• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak, dan Sumbawa. Sebuah Kajian Sosiolinguistik pada Rumpun Bahasa Bagian Timur Melayu Polinesia Barat.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak, dan Sumbawa. Sebuah Kajian Sosiolinguistik pada Rumpun Bahasa Bagian Timur Melayu Polinesia Barat."

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

1

LAPORAN AKHIR

HIBAH GRUP RISET UDAYANA

Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak,

dan Sumbawa: Sebuah Kajian Sosiolinguistik pada Rumpun

Bahasa Bagian Timur Melayu-Polinesia Barat

Grup Riset

PRAGMATIK

TIM PENELITI NIDN

Ketua : Drs. I Ketut Tika, M.A 0031125325

Anggota :

1. Prof. Drs. I Made Suastra, Ph.D. 0024125407 2. Dr. Ni Luh Nyoman Seri Malini, S.S., M.Hum 0029056907 3 I Made Sena Darmasetiyawan, S.S, M.Hum 9900980508

GRUP RISET PRAGMATIK PROGRAM STUDI SASTRA INGGRIS

FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA

NOVEMBER 2015

(2)

2 DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……… 1

DAFTAR ISI ... 2

RINGKASAN ... 3

BAB I. PENDAHULUAN ... 4

BAB II . TINJAUAN PUSTAKA ... 7

BAB III. METODE PENELITIAN ... 9 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN...

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN...

13 36

DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN...

(3)

3 RINGKASAN

(4)

4 BAB I

PENDAHULUAN

Bahasa-bahasa lokal merupakan bahasa-bahasa yang dituturkan oleh suku/kelompok-kelompok tutur di daerah-daerah berbeda di Indonesia. Menurut Blust (1981), bahasa-bahasa lokal di Indonesia tersebut termasuk ke dalam rumpun Melayu-Polinesia yang terdiri atas Melayu-Melayu-Polinesia Barat, Melayu-Melayu-Polinesia Tengah, dan Melayu Polinesia Timur. Bahasa-bahasa seperti Sunda, Jawa, Madura, Bali, Sasak, dan Sumbawa termasuk ke dalam Melayu-Polinesia bagian Barat. Kemudian selanjutnya, bahasa Bali, Sasak, dan Sumbawa dikelompokkan lagi menjadi sub-kelompok dari Melayu-Polinesia Barat (Dyen 1982, Mbete 1990).

Sebagai anggota dari satu sub-kelompok, maka bahasa-bahasa ini dikatakan memiliki kemiripan-kemiripan baik itu yang dilihat secara fonologis, morfologis, leksikon, atau bahkan sintaktisnya. Sehingg kemudian, pertanyaan yang muncul adalah apakah bahasa-bahasa tersebut juga memiliki aspek-aspek sosiolinguistik yang sama atau tidak mengingat bahasa-bahasa tersebut telah lama digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi dalam beragam kegiatan dan situasi tutur dalam komunitas tuturnya masing-masing. Melalui penelitian ini, bahasa-bahasa akan dikaji secara menyeluruh, khususnya yang berkaitan dengan hubungan bahasa-bahasa tersebut dengan kategori-kategori sosialnya. Umumnya, bahasa-bahasa digunakan dalam kegiatan-kegiatan tradisional dan adat, agama, seni, di sekolah, di kantor, di rumah, dan sebagainya. Namun, kompleksitas kategori sosial masyarakatnya, yang meliputi stratifikasi sosial, usia, jenis kelamin, dan seterusnya, terhubung dengan variasi dalam kode linguistik. Variasi ini lah yang kemudian menghasilkan kategori-kategori tingkat tutur di masyarakatnya. Hal tersebut pada kenyataannya jika dilihat berdasarkan kacamata sosiolinguistik, merupakan karakteristik dari sebagian besar bahasa-bahasa dalam rumpun Melayu-Polinesia Barat seperti bahasa Sunda, Jawa, Madura, dan Bali (Hardjadibatra 1985, Poedjasoedama 1979, Kersten 1970, Ward 1973, Bagus 1979, Narayana 1983, Zurbuchen 1987, Hunter 1988, dan Clynes 1989, Suastra 2002).

(5)

5 bahasa yang tergolong ke dalam rumpun Melayu-Polinesia Barat membawa kategori-kategori tingkat tutur yang didasari atas aspek-aspek sosial yang berbeda. Penelitian lanjutan dapat dikembangkan dengan mengambil data dari bahasa-bahasa yang tergolong pada rumpun Melayu-Polinesia lainnya, yaitu Melayu-Polinesia Tengah dan Timur, jika penutur dari bahasa-bahasa tersebut diasumsikan memiliki kategori-kategori sosial yang berbeda. Penelitian ini sejatinya merupakan penelitian lapangan yang produktif untuk perkembangan bidang sosiolinguistik ke depannya. Hal ini dikarenakan Studi Linguistik Kebudayaan yang menjadi minat utama Program Pascasarjana Linguistik (Magister dan Doktoral), Fakultas Sastra, Universitas Udayana ini sedang dikembangkan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur seberapa besar dampak yang ditimbulkan dari kategori-kategori sosial (khususnya status, jenis kelamin, dan umur) yang berkembang dalam masyarakat Bali, Sasak, dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan bahasa Bali, Sasak, dan Sumbawa. Dalam kaitannya dengan permasalahan tersebut, tujuan dari penelitian ini adalah:

- untuk menemukan bentuk-bentuk dan fungsi-fungsi dari tingkat tutur bahasa Bali, Sasak, dan Sumbawa pada komunitas tutur tempat bahasa-bahasa tersebut dituturkan

- untuk menelaah dampak yang ditimbulkan dari kategori-kategori sosial yang utamanya berkaitan dengan status/kedudukan sosial, jenis kelamin, dan umur yang berupa bentuk dan fungsi dari tingkat tutur tersebut.

- untuk membandingkan kategori-kategori sosial yang menentukan struktur dari tingkat tutur pada bahasa-bahasa yang berbeda.

(6)

6

Gambar 1.

Hubungan antara faktor kebahasaan dan non-kebahasaan dalam kajian ini Faktor-Faktor

Kebahasaan

Faktor-Faktor Non-Kebahasaan

Fonologi Morfologi Leksikon Sintaksis Klausa

Status Sosial Jenis

Kelamin Umur

Tingkat Honorifik:

Honorifik Penutur (Addressor) Honorifik Petutur (Addressee)

Honorifik Referen (referent)

Tingkat Kekasaran Bentuk-Bentuk dan

(7)

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Istilah Tingkat Tutur pertama kali digunakan oleh Geertz (1960) untuk mengelompokkan etika tutur masyarakat Jawa. Kemudian penggunaan istilah itu diikuti oleh Martin (1964) dalam tulisannya tentang Tingkat Tutur pada Masyarakat Jepang dan Korea. Martin membedakan dua tipe bentuk-bentuk honorifik dalam bahasa-bahasa tersebut, yaitu “honorifik (penghormatan) petutur (penerima/ lawan bicara/ addressee) dan

honorifik referen”. Pembedaan tersebut kemudian diadaptasi oleh linguis lainnya, seperti

Poedjasoedarma (1979) yang mengangkat tentang masyarakat Jawa, Suharno (1980) yang juga mengangkat hal yang sama, dan Wang (1990) pada masyarakat Korea.

Sehubungan dengan bentuk dan fungsi sosial dari tingkat tutur, Kersten (1970), Bagus (1981), Ward (1973) Zurbuchen (1987), Hunter (1988), Clynes (1989), dan Suastra (2001) juga telah melakukan penelitian yang senada, tetapi dengan menggunakan terminologi, sistem, dan model yang berbeda.

Pada penelitian ini kajian tentang pengkategorisasian dari bentuk-bentuk honorifik yang meliputi “honorifik penutur (Sor/humble), petutur (Singgih/refine), referen (Sor dan Singgih/humble and refine), dan bentuk-bentuk kasar” dari tingkat tutur akan diterapkan. Bentuk-bentuk ini akan ditelaah berdasarkan dua aspek, yaitu:dari hubungan sintagmatik dan paradigmatiknya (mengikuti kerangka kerja Errington yang menganalisis tentang tingkat-tingkat tutur bahasa Jawa (1985: 5). Aspek paradigmatik nantinya akan menjelaskan kata-kata alternatif yang meliputi kategorisasi dari unsur-unsur leksikalnya. Sementara itu, hubungan sintagmatiknya akan menjelaskan kombinasi-kombinasi kata yang digunakan untuk menyusun kalimat-kalimat pada masing-masing tingkat tutur. Ditambah lagi, perbedaan-perbedaan yang ditemukan dalam bentuk-bentuk fonologis dan morfologis juga akan dianalisis.

Gagasan Hymes (1974) dalam karyanya tentang etnografi komunikasi yang

menjabarkan tentang “SPEAKING” (Setting/Tempat Tutur dan Scenes/Suasana Tutur, Participants/Partisipan, End/Tujuan Tutur, Act sequence/Topik Pembicaraan, Key/Nada

(8)

8 atau pembicara sebagai subjek dari komponen-komponen tutur. End/tujuan tutur merupakan dua aspek tujuan, yaitu tujuan peristiwa tutur dalam bentuk sasaran-sasaran yang ingin dicapai (goal), dan tujuan yang berupa hasil yang diharapkan (outcomes). Act sequence/topik pembicaraan mengacu pada bentuk pesan dan isi pesan. Keys/nada tutur mengacu pada ton (nada), cara, dan penjiwaan pada saat peristiwa tutur itu terjadi.

Instrumentalities/ sarana tutur mengacu pada saluran dan bentuk tutur. Norms/ norma-norma tutur terdiri atas norma-norma-norma-norma interaksi yang berhubungan dengan perilaku dan sifat yang khusus yang melekat pada tuturan; dan norma interpretasi melibatkan sistem kepercayaan dalam sebuah komunitas tutur. Pada akhirnya, genre/jenre menyiratkan kemungkinan mengidentifikasi karakteristik formal dari sebuah peristiwa tutur.

PETA JALAN PENELITIAN

Kajian

Sekarang

Geertz (1960), Martin (1964), Poedjasoedarma (1979), Wang (1990) o, , Kersten (1970), Bagus (1981), Ward (1973) Zurbuchen (1987), Hunter (1988), Clynes (1989), Suastra (2001)

K

1. untuk menemukan bentuk-bentuk dan fungsi-fungsi dari tingkat tutur bahasa Bali, Sasak, dan Sumbawa pada komunitas tutur tempat bahasa-bahasa tersebut dituturkan

2. untuk menelaah dampak yang ditimbulkan dari kategori-kategori sosial yang utamanya berkaitan dengan status/kedudukan sosial, jenis kelamin, dan umur yang berupa bentuk dan fungsi dari tingkat tutur tersebut.

3. untuk membandingkan kategori-kategori sosial yang menentukan struktur dari tingkat tutur pada bahasa-bahasa yang berbeda T

(9)

9 BAB III

METODE PENELITIAN

Kajan penelitian ini menerapkan metode kualitatif. Data primer dalam penelitian ini adalah data tulis dan lisan, sedangkan data sekunder digunakan untuk mendukung teori dasarnya. Metode penelitian ini dibagi menjadi dua sub-bab, yaitu pengumpulan data, pemrosesan data, dan analisis data.

3.1 Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam kajian ini melibatkan observasi partisipasi dan teknik elisitasi (Labov 1972b: 102-11). Observasi partisipasi diterapkan sebagai teknik dasar dimana peneliti terlibat dan menjadi bagian dari sebuah kelompok tutur. Penelitian seperti ini penting dilakukan guna untuk meminimalkan paradoks pengobservasi (Labov 1972a: 10) dan untuk memperoleh tuturan spontan dari para penutur. Prosedur teknik elisitasi bisa mengambil berbagai bentuk yang bergantung pada respon alami yang diinginkan. Dalam penelitian ini respon lisan lebih diutamakan. Akan tetapi, wawancara individu juga akan dilakukan guna mengumpulkan data tambahan.

Ketika penelitian sosiolinguistik dilakukan, faktor sosiologis dianggap lebih utama dibandingkan dengan faktor geografis dan kompleksitas struktur sosial yang membuat pengetahuan individual tentang area tersebut menjadi tidak begitu berterima (Trudgil 1974:20). Lebih lanjut, kajian ini intinya untuk menjabarkan kategori status sosial, jenis kelamin, dan umur di masyarakat dimana bahasa tersebut dituturkan.

Guna mengukur kelas sosial secara objektif, digunakan tiga unsur indeks dari Labov (1972c:115), yaitu: pekerjaan, pendidikan, dan penghasilan. Trudgill (1974: 60) membagi enam unsur indeks: pekerjaan, penghasilan, pendidikan, perumahan, lokalitas, dan pekerjaan ayah. Chaika (1989-236) mengemukakan indeks karakteristik status sosial (ISC) yang terdiri dari pekerjaan, pendidikan, penghasilan, dan tempat tinggal digunakan untuk mengukur subjek status sosial. Sampai sejauh ini, status sosial dapat diukur oleh empat unsur indeks, yaitu pekerjaan, pendidikan, penghasilan, dan hubungan sosial. Indeksnya diadaptasikan pada situasi yang berkembang di masyarakat baru-baru ini.

(10)

10 bahasa secara potensial. Selanjutnya indikator primer informan dalam kajian ini sebagai berikut:

A. Umur antara 15-60 tahun dan berbicara dengan normal B. Laki-laki atau perempuan

C. Indeks status sosial;

1. Grup etnik asli berasal dari tempat bahasa dituturkan

2. Memiliki pekerjaan tetap di pemerintahan atau sektor swasta di daerah sekitar.

3. Anggota dari organisasi lokal tertentu.

4. Menduduki posisi tertentu dalam pekerjaan; misalnya berkedudukan tinggi, kedudukan menengah, atau kedudukan rendah dalam sebuah pekerjaan.

5. Berinteraksi aktif dengan pasangan atau pasangan masa depan, orang tua, kakak laki-laki atau perempuan dan kerabat.

6. Aktif secara sosial di masyarakat.

Dengan metode tersebut peneliti menentukan variabel dalam populasi yang dikaji untuk memastikan individu yang dikumpulkan mewakili semua profesi, jenis kelamin, dan umur. Lokasi penelitian ini dilakukan di wilayah bahasa-bahasa tersebut dituturkan, dengan mengaplikasikan tiga variabel sosial yang ditentukan: umur, jenis kelamin, dan status sosial. Dari ketiga variabel sosial tersebut akan ada beberapa kelompok individu yang terdiri atas jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), posisi pekerjaan berbeda (termasuk manajer, kepala kantor, direktur atau pegawai; pegawai biasa seperti staf, dan pekerja terampil; dan pekerja kantor tingkat rendah atau pekerja tidak terampil/buruh meliputi pesuruh, supir, penjaga malam, petani, nelayan dan lain-lain), dan rentang umur antara 15 sampai 60 tahun.

(11)

11 tersebut akan ada kira-kira 40 informan sebagai informan utama (informan kunci) secara keseluruhan. Selanjutnya, setiap informan akan digunakan sebagai terusan untuk menghubungkan individual lain di wilayah tersebut sebagai teman. Informasi-informasi terseleksi tersebut kemudian diobservasi berdasarkan beragam ranah seperti keluarga, tetangga, pasar, dan seterusnya.

Sebelum kerja lapangan dilaksanakan, asisten peneliti akan dilatih. Mereka merupakan mahasisswa yang peminatannya dalam pengerjaan penelitian sosiolinguistik. Surat izin untuk masuk ke komunitas dari pemerintah lokal disiapkan sebagai langkah primer. Dengan menggunakan surat ini peneliti akan masuk komunitas dengan mudah.

Informan terpilih di tempat kerja akan didekati, dan setiap dari mereka akan diberitahu tujuan dari wawancara yang dlakukan. Ketika itu disetujui, informan di bawah investigasi akan diminta untuk memperkenalkan peneliti pada teman laki-laki atau perempuannya di tempat kerja atau di kehidupan sosial lainnya. Mereka akan diminta untuk berpartisipasi dalam observasi. Sekali informan ditentukan, mereka akan diminta untuk mengisi kuesioner memfokuskan latar belakang pribadi mereka, aktivitas-aktivitas sosial, dan kecenderungan berbahasa. Kuesioner menanyai informan untuk mengindikasikan bahasa apa dan bagaimana mereka berbicara pada orang-orang dekat, yang mereka hargai, dan yang mereka marahi. Ini memungkinkan kita memperoleh dampak komposisi linguistik informan dan untuk memungkinkan pemerolehan informasi informan yang informan dengan latar belakang sosial beragam akan paling bisa menggunakan bahasa secara tepat. Setelah subjek-subjek yang

dibutuhkan dipilih, peneliti menyediakan kuesioner yang akan mengambil waktu

kira-kira satu bulan untuk dikumpulkan. Peneliti menjadwalkan para informan untuk

wawancara berdasarkan pilihan mereka (instrumen penelitian akan dirancang di

kemudian hari). Semua wawancara berupa wawancara grup. Percakapan grup, yang

terdiri dari minimal dua dan maksimum lima informan akan dilakukan antara di

tempat kerja mereka atau di tempat lain. Semua grup percakapan akan direkam dan

divideokan menggunakan media elektronik radio kaset perekam stereo Sony dan

perekam video-cam Sony. Fungsi peneliti di sini sebagian besar menjadi inisiator dan

monitor. Para informan sendiri melanjutkan percakapan dan peneliti aktif mencatat,

merekam, dan terlibat dalam percakapan seperlunya.

Secara khusus, para informan dapat mengerti bahwa peneliti khususnya tidak

(12)

12

meminimalkan efek paradoks pengobservasi (Labov, 1972), informan didorong untuk

berbicara satu sama lain daripada pada peneliti, dan untuk berbicara senaturalnya.

Observasi dilaksanakan di ranah berbeda. Janji dengan informan dibuat untuk

mengamati pembawaan mereka pada percakapan dalam ranah tertentu. Oleh karena

wilayah penelitiannya di komunitas berbeda (Sasak dan Sumbawa), kategori sosial

tiap komunitas juga berbeda. Oleh sebab itu, metode akan dimodifikasi menurut

kepentingan sesuai dengan situasi dalam komunitas tutur masing-masing

3.2 Pemrosesan data

Keseluruhan sumber data dalam kajian ini adalah bahasa lisan. Bahan yang telah terekam akan diseleksi untuk membentuk data korpus. Setiap rekaman memiliki durasi kira-kira 35 sampai 50 menit. 10 menit pertama dalam percakapan tidak akan ditinjau karena diyakini tuturan spontan dengan kehadiran mikrofon tidak memungkinkan di percakapan awal. Kemudian, sisa rekaman tersebut ditanskrrip. Konvensi transkripsi diadaptasi dari Edward (1993:43). Kalimat atau klausa dari pembicara individual berbeda diklasifikasikan dan dihitung berdasarkan tingkatan-tingkatan tutur.

Untuk mempermudah pengkategorian faktor linguistik pada data, program khusus untuk analisis teks akan digunakan dan sistem pengkodean akan diterapkan. Sistem pengkodean meliputi prosedur pemilahan dalam kata atau program pemrosesan klausa dan program persetujuan untuk menghitung dan menandai data linguistik dalam level tertentu dan untuk mengelompokkan bersama semua aspek linguistik berbeda dari tiper tertentu untuk klasifikasi dsn analisis lebih jauh.

3.3. Analisis Data

(13)

13 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Bentuk, Fungsi, dan Tingkat Tutur 4.1.1 Bahasa Bali

Bahasa Bali merefleksikan suatu tenunan budaya yang kompleks akibat akulturasi budaya yang pernah mewarnai Bali dalam lintasan sejarah. Kompleksitas itu salah satunya dapat dilihat dari tingkat-tingkatan bahasa yang digunakan oleh masyarakat Bali dalam suatu tuturan. Tingkat-tingkatan bahasa (speech level) dalam bahasa Bali dipadankan dengan beberapa istilah oleh para peneliti. Istilah-istilah tersebut di antaranya warna-warna bahasa (Kersten, 1970), mabasa, masor-singgih basa (Bagus, 1977; Tinggen, 1986; Suarjana, 2010), unda usuk (Bagus, 1979), rasa basa bahasa Bali (Suasta, 2003) dan anggah-ungguhing basa Bali (Naryana, 1983: 30). Istilah warna-warna bahasa digunakan oleh Kersten (1970:3) untuk menyatakan perilaku berbahasa masyarakat Bali pada saat berbicara kepada seseorang maupun membicarakan seseorang dengan ragam bahasa yang diklasifikasikannya menjadi

basa kasar, basa alus, basa singgih, dan basa ipun. Pemakaian ragam bahasa ini ditentukan oleh stratifikasi sosial masyarakat Bali yang disebutnya sebagai masyarakat golongan atas dan golongan bawah (Kersten, 1970: 4).

Sementara itu, Bagus (1977) menggunakan istilah mabasa maupun masor-singgih basa untuk menyatakan norma sopan santun berbahasa (speech level) dalam masyarakat Bali. Istilah mabasa secara lebih spesifik diartikan cara berbahasa sesuai dengan sistem budaya yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Bali (1977: 91). Norma sopan santun ini secara garis besarnya dapat dikatakan bahwa ada sopan santun berbahasa yang mengatur tingkat-tingkat bicara sesuai dengan wangsa-nya, yaitu dalam hal ini orang yang berwangsa tri wangsa akan memperoleh bentuk hormat (halus), sedangkan sebaliknya seorang yang berasal dari golongan jaba akan mendapatkan bentuk lepas hormat (kasar). Sehubungan dengan pemakaian bentuk lepas hormat ini, bukanlah bermaksud menggunakan bahasa yang kasar atau kurang sopan, melainkan suatu cara orang berbahasa yang wajar, asal pemakaiannya disesuaikan dengan status orang bersangkutan (Kersten, 1970: 91).

(14)

14 bahasa Bali. Penggunaan istilah ini didasarkan atas kenyataan bahwa dalam berbicara menggunakan anggah-ungguhing basa Bali secara tepat, seseorang dapat memilih kosakata bahasa Bali yang telah mengandung nilai rasa sosial (2003: 11). Suasta (2003) lebih lanjut mengatakan bahwa stratifikasi sosial merupakan dasar penggunaan sistem berbahasa ini. Pada masa lalu, stratifikasi masyarakat suku Bali ditandai dengan adanya tingkat-tingkatan sosial berdasarkan keturunan, senioritas, kekuasaan, dan keahlian. Pelapisan masyarakat suku Bali yang telah mengendap dalam adat adalah pelapisan masyarakat suku Bali yang berdasarkan keturunan, senioritas, kekuasaan, sedangkan pelapisan masyarakat suku Bali yang berdasarkan keahlian belum mengendap. Berdasarkan keturunan, menyebabkan terjadinya golongan masyarakat bangsawan, dan golongan masyarakat kebanyakan. Berdasarkan senioritas menyebabkan terjadinya golongan masyarakat suku Bali yang tua-tua berkuasa dalam ranah adat, dan golongan masyarakat suku Bali yang muda dalam pengalaman. Berdasarkan kekuasaan, menyebabkan munculnya golongan penguasa dan golongan masyarakat. Pembedaan berdasarkan keahlian menyebabkan adanya golongan masyarakat suku Bali yang memiliki keahlian tertentu dan tidak memiliki keahlian tertentu.

(15)

15 Perbedaan istilah yang digunakan untuk menyebutkan realitas penggunaan bahasa Bali dalam kehidupan masyarakat Bali itu sempat dibicarakan dalam Pesamuhan Agung Bahasa di Singaraja tahun 1974. Pesamuhan Agung yang agenda utamanya membahas tentang pembakuan bahasa Bali saat itu menyepakati istilah

anggah-ungguhing basa Bali sebagai istilah baku untuk menyebutkan tingkat-tingkatan bahasa Bali. Secara leksikal, anggah-ungguh artinya tata cara. Sementara itu, anggah-ungguhing basa Bali adalah tata cara berbahasa masyarakat Bali yang diikat oleh oleh adanya tingkat-tingkatan bahasa.

Penggunaan tingkat-tingkatan bahasa dalam kehidupan masyarakat Bali seperti yang telah disinggung di atas disebabkan oleh adanya stratifikasi sosial masyarakat Bali sebagai penutur bahasa Bali. Stratifikasi sosial ini pada umumnya dibedakan menjadi dua yaitu secara tradisional dan modern. Secara tradisional, yang dimasukkan sebagai golongan atas adalah orang-orang yang berstatus tri wangsa

(Brahmana, Wesia, dan Sudra). Sementara itu, yang dimasukkan dalam golongan bawah adalah wangsa jaba. Apabila ditinjau secara modern, pembagian stratifikasi masyarakat Bali yang dapat digolongkan dalam golongan atas adalah wangsa tri wangsa dan jaba. Sedangkan golongan bawah juga terdiri atas tri wangsa dan jaba. Maksudnya, secara modern kedua golongan masyarakat baik tri wangsa maupun jaba

memiliki peluang yang sama untuk menempati golongan atas maupun golongan bawah. Dengan demikian, status sosial seseorang diklasifikasikan secara prgamatis (tidak semata-mata karena kelahiran atau keturunan, tetapi juga karena jabatan atau kedudukan, finansial dan yang lainnya) (Suarjana, 2011: 86).

Untuk lebih jelasnya hal tersebut dapat digambakan dalam skema berikut ini: 1. Secara Tradisional : A Golongan atas (Tri Wangsa)

B Golongan bawah (Wangsa Jaba)

2. Secara Modern : A Golongan Atas (Tri Wangsa + Jaba)

B Golongan Bawah (Tri Wangsa + Jaba)

(16)

16 langsung indik pagenahan “tentang rumah atau tempat tinggal (masudnya di griya, di

puri, di jero)” dan swakaryannyane (pekerjaannya). Di samping dengan menanyakan identitas di atas, konsep yang secara konvensional tidak dapat dilanggar dalam tuturan bahasa Bali adalah penggunaan bahasa alus sor apabila seseorang menjadi penutur pertama dalam suatu dialog. Hal ini berlaku untuk semua golongan baik tri wangsa

maupun jaba. Dengan demikian, tidak terjadi fenomena penggunaan bahasa untuk menghaluskan diri sendiri atau ngalusang raga (Suarjana, 2011: 87).

Penggunaan bahasa Bali dalam suatu tuturan dapat diformulasikan secara garis besar menjadi empat yaitu.

1. Jika pembicara atau orang pertama (O1), yang diajak bicara (O2), dan yang dibicarakan (O3) semuanya termasuk dalam golongan bawah. Maka, bahasa yang digunakan oleh O1 kepada O2 tentang O3 adalah basa Bali Andap. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut :

A B

O1 O2

O3

Keterangan Gambar. A : Golongan Atas B : Golongan Bawah O1 : Orang Pertama O2 : Orang Kedua

O3 : Orang yang Dibicarakan

Komunikasi antargolongan bawah yang juga membicarakan seseorang dari golongan bawah itu dapat ditemukan dalam beberapa contoh kalimat berikut.

1. Bapan icange liu ngelah pangina, jani suba mataluh

‘Ayah saya banyak mempunyai ayam betina, sekarang sudah bertelur’

2. Yan saja iluh demen teken beli, beli suba ngorahang teken reraman beline jumah.

(17)

17 2. Jika pembicara atau orang pertama (O1) sebagai golongan bawah, berbicara pada orang kedua (O2) dan yang dibicarakan atau orang ke (O3) dari golongan atas, maka bahasa yang digunakan oleh orang pertama kepada orang kedua itu adalah bahasa alus singgih. Sementara itu, apabila orang pertama tersebut membicaraka tentang dirinya, maka ia menggunakan bahasa alus sor. Hal itu dpat digambarkan seperti berikut.

O2

A O3

B O1

Keterangan Gambar. A : Golongan Atas B : Golongan Bawa O1 : Orang Pertama O2 : Orang Kedua

O3 : Orang yang Dibicarakan

Komunikasi antara golongan bawah dengan golongan atas yang membicarakan golongan atas tersebut dapat dilihat pada beberapa contoh di bawah ini.

1. Ida Ayu Priya sampun ngranjing ring kapale. ‘Ida Ayu Priya sudah naik ke atas kapal’

2. Okan Idane taler nyarengin makta anaman. ‘Anaknya juga ikut membawa ketupat’

(18)

18 O2

A

B O1 O3

Keterangan Gambar. A : Golongan Atas B : Golongan Bawa O1 : Orang Pertama O2 : Orang Kedua

O3 : Orang yang Dibicarakan

Komunikasi antara golongan bawah dengan golongan atas, yang membicarakan golongan bawah itu dapat dilihat pada beberapa contoh di bawah ini.

1. Titiang pajarina tangkil olih ipun dibi sande.

‘Saya disuruh datang olehnya kemarin malam’

2. Bantenge sampun wehin ipun neda, durusang ratu nyuryanin mangkin.

‘Sapi itu sudah diberikannya makan, silakan Anda melihatnya sekarang’ 4. Jika pembicara atau orang pertama (O1) sebagai golongan bawah berbicara pada

orang kedua (O2) yang juga berasal dari golongan bawah, sedangkan yang dibicarakan adalah orang ketiga (O3) yang berasal dari golongan atas, maka bahasa yang digunakan orang pertama ketika berkomunikasi dengan orang kedua menggunakan bahasa andap. Sedangkan, bahasa yang mengenai orang ketiga menggunakan bahasa alus singgih. Sementara itu, bahasa mengenai pembicara pertama dengan kedua menggunakan bahasa alus sor. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut.

O3

A

B O1 O2

(19)

19 B : Golongan Bawa

O1 : Orang Pertama O2 : Orang Kedua

O3 : Orang yang Dibicarakan

Komunikasi antara golongan bawah dengan glongan bawah yang mengenai golongan atas itu dapat dilihat dalam beberapa contoh di bawah ini.

1. Apake jani Luh suba nawang, indik Ida jagi makerabkambe?’

‘Apakah sekarang Luh sudah tahu, tentang beliau yang aka menikah?’ 2. Sotaning dadi parekan, icang ajak cai sing dadi nulak pikayunan ida.

‘Kewajiban setiap abdi, seperti aku dan kami tidak boleh menolah keinginan beliau.

Pola komunikasi antargolongan di atas menyebabkan bagian-bagian dari bahasa yang digunakan oleh penutur dalam konteks tertentu menjadi berbeda-beda. Istilah yang digunakan para peneliti mengenai pembagian anggah-ungguhing basa Bali juga tidak sama satu dengan yang lainnya. Perbedaan itu pada umumnya mempertentangkan dikotomi bahasa halus dan bahasa kasar dengan berbagai macam sebutan. Bagus (2009) membagi jenis anggah-ungguhing basa Bali menjadi tiga yaitu (1) bahasa kasar, (2) bahasa madia, (3) bahasa halus. Tinggen membagi jenis anggah-ungguhing basa Bali menjadi tiga (1) basa kasar, (2) basa kepara (basa biasa, basa lumbrah, basa biasa), dan (3) basa halus. Dinas Pengajaran Daerah Provinsi Bali membagi jenis anggah-ungguhing basa Bali menjadi tiga yakni (1) basa kepara (basa lumbrah), (2) basa madia, dan (3) basa singgih. Kersten membagi jenis anggah-ungguhing basa Bali menjadi (1) basa kasar, (2) basa halus, (3) basa singgih (4) basa ipun (5) basa madia. Naryana (1983) membagi jenis anggah-ungguhing basa Bali menjadi (1) basa kasar, (2) basa andap, (3) basa madia dan (4) basa alus.

Pembagian anggah-ungguhing basa Bali yang diikuti dalam tulisan ini adalah pembagian dari Naryana (1983). Pemilihan pembagian menurut Naryana didasarkan atas pertimbangan bahwa pembagian itu lebih tegas memberikan batasan terhadap bahasa andap dengan bahasa kasar. Oleh sebab itulah, uraian mengenai pembagian sistem anggah-ungguhing basa Bali dalam tulisan ini sebagian besar merujuk pada pandangannya. Adapun pembagian tersebut secara lebih rinci dijelaskan sebagai berikut.

(20)

20 Basa kasar adalah tingkatan bahasa Bali yang memiliki rasa bahasa paling rendah. Bahasa kasar ini dibedakan menjadi dua yakni basa kasar pisan dan basa kasar jabag, yang masing-masing akan diuraikan di bawah ini.

a. Basa Kasar Pisan

Basa kasar pisan adalah bahasa Bali yang dalam penggunaannya tergolong tidak sopan, yang sering digunakan dalam situasi emosional, jengkel, marah, dengki, dan caci maki. Basa kasar ini dibentuk dari basa andap yang disertai dengan intonasi tertentu (biasanya tajam dan keras). Dalam keadaan yang emosional ragam bahasa ini dapat dikenakan pada siapa saja, termasuk tri wangsa. Adapun beberapa contoh basa kasar pisan ini dapat dilihat di bawah ini.

1. Cicing iba, ngaleklek gen mai.

‘Anjing engkau, makan saja kesini’

2. Madak apang bangka polone, mula jelema amah temah.

Semoga kamu mampus, dasar manusia terkutuk’

Bahasa kasar pisan ini tidak hanya digunakan pada situasi marah, kesal, dan yang lainnya saja, tetapi digunakan juga pada saat basa basi dalam hubungan yang sangat erat. Dengan demikian, rasa bahasa yang ditimbulkan sangat disesuaikan dengan konteks situasinya.

b. Basa Kasar Jabag

Basa kasar jabag adalah bahasa Bali yang dalam penggunaannya tidak sesuai dengan etika dan situasi pembicaraan. Artinya, kata-kata dalam bahasa yang digunakan itu tidak mengindahkan tingkat-tingkatan yang ada dalam bahasa Bali, kadangkala melampau etika pembicaraan. Ragam bahasa ini dianggap tidak sopan dan kurang wajar, serta seringkali dinilai salah sasaran. Motivasi penggunaan bahasa ini tidak semata-mata karena penguasaan anggah-ungguh basa yang tidak baik, melainkan terkadang ingin menunjukkan keangkuhan, kelebihan, dan keakrabannya. Misalnya :

1. Dayu ngaba apa ento? baang ja ngidih abesik.

‘Dayu membawa apa itu? berikan saya satu’ 2. Gung yen payu pesu, beliang icang roko akatih.

‘Gung kalau jadi keluar, belikan aku rokok sebatang’

4.1.1.2 Basa Andap

(21)

21 Lumbrah atau Kepara. Bahasa Bali sebagai bahasa sopan digunakan dalam pergaulan yang sifatnya akrab, misalnya sesama wangsa, sama kedudukan, sama umur, sama pendidikan, sama jabatan, bahasa kekeluargaan. Bahasa ini juga seringkali digunakan sebagai bahasa nyeburin ketika wangsa dari golongan yang lebih tinggi kepada golongan yang lebih rendah. Misalnya antara raja dengan abdinya, orang tua dengan anak-anaknya, guru dengan muridnya, atasan dengan bawahan, dan yang lainnya. Adapun contoh penggunaan basa andap ini di antaranya.

1. Dija Gus uli tuni meplalianan, paling aji ngalihin.

‘Kemana Gus dari tadi bermain, bingung ayah mencari. 2. Kemu ke warung Luh, beliang bapa roko akatih.

‘Kesanalah ke warung Luh, belikan ayah sebatang rokok.

4.1.1.3 Basa Madia

Basa madia adalah tingkatan bahasa Bali yang tergolong menengah, yang nilai rasa bahasanya berada di antara bahasa Bali andap dan bahasa Bali alus. Artinya konotasi bahasa madia tidak terlalu halus dan tidak terlalu kasar. Dalam praktiknya, bahasa ini tidaklah terlalu hormat, dan biasanya ditandai dengan kata-kata yang tergolong madia. Kata-kata madia akan membentuk kalimat madia. Semakin banyak unsur andapnya, maka bahasa ragam ini akan cenderung lebih rendahlah konotasinya. Demikian pula sebaliknya, apabila semakin banyak mengandung unsur bahasa alus, maka akan semakin tinggi kesantunannya. Bahasa madia biasanya digunakan apabila wangsa atau status sosial seseorang lebih tinggi berbicara pada orang yang status sosialnya lebih rendah, tetapi umurnya lebih tua atau lebih disegani karena menempati kedudukan tertentu dalam masyarakat atau instansi pemerintahan. Contoh penggunaan bahasa madia dapat dilihat di bawah ini.

1. Tiang ampun rauh, duk i ratu kantun mesiram. ‘Saya sudah datang ketika anda masih mandi.’ 2. Durusang mangkin ngajeng.

‘Silakan makan sekarang’

4.1.1.4 Basa Alus

(22)

22 lain sebagainya). Bahasa halus dapat dibagi menjadi tiga yakni bahasa alus sor, bahasa alus mider, dan bahasa alus singgih.

a. Alus Sor

Bahasa alus sor adalah tingkatan bahasa Bali alus atau bentuk hormat mengenai diri sendiri atau digunakan untuk merendahkan diri sendiri dan juga untuk orang lain atau objek yang dibicarakan yang status sosialnya lebih rendah. Misalnya.

1. Titiang sampung mapajar ring pianak ipune

‘Saya sudah dapat menyampaikan pada anaknya’ 2. Benjang semeng ipun jagi tangkil meriki.

‘Besok pagi dia akan kesini’ b. Alus Mider

Bahasa alus mider adalah tingkatan bahasa Bali alus yang memiliki nilai rasa yang sangat hormat yang dapat digunakan untuk berkomunikasi pada golongan bawah maupun golongan atas. Bahasa ini dalam percakapan sehari-hari dapat digunakan untuk diri sendiri, lawan bicara, maupun orang ketiga. Misalnya:

1. Titiang nenten maderbe jinah, i ratu akeh madue jinah. ‘Saya tidak memiliki uang, anda banyak mempunyai uang’

2. Ipun makta asiki, Ida makta kalih.

‘Dia membawa satu, Beliau membawa dua’ c. Alus Singgih

Bahasa alus singgih adalah tingkatan bahasa dalam bahasa Bali yang memiliki nilai rasa tinggi dan hormat. Bahasa alus singgih dapat digunakan pada pembicara untuk menghormati orang yang patut dimuliakan, maupun lawan bicara, atau orang yang dibicarakan. Misalnya :

1. Dayu Biang akuda sampun madue oka?

‘Dayu Biang sudah berapa mempunyai anak?

2. I Ratu kayun ngrayunang ulam bawi ?

‘Anda ingin makan daging babi?’

4.1.1.5 Basa Mider

Basa Mider adalah kata-kata dalam bahasa Bali yang tidak memiliki tingkat-tingkatan rasa bahasa, sehingga bahasa ini dapat digunakan oleh golongan mana saja. Misalnya :

(23)

23 ‘Kemana kakak tadi, bingung saya mencari’

2. Da bas makelo nyongkok, semutan batise. ‘Jangan lama jongkok, nanti kesemutan kakinya’

4.1.2 Bahasa Sasak

Bahasa Sasak adalah bahasa yang digunakan oleh suku Sasak yang berada di pulau Lombok, kepulauan Nusa Tenggara Barat.Secara geografis Pulau Lombok terletak diantara pulau Bali dan pulau Sumbawa. Menurut penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Mahsun (2006), terdapat empat dialek dalam bahasa sasak, yaitu dialek Bayan, dialek Pujut, dialek Selaparang, dan dialek Aik Bukaq.Selain itu pada penelitian yang dilakukan oleh Nazir Thoir, dkk (1981), mereka membagi dialek bahasaSasak menjadi lima dialek yaitu: dialek Ngeno Ngene, dialek Ngeto Ngete, dialekMeno Mene, dialek Ngeno Mene, dan dialek Mriak Mriku. Pembagian dialek yangdiusulkan oleh Nazir tersebut berdasarkan pada ciri kebahasaan (leksikon) yangdigunakan untuk merealisasikan glos begini-begitu.

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya penelitian ini lebih memfokuskan pada penggunaan bahasa Sasak Halus dan bahasa Sasak kasar dalam aspek sintaksis khususnya penggunaannya dalam ruang lingkup sosiolinguistik.

Terdapat beberapa ranah dalam penelitian ini, antara lain ranah keluarga, ranah pertemanan, ranah pasar, ranah keagamaan, dan ranah tetangga. Selain kelima ranah tersebut, terdapat beberapa faktor juga yang menjadi pertimbangan dalam penggunaan bahasa Sasak dalam kehidupan sosial. Faktor-faktor tersebut antara lain faktor usia, jenis kelamin (gender), dan kelas sosial baik secara tradisional (bangsawan) dan modern (pekerjaan/ jabatan). Penelitian ini membahas mengenai pengaruh ranah dan faktor dalam penggunaan bahasa Sasak dalam kehidupan sosial.Penjelasan mengenai fenomena tersebut dirangkum dengan memberikan contoh-contoh kalimat baik dalam bahasa Sasak halus maupun kasar.

(24)

24 bangsawan maupun yang bukan bangsawan dan apayang mempengaruhi penggunaan bahasa Sasak baik di kalangan bangsawan maupun non bangsawan.

Dalam penelitian ini, hasil yang ditemukan akan dijelaskan dalam dua hal yaitu aspek sintaksis dalam penggunaan bahasa Sasak halus dan kasar yang digunakan pada masyarakat keturunan bangsawan dan masyarakat yang bukan bangsawan, serta apa yang menentukan pembentukan bahasa Sasak halus dan bahasa Sasak kasar bagi keturunan bangsawan dan masyarakat biasa.

Masyarakat Sasak secara garis besar dibagi ke dalam dua kelompok yaitu bangsawan dan masyarakat biasa “jamaq”. Dalam penggunaan bahasa pun mereka terbagi dalam dua kelompok yaitu bahasa Sasak halus yang digunakan oleh bangsawan dan bahasa Sasak kasar digunakan oleh masyarakat biasa.

Dalam bahasa Sasak yang digunakan oleh masyarakat biasa pada umumnya, penggunaan sapaan aku dan kamu dalam bahasa sasak digunakan oleh penutur bahasa Sasak biasa yang memiliki status yang sama dan umur yang tidak jauh berbeda. Aku dan kamu biasanya digunakan di antara penutur yang lebih muda. Para penutur yang memiliki usia lebih tua lebih memilih menggunakan kata “side” dalam berbicara, sementara mereka akan menggunakan kata kamu pada lawan bicara yang lebih muda. Kata “side” dianggap lebih netral untuk menyapa seseorang yang status sosialnya sudah diketahui. Lebih lanjut lagi, anggota keluarga, saudara yang lebih tua dan tetangga yang lebih tua akan menyapa seseorang yang lebih muda dengan sapaan kamu sementara lawan bicara (yang lebih muda) akan menggunakan “side”.

Anak :Pak, leq embe side toloq kunci motor? (Pak, dimana anda letakkan kunci motor?)

Ayah :No tegantung leq deket lawang.kamu (itu digantung di belakang pintumu)

Dalam masyarakat yang bukan golongan bangsawan, penutur yang lebih tua akan menggunakan bahasa sasak biasa (jamaq) dalam setiap tuturannya sementara penutur yang lebih muda akan menggunakan beberapa kata dalam sasak halus kepada yang lebih tua. Ini membuktikan bahwa penggunaan bahasa sasak biasa selalu digunakan antara masyarakat yang bukan bangsawan. Namun, dapat dilihat bahwa dalam tuturan bahasa Sasak yang dihaluskan, mereka akan menggunakan sapaan “side” dan bukan “kamu”, “bekelor” bukan “mangan” untuk berbicara pada anggota keluarga yang lebih tua.

(25)

25 Penutur tua :uah. Kamu uah mangan? (sudah, kamu sudah makan?)

Dalam contoh di atas, anggota keluarga yang lebih muda akan menggunakan bahasa yang lebih halus kepada penutur yang lebih tua, sedangkan penutur yang lebih tua akan menggunakan sasak biasa (ja maq) atau kasar kepada yang lebih muda.

Sedangkan dalam bahasa sasak yang digunakan dalam keluarga bangsawan, penggunaan bahasa sasak akan selalu menggunakan bahasa sasak halus, hal ini untuk membuktikan bahwa mereka memiliki status sosial yang lebih tinggi dari penutur non bangsawan yang hanya menggunakan bahasa kasar/biasa(jamaq). Karena bahasa yang mereka gunakan akan menunjukkan status sosial mereka.

Di kalangan masyarakat bangsawan penggunaan sapaan “tiang, pelinggih atau pelungguh” merupakan sapaan yang digunakan dalam bahasa Sasak halus.“Pelungguh” dan “pelinggih” memiliki arti yang sama, di beberapa tempat akan menggunakan “pelungguh”, sementara tempat lainnya akan menggunakan “pelinggih”. Sapaan ini digunakan di antara penutur bahasa hlus yang berasal dari keturunan bangsawan untuk menunjukkan rasa saling menghargai. Contohnya saja dalam kalimat berikut

Andi: Silaq Pelungguh serminan.(silahkan anda lihat) Amat: Nggih ngiring, tampiasih. (oh iya terima kasih)

Pada percakapan di atas menyatakan bahwa pada saat kata tiang, pelungguh

atau pelinggih digunakan antara masyarakat yang berkasta bangsawan, mereka menyatakan bahwa mereka memiliki status sosial yang sama dan menunjukkan kesopanan.

4.1.3 Bahasa Sumbawa

(26)

26 Adapun masyarakat yang menyandang gelar bangsawan mereka tetap menggunakan bahasa yang biasa untuk berkomunikasi sehari-hari. Jika diamati dari berbagai ranah, maka penggunaan bahasa Sumbawa dapat dijelaskan bahwa dalam ranah lingkungan sehari-hari baik itu ranah tetangga maupun pertemanan, baik itu lelaki ataupun perempuan tetap menggunakan bahasa Sumbawa yang biasa saja dan tidak ada penggunaan bahasa yang sangat halus dalam komunikasi sehari-hari. Bahasa Sumbawa memiliki tingkatan yang lebih sederhana.

4.2 Pengaruh dari Kategori – Kategori Sosial 4.2.1 Bahasa Bali

Seperti yang dipaparkan sebelumnya, stratifikasi sosial di Bali menyebabkan adanya penggunaan tingkatan-tingkatan Bahasa Bali. Berikut merupakan percakapan bahasa Bali oleh komunitas tutur bahasa Bali dataran yang masih erat kaitannya dengan pelapisan sosial masyarakat berdasarkan keturunan Wangsa sehingga penggunaan tingkatan-tingkatan bahasa Bali sangat kental. Menurut data lapangan yang telah dikumpulkan, penggunaan bahasa masyarakat Bali tetap dipengaruhi stratifikasi sosial, tetapi mengalami perkembangan khususnya perilaku verbal penutur terhadap petutur dengan kecenderungan bertolak pada stratifikasi modern yaitu stratifikasi sosial terdiri atas golongan atas (Triwangsa+Jaba) dan golongan bawah (Tri Wangsa+Jaba). Komunikasi etnografi SPEAKING (Setting and Scenes, Participants, End, Act Sequence, Key, Instrumentalities, Norms, and Genre) yang dikemukakan Hymes (1974) membantu menjelaskan fungsi penggunaaan tingkatan-tingkatan bahasa Bali. Tingkatan-tingkatan-tingkatan bahasa Bali semakin terlihat dalam tataran kalimat yang mengandung unsur-unsur pendukung lain untuk menentukan bentuk Berikut percakapan yang menunjukkan penggunaan tingkatan-tingkatan bahasa Bali berdasarkan ranah keluarga, tetangga, kantor pasar, dan agama.

4.2.1.1 Ranah Keluarga

(27)

27 L: Uli dije busan, Luh?

‘darimana tadi, Luh?’

P: ne ngateh adi, li sepatu, Po Nik

‘ini, mengantar adik beli sepatu, Po Nik’ (1)

Percakapan (1) adalah percakapan beda usia antara laki-laki yang lebih tua daripada perempuan tetapi keduanya memiliki status sosial yang sama. Penggunaan bahasa yang digunakan adalah basa kepara yang biasa digunakan dalam suasana bersahaja. Panggilan Luh merupakan panggilan anak perempuan di Bali dengan status sosial Jaba yang juga memiliki suasana bersahaja serta menunjukkan keakraban, sedangkan Po Nik merupakan panggilan yang bermakna literal ‘bapa cenik’ panggilan

khusus untuk paman bungsu dengan status sosial yang sama yaitu Jaba.

P: Om Swastyastu, mriki ngajeng dumun Dewa Man, Jero twn sareng?

‘Om Swastyastu, sini makan dulu, Dewa Man. Jero ga ikut’ L:Om Swastyastu, tyang sampun Mek Yan, ten Ibu ten sareng.

‘Om Swastyastu. Saya sudah makan, Mek Yan. Tidak Ibu tidak ikut’ (2) Percakapan (2) adalah percakapan antara perempuan dan laki-laki berbeda usia dan berbeda status sosial. Perempuan memiliki usia yang lebih tua dari laki-laki, tetapi sebaliknya, status sosial wrga brjenis kelamin laki-laki ini memiki status sosial yang lebih tinggi dari perempuan tersebut sebagai lawan bicaranya. Dalam percakapan ini penutur dan petutur menggunakan basa alus madya karena kedudukan status sosial petutur (Laki-laki) lebih tinggi walaupun memiliki usia yang lebih muda daripada penutur. Fenomena ini banyak ditemyukan akhir-akhir ini dii ranah keluarga karena banyaknya pernikahan antara Tri Wangsa dan Jaba terjadi sehingga pihak

Jaba yang biasanya perempuan memiliki panggilan Jero sebagai penanda bahwa status sosialnya sudah naik lebih tinggi di masyarakat.

4.2.1.2 Ranah Tetangga

Ranah tetangga juga dibatasi seperti ranah keluarga dengan membatasi latar dan topik percakapan, percakapan ranah tetangga berlangsung di rumah tetangga dengan percakapan sehari-hari yang tidak berkaitan dengan ranah pasar dan keagamaan. Berikut contoh percakapan yang diambil di lapangan.

L1: mangkin sampun memenjor, Pak Kelian? ‘sekarang sudah membuat penjor, Pak Kelian?’ L2: nggih, ngemalunin gis Man

(28)

28 Percakapan (3) adalah percakapan antara laki-laki dan laki-laki yang bertetangga memiliki usia dan status sosial yang berbeda. Penutur yang memiliki status sosial lebih rendah dari petutur menggunakan basa alus madia yang menunjukkan adanya suasana bersahaja dan rasa hormat penutur kepada petutur sebagai orang yang kedudukan lebih tinggi di masyarakat sebagai perangkat dusun. Percakapan tersebut dalam situasi normal tanpa melibatkan emosional keduanya sehingga bahasa yang digunakan adalah basa madia.

L1: liu sajan ngutang di warung, dije Kae Rik? Oke gedeg

‘banyak sekali berhutang di warung, dimana Kamu Rik? aku gedeg’

L2: adi bani ngojog umah Kae? Pesu!

‘kok berani-beraninya mendatangi rumahku?’ (4)

Percakapan (4) merupakan percakapan antara laki-laki dan laki-laki yang memiliki usia dan status sosial sama. Keadaan kedua laki-laki tersebut sedang marah sehingga menggunakan basa kasar yang ditegaskan dengan panggilan Oke ‘aku’ pada

dirinya sendiri dan kae ‘kamu’ pada lawan bicaranya. 4.2.1.3 Ranah Kantor

Latar ranah kantor yaitu di kantor dengan topik pembicaraan yang berkaitan dengan kantor seperti administratif, kegiatan di kantor tanpa menyentuh topik jual beli di pasar dan keagamaan. Ranah kantor yang lebih luas dari ranah keluarga dan tetangga membuat penggunaan tingkatan-tingkatan bahasa Bali lebih intensif penggunaannya serta bahasa semakin halus menyesuaikan rasa bahasa yang sarat akan rasa hormat dan penghargaan kepada lawan bicara.

P: semengan be ngopi pegawai ne

‘pagi-pagi sudah ngopi pegawai ini’ L: mriki sareng Bu Bos, ijin jebos

‘mari ikut BuBos, ijin sebentar’ (5)

Percakapan (5) adalah percakapan antara perempuan dan laki-laki yang memiliki kedudukan yang berbeda dalam pekerjaan. Keduanya berjenis kelamin yang berbeda tetapi terlihat pada percakapan tersebut petutur (pembicara laki-laki) menggunakan basa madia kepada penutur karena kedudukan pembicara perempuan lebih tinggi dalam pekerjaan. Percakapan di aas menunjukkan situasi normal.

4.2.1.4 Ranah Pasar

(29)

29 turun dan obrolan seputar kegiatan antarpedagang. Pada ranah ini lebih banyak ditemukan penggunaan basa kepara dan madia karena situasinya juga situasi informal.

P1: Mriki belinin tyang Geg, mare teka cekalang ne gede-gede bin

‘sini berbelanjalah pada saya Geg, ikan cakalangnya baru saja datang, besar besar lagi’

P2: kude a kilo, Bu? ‘berapa sekilo Bu?’ (6)

Percakapan (6) adalah percakapan antara pedagang dan pembeli yang sama-sama perempuan tetapi berbeda usia. Dalam percakapan di atas, pedagang yang berumur lebih tua menggunakan basa madia pada awal tuturannya pada pembeli yang lebih muda darinya. Percakapan di atas menunjukkan adanya penggunaan tingkatan-tingkat bahasa Bali dalam ranah pasar disebabkan oleh kedudukan kedua pembicara yang berbeda dan tidak memperhitungkan perbedaan umur yang umumnya juga menjadi indikator penggunaan tingkatan-tingkatan bahasa Bali. Percakapan di atas merupakan percakapan dengan situasi normal.

4.2.1.5 Ranah Keagamaan

Ranah keagamaan merupakan ranah dengan latar di tempat-tempat kegiatan keagamaan berlangsung dan tempat berkumpul seperti balai banjar yang berkaitan dengan topik pembicaraan dan kegiatan keagamaan. Umumnya penggunaan bahasa Bali dalam ranah keagamaan cenderung ke situasi normal sehingga bahasa Bali yang memiliki rasa bahasa halus, sopan, dan rasa hormat digunakan.

Dewasa : Damuh Alit sampun sami makta canang angge mebakti?

‘anak-anak sudah semua membawa canang untuk sembahyang?’ Anak : Sampun, Jero Mangku

‘sudah, Jero Mangku’ (7)

Percakapan (7) merupakan percakapan antara penutur dewasa dan anak-anak yang menggunakan basa alus mider yang digunakan untuk menunjukkan rasa sangat hormat walaupun dalam percakapan tersebut lawan bicara penutur dewasa adalah anak-anak tetapi anak-anak tersebut juga dihormati sehingga penggunaan basa alus mider digunakan dalam percakapan di atas.

(30)

30 Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penggunaan bahasa Sasak dalam kehidupan masyarakat Lombok secara umum sebagai berikut.

4.2.2.1 Status sosial

Selain gelar kebangsawanan yang sangat berpengaruh dalam penggunaan bahasa Sasak, kedudukan dalam pekerjaan dan status keluarga memiliki pangaruh yang kuat dalam penggunaan code switching sasak dan Indonesia. Di antara penutur yang memiliki status yang jauh berbeda, maka penutur yang memiliki status lebih rendah akan meggunakan bahasa campuran sasak halus dan Indonesia sementara penutur yang memiliki kedudukan lebih tinggi akan menggunakan banyak bahasa campuran sasak jamak dan Indonesia. Sementara penutur yang memiliki status yang sama akan menggunakan bahasa campuran sasak jamak dan Indonesia.

Selain itu, terdapat situasi di mana penutur yang memiliki perbedaan status sosial tetapi menggunakan campuran bahasa sasak biasa dan Indonesia dalam percakapan, hal ini dapat disebabkan karena hubungan pertemanan yang cukup baik.

Dalam keluarga, baik yang berasal dari keluarga menak dan nonmenak, ditentukan dengan pemilihan penggunaan code switching dalam percakapan bahasa Sasak. Code switching antara bahasa sasak alus dan Indonesia akan dipilih ketika penutur berbicara dengan lawan tutur yang berasal dari keluarga menak. Penutur menak dapat mencampur bahasa mereka antara sasak alus dan Indonesia maupun sasak jamak dan Indonesia tergantung pada tingkat keakraban antara penutur. Jika lawan tutur berasal dari masyarakat yang lebih rendah, maka mereka akan menggunakan bahasa sasak jamak dan Indonesia, sementara mereka akan menggunakan bahasa sasak alus dan Indonesia pada masyarakat yang memiliki status lebih tinggi.

4.2.2.2 Usia

(31)

31 4.2.3 Bahasa Sumbawa

Beberapa contoh tingkat tutur yang terjadi dalam masyarakat Sumbawa jika ditinjau dalam berbagai ranah dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 4.2 Bahasa Sumbawa Daerah Sumbawa Besar

(32)
(33)
(34)
(35)

35 jangan terlalu

lama.

Dari tabel tersebut dapat diamati bahwa tingkat tutur dalam bahasa Sumbawa tidak begitu memiliki variasi yang beragam dan tidak terlalu mencolok dalam berbagai ranah kehidupan sehari-hari. Tingkatan tutur dalam masyarakat Sumbawa hanya terjadi karena dipengaruhi beberapa hal dan kelas sosial atau kasta sosial bukan hal yang mempengaruhi tingkat tutur dalam bahasa Sumbawa.

Dalam tuturan masyarakat Sumbawa ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi tingkat tutur dalam kehidupan mereka sehari-hari. Beberapa hal yang mempengaruhi tingkat tutur tersebut antara lain:

4.2.3.1 Kata

Dalam bahasa Sumbawa tingkatan berbahasa sangat dipengaruhi oleh sebuah kata. Jika dalam kalimat tersebut ada kata-kata tertentu yang bersifat halus, maka kalimat yang dituturkan tersebut dianggap halus. Kata-kata itu seperti “kaji” yang berarti saya dan kata “kelam/sia” yang berarti anda. Contoh tuturan yang terjadi dalam hal ini adalah sebagai berikut:

Rian : Pak, mepang kasia olo kunci kantor?

Bapak : Nan kaku gantong ndeng lawing

Dalam percakapan tersebut tuturan yang diutarakan oleh Rian tergolong halus karena menggunakan kata “sia” untuk menyapa orang tua. Penggunaan kata-kata tertentu ini memang hanya dilakukan hanya jika berbicara kepada yang lebih tua.

4.2.3.2 Kalimat

(36)

36 dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun.

4.2.3.3 Usia

Usia adalah ranah yang paling mempengaruhi penggunaan tingkatan berbahasa dalam bahasa Sumbawa. Penggunaan bahasa Sumbawa terhadap masyarakat yang lebih tua akan lebih disopankan dan itu ditandai oleh penggunaan kata sapaan “kelam atau sia”dan menyebut diri sendiri dengan sebutan “kaji”. Bahasa

yang digunakan juga bahasa yang tidak langsung mengarah ke inti pembicaraan, melainkan harus menggunakan bahasa secara tidak langsung.

4.2.3.4 Ranah Perkantoran

Dalam ranah ini bahasa yang digunakan antar kerabat atau karyawanpun masih biasa bahkan dominan menggunakan bahasa Indonesia. Hanya sesekali saja mereka menggunakan bahasa yang sedikit halus untuk atasan mereka dan itupun tidak setiap saat.

Selain beberapa hal tersebut yang mempengaruhi tingkat tutur pada masyarakat Sumbawa adalah nada berbicara. Tingkat kehalusan dalam berbicara bahasa Sumbawa dikatakan halus jika nada berbicara mereka tidak tinggi dan sebaliknya.

4.3 Karakteristik Umum Tindak Tutur

(37)
(38)

38

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Dalam penelitian tingkat tutur bahasa Bali, Sasak, dan Sumbawa,

beberapa temuan pada karakteristik bahasa timur melayu polinesia barat adalah

pada tingkat kesopanan penutur. Beberapa ranah dalam bahasa dapat

mempengaruhi tingkat tutur bahasa tersebut, seperti ranah usia, kantor, dan

status sosial penutur dalam masyarakat. Tingkatan ini secara umum

mempengaruhi struktur leksikal dan gramatikal penggunaan bahasa tersebut.

(39)

39

DAFTAR PUSTAKA

.

Bagus, I Gusti Ngurah. 1978/1979. Unda Usuk Bahasa Bali. Laporan Penelitian tim Penelitian

Fakultas Sastra Universitas Udayana, Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Bali. Denpasar: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Bailey, Guy. 2002. Real and apparent time.. In J.K Chambers, Peter Trudgill, and NatalieSchiling-Estes. The Handbook of Language Variation and Change. Oxford: Blackwell Publishing, pp 312-332.

Bhadra, Ranajit K. 1991. Caste and Class: Social Stratification in Assam. New Delhi: Hindustan Publishing Corporation.

Blust, Robert A. 1981. The Soboyo Reflexes of Proto-Austronesian S. In R.A. Blust (ed.) Historical Linguistics in Indonesia. Part I. NUSA 10: 21-30. Jakarta Badan

Penyelenggara Seri NUSA.

Chambers, J.K. 2003. Sociolinguistic Theory. Oxford: Blackwell Publishing.

Clynes, Adrian. 1989. Speech Styles in Javanese and Balinese: A Comparative Study. MA thesis, Australian National University, Canberra.

Clynes, Adrian. 1994. Old Javanese influence in Balinese: Balinese speech styles. In Tom Dutton and Darrell T. Tryon, eds Language Contact and Change in the Austronesian World, 141-179. Berlin: Mouton de Gruyter.

Dittmar, Norbert and Peter Schlobinski, eds 1988. The Sociolinguistics of Urban Vernaculars. Case Studies and their Evaluation. Berlin: Walter de Gruyter.

Duranti, A. 1997. Linguistic Anthropology. Melbourne: Cambridge University Press.

Dyen, Isidore. 1982. The Present Status of Some Austronesian Subgrouping Hypothesis. In A.

Halim et.al (Eds.). Paper from the TICAL. PL Series C, No 75, Vol. 2:31-35.

Edwards, Jane A. 1993. Principles and contrasting system of discourse transcription. In Jane A. Edwards and Martin D. Lampert, eds Talking Data. Transcription and Coding in Discourse Research, 3-43. Hillsdale, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.

Fishman, J. A. 1972. Domains and the relationship between micro and macro sociolinguistics. In John J. Gumperz and Dell Hymes, eds Directions in Sociolinguistics, 435-453. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Geertz, C. 1960. Linguistic etiquette. Reprinted in J.B. Pride and Janet Holmes, eds Sociolinguistics, 167-179. New York: Penguin.

Geertz, H. and Clifford Geertz. 1975. Kinship in Bali. Chicago: University of Chicago Press.

(40)

40 Hoijer, ed. Language in Culture, 3-19. Chicago: University of Chicago Press. Gumperz, J. 1971. Language in Social Groups. Stanford: Stanford University Press.

Hardjadibrata, R.R. 1985. Sundanese: A Syntactical Analysis. Pacific Linguistics D-65. Canberra: Australian National University.

Hwang, Juck-Ryoon. 1990. Deference versus politeness in Korean speech. International Journal of the Sociology of Language 82, 41-55.

Hymes, Dell. 1974. Foundation in Sociolinguistics: An Ethnographic Approach. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.

Labov, W. 1971(a). Methodology. In W.O. Dingwall, ed. A Survey of Linguistic Science, 412-491. Maryland: Linguistics Program, University of Maryland.

Labov, W. 1971(b). The study of language in its social context. Reprinted in J.B. Pride and Janet Holmes, eds. Sociolinguistics, 180-202. New York: Penguin.

Labov, W. 1972(a). The Design of a Sociolinguistic Research Project. Report of the Sociolinguistics Workshop held by the Central Institute of Indian Language in Mysore India.

Labov, W. 1972(b). Some principles of linguistic methodology. Language in Society 1, 97-120.

Labov, W. 1984. Field methods of the project on linguistic change and variation. In John Baugh and Joel Sherzer, eds Language in Use. Reading in Sociolinguistics, 28-53. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

Martin, Samuel E. 1964. Speech levels in Japanese and Korean. Reprinted in Dell Hymes, ed. Language in Culture and Society, 407-415. New York: Harper & Row.

Mbete, A. M. 1990. Rekonstrusi Proptobahasa Bali- Sasak-Sumbawa. Desertasion. University of Indonesia.

Milroy, Lesley. 1980. Language and Social Networks. Oxford: Basil Blackwell.

Milroy, Lesley. 1987. Observing and Analysing Natural Language. Oxford: Basil Blackwell. Milroy, Lesley and J. Milroy. 1992. Social network and social class: Toward an integrated

sociolinguistic model. Language in Society 21, 1-26.

Narayana, I.B. Udara. 1983. Anggah Ungguhing Basa Bali dan Peranannya Sebagai alat Komunikasi bagi Masyarakat Suku Bali. Denpasar: Faksas, Universitas Udayana.

Poedjasoedarma, Soepomo et al. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Saville-Troike, Muriel. 1982. The Ethnography of Communication. Oxford: Basil

Blackwell.

Shadeg, S.V.D. 1977. Balinese Basic Vocabulary. Denpasar: Dharma Bakti Simpen, I W. AB. 1985. Kamus Bahasa Bali. Denpasar: PT Mabhakti.

(41)

41

Suastra, I Made. 2001. The Categorisation in Balinese Speech Levels. A paper presented in International Seminar on Astro Oseanean Languages. Denpasar, Bali.

Trudgill, Peter. 1974. The Social Differentiation of English in Norwich. Cambridge: Cambridge University Press.

Vago, Steven. 1980. Social Change. New York: Holt, Rinehart & Winston.

Wang, Hahn-Sok. 1990. Toward a description of the organisation of Korean speech levels. International Journal of the Sociology of Language.82, 25-39.

Ward, Jack Haven. 1973. Phonology, Morphophonemics and the Dimension of Variation in Spoken Balinese. PhD thesis, Cornell University.

Wiana, I Ketut and Raka Santri. 1993. Kasta Dalam Hindu. Kesalahpahaman Berabad-abad. Denpasar: Yayasan Dharma Naradha.

Woods, Anthony, P. Fletcher and A. Hughes. 1986. Statistics in Language Study. Cambridge: Cambridge University Press.

(42)

42 LAMPIRAN PENELITIAN

LAMPIRAN 1: FOTO (DOKUMENTASI) PENELITIAN

(43)
(44)

44 Foto 3: Kantor Desa Beraim, Lombok Tengah

Foto 4

(45)
(46)
(47)

47 Foto 7: Penggunaan Bahasa Bali di Ranah Tetangga

(48)

48 Foto 9. Penelitian bahasa Sumbawa di Ranah Pasar

(49)

49 Foto 11. Informan bahasa Sumbawa

Foto 12. Bahasa Sumbawa dalam Ranah Tetangga

LAMPIRAN 2: DAFTAR INFORMAN Informan Bahasa Sasak:

1. Dr. Muhammad Sukri, S.Pd. M.Hum, Sekretaris Program Studi S-2 Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Mataram (UNRAM),

2. Muhammad Kherul Ihwan (Iwan) yang berasal dari desa Ketejer Kecamatan Praya Lombok Tengah. Informan berumur 38 tahun, bekerja di lembaga keuangan di daerah setempat

(50)

50 4. H. Hasan Basyri, S. Sos. (55 tahun) dan bekerja di kantor camat Narmada

Lombok Barat.

5. Taufan Jaya Rahmana. Beliau bekerja sebagai staf desa di Kantor Desa Beraim Kecamatan Peraya Tengah kabupaten Lombok Tengah

6. Lalu Ichwan Hasbiadi, Baiq Farida Astini, Baiq Muhanis, S.Pd., Baiq Ami Faranita, Lalu Adam, Lalu Masrif, Fuad, Rosalina Febrianti, Baiq Annisa Salwa Fadia (Lombok Tengah)

7. Baiq Reni Nurlia, Issyatul Mardiah, Baiq Devi Maramitha, S.Pd. (Lombok Timur)

8. Lalu Sukendar, Sailah, Taufik Al-Banjari (Ampenan-Lombok Barat) Informan Bahasa Bali:

1. I Ketut Tumbuh (Laki-laki) 51 Tahun, Tukang Ukir, Desa Susut, Tabanan 2. Nyoman Widia (Laki-laki) 57 Tahun, Kelian Dinas Dalung, Badung 3. Ni Wayan Tingkes (Perempuan) 45 Tahun, Pedagang Kuliner Tradisional 4. Desak Supadmini (Perempuan) 43 Tahun, Desa Jegu, Tabanan

5. I Ketut Selebes (Laki-Laki) 43 Tahun, Guru, Tabanan 6. Ni Wayan Srati (Perempuan) 39 Tahun, PNS, Denpasar

7. Seka Truna di beberapaBanjar sekitaran Denpasar dan Tabanan 8. Pedagang-pedagang di Pasar

Informan Bahasa Sumbawa:

1. Novita (29 tahun), penduduk asli suku Samawa Sumbawa besar, daerah Sering kabupaten Sumbawa Besar, ibu rumah tangga

2. Fitria, S.E., M.E. (28 tahun), penduduk asli suku Samawa kabupaten Sumbawa Besar, dosen ekonomi di Fakultas Ekonomi Universitas Teknik Sumbawa (UTS)

3. Daeng Riadi (48 tahun), dari Sumbawa Besar, keturunan dari Sultan Sumbawa, pegawai di kantor daerah Sumbawa Besar

(51)

51 5. Warga sekitar daerah Sering Sumbawa Besar. Penduduk asli Sumbawa yang bersuku Samawa dan menggunakan bahasa Sumbawa untuk berkomunikasi sehari-hari.

LAMPIRAN 3: KUESIONER BAHASA SASAK Nama :

Lokasi :

SOAL KUISIONER

1. Apakah anda mampu menggunakan bahasa Sasak halus?

a. Ya b. Tidak

2. Apakah bahasa Sasak yang anda gunakan tergolong pada bahasa Sasak yang paling halus?

a. Ya b. Tidak

3. Apakan anda berbicara menggunakan bahasa Sasak halus di lingkungan tempat anda tinggal?

a. Ya b. Tidak

4. Ketika anda berbicara dengan bangsawan (Raden/ Lalu), apakah anda menggunakan bahasa Sasak halus?

a. Ya b. Tidak

5. Apakah perbedaan status sosial (bangsawan) mempengaruhi penggunaan bahasa Sasak anda ketika berkomunikasi?

a. Ya b. Tidak

6. Apakah perbedaan status sosial (pekerjaan) mempengaruhi penggunaan bahasa Sasak anda ketika berkomunikasi?

a. Ya b. Tidak

7. Ketika anda berbicara dengan seorang bangsawan (Raden/ Lalu) yang memiliki pekerjaan rendah, apakah anda menggunakan bahasa Sasak halus?

(52)

52 8. Apakah perbedaan gender mempengaruhi penggunaan bahasa Sasak anda?

a. Ya b. Tidak

9. Apakah perbedaan usia mempengaruhi penggunaan bahasa Sasak Anda?

a. Ya b. Tidak

10.Apakah anda menggunakan bahasa Sasak halus ketika berbicara dengan anak kecil?

a. Ya b. Tidak

11.Bahasa Sasak apa yang anda gunakan dalam ranah keluarga? a. Bahasa Sasak halus b. Bahasa Sasak kasar 12.Bahasa Sasak apa yang anda gunakan dalam ranah pertemanan?

a. Bahasa Sasak halus b. Bahasa Sasak kasar 13.Bahasa Sasak apa yang anda gunakan dalam ranah pasar?

a. Bahasa Sasak halus b. Bahasa Sasak kasar 14.Bahasa Sasak apa yang anda gunakan dalam ranah tetangga?

a. Bahasa Sasak halus b. Bahasa Sasak kasar 15.Bahasa Sasak apa yang anda gunakan dalam ranah agama?

(53)

53 LAMPIRAN 4: ARTIKEL SENASTEK DAN LUARAN ARTIKEL LAINNYA

DAFTAR PEMAKALAH SENASTEK 2015 KATEGORI: PEMAKALAH ORAL

1. Artikel yang dimuat dalam prosiding SENASTEK tentang bahasa Bali

STRATIFIKASI SOSIAL DAN TINDAK TUTUR BAHASA BALI

DALAM KARYA SASTRA BALI MODERN

I Ketut Tika1), I Made Suastra2), Ni Luh Nyoman Seri Malini3), I Made Sena Darmasetiyawan4)

(54)

54

Abstrak

Grimes dan Maryot (1994) menyatakan bahwa masyarakat penutur Austronesia memiliki ciri khas yang cenderung memakai kosakata berbeda ketika berbicara dengan orang yang berkedudukan tinggi. Ciri itu tampak terwa ris dalam Bahasa Bali dengan sistem tindak tutur yang khas dengan sebutan anggah-ungguhing basa Bali. Sistem tindak tutur bahasa Bali ini tercermin pada karya -karya sastra Bali, baik tradisional maupun modern. Sebagai wahana pendokumentasian bahasa dalam bentuk inskripsi, karya sastra selalu berada dalam tegangan antara norma sastra dan norma sosio-budaya, karena karya sastra merupakan tanggapan evaluatif terhadap sesuatu yang berlangsung di sekitarnya (Djoko Damono, 2002: 40). Hubungan karya sastra dengan norma sosio-budaya, menurut Teeuw (1982: 19) berlangsung dalam tiga tanggapan evaluatif, yaitu berupa afirmasi (menetapkan norma yang berlaku saat itu), restorasi (ungkapan kerinduan pada norma yang hilang atau tidak berlaku lagi), dan negasi (pemberontakan terhadap norma yang berlaku, menyajikan alternatif norma sosio-budaya yang mapan). Dalam konteks inilah penelitian terhadap realitas pemakaian tindak tutur bahasa Bali dalam karya -karya sastra penting dilakukan. Penelitian ini menggunakan metode simak bebas libat seecakap pada saat penyediaan data, dan analisis dengan teori sosiolinguistik, serta penyajian data secara informal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa stratifkasi masyarakat Bali Tradisional dan Modern yang terdokumentasi dalam karya sastra Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang menunjukkan pengaruh terhadap penggunaan bahasa Bali. Stratifikasi masyarakat Bali Tradisional yang berpijak pada hubungan tri wangsa dan jaba yang berpengaruh pada penggunaan bahasa Bali Alus maupun Andap (Lumbrah) tetap dicerminkan oleh novel ini. Demikian pula, stratifikasi masyarakat Bali Modern yang cenderung lebih egalitar juga ditujukkan dalam novel ini.

Kata Kunci : Stratifikasi Sosial, Tindak Tutur, dan Karya Sastra Abstract

Grimes and Maryoto (1994) states that Austronesians- had characteristics that tended to use different vocabulary when they talked to people in high places. This characteristic seems to be inherited in Balinese language with a distinctive system of speech acts called the anggah-ungguhing base Bali. The speech act systems in Balinese language are often reflected in Balinese’s literary works, both traditional and modern. As a media of language documentation in the form of inscriptions, literary works are always in tension between the literary and socio-cultural norms, since literature work is considered as an evaluative response to something that took place in the vicinity (Djoko Damono, 2002: 40). The relationship of literature to the norms of socio-cultural, according Teeuw (1982: 19) takes place in three evaluative responses, namely affirmation (norms of the time), restoration (expression of longing on the norms that are missing or not valid anymore), and negation (rebellion against the norm, the alternative of socio-cultural norms). By this context, the study of the reality use of speech acts in Balinese language was necessary to be done. The method used in this study was observation method. Afterwards, the data were analyzed by using the theory of sociolinguistics as well as the presentations of the data was presented informally. The results showed that the Balinese stratification of traditional and modern was documented well in the Novel entitled Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang. It showed that the effects of the Balinese’s traditional social stratification usage were based on the relationship between tri wangsa and jaba, which affected the use Basa Alus and Andap in Bali (Lumbrah). Similarly, it was found in the novel that the stratification of Bali Modern society tends to be more egalitarians.

Keywords: Social Stratification, Speech Act, and Literature Work

1. PENDAHULUAN

Ardika (2006 : 2) menyatakan bahwa dewasa ini ada suatu gejala yang menunjukkan semakin terpinggirkannya bahasa Bali dalam pergaulan keseharian masyarakat Bali, terutama di kalangan generasi mudanya. Salah satu kekhasan sistem yang dimiliki oleh bahasa Bali sebagai bagian dari bahasa Austronesia adalah adanya tingkat-tingkatan wicara atu speech level. Tingkat-tingkatan bahasa ini dalam bahasa Bali juga disebut dengan anggah-ungguhing basa Bali. Dalam kaitannya dengan

Gambar

Gambar 1.
Tabel 4.2 Bahasa Sumbawa Daerah Sumbawa Besar
Tabel 1. Stratifikasi Masyarakat Bali Tradisional   dalam Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang
Tabel 2. Stratifikasi Masyarakat Bali Modern dalam Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang

Referensi

Dokumen terkait