iii
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada peneliti sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul REPRESENTASI SETEOTIP LAKI-LAKI DALAM IKLAN TELEVISI (Studi semiotik Representasi Stereotip Laki-laki pada Iklan Nescafe Classic Versi Rasa Lebih Hitam di Televisi) ini dapat disusun dengan baik dan lancar. Penulisan penelitian skripsi ini bertujuan unutk memenuhi prasyarat bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Pembangunan Nasional ”VETERAN” Jawa Timur.
Peneliti menyadari bahwa laporan skripsi ini dapat terselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini peneliti menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang dengan kesabaran telah memberikan petunjuk dan bimbingan sehingga penyusunan laporan proposal skripsi ini dapat terselesaikan. Peneliti sadar bahwa sejak melakukan tugas akhir ini bnayak kekurangan, dan peneliti menucapkan terima kasih kepada :
iv
membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Keluargaku yang telah memberikan bantuan moril dan materiil yang tak ternilai.
5. Teman dan sahabat-sahabatku yang telah memberikan motivasi dan semangat serta dorongan untuk menyelesaikan studi.
Dengan menyadari kemampuan yang terbatas dalam penulisan laporan skripsi ini, peneliti meminta maaf yang sebesar-besarnya jika terdapat kesalahan. Dan peneliti mengharapakan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan dari penelitian ini.
Surabaya, 23 November 2010
v
Lembar Pengesahan...ii
Kata Pengantar ...iii
Daftar Isi ...v
Abstraksi...ix
BAB I PENDAHULUAN...1
1.1 Latar Belakang Masalah……….………1
1.2 Perumusan Masalah ...10
1.3 Tujuan Penelitian ...10
1.4 Kegunaan Penelitian ...10
BAB II KAJIAN PUSTAKA ...12
2.1 Landasan Teori ...12
2.1.1 Iklan Televisi ...12
2.1.2 Periklanan sebagai bentuk Komunikasi Massa ...15
2.1.3 Representasi ...16
2.1.4 Stereotip ...17
2.1.5 Stereotip Laki-laki ...20
2.1.6 Macho ...23
vi
2.1.11 Semiotik John Fiske ...31
2.1.12 Komunikasi non Verbal ……….……….46
2.1.13 Psikologi Warna ...47
2.2 Kerangka Berpikir ...53
BAB III METODE PENELITIAN ...55
3.1 Metode Penelitian ...55
3.2 Kerangka Konseptual ...56
3.2.1 Stereotip laki-laki ...56
3.2.2 Korpus Penelitian ...56
3.2.3 Teknik Pengumpulan data ...57
3.2.4 Teknik Analisis Data ...58
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN...59
4.1 Gambaran Umum Objek dan Penyajian data………...59
4.1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian………...59
4.1.2 Penyajian Data………...61
4.2 Analisis Data………62
4.2.1 Analisis John Fiske………62
vii
5.2 Saran...75
viii
Representasi Stereotip Laki-laki pada Iklan Nescafe Classic rasa Lebih Hitam di Televisi)
Penelitian ini didasarkan pada kurangnya pemahaman dan penjelasan akan stereotip laki-laki dalam masyarakat terutama di Indonesia. Iklan Nescafe Classic ini menyajikan gambaran lain akan stereotip laki-laki yang seharusnya masyarakat pahami dan mengerti. Penggambaran berbeda dari stereotip laki-laki dijabarkan dalam iklan ini. Iklan dalam media massa itu menyampaikan pesan tertentu kepada masyarakat. Penelitian ini dilakukan unutk mendeskripsikan representasi stereotip laki-laki dalam iklan tersebut.
Stereotip laki-laki sangat identik dengan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan, kepribadian dan ciri laki-laki itu sendiri. Sebagai landasan teori, penelitian ini menggunakan pendekatan Semiotik John fiske, iklan televisi, Macho, Maskulinitas, Periklanan sebagai bentuk Komunikasi Massa, penggunaan warna dalm iklan, komunikasi non verbal, representasi.
Penelitian ini, merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan metode semiotik. Korpus penelitian adalah iklan kopi Nescafe Classic versi Rasa lebih Hitam 5 scene. Data analisi dalam penelitian ini melalui 3 level yakni level realitas menekankan pada unsur penampilan, kostum, make-up, setting dan gerak tubuh. Level representasi yang berunsur pada teknik kamera, editing, pencahayaan dan suara. Level ideologi merupakan perngorganisasian dalam kesatuan dan penerimaan sosial seperti individualisme patriarki, umur, ras, pluralisme, dan sebagaianya.
1 1.1Latar Belakang Masalah
Dewasa ini, kegiatan periklanan sangat melekat di kehidupan masyarakat. Di Indonesia dunia periklanan berkembang pesat seiring berkembangnya teknologi dan informasi. Meningkatnya kegiatan periklanan membuata optimis berbagai kalangan, terutama industri atau perusahaan. Dalam ilmu komunikasi pemasaran, iklan merupakan investasi untuk menjaga hubungan yang berkesinambungan antara perusahaan dan konsumennya. Bahkan menurut Bedjo Riyanto, iklan sama pentingnya dengan investasi di bidang pengemasan (packaging), distribusi maupun penelitian pasar (market research) yang sasaran akhirnya mencapai perolehan laba penjualan secara maksimal (Riyanto, 2001:18).
berlomba-lomba memenangkan pasar. Semua produk ingin menghendaki dirinya menjadi Market Leader. Para kreator iklan dituntut untuk lebih kreatif dalam menghadirkan konsep iklan dan mengemas pesan-pesan iklan tersebutdengan semaksimal mungkin guna menarik perhatian calon konsumen. Oleh karenanya dalam mengiklankan suatu produk tertentu harus mengandung daya tarik tersendiri. Maka untuk menampilkan kekuatan iklan atau pesan, tidak hanya sekedar menampilkan kekuatn pesan verbal melainkan juga menampilkan kekuatan pesan non verbal. Pesan verbal adalah pesan yang disampaikan baik secara lisan maupun tulisan. Dan semua yang bukan pesan verbal ialah pesan non verbal, sepanjang bentuk non verbala tersebut mengandung arti maka ia dapat disebut sebagai sebuah pesan komunikasi.
Komunikasi iklan pada dasarnya sama, yakni bentuk komunikasi persuasi terhadap komoditi atau produk dan jasa yang erta kaitannya dengan masalah pemasaran. Tujuan dasar iklan adalah memberikan informasi tentang suatu produk layanan dengan cara dan strategi persuasif. Agar pesan dapat dipahami, diterima, disimpan dan diingat serta adanya tindakan tertentu (membeli), yang ditingkatkan dengan cara menarik perhatian konsumen serta menimbulkan asosiasi yang dapat mengugah selera agar bertindak sesuai keinginan komunikator (Cialdini, 2007:124). Dalam beberapa iklan yang ditayangkan di televisi, banyak terdapat perbedaan gender.
hingga banyak yang dianggap sebagai ketentuan Tuhan (seolah-olah bersifat biologis dan tidak dapat diubah-ubah lagi), sehingga perbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai kodrat (Mansour Fakih, 2001). Menurut Judith Waters dan George Ellis (1996), gender merupakan kategori dasar dalam budaya, yaitu sebagai proses dengan identifikasi tidak hanya orang, tetapi juga perbendaharaan kata, pola bicara, sikap dan perilaku, tujuan, dan aktifitas seperti ”maskulinitas” atau ”feminitas”. Berbagai perbendaharaan itu akhirnya memunculkan stereotip tertentu yang disebut dengan stereotip gender (Widyatama, 2006:4).
Menurut Priyo Soemandoyo (1999) kata stereotip berarti citra baku. Citra baku merupakan gambaran atau imaji yang seolah-olah menetap, khas dan tidah berubah-ubah. Jallaludin Rakhmat (1986) menuliskan bahwa stereotip seringkali klise, timpang dan tidak benar. Sehingga stereotip gender bisa diartikan sebagai gambaran laki-laki dan perempuan yang khas, tidak berubah-ubah, klise seringkali timpang dan tidak benar. Ia bersumber dari ola pikiran manusia. Atau menurut Judith dan Ellis, stereotip gender sebagai bagan atau schemata (struktur kognitif) tentang sifat dan perilaku yang diterima sebagai tipe rata-rata pria (dalam hal ini laki-laki) dan wanita (Judith Waters dan George Ellis, 1996).
emosional, keibuan, berantung pasif, lemah dll. Sementara pria, dalam hal ini laki-laki, digambarakan sebagai sosok agresif, dominan, superior, dimitoskan sebagai pelindung, kuat, rasional, jantan perkasa. Representasi tersebut sangat menonjol dan merupakan penggambaran yang bersifat tradisional (Widyatama, 2006:28). Penggambaran pria ataupun laki-laki pada iklan tampak pada tampilan atau visual melalui tanda dan simbol-simbolnya. Contohnya : pria bertubuh atletis pada iklan kebugaran, berambut panjang pada iklan motor besar atau otomotif, berbadan bagus pada iklan alat kesehatan dan alat kontrasepsi, berparas seorang petualang pada iklan rokok, dll.
Dalam berbagai budaya, posisi pria selalu berada diatas perempuan termasuk juga dalam budaya patriakal. Dalam masyarakat patriakal perempuan ditempatkan dalam posisi sub-ordinasi terhadap pria. Sistem patrilineal dalam masyarakat Indonesia masih tumbuh subur, karena masih berkembang warna sisa-sisa feodalistik. Paham yang menempatkan hubungan perempuan dan pria bersifat hierarkis. Pria lebih dominan dan menentukan sementara perempuan lebih sub-ordinat, yang dalam beberapa hal lebih ditentukan oleh pria daripada memberikan andil penguasaan pada perempuan (Priyo Soemandoyo, 1999). Budaya tersebut sangat luas dianut dalam masyarakat jawa sehingga mempengaruhi banyak sendi kehidupan (Widyatama, 2006:9).
dalam diri seorang yang meskipun disembunyikan dibalik berbgai selubung lahiriah, apda waktu-waktu tertentu tetap akan dapat dilihat oleh orang lain.
Wanita sering menstereotipkan laki-laki dalam berbagai bentuk kepribadian, akan tetapi stereotip laki-laki itu sendiri belum mewakili laki-laki secara keseluruhan. Stereotip ialah ringkasan kesan mengenai sebuah kelompok orang dimana semua anggota dalam kelompok dilihat memiliki sifat yang sama. Bagaimanapun juga, stereotip merefleksikan perbedaan antar orang, dan mereka juga mendistorsikan kenyataan dalam tiga cara (Judd dkk., 1995). Pertama, mereka melebih-lebihkan perbedaan kelompok, membuat kelompok yang distereotipkan terlihat aneh, asing, atau berbahaya, tidak seperti ”kami”. Kedua, mereka menghasilkan persepsi selektif, orang cenderung untuk melihat bukti yang sesuai dengan stereotip dan menolak adanya persepsi yang tidak sesuai dengan stereotip. Ketiga, mereka mengabaikan perbedaan masing-masing anggota dalam kelompok asing ini. Namun stereotip laki-laki ialah persepsi atau kesan tentang sesorang yang mempunyai sifat, kemampuan yang maskulin, kuat, tenang, logika serta pemberani. Stereotip laki-laki seperti ini yang sering diinginkan oleh kebanyakan pria, namun banyak juga wanita yang menmukan dan menentukan stereotip laki-laki di dalam diri pria idamannya. Stereotip pria atau laki-laki yang diinginkan wanita didistorsikan dalam sebuah citra oleh media massa dengan menggambarkan dan mensahkan itulah stereotip laki-laki sebenarnya.
terstereotipkan pada produk-produk yang menggambarkan maskulinitas, keberanian, petualang dan kejantanan. Produk-produk yang dulu hanya dikonsumsi oleh pria itu sekarang ditereotipkan oleh media massa. Produk-produknay anatara lain : rokok, kopi, alkohol dan kondom. Produk kopi yang dulu mengstigma masyarakat dengan cara yakni yang hanya boleh memakai atau menggunakannya ialah para pria atau laki-laki, karena kopi menggambarkan kedewasaan, kebijakan dan kekuatan. Hal ini terbuktikan dengan pengkonsumsi kopi yang dahulu hanya para pekerja, buruh, sopir angkot atau truck, kuli bangunan, orang tua, hansip, dll., kerena itu mereka menggambarkan secara sempurna bahwa kopi ialah alat atau citra dari pria atau laki-laki. Stereotip yang sudah memasyarakat tersebut sangat berbeda dengan keadaan saat ini. Dimana penikmat kopi bukan para kaum adam lagi, perkembangan teknologi informasi dan moderenisasi serta globalisasilah yang telah merubahnya. Karena semakin banyak bukti bahwa yang bisa mengkonsumsi atau menikmati kopi bukan para pria atau laki-laki lagi. Buktinya dengan kemunculan iklan kopi dengan model seorang wanita atau remaja perempuan bukan laki-laki atau pria.
penggamabran beberapa jenis pria dilaihat dari keadaan fisiknya. Menurut stereotip atau persepsi masyarakat, pria atau laki-laki yang digambarkan oleh nescafe itu merupakan citra lelaki atau laki-laki tradisional yang sudang mengakar dan membudaya pad apola pikir masyarakat. Tindakan diskriminatif seperti ini menimbulkan konflik dan halangan dalam kehidupan sosial di masyarakat. Potensi akan perkembangan masyarakat itulah yang terhambat dengan adanya prasangka-prasangka atau stereotip pada masyarakat. Dan mengenai tanda (sign) yang digunakan, citra (image) atapun immbol yang ditampilkan, informasi yang disampaikan, makna yang diperoleh serta bagaiaman semuanya berpengaruh pada persepsi, pemahaman dan tingkah lakumasyarakat.
Berbagai macam tanda dalam iklan tersebut meruapkan sistem tanda yang membawa sejumlah ide tertentu yang dikehendaki perbautanya (komunikator, pengiklan, nescafe) agar masyarakat paham dan tahu yang diinginkannya. Tanda-tanda tersebut dibangun dalam berbagai tingkatan, mulai dari sangat sederhana hingga kompleks dan melibatakan banyak sekali sistem tanda. Sebagaiaman yang dituliskan oleh Kasiyan, iklan adalah teks yang dibangun oleh seperangkat tanda baik audio maupun visual yang berfungsi untuk menyampaikan sejumlah pesan (Kasiyan, 2001). Apapun tingkat kekompleksitasan tanda yang digunakan pada dasarnya iklan televisi selalu berupaya agar bisa dipahami oleh khalayaknya (Widyatama, 2006:20).
yang kita gunakan sehari-hari tidaklah menggambarakan realitas. Melainkan hanyalah pengklisean persepsi atau prasangka dari pemikiran dan pengetahuan yang dimiliki oleh individu, kelompok tertentu ataupun masyarakat. Untuk itulah memahami iklan tidak semudah dan sesingkat menikmati iklan tersebut (Adrian Dektisa hangijanto, 2003). Demikian pula bias gender yang ada di dalamnya (Widyatama, 2006:22). Maka peneliti akan menggunakan sebuah studi semiotik unutk mengkaji dan memahaminya.
1.2Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah ”Bagaiamana representasi Stereotip Laki-laki dalam Iklan Nescafe Classic versi Rasa lebih Hitam di Televisi ?”
1.3Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian berdasarkan rumusan masalah di atas adalah untuk mengetahui Representasi Stereotip laki-laki dalam iklan Nescafe Classic versi Rasa Lebih Hitam di Televisi.
1.4Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapakan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
2. Manfaat Akademis, menambah khasanah kawasan wawasan dalam subjek periklanan dan mengetahui stereotip dalam iklan.
12 2.1 Landasan Teori
2.1.1 Iklan Televisi
Iklan merupakan bagian dari reklame yang berasal dari bahasa
Prancis, yaitu re-clame yang berarti “meneriakkan berulang-ulang”.
Terdapat berbagai macam definisi serta pengertian dari iklan. Namun,
pada hakikatnya iklan adalah pesan yang disampaikan dari komunikator
pada komunikan. Oleh karena itu iklan adalah bentuk kegiatan
komunikasi.
Komunikasi iklan pada dasarnya sama, yakni bentuk komunikasi
persuasi terhadap komoditi atau produk dan jasa yang erat kaitannya
dengan masalah-masalah pemasaran. Iklan merupakan ‛media’ pemilik
produk yang diciptakan oleh biro iklan untuk disebarluaskan kepada
khalayak dengan berbagai tujuan, diantaranya sebagai informasi produk
dan mendorong penjualan. Karena mendorong penjualan, maka iklan
merupakan bagian dari pemasaran produk (Widyatama, 2006: 13).
Tujuan dasar iklan adalah pemberian informasi tentang suatu
produk layanan dengan cara dan strategi persuasif. Menurut medianya
advertising (lini atas) dan bellow the line advertising (lini bawah). Above
the line advertising adalah jenis-jenis iklan yang disebarluaskan melalui media massa, misalnya surat kabar, majalah, radio, dan televise.
Sementara bellow the line advertising adalah kegiatan periklanan yang
tidak melibatkan pemasangan iklan di media massa dan tidak memberikan
komisi terhadap perusahaan. Umumnya, kegiatan periklanan lini bawah ini
bersifat penjualan promosi, yaitu kegiatan pemasaran yang dilakukan di
tempat penjualan. (Widyatama, 2006: 13-14).
Sesuai medianya, iklan televisi (television commercial) adalah
iklan yang ditayangkan televisi. Melalui media ini, pesan dapat
disampaikan dalam bentuk audio, visual, dan gerak. Sejalan dengan itu
menurut Wells, Burnet & Mariarty terdapat beberapa bagian dalam iklan
yang ditayangkan di televisi, terdiri dari video, suara (audio), model (talent), peraga (props), latar (settings), pencahayaan (lighting), grafik
(grapich), kecepatan (pacing) (Wells, Burnet & Mariarty, 1999: 391-394). 1. Video yaitu segala sesuatu yang ditampilkan di layar yang bisa
dilihat pada iklan di televisi merupakan stimulus yang merangsang
perhatian khalayak atau dijadikan perhatian karena pada dasarnya
manusia secara visual tertarik pada obyek yang bergerak. Dengan
kata lain manusia lebih tertarik pada iklan display yang bergerak. 2. Suara atau audio dalam iklan televisi, pada dasarnya sama dengan
di radio, yaitu dengan memanfaatkan musik, lagu-lagu singkat
menyampaikan pesan, langsung kepada khalayak melalui dialog
yang terekam pada kamera.
3. Aktor atau model iklan (talent) juga menjadi bagian penting dalam iklan. Sebagaimana banyak studi yang menunjukkan bahwa
keefektifan komunikasi juga ditentukan oleh ciri-ciri dari
komunikator, seperti kredibilitas dan daya tarik.
4. Alat peraga (props) adalah peralatan-peralatan lain yang digunakan
untuk mendukung pengiklan sebuah produk. Unsur utama alat
peraga ini harus merefleksikan karakter, kegunaan, dan keuntungan
produk, seperti logo, kemasan dan cara penggunaan suatu produk.
5. Latar atau suasana (setting) adalah tempat atau lokasi dimana
pengambilan gambar (shooting) ketika adegan itu berlangsung. Lokasi tersebut dipilih berdasarkan tema iklan.
6. Pencahayaan (lighting) sangat penting untuk menarik perhatian
khalayak dalam menerima suatu obyek tentang kejelasan gambar.
7. Gambar atau tampilan yang bisa dilihat pada iklan di televisi
merupakan stimulus yang merangsang perhatian khalayak dalam
menerima kehadiran sebuah obyek, dan diharapkan khalayak lebih
mudah menerima dan mempersepsikan makna yang disampaikan.
Unsur gambar ini misalnya mengandalkan komposisi warna atau
bahasa tubuh (gesture) dari pemeran iklan.
Kecepatan atau pengulangan merupakan unsur yang sering dipakai,
Sebagai contoh misalnya pengulangan nama merk atau keunggulan produk
dibandingkan yang lain. Sebagaimana teori dalam gaya bahasa bahwa
sesuatu yang disampaikan berkali-kali bila disertai variasi akan menarik
perhatian orang.
2.1.2 Periklanan sebagai bentuk Komunikasi Massa
Menurut Harold Lasswell, unsur-unsur komunikasi massa terdiri
dari sumber (source), pesan (message), saluran (channel), penerima (receiver), dan efek (effect). Dalam sudut pandang periklanan, sumber
disini tidak lain adalah komunikator atau sponsor tertentu secara jelas.
Komunikator dalam iklan dapat datang dari perseorangan, kelompok
masyarakat, lembaga atau organisasi, bahkan negara. Yang kedua adalah
pesan. Sebuah iklan tidak akan ada tanpa adanya pesan. Pesan yang
disampaikan oleh sebuah iklan, dapat berbentuk perpaduan antara pesan
verbal dan non verbal. Pesan verbal adalah pesan yang disampaikan baik
secara lisan maupun tulisan. Semua pesan yang bukan pesan verbal adalah
pesan non verbal. Sepanjang bentuk non verbal tersebut mengandung arti,
maka ia dapat disebut sebagai pesan komunikasi (Widyatama, 2007: 17).
Unsur saluran menyangkut media yang dipakai untuk
menyebarluaskan pesan-pesan baik itu media cetak, elektronik maupun
internet. Selanjutnya adalah unsur penerima. Iklan diciptakan karena ingin
ditujukan kepada khalayak tertentu. Sifat-sifat dari khalayak sasaran ini
audience dengan komunikator tidak saling mengenal (anonim). Oleh
karena itu, dalam dunia periklanan khalayak sasaran cenderung bersifat
khusus. Pesan yang disampaikan tidak dimaksudkan untuk diberikan
kepada semua orang, melainkan kelompok target audience tertentu.
Dengan demikian, pesan yang diberikan harus dirancang khusus sesuai
dengan target khalayak (Widyatama, 2007: 22).
Yang terakhir adalah unsur efek. Semua iklan yang dibuat oleh
pengiklan dapat dipastikan memiliki tujuan tertentu, yaitu berupa dampak
tertentu di tengah khalayak. Dampak tertentu yang diharapkan oleh
pengiklan dapat berupa pengaruh ekonomis maupun dampak sosial.
Pengaruh ekonomis adalah dampak yang diharapkan dapat diwujudkan
oleh iklan untuk maksud mendapatkan keuntungan ekonomi. Misalnya,
bertambahnya penjualan produk sehingga mendapatkan keuntungan
materi. Sementara dampakk sosial adalah keuntungan non ekonomi, yaitu
terbangunnya citra baik berupa penerimaan sosial oleh masyarakat
(Widyatama, 2007: 24).
2.1.3 Representasi
Representasi adalah konsep yang mempunyai beberapa pengertian.
Representasi adalah proses sosial dari “representing”. Dan juga merupakan produk dari proses sosial “representing”. Representasi menunjuk baik pada proses maupun produk dari pemaknaan suatu tanda.
abstrak dalam bentuk-bentuk yang konkret, jadi pandangan-pandangan
hidup kita tentang perempuan, anak-anak, atau laki-laki, misalnya akan
dengan mudah terlihat dari cara kita memberi hadiah ulang tahun kepada
teman kita yang laki-laki, perempuan dan anak-anak. Begitu juga dengan
pandangan-pandangan hidup kita terhadap cinta, perang, dan lain-lain akan
tampak dari hal-hal yang praktis juga. Representasi adalah konsep yang
digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang
tersedia; dialog, tulisan, video, film, fotografi, dsb. Secara ringkas,
representasi adalah produksi makna melalui bahasa.
Bagaimana representasi menghubungkan makna dan bahasa dalam
kebudayaan? Menurut Stuart Hall, ada dua proses representasi. Pertama,
representasi modal, yaitu konsep tentang “sesuatu” yang ada di kepala kita
masing-masing (peta konseptual). Representasi mental ini masih berbentuk
sesuatu yang abstrak. Kedua adalah Representasi ‛bahasa’, yang berperan
penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam
kepala kita harus diterjemahkan dalam ‛bahasa’ yang lazim, supaya kita
dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan
tanda dan simbol-simbol tertentu.
2.1.4 Stereotip
Stereotip (Stereotype) ialah ringkasan kesan terhadap sekelompok orang dimana semua anggota dalam kelompok dilihat memiliki sifat-sifat
Stereotip tidak selalu buruk, mereka terkadang sebagaimana disebut oleh
para psikolog, merupakan alat yang berguna dalam kontak mental yaitu
alat penghemat energi yang memungkinkan kita membuat keputusan
secara efektif (Macrae & Bodenhausen, 2000). Pandangan stereotip
mengaburkan pandangan masnusia secara pribadi, karena memasukkan
setiap jenis manusia ke dalam kotak-kotak stereotip. Oleh karena itu,
setiap pribadi merasa tidak pantas apabila ”keluar dari kotak”, dan merasa
bersalah bila tidak memenuhi kehendak sosial. Salah satu bentuk dari
stereotip ialah seterotip negatif yakni prasangka. Prasangka ialah stereotip
negatif dan ketidaksesuaian atau kebencian yang kuat dan tidak rasional
terhadap suatau kelompok. Prasangka merupakan peristiwa yang universal
karena memiliki banyak sumber dan fungsi, antara lain :
1. Fungsi Psikologis
Seringkali prasangka melindungi kita dari perasaan ragu, takut,
dan tidak aman. Prasangka meningkatkan perasaan rendah diri dengan
mengembangkan ketidaksesuaian atau kebencian pada kelompok yang
mereka lihat sebagai lebih rendah dan inferior (Islam & Hewstone,
1993; Stephan dkk., 1994).
2. Fungsi Sosial dan Budaya
Prasangka atau stereotip diperoleh melalui tekanan sosial untuk
mengikuti pandangan teman, relasi maupun rekan kerja, dan tidak
semuanya berakar dari segi psikologis. Akan tetapi turunan dari
diturunkan dari iklan, acara televisi dan laporan berita yang memuat
gambar yang menunjukkan adanya stereotip negatif dari kelompok
tertentu. Dalam tjuan budaya, melekatkan orang-orang pada budayanya
masing atau kelompok nasional dan cara hidupnya
masing-masing.
3. Fungsi Ekonomi
Prasangka membuat perilaku diskriminatif dalam hal ini
perilaku stereotip seolah-olah sah, dengan membenarkan dominasi,
status, ataupun kesejahteraan kelompok mayoritas (Sidanius, Pratto &
Bobo, 1996). Setiap kelompok mayoritas dari-etnis , gender, atau
bangsa apa pun-yang mendiskriminasi (menstereotipkan) kelompok
minoritas akan berupaya menjadikan prasangka sebagai suatu yang
membenarkan perilakunya (Islam & Hewstone, 1993).
Stereotip juga bisa berasal dari dalam alam bawah sadar kita yakni
persepsi. Kemmapuan orang dalam mempersepsikan sesuatu berasal dari
”bawaan” mereka sejak lahir dan pengalaman membentuknya. Beberapa
proses persepsi tampak sebagai kemampuan bawaan tidak berarti orang
mempersepsikan dunia secara serupa ataupun sama. Namun sebagai
manusia, kita peduli pada apa yang kita lihat, dengar, cicipi, cium dan
rasakan. Karena faktor-faktor psikologis (kebutuhan, kepercayaan, emosi
dan ekspektasi) dapat mempengaruhi bagaimana kita mempersepsi serta
apa yang kita persepsikan. Terdapat kesamaan antara persepsi, prasangaka
sesuatu dengan cara yang sudah dipengaruhi oleh budaya dimana kita
tinggal.
Stereotip mengenai orang lain sudah terbentuk pada orang yang
berprasangka sebelum ia mempunyai kesempatan untuk bergaul
sewajarnya dengan orang-orang lain yang dikenai prasangka itu. Biasanya,
stereotip terbentuk padanya berdasarkan keterangan-keterangan yang
kurang lengkap dan subjektif (Genigan, 2004:181). Gambaran stereotip
tidak mudah berubah serta cenderung unutk dipertahankan olehorang
berprasangka. Meskipun demikian, stereotip dan atau prasangka sosial
dapat pula berubah, yaitu dengan usaha-usaha intensif secar langsung atau
karena perubahan keadaan masyarakat pada umumnya, misalnya karena
peprangan dan revolusi (Genigan, 2004:182).
2.1.5 Stereotip Laki-laki
Salah satu kebutuhan pokok manusia ialah kebutuhan untuk
melambangkan atau menyimbolkan dalam membedakan manusia yang
satu dengan lainnya. Konsep ini mengacu pada pengertian bahwa segala
bentuk sikap dan pandangan tentang karakteristik dan kemampuan
manusia bisa disimbolkan dari apa yang mereka gunakan. Dalam hal ini
laki-laki atau pria, bisa disimbolkan dengan bentuk fisiknya maupun
tingkah laku atau perilakunya. Seorang pria bisa disimbolkan atau dipotret
dengan ciri maskulin, jantan, gagah, mandiri, kuat, keras, dll. Beberapa
yang berbeda bentuk fisiknya (dalam hal ini berzakun, dan mempunyai
zakar) dengan yang lain serta berkarakteristik secara sempurna (bijak,
kuat, tangguh, jantan, dewasa). Laki-laki, beruntung atau tidak, selalu
menempati posisi lebih tinggi dari perempuan dipandang dari budaya dan
agama apapun dan dari manapun.
Laki-laki secara tradisional distereotipkan sebagai sesorang
berkemampuan dan berkepribadian yang macho, jantan, bertanggung
jawab, pelindung. Namun itu semua masih belum bisa menggambarkan
laki-laki seutuhnya. Sedangkan media menggambarkan seterotip laki-laki
sebagai sosok yang independen, agresif dan berkuasa, dan media juga
mengajarkan laki-laki dan pria untuk menjadi ”lelaki sejati” yang artinya
menjadi berkuasa dan mempunyai kontrol (Wood, 2005:262). Lelaki sejati
yang digambarkan oleh media berdasarkan perkembangan dan kebudayaan
pria atau laki-alaki secara umum memiliki sifat atau karakteristik yang
maskulin, jantan, berani, macho, dll. Banyak pria atau lelaki
berbondong-bondong untuk mendapatkan stereotip tersebut, hal ini tidak lain hanya
untuk mendapatkan perhatian dari lawan jenis yang disukainya. Seorang
laki- laki harus mempunyai keunikan.
la harus berbeda dari teman- temannya yang lain. Sikap
ekstrim-menentang aturan dan nilai-nilai yang berlaku di rumah, sekolah atau
masyarakat-dan sikap eksentrik, bisa membuat seorang laki-laki (artikel
"Jadi Populer di Mata Cewek" {HAI, 26/2/1999}. Sumber :
_KUNCI_8_Maskulinitas_djvu.txt, diakses 4-8-2010 pukul
9.50pm).Dalam keberanian cowok atau pria atau laki-laki yang mendapat
giliran pertama, walapun ada beberapa orang perempuan atau wanita yang
bisa dibilang berani. Laki-laki dianggap lebih berani dari perempuan bila
melakukan kegiatan- kegiatan keras dan cenderung menyerempet bahaya
seperti panjat tebing, tinju, arung jeram, tampak lebih lazim jika dilakukan
laki-laki. Perempuan yang kegiatan olahraganya tinju dan sepak bola
misalnya, akan dianggap seperti anak laki-laki dan berbeda dari
perempuan lain. Pendeknya, cowokatau laki-laki harus kelihatan berani.
Dan konsep berani disini berarti siap membela dan menjaga
pasangan perempuannya, berani menjadi diri sendiri, dan berani
bertanggungjawab atas apa yang sudah diperbuatnya. Semuanya adalah
sikap yang seharusnya dimiliki oleh semua orang, baik laki-laki maupun
perempuan. Menurut Peter Irons keberanian adalah suatu tindakan
memperjuangkan sesuatu yang dianggap penting dan mampu menghadapi
segala sesuatu yang dapat menghalanginya karena percaya kebenarannya.
Kode-kode kejantanan tidak berhenti pada sifat intrinsik yang melekat
pada diri manusia, ia juga ikut dilekatkan pada asesoris kulit, metal, motor
besar harley davidson, dan pilihan musik tertentu. Musik rock sempat
menjadi jenis musik yang identik dengan laki-laki, meskipun kemudian
banyak juga perempuan yang menggemari jenis musik ini.
Namun banyak juga laki-laki atau pria yang senang akan
tradisional disimbolkan dengan tubuh yang berotot, atletis dan kekar.
Ciri-ciri ini yang kemudian dipotret oleh media dan menjadi stereotip yang
melekat di masyarakat. Jika pada diri perempuan terdapat stereotipe bahwa
bentuk tubuh ideal yang harus dikejar adalah tubuh yang kurus, tinggi,
langsing, lengkap dengan rambut lurus panjang, maka pada diri seorang
laki-laki pun sebenarnya juga terdapat stereotipe bentuk tubuh tertentu
yang berlaku.
Bahwa seorang laki-laki sebaiknya harus mempunyai bentuk tubuh
yang kuat, berotot, dan sehat. Ini sesuai dengan tuntutan bahwa setiap
laki-laki harus mempunyai sikap mental yang jantan dan macho. Laki-laki-laki yang
bertubuh lemah gemulai, kurus, dan lembek dianggap tidak sepenuhnya
laki-laki, karena diragukan kemampuannya bisa menjaga perempuan
2.1.6 Macho
Macho, kata ini nampaknya menjadi suatu tujuan dan menunjuk
pada citra tradisional pria atau laki-laki yang mencapai ekstremnya. Arti
kata ini disampaikan dalam empat karakteristik : (1) Hindari dengan
taruhan apapun juga segala sesuatu yang bahkan sedikit saja menyerupai
sesuatu yang feminin, seperti hal-hal yang berkait dengan perasaan,
kata-kata yang menyangkut perasaan, air mata, kelemahan, dll. (2) Raihlah
status dengan taruhan apapun yang mempunyai suatu arti bagi pria atau
laki-laki lain. (3) Pastikan bahwa anda tampil keras, kuat dan, lebih-labih,
yang ditumbuhkan dan ditampilkan tidak hanya berakar pada kepribadian
genetis pria, tapi juga dikembangkan secara luas dengan apa yang
diajarkan, ditampilkan dan dijejalkan dalam masyarakat kita
(Wright,2000:47). Pria diajar oleh pria lain dan masyarakat untuk
memerlukan orang lain,untuk bersikap independen. Mereka diberitahu
untuk tidak berbuat lemah.
Dalam ’Men: A Book for Women’, kecenderungan budaya ini digambarkan sebagai berikut :
Ia tak’kan menagis.
Ia tak’kan menunjukkan kelemahan.
Ia tak’kan perlu kasih sayang atau kelembutan atau kehangatan Ia akan menghibur tapi tak memerlukan hiburan.
Ia akan diperlukan tapi tak memerlukan. Ia akan menyentuh tapi tak tersentuh.
Ia akan laksana besi dan bukan darah-daging. Ia tak’kan tergoyahkan dalam kejantanannya Ia akan berdiri seorang diri.
Seorang pria macho adalah sesorang yang berusaha terlalu keras
untuk menyamai standar yang keliru yang dibuat oleh masayrakat kita
untuk sebuah kejantanan (Wright,2000:48). Para pria macho berupaya
untuk menampilkan sebuah citra tanpa kelemahan. Yang tergambar adalah
citra sebuah rumah tanpa pintu, sebuah puri tanpa gerbang, sorang pria
yang tak dapat disentuh. Setiap pria atau laki-laki mempunyai
kecenderungan untuk tampil menjadi sosok yang macho. Ini adalah akibat
yang didapatkan dari didikan-didikan yang didapatkan seorang laki-laki
menurut tradisi yang biasa ada karena keadaannya yang khas seorang
bebasnya melepaskan perasaannya. Sejak kecil mereka belajar bahwa
untuk menjadi pria sejati berarti menyembunyikan perasaan
mereka(Eisenman,~:37).
Laki-laki di jaman ini hanya dididik untuk bersaing, untuk
ditanamkan dalam dirinya bahwa kemenangan harus dikejarnya berapapun
harganya, baik itu kemenangan dalam arti kemanusiaan ataupun dalam
keTuhanan. Laki-laki dididik untuk mandiri. Tergantung pada orang lain
adalah tanda kelemahan. Laki-laki dididik untuk tidak puas hanya yang
ada ditangan nya, dan bahwa terus menerus berusaha untuk maju atau
untuk menyelesaikan beberapa proyek adalah jauh lebih penting daripada
meneruskan suatu persahabatan.
Kenyataan praktis yang harus kita hadapi adalah ciri kewanitaan
dan ciri kelaki-lakian itu mutlak penting untuk kesinambungan vitalitass
dan kesehatan baik pribadi kita maupun keluarga kita. Dengan jelas kita
tahu bahwa kesehatan mental masayarakat kitapun sangat tergnatung pada
bagaiamna kita membedakan peran yang tepat bagi kepemimpinan pria
atau wanita. Seorang laki-laki bukannya lemah, tapi kuat, apabila ia
dengan bijaknya memilih untuk membiarkan pedangnya tetap pada
sarungnya. Sikap ini bukan sikap yang cengeng. Inilah sikap laki-laki
sejati yang telah menyerahkan semua keangkuhan makhoismenya...(
2.1.7 Maskulin
Identitas jenis kelamin merupakan soal pilihan. Orang meyakini
bahwa dirinya pria atau wanita, namun tedapat perbedaan yang mencolok
tentang persepsi individu terhadap diri mereka sendiri. Maskulinitas adalah
karakteristik tubuh laki-laki yang gagah, jantan, keras dan kuat sehingga
bertanggung jawab dalam memimpin, berpolitik dan urusan sejenisnya
yang menggambarkan superioritas laki-laki dalam segenap aspek
kehidupan sehari-hari. Dalam peran tradisional pria harus jadi seorang
pemimpin, baik di rumah maupun masyarakat luas. Helen Andelin
mengemukakan bentuk dominasi pria yang amat baik, menyatakan wanita
harus mematuhi suami mereka dan menikmati perlindungan yang
diberikan. Pria harus menjadi kepala keluarga yang tidak boleh digugat,
istri harus menerima suami sebagai pemimpin mendukung dan
mematuhinya(Sears et al., 1991:218).
Laki-laki atau pria sebagai penguasa dianggap memiliki
kesewenangan unutk mengatur perempuan dan apabila ia kehilangan
kekuasaan tersebut, maka hilang pula harga dirinya. Hal ini sebenarnya
merupakan bumerang bagi laki-laki itu sendiri. Alam bawah sadar mereka
mendorong untuk selalu mempertahankan kekuasaan dan keistimewaan
yang diberikan masayarakat pada mereka. Orang yang sangat maskulin
adalah orang yang menganggap dirinya memiliki ciri-ciri minat,
kegemaran dan ketrampilan bermasayrakat yang secara khusus dikaitkan
berkeluh kesah atau menunjuk sikap-sikap lemah lembut yang identik
dengan perempuan. Sedari kecil laki-laki diberikan hak istimewa oleh
masyarakat, mereka didahulukan dalam banyak hal dan diberikan
kebebasan unutk melakukan apa saja yang bagi perempuan dilarang dan
itu dianggap sebagai suatu kewajaran. Mereka diajarkan bahwa mereka
adalah makhluk yang lebih berkuasa dibanding lawan jenisnya, dituntut
unutk selalu tampil kuat, tidak terlihat lemah(Humm, 2007:273).
Maskulinitasseringkali dimaknai dengan mengacu pada ciri-ciri
yang melekat pada laki-laki. Maka muncul imaji maskulinitas seperti
tubuh yang berotot, penuh lelehan keringat, perkasa, pemberani, petualang
dan sebagainya. Maskulinitas diidentikkan dengan mobilitas, gerak, gairah
kompetisi atau bertanding. Stereotip maskulinitas lantas acapkali
disejajarkan dengan aktifitas olah raga dan jiwa sportif (Humm,
2007:275).
2.1.8 Teori Norma-norma Budaya
Pada hakikatnya, teori norma-norma budaya menganggap bahwa
media massa melalui pesan-pesan yang disampaikannya secara tertentu
dapat menumbuhkan kesan-kesan yang oleh khalayak disesuaikan dengan
norma-norma budayanya. Perilaku individu umumnya didasarkan pada
norma-norma budaya yang disesuaikan dengan situasi yang dihadapi,
dalam hal ini media akan bekerja secar tidak langsung untuk
Dalam teori ini ada tiga cara untuk mempengaruhi norma-norma
budaya yang dapat ditempuh oleh media massa. Pertama, pesan-pesan
komunikasi massa dapat memperkuat pola-pola budaya yang berlaku dan
membimbing masyarakat untuk mempercayai bahwa pola-pola tersebut
masih tetap berlaku dan dipatuhi oleh masyarakat. Kedua, media dapat
menciptakan pola-pola budaya baru yang tidak bertentangan dengan pola
budaya yang ada, bahkan menyempurnakannya. Ketiga, media massa
dapat mengubah norma-norma budaya yang berlaku dan dengan cara
demikian mengubah perilaku individu-individu dalam masyarakat
(Suprapto, 2006:20). Dalam penelitian ini, media massa dalam hal ini
iklan Nescafe secara tidak langsung menggunakan cara ketiga dalam
menggambarkan kepada masyarakat akan adanya persoalan yang sedang
terjadi.
2.1.9 Teori Kode Nonverbal
Para ahli komunikasi mengakui bahwa bahasa dan perilaku manusia
yang sering kali tidak dapat bekerja sama dalam menyampaikan pesan, dan
karenanya teori tanda nonverbal (theories of nonverbal signs) atau komunikasi nonverbal merupakan elemen penting dalam tradisi semiotika.
Koden nonverbal adalah sejumlah perilaku yang digunakna untuk
menyampaikan makna. Menurut Jude Burgoon, kode nonverbal memiliki
tiga dimensi, yaitu dimensi semantic, sintaktik, dan pragmatik. Semantik,
seorang ibu dengan wajah cemberut meletakkan jari telunjukknya di deoan
bbirnya meminta anda yang sedang ngobrol untuk berhenti bicara karena
anak bayinya sedang tidur. Sintaktik, yaitu dimensi yang mengacu pada cara
tanda disusun atau diorganisir dengan tanda lainnya di dalam sistem.
Misalnya, orang yang meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya itu tidak
menunjukkna wajah cemberut, tetapi malah tersenyum sambil berkata
dengan suara lembut, ‘Maaf, ada bayi yang sedang tidur,’ Di sini, gerak
tubuh, tanda vokal (suara yang lembut), ekspresi wajah, dan bahasa menyatu
untuk menciptakan makna keseluruhan. Pragmatik, yaitu dimensi yang
mengacu pada efek atau perilaku yang ditunjukkan oleh tanda, sebagaimana
contoh orang yang meminta anda diam, namun yang pertama anda terima
sebagai menunjukkan sikap tidak suka (antipati) kepada anda, sedangkan
lainnya diterima sebagai sikap yang ramah atau bersahabat (Morrisan,
2009 :93).
Sistem tanda nonverbal sering dikelompokkan menurut tipe aktivitas
atau kegiatan yang digunakan di dalam tanda tersebut, menurut Burgoon
terdiri atas tujuh tipe, yaitu bahasa tubuh (kinesics), suara (vocalics atau
paralanguage), tampilan fisik, sentuhan (haptics), ruang (pro-xemics), waktu
(chronemics), dan objek (artifacts) (Morrisan, 2009:93).
2.1.10 Semiotik
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji
dasarnya mempelajari bagaiamana kemanusiaan (humanity) memakai hal
(thing). Memaknai berarti tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek itu hendak berkomunikasi (Sobur, 2004:15).
Semiotika berasal dari bahasa Yunani, semion yang berarti tanda atau seme yang berarti penafsir tanda. Jika diterapakan dalam tanda-tanda
bahasa, maka huruf, kata, kalimat tidak memiliki arti pada dirinya
sendiri.tanda-tanda itu hanya mengemban arti (significant) dalam kaitannya dengan pembacanya. Pembaca itulah yang menghubungkan
tanda dengan apa yang ditandakan (signified). Sebuah teks baik itu lagu, musik, surat cinta, cerpen, puisi, komik, kartun semua hal itu mungkin
terjadi ”tanda” dapat dilihat dari aktifitas penanda : yaitu suatu proses
signifikasi yang menggunakan tanda yang menghubungkan objek dan
interpretasi.
Semiotika modern mempunyai dua orang bapak yaitu Charles
Sanders Pierce (1839-1914) dan Ferdinand de Saussure (1857-1913).
Terdapat perbedaan anatar Pierce dan Saussure anatra lain : Pierce adalah
ahli filsafat dan ahli logika, sedangkan Saussure adalah tokoh cikal bakal
linguistik umum (Sobur, 2004:110).
Sehingga perlu di garis bawahi dari berbagai definisi di atas adalah
para ahli melihat semiotika sebagai ilmu atau proses yang berhubungan
dengan tanda. Semiotika mempunyai tiga bidang studi utama, yang
tenatng tanda yang ebrbeda, cara tanda-tanda yang erbbeda itu terkait
dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia
dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya.
Kedua , kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini
mencakup cara berbagai kode dikemangkan guna memenuhi kebutuhan
suatu masyarakat atau budaya untuk mengeksploitasi saluran komunikasi
yang tersedia untuk mentransmisikannya. Ketiga, kebudayaan tempat kode
dan tanda bekerja. Studi ini bergantung pada penggnaan kode-kode dan
tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri (Fiske, 2006:61).
2.1.11 Semiotik John Fiske
Menurut John Fiske, pokok perhatian tentang studi semiotika ialah
tentang tanda. Semiotika membahas tiga elemen atau bidang studi yang
sama, antara lain:
1. Sign atau tanda
Tanda ialah konstruksi manudaia dan hanya bisa dipahami dalam
artian manisia yang menggunakannya. Pada wilayah ini akan
dipelajari tentang macam-macam tanda. Cara seseorang dalam
memproduksi tanda, macam-macam makna yang terkandung
didalamnya dan juga bagaimana mereka saling terhubung dengan
orang-orang yang menggunakannya.
Kode atau system yang mengorganisasikan tanda. Studi tentang
system yang terdiri dari berbagai macam tanda yang
terorganisasikan dalam usaha memenuhi kebutuhan masyarakat
atau budaya untuk mengekploitasi media komunikasi yang sesuai
dengan transmisi pesan mereka.
3. Budaya
Lingkungan dimana tanda dank ode itu berada. Kode dan lambing
tersebut segala sesuatunya tidak apat lepas dari latar belakang
budaya dimana tanda dan lambing itu digunakan.
Menurut John Fiske dalam Introduction to Communication Studies (Fiske, 2006 : 69) komunikasi merupakan aktivitas manusia yang lebih
lama dikenal namun hanya sedikit orang yang memahaminya. Dalam
mempelajari komunikasi kita dapat membaginya dalam dua perspektif,
yaitu : segi proses, serta sisi produk dan pertukaran makana. Berkaitan
dengan penelitian iini, maka peneliti hanya akan menggunakan perspektif
yang kedua, yaitu dari sisi produksi dan pertukaran makna.
Perspektif produksi dan pertukaran makana memfokuskan
bahasannya pada bagaimana sebuah pesan ataupun teks berinteraksi
dengan orang-orang disekitarnya untuk dapat menghasilakan sebuah
makan. Hal ini berhubungan dengan peranan teks tersebut dalam budaya
kita. Perspektif ini seringakali menimbulkan kegagalan berkomunikasi
pesan. Meskipun demikian, yang ingin dicapai adalah signifikasinya dan
bukan kejelasan sebuah pesan yang disampaikan. Untuk itulah pendekatan
yang berasal dari perspektif tentang teks (iklan) dan budaya ini danamakan
pendekatan semiotik.
Definisi semiotik yang umum adalah studi mengenai tanda-tanda.
Studi ini tidak hanya mengarah pada “tanda” dalam kehidupan sehari-hari,
tetapi juga tujuan dibuatnya tanda-tanda tersebut. Bentuk-bentuk tanda
disini antara lain berupa kata-kata, gambar (images), suara, gerak tubuh dan objek. Bila kita mempelajari tanda yang satu dengan tanda-tanda yang
lain membentuk sebuah system, dan kemudian dibuat system tanda. Lebih
sederhananya semiotic mempelajari bagaimana system tanda membentuk
sebuah makna. Menurut John Fiske, konsentrasi semiotic adalah pada
hubungan yang timbulantara sebuah tanda dan makna yang terkandung di
dalamnya, juga bagaimana tanda-tanda tersebut dikomunikasikan dalam
kode-kode.
Menurut James Monaco, seseorang ahli yang lebih berafiliasi
dengan gramatika (tata bahasa) mengatakan bahwa film (iklan) tidak
mempunyai gramatika (film has no grammar). Untuk itu ia menawarkan kritik bahwa teknik yang digunakan dalam film (iklan) dan gramatika pada
sifat kebahasaannya adalah tidak sama. Akan sangat beresiko apabila
memaksa dengan menggunakan kajian linguistic untuk menganalisa
sebuah film (iklan), karena film (iklan) terdiri dari kode-kode yang
seringakali mengarahkan unit analisi media audio visual pada
analogi-analogi linguistik. Pada semiotika film (iklan), model ini
menggeneralisasikan secara kasar bahwa dalil-dalil dalam film (iklan)
sama dengan bahasa tulis, seperti : frame sebagai morfem atau kata, shot
sebagai kalimat, scene sebagai paragraph, dan sequence sebagai bab.
Penerapan Semiotik pada iklan televise, berarti kita harus
memperhatikan aspek medium televise yang berfungsi sebagai tanda.
Maka dari sudut pandang ini jenis ambilan kamera (selanjutnya disebut
shot saja) dan krja kamera (camera work). Dengan cara ini, peneliti bisa memahami shot apa saja yang muncul dan bagaimana maknanya. Misalnya, close-up (CU) shot berarti pengambilan kamera dari leher ke
atas atau menekankan bagian wajah, makna dari CU shot adalah keintiman dan sebagainya. Selain shot, yang terdapat pada camera work atau kerja yaitu bagaimana gerak kamera terhadap objek, misalnya panning-up atau
pan-up yaitu gerak kamera mendingak pada poros horizontal. Pan-up berarti kamera melihat ke atas, dan ini bermakna adanya otoritas atau
kekuasaan pada objek yang diambil (Berger, 1987 : 37).
Lebih jauh yang harus diperhatikan tidak hanya shot dan camera
work tetapi juga suara. Suara meliputi sound effect dan music. Televisi sebagai media audio visual tidak hanya mengandung unsure visual, namun
juga suara, karena suara merupakan aspek kenyataan hidup. Suara yang
keras, menghentak, lemah, memliki makna yang berbesa-beda. Setiap
Diasumsikan pembuatan iklan televise sama dengan pembuatan
film ccerita. Analisi semiotik yang dilakukan pada cinema atau film layar
lebar menurut John Fiske disetarakan dengan analisa film (iklan) yang
ditayangkan di televisi. Sehinggga yang dilakukan pada iklan kopi
Nescafe Classic versi Rasa Lebih Hitam, menurut John Fiske dibagi
menjadi tiga level, yaitu:
1. Level Realitas
Pada level ini, realitas dapat berupa penampilan, pakaian, dan
make up yang digunakan oleh pemain, lingkungan, peerilaku, ucapan, gerak tubuh (gesture), ekspresi, suara, dan sebagainya yang dipahami sebagai kode budaya yang ditangkap secara elektronika melalui
kode-kode teknis. Kode-kode-kode social yang merupakan realitas yang akan
diteliti dalam penelitian ini dapat berupa :
a. Penampilan
Penampilan, kostum, dan make-up yang digunakan oleh tokoh di iklan kopi Nescafe Classic versi Rasa Lebih. Dalam
penelitian ini tokoh yang menjadi objek penelitian adalah beberapa
orang pria atau laki-laki. Bagaimana pakaian dan tata rias yang
digunakan, serta apakah kostum dan make-up yang ditampilkan
tersebut memberikan signifaksi tertentu menurut kode sosial dan
kultural.
Lingkungan atau setting yang ditampilkan dari cerita
masing-masing tokoh tersebut, bagaimana symbol-simbol yang
ditonjolkan serta fungsi dan makna didalamnya. Setting mengacu
kepada tempat di mana sebuah aksi film berlangsung.
Tempat-tempat yang dipilih sifatnya beragam, bisa jadi Tempat-tempat yang
ditayangkan merupakan imaginary places (bersifat khayalan)
ataupun nyata. Fungsi utama dari setting adalah untuk membangun
tempat dan waktu, untuk mengenalkan ide dan tema, dan untuk
menciptakan mood (Prammagiore, 2005 : 62).
c. Gesture
Gesture atau gerak tubuh, apa makna dari gerak tubuh dari
masing-masing tokoh iklan tersebut
2. Level Representasi
Meliputi kerja kamera, pencahayaan, editing, music, dan suara,
yang ditransmisikan sebagai kode-kode representasi yang bersifat
konvensional. Bentuk-bentuk representasi yang bersifat konvensional.
Bentuk-bentuk representasi dapat berupa cerita, konflik, karakter,
action, dialog, setting, casting, dan sebagainya. Level Representasi meliputi :
a) Teknik Kamera, Teknik-teknik kamera diuraikan sebagai berikut :
1) Camerawork
Penggunaan kamera dalam pembuatan film (iklan) tidak saja
tangkapan kamera dapat menciptakan makna. Unsur-unsur
yang difungsikan dalam penggunaan kamera adalh sebagai
berikut:
a) Scene
Naratif yang lengkap dalam sebuah film (iklan),
temasuk awal, pertengahan hingga akhir film. Biasanya
scene adalah sebuah rangkaian yang dibedakan melalui waktu dan setting (Pramaggiore, 2005 : 103).
b) Take
Istilah penggunaan kamera yang digunakan dalam
sebuah produksi film yang menandai kapan sebuah
rangkaian frame yang berisi gambar bergerak. Pembuat film biasanya melakukan beberapa kali take untuk sebuah
scene dan kemudian film editor akan memilih salah satu
take yang terbaik untuk dipergunakan (Pramaggiore, 2005 : 104).
2) Shot, Beberapa jenis Shot gambar meliputi :
a) Eye-level shot
Pengambilan gambar yang dilakukan dari jarak
kamera 5’ hingga 6’ dari dasar (ground). Teknik ini menggambarkan figure pameran sebelum melakukan
Shot yang diambil pada posisi kamera berada di
atas atau lebih tinggi daripada subjek, sehingga penonton
melihat kea rah bawah dan juga berfungsi memperkecil
tampilan subjek (Pramaggiore, 2005 : 110).
c) Low-angle shot
Pengambilan gambar dengan menempatkan kamera
diposisi lebih rendah dari pada subjek. Biasanya
menjadikan subjek menjadi lebih besar (Pramaggiore, 2005
: 110).
d) Zoom shot
Teknik memindahkan lensa dari wide-angel
position menuju telephoto position, yang menghasilkan pembesaran objek dalam frame, dan menjaga objek dalam
focus, biasa desebut zoom in. Sedangkan kebalikannya
adalah zoom out, yaitu teknik untuk memindahkan lensa dari telephoto position menuju wide-angel position, sehingga objek yang besar menjadi lebih kecil dalam frame
tetapi tetap dalam fokus.
e) Long Shot
Shot yang menghasilkan gambar dimana objek
menjadi berukuran kecil atau hamper sama tinggi dengan
yang dilakukan objek tanpa harus berganti tampilan
(Pramaggiore, 2005 : 112).
f) Medium Long Shot
Shot yang menampilkan objek / figure manusia
lutut kaki ke atas (Pramaggiore, 2005:112).
g) Extreme Long Shot
Pengambilan framing dimana skala dari objek
diperlihatkan sangat kecil; gedung, landscape atau kerumunan orang akan mengisi layar. Dapat juga berfungsi
sebagai establishing shot yaitu berguna untuk mengenalkan environment (setting).
h) Medium Shot
Pengambilan gambar yang menampilkan objek
atau figure manusia dari bagian bahu ke atas (Pramaggiore,
2005 : 112).
i) Close Up
Shot yang menghasilkan gambar objek menjadi
besar dan memnuhi frame dan dekat dengan tubuh objek
seperti dada, wajah, kaki, ataupun tangan (Pramaggiore,
2005 : 104)
j) Medium Close Up
Shot yang diambil dari bagian dada manusia
k) Extreme Close Up
Pengambilan shot dengan skala objek yang
ditunjukkan amat besar dan berfokus pada bagian tubuh
tertentu
3) Sedangkan untuk teknik pergerakan kamera (camera
movement) antara lain : a. Pan
Pergerakan kamera ke kanan dan kekiri dalam
pengambilan gambar. Pan berfungsi untuk
menghubungkan dua tempat atau karakter dan
menimbulkan kesadaran penonton pada hubungan antara
keduanya (Pramaggiore, 2005 :116).
b. Swish pan
Pergeseran kamera yang dilakukan secara cepat
sehingga menghasilkan gambar buram pada beberapa
bagian gambar (Pramaggiore, 2005 :116).
c. Tilt
Pergerakan kamera pada pengambilan gambar
mengayun kea rah atas atau ke bawah dengan tumpuan
yang kuat (Pramaggiore, 2005: 116).
d. Tracking shot
Pergerakan kamera yang menghasilkan tampilan
mengikuti pergerakan karakter secara utuh sehingga
seolah-olah penonton ikut bergerak bersama karakter
(Pramaggiore, 2005 :117).
e. Follow shot
Pengambilan gambar dengan kamera bergerak
berputar untuk mengikuti pameran dalam adegan
(Effendy,2002 :138)
b) Teknik editing
Editing merupakan proses pemilihan potongan film yang telah
dihasilkan dan digunakan sehingga membentuk urutan kesatuan
cerita yang koheran. Beberapa teknik editing yaitu :
1) Cut
Transisi instan dari suatu gambar ke gambar lainnya.
Menunjukkan bahwa tidak ada jeda waktu.
2) Cut back
Mengubah gambar dalam film (iklan) secara cepat dari adegan
saat ini ke adegan lain yang telah dilihat sebelumnya.
Pemotongan ini dilakukan tanpa adanya transisi.
3) Cut to....
Secara cepat mengubah gambar dalam film (iklan) dari adegan
masa kini ke adegan lainnya, tanpa adanya transisi (Effendy,
2002:133).
Melakukan pemotongan dari suatu pengambilan gambar ke
gambar lainnya pa dasebuah film (iklan) tanapa adanay
penyesuaian (Effendy, 2002:140). Biasanya cut ini bertujuan
membuat adegan dramatis.
c) Pencahayaan (Lighting)
Merupakan kebutuhan yang bersifat dalam pembuatan
sebuah film (iklan). Tanpa adanya cahaya yang masuk ke lensa
kamera, maka tidak akan ada gambar yang terekam ke dalamnya.
Lighting memiliki kemampuan menrangi bagian set dan aktor, pencahayaan juga bisa didesain sedemikian rupa untuk
membentuk mood dan efek tertentu. Pencahayaan berfungsi untuk
menimbulkan pengertian penonton terhadap sebuah karakter,
memberikan perhatian terhadap action tertentu, mengembangkan tema dan juga membantu mood. Beberapa jenis Lighting yang
bisa dipergunakan dalm pembuatan film (iklan) adalah sebagai
berikut :
1. Three-point lighting
Sebuah sistem pencahayaan efisien yang digunakan
untuk pembuatan film (iklan). Three-Point Lighting terdiri atas
3 pencahayaan, yaitu key-light, fill-light dan back-light. Pada set up standar pencahayaan, key-light berfungsi menerangi subjek dari adegan, biasanya diletakkan tepat disebelah kanan
berfungsi menghilangkan bayangan yang dihasilkan dari
terpaan key-light, sedangkan back-light berfungsi untuk memisahkan antara subjek dengan latar belakang yang
digunakan (Pramaggiore, 2005:79).
2. High-key lighting
Jenis pencahayaan dimana fungsi fill-light hampir
menyamai level key-light. Gambar yang dihasilkan menjadi sangat terang dan hanya menghasilkan sedikit bayangan dari
subyek adegan. Biasanya digunakan dalam adegan yang
menggambarkan keceriaan dan komedi (Pramaggiore,
2005:81).
3. Natural-key lighting
Pada sistem pencahayaan ini, key-light sedikit banyak digunakan lebih terang dibandingkan fill-light sehingga
fill-light tidak perlu menghilangkan bayangan. Gambar yang dihasilkan menjadi lebih ceria dibandingkan high key-light. Biasanya digunakan untuk pengambilan gambar diluar ruangan
(Pramaggiore, 2005:81).
4. Low-key lighting
Pencahayaan denagn menggunakan fill-light yang sangat sedikit, sehingga menghasilkan kontras yang sangat
Biasanya digunakan untuk film yang bertema menegangkan
atau film noir (Pramaggiore, 2005:81).
d) Sound
Mempunyai fungsi integral dalam perannya untuk turut
mengkonstruksi gambar-gamabr sistematis. Suara atau sound
memegang peranan yang kritis dalam menjelaskan bagaimana
pemirsa bereaksi ketika menyaksiskan iamge atau gambar di layar.
Oleh sebab itu, pendalaman tentang bagaimana berpikir, berbicara
dan menulis tentang sound menggunakna bahasa analisis yang
konkrit diperlukan dalam pemaknaan sebuah film (iklan).
1) Direct sound
Suara yang direkam dalam set, dalam lokasi, jika dalma film
dokumenter direkam dalam kejadian yang sesungguhnya
(Pramaggiore, 2005:207).
2) Looping
Sebuah teknik yang digunakan untuk merekam dialog,
menggunakan mesin yang difungsikan merekam maju dan
mundur (Pramaggiore, 2005:207).
3) Offscreen space
Suara yang datang dari sember asli berada dalam lingkup
ruang dalam sebuah scene tetapi tidak terlihat. Seperti dalam
bicaranya. Karakter tersebut terlihat, tetapi suara lawan
bicaranya hanya terdengar (Pramaggiore, 2005:209).
4) Diegetic / non-diegetic
Diegetic membantu penempatan musik atau sound effect yang
dipresentasikan secara langsung dalam dunia di dalam film
(iklan), sedangkan non Diegetic suara berasal dari dunia di luar
film (iklan) (Pramaggiore, 2005:210).
5) Voice over
Apabila suara yang biasanya berasal dari karakter film,
terdengar ketika pemirsa melihat image dalam ruang dan
waktu yang pada saat tersebut sebenarnya karakter tersebut
tidak berbicara disebut voice over. Suara karakter terdengar,
tetapi sebenarnya berada di tempat lain (Pramaggiore,
2005:218).
6) Music
Hampir semua film naratif menambahkan unsur musik untuk
menarik perhatian penontonnya, walau begitu musik juga
mampu memanipulasi kenyataan dengan cara tertentu
(Pramaggiore, 2005:226).
3. Level Ideologi
Level ini diorganisasikan ke dalam kesatuan (coherence) dan penerimaan sosial (social acceptability) seperti individualisme, kelas
2.1.12 Komunikasi non Verbal
Komunikasi non verbal adalah proses mengirim dan menerima
informasi secara interpersonal, baik dengan sengaja maupun tidak
disengaja, tanpa menggunakan bahas atertulsi atau lisan. Sinyal non verbal
memainkan tiga peran penting dalam komunikasi. Pertama, melengkapai
bahasa verbal. Sinyal non verbal dapat memperkuat pesan verbal (saat
sinyal non verbal sesuai dengan kata-kata yang digunakan), sinyal non
verbal juga dapat memperlemah pesan verbal (saat sinyal non verbal tidak
sesuai dengan kata-kata yang digunakan).
Peran kedua sinyal non verbal adalah mengemukakan yang
sebenarnya. Orang-orang berpendapat bahwa berbohong dengans inyal
non verbal akan jauh lebih susah. Sesungguhnya, komunikasi non verbal
sering kali menyampaikan leih banyak hal pada para pendenagr atau
komnikan daripada kata-kata yang diucapkan. Peran ketiga sinyal non
verbal ialah menyampaikan informasi dengan efisien. Sinyal non verbal
dapat menyampaikan nuansa dan banyak sekali informasi secara instan
(Bovee & Thill, 2007:72).
Secara umum terdapat lima fungsi pesan non verbal menurut Mark
L. Knapp. Pertama repetisi yaitu mengulang kembali gagasan yang sudah
disampaikan secara verbal. Contohnya anak kecil yang menjawab mau
diajak ke dufan akan mengiyakan sambil melompat-lompat senang.
Contohnya, tanap mengatakan sepath kata pun di Indonesia bila
menggelengkan kepala maka lawan bicaranya akan tahu bahwa itu sebagai
tanda tidak setuju. Ketiga, kontradiksi yaitu menolak sebuah pesan verbal
denngan memberikan makna lain menggunakan pesan non verbal.
Contohnya, seseorang mengiyakan dan menganggukkan kepala saat
diminta mendekat namun lalu mengambil langkah seribu dan lari
secepat-cepatnya. Bahasa tubuhnya yang menghindari kontak dengan melarikan
diri menandakan bahw ia takut, kontradiktif dengan awal pesan verbalnya
saat mengiyakan. Keempat, pelengkap yaitu melengkapi dan memperkaya
pesan non verbal. Contohnya, air muka yang menunjukkan rasa sakit luar
biasa tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Kelima, aksentuasi atau
menegaskan pesan verbal.
2.1.13 Psikologi Warna
Warna digunakan secara artistik sebagai alat ekspresi manusia,
warna mempunyai latar belakang sejarah tersendiri yang tidak dapat
dipisahkan dari perkembangan sejarah seni, sejak zaman prasejarah hingga
zaman modern kini. Sejak lama para ilmuwan telah memfokuskan
perhatian besar terhadap warna yang kemudian bersama dengan seniman
mencoba memperhitungkan semua aspek dan mempelajari bagaimana
warna saling berpengaruh dalam pencampuran maupun dalam penggunaan
Saat ini, pemilihan warna pada diri seseorang tidak hanya
sekedar mengikuti selera pribadi berdasarkan perasaan saja, tetapi telah
memilihnya dengan penuh kesadaran akan kegunaanya. Da Vinci
menemukan warna utama yang fundamental, yang disebut sebagai warna
utama psikologis, yaitu merah, kuning, hijau, biru, hitam dan putih. Saat
ini ilmuwan memperkenalkan keterlibatan warna terhadap cara otak
menerima serta menginterpretasikan warna (Darmaprawira, 2002:31).
Dalam konterks warna dan hubungannya dengan kepribadian
seseorang, berikut adalah warna-warna yang mempunyai asosiasi dengan
pribadi seseorang menurut Marian L. David :
1. Merah : cinta, nafsu, kekuatan, berani, primitif, menarik, bahaya,
dosa, pengorbanan dan vitalitas
2. Merah Jingga : semangat, tenaga, kekuatan, pesat, hebat, dan gairah
3. Jingga : hangat, semangat muda, ekstrimis dan menarik
4. Kuning Jingga : kebahagiaan, penghormatan, kegembiraan,
optimisme dan terbuka
5. Kuning : cerah, bijaksana, terang, bahagia, hangat, pengecut dan
pengkhianatan
6. Kuning Hijau : persahabatan, muda, kehangatan, baru, gelisah dan
berseri
7. Hijau Muda : kurang pengalaman, tumbuh, cemburu, iri hati, kaya,
segar, istirahat dan tenang
9. Biru : damai, setia, konservatif, pasif, terhormat, depresi, lembut,
menahan diri dan ikhlas
10. Biru Ungu : spiritual, kelelahan, hebat, kesuraman, kematangan,
sederhana, rendah hati, keterasingan, tersisih, tenang dan sentosa
11. Ungu : misteri, kuat, supremasi, formal, melankolis, pendiam dan
mulia
12. Merah Ungu : tekanan, intrik, drama, terpencil, penggerak,
teka-teki
13. Coklat : hangat, tenang, alami, bersahabat, kebersamaan, sentosa
dan rendah hati
14. Hitam : kuat, duka cita, resmi, kematian, keahlian dan tidak
menentu
15. Putih : senang, harapan, murni. Lugu, bersih, spiritual, pemaaf,
cinta dan terang (Darmaprawira, 2002:38).
Berikut ini adalah beberapa warna yang mempunyai arti dan
perlambangan secara umum :
1. Merah
Merah dibandingkan dengan warna yang lain, warna ini
terkuat dan paling menarik perhatian, bersifat agresif dan lambang
primitif. Warna merah diasosiasikan sebagai darah, marah, berani,
seks, bahaya, kekuatan, kejantanan, cinta dan kebahagaian.
Warna ini mempunyai karakteristik mulia, agung, kaya,
bangga, sombong dan mengesankan. Lambang serta asosiasinya
merupakan kombinasi warna merah dan biru, sifatnya juga
merupakan kombinasi dari kedua warna tersebut.
3. Ungu
Karakteristiknya ialah sejuk, negatif, dan atau mundur.
Hampir sama dengan biru, tetapi lebih tenggelam dan khidmat,
serta mempunyai karakter murung dan menyerah. Warna ini
melambangkan duka cita, kontempelatif, suci atau lambang agama.
4. Biru
Warna ini berkarakteristik sejuk, pasif, tenang, dan damai.
Goethe menyebutnya sebagai warna yang mempesona, spiritual,
monoteis, kesepian, saat ini memikirkan masa lalu dan masa
mendatang. Biru merupakan warna perspektif, menarik kita pada
kesendirian, dingin, membuat jaraj dan terpisah. Biru
melambangkan kesucian, harapan dan kedamaian.
5. Hijau
Karakter warna ini hampir sama dengan warna biru,
dibandingkan dengan warna lain warna ini relatif lebih netral.
Pengaruh terhadap emosi hampir mendekati pasif dan lebih bersifat
istirahat. Hijau melambangkan perenungan, kepercayaan, dan
keabadian. Dalam penggunaan sehari-hari, warna hijau
pertumbuhan, kehidupan, harapan, kelahiran kembali dan
kesuburan. Sifat negatif dari warna ini adalah warna yang tidak
disukai oleh anak-anak karena diasosiasikan sebagai warna
penyakit, rasa benci, racun dan cemburu.
6. Kuning
Warna ini adalah kumpulan dua fenomena penting dalam
kehidupan manusia, yaitu kehidupan yang diberikan oleh matahari
dan emas sebagai kekyaan bumi. Kuning adalah warna cerah,
karena sering dilambangkan dengan jantung dan roh, maka kuning
adalah lambang intelektual. Kuning adalah warna paling terang
setelah putih, tapi tidak semurni putih. Kenuing bermakna
kemuliaan cinta serta pengertian yang mendalam dalam hubungan
manusia.
7. Putih
Warna putih memiliki karakter positif, merangsang,
cemerlang, ringan dan sederhana. Putih melambangkan kesucian,
polos, jujur dan murni. Putih juga melambangkan kekuatan, maha
tinggi, lambang cahaya dan kemenangan yang mengalahkan
kegelapan.
Warna putih juga mengimajinasikan kebalikan dari warna
hitam, seperti ungkapan ”hati yang putih” yang berarti tanda
bersihnya hati dari iri dan dengki. Ada pula yang disebut ”ilmu
dimaksudkan untuk mencelakakan seseorang, maka ilmu putih
dimaksudkan untuk menangkal dan membersihkan sesorang dari
pengaruh ilmu hitam.
8. Abu-abu
Berbagai macam warna abu-abu dengan berbagai tingkatan
melambangkan ketenangan, sopan dan sederhana. Karena itu warna
abu-abu sering melambangkan orang yang telah berumur dengan
kepasifan, sabar dan rendah hati. Warna ini juga melambangkan
intelegensia, tetapi juga mempunyai lambang negatif yaitu
keragu-raguan serta tidak dapat membedakan mana yang lebih penting dan
mana yang kurang penting. Karena sifatnya yang netral, warn
abu-abu sering dilambangkan sebagai penengah dalam pertentangan.
9. Hitam
Warna hitam melambangkan kegelapan dan ketidakhadiran
cahaya. Hitam menandakan kekuatan yang gelap, lambang misteri,
warna malam dan selalu diindikasikan denagn kebalikan dari sifat
warna putih atau berlawanan dengan cahaya terang. Warna ini juga
sering dilambangkan sebagai warna kehancuran atau kekeliruan.
Umumnya warna hitam diasosiasikan denagn sifat negatif.
Ungkapan-ungkapan seperti kambing hitam, ilmu hitam, daftar
hitam, pasar gelap atau daerah hitam menunjukkan perlambangan