INVENTARISASI PERMASALAHAN PERIKANAN
TANGKAP DI WPP IX (SAMUDERA HINDIA B)
PENDAHULUAN
Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas yaitu sekitar 3,1 juta km2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km2 wilayah perairan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia. Wilayah perairan Indonesia memiliki potensi sumberdaya ikan yang sangat besar, diperkirakan sebesar 6,41 juta ton. Potensi tersebut terdiri atas ikan pelagis besar 1,17 juta ton, ikan pelagis kecil 3,61 juta ton, ikan demersal 1,37 juta ton, ikan karang 145,25 ribu ton, udang penaeid 94,80 ribu ton, lobster 4,80 ribu ton dan cumi-cumi 28,25 ribu ton. Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JBT) adalah 80% dari potensi lestari atau sekitar 5,12 juta ton pertahun (PRPT 2001).
Untuk memudahkan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan, berdasarkan kesepakatan para pakar, peneliti dan praktisi perikanan maka telah ditetapkan pembagian wilayah yang dikenal dengan WPP (Wilayah Pengelolaan Perikanan) dengan mempertimbangkan aspek biologi dan lingkungan sumberdya ikan. Terdapat 9 (sembilan) WPP yang ditetapkan yaitu : WPP 1 (Selat Malaka); WPP 2 (Laut Cina Selatan); WPP 3 (Laut Jawa); WPP 4 (Flores dan Selat Makassar); WPP 5 (Laut Banda); WPP 6 (Laut Arafuru); WPP 7 (Laut Seram dan Teluk Tomini); WPP 8 (Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik); dan WPP (Samudera Hindia) (Barani, 2004).
Wilayah Pengelolaan Perikanan Samudera Hindia B (WPP IX) merupakan wilayah perairan terbuka yang terdiri dari wilayah perairan selatan jawa, bali dan nusa tenggara. Luas wilayah mencakup wilayah perairan territoril dan perairan ZEE Indonesia. Perairan tersebut memiliki potensi sumberdaya ikan yang potensial. Potensi lestari untuk Wilayah Pengelolaan Samudera Hindia B belum ada, tetapi untuk WPP IX yang melipu ti Barat Sumatera, Selatan Jawa sampai dengan Selatan Flores diperkirakan sebesar 1,08 juta ton , dengan produksi pada tahun 2001 sebesar 623,78 ribu ton atau baru dimanfaatkan 57,92% (Nurani, 2008).
ISSU, POTENSI, MASALAH DAN TANTANGAN
1. Potensi perikanan dan kelautan
Potensi lestari, produksi dan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah pengelolaan perikanan Samudera Hindia (WPP IX) tahun 2001.
Kelompok
Ketidakjelasan data jumlah tangkapan yang diperbolehkan (Total Allowable Catch, TAC). Sebabnya, (i) data yang digunakan selama ini kurang valid yakni data produksi dan jenis tangkapan yang diambil dari sentral-sentral pendaratan ikan. Padahal, data-data itu sebagian besar tidak dilaporkan dan didaratkan di pelabuhan perikanan terdekat, (ii) metode perhitungan yang digunakan masih menggunakan Maximum Sustainable Yield (MSY) yang tidak cocok diterapkan pada perairan tropis karena keragaman spesies tinggi dan kelimpahan rendah. Akan lebih valid menggunakan metode kelimpahan jenis (diversity) ketimbang MSY sehingga dapat menghitung nilai TAC termasuk perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).
2. IUU di Perairan Samudera Hindia
Tindak pidana perikanan tiap daerah 2001-2005
Kota/Kab 2001 2002 2003 3004 2005
Aceh 2 21 - -
-Sumber: Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Perikanan (tidak dipublikasikan).
3. Konflik sosial nelayan
Sumberdaya ikan masíh dianggap memiliki sifat terbuka (open access) dan milik bersama (commom property), artinya setiap orang mempunyai hak untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut. Persoalan hak pemanfaatan tidak hanya melibatkan satu pihak, yakni masyarakat local atau nelayan, tetapi juga pihak-pihak lain seperti pengusaha dan pemerintah. Berbagai pihak yang memiliki kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya alam sering berbenturan sehingga menimbulkan konflik. Setiap pengguna sumberdaya merasa memiliki hak yang sama dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut. Sifat pemanfaatan sumberdaya yang demikian akan mengakibatkan konflik antar pengguna sumberdaya, khususnya antar kelompok nelayan (Christy 1987).
Kasus konflik sosial nelayan di Kabupaten Prigi
Jenis Tahun Pihak Penyebab
Pengguna
Nelayan banyuwangi dan Blitar menggunakan potas untuk
menangkap ikan di terumbu karang Nelayan
Lokal vs andon
2001 Payang andon pasurua vs nelayan lokal
Nelayan lokal cemburu karena hasil tangkapan nelayan andon lebih banyak
Bagi hasil 2003 -2004
Juragan vs ABK purse seine
tangkapa sebelum dibawa ke TPI Alat tangkap 1979,
2001 Nelayan purse seine vs nelayan pancing Nelayan purse seine vs nelayan payang
Kecemburuan nelayan local terhadap nelayan andon.
Nelayan purse Seine menganggap adanya rumpon menghambat mobilitas ikan ke perairan pantai. Penggunaan lampu (ancoran) yang berlebihan oleh nelayan payang menyebabkan nelayan purse Seine kesulitan melihat gerombolan ikan (gadangan).
Daerah
tangkap 1998- 1999 2000,
Nelayan payang andon (pasuruan) vs nelayan pancing lokal
Nelayan payang, purse seine vs nelayan jaring tarik
Nelayan andon menangkap ikan di fishing ground nelayan lokal. Zona jaring tarik dimasuki oleh nelayan payang dan nelayan purse seine.
Pengolahan
limbah 2001, 2003 Pengolah ikan asin vs pengelolah obyek wisata
Pengolah ubur-ubur vs masyarakat
Pengolahan ikan asin di wilayah wisata.
Pengolah ubur-ubur membuang limbah langsung ke sungai.
Perusakan terumbu karang
2001 Stakeholder pro lingkungan vs masyarakat tidak peduli lingkungan
Masyarakat mengambil karang dan biota laut untuk cendra mata dan bahan bangunan.
Kasus konflik sosial nelayan di Teluk Sendang Biru
Jenis Tahun Pihak Penyebab
Retribusi 2004 Nelayan, Pemda Propinsi Jatim, Pemkab Malang dan KUD
Besaran retribusi (5%) yang ditetapkan dalam Perda. Nelayan bersedia membayar 5% dengan syarat fasilitas PPI di perbaiki. Konflik hak pengelolaan retribusi dari PPI sendang biru antara kabupaten dengan propinsi.
Tambat
Labuh 2004 Nelayan vs nelayan, Pemda Propinsi Jatim
Jumlah kapal yang berlabuh tidak seimbang dengan fasilitas tambat labuh.
Daerah
Tangkap 2003 -2004 Sekoci lokal vs sekoci andon Nelayan payang vs nelayan sekoci Sekoci lokal vs longline dr Benoa
Jumlah rumpon di fishing ground tidak memadai (jumlah sekoci 111
sementara rumpon hanya 3 unit). Kecemburuan nelayan payang atas hasil nelayan sekoci yang lebih banyak.
Longline menangkap ikan di daerah rumpon sekoci.
Local vs andon
1997 Nelayan local vs sekoci andon
Kecemburuan karena nelayan andon memperoleh tangkapan lebih banyak. Penggunaan
potas/obat-obatan
1996 Nelayan Tambakrejo vs nelayan sendang biru
Kasus konflik sosial nelayan di Teluk Popoh
Jenis Tahun Pihak Penyebab
Alat tangkap 2004 Nelayan gillnet dasar vs nelayan pancing
Perbedaan persepsi (pemahaman) terhadap alat tangkap, nelayan pancing menuduh bahwa jaring gillnet dasar menutupi karang hingga mati. Bagi hasil 2004 ABK vs Juragan
purse seine
Sistem bagi hasil yang dinilai tidak adil oleh juragan.
Retribusi 2004 Bakul vs pengelolah
daerah wisata Bakul keberatan membayar retribusi yang besarnya Rp 500,-/basket setiap membawa ikan keluar areal
PPI/wisata.
Pengelola wisata mengeluhkan bau dari usaha perikanan
Daerah
tangkap 2004 Nelayan pancing local vs nelayan payang andon
Kecemburuan nelayan local terhadap nelayan andon atas hasil tangkapan
Pengunaan
Nelayan blitar vs nelayan local
Nelayan menuduh penggunaan obat-obatan pengusaha tambak udang yang membunuh ikan disekitar pantai. Nelayan blitar menggunakan
compresor dan potas untuk menangkap ikan karang.
4. Aksesibiltas Pasar yang sulit
Faktor geo-topografi penting untuk mendapatkan perhatian dalam pengembangan perikanan, terkait dengan aksesibilitas pusat-pusat kegiatan perikanan yang ada. Sebagian besar wilayah pantai selatan jawa merupakan wilayah pegunungan kapur yang tandus, dengan morfologi berbukit-bukit dan bergunung-gunung pada ketinggian sekitar 500 – 1000 m di atas permukaan laut (dpl). Lokasi basis penangkapan berada di lokasi terisolir, dengan prasarana jalan dan sarana transportasi terbatas. Keadaan tersebut diduga menjadi salah satu sebab sulitnya akses pemasaran (Nurani, 2008).
sehingga dapat menjamin pasar bagi produk yang dihasilkan, aksesibilitas atau kemudahan akses dimaksudkan bahwa daerah produksi mudah diakses pasar. Aksesibilitas terkait dengan kemudahan suatu lokasi dijangkau dengan berbagai sarana trasportasi. Transportasi merupakan faktor penting untuk dapat mendistribusikan ikan ke tempat-tempat tujuan pasar.
5. Pencemaran laut (kasus tumpahan minyak)
Dari seluruh perairan Indonesia, wilayah yang rentan terhadap pencemaran yang diakibatkan oleh tumpahan minyak adalah Selat Malaka, Samudera Hindia, Selat Makasar, Pelabuhan, dan jalur-jalur laut atau selat yang dilalui oleh tangker. Posisi strategis tersebut disamping memberikan manfaat secara ekonomi, dilain pihak juga mengandung resiko terhadap bahaya kerugian dari segi ekologis. Kerugian secara ekologis tersebut berdampak cukup luas baik secara ekonomis maupun kerusakan sumberdaya alam. Tabel 1 di bawah ini menyajikan beberapa kasus tumpahan minyak besar yang terjadi di perairan Indonesia.
Tabel 1. Kejadian Tumpahan Minyak di perairan Indonesia Dari Tahun 1975 - 2001
No Tahun Lokasi Kejadian
1. 1979 Buleleng, Bali Pecahnya Kapal Tanker Choya Maru dan Menumpahkan 300 ton Bensin.
2. 1994 Cilacap Tabrakan Antara Tanker MV. Bandar Ayu Dengan Kapal Ikan
3. 1999 Cilacap Robeknya Tanker MT. King Fisher Dengan Menumpahkan 640 ribu liter Minyak dan Mencemari teluk Cilacap Sepanjang 38 Km.
No Tahun Lokasi Kejadian
Asphalt Curah
5. 2001 Tegal – Cirebon Tenggelamnnya Tanker Stedfast Yang Mengangkut 1.200 ton Limbah Minyak.
Sumber : Mass Media dan Berbagai Sumber.
6. Karakteristik Wilayah
Samudera Hindia Bagain Timur merupakan perairan yang unik karena letak geografisnya. WPP ini langsung berbatasan dengan perairan laut lepas dan memiliki wilayah pengelolaan ZEEI (Zona Ekonomi Esklusif Indonesia) bila dibandingkan dengan WPP yang lainnya. Bagian barat berbatasan dengan WPP IX (Samudera Hindia B) yaitu Sumatera bagian barat. Bagian Timur berbatasan dengan Laut Timor. Bagian Utara berbatasan dengan Pulau Jawa dan bagian Selatan berbatasan dengan laut lepas samudera hindia (Goal, 2003).
Jarang sekali terdapat tempat-tempat pendaratan yang memiliki kolam pelabuhan, ketiadaan fasilitas itu sangat menyulitkan tugas para nahkoda dan anak buah kapal. Mereka terpaksa menambatkan kapal/perahunya dalam beberapa deretan, seringkali jauh dari dermaga atau bahkan harus meninggalkan zona pelabuhan hanya untuk berlabuh di pantai, mengalami banyak kesulitan untuk melakukan persiapan melaut ( bahan makanan, bahan bakar, es, dsb), mendaratkan hasil tangkapan dan mengirimnya sampai kepelelangan ikan dalam kondisi higienis dan keamanan yang baik (Lubis dkk, 2005).
REFRENSI
Barani, H.M. 2004. Pemikiran Percepatan Pembangunan Perikanan Tangkap melalui Gerakan Nasional. Makalah individu Pengantar ke Falsafah Sains Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
Budiono, A. 2005. Keefektivan Pengelolaan Konflik pada Perikanan Tangkap di Perairan Selatan Jawa Timur. Disertasi Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
Christy, Francis T. 1987. Hak Penggunaan Wilayah pada Perikanan Laut: Defenisi dan Kondisi dalam Firial Marahuddin dan Ian R. Smith (Peny). Ekonomi Perikanan: dari Pengelolaan ke Permasalahan Praktis. Gramedia. Jakarta.
Darmawan. 2006. Analisis Kebijakan Penanggulangan IUU-Fishing dalam Pengelolaan Perikanan Tangkap Indonesia. Disertasi Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
Gaol, J.L. 2003. Kajian Karakter Oseanografi Samudera Hindia Bagian Timur dengan Menggunakan Multi Sensor Citra Satelit dan Hubungannya dengan Hasil Tangkapan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus). Disertasi Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
Kaleka, D.M.W. 2006. Analisis Pengembangan Armada Perikanan Tangkap di Perairan Kabupaten Kupang Nusa Tenggara Timur. Disertasi Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
Lubis E., Pane A.B., dan Kurniawan Y. 2005. Atlas Perikanan Tangkap dan Pelabuhan Perikanan di Pulau Jawa : Suatu Pendekatan Geografi Perikanan Tangkap Indonesa. PK2PTM. Lembaga Penelitian IPB. Bogor.
Nurani, T.W. 2008. Pengembangan Perikanan Berbasis Karakteristik Spesifik Potensi Daerah. disertasi Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.