BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 49 Volum e 5, Nom or 2 , A gust us 2007
CAKRAW ALA HUKUM
Oleh : Tim Direktorat Hukum
DISKUSI DENGAN UNCITRAL DAN “ELECTRONIC EVIDENCE &
E-DISCOVERY FORUM”
PENDAHULUAN
Dalam rangka mendalami substansi
materi dan untuk mendapatkan
masukan-masukan terkait dengan
pembahasan Rancangan
Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE), telah
dilakukan beberapa kegiatan,
diantaranya yaitu:
a. melakukan diskusi dengan
UNCITRAL di Austria (Wina);
b. mengikuti pelaksanaan seminar
dalam Electronic Evidence &
E-Discovery Forum di Victoria Park
Plaza Hotel London.
Kegiatan tersebut, disamping untuk
penyempurnaan materi terkait
pembahasan RUU ITE, juga membahas isu-isu yang terkait
dengan penanganan kasus-kasus
yang berhubungan dengan data
elektronik, baik dari sisi litigasi
maupun penyediaan perangkat
peraturan perundang-undangan, khususnya yang terkait dengan bukti
elektronik/digital.
Disamping itu, kegiatan tersebut
terkait pula dengan pembahasan
RUU lain, seperti RUU tentang
Transfer Dana, RUU tentang
Perbankan, RUU tentang Perbankan
Syariah, RUU tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dan rencana
penyusunan RUU tentang Electronic
M oney.
Pelaksanaan
Diskusi di Wina Austria dilakukan dengan pejabat UNCITRAL pada tanggal 20 Agustus 2007. Sedangkan dalam kegiatan
Electronic Evidence & E-Discovery
Forum yang dilakukan pada tanggal
19-20 September 2007 di London, para pembicara terdiri dari praktisi dan akademisi yang berasal dari berbagai perusahaan dan lembaga, yaitu M errill Lynch & Co., Pfizer, Pw C, Vodafone UK, UBS AG, Aon Risk Consulting, Ovum, Guidance Softw are Inc., Control Risks, Verizon Communications US, Financial Engines US, Cranfield University UK, University of London, dan London School of Economics.
A.
HASIL DISKUSI DENGAN
UNCITRAL
1. UNCITRAL sebagai salah satu
organisasi internasional di baw ah
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 50 Volum e 5, Nom or 2 , A gust us 2007
(PBB) mendukung dan
mengembangkan pembahasan
mengenai perkembangan
teknologi informasi dan
dampaknya terhadap perniagaan
elektronik. Hasil dari UNCITRAL berupa M odel Law yang bersifat
tidak mengikat, namun menjadi
acuan atau modal bagi
negara-negara untuk mengadopsi atau
memberlakukannya dalam
hukum nasional masing-masing negara.
(i) UNCITRAL M odel Law on
E-Commerce
a. UNCITRAL telah menyusun
sebuah M odel Law mengenai
E-Commerce yang menjadi dasar
dan kerangka untuk
pembentukan hukum
E-Commerce di banyak negara.
The M odel Law on Electronic
Commerce yang terakhir beserta
pedoman pelaksanaannya, pertama kali dikeluarkan pada
tahun 1995. Satu tahun
kemudian UNCITRAL menyetujui
M odel Law tersebut dengan
Resolusi 51/162 pada tanggal 16
Desember 1996, dan telah diamandemen kembali pada
bulan Juni 1998. UNCITRAL
M odel Law merupakan landasan
untuk mengatur otentikasi,
perlengkapan, dan dampak
pesan elektronik berbasis komputer dalam perdagangan.
M odel Law ini berisi tentang :
- Definisi kontrak elektronik
dan pengaturan penerimaan
dan kekuatan pembuktian
dari bukti elektronik;
-
Pengaturan yang didasarkanpada prinsip non-diskriminasi;
-
Pengaturan e-commercesecara spesifik untuk
perundang-undangan
nasional atau
undang-undang lain yang dibuat oleh negara/negara bagian;
-
M emberikan aturan yangpasti untuk transaksi yang
berbasis elektronik.
b. M odel Law terdiri dari 17 (tujuh
belas) pasal yang dibagi ke dalam dua bagian. Definisi dari “ pesan
data elektronik” ialah
mengumpulkan, mengirimkan,
menerima dan menyimpan
informasi dalam bentuk
elektronik, optik, atau bentuk
lain seperti electronic data
interchange (EDI), surat
elektronik, telegram, telex atau
telecopy.
Dalam Pasal 1 dan Pasal 2,
definisi perdagangan dalam arti luas diinterpretasikan sebagai
kegiatan bisnis dan
meng-investasi-kan modal yang berasal
dari berbagai macam hubungan
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 51 Volum e 5, Nom or 2 , A gust us 2007
c. M odel Law menyatakan
interpretasi peraturan ini dengan
niat baik dan harus sesuai
dengan:
-
prinsip hukum internasional;-
persyaratan khusus unt ukmendorong keseragaman
dalam aplikasi (Pasal 3).
d. Dalam meratifikasi M odel Law ,
setiap pihak dapat mengubah
atau mengadopsinya sesuai
dengan kebutuhan.
Sejak M odel Law disetujui oleh
M ajelis Umum PBB pada
Desember 1996, banyak hal yang
berkaitan dengan E-Commerce
(Konvensi dan M odel Law ) yang
dikembangkan, antara lain mengenai:
-
tanda tangan elektronik;-
transaksi elektronik;-
privasi;-
keamanan informasi yangtermasuk pula keamanan
cyber, cyber crime and Public
Key Infrastructure.
e. Kajian yang hampir diselesaikan
sebagai sebuah M odel Law
adalah mengenai Kontrak
Elektronik secara On-line
(On-line Electronic Contracting).
Peraturan ini berdasarkan
Konvensi PBB tentang Jual Beli
Barang Internasional (United
Nations Sale of Goods
Convention) dan ditujukan untuk
memfasilitasi arbitrase on line
dan proses penyelesaian
sengketa. Ini juga bertujuan
menyelesaikan masalah
mengenai penggunaan dokumen kertas yang makin sedikit,
khususnya pada industri
transportasi.
(ii) UNCITRAL M odel Law on
Electronic Signatures
a. The UNCITRAL M odel Law on
Electronic Signatures of 2001
(the 2001 M odel Law ) diadopsi
sebagai implementasi dari
UNCITRAL M odel Law on
Electronic Commerce. M odel Law
2001 ini disusun untuk membantu negara dalam
mengharmonisasikan,
memodernisasikan, dan
menciptakan secara lebih efektif
mengenai tanda tangan
elektronik.
b. Salah satu dasar penyusunan
adalah Pasal 7 dari UNCITRAL
M odel Law on Electronic
Commerce sebagai pemenuhan
fungsi tanda tangan di dunia
elektronik.
c. Tujuan dari M odel Law adalah
memberikan dasar hukum untuk
menggunakan tanda tangan
elektronik dan perlakuan yang
sama terhadap dokumentasi
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 52 Volum e 5, Nom or 2 , A gust us 2007
d. Berdasarkan prosedur yang
dijelaskan pada M odel Law,
negara yang menggunakan
dapat menetapkan suatu
‘lingkungan yang netral secara
media’ (media–neutral
environment).
e. M odel Law 2001 ini
memperhatikan prinsip bahw a
tidak adanya diskriminasi
terhadap berbagai teknik yang
mungkin dapat dipakai untuk berkomunikasi atau disimpannya
informasi secara elektronik
(technology neutrality).
(iii) UNCITRAL M odel Law On
International Credit
Transfers
a. UNCITRAL M odel Law on
International Credit Transfer
(M LICT) memuat
ketentuan-ketentuan mengenai transfer
dana yang dilakukan secara lintas
batas, yakni transfer dana yang dilakukan oleh bank pengirim
(sending bank) dan bank
penerima (receiving bank) yang
berada di negara yang berbeda.
b. M LICT mengartikan “ transfer
dana” secara luas, yakni serangkaian kegiatan yang
diaw ali dari perintah pengirim
mengenai pembayaran berupa
sejumlah dana tertentu kepada
penerima.
Kata tersebut juga mencakup
setiap perintah pembayaran oleh
bank pengirim asal atau setiap
bank penerus guna
melaksanakan perintah
pembayaran dari pengirim asal.
Serangkaian kegiatan dalam
cakupan transfer dana ini juga
tidak terbatas pada kegiatan
transfer dana yang dilakukan dari
suatu komputer ke komputer lain
atau kegiatan transfer yang dilakukan secara elektronik,
tetapi termasuk juga serangkaian
kegiatan yang dilakukan dengan
perintah pembayaran melalui
pengurusan dokumen-dokumen
perintah pembayaran.
c. M LICT bersifat terbuka dan tidak
eksklusif, artinya para pihak
dapat membuat ketentuan atau
persyaratan-persyaratan yang
mereka sepakati di samping
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam MLICT. Namun
demikian terdapat pula
ketentuan yang dimuat dalam
M LICT dimana para pihak tidak
dapat menyimpanginya.
Hal ini semata-mata karena beberapa aturan atau pasal
dalam M LICT yang bersifat
memaksa, yakni Pasal 5 ayat (3),
14 ayat (2) dan 17 ayat (7). Para
pihak yang tunduk terhadapnya
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 53 Volum e 5, Nom or 2 , A gust us 2007
juga termasuk orang per
orangan.
d. Perancang M LICT menyadari
betul kemungkinan adanya
saling keterkaitan (perselisihan)
hukum yang lahir dari adanya transfer dana yang bersifat lintas
batas negara ini.
Apabila terjadi konflik hukum,
terdapat kebebasan para pihak
untuk menentukan hukum mana
yang berlaku untuk mengatur hak dan kew ajiban mereka.
Perancang M LICT dalam Artikel Y
mengenai Conflict of Law s,
dengan tegas menyatakan
bahw a ” The rights and
obligation arising out of a payment order shall be governed
by the law chosen by the
parties.”
e. Namun apabila para pihak tidak
menentukan sendiri hukum apa
yang akan berlaku, alternatif kedua yang dapat dilakukan
menurut perancang MLICT yang
secara tegas mengemukakan
hukum yang akan berlaku adalah
hukum dari (negara) bank
penerima guna mengatur hak dan kew ajiban para pihak
sebagai akibat dari adanya
transfer dana internasional.
Perancang M LICT menyatakan:
“ In the absence of agreement,
the law of the State of receiving
bank shall apply”.
f. Dalam artikel Y, Conflict of Law s
M LICT juga menegaskan bahw a
apabila suatu negara terdiri dari
beberapa bagian atau beberapa
w ilayah di mana masing-masing
memiliki hukum yang berbeda, maka setiap bagian atau setiap
w ilayah yang memiliki hukum
masing-masing tersebut harus
dianggap sebagai bagian
terpisah dari negara (induk)-nya
(separate state). Hal ini tampaknya semata-mata juga
diciptakan agar terjadi kepastian
hukum dalam menerapkan
M LICT ini, yaitu bahw a MLICT ini
hanya berlaku untuk transaksi
transfer dana yang bersifat “ lintas batas negara” saja.
g. M LICT menegaskan bahw a
ketentuan-ketentuannya tidak
mengatur kapan pelaksanaan
suatu perintah pembayaran
terhadap suatu perintah bersyarat yang diterima oleh
suatu bank.
M LICT juga tidak berlaku
mempengaruhi setiap hak dan
kew ajiban dari pengirim suatu
instruksi bersyarat yang tergantung pada apakah
syarat-syarat tersebut telah terpenuhi.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 54 Volum e 5, Nom or 2 , A gust us 2007
a. UNCITRAL Working Group
tentang Electronic Commerce
telah menyusun draft konvensi
mengenai kontrak elektronik.
Tujuan dari draft konvensi ini
ialah untuk menghapuskan hambatan hukum dalam
pembentukan kontrak yang
digunakan dalam komunikasi
secara elektronik.
b. Draft kontrak ini tidak
dimaksudkan untuk mengarah kepada masalah substansi seperti
elemen materi tentang
penaw aran dan penerimaan,
atau hak dan kew ajiban dari para
pihak. Draft ini cenderung
ditujukan untuk memperjelas atau mengadaptasi peraturan
tradisional dalam pembentukan
kontrak, untuk mengakomodasi
kenyataan dalam kontrak
elektronik. Draft konvensi ini
mengarah kepada masalah seperti lokasi para pihak, w aktu
terjadinya kontrak, perbedaan
antara penaw aran dan undangan
untuk membuat penaw aran,
w aktu dan tempat untuk
menaw arkan dan menerima, transaksi otomatis, dan informasi
yang harus tersedia bagi para
pihak.
c. Konvensi ini dapat menjadi
kontribusi bagi kepastian hukum
atau dugaan komersial yang dianggap sebagai instrumen
tambahan dari United Nations
Convention on International
Sales of Goods terutama yang
berkaitan dengan segala aspek
kontrak elektronik.
2. Dalam pertemuan dengan
pejabat UNCITRAL tersebut,
bahan diskusi yang mengemuka
adalah mengenai:
a. pesatnya penggunaan
teknologi informasi dalam
kegiatan transaksi elektonik.
b. hambatan-hambatan dalam
penerapan transaksi
elektronik yang berupa faktor
keamanan penggunaan
media elektronik dalam
melakukan transaksi elektronik.
c. kejahatan dan kerugian yang
dialami para pihak dalam
transaksi elektronik.
d. pilihan hukum bagi para
pelaku transaksi elektronik.
e. beberapa pengertian terkait
dokumen elektronik, sistem
elektronik, informasi
elektronik, dan tanda tangan
elektronik;
f. harapan dari UNCITRAL
bahw a Indonesia dapat
berperan dalam memberikan
masukan terkait penyusunan
kajian-kajian yang dilakukan
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 55 Volum e 5, Nom or 2 , A gust us 2007
M engenai faktor keamanan
penggunaan media elektronik dalam
transaksi elektronik, pihak UNCITRAL
mengemukakan berbagai upaya
yang telah dilakukan dalam rangka
meminimalisir risiko tersebut, antara lain melalui penggunaan teknologi
pengamanan yang memadai,
standar-standar pengamanan yang
harus dipenuhi, maupun ancaman
pidana yang diterapkan oleh
beberapa negara terkait dengan jenis kejahatan tersebut.
Karena bersifat lintas negara,
UNCITRAL juga mengemukakan
kesulitan yang dialami oleh
beberapa negara terkait
penanganan dan penyelesaian dalam transaksi elektronik.
B.
HAL-HAL PENTING YANG
DIBAHAS DALAM ELECTRONIC
EVIDENCE & E-DISCOVERY
FORUM .
Dalam Electronic Evidence &
e-Discovery Forum yang dilaksanakan
di Victoria Park Plaza Hotel London
terdapat beberapa hal yang penting,
yaitu:
1. Strategi dan kebijakan dalam
pengelolaan data elektronik;
2. Pendeteksian dan penanganan
krisis;
3. Analisis forensik;
4. Kepatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan tentang
pengelolaan data elektronik;
5. M anajemen dan pencegahan
krisis.
Electronic Evidence & e-Discovery
Forum tersebut diadakan mengingat
banyaknya kasus penting (high
profile cases) yang telah terjadi serta
terkait pula dengan data elektronik
di Amerika dan negara-negara di
Eropa. Kerugian yang ditimbulkan dan biaya untuk penanganan
kasus-kasus tersebut terhitung sangat
besar. Disamping itu, dalam proses
penanganan kasus-kasus tersebut
juga menimbulkan banyak masalah
bagi perusahaan atau lembaga terkait lainnya.
Berdasarkan pengalaman tersebut,
setiap negara seharusnya memang
memiliki kebijakan yang jelas dan
peraturan perundang-undangan
terkait penyimpanan data elektronik untuk mencegah tindak pidana dan
memberikan kepastian hukum
dalam proses penanganannya.
Terkait dengan kasus-kasus t ersebut
di atas, selain dibutuhkan sistem
hukum yang baik dan peraturan perundang-undangan yang
komprehensif, dibutuhkan pula
investigasi forensik terhadap
data-data yang mencakup beberapa
tahun sebelumnya yang jumlahnya
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 56 Volum e 5, Nom or 2 , A gust us 2007
Proses investigasi tersebut dapat
melibatkan multi jurisdiksi,
mengingat komunikasi dan transaksi
elektronik dengan melintasi batas
banyak negara saat ini sudah sangat
umum dilakukan. Oleh karena itu, penanganan kasus terkait data
elektronik juga akan melibatkan
hukum internasional dan hukum
nasional yang berlaku di
masing-masing negara-negara yang terkait.
Penyusunan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan data elektronik merupakan
pekerjaan yang berat dan sulit,
karena harus memperhatikan
berbagai aspek hukum nasional
(misalnya keterkaitan dengan Undang-Undang lain), dan harus
memperhatikan aspek hukum
internasional pula.
Ketiadaan peraturan
perundang-undangan tentang data elektronik
pada suatu negara dapat mengakibatkan tidak terlindunginya
kepentingan w arga negara dan/atau
negara yang bersangkutan.
Keterkaitan Dengan Pembahasan
RUU ITE
Terdapat beberapa hal yang menjadi sorotan para pembicara dalam
Electronic Evidence & E-Discovery
Forum tersebut, diantaranya:
1. Kebutuhan perangkat hukum
yang komprehensif untuk
melindungi data yang disimpan
secara elektronik (Electronically
Stored Information).
Terdapat sistem dan perangkat
hukum yang berbeda-beda
mengingat setiap negara
memiliki spesifikasi hukum masing-masing. Selain itu, setiap
negara juga memiliki kebutuhan
yang berbeda-beda pula,
tergantung pada tingkat
kemajuan teknologi dan sistem
yang ada di negara yang bersangkutan. Namun demikian,
peraturan perundang-undangan
dimaksud tetap harus
memperhatikan hukum
internasional maupun konvensi
yang telah diterima secara internasional, mengingat setiap
negara pasti memiliki keterkaitan
dengan negara lain.
2. Adanya peraturan
perundang-undangan mengenai data
elektronik harus dapat memberikan perimbangan antara
penggunaan data elektronik
dengan perlindungan terhadap
data pribadi yang tersimpan
secara elektronik, sehingga
tujuan dari peraturan dimaksud tidak melanggar kepentingan
pribadi w arga negaranya.
3. Bagi suatu lembaga, dibutuhkan
beberapa perangkat untuk
mendukung perlindungan data
elektronik, diantaranya:
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 57 Volum e 5, Nom or 2 , A gust us 2007
b. peraturan internal;
c. standar kepatuhan;
d. internal law yer.
4. Otoritas harus mengeluarkan
ketentuan yang mengatur
tentang perlindungan terhadap data elektronik di industri yang
berada di baw ah pengaw asan
otoritas dimaksud.
5. Untuk menjamin perlindungan
data, terdapat 3 (tiga) faktor
yang harus dipenuhi dalam rangka pelaksanaan ketentuan
tentang kepatuhan, yaitu:
a. M anajemen informasi, yang
mencakup proses:
?
perolehan data;?
penyimpanan data;?
pencarian informasi(search) dan penarikan
informasi (retrieval);
?
penghapusan informasi;?
jalur kerja (w orkf low);b. Analisis informasi, yang
mencakup:
?
proses memperolehinformasi;
?
mengetahui pentingnyasuatu informasi;
?
penafsiran;?
penambahan data.c. Keamanan informasi, yang
mencakup:
?
mencegahpenyalahgunaan
informasi;
?
pembatasan danpengaw asan akses
(role-based access control);
?
pemisahan tugas;?
manajemen kebijakan;?
pemeriksaan (audit).6. Dalam rangka perlindungan data
elektronik, diperlukan data-data
yang dapat digunakan sebagai alat bukti terhadap pelanggaran
ketentuan. Alat bukti dimaksud
diperlukan untuk:
a. memitigasi dan mengontrol
kerugian.
b. kepentingan asuransi.
c. menggugat pihak ketiga.
d. M engantisipasi adanya klaim
dari pihak ketiga.
e. membantu aparat penegak
hukum.
7. Untuk mencegah risiko yang
dapat timbul dari
penyalahgunaan data elektronik,
dibutuhkan Forensic Readiness
Plan, antara lain dengan
membuat:
a. Identifikasi ancaman
terhadap organisasi;
b. Evaluasi karyaw an dan
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 58 Volum e 5, Nom or 2 , A gust us 2007
c. Skenario tentang risiko yang
mungkin timbul;
d. Crisis M anagement Plan.
Dalam penyusunan suatu peraturan
perundang-undangan nasional di
b id an g cyber, setiap negara harus memperhatikan hukum internasional
maupun konvensi yang telah
diterima secara internasional. Hal ini
terkait dengan transaksi cyber yang
bersifat lintas batas (borderless) dan
bersifat global. Sedangkan ketiadaan peraturan perundang-undangan
bidang cyber pada suatu negara
akan mengakibatkan tidak
terlindunginya kepentingan w arga
negara dan/atau negara yang
bersangkutan.
Dalam masalah pembuktian atau
data-data yang dapat digunakan
sebagai alat bukti, dalam forum ini
diingatkan kembali tentang
pentingnya pengelolaan data
elektronik. Oleh karena itu, pengaturan tentang pengelolaan
data elektronik dalam suatu
perundang-undangan menjadi hal
yang dirasakan penting.
Dalam hal ini RUU ITE telah
mengatur mengenai kew ajiban setiap penyelenggara elektronik
untuk memenuhi persyaratan
minimum dalam pengelolaan data
elektroniknya. Sistem elektronik
tersebut harus dapat menampilkan
kembali informasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem
elektronik yang telah berlangsung,
dapat melindungi keotentikan,
integritas, kerahasiaan, ketersediaan,
dan keteraksesan dari informasi
elektronik, serta memiliki mekanisme
yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan
pertanggungjaw aban prosedur.
Terkait dengan alat bukti, dapat
dikemukakan bahw a peranan
data-data elektronik tersebut tidak
semata-mata hanya sebagai alat bukti di pengadilan yang selalu
berkaitan dengan masalah
ketentuan hukum/ketentuan
perundang-undangan, namun
peranan yang tidak kalah penting
adalah dalam memitigasi risiko dan mengontrol risiko bisnis suatu
perusahaan atau lembaga, yang
lebih banyak terkait dengan
kepentingan dan strategi bisnis dari
masing-masing perusahaan atau
lembaga. Dengan demikian sudah tepat bahw a materi RUU ITE yang
sedang dibahas saat ini model
pengaturannya bersifat
komprehensif, yaitu bahw a materi
yang diatur mencakup hal yang lebih
luas meliputi aspek hukum perdata, hukum pidana, hukum acara dan