• Tidak ada hasil yang ditemukan

Stratifikasi Sosial dan Penggunaan Tindak Tutur dalam Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang

DALAM KARYA SASTRA BALI MODERN

2.2 Stratifikasi Sosial dan Penggunaan Tindak Tutur dalam Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang

Eksistensi tindak tutur bahasa Bali yang juga disebut dengan sistem anggah-ungguhing basa Bali ini tidak dapat dilepaskan dari adanya stratifikasi masyarakat Bali. Stratifikasi ini secara umum dapat dipilah menjadi dua yaitu stratifikasi masyarakat Bali tradisional dan modern. Menurut Suasta (2006: 10), pada masa lalu stratifikasi masyarakat suku Bali ditandai dengan adanya tingkat-tingkatan sosial berdasarkan keturunan, senioritas, kekuasaan, dan keahlian. Pelapisan masyarakat suku Bali yang telah mengendap dalam adat adalah pelapisan masyarakat suku Bali yang berdasarkan keturunan, senioritas, kekuasaan, sedangkan pelapisan masyarakat suku Bali yang berdasarkan keahlian belum mengendap. Berdasarkan keturunan menyebabkan terjadinya golongan masyarakat bangsawan, dan golongan masyarakat kebanyakan. Berdasarkan senioritas menyebabkan terjadinya golongan masyarakat suku Bali yang tua-tua berkuasa dalam ranah adat, dan golongan masyarakat suku Bali yang muda dalam pengalaman. Berdasarkan kekuasaan, menyebabkan munculnya golongan penguasa dan golongan masyarakat. Pembedaan berdasarkan keahlian menyebabkan adanya golongan masyarakat suku Bali yang memiliki keahlian tertentu dan tidak memiliki keahlian tertentu.

Pada masyarakat Bali Aga, lebih dominan struktur sosialnya dipengaruhi oleh senioritas. Sementara itu, masyarakat Bali dataran lebih dipengaruhi oleh unsur pembeda yang berdasarkan keturunan. Pelapisan masyarakat suku Bali Aga tidak begitu mempengaruhi bahasa yang digunakan sebagai alat berkomunikasi. Berbeda dengan masyarakat Bali dataran yang pelapisan sosial masyarakatnya dipengaruhi oleh keturunan yang sangat dominan mempengaruhi pemakaian bahasanya, sampai menyebabkan terjadinya anggah-ungguhing basa Bali (Suasta, 2006 : 10). Stratifikasi masyarakat suku Bali modern pada dasarnya juga berasal dari suku Bali Tradisional yang menganut sistem budaya Hindhu dalam bentuk kerajaan yang mengalami perubahan penghargaan, karena perkembangan zaman. Namun demikian, pelapisan masyarakat suku Bali yang berdasarkan atas keturunan atau wangsa masih tetap ada, yang mengendap dalam adat masyarakat suku Bali. Kemajuan zaman mengakibatkan adanya perubahan yang mempengaruhi keadaan stratifikasi masyarakat suku Bali yang berdasarkan pendidikan, pangkat, kekuasaan, dan jabatan tertentu menyebabkan golongan ini juga mendapatkan penghormatan dalam kehidupan masyarakat.

Stratifikasi sosial masyarakat Bali Tradisional dan Modern yang berdampak pada penggunaan bahasa Bali juga tampak pada Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang. Karya sastra sejatinya merupakan dokumen penting dalam menelusuri perubahan sosio-kultural termasuk perubahan bahasa dalam kehidupan masyarakat Bali. Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang merekam perubahan penggunaan bahasa Bali tradisional menuju masyarakat Bali Modern, yang diiringi oleh perubahan penggunaan bahasa Bali. Oleh sebab itulah, dalam tulisan ini status sosial masyarakat Bali yang meliputi tradisional maupun modern yang terekam dalam karya sastra ini akan dideskripsikan terlebih dahulu. Hal ini penting karena akan berpengaruh pada penggunaan bahasa dalam komunikasi antartokoh intrawangsa dan

58 2.2.1. Stratifikasi Tradisional

Stratifikasi masyarakat tradisional yang menata hubungan masyarakat Bali dapat dibagi menjadi dua yaitu golongan Tri Wangsa dan golongan Jaba. Golongan

Tri Wangsa dapat dibagi lagi menjadi Brahmana, Ksatria, dan Wesia. Sementara itu, golongan jaba adalah golongan masyarakat pada umumnya di luar golongan Tri Wangsa. Golongan Tri Wangsa dalam karya sastra Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang ini dicerminkan oleh tokoh-tokoh berikut ini.

Tabel 1. Stratifikasi Masyarakat Bali Tradisional dalam Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang

No. Golongan Tri Wangsa Keterangan Nama Tokoh

1. I Gusti Ayu Adi Seorang gadis yang berasal dari Desa Selat, anak dari I Gusti Mangku, dan pacar I Made Madi

2. I Gusti Mangku Lanang Ayah dari I Gusti Ayu Adi 3. I Gusti Mangku Istri Ibu dari I Gusti Adi

4. I Gusti Ngurah Cepeg Saudara dari I Gusti Ayu Adi, yang menyerang Made Madi, Wayan Madu, dan yang lainnya di Bukit Bisbis karena lamarannya ditolak I Gusti Ayu Adi.

5. Aji I Gusti Ngurah Cepeg Ayah I Gusti Ngurah Cepeg 6. Biang I Gusti Ngurah Cepeg Ibu I Gusti Ngurah Cepeg

5. Anak Agung Alit Sudendi Seorang pemuda yang berasal dari Klungkung, yang mengawini Made Arini dengan cara kawin paksa.

6. Anak Agung Ngurah Ayah Anak Agung Alit Sudendi

7. Jero Sekar Ibu Anak Alit Sudendi yang masih memiliki hubungan keluarga dengan Made Arini

8. Ida Bagus Aji 1 Seorang keturunan brahmana, yang dimintai Pan Madu Obat 9. Ida Bagus Aji 2 Seorang keturunan brahmana yang berprofesi sebagai petugas

bioskop

9. Gusti Ketut Rai Pemilik tempat kos-kosan yang ditempati Nyoman Santosa di Singaraja.

10. Gusti Ayu Srati Istri dari Gusti Ketut Rai.

11. Gusti Ayu Jinar Pacar I Nyoman Santosa, yang masih memiliki hubungan keluarga dengan Gusti Ketut Rai

12. Gusti Ayu Manik Anak dari I Gusti Ketut Rai kelas 3 SMP 13. Gusti Ayu Mirah Anak dari I Gusti Ketut Rai kelas 3 SMP 14. Gusti Gede Pande Anak dari I Gusti Ketut Rai kelas 3 SD

No Golongan Jaba Keterangan Nama Tokoh

1. I Nyoman Santosa Seorang pemuda desa yang melanjutkan sekolahnya di SPG Klungkun dan SGB Singaraja, dan juga kekasih Made Arini serta Gusti Ayu Jinar.

2. I Wayan Madu Kakak tertua dari I Nyoman Santosa yang tewas dalam serangan I Gusti Ngurah Cepeg.

3. I Made Madi Kakak ke dua dari I Nyoman Santosa, kekasih I Gusti Ayu Adi.

4. Pan Madu Ayah dari Nyoman Santosa.

5. Men Madu Ibu dari Nyoman Santosa.

6. I Ketut Santi Adik terkecil keluarga Nyoman Santosa.

7. Made Arini Kekasih pertama Nyoman Santosa yang akhirnya dikawin paksa oleh I Gusti Ngurah Cepeg.

8. Ketut Dirga Teman sejawat I Nyoman Santosa di SPG Klungkung. 9. Nyoman Nerti Sahabat sejawat Made Arini di SMP Klungkung.

10. Made Astiti Seorang remaja yang menyukai Nyoman Santosa di Singaraja, yang juga teman dari Gusti Ayu Jinar.

59

12. Ketut Dani Ibu dari Made Arini.

13. Pekak Giyor Dukun yang membantu Anak Agung Alit Sudendi dalam mengawini secara paksa Made Arini

14. Made Galang Orang yang membantu Anak Alit Sudendi mengawini secara paksa Made Arini.

Keberadaan stratifikasi masyarakat Bali Tradisional ini berdampak pada penggunaan bahasa bahasa Bali dalam dialog-dialog yang dimainkan tokoh-tokohnya. Dengan mengacu pada dialog-dialog dalam novel ini, dapat diketahui dua yaitu (1) apabila komunikasi tersebut terjadi antargolongan jaba, maka bahasa yang digunakan cenderung bahasa Andap (Kepara/Lumbrah), (2) apabila komunikasi tersebut terjadi antargolongan tri wangsa, maka bahasa yang digunakan cenderung bahasa Andap

bagi penutur yang lebih tua dan bahasa Alus bagi penutur yang lebih muda, (3) apabila komunikasi tersebut terjadi antara golongan Tri Wangsa dengan golongan

Jaba, maka bahasa yang digunakan oleh golongan jaba tersebut adalah bahasa Alus,

sedangkan golongan Tri Wangsa akan cenderung menggunakan bahasa Andap apabila berkomunikasi dengan golongan jaba. Hal ini dapat dibuktikan melalui dialog-dialog di bawah ini :

a. Dialog Antargolongan Jaba

Dialog antargolongan jaba akan diambil dari percakapan Pan Madu dengan Men Madu pada saat Pan Men Madu membicarakan kegiatan sehari-hari Pan Madu yang seringkali dimintai bantuan untuk menolong orang sakit, dengan kondisi keluarganya sendiri yang masih miskin secara materi:

Men Madu : “Beneh, yèn perawat utawi dokter anè magajih buina madagang ubad tusing

nyidaang nelokin anak sakit, ngèngkèn dadi beli anè maan sèn tepu, gèsèk? Buina anakè sakit joh joh tekain beli, nanging panak belinè jumah sakit tusing tawang bapannè. Apa buin lakar ngubadin, matakon bapannè tusing taèn, apa ia suba madaar apa tondèn? apa ngelah baju apa tusing anggona masuk mani? apa tuduh umahè apa tusing?

(Benar, jika perawat atau dokter yang digaji apalagi yang berjualan obat saja tidak dapat mengunjungi orang sakit, apakah dari pekerjaan ini Bapak dapat uang? Apalagi, orang lain yang sakit di tempat yang jauh pun engkau datangi, tapi anak kita di rumah jika sakit tidak pernah tahu ayahnya. Apalagi akan mengobati, bertanya saja tidak pernah. Apakah dia sudah makan atau belum? Apakah dia sudah mempunyai baju untuk sekolahnya besok atau tidak? Apakah rumah kita bocor atau tidak?)

Pan Madu : “Naaah, beli ngrasa tekèn awak lacur, tusing ngelah sakaya pipis. Keto masih tusing ngelah arta brana anggon matulung tekèn nyama brayanè. Yèn jani beli tusing mapikolih, dumadak mani puan panak-panak iraganè nemu rahayu, ada ngiwasin yèn kalahin beli mati malunan”. (Novel TLASK, hlm. 11)

(Iya, aku merasa terhadap diri miskin, tidak mempunyai harta berupa uang. Demikian juga harta untuk membantu masyarakat. Jika sekarang aku tidak mendapatkan hasil apa-apa, semoga di hari esok anak-anak kita yang akan menemui kebahagiaan, ada yang memperhatikan jika aku mati duluan).

Mengacu pada dialog di atas, leksikon beneh ‘benar’, yèn ‘jika’, anè ‘yang’, madagang ‘berjualan’, ubad ‘obat’, dan yang lainnya membuktikan bahwa apabila terjadi dialog antargolongan jaba maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Andap. Apabila konteks situasi yang terbangun dalam komunikasi adalah orang tua dengan anaknya, atau orang yang belum kenal terlalu dekat, maka pronomina atau kata ganti orang ketiga tunggal yang digunakan cenderung memakai kata alus madya yaitu tiang

‘saya’. Hal ini dapat dibuktikan dari dialog antara Nyoman Santosa dengan ibunya, pada saat Nyoman Santosa berniat untuk melanjutkan sekolahnya.

60 Men Madu : “Apa sujatinè kenehang cai Man?

(Apa yang sebenarnya kamu pikirkan Man?)

Nyoman Santosa : “Mèmè da nyen pedih mèmè tekèn tiang, sawirè keneh tiangè tan dadi baan neptepin. Tiang lakar nerusang masekolah ka Klungkung. (Novel TLASK, hlm. 8)

(Ibu, janganlah ibu marah kepadaku, karena keinginanku tidak bisa ditahan lagi. Aku akan melanjutkan bersekolah ke Klungkung).

b. Dialog Antargolongan Tri Wangsa

Dialog antargolongan Tri Wangsa akan diambil dari dialog pada saat I Gusti Ngurah Cepeg melamar I Gusti Ayu Adi kepada orang tuanya.

Gusti Ngurah Cepeg : “Aji, suwe sampun titiang kangin kauh, gumanti mamanah nunas pasuwecan

ajine. Cutet mangkin anak aji, Ayu Adi tunas titiang, jagi ajak titiang sareng

ngarembat anak lingsir jumah kauh”.

(Aji, sudah lama sekali kehidupan saya tidak menentu, saat ini saya bermaksud meminta izin dari Aji. Intinya, sekarang putri Aji, Ayu Adi akan saya jadikan istri, akan saya ajak menjadi pendamping di rumah orang tua sya di Badung). Gusti Mangku : Kene Gus, adin Ngurahe saja aji ngelah panake. Ngurah masih ngelah

misane. Sep awai cening maka dadua manyama. Mungguing awakne bakat baan aji ngisiang, nanging buat kenehne, sawireh jani ia suba kelih, tusing pantes aji mekek (TLASK, hlmn. 12).

(Begini Gus, adikmu memang benar Aji yang memiliki. Kamu juga yang menjadi misannya. Engkau dengannya saudara yang dekat. Badannya dapat Aji pegang, tapi hatinya belum tentu. Karena Gusti Ayu Adi sudah dewasa, tidak pantas Aji memaksa).

Kosakata suwe ‘lama’, sampun ‘sudah’, titiang ‘saya’ pada dialog yang digambarkan di atas cenderung memperlihatkan penggunaan bahasa yang halus apabila penutur berbicara kepada penutur yang lebih tua dalam percapakan sesama golongan Tri Wangsa. Sementara itu, petutur memberikan jawaban dengan bahasa yang andap. Hal ini dibuktikan dari leksikon, kènè ‘begini’, adin ‘adik’, saja ‘benar’,

ngelah ‘mempunyai’, anak ‘anak’ dan yang lainnya. Penggunaan bahasa penutur yang lebih halus daripada petutur di atas, barangkali disebabkan karena situasi formal. Akan tetapi, kecenderungan yang terjadi dalam dialog-dialog lainnya juga menunjukkan hal yang sama. Hal ini dapat dilihat pada saat Gusti Ayu Adi berdialog dengan ayahnya saat menyesali kematian Made Madi:

Gusti Ayu Adi : “Aji...., ampurayang titiang aji. Bas banget titiang ngaryanang ajisungkawa.”

(Aji, maafkanlah saya Aji. Terlalu sering saya membuat Aji menderita).

Gusti Mangku : “Ah endepang suba geg. Tegtegan ragan ceninge. Yen suba tuduhing Sang Hyang

Widi Wasalakar nyabut uripe, mula tusing dadi kelidin.” (TLASK, hlm : 19)

(Ah, diamlah sudah Geg. Tenangkan dirimu. Jika sudah takdir Sang Hyang Widi Wasa akan mencabut hidup ini, memang tidak dapat dihindari).

c. Dialog antara Golongan Jaba dan Tri Wangsa

Dialog antara golongan jaba dan tri wangsa akan diambil pada saat Men Madu meminta obat kepada Ida Bagus Aji di Griya. Dialog tersebut dapat dijelaskan di bawah ini.

Ida Bagus Aji : “To kenken Men Madu suba sanja, padidian buin?.” (Bagaimana Men Madu sudah senja (datang) sendirian ?)

Men Madu : “Ratu, titiang nawegang mamitang lugra, matur sisip wawu pedek tangkil ring ratu, ngaturang indik sinengkaon parekan iratu saking itigang raina nenten mresidaang

61

bangun. Sakeng wawu sakit titiang sampun matari ring ipun jaga nuur palungguh iratu ngaksi parekane, nanging ipun nenten ngewehin” (TLASK, hlmn. 25).

(Ratu, maafkan saya. Maaf, saya datang kepada Anda, menyampaikan tentang sakit abdimu yang dari tiga hari yang lalu tidak bisa berdiri. Sejak awal sakit saya sudah berbicara dengannya untuk meminta Ratu datang ke rumah, tapi dia tidak memberikan).

Penggunaan kata-kata kenken ‘bagaimana’, suba ‘sudah’, pedidi ‘sendirian’ dan yang lainnya dalam dialog di atas menunjukkan bahwa Ida Bagus Aji menggunakan kata-kata andap ketika sedang berbicara dengan Men Madu. Sementara itu, Men Madu menggunakan kata-kata yang halus pada saat berbicara dengan Ida Bagus Aji yang dapat dibuktikan dari kata-kata titiang ‘saya’, wawu ‘baru’, mresida ang ‘dapat’ dan yang lainnya. Hal ini dapat dikuatkan dari dialog Nyoman Santosa dengan Anak Agung Alit Sudendi di bawah ini.

Anak Agung Alit Sudendi : “Ih, Man, cai lakar kija, selidan suba mapayas nyateg”. (Ih Man, kamu akan kemana, masih terang sudah rapi)

Nyoman Santosa : “Ooh, Gung Dendi, titiang jagi nonton sareng Made Arini (TLASK, hlmn. 25).

(Oh, Gung Dendi, saya akan menonton dengan Made Arini).

2.2.2 Stratifikasi Modern

Stratifikasi masyarakat modern adalah stratifikasi yang tidak lagi didasarkan pada aspek geneologi, melainkan lebih menyesuaikan dengan kemajuan zaman. Stratifikasi masyarakat tersebut di antaranya adalah pendidikan, pangkat, kekuasaan, dan jabatan tertentu menyebabkan golongan-golongan ini juga mendapatkan penghormatan dalam kehidupan masyarakat Bali yang tercermin melalu penggunaan bahasanya. Stratifikasi masyarakat Bali Modern dicerminkan oleh tokoh-tokoh berikut ini.

Tabel 2. Stratifikasi Masyarakat Bali Modern dalam Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang

Nama Tokoh Status Sosial

1. Kepala Sekolah Kepala sekolah SPG Klungkung, tidak disebutkan oleh pengarang nama atau identitas tradisionalnya.

2. Mantri Kesehatan Petugas kesehatan yang memeriksa Pan Madu, tidak disebutkan oleh pengarang nama atau identitas tradisionalnya.

Keberadaan stratifikasi masyarakat Bali Modern ini berdampak pada penggunaan bahasa bahasa Bali dalam dialog-dialog yang dimainkan tokoh-tokohnya. Hal ini tampak pada profesi-profesi baru yang dimiliki oleh seseorang dalam kehidupan modern. Mengacu pada dialog-dialog yang terjadi dalam novel ini dapat diketahui bahwa jabatan tertentu dalam dunia pendidikan dan kesehatan misalnya, menyebabkan seseorang menggunakan bahasa Bali Alus dalam komunikasinya. Hal ini dapat dibuktikan dari percakapan antara Men Madu dengan Mantri Kesehatan di bawah ini.

Mantri Kesehatan : “Ten kenapi-kenapi, me. Ibapa anak masuk angin tur batisne nyem. Pantesne bas

ngampeg magawe di carike. Masan napi mangkin di carike, Pa?”

(Tidak apa-apa Bu. Bapak hanya masuk angin, itu yang membuat kakinya dingin. Mungkin karena bekerja terlalu berat di sawah. Musim apa di sawah sekarang Bu?)

Men Madu : “Enggih pak Mantri, mangkin dicarike sedeng eega magarapan. Tiang

magarapan padidi sasukat kalaina mati teken panak tiange.(TlASK, hlmn : 25)

62

(Iya Pak Mantri, sekarang di sawah sedang sibuk-sibuknya penggarapan. Saya menggarap sawah sendiri setelah ditinggal mati oleh anak saya).

Pada dialog di atas, melalui kata-kata ten ‘tidak’, kenapi-kenapi ‘kenapa -kenapa’ Mantri Kesehatan menggunakan unsur kosakata halus pada saat berbicara dengan Men Madu. Demikian pula Men Madu juga menggunakan unsur-unsur kosakata halus saat berbicara dengan Mantri Kesehatan seperti ditunjukkan kata oleh kata nggih ‘ya’, mangkin ‘sekarang’. Demikian pula, dialog dari Nyoman Santosa dengan Kepala Sekolahnya, penggunaan bahasa alus menjadi media komunikasinya dalam berbicara kepada Kepala Sekolah.

Kepala Sekolah : “Kenken dadi mara Nyoman teka? Kaden timpale lenan ada masi naftarang dini, Man?”

(Kenapa baru Nyoman datang? bukankah teman-teman lainnya ada yang mendaftar di sini, Man?)

Nyoman Santosa : “Kasep wiakti titiang Pak, santukan tan madue bekel jagi anggen titiang

ngaranjing mawinan tan wehina ring memen titiange. Niki titiang murunang

dewek, dumadak ledang bapak nerima titiang deriki ring SGB”.(TLASK, hlmn.

36)

(Memang benar saya terlambat Pak, karena saya tidak mempunyai bekal untuk melanjutkan pendidika, itu yang menyebabkan saya tidak diberikan melanjutkan pendidikan oleh ibu saya. Ini saya memberanikan diri masuk, semoga Bapak berkenan menerima).

Mengacu pada dialog di atas, maka stratifikasi masyarakat modern telah tercermin dalam novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang. Dalam dialognya terlihat penutur maupun petutur yang punya jabatan tinggi maupun masyarakat pada umumnya sama-sama menggunakan unsur bahasa halus sehingga terkesan lebih egaliter.

3. SIMPULAN

Berbasarkan analisis data di atas, dapat disimpulkan bahwa novel sebagai genre karya sastra memberikan informasi penting dalam perubahan kultural masyarakat Bali terutama penggunaan bahasanya. Analisis di atas juga menunjukkan bahwa stratifikasi sosial masyarakat Bali baik tradisional maupun modern sama-sama mempengaruhi penggunaan bahasa Bali Alus maupun Andap dalam aktivitas komunikasi. Tindak tutur bahasa Bali yang didasarkan pada wangsa melalui analisis di atas menunjukkan masih tetap dipertahankan. Sementara itu, stratifikasi masyarakat modern juga tetap berkembang.

4. DAFTAR PUSTAKA

Ardika, I Gede. 2006. Kebijakan Strategi, dan Revitalisasi Bahasa Bali. Denpasar : Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.

Bagus, I Gusti Ngurah. dkk. 1978/1979. Unda Usuk Bahasa Bali. Denpasar : Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesi dan Daerah Bali Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Bagus, I Gusti Ngurah. 1979. Perubahan Pemakaian Bentuk Hormat dalam dalam Masyarakat Bali Sebuah Pendekatan Etnografi Berbahasa (Disertasi Universitas Indonesia).

Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya

(Edisi Revisi). Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Sancaya, IDG Windhu. 2004. Bahasa Bali Jagadhita : Bahasa Budaya dan Pengetahuan. Denpasar : Pustaka Bali Post

63 Simpen, I Wayan. Sopan Santun Berbahasa Masyarakat Sumba Timur. Denpasar :

Pustaka Larasan dan Pemerintah Kabupaten Sumba Timur.

Suasta, Ida Bagus Made. dkk. 2008. Kamus Bali-Indonesia Beraksara Latin dan Bali. Denpasar : Dinas Kebudayaan Kota Denpasar dengan Badan Pembina Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali Provinsi Bali.

Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik Bagian Kedua Metode dan Aneka Teknik Pengumpulan Data. Jogjakarta : Gadjah Mada University Press.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistis. Jogjakarta : Gadjah Mada University Press.

Dokumen terkait