• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

13 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Peran Kepolisian

1. Pengertian Kepolisian

Sebagaimana yang diuraikan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 pasal 1 ayat (2), bahwa “Aparat Kepolisian mempunyai pengertian sebagai pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Polisi merupakan bagian pada masyarakat itu sendiri yang berada di dalam pemerintahan yang bertugas menjaga agar masyarakat tersebut terlindungi”.

Dari uraian di atas dapat kita ketahui bahwa kepolisian merupakan bagian dari aparatur negara yang diberi tugas menjaga ketertiban, keamanan dan mengayomi masyarakat. Dan melindungi masyarakat sebagai bagian dari masyarakat itu sendiri dan di ataur berdasarkan ketentutan peraturan perundang-undangan yang ada, dalam hal ini yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

2. Tugas Kepolisian

Berdasarkan Undang-undang RI No. Tahun 2002 Pasal 13, dalam melaksanakan perannya, kepolisian negara Republik Indonesia mempunyai tugas pokok sebagai berikut:1

a. Menegakkan hukum “bersumber dari ketentuan peraturan perundang- undangan dalam kaitannya dengan sistem peradilan pidana KUHAP, KUHP dan Undang-undang lainnya

b. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat “bersumber dari kedudukan fungsi kepolisian sebagai bagian dari fungsi pemerintahan negara yang pada hakekatnya bersifat pelayanan public (public service) dan termasuk kewajiban umum Kepolisian.

1 Abdul Muis BJ, Harry Anwar, dan Imas Rosidawati, Hukum Kepolisian dan Kriminalistik, Cet.

Pertama, Pustaka Reka Cipta, Bandung, 2021, hlm 53-54

(2)

14 c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat “bersumber dari kedudukan fungsi kepolisian sebagai bagian dari fungsi pemerintahan negara yang pada hakekatnya bersifat pelayanan public (public service) dan termasuk kewajiban umum kepolisian.

Kemudian dalam implementasi atau melaksanakan tugas pokok kepolisian tugas-tugas terperinci dirumuskan sebagaimana dalam Pasal 14 ayat (1):2

a. Polisi wajib untuk melaksanakan pengawasan berkenaan dengan seluruh kegiatan warga negara baik termasuk juga pemerintah sesuai dengan kebutuhan

b. Mengadakan segala bentuk kegiatan yang bertujuan untuk menjaga ketertiban dan menjamin keamanan yang ada di lalu lintas perjalanan c. Mengedukasi masyarakat untuk memberikan peningkatan partisipasi

terutama dalam kesadaran berkaitan dengan hukum agar senantiasa taat atau patuh terhadap aturan

d. Ikut terlibat dalam segala kegiatan yang berkenaan dengan melakukan pembinaan dengan skala nasional

e. Memastikan adanya ketertiban dan keamanan yang ada di masyarakat f. Menyelenggarakan adanya pengawasan baik melibatkan seluruh pihak

termasuk kepolisian yang bersifat khusus, penyidik yang berstatus PNS, dan segala macam bentuk pengawasan yang bersifat swakarsa

g. Memastikan bahwa seluruh aktivitas penyidikan dan penyelidikan yang dilakukan dilaksanakan sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku h. Mengidentifikasi berkenaan dengan segala hal berkaitan kesehatan seperti

forensik, psikologi, kedokteran kepolisian yang bertujuan untuk menjamin terlaksananya tugas kepolisian dengan baik

i. Senantiasa untuk selalu melindungi masyarakat dari segala aspek baik dari segi jiwa dan raga berkaitan dengan perlindungan HAM

j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang

k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian , serta

l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan-peraturan perundang- undangan.

3. Peran Kepolisian

Dalam menunjang pelaksanaan tugasnya kepolisian dibagi menjadi beberapa fungsi teknis kepolisian. Terdapat 5 (lima) fungsi umum kepolisian

2 Ibid, hlm 56

(3)

15 dan kelima fungsi kepolisian ini memiliki tugas, fungsi dan peran masing- masing diantaranya: 3 (Budi Gunawan 2015: 43-44)

a. Fungsi Intelkam

Tugas polisi dalam fungsi intelijen merupakan salah satu unsur yang menunjang tercapainya misi yang telah ditetapkan bersama-sama fungsi teknis kepolisian lainnya. Tugas-tugas dan fungsi intelijen bersifat tugas deteksi dalam rangka memberikan arah bagi kegiatan operasional polri.

Fungsi intelijen melaksanakan tugas polri dalam bentuk kegiatan penyelidikan, pengamanan dan penggalangan yang meliputi pemeliharaan keamanan masyarakat, penegakkan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

b. Fungsi Lantas

Tugas polisi lalu lintas adalah melaksanakan tugas polri dibidang lalu lintas yang meliputi segala usaha, pekerjaan dan kegiatan dalam pengendalian lalu lintas untuk mencegah dan meniadakan segala bentuk gangguan serta ancaman agar terjamin keamanan, keselamatan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas di jalan umum. Dalam penjabaran tugasnya, fungsi teknis lalu lintas terbagi atas pendidikan dan rekayasa lalu lintas, pengkajian masalah lalu lintas, penegakkan hukum lalu lintas, dan registrasi dan identifikasi kendaran bermotor.

c. Fungsi Reskrim

Tugas dan fungsi reskrim adalah menyelenggarakan segala usaha, kegiatan dan pekerjaan yang berkenaan dengan pelaksanaan fungsi

3Budi Gunawan, 2014, Pedoman Pelaksanaan Tugas Brigadier Polisi Di Lapangan, Jakarta, hlm. 43-44.

(4)

16 reskrim dalam rangka penyelidikan dan penyidikan tindak pidana meliputi tindak pidana umum, tindak pidana khusus, tindak pidana korupsi, tindak pidana narkoba, tindak pidana tertentu dan sebagai pusat informasi kriminal nasional.

d. Fungsi Sabhara

Tugas sabhara adalah melaksanakan fungsi kepolisian tugas umum yang menyangkut segala upaya pekerjaan dan kegiatan seperti pengaturan, penjagaan, patroli, pengawalan, SAR terbatas, negosiasi, pelayanan, pengendalian massa, tindak pidana ringan, TPTKP, pemberian bantuan/dukungan satwa untuk kepentingan perlindungan, pengayoman, pelayanan dan penertiban masyarakat/penegak hukum secara terbatas.

e. Fungsi Binmas

Tugas binmas adalah melaksanakan fungsi kepolisian dengan segala kegiatan terencana dan berkesinambungan dalam rangka membina, mendorong, mengarahkan dan menggerakkan masyarakat agar menjadi paham dan taat kepada peraturan perundang-undangan dan norma-norma sosial lainnya serta berperan aktif dalam menciptakan, memelihara dan meningkatkan ketertiban dan keamanan swakarsa dengan pola kemitraan polisi dan masyarakat.

Sesuai dengan dasar falsafah kepolisian yaitu “Tri Brata” bahawa Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah abdi negara dan sekaligus abdi masyarakat, dimana abdi negara berperan sebagai pemeliharaan keamanan dalam negeri, yakni terpeliharanya keamanan serta ketertiban masayarakat dan tegaknya suatu hukum peraturan perundang-undangan.

Sedangkan adbi masyarakat, berperan sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat dengan mentaati peraturan atau norma-norma hak asasi manusia setiap warga masyarakat.4

4 Ibid, hlm. 52-53

(5)

17 Berdasarkan uraian di atas dapat kita ketahui bahwa peran kepolisian pada pokoknya adalah sebagai pengayom dan pelindung masyarakat yang menjaga ketertiban dan keamanan dalam masyarakat. Kepolisian Negara Republik Indonesia berperan menjaga tatanan keamanan masyarakat tentunya dengan menegakan aturan-aturan hukum yang berlaku.

B. Penanggulangan Tindak Pidana

1. Pengertian Penanggulangan Tindak Pidana

Kejahatan yang terjadi di tengah masyarakat merupakan suatu bentuk perilaku menyimpang masyarakat terhadap tatanan kehidupan sosial bermasyarakat. Perilaku menyimpang ini tentu adalah suatu ancaman dan merupakan masalah sosial yang membutuhkan upaya yang tegas dalam penanggulangannya.

“Ruang lingkup kebijakan yang berkenaan dengan menanggulangi adanya kesehatan sifatnya sangat luas dan kompleks. Hal tersebut sangat normal terjadi mengingat kejahatan erat kaitannya dengan permasalahan sosial yang membutuhkan pemahaman khusus. Kejahatan sifatnya sangat dinamis sehingga ia akan selalu tumbuh dan berkembang dengan strukturnya yang sangat kompleks, ia merupakan socio-political problems”.5 (Palulus Hadiauprapto 1992:72)

Dari pendapat di atas dapat kita ambil pengertian penanggulangan kejahatan adalah sebagai bentuk usaha perlindungan terhadap kehidupan bermasyarakat yang merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum yang tujuannya adalah mencapai kesejahteraan masyarakat. Mengingat lajur kehidupan masyarakat yang semakin maju dan kompleks maka penanggulangan kejahatan menjadi bagian yang dianggap perlu untuk

5 Paulus Hadisuprapto, Juvenile Delinquency, Citra Aditya Bakti, 1997, Bandung hal.72. Dalam https://eprints.umm.ac.id/37771/3/jiptummpp-gdl-namarahadi-49266-3-babii.pdf, diakses Pada 23 Mei 2022

(6)

18 diperhatikan guna menekan penyimpangan terhadap norma-norma di masyarakat.

Upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dibagi menajdi 2 jalur, yakni:

a. Penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana (Upaya Penal)

Upaya penanggulangan lewat jalur penal bisa juga disebut sebagai upaya yang dilakukan melalui jalur hukum pidana. Upaya ini merupakan upaya yang lebih menitikberatkan kepada sifat represif. Yakni Tindakan yang dilakukan sesudah kejahatan terjadi dengan penegakan hukum dan penjatuhan hukum terhadap kejahatan yang telah dilakukan. Selain itu melalui upaya penal ini, Tindakan yang dilakukan dalam rangka menanggulangi kejahatan sampai pada Tindakan pembinaan maupun rehabilitasi.6 (Barda Narawi Arief 2011:46)

Dapat dilihat bahwa penanggulangan kejahatan dengan upaya Penal ini merupakan penanggulangan kejahatan dengan melakukan pemidanaan atau penjatuhan hukuman hingga proses rehabilitasi untuk mengembalikan pelaku kejahatan di masayraka, dengan kata lain kepada pelaku kejahatan.

Dengan kata lain pelaku kejahatan akan melalui proses hukum. Mengingat bahwa hukum pidana yang berlaku saat ini memiliki sifat juga memiliki sifat preventif maka system penanggulangan kejahatan dengan menerapakan hukum pidana masih sangat dibutuhkan untuk saat ini.

Sudah jelas bahwa penanggulangan tindak pidana dengan sistem pemidanaan memang masih dianggap perlu guna menanggulangi dan mencegah perbuatan pidana dimasyarakat, pemidanaan dianggap efektif untuk mencegah terjadinya tindak pidana. Suatu pemidanaan dikatan efektif apabila tujuan dilakukannya pemidanaan tercapai. Namun sering

6 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Fajar Interpratama, Semarang 2011, Hlm. 46. Op.,Cit,

(7)

19 kali pelaku kejahatan atau tindak pidana yang meskipun telah mendapatkan hukuman pidana tetapi tidak memberi efek jera.

b. Penanggulangan kejahatan tanpa hukum pidana (upaya non penal)

Upaya yang dimaksud dengan upaya yang sifatnya adalah non penal adalah upaya yang bisa ditempuh hanya melalui jalur pidana dan berfokus pada segala upaya yang sifatnya mencegah atau preventif. Tujuan dari upaya ini adalah meminimalisasi adanya penyebab terjadinya segala bentuk kejahatan baik itu tindakan yang yang sifatnya berpengaruh secara langsung ataupun tindak langsung yang berpotensi dapat meningkatkan potensi adanya kejahatan yang semakin tinggi.7 (Barda Narawi Arief 2011:42)

“Kebijakan non penal adalah kebijakan yang dilaksanakan di luar adanya hukum pidana yang mencakup berbagai bidang yang sifatnya sangat luas dengan tujuan untuk memberikan upaya preventif secara tidak langsung sehingga perlu untuk adanya intensitas yang lebih tinggi dalam menerapkan kebijakan non penal agar dapat mencapai tujuan akhir dalam meminimalisasi adanya kejahatan.”.8 (Muladi dan Barda Narawi Arif 2010: 201)

Dari penjelasan si atas dapat kita simpulkan bahwa upaya non penal dilakukan sebelum suatu kejahatan terjadi, yakni dengan melakukan pendekatan-pendekatan di sektor sosial dengan tujuan mencegah faktor terjadinya kejahatan atau lebih dikenal dengan upaya preventif atau pencegahan. Upaya sebaiknya lebih diutamakan penerapannya karna lebih menyentuh akar permasalah di masyarakat.

2. Lingkup Penanggulangan Tindak Pidana

G.P. Hoefnagels menggambarkan ruang lingkup upaya penanggulangan tindak pidana sebagai berikut:

a. penerapan hukum pidana (criminal law application);

b. pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment), dan;

c. mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (influencing view society on crime and punishment/ mass media)9

7 Barda Nawai Arief, Op., Cit Hlm.42

8 Muladi dan barda Nawawi arief, Teori-teori dan kebijakan pidana., Op,Cit, hlm 201.

9 Ibid, hlm 41

(8)

20 Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan (social welfare).10 Upaya Penanggulangan dibagi menjadi 3 yaitu:11 (Setiawati, Nurfadhila M 2020:26-27)

a. Upaya Preemtif dilakukan untuk mencegah terjadinya tindak pidana.

Bentuk upaya preemtif adalah menanamkan nilai atau norma pada setiap orang. Meskipun ada kesempatan untuk melakukan pelanggaran atau suatu tindak pidana, tetapi tidak ada niat untuk melakukan hal tersebut, maka tidak akan terjadi kejahatan.

b. Upaya Preventif merupakan upaya tindak lanjut dari upaya preemtif yang masih dalam tataran pencegahan sebelum terjadinya kejahatan.

c. Upaya Represif adalah suatu upaya penanggulangan suatu tindak pidana yang ditempuh setelah terjadinya suatu tindak pidana dengan menjatuhkan hukuman.

Dari uraian-uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa upaya penanggulangan tindak pidana adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah suatu tindak pidana, dengan menggunakan upaya-upaya baik sebelum atau sesudah tindak pidana itu terjadi. Dengan melakukan berbgai pendekatan baik dengan menyasar masyarakat pada umumnya dalam bentuk Tindakan pencegahan ataupun dengan menyasar individu atau perorangan yang telah melakukan tindak pidana guna memberikan efek jera.

3. Tindak Pidana

a. Pengertian Tindak Pidana

“Tindak pidana dalam Bahasa Belanda disebut straffbaar feit, yang merupakan istilah resmi dalam strafwetboek atau kitab undang-undang hukum pidana, yang berlaku di Indonesia sedangkan istilah dalam Bahasa asing yaitu delict, lalu berkenaan dengan kata straafbaar feit (tindak pidana) terdiri dari tiga kata yaitu straf, baar, dan feit. Straf artinya pidana dan hukum, baar yang dapat dan boleh, sedangkan feit artinya tindak, peristiwa, pelanggaran, perbuatan”.12 (Wirjono Prodjodikiro 2011:59)

10 Ibid, hlm 2

11 Sutiawati, Nur Fadhila M, 2020, Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga di Kota Makassar, Jurnal Wawasan Yuridika, Vol. 4 No. 1, hlm. 26-27

12 Wirjono Prodjodikiro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, 2011. Hlm 59

(9)

21 Tindak pidana berkaitan erat dengan pemberian hukum pidana dengan kata lain pelaku disini disebut seagai subjek yang ada di tindak pidana.

Disisi lain, definisi dari delik Sebagaimana yang dikatakan oleh Simons bahwa delik berkaitan dengan segala tindakan yang sifatnya akan berdampak pada pelanggaran hukum karena tindakan tersebut telah dinyatakan oleh undang-undang ebagai tindakan yang bisa untuk diberi hukuman.13 (Leden Marpaung 2012:8)

Dari definisi-definisi di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh aturan-aturan hukum yang berlaku, sehingga terhadap perbuatan- perbuatan tersebut dapat dikenakan sanksi pidana. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang melanggar aturan perundang-undangan yang berlaku dan mengganggu jalannya ketertiban masyarakat.

b. Unsur-unsur Tindak Pidana

Unsur yang mencakup dalam tindak pidana berkaitan erat dengan ketika adana tindakan dari manusia yang sudah memenuhi apa yang diatur dalam undang-undang untuk dapat dihukum. Artinya suatu perbuatan baru dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana apabila telah memenuhi pidana unsur-unsur atau elemen-elemen yang telah ditentukan dalam undang- undang untuk dapat dijerat dengan sanksi yang juga diberlakukan menurut undang-undang. Pemenuhan unsur-unsur dalam undang-undang inilah yang sehingga suatu perbuatan dapat dikatakan melanggar hukum.

Tindak pidana sendiri mengandung adanya 2 unsur yakni terdiri dari unsur obyektif yang berkaitan dengan tindakan yang harus dilakukan oleh pelaku sedangkan unsur obyektif berkenaan dengan segala hal yang berkaitan dengan unsur-unsur yang ada di dalam internal diri pelaku baik termasuk yang ada di dalam hatinya.14 (Lamintang 2013:193)

13 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Sinar Grafika, Jakarta, 2012. hlm. 8

14 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indnesia, PT. Citra Aditya Bakti, Cet ke IV, Bandung 2013, Hlm. 193. Dalam https://eprints.umm.ac.id/37771/3/jiptummpp-gdl-namarahadi- 49266-3-babII.pdf. Diakses Pada Maret 2022

(10)

22

“Sedangkan dalam pertanggungjawaban pidana terdapat dua unsur yaitu adanya kesalahan (kesengajaan/kealpaan) dan kemampuan bertanggungjawab. Definisi kesalahan bertalian dengan dua hal, yaitu sifat dapat diselanya (Verwijtbaarfheid) pebuatan dan sifat dapat dihindarinya (vermidjbaarheid) perbuatan yang melawan hukum”.15 (Eddy O,S. Hiariej 2015:158)

Pertanggungjawaban pidana memiliki korelasi yang sangat dekat dengan tindak pidana. Hal ini dikarenakan, ketika terdapat seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana, maka secara otomatis dia akan diberikan sanksi sebagai bentuk pertanggungjawabannya.

Menurut Prof. Moeljatno unsur tindak pidana yaitu sebagai berikut:

1) Perbuatan;

2) Yang dilarang;

3) Ancaman pidana (yang melanggar larangan).

Sedangkan menurut Jonkers, unsur-unsur tindak pidana adalah:16 (Eddy O,S. Hiariej 2015:158)

1) Perbuatan (yang)

2) Melawan hukum (yang berhubungan dengan) 3) Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat) 4) Dipertanggungjawabkan.

Dalam buku II KUHP memuat rumusan-rumusan perihal tindakpidana tertentu yang masuk ke dalam kelompok kejahatan, dan Buku III memuat pelanggaran. Ada unsur yang selalu disebutkan dalam setiap rumusan. Ada 8 unsur tindak pidana dalam KUHP yaitu:

“unsur tingkah laku; unsur melawan hukum; unsur kesalahan;

unsur akibat konstitutif; unsur keadaan yang menyertai; unsur syarat tambahan untuk dapat dituntut pidana; unsur syarat tambahan untuk dapat memperberat pidana; unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana”.

15 Eddy O,S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pusaka, Yogyakarta, 2016, Hlm 158. https://ejournal.unib.ac.id/index.php/supremasihukum/article/view/13468 diakses pada 23 Mei 2022

16 Eddy O.S, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Op., Cit. Hlm. 92

(11)

23 Jika diidentifikasi unsur subyektif mencakup unsur kesalahan dan melawan hukum sedangkan unsur lainnya masuk dalam kategori unsur objektif. Pada intinya, unsur objektif berkaitan dengan faktor yang ada di luar diri manusia itu sendiri sedangkan unsur subjektif berkenaan dengan segala hal yang sifatnya psikologis dari manusia itu sendiri. 17 (Adami Chazawi 2005:82)

Dari uraian-uraian di atas dapat diambil pengertian unsur-unsur tindak pidana adalah hal-hal yang harus dipenuhi oleh suatu perbuatan untuk dapat menjadi tindak pidana. Unsur-unsurnini dapat berasal dari luar diri pelaku maupun melekat padadiri pelaku. Unsur-unsur yang dimaksud adalah unsur-unsur yang sudah ditetapkan oleh undang- undang.

C. Kekerasan dalam Rumah Tangga

1. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)

Sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1 butir 1 UU No.23 Tahun 2004) tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga bahwa,

“Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis atau penelantaraan rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan seseorang seca melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.18 (Maidin Gultom 2012:14-15)

Menurut Sulistyo Irianto, berpendapat, “mengenai kekerasan terhadap perempuan akan menyangkut permasalahan yang sangat luas, baik karena bentuknya (kekerasan fisik, non fisik, atau verbal, dan kekerasan seksual), tempat terjadinya (di dalam rumah tangga, dan di tempat umum), jenisnya (perkosaan, penganiayaan, pembunuh, atau kombinasi dari ketiganya),

17 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1stelsel Pidana, Tindak Pidana, teori-teori pemidanaan, dan Batasan berlakunya hukum pidana, Raja Frafindo Persada, Jakarta, 2005, Hlm. 82.

Dalam https://eprints.umm.ac.id/39940/3/BAB%20II.pdf . diakses 25 Mei 2022

18. Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan, Cet. Ke 4, Refika Aditama, Bandung, 2012,hlm. 14-15

(12)

24 maupun pelakunya (orang-orang dengan hubungan dekat dan orang asing)”.19 (Rodliyah 2018:2-3)

Dari pengertian kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan uraian di atas dapat kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga adalah segala perbuatan yang ditujukan untuk melakukan penyerangan baik terhadap fisik atau psikis korban ataupun kekerasan verbal ataupun kekerasan seksual, dimana perbuatan ini terjadi dalam lingkungan rumah tangga

2. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga

Berdasarkan penjelasan pasal 2 yang pada intinya tentang bagaimana menghapus kekerasan yang terjadi pada perempuan. Hal tersebut dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu :20 (Rodliyah 2018:6-7)

a. Segala tindakan yang yang terjadi dalam lingkungan keluarga baik berupa kekerasan yang sifatnya menyerang secara psikis ataupun fisik

b. Kekerasan secara fisik, seksual dan psikologi yang terjadi dalam masyarakat luas, seperti perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan, serta ancaman seksual di tempat kerja.

c. Kekerasan yang dibenarkan oleh negara baik secara psikis, fisik ataupun secara seksualitas

Sedangkan menurut UU PKDRT, bentuk-bentuk kekerasan rumah tangga diatur dalam pasal sebagai berikut :

a. Bunyi Pasal 5, menyatakan bahwa, “setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara melakukan kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual atau penelantaran rumah tangga”.

b. Sedangkan bunyi Pasal 6, menyebutkan bahwa, “kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka”.

19 Rodliyah, Perempuan dalam Lingkaran Kekerasan, Cet. Ke 5, Pustaka Bangsa, Mataram, 2018, hlm. 2-3

20 Rodliyah Op.cit, hlm. 6-7

(13)

25 c. Pasal 7, menjelaskan bahwa, “kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa kepercayaan diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan penderitaan psikis berat pada seseorang”.

d. Pasal 8 menyatakan, “kekerasan seksual meliputi, Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lai untuk tujuan komersial / atau tujuan tertentu”.

e. Selanjutnya Pasal 9, menyebutkan “penelantaran rumah tangga merupakan tindakan melantarkan orang dalam lingkup rumah tangga, sedangkan menurut hukum ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut”.

Ada pendapat lain yang memaparkan bahwa pada kenyataannya, kekerasan terhadap perempuan termasuk istri sendiri bisa terjadi dalam berbagai bentuk baik meliputi kekerasan terhadap seksual, psikis, fisik, ataupun juga perekonomian.

3. Pengaturan tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang Diatur dalam KUHP

Dalam KUHP, mengatur adanya KDRT. Hal tersebut mencakup kekerasan fisik yang sifatnya melakukan penganiayaan terhadap keluarga. Sebagaimana dalam Pasal 351 KUHP BAB XX tentang Penganiayaan, yang menyatakan bahwa:

Menyebutkan bahwa, “Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah;

(14)

26 Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun; Bila perbuatan itu mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun; Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak Kesehatan; Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. Selanjutnya Pasal 356 ke-1 KUHP menyatakan “ Pidana yang ditentukan dalam Pasal 351, 354 dan 355 dapat ditambah dengan sepertiga bagi yang melakukan kejahatan itu dilakukan terhadap ibunya, bapaknya menurut undang-undang, istrinya atau anaknya.

Disamping pasal tersebut diatas, KUHP juga mengatur tindak pidana penelantaran rumah tangga (Pasal 304) dan tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak (Incest, Pasal 294)”.21

Berbeda halnya dengan KUHP, cakupan pengaturan tindak pidana justru lebih luas diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 yang membahas berkenaan dengan KDRT. Sebagaimana dalam, “Pasal 44 ayat (1) dan ayat (4) UU Nomor 23 Tahun 2004; Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 2004, Pasal 46 UU Nomor 23 Tahun 2004, Pasal 47 UU Nomor 23 Tahun 2004, Pasal 49 huruf a dan b Nomor 23 Tahun 2004, dan Pasal 50 huruf a dan b Nomor 23 Tahun 2004”.22

Berkenaan dengan pengaturan yang diatur baik dari KUHP dan UU Nomor 23 tahun 2004 terdapat dalam “Pasal 44 ayat (2) dan (3), juga diatur dalam Pasal 351 ayat (2), (3), (4) dan Pasal 356 ke-1 KUHP dan Pasal 49, yang diatur juga dalam Pasal 294 KUHP”.23

Dari uraian pasal-pasal di atas dapat kita lihat bahwa pengaturan mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga telah diatur pula dalam KUHP. Akan tetapi aturan pasal KDRT dalam KUHP dianggap kurang lengkap sehingga tidak mencakup seluruh aspek yang diharapakan mampu memberikan [erlinfungan terhadap korban KDRT. Oleh karena itu disahkanlah Undang-Undang Nomor

21 Rodliyah Op.cit, hlm. 15-16

22 Ibid, hlm. 16

23 Ibid

(15)

27 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Dengan adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 ini diharapakan mampu memberikan cakuan perlindungan serta menekan terjadinya kejahatan KDRT.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam praktek pembiayaan murabahah dana tambahan pembelian rumah di BPR Syari'ah Artha Surya Barokah nasabah datang untuk mengajukan permohonan pembiayaan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol rambut jagung ( Zea mays L.) memiliki efek untuk menurunkan kadar gula darah

0,661, hal ini menunjukkan bahwa jika anggota Gapoktan Subur Mukti menggunakan berbagai media baik media cetak maupun media elektronik, mendapatkan informasi atau pengetahuan dan

Dari hasil pengujian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa aktivitas antioksidan pada sampel daun sirsak (Annona muricata L.) yang berasal dari daerah Makassar

Kearifan lokal komunitas nelayan tradisional tersebut juga dimanfaatkan sebagai salah satu strategi mereka dalam menghadapi perubahan ekologis Danau Tempe yang ditandai

Oleh sebab itu, peneliti tertarik melakukan audit komunikasi kegiatan penempatan dan pemindahan kerja pegawai dalam kegiatan employee relations Perwakilan BKKBN

Untuk mengantisipasi permasalahan ini, model pendidikan inklusif merupakan sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik untuk

Dari hasil laporan penelitian dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan hasil belajar mahasiswa PGSD Unipa Surabaya dengan model mnemonik pada materi peta, atlas dan