• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLA PENANGANAN ANAK JALANAN DAN PENGEMIS DI SUMATERA BARAT ( KASUS KOTA PADANG DAN KOTA BUKITTINGGI ) ipi258193

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "POLA PENANGANAN ANAK JALANAN DAN PENGEMIS DI SUMATERA BARAT ( KASUS KOTA PADANG DAN KOTA BUKITTINGGI ) ipi258193"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1 | P a g e Abstract

There is a trend of the number of street children and beggars have increased in the last ten years in West Sumatra. Studies conducted by Erwin (2006) showed an increase in the number of street children and beggars, among others, caused by; weakening of social solidarity in the community, and a decreasing function of protection against the matrilineal extended family members. This research has identified characteristics of the street children and beggars in the city of Padang and Bukittinggi, and analyzing models of development that has been undertaken by the government (Ministry of Social Affairs) and the people in orphanages and shelters. The approach used in this study is a qualitative approach.

The results showed that in general, street children are either dropouts at primary school, junior high or high school. Coaching program street children who do not maximized, look at the level of independence of street children after obtaining coaching are relatively low. The causes: First, the relatively short development time. Second, the educational scholarship program at a halfway house coaching stops since 2008. Third, provincial and municipal governments, dependent on funds from the central government.

Development of street children in the orphanage, showed relatively better results, but so far no special foster homes are street children. Social institutions which is a Unit of the Department of Social Welfare, do not set a target street children coaching. Likewise, the social institutions owned by the community so far has not opened up for street children to get service and support. Coaching street kids through a system of nursing is an option that can be considered for development. Nursing management established by the society during this tends to have staying power and a better level of independence.

Keywords: Street Chlidren, Beggars, West Sumatra, Development, Orphanage system

A. Pendahuluan

enduduk Sumatera Barat, pada tahun 2010 berjumlah 5.120.320 orang; terdiri dari 2.320.060 laki-laki dan 2.800.260 perempuan. Laju pertumbuhan penduduk, 1,6 % pertahun, kondisi ini berimplikasi meningkatnya tekanan penduduk terhadap lahan pertanian dan tanah pusaka meningkat. Keadaan ini berimplikasi terhadap berkurangnya atau hilangnya akses

anggota keluarga luas matrilinial untuk menjadikan lahan pertanian sebagai sumber ekonomi dan untuk memamfaatkan tanah pusaka, untuk berbagai keperluan.

Hasil Pendataan Sosial Ekonomi Penduduk 2010, jumlah penduduk miskin tercatat sebanyak 1.079.241 orang atau sebanyak 233.825 KK, sekitar 22,07 % penduduk Sumatera Barat. Meningkatnya jumlah keluarga miskin di Sumatera Barat, akan berpengaruh terhadap kemampuan

P

1

Penulis adalah dosen tetap jurusan Antropologi FISIP Universitas Andalas, Padang.

2

(2)

2 | P a g e

keluarga untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga, yang untuk sebagian keluarga terpaksa harus membiarkan anggota keluarganya untuk melakukan berbagai aktifitas ekonomi di jalanan. Suku bangsa Minangkabau merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang menganut sistem kekerabatan matrilinial, mendiami sebagian besar daerah Propinsi Sumatera Barat, dan merupakan salah satu suku bangsa dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia, setelah suku bangsa Jawa, Sunda, dan Madura (Naim 1984:34-38). Karakteristik yang menonjol dari masyarakat matrilinial Minangkabau adalah; menarik garis keturunan dari pihak perempuan; ada suku, sub-suku matrilinial dan kelompok keluarga lebih kecil, yang dipersatukan oleh kepemimpinan askriptif dalam berbagai tingkat pemilikan tanah komunal. Keberadaan tanah komunal pada masyarakat Minangkabau yang agraris menjadi inti kelangsungan sistem matrilineal, terutama berkaitan dengan bentuk-bentuk perlindungan terhadap seluruh anggota keluarga luas matrilineal (Erwin: 2006).

Di Sumatera Barat, jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial, seperti; anak jalanan berjumlah 7.086 orang, anak terlantar berjumlah 53.352 orang, pengemis berjumlah 1.361 orang dan anak nakal berjumlah 10.588 orang (Dinas Sosial Propinsi Sumbar, 2010). Keberadaan anak jalanan dan pengemis perlu mendapat perhatian yang serius, sebagai anak seharusnya mereka memperoleh ruang dan waktu yang kondusif untuk perkembangan fisik masupun psikis anak secara wajar. Anak-anak yang seharusnya mendapat perlindungan, kini harus berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, karena tidak mendapat perlindungan dan perhatian dari keluarga, masyarakat dan pemerintah. Tulisan ini akan membahas; karaktersitik anak jalanan dan pengemis, dan bagaimana pemerintah menyikapi kehadiran anak jalanan dan pengemis serta peran apa saja yang sudah, sedang dan akan dilakukan oleh pemerintah untuk memberdayakan anak jalanan dan pengemis ?

B. Kerangka Pemikiran

UD 1945, khususnya pasal 27 ayat

2, mengamanatkan bahwa: “tiap-tiap

warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak

bagi kemanusiaan”. Dalam kenyataannya

amanat tersebut tidak mudah diwujudkan, mengingat kemajemukan masyarakat Indonesia. Pasal 34 UUD 1945 menyatakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Anak merupakan aset masa depan, kegagalan dalam memahami kebutuhan anak, akan berujung pada kegagalan dalam membuat anak untuk mandiri di masa datang. Tidak tersedia data yang pasti mengenai jumlah anak jalanan saat ini, data dari komisi perlindungan anak (KPAI) memperkirakan jumlah anak jalanan di Indonesia pada tahun 2006 sekitar 150 ribu anak.

Jaminan Sosial Nasional adalah program Pemerintah dan Masyarakat yang bertujuan memberi kepastian jumlah perlindungan kesejahteraan sosial agar setiap penduduk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya menuju terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Perlindungan ini diperlukan utamanya bila terjadi hilangnya atau berkurangnya pendapatan. Jaminan sosial merupakan hak asasi setiap warga negara sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat 2. Secara universal jaminan sosial dijamin oleh Pasal 22 dan 25 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia oleh PBB (1948), dimana Indonesia ikut menandatanganinya. Kesadaran tentang pentingnya jaminan perlindungan sosial terus berkembang, seperti terbaca pada Perubahan UUD 45

tahun 2002, Pasal 34 ayat 2, yaitu “

Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat….”. Bagaimana wujud dari Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, terutama bagi anak jalanan dan pengemis.

Konsep anak didefinisikan dan dipahami secara bervariasi,menurut UU No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, anak adalah seseorang yang berusia di bawah 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan menurut UU No. 23 tahun 2002 tentang Pelindungan Anak, anak adalah

(3)

3 | P a g e seseorang yang belum berusia 18 tahun,

termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Lahirnya berbagai bentuk masalah sosial di Sumatera Barat, seperti anak jalanan dan pengemis, merupakan konsekuensi dari distribusi sumber daya yang tidak merata dan melemahnya solidaritas sosial dalam masyarakat. Melemahnya solidaritas sosial dalam masyarakat telah mengakibatkan energi sosial-budaya kreatif, sebagai suatu kekuatan internal pada tingkat lokalitas (komunitas) seperti nagari, jorong, kampung dan kelompok ketetanggaan ataupun kewargaan, tidak lagi dapat digunakan oleh keluarga miskin perdesaan dan perkotaan, pada hal energi sosial yang terdapat pada satuan lokalitas dalam bentuk pranata-pranata sosial yang ada pada masyarakat perdesaan dan perkotaan, berorientasi pada kesejahteraan bersama semakin berkurang.

Untuk itu diperlukan suatu pendekatan terpadu dalam pengentasan keluarga miskin perdesaan dan perkotaan, meliputi mengelola warga dalam sebuah kawasan pemukiman. Pengelolaan kawasan pemukiman mulai dari satuan lokalitas terkecil (komunitas) seperti nagari, jorong, kampung dan kelompok ketetanggaan ataupun kewargaan, seyogiyanya mampu mengakomodasi sejumlah persoalan yang dihadapi oleh keluarga miskin perdesaan dan perkotaan.

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan 3.1. Karakteristik Anak Jalanan

a. Kondisi Anak Jalanan dan Pengemis

eberadaan anak jalanan dan pengemis dalam beberapa tahun terakhir di beberapa kota di Sumatera Barat, memperlihatkan kecendrungan yang semakin meningkat. Secara umum karakteristik atau karakteristik yang menonjol untuk anak jalanan yang terdapat di Kota padang dan Kota Bukittinggi adalah sebagai berikut; 1) anak-anak yang masih memiliki hubungan dengan orang tuanya dan tidak lagi sekolah. Keluar rumah di pagi hari, kebali ker umah sore hari. 2) Anak yang masih sekolah, akan tetapi keluar rumah di pagi hari atau sore hari, sebelum atau sesudah jam sekolah. Masih memiliki hubungan

dengan orang tua, atau mereka berada di luar rumah sepengetahuan orang tua.3) Anak-anak yang sudah putus sekolah, hubungan dengan orang tua terbatas. 4) Anak-anak yang tidak bersekolah dan bersama orang tuanya berada di jalanan dan tidak memiliki tempat tinggal, biasanya berada di jalanan sampai tengah malam.

Ada beberapa alasan yang dikemukakan, kenapa mereka berada di jalanan. Sebagian besar dari anak jalanan mengatakan karena alasan ekonomi dan tekanan orang tua. Pengakuan informan, sebut saja budi;

Budi usia 14 tahun, sedang bersekolah, kelas 2 SMP, Budi sudah hampir satu tahun berjualan koran setiap pagidi salah satu perempatan jalan di Kota Padang. Alasan yang dikemukakan Budi kenapa berjualan koran setiap pagi untuk membantu orang tua. Yang utama kata Budi agar kebutuhan sekolahnya terpenuhi.

Alasan yang dikemukakan Budi berbeda dengan alan yang dikemukakan Egi, yang sudah tidak bersekolah lagi, Egi menuturkan;

Egi, usia 15 tahun, pendidikannya sampai kelas empat SD, tinggal di pinggiran Kota Padang. Berhenti sekolah karena tidak ada kontrol dari orang tua. Orang tua egi tidak peduli, apakah egi sekolah atau tidak sekolah. Sekitar tahun 2009, pasca gempa, awalnya karena diajakan teman untuk melihat bangunan rusak yang sedang dibersihkan dengan menggunakan alat-alat berat. Menurut Egi, pada waktu itu, makanan banyak tersedia karena ada banyak orang yang memberikan bantuan makanan. Tahun 2010, pemberian jatah makanan sudah mulai sulit, egi diajak temannya untuk bernyanyi dan temannya memainkan alat musik sederhana, sehingga terkumpul uang untuk membeli makanan.

(4)

4 | P a g e

mengemis karena mereka cacat penglihatan dan tidak punya keahlian. Mereka tidak memiliki modal dan tanah untuk bertani.

Di Kota Padang, lokasi tempat berkumpul atau beraktivitas anak jalanan terdapat di lima lokasi; 1) lokasi di perempatan jalan Khatib Sulaiman. 2) lokasi di perempatan kantor Pos besar jalan Sudirman. 3) lokasi pasar raya Kota Padang. 4) lokasi jalan Ratulangi dan jalan Patimura. 5) Lokasi jalan By pass, perempatan Lubuk Begalung. Pilihan lokasi secara kebetulan saja, namun di keempat lokasi tersebut, menurut informan tempat-tempat yang memungkinkan mereka mendapat uang. Secara umum, kalau dilihat dari alasan yang dikemukakan oleh informan benar adanya terutama untuk anak jalanan yang ditemui di perempatan jalan Khatib Sulaiman, dimana anak-anak yang dimaksud berjulan koran di pagi hari dan siang hari berjualan barang-barang keperluan rumah tangga. Berbeda dengan anak-anak yang berada di perempatan jalan Sudirman, tepatnya di perempatan kantor Pos besar Kota Padang, dan di jalan Ratulangi dan jalan patimura yang melakukan aktivitas sebagai pengamen. Bernyanyi dengan menggunakan alat musik seadanya. Sedangkan anak jalanan yang berada di sekitar Pasar Raya Kota Padang melakukan berbagai aktivitas, seperti menyemir sepatu, jualan kresek (kantong Plastik) dan sekaligus menyediakan jasa untuk membawa barang belanjaan. Sedangkan anak jalanan yang berada di lokasi perempatan jalan By Pass Lubuk Begalung, anak-anak yang melakukan kegiatan dijalanan bersama orang tua.

b. Umur dan Pekerjaan

erujuk kepada Undang-Undang Hak Azazi Manusia, yang dimaksud dengan anak adalah yang berumur antara 0 – 18 tahun atau masih berusia sekolah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak jalanan yang melakukan kegiatan di berbagai tempat di kota Padang pada umumnya masih berusia sekolah yaitu antara 9 sampai 18 tahun. Namun untuk sebagian kecil juga ada yang berumur di atas 18 tahun. Salah seorang informan menuturkan;

Ani seorang perempuan, usia 11 tahun, anak tertua dari tiga bersauadara, pendidikan sampai kelas 5 Sekolah Dasar, sudah hampir 2 tahun jadi pengamen di jalanan. Ani sebenarnya tidak mau Kerja seperti sekarang ini. Dia ingin sekali menamatkan pendidikannya Di Sekolah Dasar, tapi orang tuanya tidak mendukungnya. Dari hasil kerja mengamen, ani serahkan sebagian pendapatannya kepada orang tua, untuk membeli beras.

Hasil wawancara dengan Dinas Sosial, baik di tingkat Kota maupun propinsi menunjukkan bahwa anak-anak yang bekerja dijalanan tersebut pada umumnya adalah anak usia sekolah. Hal ini terdata pada saat dilakukan operasi penjaringan (razia) anak jalanan. Demikian juga dengan data yang terdapat di Rumah Singgah juga menunjukkan hal yang relatif sama, dimana usia rata-rata anak jalanan yang dibina adalah antara 8 sampai 19 tahun.

Pekerjaan yang dilakukan oleh anak jalanan adalah sangat beragam. Hasil wawancara dengan staf Dinas Sosial Kota Padang dan hasil pengamatan, secara umum pekerjaan anak jalanan tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Pedagang asongan. Jenis dagangan yang djual antara lain kantong plastik, koran, mainan, dan makanan ringan. Pada umumnya anak jalanan melakukan kegiatan tersebut di sekitar pasar, taman kota atau tempat kermaian. Selain itu juga ada di sekitar perempatan jalan/lampu merah. Usia rata-rata anak jalanan yang melakukan pekerjaan ini berkisar antara 8 – 12 tahun.

2. Penjual jasa. Kegiatan yang dilakukan antara lain menyemir sepatu, dan membantu mengangkat barang-barang belanjaan dari orang lain yang membutuhkan jasa. Kegiatan ini dilakukan di sekitar pasar, taman kota, dan mesjid. Usia rata-rata anak jalanan yang melakukan kegiatan tersebut antara 8-12 tahun.

(5)

5 | P a g e 3. Mengamen dan mengemis. Kegiatan

mengamen dan mengemis dilakukan di sekitar perempatan jalan (lampu merah). Usia anak jalanan yang melakukian pekerjaan mengamen dan mengemis ini bervariasi antara 8 – 19 tahun, bahkan juga terdapat anak-anak dibawah usia 8 tahun.

Hasil wawancara dengan Dinas Sosial, dapat diinformasikan bahwa dari ke tiga jenis pekerjaan yang dilakukan oleh anak-anak jalanan tersebut, kelompok pengamen dan pengemis, merupakan kelompok yang sangat sulit untuk dibina karena pada kelompok ini, selain bekerja sendiri juga terdapat anak-anak yang dikoordinir oleh suatu “jaringan” yang memanfaatkan anak-anak jalanan untuk memperoleh penghasilan.

Salah seorang staf dinas sosial mengatakan, hasil dari pekerjaan anak jalanan bisa mencapai Rp.30.000 – Rp.50.000 per hari. Bahkan untuk pekerjaan mengamen bisa memperoleh uang sampai Rp.85.000 per hari. Hal ini, menjadi alasan yang cukup untuk menjadikan anak jalanan sulit melepaskan diri dari pekerjaan tersebut karena merasa sudah bisa mencari uang sendiri dengan jumlah yang relatif besar. Namun, saat ditanyakan kepada beberapa orang informan, menyebutkan pendapatan mereka tidak pernah lebih dari Rp 30.000,- dalam sehari.

Terdapat dua kategori umur bila dikaitkan dengan pekerjaan anak jalanan. Pertama, anak jalanan usia sekolah pada umumnya memiliki pekerjaan berjualan, menyemir sepatu, dan mengemis. Sedangkan anak jalanan pada usia di atas 13 tahun pada umumnya memilih pekerjaan sebagai pengamen. Kegiatan mengamen dilakukan baik secara sendiri-sendiri maupun secara berkelompok antara 2-3 orang. Hasil pengamatan terhadap 3 orang anak yang berusia antara 6-10 tahun di sekitar taman kota Imam Bonjol, menunjukkan bahwa anak-anak tersebut melakukan kegiatan mengamen dibawah pengawasan ibu mereka. Anak-anak tersebut melakukan kegiatan mengamen di persimpangan jalan (sekitar Polresta), sementara ibu mereka duduk santai menunggu di dalam taman kota. Ketika anak-anak mereka selesai mengamen, si

ibu meminta hasil dan anak di suruh kembali ke jalan untuk mengamen.

Menurut informan salah seorang staf Dinas Sosial dan pengelolah Rumah singgah menuturkan sebagai berikut :

terjadinya tindakan kriminal seperti pencopetan, narkoba, mengisap bensin, dan sebagainya pada umumnya dilakukan oleh anak jalanan dari kelompok usia diatas 15 tahun dan bekerja sebagai pengamen. Kelompok ini umumnya merupakan anak-anak yang berasal dari lingkungan umumnya kurang harmonis atau keluarga yang sangat sibuk sehingga tidak mempunyai waktu yang cukup untuk memperhatikan dan mengawasi perkembangan anak mereka. Akibatnya anak tersebut mencari kesenangan sendiri dengan hidup sebagai anak jalanan.

Berbeda dengan usia anak jalanan, usia pengemis relatif didominasi oleh orang dewasa atau orang tua. Pekerjaan mengemis dilakukan secara sendiri maupun dengan bantuan seorang perempuan dewasa dan anak-anak yang menuntunnya di jalan. Kondisi fisik pengemis beraneka ragam seperti; buta, cacat kaki, dan sebagian juga ada yang sudah renta.

Menurut data dari program Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial, Dinas Sosial propinsi Sumatera Barat, bahwa di Propinsi Sumatera Barat pada tahun 2010 terdapat sebanyak 621 orang pengemis dimana sebagian besar (235 orang atau 37,84%) berada di Kota Padang. Kemudian disusul oleh kebupaten Pesisir Selatan sebanyak 88 orang (14,17%) dan Kota Solok sebanyak 68 orang (10,95%). Kondisi ini menunjukkan bahwa Kota Padang masih merupakan daerah yang cukup diminati oleh pengemis dalam upaya mencari rezeki.

c. Pola Tempat Tinggal

(6)

6 | P a g e

tua atau anggota keluarganya. Mereka inilah yang cendrung melakukan kegiatan-kegiatan seperti menghisap lem dan bensin.

Sementara anak lainnya tetap tinggal dengan orang tua, hanya pada saat melakukan pekerjaan saja berada di jalan atau di lorong-lorong pasar. Berdasarkan data dari Rumah Singgah, anak jalanan yang murni lepas dari orang tuanya bisa dihitung dengan jari, artinya relatif kecil jumlahnya. Anak jalanan yang dibina di Rumah Singgah Srikandi misalnya, dari 114 anak yang dibina terdapat dua orang yang murni anak jalanan dimana mereka tidur di pasar atau di emperan toko. Demikian anak jalanan yang dibina di Rumah Singgah Bina Generasi menunjukkan bahwa pada umumnya anak-anak tersebut masih tinggal bersama orang tua atau anggota keluarganya, atau ada sebagian anak jalanan yang sudah memiliki penghasilan lebih baik dan merasa sudah bisa mandiri, maka mereka akan menyewa rumah sendiri yang disewa secara bulanan.

Pengemis pada umumnya tinggal dengan cara mengontrak kamar atau rumah sederhana. Hal ini karena pengemis pada umumnya berusia dewasa atau tua sehingga tidak memungkinkan mereka untuk tinggal menumpang pada saudara mereka. Menurut informan dari Dinas Sosial Kota Padang, penghasilan dari mengemis dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarga pengemis termasuk untuk menyewa rumah meskipun rumah ukuran kecil dan semi permanen. Hal tersebut tentunya menjadi salah satu penyebab mengapa pekerjaan mengemis sulit dihapus dari pusat-pusat kota seperti Padang dan Bukittinggi karena penghasilan dari pekerjaan mengemis tersebut cukup memadai.

d. Daerah Asal Anak Jalanan

idak ada data yang pasti berkenaan dengan daerah asal anak jalanan. Namun hasil wawancara dengan Dinas Sosial dan Rumah Singgah menunjukkan daerah asal anak jalanan adalah Pesisir Selatan 10 orang, Pariaman 9 orang , Solok 7 orangdan kota Padang 12 orang.

Permasalahannya adalah keluarga tersebut langsung memboyong semua

anggota keluarganya ke Padang pada hal pekerjaan belum dimiliki. Akibatnya banyak anggota keluarga yang akhirnya bekerja serabutan. Hasil yang diperoleh dari pekerjaan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pada akhirnya anak-anak juga ikut melakukan pekerjaan orang tua mereka dengan bekerja sebagai penjual koran, kantong plastik, rokok, mengamen, mengemis dan sebagainya.

Sama halnya dengan anak jalanan, menurut informan Dinas Sosial bahwa sebagian besar dari pengemis yang beroperasi di Kota Padang berasal dari kabupaten Pesisir Selatan dan Padang Pariaman. Hal ini juga sama dengan apa yang diinformasikan oleh pengelola rumah singgah bahwa para pengemis tersebut umumnya berasal dari Pesisir Selatan dan Padang Pariaman.

e. Alasan Menjadi Anak Jalanan lasan menjadi anak jalanan, karena desakan ekonomi, dimana orang tua mereka tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kondisi ini mengakibatkan anak-anak yang seharusnya dapat mengikuti pendidikan di sekolah terpaksa putus dan turun ke jalan mencari uang.Meskipun pada awalnya anak-anak bekerja di jalan untuk membantu ekonomi keluarga, namun lama kelamaan pekerjaan di jalan tersebut sudah menjadi kebutuhan mereka sehingga sulit untuk keluar dari aktivitas tersebut. Bahkan tidak jarang orang tua justru mengandalkan anak-anak mereka yang mencari uang sementara mereka tetap tinggal di rumah dan tidak mengerjakan apa-apa

Selain alasan ekonomi, untuk sebagian kecil anak jalanan juga karena adanya ketidakharmonisan keluarga mereka sehingga mengakibatkan mereka mencari kepuasan tersendiri dengan hidup di jalan. Pekerjaan ini mereka lakukan pada dasarnya sebagai bentuk perlawanan terhadap kondisi rumah tangga yang mereka alami. Akibatnya anak-anak jalanan dari kelompok ini banyak yang terjerumus ke dalam tindakan-tindakan negatif seperti mabuk-mabukan dan menghisap ganja atau narkoba.

T

(7)

7 | P a g e Demikian halnya dengan pengemis

dimana terdapat dua alasan utama yaitu; pertama, karena kondisi ekonomi di kampung tidak memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehingga pergi ke kota untuk mengadu nasib. Kondisi di kota yang tidak cukup mudah untuk memperoleh pekerjaan mengakibatkan mereka memilih pekerjaan sebagai pengemis. Kondisi ini untuk sebagian pengemis juga didukung oleh kondisi fisik yang sudah tua atau cacat. kedua, mengemis dianggap sebagai mata pencaharian yang cukup mudah untuk mendapatkan uang sehinga mereka menjadi malas untuk melakukan pekerjaan lain. Menurut informan, sebagian dari pengemis menjadikan diri mereka seolah-seolah tidak berdaya, cacat, sakit dan sebagainya untuk menarik simpati para pengguna jalan agar mengasihi mereka. Dengan begitu orang-orang yang lewat akan memberikan uang kepada mereka.

f. Harapan Masa Depan

ada umumnya anak jalanan tidak peduli dengan masa depannya. Bagi mereka yang penting bisa menghasilkan uang hari ini baik untuk keperluan belanja/jajan sendiri maupun untuk diserahkan kepada orang tua mereka. Dari anak jalanan yang terjaring dan dibina di Rumah Singgah hanya sekitar 10% saja yang memikirkan masa depan secara lebih baik. Mereka inilah yang kemudian bersedia untuk mengikuti kegiatan pendidikan atau sekolah. Sementara 90% lainnya lebih memilih untuk tetap bekerja di jalanan.

Hal ini diakui baik oleh Dinas Sosial maupun Rumah Singgah yang mengatakan bahwa sedikit sekali anak-anak jalanan tersebut bersedia untuk melanjutkan pendidikan mereka meskipun sudah diberikan beasiswa. Permasalahan utama sulitnya anak jalanan dikembalikan ke sekolah adalah karena dengan bersekolah mereka tidak dapat lagi mencari uang dan itu berarti dapat mengganggu pemenuhan kebutuhan keluarga. Selain itu dari sisi orang tua juga ada perilaku dimana anak dijadikan sebagai sumber mata pencaharian dengan menyuruh mereka bekerja di jalan.

Sedangkan pengemis sulit untuk dibina karena etos kerja mereka yang

malas. Menurut informan (Dinas Sosial dan Rumah Singgah), pembinaan terhadap pengemis sulit dilakukan karena mereka tidak memiliki keinginan untuk merubah pekerjaan mereka. Mereka sudah terlanjur terbiasa memperoleh uang dengan mudah tanpa harus bekerja keras, hanya cukup dengan memelas dan menengadahkan telapak tangan. Jadi kalaupun diberikan bantuan oleh pemerintah, mereka tetap turun ke jalan untuk mengemis setelah bantuan tersebut mereka terima.

6.2. Pola Pembinaan Anak Jalanan dan Pengemis

a. Kegiatan Pembinaan

erdapat beberapa bentuk kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh Dinas Sosial kota Padang terhadap anak jalanan baik berkaitan dengan keterampilan melalui pelatihan teknis maupun berkaitan dengan upaya perubahan sikap anak terhadap pekerjaannya melalui kegiatan ceramah agama ataupun siraman rohani. Kegiatan yang berkaitan dengan keterampilan pada dasarnya disesuaikan dengan keinginan atau bakat anak jalanan tersebut, yang terungkap dari hasil identifikasi setelah anak jalanan berhasil dijaring. Kegiatan tersebut antara lain keterampilan menyetir mobil, keterampilan sablon, servis eletronik, dan servis handpon.

Lama pembinaan melalui pelatihan keterampilan tersebut adalah 15 hari setiap angkatan atau setiap kegiatan. Kegiatan dilakukan satu kali dalam setahun sehingga setiap akan melakukan pembinaan, Dinas sosial mengawalinya dengan kegiatan razia atau penjaringan anak jalanan, dan bagi anak jalanan yang sudah mendapatkan pelatihan tidak akan dimasukkan lagi dalam kegiatan berikutnya.

Pendeknya waktu yang dialokasikan untuk pembinaan tersebut disadari tentu tidak akan dapat menjamin terjadinya perubahan sikap anak jalanan terhadap pekerjaannya. Namun untuk sebagian kecil juga terdapat anak jalanan yang berhasil dibina, dimana mereka dapat melakukan kegiatan yang lebih baik seperti menyetir mobil (bawa angkot), bekerja di tempat sablon ataupun di tempat servis elektronik. Dan bagi anak

P

(8)

8 | P a g e

lainnya yang tidak memperoleh pekerjaan akan kembali ke jalan dengan pekerjaan yang telah mereka lakukan sebelumnya.

Sesuai dengan pedoman yang sudah diberikan oleh Departemen Sosial tentang pembinaan anak jalanan melalui rumah singgah, setiap rumah singgah melakukan pola pembinaan yang relative sama, yaitu melakukan pembinaan dalam bentuk pemberian bantuan beasiswa bagi anak sekolah (dalam bentuk pemberian alat-alat sekolah dan pakaian seragam), pelatihan keterampilan, pelatihan kewirausahaan, bantuan modal usaha (dalam bentuk barang) bimbingan dan konseling, bantuan kesehatan, dan ceramah agama.

b. Usaha Pasca Pembinaan

etelah dilakukan pembinaan selama 15 hari, maka setiap anak diharapkan mampu untuk mengembangkan keterampilannya di tempat lain. Tidak ada upaya lanjutan yang dilakukan oleh Dinas Sosial setelah anak mendapat pembinaan atau pelatihan tersebut. Dengan bekal yang sudah diberikan, setiap anak akan berusaha sendiri untuk mencari pekerjaan sesuai dengan keterampilan yang sudah diberikan. Sempitnya peluang kerja yang tersedia tentu menjadi kendala utama bagi anak jalanan untuk bisa memperoleh pekerjaan. Bagi anak yang memperoleh pelatihan menyetir mobil biasanya lebih punya peluang karena setelah selesai pelatihan mereka langsung diberikan SIM (Surat Izin Mengemudi). Dengan berbekal SIM tersebut anak jalanan dapat menjadi sopir angkutan kota sebagai pekerjaannya.

Sedangkan untuk anak lainnya yang memperoleh pelatihan elektronik atau sablon akan bergantung pada ketersediaan lowongan pekerjaan di perusahaan-perusahaan terkait, dan itu tidak cukup mudah untuk memperolehnya. Sementara untuk buka usaha sendiri, pemerintah tidak menyediakan dana untuk memulai usaha.

c. Pembinaan Anjal Melalui Rumah Singgah

embinaan anak jalanan di Rumah Singgah mengacu pada Pedoman Penyelenggaraan Pembinaan Anak Jalanan melalui Rumah Singgah yang dikeluarkan oleh Departemen sosial RI pada tahun 1999. Tujuannya adalah untuk membantu anak jalanan mengatasi masalah-masalahnya dan menemukan alternative untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Selain itu, pengembangan rumah singgah mempunyai beberapa tujuan khusus yaitu;

1. Membentuk kembali sikap anak yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di dalam masyarakat.

2. Mengupayakan anak-anak kembali ke rumah jika memungkinkan atau ke panti dan lembaga pengganti lainnya jika diperlukan.

3. Memberikan berbagai alternatif pelayanan untuk pemenuhan kebutuhan anak dan menyiapkan masa depannya sehingga menjadi warga masyarakat yang produktif.

Kehadiran rumah singgah dalam upaya mempertahankan kemampuan anak dimana penanganannya berdasarkan aspirasi dan potensi yang dimiliki anak. Penyediaan rumah singgah merupakan upaya agar hak-hak anak dari para anak jalanan dapat terpenuhi, hal mana akan mendorong kelancaran proses tumbuh kembang, yang pada gilirannya dapat ikut serta dalam pembangunan nasional dengan melaksanakan peran dan tugas sebagai anak.

Berdasarkan pedoman tersebut, maka semenjak tahun 1999 pemerintah propinsi Sumatera Barat bersama pemerintah kota dan kabupaten, mendorong peran serta masyarakat untuk ikut terlibat dalam pembinaan anak jalanan melalui pendirian rumah singgah. Berdasarkan data dari Dinas Sosial propinsi Sumatera Barat, diinformasikan bahwa sampai tahun 2007 sudah berhasil didirikan sebanyak 22 rumah singgah yang tersebar di 4 kota dan 2 kabupaten, dengan jumlah terbanyak terdapat di kota Padang yaitu 11 rumah singgah. Tabel berikut menggambarkan jumlah rumah singgah dan jumlah anak jalanan yang dibina sampai tahun 2007.

S

(9)

9 | P a g e Tabel 1. Rumah singgah dan jumlah

anak jalanan yang dibina NO NAMA

KOTA/KAB

JML.RS JML ANJAL 1 Kota

Padang

11 1140

2 Kota solok 5 590 3 Kota Sawah

Lunto

3 270

4 Kota Padang Panjang

1 105

5 Kab.Swl.Sjj 1 54 6 Kab.Padang

Pariaman

1 105

Jumlah 22 2.264 Sumber; diolah dari data Dinsos Propinsi Sumatera Barat tahun 2007

umber dana untuk membiayai kegiatan operasional rumah singgah dalam upaya pembinaan anak jalanan, disediakan oleh pemerintah pusat melalui Dinas Sosial propinsi Sumatera Barat. Mekanisme penyaluran dana adalah melalui evaluasi kebutuhan anak jalanan yang disampaikan oleh pengeloola rumah singgah dalam bentuk proposal. Artinya setiap rumah singgah mengajukan proposal yang berisi tentang kebutuhan anak jalanan kepada Dinas Sosial propinsi. Selanjutnya Dinas Sosial melakukan evaluasi terhadap kelayakan proposal tersebut, dan selanjutnya bantuan akan dikirim sesuai dengan hasil evaluasi dan ketersediaan anggaran. Menurut informan Dinsos propinsi, evaluasi proposal perlu dilakukan untuk mengontrol apakah proposal yang diajukan oleh rumah singgah sesuai dengan kebutuhan yang sebenarnya dan juga untuk pertimbangan ketersediaan dana. Biasanya (menurut informan) jumlah dana yang diajukan dalam proposal melebihi jumlah yang dapat disediakan oleh Dinsos. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut, Dinsos propinsi mengirimkan bantuan kepada setiap rumah singgah, untuk selnajutnya disampaikan kepada anak jalanan. Bantuan diberikan dalam bentuk barang bukan uang.

Ketergantungan rumah singgah terhadap bantuan pemerintah dalam pembinaan anak jalanan mengakibatkan rumah singgah hanya akan melakukan kegiatan

pembinaan selama bantuan dana masih ada dan akan tutup bila bantuan tersebut dihentikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa saat ini hanya satu rumah singgah yang masih melakukan kegiatan pembinaan anak jalanan yaitu rumah singgah Bina Generasi yang terdapat di kota Padang. Sedangkan rumah singgah lainnya sudah menghentikan kegiatan pembinaan anak jalanan semenjak tahun 2008, karena tidak adanya dana kegiatan yang diberikan oleh pemerintah untuk pembinaan tersebut.

Menurut informan bahwa semenjak tahun 2008, pemerintah sudah menghentikan dana pembinaan anak jalanan di rumah singgah. Sejalan dengan penghentian dana tersebut maka rumah singgah juga menghentikan kegiatan pembinaan terhadap anak jalanan.

Kalaupun ada rumah singgah yang berupaya meneruskan kegiatan pembinaan, maka rumah singgah tersebut harus berupaya sendiri untuk mencari dana bantuan dari berbagai pihak. Namun ternyata upaya tersebut juga tidak banyak membantu untuk pelaksanaan kegiatan di rumah singgah sehingga akhirnya rumah singgah tersebut harus ditutup dan segala sarana dan prasana diserahkan kepada pemerintah kota. Hal ini misalnya terjadi pada rumah singgah Srikandi yang berlokasi di kawasan Imam Bonjol. Meskipun sejak tahun 2008 tidak ada lagi dana dari pemerintah, rumah singgah tersebut masih melakukan kegiatan pembinaan sampai tahun 2010. Namun karena kesulitan mencari dana dari luar pemerintah, maka pada bulan juni 2010 rumah singgah tersebut terpaksa ditutup dan dikembalikan kepada Dinas Sosial kota Padang.

Satu-satunya rumah singgah yang masih melakukan kegiatan pembinaan terhadap anak jalanan saat ini adalah rumah singgah Bina Generasi yang berlokasi di kawasan Lapai kota Padang. Kegiatan pembinaan dilakukan dengan menggunakan dana secara mandiri (swadana). Masih beroperasinya rumah singgah Bina Generasi terutama karena yayasan yang menaunginya memiliki beragam kegiatan seperti PAUD, Paket A, Paket B, dan paket

(10)

10 | P a g e

C, usaha salon dan sebagainya. Sehingga kebutuhan dana untuk pembinaan anak jalanan dapat disubsidi dari penghasilan beragam usaha lainnya.

a. Bantuan Beasiswa

erdasarkan hasil wawancara dengan pengelola rumah singgah, diinformasikan bahwa meskipun pada umumnya anak jalanan adalah usia sekolah (merupakan sasaran utama), namun hanya sebagian kecil saja (sekitar 10%) diantara anak jalanan yang mau melanjutkan sekolah mereka. Sedangkan sebagian besar lebih memilih untuk mengikuti pelatihan keterampilan sebagai modal untuk bekerja. Alasan utama yang dikemukakan adalah keinginan untuk memperoleh uang agar dapat membiayai hidup sendiri atau membantu biaya hidup keluarga.

Rumah singgah Srikandi pada tahun 2010 saat menutup rumah singgah dan menyerahkan segala asset yang berkaitan dengan rumah singgah kepada Dinas Sosial, masih membina 13 orang anak jalanan. Dari 13 anak jalanan tersebut, 5 orang diantaranya bekerja sebagai pedagang asongan dan 8 orang masih sekolah (SMP 6 orang dan SMK 2 orang). Setelah diserahkan kepada Dinas Sosial, informan tidak memiliki informasi lagi berkaitan dengan kelanjutan usaha dan pendidikan anak jalanan tersebut.

Sedangkan rumah singgah Bina Generasi, saat ini masih membina 10 anak jalanan yang berusia rata-rata antara 15 sampai 17 tahun, dan 1 orang berusia 6 tahun yang dibawa oleh kakaknya untuk tinggah di rumah singgah. Dari 10 orang yang dibina, 5 orang diantaranya tidak sekolah, 4 orang kuliah sambil kerja, dan 1 orang masih duduk di TK.

Selama program rumah singgah masih dibiayai oleh pemerintah (Depsos) sampai tahun 2008, setiap anak jalanan yang dibina di rumah singgah dan meneruskan sekolah mereka akan mendapatkan beasiswa sebesar Rp.1.000.000 setiap tahunnya. Beasiswa tersebut diberikan dalam bentuk barang-barang kebutuhan sekolah seperti sepatu, alat tulis, baju

seragam, tas sekolah, dan sebagainya. Pendistribusian beasiswa tersebut dilakukan melalui rumah singgah dan selanjutnya dibagikan kepada setiap anak sesuai dengan jumlah anak yang diajukan untuk memperoleh beasiswa.

Sedangkan untuk biaya operasional anak jalanan ke sekolah akan ditanggung oleh orang tua mereka atau anggota keluarga yang lain. Pemerian beasiswa tersebut juga atas kesepakatan rumah singgah dengan orang tua anak jalanan dimana rumah singgah dapat memberikan kesempatan kepada anak untuk meneruskan sekolahnya, namun biaya transportasi, makan dan jajan harus ditanggung oleh orang tua masing-masing anak.

b. Pelatihan Keterampilan

elatihan keterampilan yang diberikan kepada anak jalanan sebagaimana yang disebutkan diatas (3.1.2) didasarkan kepada potensi dan keinginan anak jalanan sendiri. Artinya pengelola rumah singgah mengajukan kepada Dinas Sosial tentang jenis pelatihan keterampilan yang dibutuhkan oleh anak jalanan. Setelah disetujui maka pengelola rumah singgah akan mengirimkan anak jalanan ke tempat pelatihan yang disediakan oleh Dinas Sosial (Dinsos Kota dan Dinsos Propinsi) sesuai dengan kebutuhan anak jalanan tersebut. Dengan demikian anak jalanan akan terbagi pada kelompok pelatihan keterampilan yang sesuai, ada yang memperoleh pelatihan keterampilan mengenderai mobil (stir mobil), ada yang mengikuti pelatihan elektronik, ada yang mengikuti pelatihan sablon, dan ada pula yang mengikuti pelatihan kewirausahaan, dan sebagainya. Salah seorang informan menuturkan;

Deka bukan nama sebenarnya, usia 18 tahun, laki-laki, daerah asal Pessel. Pendidikan tidak tamat SD. Sekitar tahun 2008 deka pernah mendapat pembinaan dari sebuah rumah singgah yang terdapat di sekitar Air Tawar,

Berada di bawah bimbingan rumah singgah sekitar enam bulan. Menurut Egi, kegiatan di rumah singgah sangat terbatas sekali dan tidak banyak ketrampilan yang

B

(11)

11 | P a g e mereka dapatkan. Kegiatan lebih banyak

pemberian motivasi. Egi sebenarnya berminat untuk mendapatkan pelatihan montir motor, namun keinginan tersebut tidak terpenuhi. Sekarang, deka masih tetap di jalanan sebagai pengamen.

c. Bantuan Modal Usaha

Bantuan modal usaha bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada anak jalanan untuk melakukan kegiatan usaha atau mengembangkan usaha yang sudah dijalankannya setelah mereka memperoleh pelatihan keterampilan atau kewirausahaan. Ada dua bentuk bantuan modal yang diberikan kepada anak jalanan yaitu Usaha Ekonomi Produktif (UEP) dan Kelomok Usaha Bersama (KUBE). UEP diberikan kepada anak jalanan secara perorangan, sedangkan KUBE diberikan untuk usaha kelompok dengan jumlah anggota setiap kelompok adalah 5 orang.

Menurut informan, bantuan yang diberikan pada umumnya adalah rokok, karena anak jalanan lebih banyak memiliki usaha berjualan rokok baik di persimpangan jalan maupun di taman kota atau pasar. Jumlah bantuan bervariasi antara 1-2 slof rokok. Selain bantuan modal usaha untuk anak jalanan, bantuan modal usaha juga diberikan kepada orang tua anak jalanan. Ada dua tujuan yang ingin dicapai dengan pemberian bantuan modal usaha kepada orang tua anak jalanan:

Pertama, supaya setelah memiliki usaha sendiri, orang tua memiliki sumber ekonomi yang lebiih baik untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarga sehingga akhirnya tidak perlu lagi membiarkan anak-anak mereka bekerja di jalanan.

Kedua adalah bhwa setelah keluarga yang dibantu memiliki modal (uang) yang cukup, diharapkan mereka bisa pulang ke kampung mereka untuk mengelola potensi yang ada seperti sawah atau ladang. Artinya dengan modal usaha yang diberikan, dalam jangka waktu tertentu orang tua/keluarga tersebut dapat melakukan evaluasi (dibantu oleh rumah singgah) terhadap masa depan usaha mereka.

Bila kebutuhan usaha mereka adalah berjualan (hasil identifikasi rumah singgah) maka diberikan barang-barang untuk berjualan seperti beras, garam, rokok dan sabun. Tetapi keluarga yang memiliki pekerjaan sebagai buruh angkat dan pemulung, maka diberikan bantuan berupa becak sehingga memudahkan mereka untuk melakukan kegiatan usaha tersebut.

d. Konseling dan Ceramah Agama

Konseling yang diberikan di rumah singgah pada dasarnya adalah berupa saran dan masukan untuk meningkatkan motivasi anak jalanan dalam menjalankan usaha mereka. Sedangkan kegiatan ceramah agama dan pelayanan kesehatan dilakukan untuk memberikan pencerahan kepada anak jalanan agar menyadari bahwa pekerjaan yang mereka lakukan selama ini sebagian besar adalah salah dan bertentangan dengan nilai-nilai agama ataupun norma masyarakat, terutama anak jalanan yang bekerja sebagai pengemis.

Sebagaimana disebutkan bahwa pembinaan anak jalanan melalui rumah singgah adalah merupakan program pemerintah melalui Dinas Sosial. Oleh karena itu semua pembiayaannya juga berasal dari pemerintah. Rumah singgah mengorganisir anak jalanan dan melakukan identifikasi terhadap kebutuhan mereka, dan kemudian mengajukannya kepada Dinas Sosial dalam bentuk proposal. Berdasarkan proposal yang diajukan oleh rumah singgah, Dinas sosial melakukan penilaian apakah sesuai dengan ketersediaan anggaran. Menurut infroman Dinas sosial, biasanya kebutuhan yang diajukan lebih besar daripada apa yang dapat dipenuhi oleh pemerintah, sehingga tidak semua permintaan dari rumah singgah terpenuhi.

e. Pembinaan Anjal Melalui Panti Sosial

(12)

12 | P a g e

meninggal. Bahkan salah satu panti social, hanya melakukan pembinaan terhadap anak yatim, piatu atau yatim-piatu yang kurang mampu, sedangkan anak miskin dan terlantar yang kedua orang tuanya masih hidup tidak diterima dip anti sosial tersebut.

Sementara panti sosial milik pemerintah seperti PSAABR (Panti Sosial Asuhan Anak Bina Remaja) menetapkan sasaran utamanya adalah anak miskin dan anak terlantar. Artinya meskipun kedua orang tua mereka masih ada namun keadaan ekonominya tidak memungkinkan untuk memberikan kesempatan bagi pendidikan anak-anak mereka (miskin) maka anak tersebut dapat diserahkan pembinaannya kepada panti sosial. Streotype yang melekat pada anak jalanan adalah sangat nakal, sering bicara kotor, tidak mau diatur dan tidak betah untuk dibina di dalam panti. Persepsi inilah yang mengakibatkan panti sosial tidak melakukan pembinaan terhadap anak jalanan karena dianggap akan menimbulkan masalah terhadap anak-anak yang lain akibat pengaruh kurang baik yang mereka bawa dari kehidupan jalanan.

Pada umumnya kegiatan pembinaan anak dipanti sosial lebih difokuskan pada kegiatan pendidikan dan pembinaan akhlak anak asuh. Kegiatan pendidikan dilakukan baik di sekolah yang dimiliki oleh panti sendiri maupun sekolah di luar panti dengan biaya pendidikan ditanggung oleh panti. Panti sosial miik Dinsos (PSAABR) memberikan kesempatan pendidikan kepada anak asuh di sekolah-sekolah yang berada di luar panti, baik untuk tingkat sekolah dasar sampai ke tingkat SMU/SMK.

Panti sosial milik Dinas sosial ini hanya bertanggung jawab menyelesaikan pendidikan anak asuh sampai dengan tamat SMU/SMK, dan setelah itu anak asuh akan dipulangkan ke keluarga mereka masing-masing (keluar dari panti). Saat ini jumlah anak asuh yang disekolahkan oleh panti sosial PSAABR adalah 75 orang yang terdiri dari 11 orang di sekolah dasar, 19 orang di SMU, 9 orang di SMK, dan 36 orang di SMP. Semua anak asuh tersebut menjalankan pendidikannya di luar panti karena panti

sosial PSAABR tidak memiliki sarana sekolah.

(13)

13 | P a g e Baiturrahmah sudah dapat membiayai

kebutuhan sendiri karena mendapat beasiswa dari kampus.

6.3. Arah Kebijakan Pemerintah Kota Dalam Menangani Anak Jalanan

unculnya anak jalanan erat kaitannya dengan latar belakang sosial dan ekonomi keluarga. Kemiskinan struktural yang dialami oleh keluarga anak jalanan dianggap sebagai memicu utamamunculnya anak jalanan. Sulitnya memenuhi kebutuhan sehari-hari oleh kepala keluarga (baik ayah maupun ibu) berimbas pada upaya pemberdayaan seluruh anggota keluarga untuk berperan aktif dalam memenuhi kebutuhan hidup. Hal ini tidak saja sekedar pemenuhan kebutuhan sandang dan pangan, akan tetapi jauh lebih dari itu, terkait dengan kebutuhan untuk bisa eksis dalam kerasnya roda kehidupan perkotaan. Semua anggota keluarga mempunyai tanggung jawab yang sama untuk secara bersama-sama meningkatkan status ekonomi keluarga dengan kegiatan

produktif guna menghasilkan tambahan

demi ekonomi keluarga.

Faktor kemiskinan sebagaimana diuraikan penyebabnya lebih kepada faktor kemiskinan struktural. Kondisi ini bisa saja dialami oleh semua warga masyarakat yang tidak mampu mengikuti arah dan kompetisi perkotaan dengan berbagai dinamikanya. Selain faktor tersebut penyebab lain munculnya anak jalanan di perkotaan adalah: sikap mental yang tidak mendukung berupa sikap malas bekerja keras ataupun implementasi yang kurang tepat dari nasehat orang tua akan makna

berbakti pada orang tua”. Dalam tataran ini anak dipandang sebagai salah satu sumber pendapatan keluarga, sehingga seorang anak dinilai memiliki potensi untuk menghasilkan sumber dana demi membantu ekonomi keluarga. Mengembangkan tiga strategi pengembangan yang diharapkan mampu mengakomodir berbagai segmen usia yang ada dalam anak jalanan dan pengemis. Ketiga strategi dapat dilakukan secara simultan adalah :

1. Pengembangan pendidikan formal/ non formal.

2. Pengembangan kemampuan permodalan.

3. Pengembangan kelembagaan ekonomi kerakyatan.

Strategi pertama berupa pengembangan pendidikan formal/ non formal lebih diajukan pada anak-anak jalanan usia sekolah (5-9 tahun dan 10-14 tahun), agar mereka tetap dapat melanjutkan sekolahnya dan berada dalam lingkungan sekolah dan keluarga. Dalam strategi ini instansi terkait, tidak hanya bekerja sendiri, akan tetapi juga menjalin kerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat yang fokus dalam bidang pendampingan dan perlindungan anak.

Strategi kedua terkait dengan kemampuan permodalan ditujukan pada anak-anak jalanan yang sudah drop out dari sekolah dan usia sudah tidak memungkinkan untuk melanjutkan sekolah. Melalui strategi ini anak-anak jalanan diberi latihan keterampilan dan permodalan baik secara kelompok maupun perorangan. Upaya pengembangan strategi ni dilaksanakan dengan pola kemitraan dengan lembaga-lembaga terkait yang memiliki kompetensi dalam bidang usaha tertentu.

Usia anak jalanan yang mendapatkan program ini terutama bagi mereka yang berusia antara 16-19 tahun. Hal ini dilaksanakan dengan asumsi bahwa mereka akan segera memasuki masa remaja yang berarti pola pikir mereka diharapkan dapat berkembang untuk beralih berwirausaha dan tidak lagi berada dijalanan. Implementasi strategi pengembangan kemampuan permodalan dilaksanakan melalui suatu pelatihan dan bimbingan pengembangan bakat dan keterampilan bagi anak jalanan.

(14)

14 | P a g e

sehingga keterlibatan mereka dalam kelompok murni karena kesamaan visi dan sehingga terjalin suasana kondusif dalam melaksanakan usaha-usahanya.

Jenis kelompok usaha bersama yang didorong untuk dikembangkan bagi anak jalanan diantaranya : kelompok usaha jualan sembako, menjahit, jualan asesoris, jualan rokok, minuman dan makanan ringan, keramba ikan nila, servis sepeda motor, aksesoris HP/ jual pulsa. Kelompok usaha yang dikembangkan ini diupayakan tumbuh dan mampu dikelola dengan baik meskipun dengan modal usaha yang seadanya.

6.4. Kesimpulan

asil penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya anak jalanan merupakan anak yang putus sekolah baik pada tingkat sekolah dasar, SLTP maupun SLTA. Oleh karena itu perlu dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kemampuan mereka agar memiliki daya saing yang lebih baik dalam dunia kerja atau dunia usaha. Program-program pembinaan anak jalanan yang dilakukan selama ini ternyata masih meninggalkan berbagai persoalan berkaitan dengan kemampuan anak jalanan sehingga mereka tidak cukup siap untuk melakukan kegiatan usaha setelah selesai pembinaan.Hal ini misalnya terlihat dari tingkat kemandirian anak jalanan setelah memperoleh pembinaan relatif rendah, paling tinggi hanya mencapai tingkat keberhasilan 50%. Ada beberapa kendala yang berhasil diidentifikasi berkaitan dengan rendahnya tingkat keberhasilan tersebut: Pertama, waktu pembinaan yang relatif singkat sehingga tidak mampu menjadikan sebagian anak jalanan memiliki kesiapan daya saing di dunia kerja. Artinya pembinaan yang diberikan belum mampun menjadikan mereka siap untuk bekerja ataupun berusaha sendiri. Pembinaan dalam bentuk pelatihan keterampilan rata-rata dilakukan selama dua minggu untuk setiap tahapan pembinaan dan itupun hanya dilakukan satu kali dalam setahun dan setelah itu anak jalanan dilepas sendiri karena dianggap program sudah selesai. Kondisi ini terutama terjadi pada anak jalanan yang terjaring pada kegiatan razia anak jalanan.

Kedua, bagi anak jalanan yang dibina melalui bantuan beasiswa pendidikan dalam program pembinaan di rumah singgah tidak ada kejelasan siapa yang menanggung biaya pendidikan setelah program tersebut berhenti semenjak tahun 2008. Dalam hal ini pengelola rumah singgah juga tidak melakukan komunikasi lagi dengan anak-anak yang sedang mengikuti pendidikan tersebut. Kondisi ini tentu sangat rentan akan terputusnya kegiatan pendidikan mereka sehingga mereka akan kembali menjadi anak jalanan. Ketiga, kesulitan dalam pembiayaan untuk pembinaan menyebabkan program tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pemerintah propinsi dan kota sepertinya sangat tergantung pada dana yang dianggarkan oleh pemerintah pusat. Akibatnya ketika pemerintah pusat tidak memberikan dana, maka pemerintah kota dan propinsi juga tidak melaksanakan kegiatan pembinaan. Kota Solok merupakan salah satu kota yang mengalokasikan dana APBD untuk pembinaan anak jalanan sehingga sampai sekarang kegiatan pembinaan dapat tetap berjalan (informan Dinsos Propinsi). Keempat, pembinaan anak asuh di dalam panti meskipun menunjukkan hasil yang relatif lebih baik, namun sejauh ini belum ada panti yang khusus untuk membina anak jalanan.

Berdasarkan permasalahan tersebut perlu dirumuskan kebijakan-kebijakan yang dapat memberi peluang yang lebih luas terhadap terhadap anak jalanan untuk memperoleh pelayanan pembinaan. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan memperluas jangkauan sasaran yang memasukkan anak jalanan sebagai salah satu sasaran pembinaan pada berbagai lembaga dan panti sosial. Artinya panti yang selama ini terkesan tidak mau menerima anak jalanan sebagai anak asuh mereka, maka dengan adanya kebijakan tersebut anak jalanan juga memperoleh hak-hak mereka sebagaimana anak terlantar atau anak miskin lainnya.

(15)

15 | P a g e daya tahan serta tingkat kemandiriannya

yang lebih baik. Upaya mengatasi anak jalanan dilaksanakan melalui beberapa pendekatan diantaranya : ketersediaanperaturan daerah dan pendekatan kebijakan mulai dari tahap identifikasi sampai penanganan masalah anak jalanan secara serius. Pola pendekatan yang dilaksanakan terhadap anak jalanan berupa pendekatan persuasif melalui mekanisme pengembangan kemampuan diri dan pendekatan preventif.

Keterbatasan daya tampung panti menyebabkan banyak anak-anak yang seharusnya memperoleh pelayanan tidak dapat ditampung. Oleh karena itu perlu adanya upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kapasitas daya tampung panti. Langkah awal yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi panti-panti yang ada untuk mendapatkan gambaran riil tentang apakah panti tersebut memungkinkan untuk dikembangkan. Selain mengembangkan kapasitas dan daya tampung panti, peningkatan komitmen panti untuk dapat menampung anak jalanan sebagai sasaran pembinaan

di dalam panti perlu diupayakan. Pemerintah propinsi dan kota perlu melakukan pembinaan terhadap panti sehinngga pihak panti dapat memperbaiki image mereka terhadap anak jalanan, dan akhirnya memiliki empati untuk terlibat dalam pembinaan anak jalanan.

Selain terbatasnya daya tampung panti, permasalahan pembiayaan anak asuh dipanti juga menjadi persoalan yang penting untuk dicarikan solusinya. Sehubungan dengan hal tersebut pemerintah tentunya mempunyai peran penting dalam mejamin ketersediaan dana sehingga pelayanan terhadap anak asuh dapat berjalan dengan baik. Selama ini panti yang didirkan oleh masyarakat cendrung mengandalkan sumber dana dari donator dan sedikit bantuan dari pemerintah. Oleh karena panti dapat dianggap sebagai pembinaan lanjutan dari pembinaan sebelumnya (rumah singgah) maka peran pemerintah dalam pebiayaan menjadi penting sehingga panti tidak mereasa terbebani oleh program yang seharusnya menjadi tanggunngjawab pemerintah.

Daftar Pustaka

Abdullah, Irwan, 1990. Wanita ke Pasar Studi tentang Perubahan Sosial Ekonomi Perdesaan, dalam Populasi No. 1 tahun 1990.

Adimihardja, Kusnaka, 1983. Antropologi Sosial dalam Pembangunan. Bandung, Tarsito. Alisyahbana, SutanTakdir, 1984. “Sistem Matrilineal Minangkabau dan revolusi kedudukan

permpuam di Zaman Kita”, dalam .A.A. Navis (ed). Dialektika Minangkabau. PP.

13-26, Padang: Genta Singgalang Press.

Babbie, Earl R. 1979. The Practice of Sosial Research. Wardsworth Publishing Company Inc. California.

BPS Provinsi Sumetara Barat 2002. Provinsi Sumetera Barat dalam Angka. BPS Provinsi Sumetara Barat 2004. Provinsi Sumetera Barat dalam Angka.

Erwin, 2006. Tanah Komunal : Melemahnya Solidaritas Sosial pada Masyarakat Matrilineal Minangkabau. Universitas Andalas Press, Padang.

Chambers, Robert. 1987. Pembangunan Desa Mulai dari Belakang. LP3ES: Jakarta.

CIDA. 1998. Jaringan Usaha: Suatu Panduan Praktis Untuk Usaha Kecil dan Menegah. Penerbit Proyek Peningkatan Peran Usaha Swasta. Jakarta.

Daniel, Moehar. 2002. Metode Penelitian Sosial Ekonomi. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. Dunn, William N. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Edisi kedua.Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.

Geertz, Clifford. 1976 (1963). Involusi Pertanian Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Bhratara KA.: Jakarta.

Geerz, Hildred, 1961. The Javanese Family. A Study of Kinship and Sosialization. New york : The free press of Gleno.

Giddens, Anthony, 1985. Kapitalisme dan Teori Sosial Moderen: Suatu Analisis terhadap Karya Tulis Marx, Durkheim, dan Max Weber. Jakarta : UI Press.

(16)

16 | P a g e

Hart, Gillian. 1986. Power, Labor and Livlihood process of change in rural Java. Berkley – Los Angeles – London: University of California Press.

Irawan, Puguh B. 2003. “Pemanfaatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Konsep dan

Relevansinya dalam Penentuan Prioritas Kebijakan Pembangunan Daerah”:

JAKARTA.

Ismawan, Bambang. 2003. “Merajut Kebersamaan untuk Menanggulangi Kemiskinan”dalam

Jurnal Ekora No. 6, September 2003. YAPPIKA: Jakarta.

Kadariah, Liem Karlina. 1978. Pengantar Evaluasi Proyek. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia: Jakarta.

KKSP, 2008. Pendidikan Alternatif untuk Anak Jalanan. www.kksp.or.id

Lewis, Oscar. 1993. “ Kebudayaan Kemiskinan”. Dalam Parsudi Suparlan (ed). Kemiskinan

di Perkotaan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

LP3ES, 1986. Gelandangan: Pandangan Ilmuan Sosial. LP3ES: Jakarta

LSP, 1985. Nasib Gelandangan Bertahan Sedapatnya. PT. Gunung Agung: Jakarta Murray, Alison, 1994. Pedagang Jalanan dan Pelacur. LP3ES: Jakarta

Netting, Robert McC et.al, 1984. “Notes on yhe History of the Household Concept”. In Netting, Robert McC et al (ed), The Truly Disadvantaged: The Inner City, the Underclass, and Public Policy. Chicago Press

Niehof, Anke, 1982. Women and Fertility in Madura (Indonesia). Leiden PhD Dissertation.

Nurjaya.I.N. 1990. “ Masalah Jaminan Sosial di Daerah Pedesaan: Khusus Jawa “ Makalah

Seminar Nasional Ilmu-ilmu Sosial, Kongres IV Himpunan Indonesia Untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial, Yogyakarta.

Sitorus, M.T.F. et. Al. 1992. Wanita dan Kemiskinan: Studi tentang Status Wanita dalam

Rumahtangga Miskin. Laporan Hasil Penelitian. BOGOR: BPPS Depsos RI- PSP LP

IPB – PSW UNAND.

UNSFIR-UNDP. 2003. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia. UNSFIR-UNDP: Jakarta.

Uphoff, Norman. 1988. “Menyesuaikan Proyek pada Manusia” dalam Michael M. Cernea

(Ed.). Mengutamakan Manusia di dalam Pembangunan. Publikasi Bank Dunia. UI Press: Jakarta.

Widjaja, A.W. 1989. Anak Jalanan. Jakarta : Badan koordinasi Kegiatan Kesejahteraan DKI Jakarta & Jurusan Psikologi UI.

White, Benjamin. 1976. Production and Reproduction in a Javanese Village. Ph.D. issertation, Columbia University.

Putra, Fadillah. 2003. Paradigma Kritis Dalam Studi Kebijakan Publik. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Gambar

Tabel 1. Rumah singgah dan jumlah

Referensi

Dokumen terkait

yang telah dilakukan uji parametrik menggunakan One Way Anova menunjukkan nilai signifikasi yaitu 0,000 (sig<0,05), dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pada

Pengumpulan datanya melalui interview (wawancara) dan dokumentasi. Setelah data terkumpul dianalisis dengan menggunakan deskriptif analisis. Hasil pembahasan menunjukkan

Penelitian tentang modifikasi bentonit dari Kuala Dewa, Aceh Utara menjadi bentonit terpilar alumina dan uji aktivitasnya pada reaksi dehidrasi etanol, 1-propanol dan 2-propanol telah

Pemberian dosis pupuk NPK pada semua perlakuan memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap parameter yang diamati yaitu jumlah daun, jumlah anak cabang, jumlah bunga, jumlah

Segala puji Syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat serta hidyah-Nya yang telah dilimpahkan dan dikaruniakan kepada penulis sehingga dapat menuangkan sebuah

U poljskim ogledima 2014, izvršena je evaluacija dvadeset tri inbred linije kukuruza razli č ite tolerantnosti na stres suše, pra ć enjem morfoloških osobina (visine biljke i

Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu, di Air Terjun Tunan Desa Talawaan Minahasa Utara dan Taman Hutan Raya Gunung Tumpa Manado.Proses penelitian ini

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pemahaman konsep fisika peserta didik yang diajar dan tidak