• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMBANGUN KECERDASAN ANAKUSIA SEKOLAH | Atabik | ELEMENTARY 338 1387 1 PB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MEMBANGUN KECERDASAN ANAKUSIA SEKOLAH | Atabik | ELEMENTARY 338 1387 1 PB"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

MEMBANGUN KECERDASAN ANAK

USIA SEKOLAH

Ahmad Atabik dan Khoridatul Mudhiiah

Dosen Jurusan Tarbiyah STAIN Kudus

Abstract: This article describes about educating school-age children through the development of intelligence through emotional and spiritual intelligence. Is a necessity for parents to pay attention to their children about education and growth? The success of children in adulthood is not only determined because of skill

knowledge (cognitive) alone, but is also inluenced by other factors,

namely the skills and intelligence of emotional intelligence; where children are educated as early as possible to be able to regulate their emotions, as well as spiritual intelligence; which has been introduced since early childhood religion and akhlakul karimah.

Thus, character building has a signiicance that cannot be ignored

by all parents and educators in formal schools. Since small children should begin to be formed character and personality, cognitive intelligence built based on knowledge, emotional intelligence based on controlling and channeling energy toward positive emotions and spiritual intelligence through strengthening religious education and children’s Ruhiyah, as well as the formation of character based on the implementation akhlakul karimah in children. With the building of character and intelligence of these children; child is expected to grow into a man of character that is useful for the homeland, nation and religion.

Key words: Intelligence, Emotional, Spiritual, Children

A. Pendahuluan

Bicara tentang kecerdasan anak tentu dipengaruhi oleh banyak faktor. Perkembangan positif kecerdasan sejak dalam kandungan bisa terjadi dengan memperhatikan banyak hal. Kebutuhan-kebutuhan biologis

(isik) berupa nutrisi bagi ibu hamil harus benar-benar terpenuhi. Seorang

(2)

vitamin dan mineral dapat terpenuhi dengan baik. Selain itu, seorang ibu hamil tidak menderita penyakit tertentu yang akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak dalam kandungannya. Kebutuhan nutrisi calon ibu seharusnya disiapkan sebelum ibu mengandung, bukan hanya ketika ibu mengandung, memperhatikan gizi, makanan, dan komposisi nutrisinya harus lengkap, sehingga ketika ia hamil, dari segi

isik sudah siap dan proses kehamilan akan berlangsung optimal.

Hal lain yang juga penting adalah stimulasi positif, memang dapat meningkatkan kecerdasan anak sejak dalam kandungan. Dari stimulasi ini, diharapkan ketika anak tumbuh, bukan hanya menjadi cerdas, melainkan dapat bersosialisasi dengan lingkungannya. Stimulasi ini menimbulkan kedekatan antara ibu dan anak. Seperti mendengarkan lantunan ayat-ayat al-Qur’an alam Islam, mendengarkan musik klasik menurut sebagian besar ahli psikologi juga dapat mempengaruhi kecerdasan anak sejak dalam kandungan.

Pertumbuhan dan perkembangan anak pada setiap fase sangatlah penting, sebab anak memiliki kecakapan khusus yang dengan sendirinya memerlukan perlakuan khusus pula dari para pendidik. Pertumbuhan

isik, kemampuan berkonsentrasi dan berpikirnya, perkembangan

pengetahuan, dan kemampuannya untuk membuat tradisi-tradisi tertentu serta adaptasinya dengan lingkungan sekitar, semuanya tumbuh secara bertahap, tidak spontan menuju arah kedewasaan dan kematangan (Husain Thaha, 2009: 129).

Pendidikan agama tidak kalah pentingnya untuk ditekankan pada seorang anak dalam rangka membangun karakter positif si anak, seorang anak perlu tahu siapa Allah SWT, bagaimana cara beribadah, cara berdoa dan mengucapkan syukur kepada Allah SWT. Dengan cara menunjukkan gambar, buku, atau cerita-cerita islami yang dapat menginspirasi si anak. Semakin dini kita mengajarkan ibadah shalat, mengaji dan menanamkan hal-hal positif lainnya pada seorang anak, maka akan semakin kuat tertanam akhlak mulia dan keyakinan akan adanya Allah sang Pencipta Alam dan seisinya ini di dalam diri anak kita.

B. Pembentukan Kepribadian Anak

(3)

dasar bagi pembentukan kepribadian dan kesuksesan seseorang di masa

depan. Pada masa ini potensi-potensi isik, intelektual dan mental anak

ditumbuhkembangkan dengan baik. Sehingga kelak dia dapat menimba ilmu pengetahuan, moral dan keterampilan dengan sempurna. Menurut Khairiyah kesemuanya itu dapat ditempuh melalui tiga faktor;. Pendidikan

isik atau jasmani tidak berarti mengembangkan otot-otot dan tenaga saja,

melainkan juga menyiapkan konstruksi isiknya secara sehat dan Pertama,

Pendidikan Jasmani baik. Kita juga harus memperhatikan potensi-potensi biologis yang tumbuh dari jasmaninya dan ekses dari keseluruhannya berupa motivasi – motivasi intrinsik, inklinasi serta potensi-potensi

kejiwaan yang dimilikinya. Kedua, Pendidikan Intelektual. Ketiga,

Pendidikan Rohani. Manusia untuk mencapai hakikat kemanusiaannya yang sejati harus senantiasa membersihkan jiwanya. Upaya-upaya di dalam membersihkan dan mendidik jiwa manusia jika hal ini dibiasakan kepada sang anak secara konsisten, niscaya dia akan tumbuh memiliki mental dan jiwa yang kuat menghadapi berbagai kondisi hidup (Husain Thaha, 2009: 112).

Sedangkan menurut Purwanto (1984: 163)ada beberapa faktor yang

dapat mempengaruhi kepribadian anak yaitu (1) Faktor biologis, Setiap

individu sejak dilahirkan telah menunjukkan adanya perbedaan dalam konstitusi tubuhnya, baik dari keturunan atau pembawaan individu (anak) itu sendiri. Kondisi jasmani yang berbeda-beda itu menyebabkan sikap dan sifat-sifat serta temperamen yang berbeda-beda juga. Jadi konstitusi tubuh individu itu sangat mempengaruhi kepribadian individu. Namun dalam perkembangan dan pembentukan kepribadian selanjutnya, faktor-faktor lain seperti lingkungan dan pendidikan juga mempunyai peranan

dan pengaruhnya. (2) Faktor sosial, Faktor sosial yang dimaksud di sini

(4)

Pengaruh lingkungan keluarga memang sangat berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian anak sejak kecil. Pada masa selanjutnya pengaruh lingkungan sosial yang diterima anak semakin besar dan luas, teman sepermainan, tetangga, lingkungan desa-kota, hingga pengaruh lingkungan di sekolahnya mulai dari guru, teman, kurikulum

sekolah, peraturan- peraturan di sekolah dan lain sebagainya. (3) Faktor

kebudayaan, perkembangan dan pembentukan kepribadian pada masing-masing individu tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan masyarakat di mana individu itu berada dan dibesarkan. Di Indonesia ini misalnya di pedalaman Irian Barat kehidupan mereka tentang tata cara hidup, adat istiadat, kebiasaan, bahasa, kepercayaan, dan sebagainya berbeda dengan daerah dan masyarakat lain di Indonesia, hal ini sangat mempengaruhi perkembangan dan pembentukan kepribadian anak.

Senada dengan Purwanto, dalam “Pengantar Psikologi” Atkinson

dkk (tt.: 202) menyebutkan bahwa pembentukan kepribadian (character

building) anak dipengaruhi beberapa faktor yaitu; adanya pengaruh genetik anak kepada orang tua, pengaruh lingkungan dimana anak berinteraksi dengan teman-temannya lain, dan pengaruh kultural dan budaya yang melingkupi kehidupan seseorang dengan masyarakatnya.

C. Membentuk Karakter Anak

a. Pendidikan Karakter

Banyak pakar menyamakan istilah karakter dengan istilah kepribadian. Tetapi, dalam psikologi yang modern dewasa ini, pemakaian istilah karakter dan kepribadian dibedakan; karakter hanya mengenai beberapa fase khusus dari kepribadian seseorang, sedangkan kepribadian adalah keseluruhan sifat seseorang dan fase dari pribadi manusia (Baharuddin, 2010: 193).

Pendidikan karakter anak sangat penting guna menuntun sang anak menjadi pribadi yang baik, pintar dan bermoral. Sebagai orang tua dan para pendidik hendaknya memanfaatkan masa emas anak untuk memberikan pendidikan karakter yang baik bagi anak. Sehingga anak bisa meraih keberhasilan dan kesuksesan dalam kehidupannya di masa mendatang (Komunitas Institut Ibu Profesional, 2013:149).

(5)

tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain, dan watak. Orang berkarakter berarti orang yang berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, atau berwatak. Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa karakter merupakan watak dan sifat-sifat seseorang dengan yang lainnya. Dari uraian di atas karakter juga bisa berarti kepribadian (Wibowo, 2013: 8-9).

Salah satu faktor yang dapat membentuk karakter anak adalah melalui dongeng. Dongeng merupakan suatu kisah yang diangkat

dari pemikiran iktif dan kisah nyata, menjadi suatu alur perjalanan

hidup dengan pesan moral yang mengandung makna hidup dan cara berinteraksi dengan makhluk lainnya. Dongeng juga merupakan dunia khayalan dan imajinasi dari pemikiran seseorang yang kemudian diceritakan secara turun-menurun dari generasi ke generasi. Dongeng bermanfaat membentuk karakter anak sehingga harus terus dihidupkan terutama oleh kalangan orang tua. Saat ini budaya dongeng dari orang tua kepada anak sudah mulai langka. Untuk itu orang tua diharapkan untuk menghidupkan kembali budaya mendongeng yang dapat memberikan kesan hangat di keluarga. Mendongeng juga dapat meningkatkan kecerdasan anak, sedangkan mendongeng secara rutin cukup efektif dalam mengakrabkan hubungan antara orang tua dengan anaknya. Dongeng juga bisa disukai anak-anak selayaknya seorang anak menyukai makanan favoritnya (Komunitas Institut Ibu Profesional, 2013: 149).

(6)

Banyak cara yang bisa dilakukan orang tua untuk mendidik anak melalui pembangunan karakternya. Salah satunya dengan membacakan dongeng atau cerita. Selain ada hikmah yang bisa dipetik, melalui cerita ini kita juga bisa membangun karakter anak. Seperti kita ketahui, anak menyukai cerita karena dapat memancing imajinasinya. Dengan imajinasinya itu, anak akan berusaha memahami cerita yang disampaikan kepadanya. Sehingga, cerita penuh hikmah menjadi bagian penting dari proses pendidikan anak-anak (Alimah dkk, 2012: 149-150).

b. Pentingnya Dongeng dalam Membentuk Karakter Anak

Dongeng bermanfaat membentuk karakter anak sehingga harus terus dihidupkan terutama oleh kalangan orang tua. Saat ini budaya dongeng dari orang tua kepada anak sudah mulai langka. Untuk itu orang tua diharapkan untuk menghidupkan kembali budaya dongeng yang dapat memberikan kesan hangat di keluarga. Mendongeng juga dapat meningkatkan kecerdasan anak, sedangkan mendongeng secara rutin efektif dalam mengakrabkan hubungan antara orang tua dengan anaknya (Alimah dkk, 2012: 150).

Melalui dongeng anak bisa belajar kosakata baru, belajar untuk mengekspresikan perasaan senang, sedih, marah, serta menyerap nilai-nilai kebaikannya. Kepada orang tua atau guru yang hendak mendongeng hendaknya tanpa menggunakan media, melainkan hanya lewat gerakan suara, maupun ekspresi sehingga anak bisa berimajinasi. Jika menggunakan media, imajinasi anak kurang terlatih karena gambarnya sudah bisa dilihat langsung (Alimah dkk, 2012: 152).

Pentingnya dongeng bisa di uraikan sebagai berikut: Pertama,

tiga hal yang tidak pernah ditolak oleh anak yaitu mendongeng,

bermain dan hadiah. Kedua, dongeng dapat mengubah karakter

anak tanpa menyakiti, malah justru dengan penuh keceriaan. Ketiga,

mengembangkan imajinasi. Keempat, membantu menyadarkan

kekuatan diri. Kelima, mempermudah pemenuhan harapan dan

keinginan anak.

(7)

Pada dasarnya dunia anak-anak adalah dunia bermain. Dengan bermain anak-anak menggunakan otot tubuhnya, menstimulasi indra-indra tubuhnya, mengeksplorasi dunia sekitarnya, menemukan seperti apa lingkungan yang ia tinggali dan menemukan seperti

apa diri mereka sendiri. Lewat bermain, isik anak akan terlatih,

kemampuan kognitif dan kemampuan berinteraksi dengan orang lain akan berkembang. Bermain tentunya merupakan hal yang berbeda dengan belajar dan bekerja (Saptono, 2011: 45).

Terkait dengan permainan, dongeng ternyata bisa menjadi sarana rekreasi yang sifatnya permainan sekaligus belajar. Dongeng bisa menjadi satu bentuk arahan dari orang tua agar anak mempunyai lebih banyak porsi pembelajaran di dalam bermain. Karena dalam dongeng banyak sekali unsur-unsur yang dapat mengembangkan berbagai segi kecerdasan anak. Peragaan dalam cerita dongeng memberi anak kemampuan akting yang berguna untuk mengungkapkan atau mengekspresikan emosinya, dan banyak lagi yang lainnya (Saptono, 2011: 46).

Seorang anak terutama masa kanak-kanak, lebih menyukai pada hal-hal yang konkret, yang dapat disaksikan langsung oleh matanya., didengar langsung oleh telinganya, diraba langsung oleh tangannya dan dapat dihirup oleh hidungnya. Untuk keperluan ini, metode penyampaian lewat cerita sangat tepat dan menarik untuk diterapkan. Oleh sebab itu, semestinya seorang ibu tidak meremehkan manfaat dari metode cerita ini dalam mendidik anak-anaknya. Seorang ibu harus mempunyai wawasan yang memadai tentang kisah para Nabi beserta para sahabat, ataupun kisah tentang tokoh-tokoh tabiin yang berpengaruh. Bila kisah-kisah seperti ini diceritakan kepada anak-anak maka akan mempunyai pengaruh positif dalam menanamkan nilai-nilai yang utama dan mengembangkan kepribadian mereka secara utuh, baik mental, intelektual ataupun spiritual (Saptono, 2011: 47).

Nilai-nilai keimanan, makna tolong menolong, rasa cinta dan keikhlasan misalnya, akan mudah diterima dan dipahami oleh anak

bila disampaikan dengan metode igurasi dan pemberian model.

(8)

tertentu. Di dalam sebuah cerita, anak akan melihat atau mendengar langsung sejumlah tokoh atau peristiwa yang menjadi panutan, di mana nilai-nilai tersebut melekat dalam ingatan dan kasatmata. Sehingga anak pun dapat memahaminya dengan mudah dan mantap, dengan demikian, metode cerita merupakan faktor pendidikan yang bersifat mengasah intelektual dan amat berpengaruh di dalam menanamkan nilai-nilai akidah dan moralitas Islam yang benar. Tentu saja cerita yang disampaikan hendaknya sesuai dengan usia dan tingkat perkembangan anak (Thaha, 2005: 175).

Melalui cerita yang disampaikan orang tua kepada anaknya, anak akan merasa dirinya seperti pahlawan sebagaimana yang ditokohkan di dalam cerita tersebut. Di akan merasa hidup di alam serba nyata, bersama para Nabi, pahlawan, pemimpin maupun penguasa. Ketika anak dirangsang oleh kisah-kisah kenabian yang dinukil dari al-Qur’an, maka seolah-olah dia merasa hidup pada masa Nabi. Dan

seakan turut merasakan peristiwa itu (Alimah dkk, 2009 :151).

Ketika orang tua ingin menanamkan sifat lemah lembut serta tidak suka membalas dendam kepada orang lain, dia dapat menceritakan kepada anaknya kisah tentang Nabi Muhammad Saw. saat menghadapi orang Yahudi, yang selalu meletakkan kotor itu. Dan bila seorang Ibu ingin menanamkan nilai-nilai sosial dan suka mengutamakan orang lain, di dapat menceritakan kepada anaknya kisah Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang bersedia mata demi kemaslahatan hidup Nabi Muhammad, yaitu ketika orang-orang Quraisy sepakat membunuh Nabi Muhammad, Maka Ali bersedia tidur menggantikan Rasulullah di tempat tidur (Thaha, 2005: 175).

D. Membangun Kecerdasan Kognitif Anak

Tingkat kecerdasan merupakan perkembangan kognisi atau intelek atau akal seseorang yang dapat dilihat dengan mengikuti tes kecerdasan atau yang akrab disebut tes intelegensi. Perkembangan kognisi atau perkembangan intelek adalah pandangan umum dalam psikologi yang digunakan untuk menjelaskan perkembangan cara berpikir yang dimiliki oleh manusia (Wulan, 2011: 3).

(9)

sekolah atau diterima kerja. Orang tua mana yang tidak bangga bila tes IQ buah hatinya menunjukkan angka yang tinggi. Padahal kenyataannya hidup seseorang tidaklah bergantung pada IQ. IQ bukanlah satu-satunya patokan utama untuk menilai seseorang cerdas atau tidak.

Salah satu tanggung jawab terbesar seorang ibu adalah menumbuhkan kesadaran intelektual anaknya sejak masa kanak-kanak hingga dewasa. Sang ibu harus mengajar dan membiasakannya untuk menimba berbagai sumber peradaban dan sains. Ada beberapa cara dan

metode untuk meningkatkan kecerdasan intelektual pada anak; Pertama,

Orang tua hendaknya menumbuhkan kesadaran untuk mendengar

dan mengingat hal-hal positif pada diri anak. Kedua, Menumbuhkan

kesadaran untuk membaca buku pada diri anak dengan cara menyediakan perpustakaan mini di kamar anak yang terdiri dari buku-buku tentang pengetahuan agama Islam, pengetahuan umum serta keterampilan yang bermanfaat bagi masa depan anak sesuai dengan usia, perkembangan

serta kemampuannya. Ketiga, Mencarikan teman-teman sepergaulan

yang memiliki kecerdasan dan keunggulan ilmiah memadai. Sehingga diharapkan bisa mempengaruhinya dalam berperilaku secara ilmiah (Thaha, 2009:118-119). Jika potensi intelektual mereka tidak diisi dengan hal-hal positif, bisa jadi mereka akan menyimpang dari jalan yang benar dan tidak memikul serta meneruskan perjuangan umat di masa mendatang.

Di sekolah bisa dilihat beberapa ciri pembelajaran dalam pandangan kognitif antara lain; guru menyediakan berbagai pengalaman belajar bagi siswa secara konkret, guru menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar bagi siswa, guru berusaha mengintegrasikan proses pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan dalam kehidupan nyata siswa, guru berusaha mengintegrasikan proses pembelajaran dengan memanfaatkan berbagai media pembelajaran dan guru melibatkan siswa

aktif secara isik, emosional dan sosial (Irham dan Wiyani, 2013:181).

E. Membangun Kecerdasan emosional anak

a. Pengertian kecerdasan emosi

(10)

bukunya “Emotional Intelligence” (1995), dalam penelitiannya menyebutkan bahwa kesuksesan seseorang ditentukan oleh beberapa hal di antara yaitu: 20% kecerdasan intelektual, 80% kecerdasan emosional, sosial dan spiritual, IQ tinggi berarti EQ turun (Alimah dkk., 2013: 60). Beberapa fakta menunjukkan bahwa anak dianggap sukses apabila mereka memiliki nilai rapor yang bagus dan memiliki kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi. Sungguh dilematis rasanya, kenapa kita hanya menilai anak dari segi IQnya saja padahal segi EQ dirasa lebih penting untuk membentuk moral dan karakter yang baik (Wulan, 2011: 60-61).

Kebanyakan mereka yang memiliki IQ tinggi akan lemah di EQ, sebagai contoh anak yang sangat pandai dan selalu juara kelas, secara mental ia akan cepat putus asa dan emosinya mudah meluap. Namun yang terjadi sebaliknya, jika dari kecil kita latih kecerdasan emosionalnya maka kecerdasan intelektualnya juga akan melejit. Semua anak pada dasarnya adalah cerdas, namun kecerdasan harus kita maknai secara bijak. Kecerdasan Intelektual (IQ) akan membuat anak menjadi pandai, Kecerdasan Emosional (EQ) akan membuat anak mudah mengendalikan diri sedangkan Kecerdasan Spiritual (SQ) pada anak memungkinkan hidupnya penuh arti.

Orang tua yang ingin anaknya mempunyai anak yang cerdas secara emosionalnya, harus mengadakan kerjasama dengan anaknya.

Orang tua, terutama ibu harus bisa menjadi uswatun hasanah (suri

tauladan yang baik) agar anak dapat meniru setiap kebaikan dari orang tuanya. Faktor keteladanan inilah yang akan memberikan sumbangsih

yang signiikan dalam membentuk kecerdasan emosional anak.

Kecerdasan emosional anak yang disebut dengan istilah emotional

intelligence dapat dibentuk oleh orang tua (terutama peran ibu) sejak anak usia dini. Dalam artian anak dalam usia dini akan lebih mudah dibentuk karakter dan dibangun kecerdasan emosionalnya. Manfaat lain dari pendidikan emosi dari keluarga adalah pada perkembangan kecerdasan kognisi anak. Anak dari orang tua yang terampil emosional lebih mudah berkonsentrasi dan menerima pengetahuan-pengetahuan baru (Wulan, 2011: 15).

(11)

bisa mengambil tindakan yang positif sebagi respons dari munculnya perasaan itu. Anak tersebut juga mampu merasakan perasaan orang lain yang bisa menanggapinya secara proporsional. Banyak anak sulit diatur karena proses pengendalian diri lemah, hal ini disebabkan karena kecerdasan emosional tidak diasah (Alimah dkk, 2013: 62). Kecerdasan emosional yang dimiliki seorang anak akan dengan mudah membentuk anak yang berkarakter, berkepribadian dan berjiwa tinggi. Bahkan sering kita dengar suatu ungkapan yang mengatakan bahwa apa artinya anak dengan kecerdasan intelektual yang tinggi namun mempunyai jiwa yang mudah marah, tidak bisa menahan emosi, mudah gelisah, dan hal negatif lainnya yang berkaitan dengan

kondisi emosional anak. Intinya, pengendalian emosi (emotional

control), menitik beratkan pada penekanan reaksi yang tampak terhadap rangsangan yang menimbulkan emosi.

b. Perkembangan emosi anak

Pendidikan emosi anak dimulai dari lingkungan keluarga. Orang tua yang terampil dalam memberikan pendidikan emosi kepada anak-anaknya memiliki anak yang mampu bergaul dengan baik, populer di kalangan teman-teman , dan menurut para guru anak tersebut tidak memiliki masalah perilaku seperti kasar atau agresif (Wulan, 2011: 16). Hasil pendidikan emosi dari keluarga adalah pertumbuhan anak yang bebas dari stres dan tekanan batin dan mampu menenangkan dirinya saat menghadapi berbagai macam emosi dari dalam diri. Dengan demikian anak tersebut juga terlihat lebih santai dan memiliki

kondisi isik yang sehat.

Hurlock (1997: 214) memberikan pemaparan tentang metode belajar yang dapat menunjang perkembangan emosi pada anak usia

dini; pertama, anak melakukan belajar dengan mencoba-coba, hal

ini bertujuan untuk mengekspresikan emosi dalam bentuk perilaku yang memberikan pemuasan terbesar kepadanya dan menolak perilaku yang memberikan pemuasan sedikit atau sama sekali tidak

memberikan pemuasan. Kedua, anak belajar dengan cara meniru.

Ini dimaksudkan agar anak-anak dapat bereaksi dengan emosi dan metode ekspresi yang sama dengan orang-orang yang diamatinya.

(12)

dan tergugah oleh rangsangan yang sama dengan rangsangan yang

telah membangkitkan emosi orang yang ditiru. Keempat, anak belajar

melalui pengkondisian. Dalam metode ini yang menjadi obyek dan situasi yang pada mulanya gagal memancing reaksi emosional anak

kemudian dapat berhasil dengan cara asosiasi yang efektif. Kelima,

mengadakan pelatihan belajar pada anak di bawah bimbingan dan pengawasan terbatas pada aspek reaksi yaitu reaksi yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Peran orang tua, guru dan lingkungan sekitar sangat menentukan dalam proses belajar anak.

Perkembangan emosional merupakan perkembangan perilaku anak dalam mengendalikan dan menyesuaikan diri dengan aturan-aturan masyarakat dimana anak itu berada. Anak dapat meningkatkan peran dan aktualisasi diri sesuai gendernya. Goleman (dalam Wulan, 2011: 15) menambahkan bahwa kemampuan anak dalam mengendalikan emosinya akan membawa kemudahan bagi mereka dalam berkonsentrasi, sehingga proses menerima dan mengingat informasi dan pengetahuan juga meningkat. Dapat disimpulkan bahwa tingkat kecerdasan emosi anak yang tinggi akan memudahkan mereka dalam menjalani proses belajar di lingkungan luas. Menurut teori yang dikemukakan Goleman, kecerdasan emosi sudah dimiliki anak sejak dilahirkan di dunia.

Lebih lanjut Goleman (dalam Wulan, 2011: 15) menyebutkan bahwa pembentukan kecerdasan emosi adalah perkembangan dari 5

wilayah utama yang dimiliki manusia. Pertama, kesadaran diri. Hal

yang menjadi inti dalam kecerdasan emosi adalah mengenali emosi diri pada saat perasaan itu muncul. Ketidakmampuan untuk menyadari perasaan diri sendiri membuat anak di bawah kekuasaan emosi.

Kedua, pengendalian diri. Dengan pengendalian emosi, seseorang akan mampu untuk beradaptasi dengan perubahan perasaannya

baik yang sifatnya positif ataupun negatif. Ketiga, motivasi diri.

Motivasi diri berkaitan dengan kemampuan seorang untuk menata emosinya, memusatkan perhatian pada perasaan yang positif dan mengesampingkan perasaan yang bersifat negatif.

(13)

serius terhadap perasaan anak kemudian berupaya untuk memahami hal-hal yang menjadi penyebab timbulnya perasaan tersebut (Wulan, 2011: 38). Usaha ini dapat dilanjutkan dengan membantu jalan keluar yang positif serta memberi ketenangan pada anak.

Perkembangan emosi anak juga tidak dapat dilepaskan dari pendidikan play group dan taman kanak-kanaknya, karena perkembangan kecerdasan emosi anak akan terjadi pada waktu tersebut. Goleman menjelaskan bahwa keberhasilan di TK bukan hanya ditentukan oleh kemampuan intelektual anak, melainkan ukuran emosional dan sosial anak tersebut. Beberapa ukuran tersebut

meliputi, pertama, keyakinan pada diri sendiri dan memiliki minat.

Kedua, mengerti harapan-harapan sosial mengenai perilaku anak.

Ketiga, mampu mengendalikan diri untuk tidak melakukan hal-hal

yang tidak sewajarnya. Keempat, dapat mengikuti petunjuk dan

perintah dari orang lain. Kelima, tahu kapan saatnya harus minta

tolong atau bertanya kepada guru. Keenam, mampu mengungkap

kemauan dan kebutuhannya saat bergaul dengan teman sebaya (Wulan, 2011: 39).

F. Membangun Kecerdasan Spiritualitas Pada Anak

a. Sifat Fitrah anak

Secara itrahnya, Allah telah meletakkan kepada hati setiap

orang tua rasa cinta dan kasih sayang terhadap anak-anak mereka. Perasaan inilah yang mendorong mereka mengasuh, membimbing dan mendidik anak-anaknya agar kelak menjadi generasi yang saleh dan salehah, berbakti kepada orang tua, agama, nusa dan bangsa. Tanpa perasaan seperti ini, tidak mungkin mereka dapat bersabar atau bersedia bersusah-payah, menderita, memikul beban nafkah yang amat berat dengan bekerja keras, dan bahkan tidak kenal istirahat demi memberikan pelayanan kepada anak-anaknya –baik di bidang kesehatan, kebersihan, makanan bergizi, pendidikan dan fasilitas layak lainnya (Thaha, 2009: 145).

(14)

pemberani dan dapat menjaga kehormatan diri, maka anak-anaknya akan tumbuh dengan perangai-perangai yang terpuji pula. Sebaliknya, bila orang tua tidak mempunyai perangai terpuji, maka anak-anaknya pun tumbuh menjadi pribadi yang suka berdusta, pengecut dan suka berkhianat. Sebab, kendatipun seorang anak mempunyai pembawaan

yang baik dan itrah yang suci, tetapi jika tidak mendapatkan didikan,

pendidikan dan teladan yang baik, terarah dan sehat, maka tidak

mustahil dia akan menyimpang dari itrah kepribadiannya (Thaha,

2009: 147).

b. Pendidikan ruhiyyah orang tua terhadap anak

Di dalam Islam kita banyak menjumpai ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi yang menjelaskan tentang pendidikan orang tua terhadap anaknya, bagaimana seharusnya pendidikan orang tua terhadap anaknya, atau pendidikan apa saja yang harus diberikan orang tua kepada anak-anaknya. Sebagai contoh, dalam surat Lukman ayat 13 sampai 19 menerangkan tentang pendidikan Lukman al-Hakim kepada putranya. Berikut adalah pendidikan Lukman al-Hakim terhadap putranya.

Pendidikan pertama: Menjauhi berbuat syirik, Allah swt.

berirman:

ٌميِظَع ٌمْلُظَل َكْرِشلا َنِإ ِ َلاِب ْكِرْشُت َل َيَنُب اَي ُهُظِعَي َوُهَو ِهِنْب ِل ُناَمْقُل َلاَق ْذِإَو

Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada

anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.” (QS. Lukman: 13).

Ayat di atas dapat dipahami bahwa Lukman memberikan

pendidikan dengan cara menasihati (mauidzah) putranya. Mauidzah

(15)

mengajak putranya untuk senantiasa menyembah Allah yang Maha Esa.

Pada hakikatnya, pendidikan pertama orang tua terhadap kepada anak-anaknya adalah pendidikan tentang pengesaan Allah. Cara yang bisa dilakukan orang tua adalah dengan memperkenalkan Allah kepada anak-anaknya sedini mungkin. Bahkan sejak masih dalam kandungan sebaiknya orang tua juga memperkenalkan Allah dengan cara membaca al-Qur’an di hadapan janinnya. Seorang ibu yang sedang hamil dianjurkan untuk sering-sering membaca al-Qur’an agar anak yang masih dalam kandungan menjadi teduh dan mengenal sang Khaliknya sejak dini.

Pendidikan orang tua tentang keesaan Allah juga bisa ketika anak mulai belajar bicara. Orang tua sering mengenalkan nama Allah dengan mengajari doa-doa tertentu dalam setiap aktivitasnya, mulai bangun tidur hingga hendak tidur kembali. Pendidikan orang lain terhadap anaknya bisa melalui cerita nabi-nabi terdahulu yang mengajak para kaumnya untuk senantiasa menyembah Allah yang Esa.

Pendidikan kedua: Berbakti pada orang tua, Allah berirman:

يِل ْرُكْشا ِنَأ ِنْيَماَع يِف ُهُلاَصِفَو ٍنْهَو ىَلَع اًنْهَو ُهُمُأ ُهْتَلَمَح ِهْيَدِلاَوِب َناَسْنِ ْلا اَنْيَصَوَو

ُريِصَمْلا َيَلِإ َكْيَدِلاَوِلَو

Artinya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik)

kepada dua orang ibu- bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu” (QS. Lukman: 14).

اَيْنُدلا يِف اَمُهْبِحاَصَو اَمُهْعِطُت َلَف ٌمْلِع ِهِب َكَل َسْيَل اَم يِب َكِرْشُت ْنَأ ىَلَع َكاَدَهاَج ْنِإَو

َنوُلَمْعَت ْمُتْنُك اَمِب ْمُكُئِبَنُأَف ْمُكُعِجْرَم َيَلِإ َمُث َيَلِإ َباَنَأ ْنَم َليِبَس ْعِبَتاَو اًفوُرْعَم

Artinya: “Dan jika keduanya memaksamu untuk

(16)

ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan” (QS. Lukman: 15).

Kedua ayat di atas menjelaskan tentang pendidikan Lukman kepada putra untuk senantiasa berbakti kepada kedua orang tuanya. Pentingnya pendidikan berbakti kepada orang tua mengingat orang tua sebagai sosok yang sentral dalam kehidupan seseorang. Tanpa kehadiran orang tua seseorang tidak akan dapat hadir dan hidup dalam kehidupan ini. Di antara kedua orang tua, seorang ibu sangat berperan dalam kehidupan dan pendidikan anak. Ibu telah payah dan lemah ketika mengandung dan menyusui anaknya.

Terkait pembimbingan, seorang ibu berperan sebagai

pembimbing pertama dalam dunia ini (al-umm madrasatul ula).

Seorang ibulah yang setiap hari memberi kasih sayang kepada anak-anaknya, mulai bangun tidur sampai menjelang tidur kembali. Seorang ibu yang menyuapi anaknya, yang memberikan cerita-cerita setiap kali anaknya hendak tertidur. Atas semua jasa orang tua terhadap anaknya, Allah memberi penghargaan orang tua, dengan menyandingkan keridhaan keduanya dengan ridha-Nya.

Semua perintah orang tua harus ditaati oleh anak-anaknya, karena pada hakikatnya orang tua senantiasa membimbing kebaikan kepada anak-anaknya. Namun hanya ada satu pendidikan yang boleh ditolak oleh seorang anak, yaitu pendidikan yang mengarahkan kepada maksiat kepada Allah. Jika keduanya memaksa untuk berbuat syirik dan maksiat lainnya, justru seorang anak boleh tidak menaatinya dengan cara-cara yang santun.

Pendidikan ketiga: Setiap perbuatan jelek sekecil apapun

akan dibalas oleh Allah, Allah berirman:

ِضْرَ ْلا يِف ْوَأ ِتاَواَمَسلا يِف ْوَأ ٍةَرْخَص يِف ْنُكَتَف ٍلَدْرَخ ْنِم ٍةَبَح َلاَقْثِم ُكَت ْنِإ اَهَنِإ َيَنُب اَي

ٌريِبَخ ٌفيِطَل َ َه َنِإ ُ َه اَهِب ِتْأَي

Artinya: “(Lukman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya

(17)

mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (QS. Lukman: 16).

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa kezaliman dan kesalahan meskipun seberat biji sawi akan dihadirkan Allah di hari kiamat di

hari penimbangan amal perbuatan manusia (Ibnu Katsir,1997: 417).

Dalam hal ini orang tua harusnya membimbing anak-anaknya agar menyadari bahwa setiap perbuatannya senantiasa diawasi oleh Allah melalui dua malaikatnya, yaitu Raqib dan Atid. Setiap ucapan yang keluar dari mulut seseorang tidak akan lepas dari pengawasan dua malaikat itu. Apabila seseorang selalu sadar bahwa gerak geriknya senantiasa diawasi, maka ia hanya akan berbuat kebaikan saja. Setiap kebaikan akan diganjar oleh Allah dengan sebaik-baik ganjaran, sebaliknya perbuatan sekecil apapun juga akan dibalas oleh Allah dengan balasan yang setimpal.

Pendidikan orang tua dalam hal ini sangat penting untuk mengarahkan anaknya agar tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang melenceng. Pendidikan dan pendampingan orang tua kepada anaknya harus senantiasa dilakukan terutama pada masa-masa remaja, di saat mereka mulai ingin menampakkan jati dirinya, di saat remaja mulai mengenal dan mencintai lawan jenisnya, dan di saat mereka mulai mencapai masa pubertasnya. Di saat inilah orang tua wajib lebih banyak meluangkan waktunya untuk memberikan pendidikan dan pendampingan kepada anak-anaknya supaya tidak melakukan hal-hal yang menyimpang dari dari agama dan budaya masyarakatnya.

Pendidikan keempat: mendirikan shalat, memerintahkan perbuatan baik, mencegah kemungkaran dan bersabar terhadap

setiap cobaan. Allah swt. berirman,

َكِلَذ َنِإ َكَباَصَأ اَم ىَلَع ْرِبْصاَو ِرَكْنُمْلا ِنَع َهْناَو ِفوُرْعَمْلاِب ْرُمْأَو َة َلَصلا ِمِقَأ َيَنُب اَي

ِروُمُ ْلا ِمْزَع ْنِم

Artinya: “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah

(18)

yang diwajibkan (oleh Allah)” (QS. Lukman: 17).

Ini merupakan pendidikan rohani Lukman kepada putranya. Pendidikan rohani orang tua kepada anaknya yang terpenting adalah shalat, amar ma’ruf nahi mungkar dan perintah untuk bersabar terhadap musibah. Pendidikan shalat harus dimulai sejak dini. Orang tua harus membimbing anaknya bagaimana wudhu yang baik dan bacaan-bacaan dan gerakan-gerakan shalat yang baik. Orang tua juga senantiasa membimbing anaknya agar menganjurkan berbuat baik dan menjauhi berbuat mungkar. Orang tua juga harus memberikan pendidikan kepada anaknya kesabaran, dimulai dari orang tua sendiri berlaku sabar atas segala kesulitan dan musibah yang menerpa dirinya.

Al-Syaukani menjelaskan pentingnya pendidikan tiga ibadah ini untuk disampaikan kepada anak-anaknya. Tiga ibadah ini merupakan induk ibadah dan landasan dasar seluruh kebaikan. Karena itu Allah dalam akhir ayat ini menjelaskan bahwa, sesungguhnya pendidikan

shalat, amar ma’ruf nahi mungkar dan berlaku sabar atas segala

kesulitan dan musibah termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah) (Al-Syaukani, 1998: 348).

Pendidikan kelima: bersikap santun dan tidak berlaku

sombong kepada orang lain, Allah swt. berirman:

ٍروُخَف ٍلاَتْخُم َلُك ُبِحُي َل َ َه َنِإ اًحَرَم ِضْرَ ْلا يِف ِشْمَت َلَو ِساَنلِل َكَدَخ ْرِعَصُت َلَو

Artinya: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari

manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. Lukman: 18).

(19)

dibanding orang lain yang ada di sekitarnya.

Pendidikan keenam: bersikap sederhana dan rendah diri

(tawadhu’) kepada orang lain, Allah berirman:

ِريِمَحْلا ُتْوَصَل ِتاَوْصَ ْلا َرَكْنَأ َنِإ َكِتْوَص ْنِم ْضُضْغاَو َكِيْشَم يِف ْدِصْقاَو

Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (QS. Lukman: 19).

Pendidikan lain orang tua kepada anak-anaknya terkait akhlak mulia di antaranya dengan sikap tawadhu’ dan santun dalam berbicara. Orang tua harus mencontoh anaknya dalam mengendalikan ucapannya agar bisa berbicara dengan lembut dan santun. Seorang anak senantiasa meniru apa saja yang dilakukan orang tua dan orang-orang di sekitarnya. Maka pendidikan yang baik adalah dengan cara memberikan contoh-contoh yang baik kepada anak-anaknya, mulai

dari ucapan dan perbuatan. Allahu a’lam

G. Simpulan

Pembentukan Kepribadian Anak dipengaruhi banyak faktor di antaranya pendidikan jasmani (biologis), pendidikan intelektual, pendidikan rohani, sosial dan kebudayaan. Pendidikan karakter sejak masa kanak-kanak sangatlah penting agar kelak ketika dewasa anak menjadi pribadi yang baik, pintar dan bermoral. Masa emas anak-anak harus disadari oleh lingkungan rumah, sosial, sekolah sebagai masa yang sangat menentukan kepribadian anak di masa mendatang.

(20)

dengan kecerdasan IQ dan EQ. Di dalam Islam kita banyak menjumpai ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi yang menjelaskan tentang pendidikan orang tua terhadap anaknya hal ini terkait dengan kecerdasan spiritual anak, di antara pendidikan itu yaitu menjauhi berbuat syirik, berbakti pada orang tua, setiap perbuatan jelek sekecil apapun akan dibalas oleh Allah, mendirikan shalat, memerintahkan perbuatan baik, mencegah kemungkaran dan bersabar terhadap setiap cobaan, bersikap santun dan tidak berlaku sombong kepada orang lain, bersikap sederhana dan rendah diri (tawadhu’) kepada orang lain.

(21)

DAFTAR PUSTAKA

Aden Rangga, Serba-serbi Pendidikan Anak, Yogyakarta: Siklus, 2011.

Agus Wibowo, Manajemen Pendidikan Karakter di Sekolah: Konsep dan

Praktik Implementasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013. Al-Syaukani, TafsirFathul Qadir, Beirut: Dar al-Fikr, 1998.

Baharuddin, Psikologi Pendidikan (Releksi Teoretis Terhadap

Fenomena), cet. Ke-3, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010.

Elisabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, Jilid I, Jakarta: Airlangga,

1997.

Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Beirut: Dar Kutul al-Ilmiyyah,

1997.

Khairiyah Husain Thaha, Ibu Ideal: Peranannya dalam mendidik dan

Membangun Potensi Anak, Surabaya: Risalah Gusti, 2009.

Komunitas Institut Ibu Profesional, 12 Ilmu Dasar Mendidik Anak,

Jakarta: Gazza Media, 2013.

M.Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, Bandung: Remaja Karya,

1984.

Muhamad Irham dan Novan Ardy Wiyani, Psikologi Pendidikan (Teori

dan Aplikasi dalam Proses Pembelajaran), Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013.

Niken TF Alimah dkk, Bunda Sayang: 12 Ilmu Dasar Mendidik Anak,

Jakarta: Gazza Media, 2012.

Ratna Wulan, Mengasah Kecerdasan Pada Anak, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2011.

Retno Listyarti, Pendidikan Karakter dalam Metode Aktif, Inovatif dan

Kreatif, Jakarta: Erlangga, 2012.

Rita L. Atkinson dkk., Pengantar Psikologi, Edisi kesebelas, Jilid 2,

Batam: Interaksara, tt.

Rose Mini dkk. dalam Familia, Perilaku Anak Usia Dini; Kasus dan Pemecahannya, Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Saptono, Dimensi-Dimensi Pendidikan Karakter, Wawasan, Strategi,

(22)

Soemiarti Patmonodewa, Pendidikan Anak Prasekolah, Jakarta: Rineka Cipta, 2003.

Tim Pustaka Familia, Warna-warni Kecerdasan Anak dan

Referensi

Dokumen terkait

Pengelolaan kebudayaan dan kepariwisataan pada satu kawasan merupakan upaya dalam mensinergiskan berbagai kepentingan sebagaimana makna dari suatu kawasan merupakan

Sarung tangan yang kuat, tahan bahan kimia yang sesuai dengan standar yang disahkan, harus dipakai setiap saat bila menangani produk kimia, jika penilaian risiko menunjukkan,

KOMUNIKASI ANTAR KELOMPOK MASYARAKAT BERBEDA AGAMA DALAM MENGEMBANGKAN RELASI DAN TOLERANSI SOSIAL (Studi kasus pada masyarakat desa Ngadas suku tengger kecamatan

Dari perbandingan pasangan basa dari ketiga sekuen rusa tersebut menunjukkan bahwa antara rusa sambar dan rusa timor memperlihatkan kemiripan nukleotide yang lebih tinggi dalam hal

terhadap penilaian kinerja UPTD parkir sendiri dalam pelaksanaan pengawasan parkir di kota Pekanbaru khususnya di Kecamatan Sukajadi, dilihat dari adanya

1. Kesatuan merupakan prinsip yang utama di mana unsur-unsur seni rupa saling menun+ang satu sama lain dalam mementuk k$mp$sisi yang agus dan serasi. !ntuk

Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi Jawa Timur didorong utamanya oleh komponen Konsumsi yang pada triwulan III-2008 ini mampu tumbuh lebih tinggi.. Di sisi lain,

Di Indonesia ada penelitian mengenai perilaku seks pranikah, antara lain penelitian yang dilakukan Pawestri dan Dewi Setyowati (2012) juga melakukan