• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahasa Ibu diantara Diversivikasi Kultural Pada Destinasi Wisata Internasional.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bahasa Ibu diantara Diversivikasi Kultural Pada Destinasi Wisata Internasional."

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING

BAHASA IBU

DIANTARA DIVERSITAS KULTURAL

PADA DESTINASI WISATA

INTERNASIONAL

TIM PENELITI NIDN

Ketua : Dr. Ni Luh Nyoman Seri Malini, M.Hum 0029056907 Anggota :

1 Dra. Luh Putu Laksminy, M.Hum 0006026104 2 Drs. I Ketut Ngurah Sulibra, M.Hum 0031126517

Dibiayai oleh

Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Pelaksanaan Penelitian Nomor : 17/UN14.2/PNL.01.03.00/2015, tanggal 3 Maret 2015

UNIVERSITAS UDAYANA

NOVEMBER 2015

(2)

DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN SAMPUL ... 1

LEMBAR PENGESAHAN ... 2

DAFTAR ISI ... 3

RINGKASAN ... 4

BAB I. PENDAHULUAN ... 5

1.1 Latar Belakang ... 5

1.2 Tujuan Khusus ... 5

1.3 Urgensi Penelitian ... 6

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA... 7

2.1 Kajian Pustaka ... 7

2.2 Peta Jalan Penelitian ... 10

BAB III. METODE PENELITIAN... 12

3.1 Lokasi Penelitian ... 12

3.2 Jenis dan sumber Data Penelitian ... 12

3.3 Instrumen Penelitian ... 12

BAB IV . HASIL DAN PEMBAHASAN ... 15

DAFTAR PUSTAKA ... 16

(3)

RINGKASAN

Tujuan jangka panjang penelitian ini adalah untuk menemukan model pemertahanan bahasa ibu di daerah tujuan wisata internasional di Bali . Tujuan khususnya adalah untuk mengetahui dan menganalisis model pemertahanan bahasa Bali oleh masyarakat Bali khususnya generasi muda di Provinsi Bali yang meliputi 1) pola-pola pemakaian bahasa Bali oleh generasi muda di Bali dan 2) sikap bahasa generasi muda terhadap bahasa Bali. Lokasi penelitian ini di daerah Bali bagian Selatan dan Timur seperti Sanur (kota Denpasar), Kuta (kabupaten Badung),dan Ubud (kabupaten Gianyar) dan pada Bali bagian barat (Tanah Lot) dan bagian Utara (Lovina). Data dijaring menggunakan metode observasi dan menyebarkan kuesioner, dibantu dengan teknik wawancara, dan teknik catat. Sample penelitian ini adalah anak-anak dan remaja yang dilahirkan di Bali dan menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa ibu. Teknik quota diterapkan untuk menetapkan jumlah anggota sampel tiap golongan yaitu masing-masing sebanyak 25 orang. Data dianalisis menggunakan metode kualitatif dan kuantatif, kemudian disajikan dengan metode formal dan informal. Dengan menggunakan teori pilihan bahasa dan teori perubahan bahasa diharapkan dapat ditarik generalisasi model pemertahanan bahasa ibu di daerah multilingual. Model pemertahanan ini sangat signifikan untuk diketahui agar sistem dan mekanisme pewarisan bahasa baik yang dilakukan pada ranah formal maupun informal dapat dilakukan dengan tepat dan terarah yaitu agar mampu mewujudkan diversitas kultural, memelihara identitas etnis, memungkinkan adaptabilitas sosial, secara psikologis menambah rasa aman bagi anak, dan meningkatkan kepekaan linguistis.

(4)

. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bahasa Bali adalah salah satu bahasa yang digunakan sebagai bahasa ibu oleh masyarakat Bali dan juga merupakan salah satu elemen budaya Bali. Bahasa Bali terkategori sebagai bahasa yang aman karena memiliki penutur di atas dua juta, memiliki tradisi tulis yang kuat dan memiliki peranan sebagai pendukung kebudayaan daerah (Alwi, 2001). Seiring dengan perkembangan jaman dan munculnya berbagai destinasi wisata nternasional di Bali, menuntut masyarakat sekitar destinasi wisata mampu berbahasa asing utamanya bahasa Inggris dengan baik. Masyarakat sekitar destinasi wisata pada akhirnya cenderung menjadi bilingual bahkan multilingual khususnya kalangan generasi muda. Mengingat kondisi tersebut, timbul pertanyaan sejauh manakah kebertahanan generasi muda terhadap bahasa ibunya. Untuk itu, penelitian mengenai tingkat kebertahanan bahasa Bali sebagai bahasa ibu penting dilakukan sehingga ditemukan model kebertahanan agar pembinaan dan pengembangan bahasa Bali berjalan sesuai dengan kebijakan kebahasaan yang ada. Agar dapat dilaksanakan pembinaan dan pengembangan yang tepat maka harus dilakukan terlebih dahulu harus dipahami kondisi riil bahasa Bali di Bali termasuk perubahan-perubahan yang dialaminya khususnya di daerah destinasi wisata internasional.

1.2 Tujuan Khusus

(5)

generasi muda terhadap bahasa Bali. 1.3 Urgensi Penelitian

Secara teoretis penelitian ini bermanfaat agar dapat menerapkan, menguji, dan atau mengembangkan pendekatan sosiolinguistik pada penggunaan bahasa di daerah heterogen dan memiliki intensitas kontak yang tinggi. Hasil temuan diharapkan memberikan kontribusi positif bagi perkembangan teori linguistik di Indonesia, khususnya di bidang linguistik makro

Secara praktis hasil penelitian ini bermanfat bagi pihak-pihak yaitu :1). Pusat Bahasa dalam merancang pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra daerah khususnya di daerah-daerah yang memiliki intensitas pertemuan berbagai bahasa sangat tinggi seperti di daerah wisata, daerah perkotaan pemukiman transmigran dan atau daerah perbatasan,2) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Bali menentukan kebijakan pendidikan khususnya dalam pendidikan bahasa daerah dan bahasa ibu 3). Para peneliti dan penyelenggara pendidikan sosial, budaya, bahasa dan kesenian agar memahami, membina, dan mengembangkan sistem pendidikan dan kebudayaan terutama bagi masyarakat Bali yang berada di daerah destinasi wisata internasional.dan 3). Masyarakat Bali umumnya dan generasi muda khususnya agar memahami pentingnya pelestarian Bahasa Bali dalam upaya pelestarian budaya Bali.

(6)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka

Penelitian mengenai pemertahanan bahasa yang meliputi pola pemakaian bahasa,sikap bahasa, sistem pewarisan bahasa telah banyak dilakukan oleh para peneliti terdahulu. Beberapa di antaranya dijelaskan di bawah ini.

(7)

Lampung. Pola tutur sapa bahasa Bali yang digunakan dalam berkomunikasi di Lampung ditemukan masih cukup bertahan (Wetty :1996).

Hasil berbeda ditemukan oleh Kismosuwartono (1991:107) yang mengkaji pola pengasuhan anak keluarga petani transmigran Jawa dan Bali di Lampung Tengah. Salah satu aspek pembahasan yang dikemukakan yaitu penggunaan bahasa Jawa oleh anak-anak transmigran Bali dalam kehidupan sehari-hari. Kendati pihak orang tua berbicara bahasa Bali, anak-anak muda menjawabnya dengan bahasa Jawa. Hasil penelitian tersebut jelas menggambarkan gejala keterdesakan bahasa Bali khususnya di kalangan anak- anak. Meskipun penelitian ini bersifat antropologis, penelitian ini juga menyentuh masalah kebahasaan. Hasil penelitian yang menggambarkan adanya gejala memprihatinkan terhadap bahasa Bali itu mengisyaratkan bahwa pentingnya langkah-langkah mempertahankan bahasa Bali.

Mandala (2000) mengadakan penelitian tentang penggunaan bahasa Bali orang-orang Bali yang menetap di Lombok. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa penutur bahasa Bali di Lombok adalah dwibahasawan dan sebagian lagi multibahasawan. Mereka fasih berbahasa Sasak. Jika berbicara dengan orang yang belum dikenal, mereka pertama-tama menggunakan bahasa Indonesia, dan setelah jati diri lawan bicaranya diketahui dengan jelas barulah mereka mengambil strategi yang lebih tepat dalam berkomunikasi, terutama menyangkut pemilihan kode yang sesuai. Mereka tergolong cukup fundamentalis dalam hal penggunaan bahasa, sehingga orang awam mengatakan bahwa bahasa Bali di Lombok lebih Bali dibandingkan dengan bahasa Bali di Bali.

(8)

lingkungan, etnisitas pelibat, gender, dan faktor kedudukan dan fungsi bahasa-bahasa yang terlibat dalam komunikasi tersebut, memberikan dorongan yang cukup besar terhadap kebertahanan BI umumnya, dan kebertahanan BB khususnya.

Penelitian khusus pada kebertahanan bahasa penutur generasi remaja dilakukan oleh Adisaputera (2010). Adisaputera (2010) melakukan penelitian mengenai kebertahanan bahasa Melayu Langkat di Stabat, Kabupaten Langkat. Menurutnya, kebertahanan bahasa Melayu Langkat dapat dilihat dari proses regenerasi penuturnya. Dalam proses regenerasi penutur bahasa Melayu Langkat, ada indikasi tidak dikuasainya lagi sejumlah kosakata oleh penutur remaja karena hilangnya sebagian unsur sosial-budaya dan sosial-ekologi dalam komunitas Melayu di Stabat. Dalam penelitian ini Adisaputera membuktikan adanya pergeseran BML ke BI di setiap ranah penggunaan dan dalam berbagai situasi komunikasi. Dalam BML ditemukan juga indikasi pergeseran bahasa secara internal. Pergeseran ini dipicu oleh keinginan penutur untuk menyesuaikan bentuk-bentuk BML dengan bentuk-bentuk dan makna lingual dalam BI, baik pada tataran bunyi, leksikal, maupun gramatikal.

Suteja (2007) mengungkap sikap (konatif, afektif, dan kognitif) kelompok mahasiswa etnis Bali di Denpasar terhadap pemakaian ragam BB lisan dalam komunitas pergaulan sehari-hari dalam konteks pilihan antarragam BB. Disimpulkan bahwa rata-rata mereka bersikap negatif, baik kelompok yang tinggal di daerah perkotaan maupun pedesaan. Namun, sikap mereka terhadap pemakaian BB secara umum dalam konteks pilihan bahasa antara BI dan BB untuk alat komunikasi informal untuk kelompok yang tinggal di daerah perkotaan adalah negatif, sedangkan untuk kelompok pedesaan bersikap netral. Sikap negatif tersebut terungkap karena ragam BB pada umumnya dianggap tidak mencerminkan kesetaraan sosial dan kurang praktis karena pemakaian kosakotanya yang dianggap sangat rumit.

(9)

pilihan bahasa komunitas remaja di Kecamatan Kuta, Sanur dan Ubud dalam berinteraksi adalah BB dan BI.

Malini, dkk (2012) dalam penelitiannya terhadap pemertahanan Bahasa bali generasi muda di daerah destinasi wisata di Bali menemukan bahwa pilihan bahasa generasi muda di Bali yaitu bahasa Bali, Bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Bahasa- bahasa tersebut digunakan pada berbagai ranah, utamanya ranah rumahtangga, ketetanggaan dan ranah agama. Terkait dengan kemampuan berbahasa secara umum dapat dikatakan bahwa pemahaman dan pengetahuan kata berimplikasi langsung terhadap pemakaian kosakata itu sendiri. Semakin tinggi pemahaman kosakatanya makin semakin tinggi pula tingkat pemakaiannya demikian sebaliknya. Penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pemahaman dan pengetahuan kosakata dasar baik itu kosakata dasar Swadesh, kosakata berkaitan dengan kehidupan organisasi sosial masyarakat, kosakata berkaitan dengan kehidupan religi, kosakata berkaitan dengan kesenian, kosakata berkaitan dengan matapencaharian secara umum di Ubud lebih tinggi tingkat pemahamannya dan pemakaiannya lalu Sanur dan terrendah Kuta. Secara geografis Ubud merupakan daerah wisata pedesaan, Ubud masih dikelilingi oleh desa-desa kental dengan tradisional Bali dengan ciri masyarakat lebih komunal dan lebih homogen lebih-lebih keberadaan Puri Ubud sampai saat ini masih kuat dengan ciri feodalismenya, Ubud jauh dari perkotaan. Pariwisata Ubud lebih mengandalkan budaya dan di sekeliling Ubud masih terbentang persawahan. Berbeda halnya dengan Sanur dan Kuta. Kedua wilayah ini berada di pesisir pantai, sangat dekat dengan perkotaan dan penduduknya pun lebih heterogen baik dari segi agama, ras, suku bangsa, matapencaharian dan sebagainya. Terkait dengan sikap bahasa dari aspek kognitif, afektif dan konatif generasi muda memiliki kecenderungan bersikap positif. Sikap positif ini merupakan modal dasar yang harus dimiliki dalam upaya pemertahanan bahasa.

2.2 Peta Jalan Penelitian

(10)

LUARAN

1.Model Pemertahanan Bahasa Ibu d i Destinasi Wisata Internasional di Bali

Penelitian terbatas pada generasi muda Bali di pedesaan dan di luar wilayah pakai bahasa Bali antara lain oleh :

Malini (2012) –penggunaan bahasa Bali di daerah destinasi wisata Malini (2011)- degradasi penguasaan BB generasi muda di Lampung

Adisaputera (2010)-kebertahanan bahasa Melayu Langkat pada generasi muda Parwati (2011) pemertahanan bahasa generasi muda di Kuta

Suteja (2007)- sikap bahasa etnis remaja denpasar

Laksminy (2004) –kebertahanan bahasa keluarga campuran etnis Bali dan etnis asing bahasa Bali oleh masyarakat Bali khususnya generasi muda di Provinsi Bali yang meliputi 1) pola-pola pemakaian bahasa Bali oleh generasi muda di Bali dan 2) sikap bahasa generasi muda terhadap bahasa Bali.

T

Subyek : generasi muda Bali di daerah destinasi wisata Metode :observasi partisipasi, kuesioner

(11)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini berdasarkan filosofi fenomenologis. Paradigma tersebut membawa penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif . Berkaitan dengan metode penelitian dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut.

3.1 Lokasi Penelitian

Penelitian akan dilakukan di daerah-daerah destinasi wisata internasional di Bali yaitu di Bali bagian Selatan dan Timur seperti Sanur (kota Denpasar), Kuta (kabupaten Badung), Ubud (kabupaten Gianyar), di Bali barat dan utara yaitu di Tanah Lot (kabupaten Tabanan) dan Lovina (kabupaten Buleleng). Pemilihan lokasi tersebut karena daerah tersebut adalah destinasi wisata internasional yang mana terjadi kontak bahasa yang tinggi antara wisatawan dan masyarakat lokal sebagai pengguna bahasa ibu.

3.2 Jenis dan Sumber Data Penelitian

Jenis data dalam penelitian ini adalah data lisan. Data primer penelitian ini yaitu kata-kata, kalimat-kalimat, atau wacana yang dituturkan antar generasi muda Bali dalam ranah keluarga, kekariban, pendidikan dan religi. Generasi muda Bali juga menjadi responden penelitian ini. Generasi muda dimaksud adalah anak-anak usia sekolah. Jumlah responden pada tahun pertama sejumlah 75 orang yang berasal dari ketiga lokasi masing-masing 25 orang. Data yang diambil dari responden berupa data lisan berupa teks pada kehidupan sosial generasi muda Bali. Data sekunder penelitian ini adalah a) hasil survei sosiolinguistik dan b) informasi mengenai situasi kebahasaan, kebudayaan dan tradisi masyarakat Bali.

3.3 Instrumen Penelitian

(12)

1) Instrumen utama

Instrumen utama penelitian ini adalah peneliti sendiri (human instrument). Moleong (1998:19) menyatakan bahwa pencari tahu alamiah dalam pengumpulan data lebih banyak tergantung pada diri sendirinya sebagai alat pengumpul data. Hal tersebut juga disebabkan penelitian ini bersifat etnografis yang bercirikan observation participation.

2) Instrumen tambahan

Untuk menjaga validitas dan relibilitas data dan supaya penelitian berjalan pada jalur yang sesuai dengan tujuan, sebagai bahan triangulasi digunakan beberapa alat pengumpul data dan sebagai instrumen tambahan digunakan kuesioner survei linguistik. Daftar pertanyaan disusun dengan membuat pertanyaan yang khusus, kongkret, dan sesuai dengan konteks. Pertanyaan juga diupayakan dapat mengungkapkan bukti, bukan simpulan (Showalter,1991:26). Daftar pertanyaan diadopsi dari berbagai sumber seperti Mahsun (2005: 296-321), Dhanawaty (2002: 476-486), Showalter (1991:13-26), dan Nursaid dkk (2000). Sumber-sumber pertanyaan tersebut dimodifikasi dan disesuaikan dengan kepentingan penelitian ini.

(13)

PENELITIAN SEBELUMNYA

PENELITIAN SAAT INI

-Mode

-Publi Data : tulis dan lisan

Lokasi : Kuta, Ubud, Sanur, Tanah Lot, Lovina

Pengumpulan data : observasi lapangan Analisis Data

pola pemakaian bahasa generasi muda di Bali (20%)

sikap bahasa generasi muda Bali(60%).

Model Pemertahan Bahasa Bali (100%)

Kajian terbatas pada pilihan bahasa .

Kajian generasi muda di luar Bali

dan pedesaan . Kajian generasi muda Bali di daerah Wisata

Kajian pada pilihan, sikap bahasa dan faktor sosiolinguistik

METODE

INDIKATOR

(14)

BAB IV .

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Gambaran Umum Wilayah Penelitian

Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang berlokasi di bagian barat Kepulauan Indonesia dan diapit oleh Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Dengan luas wilayah 5,633 km2, Bali memiliki 3.891.428 jiwa penduduk pada tahun 2010. Bali kini lebih dikenal dengan salah satu daerah tujuan wisata yang terkenal di Indonesia dan juga dimata dunia, sehingga tidak heran jika setiap tahunnya Bali selalu mendapat kunjungan wisatawan dari berbagai negara di dunia. Penelitian ini berlokasi di Bali, mengingat tingginya kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali. Terdapat 3 lokasi yang menjadi wilayah penelitian di Bali yang tersebar di Ubud, Sanur, dan Kuta.

1. Ubud

Sebagai pusat pariwisata di Kabupaten Gianyar, Ubud menawarkan panorama persawahan yang sangat mengagumkan dan menyegarkan mata. Ubud dengan luas wilayah 7,8 Km2 ini juga kaya akan kesenian dan budayanya. Terbukti dengan beberapa nama besar pelukis, penari, dan budayawan yang lahir dan besar di Bali.

Ubud berada diantara desa Peliatan (sebelah timur) dan Desa Sayan (sebelah Barat). Di bagian Selatan, Ubud berbatasan dengan Desa Mas, dan Kecamatan Tegalalang di bagian utara. Sampai tahun 2008, tercatat sebanyak 11.180 penduduk tinggal di Ubud yang didominasi oleh etnik Bali beragama Hindu. Dari segi kebahasaanpun, daerah Ubud masih didominasi oleh Bahasa Bali, meski masih terdapat minoritas warga yang berbahasa Jawa dan bahasa Indonesia.

(15)

lulusan dari sekolah menengah atas dan perguruan tinggi yang cukup banyak setiap tahunnya. Ubud saat ini memiliki 2 buah SLTA, 2 buah SLTP, 5 buah SD, 1 buah lembaga kursus, dan 1 buah lembaga pendidikan anak usia dini.

Ubud yang kini berusia 31 tahun telah menjadi daerah kunjungan wisata yang modern dengan akomodasi yang sangat lengkap, mulai dari hotel, villa, restoran, kafe, galeri, museum, pasar seni, dan banyak tempat hiburan lainnya.

Sejarah singkat Desa Ubud sendiri dimulai dari perjalanan sejarah Guru suci Mpu Markandya dari Gunung Raung Jawa ke Bali, dalam proses penyebaran Agama Hindu beliau tiba disebuah lereng atau bukit kecil yang memanjang ke arah utara dan selatan. Bukit ini diapit oleh dua buah sungai yang berliku yang mirip seperti dua ekor naga. Sungai yang berada disebelah barat bernama Sungai Wos Barat, sedangkan yang berada disebelah timur bernama Sungai Wos Timur. Mpu Markendya mendirikan sebuah pemukiman disebut ―Sarwa Ada‖ yang terletak disekitar desa Taro.

Kedua Sungai Wos Barat dan Wos Timur bertemu menjadi satu di sebuah lokasi yang disebut dengan Campuhan. Di Campuhan inilah Mpu Markendya mengadakan tempat pertapaan dan beliau mulai merambas hutan untuk membuat pemukiman dan membagikan tanah pertanian bagi pengikutnya. Dengan demikian sempurnalah Yoga Sang Resi, yang ditandai dengan dimulainya kehidupan masyarakat di Desa ini dengan dianugrahinya tanah untuk pertanian sebagai sumber kehidupan.

Sebutan Wos untuk kedua sungai yang telah bercampur ini melekat menjadi nama desa/pemukiman pada jaman itu. Sedangkan nama sungai ini sesuai dengan maknanya. Sesuai dengan isi lontar Markandya Purana, Wos ngaran ―Usadi‖, Usadi ngaran ―Usada‖, dan Usada ngaran ―Ubad‖. Dari kata ubad ini ditranskripsikan menjadi UBUD

(16)

Ubud yang kini sarat dengan sentuhan-sentuhan dari dunia luar terutama yang berasal dari sektor pariwisata membuat kontak bahasa antara bahasa asing yang masuk ke Bali dan Bahasa Bali sendiri semakin tinggi. Hal ini sungguh sangat mengkhawatirkan mengingat generasi muda saat ini sangat rentan akan pengaruh-pengaruh dari luar sehingga ditakutkan akan membuat generasi muda terpengaruh-pengaruh oleh bahasa asing yang masuk ke Ubud dan melupakan bahasa ibu mereka, Bahasa Bali.

2. Sanur

Desa Sanur Kauh dengan asset pariwisata pantai, setiap harinya sangat ramai dikunjungi oleh wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara. Desa dengan luas 386,0 ha/m2 ini terdiri dari 12.055 jiwa penduduk. Sanur Kauh yang dulu bagian dari Desa Sanur, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar ini kemudian mengalami pemekaran menjadi Desa Sanur Kauh pada tahun 1982. Desa yang berbatasan dengan Desa Sanur Kaja di sebelah utara, Kelurahan Sanur di sebelah Timur, Samudra Indonesia di sebelah selatan, dan Desa Sidakarya di sebelah Barat ini masih didominasi oleh etnik Bali beragama Hindu (85,76%) yang berbahasa Bali disusul beberapa suku minoritas seperti Suku Jawa (12,30%), Cina (0,45%), Asia (0,26%), Afrika (0.03%), Australia (0,42%), dan Eropa (0,67%). Sebanyak 85,81 % penduduk di Sanur Kauh beragama Hindu, disusul oleh agama Islam sebanyak 11,28 %, dan agama Protestan, Katolik, dan Budha masing 1,84%, 0,84% dan 0,20%.

(17)

Generasi muda yang menjadi objek penelitian di desa Sanur Kauh ini berada di bawah naungan Sekehe Teruna Banjar Dangin Peken. Pemuda-pemuda ini aktif dalam menjalankan berbagai program dibidang seni budaya dan kreatifitas. Sehingga aksi-aksi pelestarian budaya Bali masih sangat kental terasa di Desa Sanur Kauh.

Menjamurnya akomodasi-akomodasi dan juga bisnis-bisnis dalam sektor pariwisata di Sanur membuat Sanur menjadi sentra wisatawan asing di daerah Denpasar. Dengan demikian kontak bahasa antara wisatawan-wisatawan tersebut dengan masyarakat lokal cenderung tinggi. Hal ini dikhawatirkan akan mengakibatkan terjadinya pergesekan antara bahasa ibu; Bahasa Bali, dan Bahasa asing yang masuk ke Sanur; Bahasa Inggris.

3. Kuta

Kelurahan Kuta yang terletak di Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung ini memiliki Pantai yang berpasir putih halus, tanpa karang, menjadikan lokasi ini sangat

ideal didatangi turis. Daerah wisata seluas 17.52 Km2 ini selalu didatangi banyak turis

terutama turis Manca Negara yang mencari sinar matahari, berjemur sambil berenang dan berselancar. Desa yang berbatasan dengan Kecamatan Kuta Utara di sebelah Utara, Kota Denpasar di sebelah Timur, Kecamatan Kuta Selatan di sebelah Selatan, dan Samudra

Indonesia di sebelah Barat ini memiliki 12.055 jiwa penduduk hingga akhir 2010 lalu, yang terdiri atas 51,07 % laki-laki dan 48,84% perempuan. Mayoritas penduduk di Kuta masih didominasi oleh etnik Bali beragama Hindu (63,35%) yang berbahasa Bali, disusul oleh etnik Jawa beragama Islam (14,59%), Budha (7,6&), Protestan (7,5%), dan Katolik (7%).

Di Kelurahan Kuta sendiri terdapat 14 Sekehe Teruna yang tersebar di 12 lingkungan atau 13 banjar suka duka. Adapun organisasi ST di Kelurahan Kuta yakni: ST Surya Kencana,ST Kerthyadnya,ST Yuwana Giri, ST Sanggraha Yasa,ST Teruna Wana Daya Parwatha, ST Eka Putra, ST Sadharna Dharma, ST Eka Karma, ST Mandala Kerti, ST Surya Dharma, ST Jeladi Putra, ST Yuwana Sari, ST Wira Aditya, ST Andika Jagaditha.

(18)

Nyepi. Semua komponen ST terlibat di dalamnya untuk berpartisipasi memeriahkan hari raya nyepi. Selain itu, semua ST di Kuta secara aktif dan

mandiri mengembangkan kreatifitasnya dalam menggelar aneka kegiatan guna memperingati momen-momen tertentu.

Kini, Kuta pun semakin berkembang menjadi sentra pariwisata di Kabupaten Badung. Sehingga mata pencaharian penduduk Kuta yang sebelumnya sebagian besar menjadi nelayan, kini beralih ke sektor pariwisata karena kunjungan wisawatan baik domestic maupun international tiap tahunnya semakin bertambah. Dengan tingkat kunjungan wisatawan yang tinggi memaksa penduduk Kuta untuk menguasai banyak bahasa asing guna menjual produk yang mereka tawarkan.

4. LOVINA 5. TANAH LOT

5.2 Pilihan bahasa

Dalam masyarakat multibahasa tersedia berbagai kode, baik berupa bahasa, dialek, variasi, dan gaya untuk digunakan dalam interaksi sosial. Dengan tersedianya kode-kode itu, anggota masyarakat akan memilih kode yang tersedia sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dalam interaksi sehari-hari, anggota masyarakat secara konstan mengubah variasi penggunaan bahasanya.

Konsep dan Kategori Pilihan Bahasa

(19)

di antara kedua bahasa itu ketika berbicara kepada orang lain dalam peristiwa komunikasi.

Dalam pemilihan bahasa terdapat tiga kategori pilihan. Pertama, dengan memilih satu variasi dari bahasa yang sama (intra language variation). Apabila seorang penutur bahasa Jawa berbicara kepada orang lain dengan menggunakan bahasa Jawa kromo, misalnya, maka ia telah melakukan pilihan bahasa kategori pertama ini. Kedua, dengan melakukan alih kode (code switching), artinya menggunakan satu bahasa pada satu keperluan dan menggunakan bahasa yang

lain pada keperluan lain dalam satu peristiwa komunikasi. Ketiga, dengan melakukan campur kode (code mixing) artinya menggunakan satu bahasa tertentu dengan bercampur serpihan-serpihan dari bahasa lain.

Faktor Penanda Pilihan Bahasa

Pilihan bahasa dalam interaksi sosial masyarakat dwibahasa/multibahasa disebabkan oleh berbagai faktor sosial dan budaya. Evin-Tripp mengidentifikaskan empat faktor utama sebagai penda pilihan bahasa penutur dalam interkasi sosial, yaitu (1) latar (waktu dan tempat) dan situasi; (2) partisipan dalam interkasi, (3) topik percakapan, dan (4) fungsi interaksi. Faktor pertama dapat berupa hal-hal seperti makan pagi di lingkungan keluarga, rapat di keluarahan, selamat kelahiran di sebuah keluarga, kuliah, dan tawar menawar barang di pasar.

Faktor kedua mencakup hal-hal seperti usia, jenis kelamin, pekerjaan, status sosial ekonomi, dan perannnya dalam hubungan dengan mitra tutur. Hubungan dengan mitra tutur dapat berupa hubungan akrab dan berjarak. Faktor ketiga dapat berupa topik tentang pekerjaan, keberhasilan anak, peristiwa-peristiwa aktual, dan topik harga barang di pasar. Faktor keempat berupa hal-hal seperti penawaran informasi, permohonan, kebiasaan rutin (salam, meminta maaf, atau mengucapkan terima kasih).

Senada dengan Evin-Tripp, Grosjean (1982: 136) berpendapat tentang faktor-faktor yang berpengaruh dalam pilihan bahasa. Menurut Grosjean terdapat empat faktor yang mempengaruhi pilihan bahasa dalam interaksi sosial, yaitu (1) partisipan, (2) situasi, (3) isi wacana, dan (4) fungsi interaksi.

(20)

wacana mengacu pada (1) topik pembicaraan, dan (2) tipe kosakata. Fatkor fungsi iteraksi mencakupi aspek (1) menaikan status, (2) penciptaan jarak sosial, (3) melarang masuk / mengeluarkan sesorang dari pembicaraan, dan (4) memerintah atau meminta.

Dari paparan berbagai faktor di atas, yang perlu diperhatikan adalah bahwa tidak terdapat faktor tunggal yang dapat mempengaruhi pilihan bahasa sesorang. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah faktor-faktor itu memiliki kedudukan yang sama pentingnya. Kajian penelitian pemilihan bahasa yang pernah dilakukan terdahulu diketahui bahwa umunya beberapa faktor menduduki kedudukan yang lebih penting daripada faktor lain. Di Obserwart, Gal (1982) menemukan bukti bahwa karakteristik penutur dan mitra tutur menduduki faktor yang penentu pilihan bahasa dalam masyarakat tersebut. Sedangkan faktor topik dan latar merupakan faktor yang kurang penting daripada faktor partisipan.

Berbeda dengan Gal, Rubin (1982) menemukan faktor penentu yang terpenting adalah lokasi tempat berlangsungya peristiwa tutur. Dalam penelitiannya tentang pilihan bahasa Guarani dan Spanyol di Paraguay Rubin menyimpulkan bahwa lokasi interaksi yaitu (1) desa, (2) sekolah, dan (3) tempat umum sangat menentukan pilihan bahasa masyarakat. Di desa pembicara akan memilih bahaa Guarani, di sekolah akan memilih bahasa Spanyol, dan di tempat umum memilih bahasa Spanyol.

5.2.1 Bahasa dan pemakaiannya

(1). Pilihan bahasa dan pemakaiannya di ranah keluarga.

a) Kuta

(21)

dari lingkungan sekitar rumah, dan 3 responden (12%) melalui lingkungan masyarakat yang lebih luas (diagram 1.4).

Diagram 1.1 Bahasa ibu responden

Diagram 1.2 Penguasaan terhadap bahasa ibu

Diagram 1.3 Frekuensi pemakaian bahasa ibu sehari-hari

(22)

Melihat penggunaan BB sebagai B1 oleh generasi muda di wilayah Kuta dan pernyataan masih menguasai serta masih menggunakan BB dalam komunikasi dapat dikorelasikan dengan hasil bahwa 15 responden (60%) mampu menggunakan BB dalam bercakap-cakap, 3 responden (12%) sangat mampu menggunakan BB, dan hanya 7 responden (28%) memahami ujaran BB, dalam arti bahwa mereka memahami BB secara pasif (diagram 2.1.1). Walaupun mereka memiliki kemampuan dan pemahaman yang berbeda terhadap BB tetapi semua responden, 25 responden (100%), mengatakan bahwa mampu berbahasa Bali sangat perlu (diagram 2.3.1)

Kemampuan generasi muda menggunakan B. Ing direalisasikan dalam diagram 2.1.2 Sebanyak 15 responden (60%) mampu bicara sedikit dan mampu memahami ujaran Bahasa Inggris (B. Ing), 9 responden (36%) mampu bercakap-cakap menggunakan B. Ing dan 1 responden (4%) sangat mampu berbicara B. Ing. Mereka mampu menggunakan karena 20 responden (80%) memperoleh bahasa tersebut di sekolah/di tempat kursus, 1 responden (4%) memperoleh di masyarakat, 1 responden (4%) memperoleh di lingkungan rumah dan 3 responden (12%) memperoleh dari ketiga tempat tersebut (diagram 2.2), dan mereka mengatakan bahwa memahami BIng tersebut sangat perlu mengingat mereka tinggal di daerah pariwisata (diagram 2.3.2)

Diagram 2.1.1 Kemampuan Berbahasa Bali

Keterangan:

1 = sama sekali tidak mampu

2 = hanya mampu memahami ujaran, tapi tidak mampu berbicara 3 = mampu berbicara sedikit dan mampu memahami ujaran 4 = mampu bercakap-cakap

(23)

Diagram 2.1.2 kemampuan berbahasa Inggris

Keterangan:

1 = sama sekali tidak mampu

2 = hanya mampu memahami ujaran, tapi tidak mampu berbicara 3 = mampu berbicara sedikit dan mampu memahami ujaran 4 = mampu bercakap-cakap

5 = sangat mampu

Diagram 2.2 tempat memperoleh bahasa Inggris

(24)

Diagram 2.3.2 perlu tidaknya bahasa Inggris

Seperti yang disebutkan pada pembicaraan sebelumnya bahwa sebagian besar generasi muda di kuta masih menggunakan BB sebagai alat komunikasi. Pernyataan tersebut tampak pada pilihan bahasa yang digunakan dalam setiap ranah. Ranah-ranah yang dikaji adalah ranah keluarga, ketetanggaan, pendidikan, dan ranah agama. Ranah keluarga dibagi lagi berdasarkan topik yaitu topik berkisar pada pembicaraan rumah tangga dan topik kedinasan, serta situasi santai, serius dan situasi emosional. Komunikasi yang dilakukan oleh generasi muda di kuta pada ranah keluarga berlangsung dengan ayah, dengan ibu, saudara, keluarga lain, dan pembantu.

Dari hasil tabulasi diperoleh hasil bahwa komunikasi dengan semua pelibat kecuali dengan pembantu pada semua ranah, generasi muda di Kuta menggunakan BB dengan prosentase tertinggi, kemudian menggunakan BI dan pemakaian BB dan BI menduduki prosentase terendah.

Pada ranah keluarga dengan topik rumah tangga pilihan jatuh pada BB ketika berkomunikasi dengan ayah, 18 responden (72%), dengan ibu 16 responden (64%), dengan saudara kandung 13 responden (52%), dan keluarga lain 15 responden (60%). Ketika berkomunikasi dengan pembantu, mereka memilih BI 7 responden (28%), kemudian menggunakan BB 4 responden (16%) dan BB & BI 1 responden (4%).

(25)

Ketika bersantai di rumah komunikasi menggunakan BB menduduki prosentase tertinggi yaitu 18 responden (72%) jika berkomunikasi dengan ayah, 16 responden (64%) dengan ibu, 14 responden (56%) dengan saudara, dan 14 responden (56%) dengan keluarga lain. Pilihan bahasa berikutannya adalah pada BI, kemudian disusul dengan BB&BI dengan prosentase terkecil, kecuali ketika berkomunikasi dengan pembantu mereka cenderung menggunakan BI 7 responden (28%), BB 4 responden (16%) dan BI 1 responden (4%).

Generasi muda di Kuta ketika membicarakan hal-hal yang sifatnya serius lebih sering menggunakan BB. 18 responden (72%) dengan ayah, 15 responden (60%) dengan ibu, 14 responden (56%) dengan saudara, 13 responden (52%) dengan keluarga lain, namun cenderung memilih BI (28%) dengan pembantu. Ketika situasi bicara berlangsung emosional mereka memilih BB 18 responden (72%) dengan ayah dan 17 responden (68%) dengan ibu, kemudian dengan saudara 15 responden (60%) dan keluarga lain 14 responden (56%). Selanjutnya mereka menggunakan BI dan pilihan bahasa campuran BI&BI memiliki prosentase terkecil.

Secara keseluruhan, dalam ranah keluarga untuk daerah Kuta, responden menggunakan BB untuk berbicara dengan ayah (71%), dengan ibu (66%), dengan saudara (55%), dengan keluarga lain (55%), dan dengan pembantu (35%). Dapat dilihat pada diagram 3.1.1.

Diagram 3.1.1. Penggunaan bahasa di ranah keluarga Kuta

b) Sanur

(26)

(diagram 1.2). Dari sekian bahasa yang digunakan 24 responden (86%) masih menggunakan B1 tersebut, dan 4 responden (14%) jarang menggunakannya dalam komunikasi (diagram 1.3). Dalam hal kemampuan berkomunikasi menggunakan BB, 14 responden (50%) mampu bercakap-cakap menggunakan BB, 9 responden (32%) sangat mampu, 3 responden (11%) mampu memahami ujaran BB, dalam arti bahwa mereka memahami BB secara

pasif, dan 2 responden (7%) yang hanya mampu memahami ujaran tetapi tidak mampu berbicara (diagram 2.1.1). 11 responden (39%) memperoleh B1 mereka melalui komunikasi dengan masyarakat luas, 16 responden (57%) melalui lingkungan rumah, dan melalui kedua tempat tersebut sebanyak 1 responden (4%) (diagram 1.4).

Generasi muda yang tinggal di wilayah Sanur-sebagai salah satu tujuan wisata, yang hanya mampu berkomunikasi sedikit menggunakan B. Ing sebanyak 13 responden (46%), sama sekali tidak mampu menggunakan B. Ing 1 responden (4%), yang mampu memahami ujaran B. Ing 10 responden (36%), dan yang mampu bercakap-cakap hanya 4 responden (14%) (diagram 2.1.2). Sebanyak 21 responden (75%) mampu menggunakan B. Ing karena mereka mengikuti kursus atau memperolehya di sekolah, 2 responden (7%) memperoleh dari masyarakat, 3 responden (11%) memperoleh B. Ing di lingkungan rumah mereka (diagram 2.2).

Sama halnya dengan generasi muda di wilayah Kuta, generasi muda di Sanur masih menggunakan BB sebagai alat komunikasi. Pernyataan tersebut tampak pada pilihan bahasa yang digunakan dalam setiap ranah. Ranah-ranah yang dikaji adalah ranah keluarga, ketetanggaan, pendidikan, dan ranah agama. Ranah keluarga dibagi lagi berdasarkan topik yaitu topik berkisar pada pembicaraan rumah tangga dan topik kedinasan, serta situasi santai, serius dan situasi emosional. Komunikasi yang dilakukan oleh generasi muda di Sanur pada ranah keluarga berlangsung dengan ayah, dengan ibu, saudara, keluarga lain, dan pembantu. Komunikasi pada ranah agama difokuskan pada kegiatan yang berlangsung di rumah dan di pura.

(27)

kemudian menggunakan BI dan pemakaian BB dan BI menduduki prosentase terendah.

Pada ranah keluarga dengan topik rumah tangga pilihan jatuh pada BB ketika berkomunikasi dengan ayah, ibu dan saudara sebanyak 23 responden (82%), dan keluarga lain 14 responden (50%). Ketika berkomunikasi dengan pembantu, sebanyak 11 responden (39%) memilih BB.

Pada topik kedinasan pilihan bahasa dengan menggunakan BB 13 responden (46%) ketika berkomunikasi dengan ayah, dengan ibu 14 responden (50%), dengan saudara 13 responden (46%), dan dengan keluarga lain 9 responden (32%). Ketika dengan pembantu 8 responden (29%) menggunakan BI dan kemudian dengan BB 9 responden (32%).

Ketika bersantai di rumah komunikasi menggunakan BB menduduki prosentase tertinggi yaitu 24 responden (86%) jika berkomunikasi dengan ayah, 25 responden (89%) dengan ibu, 21 responden (75%) dengan saudara, dan 15 responden (54%) dengan keluarga lain. Pilihan bahasa berikutnya adalah pada BI, kemudian disusul dengan BB&BI dengan prosentase terkecil, termasuk ketika berkomunikasi dengan pembantu, sebanyak 14 responden (50%), cenderung menggunakan BB.

Generasi muda di Sanur ketika membicarakan hal-hal yang sifatnya serius lebih sering menggunakan BB. 19 responden (68%) dengan ayah, 20 responden (71%) dengan ibu, 19 responden (68%) dengan saudara, 14 responden (50%) dengan keluarga lain, 14 responden (50%) dengan pembantu. Ketika situasi bicara berlangsung emosional, 24 responden (86%) memilih menggunakan BB dengan ayah, ibu dan saudara, dan keluarga lain 18 responden (64%). Selanjutnya mereka menggunakan BI dan pilihan bahasa campuran BI&BI memiliki prosentase terkecil.

(28)

Diagram 3.1.2 penggunaan bahasa di ranah keluarga Sanur

c) Ubud

Di Ubud, generasi muda yang menggunakan B1-BB sebanyak 26 responden (93%), menggunakan BI sebanyak 2 responden (7%) (diagram 1.1), dan semua, 28 responden (100%), mengatakan masih menguasai B1 mereka (diagram 1.2) dan masih menggunakan BB tersebut untuk berkomunikasi (diagram 1.3). Dalam hal kemampuan berkomunikasi menggunakan BB, 8 responden (29%) mampu bercakap-cakap menggunakan BB, dan 20 responden (71%) lainnya sangat mampu menggunakan BB (diagram 2.1.1). 3 responden (11%) memperoleh B1 mereka melalui komunikasi dengan masyarakat luas, 21 responden (75%) melalui lingkungan rumah, dan melalui kedua tempat tersebut sebanyak 4 responden (14%) (diagram 1.4).

(29)

Seperti yang disebutkan pada pembicaraan sebelumnya bahwa sebagian besar generasi muda di Ubud masih menggunakan BB sebagai alat komunikasi. Pernyataan tersebut tampak pada pilihan bahasa yang digunakan dalam setiap ranah. Ranah-ranah yang dikaji adalah ranah keluarga, ketetanggaan dan ranah Agama. Ranah keluarga dibagi lagi berdasarkan topik yaitu topik berkisar pada pembicaraan rumah tangga dan topik kedinasan, serta situasi santai, serius dan situasi emosional. Komunikasi yang dilakukan oleh generasi muda di Ubud pada ranah keluarga berlangsung dengan ayah, dengan ibu, saudara, keluarga lain, dan pembantu.

Dari hasil tabulasi sementara diperoleh hasil bahwa komunikasi dengan semua pelibat kecuali dengan pembantu pada semua ranah, generasi muda di Ubud

menggunakan BB dengan prosentase tertinggi, kemudian menggunakan BI dan pemakaian BB dan BI menduduki prosentase terendah.

Pada ranah keluarga dengan topik rumah tangga pilihan jatuh pada BB ketika berkomunikasi dengan ayah, ibu dan saudara sebanyak 26 responden (93%), dan keluarga lain 25 responden (89%). Ketika berkomunikasi dengan pembantu, sebanyak 2 responden (7%) memilih BB.

Pada topik kedinasan pilihan bahasa dengan menggunakan BB 22 responden (79%) ketika berkomunikasi dengan ayah dan ibu, dengan saudara 20 responden (71%), dan dengan keluarga lain 18 responden (64%). Ketika dengan pembantu 1 responden (4%) menggunakan BI dan kemudian dengan BB 2 responden (7%).

Ketika bersantai di rumah komunikasi menggunakan BB menduduki prosentase tertinggi yaitu 26 responden (93%) jika berkomunikasi dengan ayah, ibu dan saudara, dan 25 responden (89%) dengan keluarga lain. Pilihan bahasa berikutnya adalah pada BI, kemudian disusul dengan BB&BI dengan prosentase terkecil, termasuk ketika berkomunikasi dengan pembantu, sebanyak 2 responden (7%), cenderung menggunakan BB.

(30)

responden (79%) dengan keluarga lain, 2 responden (7%) dengan pembantu. Ketika situasi bicara berlangsung emosional, 24 responden (86%) memilih menggunakan BB dengan ayah, 25 responden (89) dengan ibu dan 26 responden (93%) saudara, dan keluarga lain 25 responden (89%). Selanjutnya mereka menggunakan BI dan pilihan bahasa campuran BI&BI memiliki prosentase terkecil.

Secara keseluruhan, dalam ranah keluarga untuk daerah Sanur, responden menggunakan BB untuk berbicara dengan ayah (89%), dengan ibu (89%), dengan saudara (89%), dengan keluarga lain (83%), dan dengan pembantu (67%). Dapat dilihat pada diagram 3.1.3.

Diagram 3.1.2. Penggunaan bahasa pada ranah keluarga di Ubud

(2) Pilihan bahasa dan pemakaiannya di ranah ketetanggaan.

a) Kuta

Mengingat Kuta adalah daerah yang sangat heterogen, banyak warga yang berasal dari kelompok etnik dan berbagai negara berdomisili di sana sehingga banyak bahsa yng terlibat dalam berkomunikasi. Oleh karena itu generasi muda Kuta dalam ranah ketetanggaan menggunakan BI dengan prosentase tertinggi, 14 responden (56%), kemudian BB 4 responden (24%), dan BB&BI 5 responden (20%) (lihat diagram 3.2).

b) Sanur

(31)

(57%), kemudian BI 8 responden (29%) dan BB&BI 4 responden (14%) (lihat diagram 3.2).

c) Ubud

Mengingat Ubud adalah daerah yang sangat heterogen, banyak warga yang berasal dari kelompok etnik dan berbagai negara berdomisili di sana sehingga banyak bahsa yng terlibat dalam berkomunikasi. Namun demikian generasi muda Ubud dalam ranah ketetanggaan menggunakan BB dengan prosentase 27 responden (96%) dan BB&BI 1 responden (4%) (lihat diagram 3.2).

Diagram 3.2. Bahasa saat berbincang-bincang di sekitar lingkungan rumah.

(3) Pilihan bahasa dan pemakaiannya di ranah keagamaan

a) Kuta

Komunikasi yang berkenaan dengan ranah agama baik yang berlangsung di rumah maupun di pura, pilihan terhadap BB menduduki frekuensi tertinggi. Pilihan terhadap BB ini dilkukan jika berkomikasi dengan ayah, yaitu (76%) ketika di rumah dan (80%) ketika di pura. Prosentase berikutnya ketika berkomunikasi berturut-turut dengan ibu, saudara, dan keluarga masing-masing untuk di rumah dan di pura. Pilihan terhadap BI tetap menduduki pilihan tertinggi jika berkomunikasi dengan pembantu baik untuk di rumah dan di pura (lihat diagram 3.3).

b) Sanur

(32)

(100%), dengan keluarga lain (82%) dan pembantu (50%). Ketika di pura prosentase tertinggi ketika berkomunikasi dengan ayah dan ibu masing-masing (96%) dengan saudara (89%) menggunakan BB. Mereka menggunakan BB (75%) ketika berkomunikasi dengan keluarga dan (50%) dengan pembantu (lihat diagram 3.3).

c) Ubud

Komunikasi yang berkenaan dengan ranah agama baik yang berlangsung di rumah maupun di pura, pilihan terhadap BB menduduki fungsi tertinggi. Pilihan tertinggi ini dilkukan jika berkomikasi di rumah dengan ayah, ibu, dan saudara (93%). Ketika di pura prosentase ketika berkomunikasi dengan ayah dan ibu pada pilihan BB (89%), dengan saudara (93%) menggunakan BB, dan menggunakan BB (89%) ketika berkomunikasi dengan keluarga (lihat diagram 3.3).

Diagram 3.3.1. Bahasa saat upacara keagamaan di Pura

(33)

Bahasa tidak akan digunakan dalam berinteraksi apabila penuturnya tidak memiliki kemampuan untuk menggunakannya. Fenomena tingkat kemampuan generasi muda dalam menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa ibu dapat dilihat dari indikator pemahaman dan pemakaian terhadap BB. Pada indikator pemahaman di pakai dua parameter, yaitu (a) tahu dan (b) tidak tahu. Sedangkan pada indikator pemakaian digunakan parameter (a) pernah memakai dan (b) tidak pernah memakai. Berdasarkan hasil penelitian lapangan ditemukan bahwa kemampuan generasi muda dalam pemakaian BB di tiga wilayah destinasi wisata internasional adalah sebagai berikut.

(1) Ubud

Kemampuan berbahasa Bali di kalangan generasi muda di Ubud dengan 28 responden dari 25 orang yang direncanakan cukup menggembirakan. Berdasarkan daftar kata Swadesh yang diajukan sebanyak 25 buah kata ternyata persentasenya cukup tinggi, yakni dalam rentangan 71% -- 100% mereka tahu dengan tujuh kelompok persentase. Dalam bahasa Bali yang mengenenal sistem sor singgih (anggah-ungguhing basa) keduapuluh lima buah kata tersebut masing-masing memilki bentuk alus atau padanan kata yang memiliki nilai rasa hormat. Berdasarkan ukuran terhadap pemahaman kata-kata sesuai daftar kata Swadesh dengan parameter tahu dan tidak tahu, maka dapat dijelaskan sebagai berikut (lihat tabel 4.1.1)

(34)

berarti bahwa hampir sebagian (44%) dari daftar kata yang ditanyakan diketahui dengan baik oleh generasi mudanya.

Jika dihitung perbandingan antara jumlah persentase yang diperoleh dengan jumlah kata yang ditanyakan kata sebanyak 25 buah kata, maka didapati rerata persentasenya sebesar 88,32%, maka dikatakan bahwa 88,32%% generasi mudanya mengetahui dan paham dengan kata-kata tersebut atau sebanyak 17,68% mereka sudah tidak mengetahui atau memahami kata-kata yang ditanyakan.

Dilihat dari segi pemakaiannya, ternyata rentangan pemakaiannya 71% -- 100% mereka pernah memakainya. Rentangan ini menunjukkan korelasi yang sama dengan tingat pemahaman kata yang ditanyakan juga 71%--100%. Namun, yang membedakannya adalah dalam kelompok strata persentasenya. Kalau dalam ukuran aspek pemahaman kata dengan tingkat pengetahuan kata terbagi atas tujuh kelompok persentase, maka dalam aspek pemakaian kata terdapat delapan kelompok strata persentase, atau satu strata lebih banyak atau lebih variatif. Kedelapan strata persentase tersebut dapat diuraikan berikut ini (lihat tabel 4.1.2).

Ada satu kata masing-masing yang mencapai pemakaian 71% (kata wilis), 82% (kata satak) , 86% (kata bilangan selai), dan 89% (kata basang/weteng). Ada tiga buah kata mencapai tingkat pemakaian 75%, yakni kata uyah/tasik ‗garam, sasur ‗tiga puluh lima‘ telung benang ‘tujuh puluh lima‘. Sebanyak lima kata mencapai tingkat pemakaian 93%, yakni api/geni ‗api, pianak/oka ‗anak‘, luung/becik ‗baik‘, ipun/ida ‗ia‘, dan ubad/tamba ‗obat. Yang menarik dari daftar kata Swadesh yang diajukan adalah kata wilis/gadang ‗hijau‘, yakni sama-sama mencapai 71% baik dari segi pemahaman maupun dari segi pemakaian.

(35)

Tabulasi kosa kata budaya berdasarkan medan makna khususnya kata yang berkaitan dengan kehidupan organisasi sosial dapat dijelaskan seperti berikut ini (lihat tabel 4.1.2)

Ada sepuluh kata yang ditanyakan berkaitan dengan organisasi sosial. Berdasarkan persentasenya, ternyata tingkat pemahaman kata menunjukkan rentangan 57% -- 100% mereka tahu yang terdiri atas tujuh kelompok. Ketujuh strata tersebut adalah: ada dua kata menunjukkan angka 57% (nyambangin ‗ronda malam‘ dan cingkrem ‗iuran‘), satu kata masing-masing 75% (panyarikan ‗juru tulis‘), 79% (manggala karya ‗ketua panitia), 82% (perbekel ‗kepala desa), 86% (arah-arah ‗pemberitahuan), 93% (nguopin ‗membantu‘), dan 96% (kelihan adat ‗kepala adat‘). Strata tertinggi yang merupakan strata ketujuh menunjukkan ada dua buah kata mencapai angka 100%, yakni kata sangkep/paun ‗rapat‘ dan bale banjar ‗balai desa‘.

Bila dihitung rerata perbandingan antara jumlah persentase dengan jumlah kosa kata yang ditanyakan maka hasilnya menunjukkan 82,5% mereka tahu atau 17,5% ada kata-kata bahasa Bali yang tidak mereka ketahui dan tidak mereka pahami. Khusus mengenai kata nyambangin ‗ronda malam‘ dan cingkrem ‗iuran‘ yang menunjukkan angka 57% merupakan kata yang paling rendah persentasenya atau hampir sebagian (43%) mereka sudah tidak mengetahui dan tidak memahimnya lagi. Mereka lebih mengenal kata ronda malam untuk kata nyambangin dan lebih mengenal kata iuran untuk kata cingkrem.

Dilihat dari tingkat pemakaiannya, hasil tabulasi menunjukkan terdiri atas tujuh strata dengan rentangan 46% -- 100% mereka memakainya (lihat tabel 4.2.2). Satu kata masing-masing menunjukkan angka 46% (arah-arah ‗pemberitahuan‘), 61% (nyambangin ‗ronda malam‘), 71% (panyarikan ‗juru tulis‘), 86% (cingkrem ‗iuran‘). Ada dua buah kata menunjukkan 79% (perbekel ‗kepala desa‘ dan manggala karya ‗ketua panitia‘) dan 93% (nguopin ‗bantu‘ dan kelihan adat ‗kepala adat‘). Capaian 100% juga ditunjukkan oleh dua buah kata (sangkep/paum ‗rapat‘ dan bale banjar ‗balai desa‘).

(36)

yang ditanyakan yang mencapai angka 82,5%, maka ini berarti masih ada selisih atau lebih rendah pemakaiannya lagi 1,7%. Keadaan yang lebih mencolok mengenai kata arah-arah ‗pemberitahuan‘ menunjukkan yang menunjukkan angka 46% mengindikasikan bahwa sudah sebagian lebih (54%) mereka sudah tidak pernah memakainya lagi. Hal ini berbanding terbalik dengan persentase tingkat pengetahuan dan pemahaman mereka yang menunjukkan angka 86%. Artinya, walaupun mereka tahu tetapi mereka jarang menggunakannya.

Khusus kata sangkep ‗rapat‘ dan bale banjar ‗balai desa‘ adalah dua buah kata yang memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan intensitas penggunaan yang paling tinggi mencapai 100% baik dari segi pemahaman kata maupun dari segi pemakaian kata. Pengetahuan dan pemahaman kata berbanding lurus dengan pemakaian kata. Ini mengindikasikan bahwa keberadaan bale banjar sebagai institusi organisasi tradisional masih kuat. Bale banjar adalah sebuah wadah/organisasi yang sudah ada sejak dahulu dan masih diwarisi sampai sekarang. Bale banjar merupakan tempat untuk melaksanakan rapat-rapat anggota banjar. Data juga menujukkan bahwa masyarakat Ubud masih terikat dalam organisasi sosial banjar sebagai ciri khas masyarakat Bali yang komunal. Kata yang menunjukkan intensitas penggunaan yang tinggi juga ditunjukkan oleh kata kelihan adat ‗kepala adat‘ (93%). Kelihan adat dalam masyarakat Bali merupakan jabatan kehormatan sekaligus dituakan yang dipilih secara demokratis karena kemampuan, pengaruh, maupun pengetahuannya.

Mayarakat Ubud rupanya juga masih melestarikan tradisi ngoopin ‗bantu,tolong‘ dengan capaian pemakaian 93%. Ngoopin merupakan aktivitas masyarakat yang membantu keluarganya, tetangganya, masyarakatnya secara sukarela tanpa imbalan materi maupun uang. Yang paling rendah capaiannya adalah kata arah-arah ditunjukkan dengan angka 46%, dapat dikatakan bahwa generasi mudanya sudah tidak pernah menggunakan ‗pemberitahuan‘ untuk menyampaikan pemberitahuan dalam suatu organisasi.

(37)

Yang paling banyak diketahui dengan capaian 100% dengan tigabelas buah kata, yaitu roban/nyama ‗keluarga batih‘, pedanda/jero mangku ‗pendeta/pemimpin upacara, matatah/mapandes ‗upacara potong gigi‘, pawiwahan ‗menikah‘, mati/seda ‗meninggal‘ ngaben ‗kremasi‘, nanem ‗mengubur‘, ngayah ‗kerja adat‘, makemit ‗jaga malam‘, dan magibung ‗makan bersama‘, kulkul ‗kentongan‘, piodalana/patoyan ‗hari suci‘, nganten ‗kawin‘. Kata berikutnya yang persentasenya sangat tinggi (96%) sebanyak 6 buah kata, yaitu kata saiban ‗sejenis upacara setelah selasai masak‘, matungan ‗berpacaran‘, nglekadang ‗melahirkan‘, pradana ‗bertindak sebagai wanita dalam kedudukan adat‘, nguopin ‗partisipasi dalama kerja adat‘. Selain itu, ada empat kata yang menunjukkan psersentase cukup tinggi (93%), yaitu: beling/mobot ‗hamil‘, nelubulanin ‗upacara tiga bulan bayi‘, otonan ‗upacara kelahiran‘, rahinan ‗hari suci‘. Hanya ada dua kata yang mencapai 89%, yaitu kata ngidih/ngluku ‗upacara meminang‘ dan magebagan ‗begadang di rumah orang mati‘. Selanjutnya ada empat kata yang mencapai 86%, yaitu: majenukan ‗melayat‘, bulan pitung dina/akambuhan ‗upacara 42 hari‘, rajasewala/rajasinga ‗upacara akil balik untuk laki-laki/perempuan‘, dan malukat ‗upacara pembersihan diri‘. Ada empat buah kata yang mecapai angka 82%, yaitu: kepus pungsed ‗upacara putus tali pusar‘, nyeeb/ngatelunin ‗upacara tiga hari setelah penguburan mayat‘, dosa ‗denda‘, dan ngulapin ‗upacara setelah mengalami kecelakaan‘. Yang terendah 71% sebanyak tiga buah kata, yaitu kundangan ‗datang ke acara manusa yadnya‘, prayascita ‗upacara pembersihan lingkungan rumah‘, meras ‗upacara mengadopsi anak‘.

Bila dihitung rerata perbandingan jumlah persentase dengan jumlah kata yang ditanyakan sebanyak 36 buah kata, maka hasil yang diperoleh adalah 91, 97% mereka tahu. Angka ini mengindikasikan bahwa mereka para generasi muda di Ubud tahu dan memahami dengan baik tentang kehidupan religi.

(38)

kesenjangan pemakaian kata sebesar 17%. Ada sejumlah kata yang menunjukkan korelasi tinggi berbanding lurus antara pengetahuan dan pemahaman kata dengan pemakaian kata (100%). Adapun kat-kata tersebut adalah: pandita/jero mangku ‗pendeta/kepala upacara‘, nyama/roban ‗keluarga batih‘, ngaben ‗upacara pembakaran mayat‘, ngayah ‗bekerja secara tulus ikhlas dalam adat dan di pura‘, kulkul ‗kentongan‘, dan magibung ‗makan bersama secara adat‘.

Dilihat dari segi pemakaiannya, ada enam kata yang pernah mereka pakai/gunakan yang persentase paling tinggi (100%), yakni: kata pedanda/jero mangku ‗pendeta/pemuka/pemimpin upacara‘, nyama/roban ‗keluarga batih‘, ngayah ‗kerja adat‘, magibung ‗makan bersama‘, ngaben ‗upacara pembakaran mayat‘, kuklkul ‗kentongan‘. Penggunaan kata pedanda/jero mangku menunjukkan bahwa aktivitas kehidupan religinya sangat baik. Demikian juga untuk kata roban/nyama menunjukkan bahwa intensitas interaksi dalam keluarga sangat baik. Aktivitas magibung dan ngayah juga ditunjukkan oleh generasi muda Ubud terbukti mereka pernah menggunakan kata-kata tersebut.

Frekuensi pemakaian yang tinggi (96%) yang pernah dipakai oleh generasi muda di Ubud ditunjukkan oleh kata-kata nganten ‗kawin/menikah‘, nelubulanin ‗upacara tiga bulanan bayi‘, makemit ‗jaga malam di pura‘, dan nguopin ‗partisipasi dalam kerja adat‘. Hanya 4% sisanya mereka tidak memakainya.

Bila dihitung rerata perbandingan jumlah persentase aspek pemakaian kata dengan jumlah kata yang ditanyakan, maka hasil yang diperoleh adalah 87,78%. Ini berarti bahwa tingkat pemakaian kata lebih rendah 4,19% dari tingkat pengetahuan dan pemahaman kata sebesar 91,97%.

Pengetahuan kosa kata yang berkaitan dengan bidang kesenian dapat dijabarkan sebagai berikut ini (lihat tabel 4.4.1).

(39)

‗kelompok penabuh‘, dalang ‗dalang‘. Urutan ketiga dengan persentase tertinggi (93%) adalah kata isandal ‘alas kaki’.

Kedelapan belas buah kata tersebut ternyata kata-kata yang pernah dipakai memiliki rentangan antara 75%% -- 100% mereka memakainya dengan strata 8 kelompok (lihat tabel 4.4.2). Rentangan ini cukup korelatif dengan aspek pengetahuan dan pemahaman kata dengan rentangan 79% -- 100%. Dapat dikatakan bahwa ada degradasi pemakaian kata sebesar 4%. Tiga urutan pemakaian kata teratas adalah sebagai berikut ini. Lima buah kata mencapai 100%, yaitu: pasantian ‗semacam kelompok penyanyi‘, senteng ‗selempang‘, mabalih ‗menonton‘, ngigel ‗menari‘, mabalih menonton‘. Lima buah kata mencapai 96%, yaitu: sekaa gong ‗sekelompok penabuh‘, magending ‗bernyanyi‘, dalang ‘dalang’, gong ‗gong‘, kamen ‗kain‘, mapayas ‗berhias‘. Dua buah kata mencapai angka pemakaian 93%, yakni kata saput ‗kain penutup‘ dan sandal ‗sandal‘.

Ada 12 kata berbanding lurus antara aspek pengetahuan dan pemahaman kata dengan aspek pemakaian kata. Adapun kata-kata yang dimaksud adalah: sekaa gong, pragina, ngigel, magending, dalang, gong, bungkung, sandal, kamen, sabuk, senteng, lelancingan, dan mabalih. Jika dihitung rerata perbandingan persentase aspek pengetahuan dan pemahaman kata dengan jumlah kata sebanyak 18 buah kata hasilnya adalah 97,17% sedangkan rerata perbandingan aspek pemakaian dengan jumlah kata maka hasilnya adalah 92,39%. Masih ada kesenjangan pemakaian kata sebesar 4,78%

Ada 14 kata yang ditanyakan berkaitan dengan mata pencaharian. Hasilnya dapat dijabarkan sebagai berikut.

(40)

tajam. Sebesar 39% mereka sudah tidak mengetahui dan memahami kata tersebut. Berbeda dengan kata ta pini ‗juru banten‘, walaupun hanya menunjukkan angka 61% tetapi kata tapini ini adalah kata khusus, kata yang berkaitan dengan keahlian seseorang dalam hal membuat segala macam bentuk alat-alat upacara banten. Tapini adalah kata spesifik untuk keahlian dan kemampuan seseorang dalam hal menyelenggarakan upacara.

Ke-14 buah kata tersebut ternyata rentang pemakaiannya hanya menunjukkan 43% -- 86% mereka memakainya dengan sepuluh strata pengelompokan (lihat tabel 4.5.2). Tidak ada sebuah kata pun yang menunjukkan angka pemakaian 100%. Boleh jadi keadaan ini mengindikasikan bahwa di Ubud telah terjadi perubahan pola ekonomi untuk mencari nafkah dari agraris menuju industri pariwisata bila dilihat dari aspek penggunaan bahasa. Data berikut menguatkan indikasi adanya degradasi dari aspek pemakaian bahasa. Hampir semua kata yang ditanyakan frekuensi kemunculannya hanya sekali. Angka 43% (derep), 46% (tulup), 50% (tapini), 54% (juru boros), 57% (panyakap), 61% (balian manak, bendega, undagi), 71% (pangangon), 75% (bondres), 82% (pande), 86% (balian). Sebagai daerah tujuan wisata, profesi sebagai pande (tukang emas, perak, dll) dengan angka 82% memang cukup korelatif sebagai pendukung tujuan wisata. Demikian juga dengan angka 75% (bondres) Ubud terkenal dengan seni budayanya, sedangkan untuk kata balian dengan capaian 86% rupanya masih terkait dengan pola kehidupan masyarakat pedesaan.

Bila dihitung rerata jumlah persentase dengan jumlah kosa kata maka dapat dikatakan sebagai berikut. Aspek pengetahuan dan pemahaman kata hasil perbandingannya 77,14 mereka mengetahui (masih ada 22,86% tidak mengetahui dan memahami kata yang ditanyakan) dan rerata jumlah persentase aspek pemakaian kata sebesar 63,5%. Ini berarti masih ada sekitar 36,50% mereka tidak pernah memakai kata-kata yang ditanyakan dan merupakan angka yang cukup signifikan. Bila dikaitkan antara aspek pemahaman sebesar 77,14 % dengan aspek pemakaian sebesar 63,50% maka akan ada degradasi pemakaian sebesar 13,64% suatu angka yang cukup signifikan dalam rangka pemertahanan bahasa Bali sebagai bahasa ibu.

(41)

bahasa Bali ada 10 slogan/ungkapan yang ditanyakan. Hasilnya dapat dilihat dalam tabel 4.6. Berikut deskripsi masing-masing wilayahan penelitian.

Untuk wilayah Ubud dari 10 buah ungkapan yang ditanyakan ternyata memiliki rentangan antara 54% -- 86%. Untuk hal ini generasi muda yang dijadikan responden ternyata tidak ada yang 100% memakai ungkapan dalam bahasa Bali. Yang paling sulit dan paling rendah pemakaiannya adalah ungkapan ngejuk balang ngaba alutan ‗bagaikan menangkap belalang sambil membawa api, dapat satu dimakan satu‘. Secara filosofis, ungkapan ini mengandung makna yang sangat dalam ditujukan kepada orang yang tidak bisa menabung, tidak bisa menyisihkan pendapatannya untuk hari esok. Dahulu tradisi menangkap belalang merupakan salah satu kegiatan petani untuk mencari lauk dan belalang merupakan salah satu pilihan favorit masa itu. Namun, seiring perkembangan zaman, tradisi itu barangkali sudah dilupakan dan tidak pernah dilakukan lagi. Hal ini barangkali seiring dengan semakin sempitnya ladang dan persawahan serta perubahan pola kehidupan perekonomian. Ungkapan kedua yang jarang dipakai (61%) adalah cen kayune sing tempuh angin ‗semakin tinggi ikhtiar kita semakin tinggi pula cobaan menghadang‘. Banyak yang tidak memahami bahwa godaan itu selalu ada dan hal itu adalah alamiah, semuanya tergantung pada kita. Ungkapan yang paling populer dengan angka 75% adalah gede kenehne/gede tendasne, ngaduk sera aji keteng, gede ombak gede angin. Ketiga ungkapan tersebut adalah ungkapan yang populer di masyarakat, gede kenehne/gede tendasne ‗besar kemauannya/ besar kepalanya‘ ditujukan untuk orang yang sombong, ngaduk sera aji keteng ‗nila setitik rusak susu sebelanga‘ merupakan ungkapan salah satu ciri masyarakat komunal yang ditujukan kepada perbuatan segelintir orang berakibat pada nama baik keseluruhan. Ungkapan gede ombak gede angin ‗besar pendapatan besar pula pengeluarannya‘ sebenarnya kosakata masyarakat pesisir pantai, namun ungkapan ini begitu memasyarakat di Bali (khususnya di Ubud). Ungkapan ini biasanya ditujukan pada orang yang berperilaku konsumtif.

(2) Sanur

(42)

ditanyakan dengan rentangan 89% -- 100% dengan empak pengelompokan (lihat tabel 4.1.1). Ada lima buah kata menunjukkan angka 89% (kenken, selae, sasur, telung benang, ubad). Ada enam kata dengan capaian 93% (jukut, teka/rauh, uyah/tasik, gadang/wilis, ulung/labuh/runtuh, satak). Ada tujuh kata dengan angka 96% (yeh/toya, cicing/asu, api/geni, bek/liu/akeh, negak/malinggih, ia/ipun/ida, basang/weteng). Ada tujuh kata yang mencapai angka 100% (pianak/oka, luung/beci, be/ulam, selem, meme/biang, siu,bongol).

Rentangan persentase di atas ternyata tidak diimbangi dari aspek pemakaian kata. Hasil tabulasi menunjukkan bahwa tingkat pemahaman yang tinggi itu tidak serta-merta kata itu digunakan. Rentangannya cukup variatif dengan tujuh strata pengelompokan berkisar 75% -- 100% (lihat tabel 4.2.1). Satu kata menunjukkan angka 75% (gadang/wilis) merupakan angka terrendah. Ada lima kata menunjukkan angka 82% (cicing/asu, kenke/sapunapi, uyah/tasik, sasur, dan telung benang). Ada empat kata menunjukkan angka 86% (api/geni, ulung/labuh/runtuh, selae, satak). Ada empat kata menunjukkan angka 89% (pianak/oka, jukut/jangan, basang/weteng, ubad/tamba). Ada empat kata menunjukkan angka 93% (teka/ rauh, ipun/ida/ia, siu, bongol). Ada enam kata yang menunjukkan angka 96% dan merupakan frekuensi tertinggi, yakni yeh/toya, luung/becik, bek/liu, negak/malinggih, selem, meme/biang). Ada satu kata yang menunjukkan angka 100%, yakni ulam/be. Kata ulam/be berbanding lurus antara pemahaman dan pemakaian sama-sama mencapai 100%. Hal ini sangat rasional mengingat Sanur adalah wilayah pantai.

Jika dihitung rerata jumlah persentase dengan jumlah kata yang ditanyakan sebanyak 25 buah, maka hasilnya adalah 95% mereka tahu kata-kata yang ditanyakan tersebut. Namun, jika dibandingkan dengan rerata persentase pemakaiannya dibagi dengan jumlah kata yang ditanyakan maka hasilnya 89,32%. Artinya masih ada kesenjangan pemakaian kata sebesar 5,68% dari kata yang mereka tahu dan mereka pahami.

(43)

antara 50 %-100% mereka mengetahu kata tersebut (lihat tabel 4.2.1). Masing-masing satu kata menunjukkan angka 50%, 54%, 71%, 79%, 82%. Ada tiga kata menunjukkan 96% (kelihan adat, nguopin, arah-arah). Ada dua kata yangmenunjukkan 100% (sangkep/paum dan bale banjar).

Dalam aspek pemakaian kata ternyata rentangannya ada di kisaran 39% -- 93% (lihat tabel 4.2.2). Kata yang terrendah pemakaiannya adalah kata cingkrem ‗iuran‘ 39% atau 61% kata tersebut sudah tidak pernah dipakai lagi. Kata yang rendah pemakaiannya adalah kata nyambangin ‗ronda malam‘ hanya mencapai 43%. Yang paling tinggi pemakaiannya adalah kata kelihan adat ‗kepala adat‘ menunjukkan angka 93%. Tidak ada sebuah kata pun mampu menunjukkan angka 100%. Tertinggi kedua (89%) dengan dua buah kata, yaitu kata sangkep/paum dan bale banjar. Namun demikian, bila dirata-ratakan antara jumlah persentase dengan jumlah kata yang ditanyakan maka aspek pemahaman kata hasilnya 82,40% dan aspek pemakaiannya di kisaran 70,60%. Dengan kata lain bahwa ada selisih sebesar 11,80% kata-kata yang diketahui dan dipahami dengan aspek pemakaiannya.

Pengetahuan mengenai kosa kata yang berkaitan dengan kehidupan religi, dari 36 buah kata yang ditanyakan kisarannya antara 50%-100% (lihat tabel 4.3.1). Angka 50% ini ditunjukkan oleh kata ngidih/ngluku ‗meminang‘ sisanya lagi 50% generasi muda di Sanur sudah tidak paham dan tidak tahu. Pemahaman terrendah kedua (68%) ditunjukkan oleh kata-kata nyama/roban, pradana, dan meras. Namun demikian, secara keseluruhan hasil jumlah psersentase dengan jumlah kaa yang ditanyakan sebanyak 36 buah maka hasilnya 92, 38%, yakni dapat sesuatu pemahaman yang baik.

(44)

Bila jumlah persentase pemakaian dibandingkan dengan jumlah kata yang ditanyakan maka hasilnya adalah 82,70%. Kisaran ini masih cukup bagus walaupun masih ada degradasi pemakaian kata sebesar 9,68% dari 92,38 aspek pemahaman kata. Untuk kata-kata yang berkaitan dengan kesenian ada 18 buah kata yang ditanyakan. Hasil tabulasi menunjukkan aspek pemahaman kata dengan parameter tahu dan tidak tahu mencapai rentangan cukup tinggi 71% -- 100% (lihat tabel 4.4.1). Yang terrendah (71%) hanya terdapat satu kata, yakni kata suweng/subeng/gliur ―giwang‘. Ada satu kata mencapai 82%, yakni kata lelancingan/kancut ‗ujung kain laki-laki‘. Ada tiga kata mencapai 96%, yakni kata sekaa gong, pragina, dan pasantian. Yang menggembirakan dengan angka 100% adalah kata ngigel, magending, masolah, dalang, gong, bungkung, sandal, kamen,saput,mapayas, mabalih, semuanya berjumlah sebelas buah kata atau 61,11% tahu kata-kata yang ditanyakan sebanyak 18 buah. Dengan rentangan seperti itu, maka bila dihitung jumlah persentase dengan jumlah kata

Untuk aspek pemakaian kata hasil tabulasi menunjukkan angka lebih rendah berada dalam rentangan 61% -- 100% (lihat tabel 4.4.2). Angka 61% ditunjukkan oleh kata suweng/subeng/gliur. Angka 75% ditunjukkan oleh kata pasantian dan lelancingan. Angka 86% ditunjukkan oleh tiga kata, yaitu sekaa gong, pragina, dan dalang. Selanjutnya, angka 89% hanya satu kata, yakni senteng. Angka 93% juga hanya satu kata, yakni kata saput. Angka 96% cukup paling banyak dengan enam buah kata, yaitu: ngigel, masolah,gong, bungkung, sabuk dan mapayas. Angka 100% juga cukup banyak dengan empat buah kata, yaitu kata magending, sandal, kamen, mabalih. Bila dihitung rerata jumlah persentase pemakaian yang diperoleh dengan jumlah kata yang ditanyakan sebanyak 18 buah, maka hasilnya adalah 90,39%. Ini berarti bahwa aspek pemakaian kata-kata yang ditanyakan itu cukup tinggi walaupun masih ada kesenjangan 5,11% dari aspek pemahaman kata.

(45)

persentase yang diperoleh dengan jumlah kata sebanyak 14 buah maka hasilnya 81, 36%.

Dilihat dari aspek pemakaian kata ternyata menunjukkan hasil rentangan 18% -- 79%. Tidak ada sebuah kata pun menunjukkan angka 100% (lihat tabel 4.5.2). Ada enam buah kata menunjukkan dibawah 50%. Adapun kata-kata yang dimaksud adalah derep (18%), panyakap (25%), tulup (32%), dua kata balian manak dan tapini (43%), dan kata juru boros (46%). Selebihnya 57% satu kata (undagi), 61% satu kata (balian), 64% dua kata (pangangon dan tukang terangi), 68% satu kata (bendega), 75% dua kata (buruh dan pande), dan yang tertinggi 79% satu kata (bondres). Dengan demikian, bila dihitung rerata jumlah persentase dengan jumlah kata sebanyak 14 buah maka hasilnya 53,57% atau hampir setengah (46,43%) mereka sudah tidak memakai kata itu. Kalau dibandingkan dengan rerata aspek pemahaman kata dengan parameter tahu yang menunjukkan angka 81,36% maka kesenjangan pemakaiannya mencapai 27,79% suatu kesenjangan yang cukup tinggi.

(46)

sekali-kali memandang remeh orang lain. (iii) buka siap sambehin injin ‗bagai ayam diberi ketan hitam‘ ditujukan kepada orang yang linglung tidak melihat ada makanan di sampingnya akhirnya kelaparan sendiri.

Berdasarkan rerata jumlah persentase tahu dan pernah memakainya maka hasilnya adalah 68,10% atau masih ada sebagian sebanyak 31,90% mereka tidak tahu dan tidak pernah memakainya.

(3) Kuta

Sesuai dengan rencana jumlah responden di Kuta mencapai 25 orang. Dari 25 buah kata daftar kata Swadesh yang ditanyakan untuk aspek pemahaman kata dengan parameter tahu dan tidak tahu serta aspek pemakaian dengan parameter pernah pakai dan tidak pernah pakai dapat diketahui berdasarkan hasil tabulasi sebagi berikut ini.

Aspek pemahaman kata dari tabulasi kata menunjukkan rentangan 52% --100% mereka tahudengan sembilan tingkat pengelompokan (lihat tabel 4.1.1). Kelompok terrendah dengan angka 52% hanya pada satu kata bilangan sasur ‗tiga puluh lima‘, 72% ditunjukkan oleh satu kata telung benang ‗tujuh puluh lima‘, angka 76% ditunjukkan satu kata satak ‗dua ratus‘, angka 80% ditunjukkan oleh empat kata sekaligus sebagai kata dengan frekuensi paling banyak kedua, yaitu kata gadang/wilis, siu, basang/weteng, dan ubad/tamba. Selanjutnya, angka 84% ditunjukkan dengan dua kata ulung/labuh/runtuh dan selae, angka 88% ditunjukkan dengan dua kata uyah/tasik dan ida/ipun, angka 92% ditunjukkan dengan tiga kata negak/malinggih, meme/biang dan bongol. Angka 96% ditunjukkan dengan satu kata selem, dan angka 100% ditunjukkan dengan 10 buah kata sekaligus frekuensi tertinggi. Dengan rentangan seperti itu, maka jumlah persentase dibandingkan dengan jumlah kata sebanyak 25 buah akan hasilnya adalah 89,44%. Dari segi aspek pemahaman kata angka 89,44% sudah cukup baik.

Gambar

Grafik tiap-tiap komponen sikap bahasa di atas menunjukkan bahwa

Referensi

Dokumen terkait

a. Mobilitas penuh : merupakan kemampuan seeseorang untuk bergerak secara penuh dan bebas sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan menjalankan peran

Penghargaan Pembangunan Daerah diberikan kepada pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota dengan ruang lingkup penilaian meliputi: (1) Proses penyusunan dokumen RKPD, (2) Kualitas

BAB III METODE PENELITIAN bab ini berisikan tentang pendekatan dan jenis penelitian, unit analisis, tahap-tahap penelitian dan teknik analisis data BAB IV PENYAJIAN DATA DAN

Beberapa algoritma yang sering digunakan dalam steganografi menggunakan gambar sebagai file induk salah satunya yaitu metode End of File (EOF) (Edisuryana, Isnanto

Piper sarmentosum Roxb. ex Hunter merupakan salah satu spesies tumbuhan dari famili Piperaceae yang selama ini dikenal sebagai obat tradisional untuk mengobati berbagai macam

Aktiviti pergerakan merupakan aktiviti yang memerlukan kerjasama, menjalin rassa saling mempercayai dan memikul tanggungjawab menhadapi cabaran-cabaran yang di

menjadi vektor malaria di Sulawesi Tengah, karena beberapa syarat untuk menjadi vektor telah terpenuhi, seperti dominansi spesies yang relatif tinggi, tertangkap

Pelayanan rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf d merupakan pelayanan yang diberikan oleh pendamping dalam rangka memulihkan kondisi