ANALISIS TERHADAP KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM JAMINAN FIDUCIA PASKA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI 118/PPU-XVII/2019 DITINJAU
DARI ASAS PROPORSIONALITAS
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Derajat Gelar S-2 Program Studi Magister Hukum
Disusun oleh:
FAIS MIRWAN HAMID NIM: 201910380211021
DIREKTORAT PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
JANUARI 2022
ANALISIS TERHADAP KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM JAMINAN FIDUCIA PASKA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI 118/PUU-
XVII/2019 DITINJAU DARI ASAS PROPORSIONALITAS
FAIS MIRWAN HAMID 201910380211021
Telah disetujui
Pada hari/tanggal, Jum’at / 21 Januari 2022
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping
Prof. Dr. Rahayu Hartini Dr. Herwastoeti
Direktur Ketua Program Studi
Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum
Prof. Akhsanul In’am, Ph.D Dr. Herwastoeti
T E S I S
FAIS MIRWAN HAMID
201910380211021
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada hari/tanggal, Jum’at / 21 Januari 2022 dan dinyatakan memenuhi syarat sebagai kelengkapan memperoleh gelar Magister/Profesi di Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Malang
SUSUNAN DEWAN PENGUJI
Ketua / Penguji : Prof. Dr. Rahayu Hartini Sekretaris / Penguji : Dr. Herwastoeti
Penguji : Dr. Surya Anoraga Penguji : Dr. Catur Wido Haruni
iv SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya :
Nama : FAIS MIRWAN HAMID
NIM : 201910380211021
Program Studi : Magister Hukum
Dengan ini menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa :
1. TESIS dengan judul : ANALISIS TERHADAP KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM JAMINAN FIDUCIA PASKA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI 118/PUU-XVII/2019 DITINJAU DARI ASAS PROPORSIONALITAS adalah karya saya dan dalam naskah Tesis ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu Perguruan Tinggi dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, baik sebagian maupun keseluruhan, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dalam daftar pustaka.
2. Apabila ternyata dalam naskah Tesis ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur PLAGIASI, saya bersedia Tesis ini DIGUGURKAN dan GELAR AKADEMIK YANG TELAH SAYA PEROLEH DIBATALKAN, serta diproses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
3. Tesis ini dapat dijadikan sumber pustaka yang merupakan HAK BEBAS ROYALTY NON EKSKLUSIF.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
Malang, 21 Januari 2022 Yang menyatakan,
FAIS MIRWAN HAMID
v KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Analisis Terhadap Para Pihak Dalam Jaminan Fiducia Paska Putusan Mahkamah Konstitusi 118/Puu-Xvii/2019 Ditinjau Dari Asas Proporsionalitas” ini dapat selesai dengan baik.
Shalawat serta salam patut dihaturkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW yang telah berjuang merubah peradaban dunia dari zaman kegelapan menuju cahaya kebenaran dengan menjunjung tinggi nilai – nilai islam. Tesis ini disusun guna menyelesaikan kewajiban akhir dari tugas akademik dan untuk memperoleh gelar magister pada Program Studi Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitaas Muhammadiyah Malang. Yang kemudian banyak pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini.
Maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih yang setulus tulusnya kepada:
1. Bapak Dr. Fauzan , M.Pd selaku rektor Universitas Muhammadiyah Malang dan juga selalu menjadi panutan dalam dunia aktivis.
2. Bapak Prof. Akhsanul In’am, Ph.D selaku Direktur Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang.
3. Ibu Assc. Prof. Dr. Herwastoeti, selaku ketua program studi magister ilmu hukum yang sekaligus sebagai pembimbing II, tidak lupa atas motivasi dan dorongan yang kuat selalu memberikan dengan ikhlas agar usaha mahasiswanya selalu bisa berhasil dengan baik dan lancar, serta Bapak Ibu Dosen Penguji dan semua staf TU pascasarjana yang selalu kooperatif dalam memberikan pelayanan kepada mahasiswa.
4. Ibu Prof. Dr. Rahayu Hartini, SH., M.Si., M.Hum selaku pembimbing pertama (I), yang selalu memberikan solusi terbaik untuk mahasiswanya, dan sebagai orang tua kedua dirantau atas nasehat – nasehat yang membangun bisa memberikan semangat untuk menyelesaikan studi.
5. Terlebih khusus adalah kepada kedua orang tua saya tercinta (HI Hamid dan HJ Rugaya) sebagai sumber kekuatan hidup atas doa dan pengorbanan bisa
vi mengantarkan ananda sampai ke jenjang Pendidikan tinggi dan memperoleh gelar Magister.
6. Kakak kandung ; Kaka Udin, Mila, Wada, Amel, Mustafa, Ajin dan saudara ipar, semua keponakan dan sodara – sodara Belmes, Ambon, Buton atas doa terbaiknya.
7. Istri saya dr. Festi Mada Helmi tercinta yang selalu memberikan dukungan dan semangat dalam suka – duka, yang sebentar lagi menjadi sosok Ibu untuk anak pertama kami semoga atas nikmat Allah SWT selalu menjadikan kita keluarga SAMAWA.
8. Teman – teman baik yang selalu memberikan support dalam menekuni proses perkuliahan terimakasih atas jasa – jasanya, sodara daerah Maluku, semuan teman – teman baik dilingkungan UMM maupun UWG.
9. Terimakasih atas ilmu bermanfaat kantor advokat terbaik Malang, Dr. Solehoddin SH MH dengan sapaan akrab Pak Doktor dan Pak Malik, serta teman – teman seperjuangan menuntut ilmu, Mas Nasrullah, Rudi, Firman, Tonic dan Bang Rahman.
Hanya untaian terimakasih atas doa dan terimakasih yang sebesar – besarnya yang dapat penulis sampaikan semoga Allah SWT memberikan keberkahan bagi kita semua. Penulis menyadari tiada satupun karya manusia yang sempurna, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran agar bisa diperbaiki dan bermanfaat bagi peneliti dan pembaca pada umumnya.
Malang, 27 Januari 2022 Penulis
Fais Mirwan Hamid
vii DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN... ii
SURAT PERNYATAAN ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... viii
Abstrak ... ix
Abstrack ... x
PENDAHULUAN ... 1
RUMUSAN MASALAH ... 3
PEMBAHASAN ... 4
A. Analisis Kedudukan Para Pihak dalam Jaminan Fidusia Pasca Putusan MK 118/PUU- XVII/2019 ... 4
B. Kreditur dalam Jaminan Fidusia Pasca Putusan MK 118/PUU-XVII/2019 Ditinjau dari Asas Proporsionalitas ... 5
KESIMPULAN ... 13
SARAN ... 14
DAFTAR PUSTAKA ... 14
viii DAFTAR TABEL
Tabel 1: Perbandingan Sebelum & Paska Putusan MK ... 14
ix ANALISIS TERHADAP PARA PIHAK DALAM JAMINAN FIDUCIA PASKA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI 118/PUU-XVII/2019 DITINJAU DARI ASAS
PROPORSIONALITAS FAIS MIRWAN HAMID
Prof. Dr. Rahayu Hartini (NIDN 0026036301) Dr. Herwastoeti (NIDN 0705096001)
Magister Hukum
Direktorat Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang Abstrak
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang menguji UU Fidusia memberikan perlindungan secara hukum kepada debitor. Setelah diputus, publik memberikan pandangan pro dan kontra terhadap putusan tersebut. Dalam kaca mata hukum jaminan fidusia, putusan tersebut memberikan perlindungan bagi debitor dengan memberikan perlindungan dari tindakan sewenang-wenang sehingga memberikan kedudukan proporsional antar kedua pihak. Atas permasalahan diatas, maka dalam penelitian ini mengambil rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana analisis terhadap kedudukan para pihak dalam jaminan fidusia paska Putusan MK 118/PUU-XVII/2019 ditinjau dari asas keadilan 2.
Bagaimana posisi kreditur dalam jaminan fidusia paska putusan MK 118/PUU-XVII/2019 ditinjau dari asas proporsionalitas untuk menjawab kedua rumusan masalah itu, maka metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif, yang menggunakan bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan khususnya dibidang jaminan fidusia, dan putusan pengadilan yang dalam hal ini adalah putusan MK. Selain itu, juga digunakan bahan hukum sekunder meliputi literatur kepustakaan di bidang hukum jaminan fidusia.
Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan kasus.
Kata kunci: Putusan MK, Jaminan Fidusia, dan asas proporsionalitas
x ANALYSIS OF THE PARTIES IN THE FIDUCIA GUARANTEE AFTER THE CONSTITUTIONAL COURT DECISION 118/PUU-XVII/2019 IS REVIEWED FROM
THE PRINCIPLE OF PROPORTIONALITY
FAIS MIRWAN HAMID
Prof. Dr. Rahayu Hartini (NIDN 0026036301) Dr. Herwastoeti (NIDN 0705096001)
Magister of Law
Postgraduate Program University of Muhammadiyah Malang
Abstrack
Constitutional Court Decision No. 18/PUU-XVII/2019 which tests the Fiduciary Law provides legal protection to debtors. Once decided, the public gives a view of the pros and cons of the verdict. In the eyes of the fiduciary guarantee law, the ruling provides protection for the debtor by providing protection from arbitrary actions so as to provide proportional standing between the two parties. On the above problem, then in this study took the formulation of the following problems: 1. How to analyze the position of the parties in the fiduciary guarantee after the Decision MK 118 / PUU-XVII / 2019 reviewed from the principle of justice 2. How the position of creditors in the fiduciary guarantee after the decision of MK 118 / PUU-XVII / 2019 is reviewed from the principle of proportionality to answer both formulations of the problem, then the research method used is a normative research method, which uses primary legal materials in the form of laws and regulations, especially in the field of fiduciary guarantees, and court rulings in this case are MK rulings.
In addition, also used secondary legal materials including literature literature in the field of fiduciary guarantee law. The approach methods used are the statutory approach, the conceptual approach and the case approach.
Keywords: MK Ruling, Fiduciary Guarantee, and principle of proportionality
1 PENDAHULUAN
Salah satu lembaga jaminan yang dikenal dalam sistem hukum jaminan di Indonesia adalah Lembaga Jaminan Fidusia. Sejak zaman kolonial Belanda bahwa jaminan fidusia sudah digunakan, dalam penyebutannya Fiducary Eigen-dom Overdracht (F.O.xE) atau penyerahan hak milik secara kepercayaan, yang mengandung pengertian hak milik atas benda diserahkan kepada kreditor namun penguasaan benda tetap pada debitor. Kedudukan debitor dan kreditor dalam konteks hukum jaminan, yakni saling membutuhkan dan berkepentingan, namun dalam praktik sering kali tidak terjadi secara proporsional. Keberadaan hukum harus memberikan perlindungan dalam rangka menjaga kepentingan antar masyarakat yang ada.
Penelitian ini membahas ikhwal jaminan fidusia, yang dalam praktik selalu terjadi permasalahan antara kreditor dan debitor. Dalam pemberitaan media, dan praktik yang terjadi, sering ditemukan ada perlakuan-perlakuan yang ‘bahkan’ tidak manusiawi oleh kreditor terhadap debitor. Dari sekian kasus yang ada, salah satunya adalah yang menimpa Apriliani dan Suri.
Mulanya, kasus ini berawal dari saat merekas sudah melaksanakan Perjanjian Pembiayaan Multiguna pengiwiman perwakilan agar mengambil kendaraannya yang berdalil wanprestasi. Atas tindakan itu, pemohon melakukan pengajuan surat pengaduan terkait tindakannya yang dilaksanakan perwakilan PT ASF. Tapi tidak diberi tanggapan sampai memperoleh beberapa perilaku tidak menyenangkan. Mendapatkan perlakuannya itu, kedua pihak berusaha menempuh jalur hukum mealui pengajuan penggugatan menuju Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) di 24 April 2018. Dasar atas gugatannya, tindakan perlawanan hukum dengan registrasi perkara 345/PDT.G/2018/PN.jkt.Sel.1
Putusan pengadilan memenangkan Aprilliani dan Suri dengan menyebutkan adanya tindakan perlawanan hukum. Tapi, PT ASF tetap melaksanakan penarikan dengan paksaan kendaraan Pemohon dengan penyakisan pihak polisi. Padahal, selaras terhadap hasilnya dari Putusan pengadilan itu, pihak PT ASF tidak dapat melakukan pengambilan mobil tersebut.
Sehingga, mereka memiliki anggapan PT ASF berlindung dibalik UUJF Pasal 15 Ayat 2.
Melalui Putusan MK 118/PUU-XVII/2019,2 MK menyatakan permohonan pemohon dikabulkan. Mahkamah mempunyai pendapat norma Pasal 15 ayat (2), (3) UU Jaminan Fidusia tidak terdapat kepastian hukum yang berhubungan terhadap tata cara mengeksekusi
1 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 118/PUU-XVII/2019, hlm 5.
2 Ibid, hlm 115.
2 ataupun waktu pemberi fidusia disebutkan “cidera janji” serta hilangnya peluang fidusia atau debitur memperoleh penjualan objek penjaminan debiutr yang berharga wajar. Di samping, sering memicu terdapatnya paksaan maupun kekerasan dari penerima fidusia atau kreditur dan membuat rendah harkat martabatnya debitur. Hal itu secara jelas terdapat permasalahan pada Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU Jaminan Fidusia. Bagi Mahkamah, wewenang ekskusif yang menerima hak kebendaan penjaminan fidusia (kreditur) tetap bisa terlekat selama tidak ada masalah terhadap waktu bagi (debitur) sudah “cidera janji”. Serta debitur dengan rela melakukan penyerahan benda objek perjanjiannya fidusia terhadap kreditur agar dilaksanakan penjualan secara mandiri. Bermakna, pihak yang memberi fidusia (debitur) mengaku dirinya sudah “cidera janji”, maka tidak terdapat alasan agar tidak melakukan penyerahan objek benda perjanjiannya fiducia terhadap kreditur. agar dilaksanakan penjualannya secara mandiri. Terdapat dua persyaratan disebutkannya. Kesatu, tidakadanya kriteria dari wanprestasi yang diberi kesepakatan oleh debitor maupun kreditor pada isi perjanjiannya. Kedua, debitor tidak ingin objek jaminannya fidusia dilakukan penyitaan oleh kreditor. Pengadilan jadi pihak yang menengahi dalam memberi perizinan mengeksekusi ketika perysaratan dipenuhi.
Pasal 15 ayat (3), terutama dalil ‘wanprestasi’ bisa disebutkan konstitusional selama diberi makna terdapatnya cidera janji tidak ditetapkan dengan satu pihak oleh kreditur, namun berdasarkan kesepakatan diantara kreditur dan debiturnya berdasarkan pengupayaan hukum yang memberi penentuan sudah ada cidera janji. Tapi, apabila dilakukan penelisikan mendalam Amar putusan MK pada Peradilan. Apabila tiap pengambilan dari benda penjaminan akibat cidera janji perlu mlewati peradilan, sehingga pengadilan berpeluang adanya permohonan yang berlebih terkait pengeksekusian penjaminan fidusia. Transaksi dalam membeli kendaraan bermotor dengan industri pembiayaan dibilang cukup banyak. Hal itu bermakna, peradilan negeri perlu ada kesiapan menerima permohonan pengeksekusian atas penjaminan fidusia dari industri pembiayaan.
Fokus permasalahan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa hal, pertama, yakni terhadap kedudukan debitor. Dalam praktik, sering kali ditemukan beberapa masalah dimana debitor sering mendapatkan intimidasi dalam pelaksanaan eksekusi, baik berupa ancaman, intimidasi, hingga perlakukan kekerasan. Dalam hal ini dipahami, bahwa debitor sering kali dimaknai sebagai konsumen, tentu hal ini adalah hal yang salah kaprah. Kedudukan debitor dan kreditor adalah setara melakukan perjanjian sebagaimana yurispridensi Mahkamah Agung dalam Putusan 3192K/Pdt/2012 yang menyatakan: “Bahwa tindakan Tergugat I
3 dalam melakukan penagihan kredit adalah tindakan tidak profesional karena mengutamakan penggunaan pendekatan intimidasi dan premanisme daripada pendekatan lain yang mendudukkan nasabah sebagai partner bank, dan oleh karena itu adalah layak dan adil apabila Tergugat dijatuhi hukuman untuk membayar ganti rugi kepada Penggugat yang lebih berat.”3
Meskipun saat ini sudah ada Putusan MK tentang permasalahan tersebut, namun yang menjadi pertanyaan apakah kedudukan debitor dalam eksekusi jaminan fidusia dan perjanjian tersebut sudah berimbang/proporsionalitas, dan sudah terdapat perlindungan hukum? Hal ini perlu dikaji, lantaran dalam Putusan MK tersebut masih membuka celah masalah dalam pernyataan wanprestasi, apakah hukum sudah menjamin dalam pernyataan wanprestasi oleh debitur tidak berada dalam tekanan, mengingat Putusan tersebut menjelaskan bahwa jaminana fidusia dapat dieksekusi jika ada pernyataan wanprestasi dari kedua belah pihak.
Bahasan tersebut diperlukan, karena dalam hukum jaminan membutuhkan kepastian hukum, karena itulah tugas dari hukum. Tugas hukum yakni guna meraih kepastian hukum serta keadilan pada masyarakat. Berdasarkan pendapat Soerjono Soekanto Kepastian hukum memberi keharusan dibuatnya berbagai aturan umum ataupun kaidah yang diberlakukan umum, agar menciptakan kondisi dengan keamanan dan ketentraman pada masyarakat.4
Permasalahan kedua, kedudukan kreditor dari Putusan MK di masa mendatang.
Putusan MK ini menegaskan, bahwa terhadap perjanjian yang tidak terdapat klausula wanprestasi, maka eksekusi ditempuh melalui jalur pengadilan.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka fokus penelitian ini akan melakukan analisis terhadap kedudukan debitor dan implikasi hukum. Oleh karena itu, rumusan pertanyaan dalam penelitian ini, yang akan dicari jawabannya adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana analisis terhadap kedudukan para pihak dalam jaminan fidusia paska Putusan MK 118/PUU-XVII/2019 ditinjau dari asas keadilan?
2. Bagaimana posisi kreditur dalam jaminan fidusia paska putusan MK 118/PUU-XVII/2019 ditinjau dari asas proporsionalitas?
3 Norman Edwin Elnizar, “Pasca Putusan UU Jaminan Fidusia, Simak Aturan Debtcollector Di Beberapa Negara,” Hukumonline.Com, last modified 2020, accessed December 4, 2021, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e33eadb79653/pasca-putusan-uu-jaminan-fidusia--simak-aturan- debtcollector-di-beberapa-negara.
4 Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan Di Indonesia (Suatu Tinjauan Secara Sosiologis), Cet-IV. (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1999), hlm 55.
4 PEMBAHASAN
A. Analisis Kedudukan Para Pihak dalam Jaminan Fidusia Pasca Putusan MK 118/PUU-XVII/2019
1. Implikasi Hukum terhadap Para Pihak dalam Jaminan Fidusia Pasca Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019
Dalam putusan tentang UU Jamina Fidusia, MK menempatkan diri sebagai positive legislatore. Pemaknaan terhadap positive legislatore tidak dimaknai secara kaku dimana pengadilan membentuk hukum, tetapi juga dimaknai sebagai pengadilan memberikan ‘penjelasan’ terhadap suatu norma yang dianggap kabur/tidak lengkap.
Penjelasan itu dapat berupa penambahan, atau pengurangan terhadap suatu ketentuan pasal atau penjelasan. Dalam Putusan UU Jaminan Fidusia ini, MK memberikan keterangan tambahan, dengan menegaskan bahwa, UU Jaminan Fidusia khususnya pasal yang diuji tetap di anggap sebagai konstitusional apabila mengikuti tambahan yang diikuti oleh MK
Atas dasar penambahan norma oleh MK inilah, kemudian UU Jaminan Fidusia berubah menjadi:
Tabel 1 Perbandingan Sebelum & Paska Putusan MK
UU Fidusia Putusan MK 18/2019
Pasal 15 ayat (2)
Terdapat kekuatan eksekusi dan disamakan dengan putusan pengadilan.
Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Fidusiari sepanjang frasa:
1. kuasa eksekutif
2. adalah sama dengan keputusan mahkamah yang mempunyai kuasa undang-undang yang tetap.”
dimana tidak terdapat perjanjian pelanggaran kontrak (default) dan penghutang membantah mengajukan objek yang merupakan jaminan fidusia, maka tata cara hukum dalam pelaksanaan Sertifikat Jaminan Fidusia wajib dilaksanakan dan berlaku sama seperti pelaksanaan keputusan mahkamah yang mempunyai kekuatan undang-undang tetap.
Pasal 15 ayat (3)
Jika terdapat cedera janji maka kekuasaan barang menjadi pemagang fidusia.
Pasal 15 ayat (3) UU Fidusia dimaknai dengan dalil dan tidak memiliki ketetapan.
Penjelasan Pasal 15 ayat (2)
Dalam ketentuan ini, yang dimaksud dengan "kekuatan eksekutorial" bahwa
Penjelasan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang JF sepanjang frasa "kekuasaan eksekutor"
5 dapat dilaksanakan tanpa putusan
pengadilan.
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat selama tidak ditafsirkan:
Yang tidak ada frasa wanprestasi wajib mematuhi putusan MK
Terhadap perubahan-perubahan pasal tersebut, terdapat beberapa implikasi.
Untuk pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia. Jika sebelum undang-undang pihak kreditor bisa langsung melaksanakan pengeksekusian kepada objek jaminannya fidusia, yang beralasan sertifikat memiliki alasan yang sama seperti putusan pengadilan, maka paska putusan MK itu kreditor tidak lagi bisa melakukan hal tersebut. Paska putusan MK, terdapat dua syarat yang diberikan oleh MK untuk dapat dieksekusinya suatu barang, yakni 1. Jika tidak ada kesepakatan cidera janji (wanprestasi). 2. Debitor keberatan menyerahkan secara sukarela. Kedua hal ini adalah aspek kumulatif yang kedua-keduanya harus terpenuhi. Apabila kedua ini tidak terpenuhi, maka kreditor tidak dapat melakukan eksekusi terhadap objek fidusia dan harus menempuh jalur pengadilan.
Implikasi selanjutnya terhadap pasal 15 ayat 3 UU Jaminan fidusia. Jika sebelum putusan MK, cidera janji ditetapkan dengan satu pihak oleh pihak kreditor, dan kreditor mempunya hak untuk menjual benda yang menjadi objek jamina fidusia tersebut, maka setelah putusan MK hal tersebut berubah. Terdapat pemaknaan baru terhadap konsep wanprestasi dalam hal ini, yakni terdapat kesepakatan antara kreditor dan debitor, bahwa debitor sudah melakukan yang namanya wanprestasi. MK tidak memberikan tolak ukur secara detail dalam hal ini, kapan, bagaimana kriteria debitor sudah memenuhi cidera janji? Apakah merujuk pada KUHPerdata, atau berlaku kesepakatan baru antara debitor dan kreditor (akan dibahas dalam sub berikutnya).
B. Kreditur dalam Jaminan Fidusia Pasca Putusan MK 118/PUU-XVII/2019 Ditinjau dari Asas Proporsionalitas
Lembaga pembiayaan diberi pengaturan pada Perpres No. 9 Tahun 2009. Pada Perpres ini yang dimaksudkan Leasing yakni badan usaha yang melaksanakan aktivitas pembiayaan di wujud menyediakan dana ataupun barang modalnya. Sementara, yang dimaksudkan yaitu ;
1. badan usaha yang dikhususkan berdiri dalam melaksanakan Pendanaan, 2. Hutang Piutang, dan Sewa ,
3. maupun Bisnis Kartu kredit. Industri pembiayaan sebagai badan usaha yang melaksanakan aktivitas usaha dari kelembagaan pembiayaan.
6 Di samping, industri atau perusahaan pembiayaan, perbankan, maupun kelembagaan keuangan bukan bank pun sebagai suatu badan hukum yang melakukan kegiatannya dari lembaga pembiayaan yakni: berkaitan dengan Sewa guna, Modal, Perdagangan surat Berharga, Piutang, Usaha Kartu Kredit: dan Pembiayaan.
Salah satu jenis lembaga pembiayaan yang banyak terlibat dalam jaminan fidusia adalah lembaga Pembiayaan konsumen. Pembiayaan konsumen sebagai suatu kelembagaan pembiayaan yang dilaksanakan industri finansial. Perusahaan pendanaan merupakan badan usaha yang melaksnakan aktivitas bersistem pembayaran angsuran ataupun berkala oleh konsumennya.5 Pembiayaan konsumen merupakan peminjaman ataupun kredit yang diberi dari industri terhadap debitur dalam melakukan pembelian produk maupun jasa yang langsung dikonsumsinya oleh pembeli atau pelanggan, serta bukan bertujuan produksi ataupun pendistribusian.6
Definisi atas Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance) mengacu pada Perpres nomor 9 Tahun 2009 Pasal 1 ayat (7) yakni aktivitas pembiayaan dalam melakukan pengadaan barang didasarkan atas keperluan konsumen melalui pembayaran dengan berangsur. Aktivitas pendanaan dilaksanakan di wujud menyediakan dana bagi pengadaan barangnya didasarkan atas keperluan konsumen dan pembayaran dengan angsuran.
Keperluan pembeli atau konsumen ini mencakup:
1. Pembayaran kendaraan bermotor.
2. Pembayaran peralatan rumah tangga 3. Pembayaran produk elektronik 4. Pembayaran perumahan.
Berdasarkan jabaran tersebut, tentu pihak-pihak pembiayaan konsumen terdiri dari kreditor dan debitor. Dalam praktik tentu masalah sering terjadi antara keduanya, sebagaimana sudah dijabarkan sebelumnya, bahwa masalah yang dihadapi kreditor dan debitor sama-sama ada. Kreditor dihadapkan dengan debitor nakal, dan debitor selalu dihadapkan oleh kreditor yang menggunakanjasa debtcolleptor. Ikhwal masalah mengenai debitor, sudah terdapat putusan MK 18/PUU-XVII/2019 yang memberikan jaminan perlindungan hukum bagi debitor melalui sarana pengadilan. Namun bagi kreditor, masalah-masalah yang dihadapi dalam praktik hingga saat ini masih belum kunjung terselesaikan.
5 Munir Fuady, Hukum Tentang Pembiayaan (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2014), hlm 162.
6 Sentosa Sembiring, Hukum Dagang (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hlm 114.
7 Dalam praktik menurutnya keempat tipe ini sangat sering ditemukan. Secara hukum memang tipe-tipe itu sudah diatur dalam UU Jaminan Fidusia. Tipe debitor nomor 2, 3, dan 4 adalah tipe-tipe debitor yang dapat dikenakan dengan pasal 35, dan 36 UU Jaminan Fidusia yang berbunyi, Pasal 35: “Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan, mengubah, menghilangkan atau dengan cara apapun memberikan keterangan secara menyesatkan, yang jika hal tersebut diketahui oleh salah satu pihak tidak melahirkan perjanjian Jaminan Fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah)”. Pasal 36:
“Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).” Akan tetapi secara finansial, tentu lembaga pembiayaan konsumen mengalami kerugian yang siginifikan dalam menghadapi masalah- masalah tersebut, dan membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan kembali hak- haknya yang telah diberikan kepada debitor.
Kehadiran putusan MK akan membuka ruang semakin panjang-nya eksekusi terhadap jaminan fidusia. Dalam aspek prinsip hukum jaminan fidusia, kehadiran putusan MK telah merubah secara mendasar mengenai prinsip Parate Eksekusi. Terdapat pemaknaan kembali terhadap prinsip tersebut paska putusan MK, dimana yang awalnya kehadiran prinsip tersebut adalah dalam rangka mempercepat hak tagihan kreditor, namun paska putusan tersebut, dasar konsep dan mekanisme diperbaharui sehingga sarana untuk mendapatkan kembali hak kreditor semakin panjang.7
Pada hak-hak jaminan dengan sifatnya perbendaan, ada kelembagaan sebagai suatu yang istimewa atas lembaga penjaminan khususnya. Salah satunya yakni lembaga Parate Eksekusi yaitu hak individu kreditur dalam melaksanakan penjualan atas kekuasaan sendiri ataupun seolah milik sendiri, barang yang sudah dilakukan penjaminan oleh debitur untuk melunasi utang, di muka umum melalui persyaratan yang lazim diberlakukan, persyaratan sederhana dikarenakan tidak ada keterlibatan debitur dan tanpa perizinan hakim maupun titel eksekutorial. Jika mengamati definisi itu, berarti terlihat jelas yakni parate eksekusinya ini, memberi tempat yang begitu terlindungkan bagi
7 Hal ini khusus terhadap debitor dan kreditor yang dalam perjanjiannya tidak terdapat klausula wanprestasi, sehingga mengharuskan melalui Pengadilan
8 kreditor. Patut dimengerti alasan pencipta UU memberi hak itu untuk kreditor, yakni supaya kreditor memperoleh kedudukannya lebih baik untuk melunasi hak tagihnya serta sangat berkaitan terhadap hak jaminan khusus yang telah dipegang, dikarenakan seolah debitor sudah melakukan penyisihan sebagaian ataupun keseluruhan harta asset dalam melunasi utang jika di masa mendatang dirinya wanprestasi.8
Sudah disinggung sedikit, yaitu kelembagaan parate eksekusi bertujuan supaya kreditor memperoleh hal yang mudah untuk melunasi hak tagihnya. Hal itu sebagai konsekuensi akan konsep kelembagaan penjaminan khusus, dengan sifat yang memberi kemudahan maupun kedudukannya didahulukan untuk kreditor agar memperoleh pelunasan hak tagih. Maka, patut dimengeri yakni adanya kelembagaan jaminan khusus oleh pencipta UU ditujukan untuk kepentingannya kreditor, dikarenakan jika dilihat di posisi debitur berarti kelembagaan jaminan umum telah cukup "mengakomodir". Melalui terdapatnya kemudahan pada kelembagaan jaminan khsususnya, berarti sangat tinggi harapannya bagi pencipta UU supaya perekonomian bisa berlangsung secara lancer, terutama dalam aspek pembiayaan usaha, yang mana usaha bisa dilangsungkan ataupun bisa mendapatkan perkembangannya yang cepat dengan terdapatnya pinjaman utang kredit. Dikarenakan untuk pihak yang memberi pinjaman tidak akan segan mengeluarkan pinjaman untuk debitornya, dikarenakan terdapatnya keamanan untuk kreditor yaitu piutangnya akan dilakukan pelunasan dalam masa mendatang, dikarenakan kreditor sudah memiliki hak kebendaan milik debitor yang memberi penjaminan dengan khusus, yang mampu kreditor jual jika debitornya wanprestasi.
Sehingga, bisa disebutkan saat di antara kreditor maupun debitor sudah ada kesepakatan dalam mempergunakan kelembagaan jaminan khusus, untuk perjanjian accessoir dari perjanjian utang piutangnya, sehingga tersiratkan terdapatnya kesepakatan dua pihak, melalui percakapan yakni: kredilur: "saya berikan pinjaman kepada anda (debitor), asalkan anda memberikan jaminan bahwa piutang saya, akan anda lunasi,"
debitor: "berikanlah pinjaman anda (kreditor), karena saya akan melunasi hutang saya dan silahkan anda pegang harta kekayaan (kebendaan) saya untuk anda ambil pelunasan piutang anda, apabila saya ingkari jarifi saya ini ". sehingga, inti dari ini yaitu kreditor melakukan pemberian pinjamannya, dikarenakan terdapat "kepercayaan lebih ", akan pelunasan hak tagihnya.9
8 Anggoro, Op.Cit, hlm 539.
9 Ibid.
9 Kelemahan kedua, adalah mengenai durasi waktu/lamanya untuk menagih, hal ini dikarenakan upaya penagihan ini masuk ke dalam institusi peradilan yang lazim diketahui bersama tidaklah sederhana, melainkan memakan waktu dan prosedur yang panjang.
Menyelesaikan persengketaan wanprestasi dan mengeksekusi dengan pengadilan dievaluasi tidak efisien, bisa memerlukan biaya maupun waktu yang intgi, dan bukan solusi mencapai keadilan dari pihak debitor maupun kreditornya, dikarenakan umumnya debitor dan kreditor perlu menghargai perjanjian yang sudah dibuatnya, pada kaitan ini perjanjian jaminan fidusia yang disahkan jadi akta jaminan fidusia.10 Atas pembahasan tersebut maka dapat dipahami, bahwa putusan MK tersebut tidak sesuai dengan hakikat dari prinsip parate eksekusi dalam jaminan fidusia.
Para pihak dalam jaminan fidusia selalu memiliki masalah dan tantangannya sendiri, Putusan MK memang sudah memberikan jaminan terhadap kepentingan debitor secara kuat. Namun terhadap kreditor masih menjadi problem. Pada pembahasan berikutnya, akan dibahas mengenai desain/penataan kembali aturan hukum mengenai kedudukan keduanya, agar tetap berada dalam koridor asas proporsionalitas, dimana satu dengan lainnya tidak saling merugikan.
Kepastian Hukum Untuk Kreditor dalam Pemenuhan Kewajiban Debitor
Peran lembaga pembiayaan, yang merupakan bagian dari lembaga keuangan memiliki peran signifikan dalam masyarakat. Peran tersebut adalah dalam rangka menunjang perekonomian masyarakat. Perputaran uang yang ada dalam lembaga tersebut, selalu memiliki hubungan antara masyarakat. Semisal masyarakat lambat, dalam mengembalikan uang yang dipinjamnya, atau lembaga tidak memiliki kepastian dalam menerima kembali haknya, maka dalam interen lembaga akan terjadi stagnansi yang berdampak pada siklus perputaran ke konsumen lainnya. Oleh karena itu, adalah lembaga ini sangat dibutuhkan kepastian yang tinggi dan sangat terjamin. Tentu melihat permasalahan ini harus dilihat secara makro, mulai dari sektor-sektor lembaga pembiayaan yang terdampak.
Putusan MK itu berdampak tentunya terhadap dunia lembaga pembiayaan secara makro. Dalam praktik putusan itu tentunya akan dipengaruhi oleh seluruh lembaga pembiayaan yang ada di Indonesia mengingat keberadaan jumlah lembaga pembiayaan di
10 Hal ini juga ditegaskan oleh Ashoya Ratam. Wanprestasi dan Eksekusi Objek Jaminan Fidusia: Best Practice setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019. dalamDH/ES, “Wanprestasi Dan Eksekusi Objek Jaminan Fidusia: Best Practice Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019,”
Hukumonline.Com, last modified 2020, accessed December 4, 2021, https://www.hukumonline.com/talks/baca/arsip/lt5e295466bd93e/wanprestasi-dan-eksekusi-objek-jaminan- fidusia--best-practice-setelah-putusan-mahkamah-konstitusi-nomor-18-puu-xvii-2019.
10 Indonesia sangat banyak. Putusan MK tersebut akan memberikan pengaruh terhadap seluruh jenis lembaga pembiayaan. yang jumlahnya sangat banyak. Melihat data sebaran lembaga pembiayaan di Indonesia yang hadir dengan jumlah yang sangat signifikaan, tentu kepastian hukum dalam dunia bisnis peruahaan tersebut sangat dibutuhkan, karena melalui lembaga ini sebenarnya juga terdapat distribusi keadilan bagi masyarakat lainnya sebagaimana peran lembaga keuangan pada umumnya.
Lembaga keuangan merupakan badan usaha yang memiliki kekayaan di wujud aset keuangan (financial assets). Kekayaan berbentuk aset keuangan itu dipakai dalam melangsungkan usahanya pada aspek jasa keuangan, baik menyediakan pendanaan dalam membayari usaha produktifnya maupun keperluan konsumtifnya, dan jasa keuangan bukan pembiayaan, sehingga pada aktivitas usaha, kelembagaan keuangan lebih memiliki penekanan kepada fungsi keuangannya, yakni jasa keuangan pembiayaan maupun jasa keuangan bukan pembiayaan. Kelembagaan pembiayaan, dipakai untuk padanan istilah bahasa Inggris (financing institution). Pada operacional usahanya, kelembagaan pembiayaan lebih memiliki penekanan kepada fungsi pembiayaannya. Lembaga pembiayaan merupakan badan usaha yang melaksanakan aktivitas pembiayaan pada wujud menyediakan dana ataupun barang modal yang tidak menarik dana dengan langsung dari warga. Maka dari itu, istilahnya dari Lembaga Pembiayaan lebih sempit definisinya daripada istilah Lembaga Keuangan.
Lembaga Pembiayaan merupakan bagiannya a. Lembaga Keuangan.11
Lembaga keuangan dalam aspek keuangan memiliki peran untuk memberi pendistribusian keadilan di masyarakat yakni, penghimpunan dana warga, penyaluran dana warga, mengalihkan asset, likuiditas, alokasi penghasilan, transaksi.
Melihat peran perbankan, dan perekonomian yang kian membaik, maka tentunya dalam hubungan lembaga pembiayaan harus memiliki kepastian, agar terjadinya iklim usaha yang sehat dan kondusif. Jika lembaga pembiayaan merasa sulit dalam mendapat kepastian akan haknya maka tentu itu akan mengganggu iklim usaha yang sehat dan tersendatnya distribusi keadilan untuk masyarakat lainnya.
Dalam pelaksanann Perjanjian di lembaga pembiayaan beragam kendala yang umumnya hadir dikarenakan dari terdapatnya kelalaian pihak lessee, misalnya seperti pada hal pembiyaan yang jadi kewajibannya lessee dalam perjanjian. Pelanggaran
11 Sadono Sukirno, Pengantar Teori Makro Ekonomi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm 22.
11 perjanjian yang berbentuk lalai pada pihak lessee itu dapat membuat gugur lessor, khususnya jika kelalaiannya membawa pengaruh dengan langsung kepada objek leasing. Sehingga, dibutuhkan usaha perlindungan hukum kepada kepentingannya lessor supaya terhindarkan dari risiko kerugian ataupun kehilangan objek leasing, karena bagaimanaa pun pada perjanjian pihak tidak diperbolehkan terdapat pihakyang dirugikan. Oleh karena hadirnya Putusan MK, maka tentunya upaya menempuh hak pihak lembaga pembiayaan semakin panjang, alhasil ke depan, tentunya perlu dipikirkan mengenai desai hubungan agar menjamin kepastian hukum antara kreditor dan debitor.
Ikhwal kepastian memang selalu menjadi tantangan dalam dunia usaha. Dalam dunia usaha, unsur kepastian hukum hadir dalam tiap tahapan post establishment stage atau brown field investment. Dalam fase perhatian, di kelembagaan ditujukan di sisi kestabilitasan, prediktibilitasnya, maupun kepastian hukum mengenai kegiatan usahanya, hukum kontrak, dan transaksional bisnis. Hal itu selaras terhadap klasifikasi unsur yang memberi pengaruh iklim dalam bisnis, yaitu:
a) Ketentuan pemerintahan yang memberi pengaruh biaya, misalnya perpajakan, beban regulasi, pemungutan liar, korupsi, biaya operasional, berinvestasi, infrastruktur;
b) Kelompok yang memberi pengaruh risiko yang mencakup kestabilitasan makro perekonomian, stabiltiasnya maupu prediktibilitas kebijakannya, property right, kepastian akan kontrak maupun hak dalam melakukan transfer keuangan, serta c) Kendala dalam berkompetisi yang mencakup kendala regulasi dalam masuk maupun
keluar dari usaha, fungsinya pasar keuangan serta pembangunan yang baik, dan tersedia secara efisien hukum persaingan.12
Landasan kehadiran UU JF diharapkan mampu memberikan keadilan pada perjanjian dalam pinjaman, dibutuhkan penjaminan kepada pelunasan akan keawajibannya debitor. Penjaminan fidusia bisa efisien apabila kreditor mempunyai hal yang mudah dan kepastian hukum untuk mengeksekusi. Sehingga, ciir umum penjaminan kebendaan yakni kemudahan mengeksekusi jika debitor wanprestasi. Hal ini berlaku pula terhadap jaminan kebendaan lainnya, misal hak tanggungan, gadai, hipotik dan fidusia itu sendiri.
12 Mahmul Siregar, “Kepastian Hukum Dalam Transaksi Bisnis Internasional Dan Implikasinya Terhadap Kegiatan Investasi Di Indonesia,” Repository.Usu.Ac.Id, last modified 2020, accessed December 4, 2021, http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/69848.
12 Tugas hukum yakni guna meraih kepastian hukumnya serta sikap adil pada hidup bermasyarakat. Pendapatnya Soerjono Soekanto “Kepastian hukum mengharuskan diciptakannya peraturan-peraturan umum atau kaedah-kaedah yang berlaku umum, supaya tercipta suasana yang aman dan tentram di dalam masyarakat…”13. Kepastian hukum bisa diraih jika pada sutau kondisi:
a) Adanya peraturan hukum yang rinci, berkonsisten, serta kemudahan didapatkan b) Instansi penguasa atau pemerintahan mengimplementasikan peraturan hukum itu
dengan berkonsisten dan pula patuh kepada peraturannya.14
Kepastian memiliki makna yaitu pada kaitan hal yang konkret kedua pihak yang ada perselisihan bisa menetapakan kedudukannya. Pada definisi ini, memiliki makna keamanan hukum yaitu berisikan perlindungan untuk kedua pihaknya yang melakukan perselisihan kepada perilaku semena-mena. Sementara kepastian dikarenakan hukum bermaksud yakni hukum memberi penjaminan kepastian dalam pihak yang satu dan yang lainnya.15 Atas bahasan di atas, mulai dari perkembangan lembaga pembiayaan, persebaran, hingga pentingnya kepastian hukum untuk lembaga pembiayaan, maka diperlukan desain hubungan kontraktual di masa mendatang untuk semakin menjamin kepastian bagi kreditor di masa mendatang.
Putusan MK 118/PPU-XVII/2019, memberikan konsep baru dalam eksekusi jaminan fidusia. Paska putusan ini terdapat dua skenario baru dalam eksekusi jaminan fidusia, yakni melalui pengadilan dan tanpa melalui pengadilan. Melalui pengadilan, apabila perjanjian antara debitor dan kreditor tidak terdapat klausula wanprestasi, dan debitor keberatan atas eksekusi yang ’akan’ dilakukan. Tanpa melalui pengadilan, apabila sudah terdapat klausula wanprestasi dalam perjanjian debitor dan kreditor, di tambah debitor merasa sukarela untuk menyerahkannya.
Skenario ini sebenarnya tampak sederhana, namun ketika melihat praktik yang terjadi mekanisme eksekusi kreditor sering dihadapkan pada debitor-debitor yang nakal, sehingga alhasil kepastian kreditor untuk mendapat kepastian hak-nya tentu terganggu. Sebenarnya, putusan MK 118/PPU-XVII/2019 adalah wujud dari intervensi negara terhadap perjanjian dalam usahan bisnis yang domainnya adalah ranah privat.
Dalam praktik dimasa lalu, rupanya memang terjadi adanya ketidak proporsionalan antara kedua pihak, tidak proporsionalnya itu tentu hadir dengan berbagai alasan, mulai
13 Soekanto, Op.Cit, hlm 55.
14 Otto, Op.Cit, hlm 5.
15 A. Madjedi Hasan, Kontrak Minyak Dan Gas Bumi Berazas Keadilan Dan Kepastian Hukum (Jakarta:
Fikahati Aneska, 2009).
13 dari pihak debitor yang menjadi subordinat lantara ia membutuhkan jasa dari kreditor, atau kreditor yang merasa superior lantara debitor tidak menunaikan kewajiban- kewajibannya. Sebagaimana dijabarkan sebelumnya, bahwa kehadiran putusan MK 118/PPU-XVII/2019 adalah era baru dalam kontrak bisnis, dimana ada pemaknaan baru terhadap wanprestasi yang harus dinyatakan secara deklaratif terlebih dulu oleh debitor, baru dapat dilakukan eksekusi terhadap jaminan fidusia.
Dalam hubungan antara kreditur dan debitur harus berpijak pada Asas proporsionalitas, yang harus diaktualisasikan dalam kontrak di masa mendatang. Tidak boleh ada hubungan antara kreditor dan debitor yang timpang, atau superior satu dengan lainnya. Perkembangan aspek hukum kontrak tumbuh serta mengalami perkembangan selaras terhadap dinamikanya, kompleksitasnya maupun problematikanya yang ada pada warga. Dinamika ini dirasa terutama pada pandangan kegiatan berbisnis yang kian mengglobal. Pada bisnis, pertukaran kepentingan pihak selalu tertuang pada wujud kontrak karena “setiap langkah bisnis adalah langkah hukum.” Ungkapan itu sebagai landasan dasar yang perlu diperhatikannya para pihak saat berkomunikasi di dunia berbisnis, yang mana kontrak sebagai simpul utamanya yang mengkorelasikan kepentingan dirinya. Walaupun, acapkali para pemilik bisnis tidak sadar, tapi harus dimengerti yaitu tiap pihak yang masuk pada belantara bisnsi biasanya melaksanakan Langkah hukum atas seluruh konsekuensi yang ada.16
KESIMPULAN
Berdasarkan pada pembahasan diatas, maka dalam penelitian ini disimpulkan sebagai berikut:
1. Putusan MK 118/PPU-XVII/2019 ditinjau dari aspek keadilan, maka memberikan keadilan bagi para debitor dengan karena memberikan perlindungan hukum dari tindakan sewenang-wenang kreditur yang selama ini sering terjadi dalam praktik. Putusan tersebut membuka ruang semakin panjangnya eksekusi terhadap jaminan fidusia. Dalam aspek prinsip hukum jaminan fidusia, putusan MK telah merubah secara mendasar mengenai prinsip Parate Eksekusi. Terdapat perubahan makna terhadap prinsip tersebut paska putusan MK, dimana yang awalnya kehadiran prinsip tersebut adalah dalam rangka mempercepat hak tagihan kreditor, namun pascaputusan tersebut, dasar konsep dan mekanisme diperbaharui sehingga sarana dan waktu untuk mendapatkan kembali hak
16 Agus Yudha Hernoko, “Asas Proporsionalitas Sebagai Landasan Pertukaran Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Kontrak Komersial,” Jurnal Hukum dan Peradilan 5, no. 3 (2016): 447–466.
14 kreditor semakin panjang. Artinya, Putusan MK 118/PPU-XVII/2019 tidak sesuai dengan hakikat awal dari prinsip parate eksekusi dalam jaminan fidusia/atau terjadi perubahan prinsip khususnya mengenai parate eksekusi antara sebelum dan sesudah putusan MK.
Putusan tersebut memberikan konsep baru dalam eksekusi jaminan fidusia, setidaknya pascaputusan ini terdapat dua skenario baru dalam eksekusi jaminan fidusia. Yakni melalui pengadilan dan tanpa melalui pengadilan. Melalui pengadilan, apabila perjanjian antara debitor dan kreditor tidak terdapat klausula wanprestasi, dan debitor keberatan atas eksekusi yang ’akan’ dilakukan. Tanpa melalui pengadilan, apabila sudah terdapat klausula wanprestasi dalam perjanjian debitor dan kreditor, di tambah debitor merasa sukarela untuk menyerahkannya.
2. Perlu pembenahan lebih lanjtu dalam rangka memberikan perlindungan hukum dengan membuat hubungan kontraktual, yakni dalam bentuk mencantumkan klausula wanprestasi secara rigid dalam kontrak. Model ini ini adalah dalam rangka untuk menghindari skenario eksekusi melalui pengadilan yang memakan waktu. Putusan MK sudah membuka kesempatan, bahwa kreditor masih diperbolehkan melakukan eksekusi langsung/parate eksekusi apabila di dalamnya sudah diperjanjikan klausula wanprestasi, sehingga sebisa mungkin upaya eksekusi dapat dilakukan tanpa melalui pengadilan.
Kehadiran putusanMK 118/PPU-XVII/2019 meningkatkan posisi kepentingan debitor, tapi tidak untuk kreditor. Bagaimanapun keadaanya, dalam perjanjian fidusia tetap harus berdasarkan pada asas proporsionalitas. Tidak boleh ada yang dirugikan dalam perjanjian.
SARAN
Untuk Para Pemangku Kepentingan/Lembaga Pembiayaan:
1. Melakukan hubungan kontraktual dengan klausula baku dalam rangka mencegah proses peradilan untuk melakukan eksekusi agar tidak terjadi proses yang panjang sehingga terwujudnya asas proporsionalitas.
2. Rekomendasi/saran yang penulis berikan kepada pihak kreditor/lembaga pembiayaan adalah dengan melakukan perubahan terhadap klausula baku dalam perjanjian. Perubahan dilakukan berupa penambahan klausula wanprestasi beserta segala norma-norma tekhnisnya, agar dalam melakukan eksekusi tidak perlu melalui pengadilan yang memakan waktu yang lama.
DAFTAR PUSTAKA
15 Buku
Arifin, Syamsul. Pengantar Hukum Indonesia. Medan: Medan Area University Press, 2012.
Bachir, Djazuli. Eksekusi Putusan Perkara Perdata: Segi Hukum Dan Penegakan Hukum.
Jakarta: Akademika Pressindo, 1995.
Black, Henry Campbell. Black’s Law Dictionary: Definitions of the Terms and Phrases of American and English Jurisprudence, Ancient and Modern. Edited by The Publishers Editorial Staff. Revised Fo. Saint Paul: West Publishing, 1968.
Fajar, Mukti, and Yulianto Achmad. Dualisme Penelitian Hukum: Normatif Dan Empiris.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Fuadi, Munir. Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013.
Fuady, Munir. Hukum Tentang Pembiayaan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2014.
Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
———. Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Hariјanti, Susi Dwi. “Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka: Tinјauan Teоri Dan Praktik Di Indоnesia.” In Gagasan Amandemen UUD 1945, 40. Jakarta: Kоmisi Hukum Nasiоnal Republik Indоnesia, 2008.
Hasan, A. Madjedi. Kontrak Minyak Dan Gas Bumi Berazas Keadilan Dan Kepastian Hukum. Jakarta: Fikahati Aneska, 2009.
Hermoko, Agus Yudha. Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersil. Yogyakarta:
Laksbang Mediatzma, 2008.
———. Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial. Jakarta:
Kencana Predana Media Group, 2013.
Huijbers, Theo. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah. Cet-20. Yogyakarta: Kanisius, 1982.
Ibrahim, Jonny. Teori Dan Metode Penelitian Hukum Normatif. Cetakan Ke. Malang:
Bayumedia Publishing, 2006.
Isnaeni, Moch. Pengantar Hukum Jaminan Kebendaan. Surabaya: Revka Petra Media, 2016.
Manan, Bagir. Menegakkan Hukum Suatu Pencarian. Jakarta: Asosiasi Advokat Indonesia, 2009.
Martitah. Mahkamah Kоnstitusi: Dari Negative Legislatur Menuјu Pоsitive Legisltur.
Јakarta: Konpress, 2013.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012.
MD, Mahfud. “Kekuasaan Kehakiman Pasсa Amandemen UUD 1945.” In Gagasan Amandemen UUD 1945, 15. Jakarta: Kоmisi Hukum Nasiоnal Republik Indоnesia, 2008.
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1988.
Otto, Jan Michiel. Kepastian Hukum. Edited by Tristam Moeliono. Jakarta: Komisi Hukum Nasional, 2003.
Raharjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Cetakan V. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.
16 Ramadhan, Febriansyah. “Aspek Hukum Pengujian Undang-Undang.”
Febriansyahramadhan.Com. Last modified 2020. Accessed December 4, 2021.
http://febriansyahramadhan.com/law.html.
Rawls, John. A Theory of Justice. London: The Belknap Press of Harvard University Press Cambridge, 1995.
RI, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM. Laporan Akhir Penelitian Hukum Tentang Implementasi Jaminan Fidusia Dalam Pemberian Kredit Di Indonesia. Jakarta, 2006.
Safa’at, M. Ali. “Mahkamah Kоnstitusi Dalam Sistem Сheсk and Balanсes.” In Kоnstitusiоnalisme Demоkrasi: Kadо Ulang Tahun Untuk Prоf. A Mukhtie Fadјar, 26.
Malang: Intrans Publishing, 2010.
Sasongko, Wahyu. Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen. Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2007.
Satrio, J. Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.
Sembiring, Sentosa. Hukum Dagang. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001.
Soekanto, Soerjono. Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan Di Indonesia (Suatu Tinjauan Secara Sosiologis). Cet-IV. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1999.
Soemitro, Ronny Hanitijo. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.
Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen. Hukum Jaminan Di Indonesia. Pokok-Pokok Hukum Jaminan Dan Jaminan Perorangan. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1977.
Subekti. Hukum Perjanjian. Cet-19. Jakarta: Intermasa, 2002.
Sukirno, Sadono. Pengantar Teori Makro Ekonomi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
Susilo, Y. Sri, Sigit Triandaru, and A. Totok Budi Santoso. Bank Dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta: Salemba Empat, 2000.
Syaifuddin, M. Hukum Kontrak Memahami Kontrak Dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik, Dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan). Bandung: Mandar Maju, 2016.
Winarno, Jatmiko. “Perlindungan Hukum Bagi Kreditor Pada Perjanjian Jaminan Fidusia.”
Jurnal Independen Fakultas Hukum 1, no. 1 (2013): 44.
Wiratno, Suwandi. “Dampak Keputusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Industri Pembiayaan.” Jakarta Timur, 2020.
Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014.
Zоelva, Hamdan. Mengawal Kоnstitusiоnalisme. Јakarta: Kоntpress, 2016.
Jurnal
Anggoro, Teddy. “Parate Eksekusi: Hak Kreditor, Yang Menderogasi Hukum Formil (Suatu Pemahaman Dasar Dan Mendalam).” Jurnal Hukum dan Pembangunan 3, no. 4 (2007):
537.
Elijana, Maria Elisabeth. “Eksekusi Barang Jaminan Sebagai Salah Satu Cara Pengembalian Hutang Debitor.” Jurnal Hukum dan Pembangunan 1, no. 1 (2006): 56.
17 Hernoko, Agus Yudha. “Asas Proporsionalitas Sebagai Landasan Pertukaran Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Kontrak Komersial.” Jurnal Hukum dan Peradilan 5, no.
3 (2016): 447–466.
Nugroho, Fadzlun Budi Sulistyo. “Sifat Keberlakuan Asas Erga Omnes Dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi.” Gorontalo Law Review 2, no. 2 (2019): 28–37.
Porta, R. La. “Investor Protection and Corporate Governance.” Jurnal of financial Economics 58, no. 1 (2000): 58–70.
Rubaie, Ach., Nyoman Nurjaya, Moh. Ridwan, and Istislam. “Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi.” Jurnal Konstitusi 11, no. 1 (2014): 85–108.
Rufaida, Khifni Kafa, and Rian Sacipto. “Tinjauan Hukum Terhadap Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Tanpa Titel Eksekutorial Yang Sah.” Jurnal Refleksi Hukum 4, no. 1 (2019): 21–40.
Setiono, Gentur Cahyo. “Jaminan Kebendaan Dalam Proses Perjanjian Kredit.” Jurnal Transparansi Hukum 1, no. 1 (2018): 2.
Sulaiman, Eman. “Hukum Dan Kepentingan Masyarakat (Memosisikan Hukum Sebagai Penyeimbang Kepentingan Masyarakat).” Jurnal Hukum Diktum 11, no. 1 (2013): 100–
110.
Wiwoho, Jamal. “Peran Lembaga Keuangan Bank Dan Lembaga Keuangan Bukan Bank Dalam Memberikan Distribusi Keadilan Bagi Masyarakat.” Jurnal MMH 43, no. 1 (2014): 87–97.
Putusan dan Undang-Undang
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 118/PUU-XVII/2019, n.d.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, n.d.
Internet
DH/ES. “Wanprestasi Dan Eksekusi Objek Jaminan Fidusia: Best Practice Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019.” Hukumonline.Com. Last modified
2020. Accessed December 4, 2021.
https://www.hukumonline.com/talks/baca/arsip/lt5e295466bd93e/wanprestasi-dan- eksekusi-objek-jaminan-fidusia--best-practice-setelah-putusan-mahkamah-konstitusi- nomor-18-puu-xvii-2019.
Elnizar, Norman Edwin. “Pasca Putusan UU Jaminan Fidusia, Simak Aturan Debtcollector Di Beberapa Negara.” Hukumonline.Com. Last modified 2020. Accessed December 4, 2021. https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e33eadb79653/pasca-putusan-uu- jaminan-fidusia--simak-aturan-debtcollector-di-beberapa-negara.
Isnaini, Husni. “Penjelasan MK Soal Fidusia Jadi Energi Positif Buat Perusahaan Pembiayaan.” Sindonews.Com. Last modified 2021. Accessed December 4, 2021.
https://ekbis.sindonews.com/read/532942/178/penjelasan-mk-soal-fidusia-jadi-energi- positif-buat-perusahaan-pembiayaan-1630912195.
Keuangan, Otoritas Jasa. “Buku Statistik Lembaga Pembiayaan 2020.” Ojk.Go.Id. Last modified 2020. Accessed December 4, 2021. https://ojk.go.id/id/kanal/iknb/data-dan- statistik/lembaga-pembiayaan/Documents/Pages/Buku-Statistik-Lembaga-Pembiayaan- 2020/Buku Statistik Lembaga Pembiayaan 2020.pdf.
18 Siregar, Mahmul. “Kepastian Hukum Dalam Transaksi Bisnis Internasional Dan Implikasinya Terhadap Kegiatan Investasi Di Indonesia.” Repository.Usu.Ac.Id. Last
modified 2020. Accessed December 4, 2021.
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/69848.
Suyudi, Aria. “Jaminan Fidusia Dan Potensinya Dalam Mendorong Laju Ekonomi.”
Hukumonline.Com. Last modified 2000. Accessed December 4, 2021.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol907/jaminan-fidusia-dan-potensinya- dalam-mendorong-laju-ekonomi.