hak kepadanya. Dalam pada itu, guna menjaga agar manusia
tidak berperilaku tercela. Karena dalam pandangan Islam, kefitrahan
manusia merupakan sesuatu hal yang sangat penting. Mengingat manusia
dilengkapi dengan akal dan pikiran, yang membedakan dengan hewan.
Dalam pengertian tersebut, Islam tidak meninggalkan kendali
terhadapnya agar terlepas bebas seperti binatang yang tidak berakal.
Dalam artian, manusia dilengkapi dengan akal pikiran untuk menjaga
nilai entitas dirinya yang fitrah. Seperti menjaga hawa nafsu atau
syahwatnya untuk tidak berperilaku sebagaimana hewan.
Dengan begitu, Islam memberikan batasan-batasan yang dapat
menjaga manusia. Karena pada dasarnya, manusia dimuliakan oleh Allah
pada tempatnya yang terhormat. Selain itu, manusia juga wajib menjaga
hubungan dengan manusia yang lain. Artinya, manusia sebagai makhluk
sosial yang berinteraksi satu sama lain guna mewujudkan kehidupan yang
lebih baik. Peran tersebut dapat di lihat ketika manusia membantu sesama
1
2
dan juga membutuhkan bantuan orang lain. Tujuannya agar manusia
saling tolong-menolong guna menciptakan kehidupan sosial yang baik.
Karena ruang interaksi yang demikian, manusia tidak dapat hidup sendiri,
melainkan ia membutuhkan orang lain sebagai teman hidupnya, dan yang
paling penting dari peran manusia ialah melakukan hubungan dengan
lawan jenis. Untuk menciptakan kehidupan yang lebih konkret dan nyata
dengan membentuk generasi setelahnya.
Berangkat dari persoalan tersebut, Allah menganjurkan serta
menghalalkan adanya Perkawinan. Artinya, Islam menekankan pada
esensi perkawinan itu sendiri, yaitu memenuhi panggilan natural manusia,
menjauhi diri dari zina, memelihara akhlak, melindungi tatanan sosial
masyarakat, dan melestarikan kemanusiaan.2
Dalam Islam perkawinan merupakan sunnatulla>h yang umum dan
berlaku pada semua makhluk-Nya.3 Dalam Instruksi Presiden Nomor
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam pasal 2 dijelaskan bahwa
perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang
sangat kuat atau mitsa>qan ghali<zan untuk mentaati perintah Allah dan
melakasanakannya merupakan Ibadah.4 Kemudian dalam Undang-undang
No 1 Tahun 1974 pasal 1 disebutkan bahwasanya Perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
2
A. Fatih Syuhud, Keluarga Sakinah: Cara Membina Rumah Tangga Harmonis, Bahagia dan Berkualitas, (Malang: Pustaka Al-Khairat, 2013),73.
3 Tihani dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta:PT Rajagrafindo Persada, 2010), 6.
3
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.5 Dengan
demikian pernikahan merupakan suatu akad yang secara keseluruhan
aspeknya dikandung dalam kata nikah atau tazwi<j dan merupakan ucapan
seremonial yang sakral.6
Anjuran serta dorongan dalam Perkawinan telah banyak sekali
disebutkan dalam Firman-Nya sebagaimana dalam Surah an-Nur ayat 32:
َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َََ
‚ Dan Kawinilah orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak (untuk kawin) diantara hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin maka Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka
dengan karunia-Nya.‛7 (QS. An-Nur:32).
Adanya Perkawinan juga bukan untuk semata-mata mendapatkan
ketenangan hidup sesaat, tetapi untuk semasa hidup bersama pasangan,
maka dengan adanya Perkawinan diharapkan sepasang keluarga tersebut
bisa bahagia selama Perkawinannya, oleh karena itu seseorang mesti
menentukan pilihan pasangan hidupnya itu secara hati-hati dan dilihat
dari berbagai segi. 8
5
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, 461.
6 Tihami, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Rajawali Pers,2010), 6
7 Departemen Agama R.I., Al Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Syamil Cipta Media, 2005), 354.
4
Salah satu unsur sumber kebahagiaan dalam pembinaan rumah
tangga adalah adanya kufu’ (seimbang) antara suami dan isteri, kufu’
berarti sama, sederajat, sepadan atau sebanding. Maksud kufu’ dalam
perkawinan laki-laki sebanding dengan calon isterinya, kesamaan dalam
kedudukannya dalam tingkat sosial serta dalam akhlak dan kekayaan.9
Kafa<’ah adalah persamaan derajat antara suami dengan istri.
Kekufuán itu diperlukan dalam suatu rumah tangga, yakni untuk
memelihara kestabilan dan kesesuain adat istiadat dari kedua belah pihak.
Tidak jarang hal ini dapat mempengaruhi kelancaran jalannya roda rumah
tangga. Oleh sebab itu Islam memperhatikan masalah ini, meskipun bukan
syarat atau rukun nikah.10
Kafa<’ah dianjurkan oleh Islam dalam memilih calon suami atau
istri, tetapi tidak menentukan sah atau tidaknya perkawinan, karena
menurut pendapat jumhur ulama Kafa<’ah merupakan syarat dalam
lazimnya perkawinan, bukan syarat sahnya perkawinan.11
Memilih pasangan dalam Islam dianjurkan sebagaimana sabda Nabi
Saw. Yang berbunyi:
َُ ْلاَحَك
،عب َِل
ا ِلا ِل
َ
ا ِسح
َ
ا ِلا ج
َ
ا يد
ِ يِّ لاَِ اَ ِبَ َفْظاَفَ،
،َ
َ بِ
َ ا ي
9 Abd. Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), 96.
10 Moch Anwar, Dasar-dasar Hukum Islam dalam Menetapkan Keputusan di Pengadilan Agama (Bandung: CV. Dipenogoro,1991), 51.
5
‚Wanita itu dinikahi karena 4 hal: karena hartanya, pangkatnya, kecantikannya, dan agamanya. Maka nikahilah wanita yang taat
beragama, niscaya engkau akan beruntung.‛12
Kedua Hadits Nabi SAW, yang berbunyi:
مَمُكَء جَاَِإ
، جِّ زَفَ َُلخ َ يِدََ ض َ
يَِكٌَداسَف َِض َأْاَىِفٌَ ِفَ ُك َا ُلعْف ََّلِإ
‚Jika datang kepada kalian seorang lelaki yang kalian ridhai
agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan terjadi
fitnah dimuka bumi dan kerusakan yang besar.‛ 13
Dari pemaparan di atas kufu’ memang patut untuk diperhatikan,
namun yang menjadi ukuran utama adalah keteguhan beragama dan
akhlak, bukan harta, nasab, usaha dan lain sebagainya, jadi agama dan
akhlak seseorang haruslah menjadi pertimbangan utama dalam memilih
jodoh.
Namun berbeda dengan Tradisi Perjodohan yang ada di desa
Palasa Kecamatan Talango Kabupaten Sumenep, tradisi perjodohan di
kalangan masyarakat Sumenep merupakan fenomena yang sangat aktual,
Aktual dalam hal ini, masyarakat Palasa cenderung memilihkan pasangan
untuk putra-putrinya. Karenanya kebebasan dalam memilih jodoh sedikit
kurang diperhatikan. Hal yang paling mengesankan dari mereka, ialah
lebih mengutamakan harta dan nasab daripada hal lainnya.
Jadi, pasangan yang akan dipilih terhadap anaknya, harus memiliki
harta yang sepadan dengan keluarganya. Begitu juga dengan
keturunannya harus sama-sama seimbang. Semisal keturunan Kyai harus
6
dijodohkan dengan keturunan Kyai. Begitu pula, anak Kepala Desa
berjodohan dengan anak Kepala Desa, begitu seterusnya. Artinya, yang
dijadikan patokan oleh masyarakat Desa Palasa, yaitu minimal adalah
keluarga yang memiliki harta. Seperti memiliki mobil, rumah bagus dan
sebagainya, yang sekiranya memiliki kehidupan terpandang di
masyarakat. Tradisi Perjodohan dengan lebih mengutamakan harta dan
nasab sudah ada sejak dulu dan sampai saat ini menjadi tradisi yang turun
temurun.
Proses perjodohan yang ada di Desa Palasa, Kecamatan Talango,
Kabupaten Sumenep sebenarnya tidak jauh berbeda dengan proses
perjodohan pada umumnya. Hanya saja, perbedaannya ialah sebelum
perjodohan dilaksanakan keluarga dari masing-masing pihak yang akan
dijodohkan harus benar-benar tahu kriteria keluarga. Artinya, harta
merupakan landasan utamanya. Setelah mengetahui bibit-bobot dari
masing-masing keluarga, baru proses perjodohan dilaksanakan.
Salah satu alasan mereka menjodohkan putra-putrinya, agar
anaknya dapat melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi dan
kehidupan masa depan terjamin. Selain itu, agar kekerabatan keluarga
tetap terjaga.14 Anggapan tersebut merupakan salah satu bentuk nilai
yang melekat dalam kehidupan masyarakat Palasa. Sebagai upaya untuk
tetap menjaga martabat keluarga pada masyarakat umum. Gunanya, agar
7
putra-putrinya sepadan dan tidak mudah disepelekan dan menjadi bahan
perbincangan di kalangan masyarakat.
Padahal seperti yang kita ketahui bersama, bahwa Islam dalam
konteks perjodohan mengenal empat prinsip yaitu: agama, harta,
kecantikan dan nasab. Keempatnya merupakan hal yang tercantum dalam
maqa<s{id al-shari’ah. Maqa<s{id al-shari’ah ialah suatu hal yang
menitikberatkan pada pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan dan juga
harta. Ulama ushul fikih mendefinisikan maqa<s{id al-shari’ah dengan,
‚makna dan tujuan yang dikehendaki syara’ dalam mensyariatkan suatu
hukum bagi kemaslahatan umat manusia.‛ 15 jadi yang menjadi tujuan
utama dari maqa<s{id al-shari’ah adalah terciptanya kemaslahatan umat.
Dengan konteks inilah, peneliti mencoba melakukan uraian yang
nantinya berada dalam lingkup maqa<s{id al-shari’ah, sehingga dengan ini
pula, peneliti menemukan beberapa hal yang sama sekali belum dilakukan
oleh masyarakat desa Palasa, dalam menjalankan shari’ah yang
sebenarnya, masyarakat desa Palasa lebih mengutamakan dua hal saat
melakukan perjodohan yakni harta dan nasab.
Tradisi yang masih dilakukan oleh masyarakat Desa Palasa,
membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul,
‚Analisis Maqa<s{id Al-Shari’ah Terhadap Tradisi Perjodohan Dengan
Kriteria Kafa<’ah Harta Dan Nasab di Desa Palasa Kecamatan Talango
Kabupaten Sumenep‛
8
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari uraian latar belakang yang sudah dijelaskan diatas, dapat
diketahui masalah pokok yang akan dibahas adalah:
1. Sejarah dan faktor yang melatar belakangi terjadinya tradisi
perjodohan dengan kriteria kafa<’ah harta dan nasab di Desa Palasa
Kecamatan Talango Kabupaten Sumenep.
2. Tradisi perjodohan dengan kriteria kafa<’ah harta dan nasab di Desa
Palasa Kecamatan Talango Kabupaten Sumenep.
3. Analisis maqa<s{id al-shari’ah dengan kriteria kafa<’ah harta dan nasab
di dalam perjodohan di Desa Palasa Kecamatan Talango Kabupaten
Sumenep.
Merujuk dari permasalahan diatas maka penulis hanya membatasi
pada masalah-masalah sebagai berikut:
1. Gambaran tradisi perjodohan dengan kriteria kafa<’ah harta dan nasab
di Desa Palasa Kecamatan Talango Kabupaten Sumenep.
2. Menganalisis dengan pendekatan maqa<s{id al-shari’ah kriteria kafa<’ah
harta dan nasab didalam perjodohan di Desa Palasa Kecamatan
Talango Kabupaten Sumenep.
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana tradisi perjodohan dengan kriteria kafa<’ah harta dan
9
2. Bagaimana analisis maqa<s{id al-shari’ah terhadap tradisi perjodohan
dengan kriteria kafa<’ah harta dan nasab di Desa Palasa Kecamatan
Talango Kabupaten Sumenep?
D. Kajian Pustaka
Pada dasarnya penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran
hubungan topik yang sejenis yang mungkin dilakukan oleh peneliti lain
sebelumnya, sehingga diharapkan tidak ada pengulangan materi
penelitian secara mutlak.
Skripsi yang berjudul ‚Analisis Maqa<s{id Al-Shari’ah terhadap
Tradisi Perjodohan dengan Kriteria Kafa<’ah Harta dan Nasab di desa
Palasa Kecamatan Talango Kabupaten Sumenep‛ belum ada sebelumnya.
Namun ada beberapa judul yang membahas tentang tradisi perjodohan
dan juga Kafa<’ah dalam perkawinan yaitu:
1. Skripsi yang berjudul ‚Analisis hukum Islam terhadap Akibat Tradisi
Tako’Sangkal dalam Perjodohan di Desa Panggung Kecamatan
Sampang Kabupaten Sampang‛ Oleh Indah Kumala Sari pada tahun
2012 yang berisikan tentang keharusan menerima pinangan dari
laki-laki karena takut terjadi musibah apabila pinangan tersebut tidak
diterima.16
2. Kemudian ada juga penelitian yang berjudul ‚Analisis Hukum Islam
dan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak terhadap
10
Perjodohan Anak dalam Kandungan (Studi Kasus di Desa Pangbetok
Kecamatan Proppo Kabupaten Pamekasan)‛ Oleh Umi Habibah tahun
2013 skripsi ini berisi tentang Praktek perjodohan anak dalam
kandungan di Desa Pangbetok yang dilakukan antar sesama keluarga
dengan tujuan agar tali persaudaraan/ kekerabatan antar keluarga tidak
putus, skripsi ini lebih mengacu kepada pertalian keluarga (nasab). 17
3. Skripsi tentang ‚Pengaruh Konsep Kafaah dalam Islam terhadap
Keharmonisan Keluarga (Studi Kasus di Kelurahan Sidosermo
Kecamatan Wonocolo Kota Surabaya)‛ Oleh M. Akhlis MZ skripsi ini
membahas mengenai kriteria kafa’ah yang mencakup faktor agama,
faktor ekonomi, faktor nasab, faktor umur dan faktor organisasi agama.
Skripsi ini memperhatikan segala faktor dalam membentuk
keharmonisan keluarga, berbeda dengan skripsi yang akan penulis kaji
lebih memfokuskan kepada harta dan nasab. 18
4. Skripsi yang membahas tentang kafa’ah yaitu Analisis Hukum Islam
terhadap Paradigma Sekufu’ di dalam Keluarga Mas (Studi Kasus di
Kelurahan Sidosermo Kecamatan Wonocolo Surabaya) Oleh M.
Chabibi Al-Amin tahun 2009, skripsi ini berisikan tentang hal-hal yang
melatar belakangi adanya paradigma sekufu’ di dalam keluarga Mas ini
17
Umi Habibah, Analisis Hukum Islam dan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak terhadap Perjodohan Anak dalam Kandungan (Studi Kasus di Desa Pangbetok Kecamatan Proppo Kabupaten Pamekasan), (Surabaya: Skripsi—IAIN Sunan Ampel Press,2013)
18
11
adalah bahwa mereka ingin menjaga keturunan secara murni melalui
perkawinan keluarga Mas itu sendiri.19
Beberapa perbedaan penelitian yang dilakukan penulis dengan
penelitian sebelumnya adalah Lokasi penelitian ini adalah di Desa
Palasa Kecamatan Talango Kabupaten Sumenep, yang sebagian
masyarakatnya masih mengutamakan harta dan nasab dalam
menjodohkan anak-anaknya. Dari ke-empat pembahasan skripsi di atas
secara eksplisit belum ada yang membahas tentang tradisi perjodohan
dengan kriteria kafa<’ah harta dan nasab.
E. Tujuan Penelitian
Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah:
1. Mengetahui tradisi perjodohan dengan kriteria kafa<’ah harta dan
nasab di Desa Palasa Kecamatan Talango Kabupaten Sumenep.
2. Mengetahui hasil analisis maqa<s{id al-shari’ah terhadap tradisi
perjodohan dengan kriteria kafa<’ah harta dan nasab di Desa Palasa
Kecamatan Talango Kabupaten Sumenep.
F. Kegunaan Hasil penelitian
Hasil peneitian yang ditulis dalam skripsi ini diharapkan dapat
memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Kegunaan Teoritis
19
12
a. Menambah dan memperkaya khazanah keilmuwan, khususnya
dalam masalah perjodohan dengan kriteria kafa<’ah harta dan
nasab.
b. Memperluas wawasan hukum islam dan nasional, serta
memberikan sumbangan pemikiran yang berarti bagi khazanah
ilmu pengetahuan.
c. Skripsi ini sebagai syarat untuk mendapat gelar SI.
2. Kegunaan Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran
yang berguna sebagai pedoman atau rujukan bagi mahasiswa fakultas
syariah khususnya, dan bagi masyarakat pada umumnya terhadap
hal-hal yang berkaitan dengan masalah perjodohan dengan kriteria kafa<’ah
harta dan nasab.
G. Definisi Operasional
Perlu dijelaskan definisi yang berkaitan dengan judul skripsi yang
akan dibahas, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman dalam
mengartikan istilah serta memudahkan pembaca dalam memahami skripsi
ini, penulis mendefinisikan beberapa istilah, diantaranya:
Maqa<s{id Al-Shari’ah : Makna dan tujuan yang dijaga oleh Syari’
dalam pembentukan hukum Islam untuk
mewujudkan kemaslahatan manusia. 20
20 Muhammad Sa’d bin Ahmad bin Masúd al-Yubi, Maqashid al- Syariáh al- Islamiyah wa
13
Perjodohan : Kebiasaan yang dilakukan oleh sebagian
masyarakat yang menjodohkan
putra-putrinya dengan orang yang sejajar dengan
keluarganya.
Kafa<’ah : Sederajat, sepadan atau sebanding utamanya
dalam hal kekayaan dan keturunan.
H. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian lapangan (Field
research). Oleh karena itu, data yang dihimpun merupakan data yang
diperoleh dari lapangan sebagai obyek penelitian. Agar penulisan skripsi
ini dapat tersusun dengan benar dan sistematis, maka penulis
menggunakan metode penulisan skripsi sebagai berikut:
1. Data yang dikumpulkan
Adapun data yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
a. Data tentang tradisi perjodohan dengan kriteria kafa<’ah harta dan
nasab di Desa Palasa Kecamatan Talango Kabupaten Sumenep.
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan dua
sumber data yaitu:
14
Data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung dari
sumber pertama yang ada di lapangan melalui penelitian21 peneliti
menggunakan tekhnik wawancara sehingga memperoleh
keterangan dari pihak yang melaksanakan perjodohan dengan
kriteria kafa>’ah harta dan nasab di Desa Palasa Kecamatan
Talango Kabupeten Sumenep , para orang tua yang menjodohkan
putra-putrinya, kepala desa dan tokoh agama setempat di Desa
Palasa Kecamatan Talango Kabupeten Sumenep.
3. Tekhnik Pengumpulan data
Metode pengumpulan data merupakan proses yang
menentukan baik tidaknya suatu penelitian. Agar data yang
diperoleh dan dihimpun sesuai dengan permasalahan penelitian,
maka kegiatan penelitian harus dirancang dengan baik dan
sistematis.
a. Tekhnik Interview, adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh
pewawancara untuk memperoleh informasi dengan terwawancara
dalam bentuk tanya jawab. 22 wawancara yang dilakukan terkait
dengan penelitian ini adalah wawancara kepada responden yang
melakukan tradisi perjodohan itu sendiri.
21 Soerjono Soekanto, Pengantar Peneleitian Hukum, (Jakarta:UI Press,2008), 12. 22
15
b. Observasi adalah melakukan pengamatan untuk mengetahui
kecenderungan perilaku seorang terhadap suatu kegiatan.23
c. Kajian pustaka merupakan daftar referensi dari semua jenis
referensi seperti buku, jurnal, artikel dan lain-lain, yang dikutip
di dalam penulisan proposal.
4. Tekhnik Pengolahan Data
a. Editing, yaitu pengolahan data dengan memeriksa kembali
data-data secara cermat dari segi kelengkapan, kejelasan makna,
kesesuain satu data dengan data yang lain dan relevansinya
sebagai sumber data yang diperlukan.
b. Organizing, yaitu menyusun data untuk mensistematiskan
data-data yang diperoleh, dalam rangka paparan yang sudah
direncanakan sebelumnya guna menghasilkan bahan-bahan untuk
merumuskan tentang tradisi perjodohan dengan kriteria kafa>’ah
harta dan nasab di Desa palasa Kecamatan talango Kabupaten
Sumenep.
c. Analizing, merupakan tahapan akhir, yaitu menganalisis kembali
lebih lanjut data-data yang telah tersusun untuk memperoleh
kesimpulan atau jawaban dari rumusan masalah.
5. Tekhnik Analisis Data
a. Analisis Kualitatif
16
Tekhnik analisis data penelitian ini menggunakan tekhnik
deskriptif verifikatif dengan pola pikir deduktif yaitu tekhnik analisis
data yang menggambarkan data apa adanya dan berangkat dari variabel
yang bersifat umum. Dalam hal ini teori maqasid al-shari’ah kemudian
diverifikasikan kepada data yang bersifat umum. Dalam hal ini praktek
perjodohan dengan kriteria kafa>’ah harta dan nasab.
I. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah penelitian maka diperlukan sistematika
pembahasan sebagai berikut:
Bab Pertama merupakan Pendahuluan, bab ini berisi gambaran secara
umum tentang skripsi ini yang meliputi uraian tentang latar belakang masalah,
identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan
penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian
dan sistematika pembahasan.
Bab kedua merupakan Landasan teori yang memuat tentang maqa<s{id
al-shari’ah dan kafa<’ah dalam perkawinan.
Bab ketiga memuat tentang gambaran umum lokasi penelitian, tradisi
perjodohan dengan kriteria kafa<’ah harta dan nasab di desa Palasa kecamatan
Talango kabupaten Sumenep, selain itu juga akan membahas mengenai faktor
yang melatar belakangi terjadinya perjodohan dengan kriteria kafa<’ah harta
17
Bab keempat, bab ini Memaparkan tentang analisis maqa<s{id al-
shari’ah terhadap tradisi perjodohan dengan kriteria kafa<’ah harta dan nasab di
Desa Palasa Kecamatan Talango Kabupaten Sumenep.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG MAQA<S{ID AL-SHARI’AH DAN KAFA<’AH
DALAM PERKAWINAN
A. Pengertian Maqa<s{id Al-Shari’ah (Tujuan Hukum Islam)
Maqa<s{id merupakan bentuk jama’ dari maqshad, yang berasal dari kata
qasada yaqsidu. Qashad dan maksud adalah satu makna yaitu tujuan. Adapun
para ahli bahasa ketika menyebutkan makna maqa<s{id, maka maqa<s{id sendiri
memiliki empat makna:
a. Menuju dan datangnya sesuatu.
b. Jalan yang lurus atau bisa disebut dengan keadilan.
c. Tawashut, serta tidak berlebih lebihan dalam sesuatu.
d. Komitmen, memiliki tujuan yang pasti.1
Ulama ushul fikih mendefinisikan maqa<s{id al-shari’ah dengan,
‚makna dan tujuan yang dikehendaki syara’ dalam mensyariatkan suatu
hukum bagi kemaslahatan umat manusia.‛2
Ar-Risuni memberikan definisi maqa<s{id al-shari’ah yaitu:
ْلا
اَغ
اَي
ْيِ َلا
ِ َع ِض
ِرَشلا
ةَعْي
َِل
ِ ْج
َا ِقْيِقْحَ
ِةَحَ ْصَمِل
داَ ِعْلا
‚Tujuan yang ingin dicapai oleh syari’ah ini untuk merealisasikan
kemaslahatan hamba‛.3
1Muhammad Sa’d bin Ahmad bin Masúd al-Yubi, Maqashid al- Syariáh al- Islamiyah wa
Alaqotuha bi al- Adillah al- Syariáh. (Riyadh: Daar al- Hijrah, 1998), 25-29.
2 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoere, 2006), 1108.
19
Secara umum sering dirumuskan bahwa tujuan hukum Islam
adalah kebahagiaan hidup manusia di dunia ini dan di akhirat kelak,
dengan jalan mengambil (segala) yang bermanfaat dan mencegah atau
menolak yang mudarat yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan
kehidupan. Dengan kata lain tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan
hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individual dan sosial.4
Maqa<s{id berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan
hukum-hukum Islam. Tujuan itu dapat ditelusuri dalam ayat-ayat
Al-Qurán dan Sunnah Rasulullah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu
hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.5
Inti dari maqa<s{id al-shari’ah adalah untuk mencapai kemaslahatan
umat yang sebesar-besarnya, karena tujuan penetapan hukum dalam Islam
adalah untuk menciptakan kemaslahatan dalam rangka memelihara
tujuan-tujuan syara'. Adapun tujuan syara'’ yang harus dipelihara itu
adalah menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan
dan menjaga harta.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seseorang mukallaf akan
bisa memperoleh kemashlahatan jika ia mempunyai kemampuan untuk
menjaga lima prinsip di atas, dan sebaliknya ia akan mendapatkan
20
kemudharatan atau mafsadah jika ia tidak bisa menjaga lima hal
tersebut.6
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa maqa<s{id al-shari’ah adalah makna dan tujuan yang dijaga oleh
syari’ dalam pembentukan hukum Islam untuk mewujudkan kemaslahatan
manusia.7
1. Ruang Lingkup Maqa<s{id Al-Shari’ah
Pokok bahasan utama dalam maqa<s{id al-shari’ah adalah masalah
hikmah dan ‘illah ditetapkannya suatu hukum.8 Hukum Islam datang ke
dunia membawa misi yang sangat mulia yaitu, sebagai rahmat bagi
seluruh manusia di muka bumi, pembuat shariáh (Allah dan Rasul-Nya)
menetapkan shariáh bertujuan untuk merealisasikan kemaslahatan umum,
memberikan kemanfaatan, dan menghindarkan kemafsadatan bagi umat
manusia.9
Prof Dr. H Mustafa dalam bukunya Hukum Islam Kontemporer
mengatakan bahwa secara umum tujuan hukum Islam adalah kebahagiaan
hidup manusia di dunia dan akhirat, dengan jalan mengambil segala
manfaat dan menolak atau mencegah segala mudarat, yaitu yang tidak
berguna bagi hidup dan kehidupan. 10
6Ghilman Nursidin, ‚Konstruksi Pemikiran Maqashid Syariah Imam al-Haramain al-Juwaini‛,
(Tesis—Institut Agama Islam Negeri Wali Songo Semarang, 2012), 8.
7 Muhammad Sa’d bin Ahmad bin Masúd al-Yubi, Maqashid al- Syariáh al- Islamiyah wa
Alaqotuha bi al- Adillah al- Syariáh,...36.
8 Faturrahman Djamal, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos, 1997), 123.
9 Mukhtar Yahya dan Faturrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islami, (Bandung: al-Maárif,1993), 333.
21
Tujuan syari’ dalam mensyariatkan ketentuan-ketentuan hukum
kepada orang-orang mukallaf adalah dalam upaya mewujudkan
kebaikan-kebaikan bagi kehidupan mereka, baik melalui ketentuan-ketentuan yang
dharuri, hajiy, ataupun yang tahsini.
a. Ketentuan yang pertama adalah ketentuan dharuri, ketentuan dharuri
adalah ketentuan-ketentuan hukum yang dapat memelihara kepentingan
hidup manusia dengan menjaga dan memelihara kemaslahatan mereka.
Ketentuan-ketentuan dharuri itu secara umum bermuara pada lima hal,
yaitu: 11
1) Memelihara Kemaslahatan Agama (Hifd al-di>n)
Agama adalah suatu yang harus dimiliki oleh manusia supaya
martabatnya dapat terangkat lebih tinggi dari martabat makhluk yang
lain, dan juga untuk memenuhi hajat jiwanya. Agama islam merupakan
nikmat Allah yang tertinggi dan sempurna seperti yang dinyatakan di
dalam Al-quran, surah al-Maidah ayat 3, ialah:
‚Pada hari itu telah Kusempurnakan agamamu dan telah pula Kusempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan Aku telah rela Islam itu menjadi agama buat kamu.‛
Beragama merupakan kekhususan bagi manusia, agama
merupakan kebutuhan utama yang harus dipenuhi, karena agamalah
yang dapat menyentuh nurani manusia.
22
2) Memelihara Jiwa (Hifd al-nafs)
Untuk tujuan ini Islam melarang pembunuhan dan pelaku
pembunuhan diancam dengan hukuman qisas, sehingga dengan demikian
diharapkan agar orang sebelum melakukan pembunuhan, berpikir
sepuluh kali, karena apabila orang yang dibunuh itu mati, maka si
pembunuh juga akan mati atau jika orang yang dibunuh itu tidak mati
tetapi hanya cedera, maka si pelakunya juga akan cedera pula.12
Ini sesuai dengan Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 178
yang Berbunyi:
‚Wahai orang-orang yang beriman! Telah diwajibkan kepadamu Qisas (pembalasan) pada orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Barang siapa mendapat pemaafan dari saudaranya, hendaklah mengikuti cara yang baik dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar diat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Barang siapa melampaui batas sesudah itu, maka untuknya siksaan
yang sangat pedih.‛13
3) Memelihara Akal (Hifd al-áql)
Manusia adalah makhluk Allah SWT, ada dua hal yang
membedakan manusia dengan makhluk lain. Pertama, Allah SWT telah
12
Ismail MuhammadSyah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta:Bumi Aksara,1992), 67-71. 13
23
menjadikan manusia dalam bentuk yang paling baik, dibandingkan
dengan bentuk makhluk-makhluk lain dari berbagai macam binatang.
Hal ini dijelaskan dalam Qur’an surah At-Tiin ayat 4 yaitu:
‚Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya,‛
Akan tetapi bentuk yang indah itu tidak ada gunanya, kalau tidak
ada hal yang kedua, yaitu akal.14
4) Memelihara keturunan (Hifd al- nasl)
Keturunan merupakan insting bagi seluruh makhluk hidup, yang
dengan keturunan itu berlangsunglah pelanjutan kehidupan manusia.
Adapun yang dimaksud pelanjutan jenis manusia disini adalah
pelanjutan jenis manusia dalam keluarga, sedangkan yang dimaksud
dengan keluarga adalah keluarga yang dihasilkan melalui perkawinan
yang sah.15
Untuk ini Islam mengatur pernikahan dan mengharamkan zina,
menetapkan siapa-siapa yang tidak boleh dikawini bagaimana
cara-cara perkawinan itu dilaksanakan dan syarat-syarat apa yang harus
dipenuhi, sehingga perkawinan itu dianggap sah dan percampuran
antara dua manusia yang berlainan jenis itu tidak dianggap zina dan
anak-anak yang lahir dari hubungan itu dianggap sah dan menjadi
14 Ismail MuhammadSyah, Filsafat Hukum Islam...., 85-90. 15
24
keturunan sah dari ayahnyaFirman Allah dalam surah An- Nisa’ ayat
25 yang berbunyi:
‚ Maka nikahilah mereka dengan izin keluarga mereka dan berikanlah
kepada mereka mas kawin menurut yang patut.‛16
Maksud ayat diatas ialah orang merdeka dan budak yang
dikawininya itu adalah sama-sama keturunan Adam dan Hawa dan
sama-sama beriman.
Islam mengajarkan untuk memelihara dan menghormati sistem
keluarga (keturunan), sehingga masing-masing orang mempunyai
nisbah dan garis keluarga yang jelas demi kepentingan didalam
masyarakat guna mewujudkan kehidupan yang tenang dan tentram.17
5) Memelihara Harta (Hifd al- ma>l)
Harta merupakan suatu yang sangat dibutuhkan manusia karena
tanpa harta manusia tidak mungkin bertahan hidup. Oleh karena itu,
dalam rangka jalbu manfa’at yakni Allah menyuruh untuk mewujudkan
dan memelihara harta tersebut dengan cara berusaha.18
Firman Allah dalam Qur’an Surah Jumu’ah ayat 10:
16
Ibid, 87.
17 Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariáh, (Jakarta: Amzah, 2009), 18. 18
25
‚Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak
supaya kamu beruntung.‛19
Meskipun pada hakikatnya semua harta benda itu kepunyaan
Allah, namun Islam juga mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena
manusia itu sangat tama’ kepada harta benda, sehingga mau
mengusahakannya dengan jalan apapun, maka Islam mengatur supaya
jangan sampai terjadi bentrokan antara satu sama lain.20
Islam mengajarkan untuk menjamin perkembangan ekonomi
masyarakat yang saling menguntungkan, menghormati dan menjaga
kepemilikan yang sah sehingga akan tercipta dinamika ekonomi yang
santun dan beradab, untuk itu Islam mengajarkan tata cara
memperoleh harta, seperti hukum bolehnya jual-beli disertai
persyaratan keridhaan dua belah pihak serta tidak ada praktek riba dan
monopoli.21
Seperti disebutkan dalam Al-Qur’an surah Ali-Imran ayat 130
yang berbunyi:
26
‛Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.‛
b. Ketentuan yang kedua yaitu ketentuan tahs>iniya>t, ketentuan tahs>iniya>t,
adalah tingkat kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam
eksistensi salah satu dari lima pokok di atas dan tidak pula menimbulkan
kesulitan. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap, seperti
dikemukakan al-Satibi, hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat
istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak enak dipandang mata, dan
berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntunan norma dan
akhlak.
Dalam berbagai bidang kehidupan seperti ibadat, mua>malat dan
uqubat, Allah telah mensyariatkan hal-hal yang telah berhubungan
dengan tahsiniyat. Dalam lapangan ibadat Islam mensyariatkan bersuci
baik dari najis atau dari hadas, baik pada badan maupun pada tempat
dan lingkungan, dalam lapangan muamalat Islam melarang boros kikir,
menaikkan harga, monopoli dan lain-lain kemudian dalam bidang uqubat
Islam mengharamkan membunuh anak-anak dalam peperangan dan
kaum wanita, melarang melakukan muslah (menyiksa mayit dalam
peperangan).22
c. Ketentuan hajiya>t ketentuaan hajiya>t memberi peluang bagi mukallaf
untuk memperoleh kemudahan-kemudahan dalam keadaan mereka sukar
27
untuk mewujudkan ketentuan-ketentuan dharuri.23 Ketentuan hajiya>t
adalah segala sesuatu yang sangat dihajatkan oleh manusia untuk
menghilangkan kesulitan dan menolak segala halangan. Artinya,
ketiadaan aspek hajiya>t ini tidak sampai mengancam eksistensi
kehidupan manusia menjadi rusak, melainkan hanya sekedar
menimbulkan kesulitan dan kesukaran saja.24 Hajiya>t ini tidak rusak dan
terancam, tetapi hanya menimbulkan kepicikan dan kesempitan, dan
hajiya>t ini berlaku dalam lapangan ibadah, muamalat, dan bidang
jinayat.
Dalam hal ibadah misalnya, qashar, shalat, berbuka puasa bagi
yang musafir. Dalam hal adat dibolehkan berburu, memakan, dan
memakai yang baik-baik dan indah-indah, dalam hal muamalat,
dibolehkan jual-beli secara salam. Dalam hal uqubat menolak hudud
lantaran adalah kesaman-keasamaan pada perkara.25
2. Maslahat sebagai substansi Maqa<s{id Al-Shari’ah
Secara terminologis, maslahat telah diberi muatan makna oleh
beberapa ulama usul al-fiqh. Al-Ghazali (w. 505 H), misalnya mengatakan
bahwa maslahat adalah menarik atau mewujudkan kemanfaatan atau
menyingkirkan atau menghindari kemudaratan. Menurut Al- Ghazali yang
dimaksud maslahat, dalam arti terminologis-syar’i, adalah memelihara dan
mewujudkan tujuan hukum islam (Shari’ah) yang berupa memelihara
23
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, 29.
28
agama, jiwa, akal budi, keturunan dan harta kekayaan. Ditegaskan oleh Al-
Ghazali bahwa setiap sesuatu yang dapat menjamin melindungi eksistensi
salah satu dari kelima hal tersebut dikualifikasi sebagai maslahat
sebaliknya sesuatu yang dapat mengganggu dan merusak salah satu dari
kelima hal tersebut dinilai sebagai al- mafsadah.26
Apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang pada intinya
untuk memelihara kelima aspek tujuan syara’ diatas, maka dinamakan
maslahah, disamping itu, upaya untuk menolak segala bentuk kemudaratan
yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara’ tersebut juga dinamakan
maslahah.27
Secara global tujuan syara’ dalam menetapkan hukum-hukumnya
adalah untuk kemaslahatan manusia seluruhnya, baik kemaslahatan di
dunia yang fana ini, maupun kemaslahatan di hari yang baqa (kekal) kelak.
Ini berdasarkan Al-Qur’an surah Al-Anbiya ayat 107 yaitu:
‚Dan kami (Allah) tidak mengutuskan kamu (wahai Muhammad) kecuali
untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam.‛ 28
Tujuan hukum hanyalah mewujudkan kemaslahatan masyarakat,
baik di dunia maupun di akhirat, menolak kemudharatan dan kemafsadatan,
26Asmawi, Teori Maslahat dan Relevansinya dengan Perundang-undangan Pidana Khusus di
Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010), 35-36. 27 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1991), 114.
29
serta mewujudkan keadilan yang mutlak.29 Dengan begitu, tujuan hukum
untuk memberikan nilai yang baik dalam hal kemaslahatan umat manusia,
maka dibuatlah hukum-hukum yang sekiranya membantu berbagai
persoalan.
B. Kafa<’ah dalam Perkawinan
1. Perkawinan dalam Islam
Kata nikah berarti ‚berkumpul‛, sedangkan dalam arti kiasan berarti
aqad atau ‚mengadakan perkawinan‛ dalam penggunaan sehari-hari kata nikah
lebih banyak dipakai dalam pengertian yang terakhir, yaitu dalam arti yang
kiasan, para ahli fiqh sendiri, dalam mengartikan kata nikah masih berbeda
pendapat tentang arti kiasan tersebut, apakah dalam pengertian watha’
(bersetubuh) atau dalam pengertian aqad. Imam Syafi’i misalnya, memberikan
pengertian nikah itu dengan ‚mengadakan perjanjian perikatan‛, sedangkan
Imam Abu Hanifah mengartikan Watha’ (setubuh).30
Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata ‚kawin‛ yang
menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan
hubungan kelamin atau bersetubuh. Perkawinan disebut juga ‚pernikahan‛,
berasal dari kata nikah (حاكن ) yang menrut bahasa aritnya mengumpulkan,
saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh(wathi).31
29T. M Hasbi Ash- Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1990), 123. 30 Lily Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), 2.
30
Somemiyati dalam buku ‚Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah
dalam Hukum Indonesia‛ mendefinisikan perkawinan adalah perjanjian
perikatan antara seorang laki-laki dan seorang wanita. Perjanjian di sini bukan
sembarang perjanjian tapi perjanjian suci untuk membentuk keluarga antara
seorang laki-laki dan seorang wanita. Suci di sini dilihat dari segi
keagamaannya dari suatu perkawinan.32
Allah memerintahkan dalam Firman-Nya sebagaimana dalam Surah
an-Nur ayat 32:
ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ ُ
‚Dan Kawinilah orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak (untuk kawin) diantara hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin maka Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan
karunia-Nya. (QS. An-Nur:32).‚33
Perkawinan sangat dianjurkan oleh Islam bagi yang telah mempunyai
kemampuan. Tujuan itu dinyatakan baik dalam al-Qur’an maupun dalam
as-Sunnah. Tujuan perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi
petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera
dan bahagia. Harmois dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota
keluarga. Sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan
32Abd Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), 260.
31
terpenuhinya keperluan hidup lahir dan batinnya sehingga timbullah
kebahagiaan, yakni kasih sayang antar anggota keluarga.34
2. Kafa<’ah
a. Pengertian kafa<’ah
Kafa<’ah atau kufu’ menurut bahasa artinya setaraf, seimbang atau
keserasian atau kesesuaian, serupa, sederajat atau sebanding. Yang dimaksud
dengan kafa<’ah atau kufu’ dalam perkawinan, menurut istilah hukum Islam,
yaitu ‚keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami sehingga
masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan‛.
Atau, laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dalam kedudukan,
sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlak serta kekayaan.
Kafa<’ah juga diatur dalam pasal 61 KHI yang berbunyi: ‚tidak sekufu’ tidak
dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan kecuali tidak sekufu’
karena perbedaan agama atau ikhtila>af al-din.35 Jadi tekanan dalam hal kafa<’ah
adalah keseimbangan, keharmonisan, terutama dalam hal agama, yaitu akhlak
dan ibadah.36
Hal ini sesuai dengan Firman Allah Swt dalam Qur’an Surah
al-Hujarat ayat 13:
34
Abd Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta:Kencana, 2003), 14-22.
32
‚Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal.‛37
Makna kafa<’ah menurut ensiklopedi hukum Islam adalah
sebanding, setaraf, dan sesuai. Kesetaraan yang perlu dimiliki oleh calon
suami dan calon istri agar dihasilkan keserasian hubungan suami istri
secara mantap dalam rangka menghindarkan cela dalam
permasalahan-permasalahan tertentu.38
Rasulullah SAW,bersabda:
ن ْوم ْسمْلا
فاكتت
ٌه امد
‚Darah orang-orang Islam setara‛. 39
Syariat Islam tidak merasa cukup dengan usaha dan cara saling
berkenalan, tinjau meninjau dan sama setuju, melainkan menuntut pula
sesuatu yang lain, biasanya dapat menjamin keutuhan pergaulan dan
kerukunan hidup, serta memudahkan persesuaian paham dan pengertian
kafa<’ah (setaraf) antar suami dengan isterinya.40
Kafa<’ah dalam perkawinan, merupakan faktor pendorong
terciptanya kebahagiaan suami istri dan lebih menjamin keselamatan
perempuan dari kegagalan atau kegoncangan rumah tangga. Kafa<’ah
dianjurkan oleh Islam dalam memilih calon suami atau istri, tetapi tidak
37
Hasbi Ash-Shiddieqi, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 845.
38
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam,.... 845.
33
menentukan sah atau tidaknya perkawinan. Kafa<’ah adalah hak bagi
wanita dan walinya. Karena suatu perkawinan yang tidak seimbang, serasi
atau sesuai akan menimbulkan problema berkelanjutan, dan besar
kemungkinan menyebabkan terjadinya perceraian, oleh karena itu, boleh
dibatalkan.41
Ada beberapa perbedaan mengenai definisi kafa<’ah, menurut
Mazhab Maliki kesetaran (kafa<’ah) adalah dalam agama dan kondisi
(maksudnya keselamatan dari cacat yang membuatnya memiliki pilihan).
Menurut jumhur fuqaha adalah agama, nasab, kemerdekaan, dan profesi.
Ditambahkan oleh Mazhab Hanafi dan Hambali dengan kemakmuran dari
segi uang. Yang dituju dalam hal ini adalah terwujudnya persamaan dalam
perkara sosial demi memenuhi kestabilan dalam kehidupan suami istri.
Serta mewujudkan kebahagiaan diantara suami-istri.42
b. Dalil Nas Tentang Kafa<’ah
1) Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an Surah Al-maidah ayat 4 dikatakan:
34
‚Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang
merugi‛.43
Kemudian Al-Qur’an surah An-Nur ayat 26 disebutkan:
‚Perempuan-perempuan yang keji untuk laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki- laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh
ampunan dan rezki yang mulia (surga)‛.44
2) Al-hadits
Memilih pasangan dalam Islam dianjurkan sebagaimana sabda Nabi Saw. Yang berbunyi:
ُُحَكُْ ت
ُ
اَِِاَمِل،عَبْرَُِِةَأْرَمْلا
ُ
اَهِبَسَحو
ُ
اَِِاََََو
ُ
،اه يدو
ُ
ُْرَفْظاَف
ُ
ُِتاَذِب
ُ
،ِنْيِّدلا
ُ
ُْتَبِرَت
ُ
َُكاَدَي
ُ
‚Wanita itu dinikahi karena 4 hal: karena hartanya, pangkatnya, kecantikannya, dan agamanya. Maka nikahilah wanita yang taat
beragama, niscaya engkau akan beruntung.45
43Yayasan Penyelenggara Penterjemahan/Penafsir Al-Qurán dan Terjemahnya, 53-54 44Departemen Agama, Al-Qurán dan Terjemahnya , 492.
35
Kedua Hadits Nabi SAW, yang berbunyi:
اَذِإ
ُ
ُْمُكَءآَج
ُ
نَم
ُ
َُضْرَ ت
َُنْو
ُ
َُُيِد
ُ
َُُقُلُخَو
ُ
،ُوُجِّوَزَ ف
ُالِإ
ُ
اوُلَعْفَ ت
ُ
نُكَت
ُ
ُ ةَْ تِف
ُ
ُِف
ُ
ُِضْرَِْا
ُ
ُ داَسَفَو
ُ
ُُرْ يِبَك
‚Jika datang kepada kalian seorang lelaki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah
dimuka bumi dan kerusakan yang besar.‛46
c. Kriteria Kafa<’ah Menurut Fuqaha>
Kafa<’ah dalam Al-Qurán maupun sunnah Nabi tidak diatur secara
terperinci, para mujtahid berusaha dengan segenap kemampuannya untuk
membahas persoalan kafa<’ah dalam pekawinan, sehingga adanya
perbedaan pendapat antara masing-masing mujtahid tidak bisa dihindari
mengenai kadar dan ukuran untuk menentukan seorang pria sederajat atau
sepadan dengan seorang wanita dan sebaliknya, tidak lepas dari latar
belakang dimana mujtahid tersebut hidup.
Para ulama berpendapat bahwa ukuran kafa<’ah yaitu sikap hidup
yang lurus dan sopan bukan dari segi pekerjaan, kekayaan, dan lain
sebagainya. Jadi bagi laki-laki yang soleh, walaupun bukan keturunan
terpandang maka ia boleh menikahi wanita manapun. Seorang lelaki
pekerja rendah, boleh kawin dengan wanita kaya, asalkan pihak
perempuan rela.47
Para fuqaha berbeda dalam menafsirkan kriteria kafa<’ah
diantaranya meliputi:
1) An-Nasb (Nasab)
46 Imam Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi Juz 3, 395. 47
36
Ada anggapan orang Arab adalah kufu’ antar satu dengan yang
lainnya, begitu pula dengan orang Quraisy sesama orang Quraisy
lainnya. Karena itu orang bukan arab tidak sekufu’ dengan perempuan
Arab. Orang dari Arab tetapi bukan golongan Quraisy tidak sekufu’
dengan perempuan Quraisy. Alasan mereka adalah Hadits Rasulullah
pertama diriwayatkan oleh Hakim dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah
bersabda yang artinya:
ِنَع َ
ِنْ ا
َر َم ع
-
َي ِضَر
َّ
اَم ْ َع
–
َ اَق
:
َ اَق
ْ س َر
َِّ
َ َص
َِّ
ِ ْي َع
َ َس َ
(
َرَعْلا
ْ ضْعَ
َفْكَأ
ءا
ضْعَ
,
يِلا َ َمْلا َ
ْ ٌضْعَ
اَفْكَأ
ء
ضْعَ
,
لِإ
اَح
كِئ
َجَح ْ َأ
)
ٌا َ َر
اَحْلا
ِك
,
ِف َ
ي
اَ ْسِإ
ِِد
ا َر
َْل
ََس ي
,
َرَكْ َ ْسا َ
ٌ َأ
ِ اَح
‚Orang satu dengan lainnya adalah sekufu’, kabilah satu untuk kabilah lainnya, kelompok yang satu sekufu’ dengan kelompok lainnya seorang
untuk seorang, kecuali tukang tenun dan tukang bekam.48
Dari hadits tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa mengukur
kekufu’an seseorang dengan nasab adalah tidak sah.
2) Ad-D<in (Agama)
Agama merupakan sifat dari kafa<’ah sebab dengan agama, orang
itu bisa dilihat ketaatan dan ketakwaannya. Manusia disisi Allah tidak
ada yang berlebih atau berkurang antara seorang dan lainnya, selain
karena ketakwaannya.49 Keagamaan yang dimaksud adalah ketaatan
masing-masing calon mempelai. Perempuan baik-baik (menjaga diri
dan kehormatan) hanya sejodoh dengan laki-laki yang baik pula. Dan
wanita yang fasik hanya sejodoh dengan laki-laki fasik pula.
48 As San’ani, Muhammad Ibnu Ismail, Subulus Salam, Jilid III, 463.
49Ibnu Mas’ud,
37
Laki-laki fasik itu tidak kufu’ dengan perempuan baik-baik, hal
demikian karena orang fasik itu hina, ditolak persaksiannya, tidak bisa
dipertanggungjawabkan diri dan hartanya, dirampas kekuasaannya.
Disamping itu, orang fasik tersebut memiliki nilai rendah dihadapan
Allah maupun manusia, dan sedikit bagian atau anugerah di dunia
maupun di akhirat.50
Dalam al-Qur’an surah As-Sajdah ayat 18:
‚Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang
fasik? mereka tidak sama.‛51
Ayat diatas menjelaskan bahwa seorang muslim yang sholeh
sekufu’ dengan muslim sholihah. Dan seorang muslim sholeh tidak
sekufu’ dengan seorang yang fasik.
3) Al-H{urriyah (Kemerdekaan)
Kemerdekaan merupakan syarat dalam ukuran kafa<’ah hal ini
karena ada firman Allah dalam surat an-Nahl ayat 75 yang berbunyi:
‚Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang Kami beri rezki yang baik dari Kami, lalu Dia menafkahkan sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan,
50 Muwaffiq ad-Din Abdullah ibn Qudamah al-Maqdisi, Al-Mugni, 375.
38
Adakah mereka itu sama? segala puji hanya bagi Allah, tetapi
kebanyakan mereka tiada mengetahui.‛52
Ini adalah syarat dalam kafa<’ah menurut jumhur ulama yang
terdiri dari mazhab Hanafi, Syafií, dan Hambali. Seorang budak
walaupun hanya setengah setengah tidak sebanding dengan perempuan
merdeka, meskipun dia adalah bekas budak yang telah dimerdekakan
karena dia memiliki kekurangan akibat perbudakan, yang membuat dia
terlarang untuk bertindak mencari bekerja untuk orang yang selain
pemiliknya.53
Yang dimaksud merdeka disini adalah bukan budak (Hamba
sahaya). Seorang budak tidak kufu’ dengan seorang yang merdeka. Hal
itu karena kekurangan yang dimiliki oleh budak banyak berpengaruh
dan bahayanya sangat jelas.54
4) Al-Kasb (Pekerjaan)
Dalam ensiklopedia hukum Islam yang dimaksud dengan
pekerjaan adalah adanya mata pencaharian seorang pria yang dapat
menjamin nafkah rumah tangganya.55
Masalah pekerjaan juga merupakan kufu’ dalam perkawinan.
Seorang wanita dengan latar belakang keluarga yang memiliki
pekerjaan terhormat, tidak kufu’ dengan laki-laki yang pekerjaannya
sebagai buruh kasar. Orang yang memiliki pekerjaan terhormat
52 Departemen Agama, Al-Qurán dan Terjemahnya..., 413 53 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 9...., 224. 54
Ibn Qudamah, Al-Mugni, 376.
39
menganggap kekurangan bila anak perempuannya dijodohkan dengan
laki-laki yang memiliki pekerjaan kasar. Menganggap seperti itu
menyerupai kekurangan dalam hal keturunan.56
5) Al-Ma>l (Harta)
Imam Syafi’i berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian dari
mereka ada yang setuju dan sebagian yang lain tidak setuju kalau
kekayaan dijadikan ukuran kufu’. Bagi yang setuju kekayaan dijadikan
ukuran kufu’, menganggap seorang miskin tidak sekufu’ dengan orang
kaya mereka beralasan:
َا
ْل
َح
َس
َا ْل
َما
َ ْلا
َك
َر
َلا
ْق
َ
‚Kedudukan seseorang itu menurut hartanya dan kemuliaan itu
tergantung ketaqwaaanya‛.57
Melihat betapa pentingnya masalah tingkat kekayaan dari
seorang mempelai laki-laki dan tingkat-tingkat kemampuan dalam
mencari harta, maka persoalan kekayaan ini menjadi ukuran kafa<’ah
sebagaimana keturunan.58
Akan tetapi apabila terjadi suatu perkawinan antara perempuan
yang dikawinkan oleh walinya dengan yang tidak sekufu’ baginya
tanpa kerelaannya, perkawinan tersebut tetap dianggap sah, meskipun
yang melakukannya dipandang dosa dan si wali menjadi fasik
karenanya.
56
Ibn Qudamah, Al-Mugni, 377.
57 Tirmizi, Imam, Sunan Tirmizi, Juz III, 345. 58
40
6) Al‘-uy>ubi (Tidak Cacat)
Dengan cacatnya suami, istri dapat menuntut fasakh karena
dianggap tidak sekufu’. Meskipun cacatnya tidak menyebabkan fasakh,
tetapi hal itu akan membuat orang tidak senang mendekatinya, seperti
buta, terpotong atau rusak anggota tubuhnya. Ulama Hanabilah
berpendapat cacat fisik tidak dapat dijadikan sebagai ukuran kafa<’ah
dalam perkawinan. 59
Berbeda dengan Mazhab Maliki dan Syafií yang menganggap
sebagai salah satu unsur kafa<’ah. Oleh karena itu orang laki-laki dan
perempuan yang memiliki cacat tidak sebanding dengan orang yang
terbebas dari cacat karena jiwa merasa enggan untuk menemani orang
yang memiliki sebagian aib ini dikhawatirkan di pernikahan akan
terganggu.60
Namun meski demikian kufu’ diukur saat berlangsungnya akad
nikah. Jika selesai akad nikah terjadi kekurangan, maka hal itu tidaklah
mengganggu dan tidak membetalkan apa yang sudah terjadi, serta
tidak mempengaruhi hukum akad nikah, karena syarat-syarat
pernikahan hanya diukur ketika berlakunya akad nikah.61
59
H.S.A Alhamdani, Risalah Nikah, (Jakarta: Pustaka Amani,2002), 104. 60 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 9,.... 228.
BAB III
TRADISI PERJODOHAN DENGAN