• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLA PEMELIHARAAN TERNAK DENGAN SISTEM PADANG PENGGEMBALAAN DI KALIMANTAN TENGAH (STUDI KASUS DI KABUPATEN KATINGAN DAN GUNUNG MAS) Harmini

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "POLA PEMELIHARAAN TERNAK DENGAN SISTEM PADANG PENGGEMBALAAN DI KALIMANTAN TENGAH (STUDI KASUS DI KABUPATEN KATINGAN DAN GUNUNG MAS) Harmini"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

566

POLA PEMELIHARAAN TERNAK DENGAN SISTEM PADANG PENGGEMBALAAN DI KALIMANTAN TENGAH

(STUDI KASUS DI KABUPATEN KATINGAN DAN GUNUNG MAS)

Harmini

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Tengah Jalan G. Obos Km 5 Palangka Raya, Kalimantan Tengah

E-mail: harmini_miatun@yahoo.co.id

ABSTRAK

Swasembada daging salah satu issue strategis dalam pembangunan pertanian di Indonesia. Kalimantan tengah mempunyai banyak potensi untuk pengembangan sapi potong. Salah satu dari potensi tersebut adalah luas wilayah dari Kalteng yang mencapai 153.554 km2 dengan kepadatan penduduk 15 orang / km2 . Salah satu pemanfaatan lahan untuk padang penggembalaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pemeliharaan ternak dengan sistem padang penggembalaan di Kalimantan tengah khususnya di Kabupaten Katingan dan Gunung Mas. Penelitian menggunakan metode survey dan pengamatan langsung di lapangan. Survey dilakukan untuk mengetahui pola penggembalaan baik dari potensi maupun kendala – kendala yang ada di lapangan. Potensi tersebut diantaranya luas wilayah, jenis ternak, Hijauan Makanan Ternak, harga jual tinggi. Sedangkan kendala yang dihadapi seperti: penyakit, gulma, pencurian ternak. Untuk meningkatkan populasi ternak pola pemeliharaan dengan sistem padang penggembalaan layak untuk dikembangkan.

Kata kunci: padang penggembalaan, potensi, kendala

ABSTRACT

Self-sufficiency in meat one of the strategic issues in agricultural development in Indonesia. Central Kalimantan has a lot of potential for the development of beef cattle. One of these is a potential area of Central Kalimantan, which reached 153 554 km2 with a population density of 15 persons / km2. One use of land for grazing. This study aims to determine the pattern of raising livestock grazing systems in Central Kalimantan, especially in Katingan and Gunung Mas.

Research using survey methods and direct observation in the field. The survey was conducted to determine the pattern of grazing both of the potential and constraints that exist in the field. The potential of such an area, livestock, Forage, high selling price. While the obstacles encountered such as: disease, weeds, cattle theft. To improve the livestock population patterns with system maintenance decent pasture to improvement.

Key words : grazing , potential , constraints

(2)

567

PENDAHULUAN

Kalimantan Tengah sangat potensial sebagai wilayah pengembangan ternak khususnya sapi potong. Badan Penanaman Modal dan Perizinan Provinsi Kalimantan tengah (2013) menyatakan, Kalimantan tengah masih kekurangan sapi potong sebanyak ± 5000 ekor/tahun. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut bisa dilakukan dengan memanfaatkan berbagai potensi yang ada di Kalteng.

Salah satu potensi tersebut adalah luas wilayah Kalteng.

Kalteng mempunyai luas 153.554 km2 atau 8,04 persen (BPS, 2014) dari luas Indonesia. Salah satu pemanfaatan lahan tersebut untuk padang penggembalaan. Padang penggembalaan merupakan sumber penyediaan hijauan pakan ternak yang efisien dalam suatu usaha peternakan. Pola pemeliharaan ternak dengan sistem padang penggembalaan (mini ranch) telah cukup lama dilakukan baik di negara – negara maju maupun berkembang. Di Kalteng, sistem padang penggembalaan yang dilakukan masyarakat, khususnya masyarakat lokal, merupakan sistem ekstensif tradisional. Tulisan ini mengulas sistem penggembalaan serta berbagai masalahnya kabupaten Katingan dan Gunung Mas Kalimantan Tengah.

METODOLOGI

Penelitian ini dilaksanakan dalam kurun waktu 2013. Metodologi yang digunakan dengan pengamatan langsung dan Partisipatory Rural Appraisal (PRA). Data yang diperoleh berupa data primer dan sekunder. Data primer berasal berasal pengamatan langsung dan informasi dari petani peternak maupun petugas pendamping. Data sekunder didapat studi literatur.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kabupaten Katingan

Kabupaten Katingan salah satu Kabupaten di kalteng dengan luas 17500 km2 dan jumlah penduduk 155100 (BPS,2014). Populasi sapi di Katingan pada tahun 2011 sebesar 6853 ekor dan pada tahun 2013 sebesar 6861 ekor (BPS, 2014). Sesuai dengan pengamatan di lapangan diduga populasi sapi potong di Katingan lebih banyak dari jumlah diatas. Sementara populasi sapi potong per kecamatan dapat dilihat pada Gambar 1.

(3)

568 Sumber : Katingan dalam Angka, 2014.

Gambar 1. Populasi sapi potong di Katingan.

Jenis sapi potong yang dipelihara sapi Bali, sapi PO, sapi lokal Katingan.

Sapi lokal Katingan, sebagian masyarakat menyebutnya dengan istilah sapi Itah atau sapi helu. Utomo et al., (2012) melaporkan, sapi Katingan mempunyai keragaman dalam hal warna bulu, pertumbuhan tanduk dan tonjolan dikepala.

Ciri umum sapi katingan adalah bergelambir, berpunuk, bertanduk dan mempunyai banyak variasi warna bulu. Pola pemeliharaan pada masyarakat lokal utamanya dengan cara pola ekstensif tradisional di padang penggembalaan.

Padang penggembalaan (ranch) yang dimiliki oleh peternak pada umumnya tergolong tipe penggembalaan bergilir (rotation grazing ). Peternak memiliki beberapa lokasi penggembalaan. Lokasi penggembalaan biasanya pada jarak berdekakatan. Jika lokasi penggembalaan pada lahan yang sangat luas, dibuat menjadi beberapa lokasi dengan dibatasi pagar – pagar baik berupa pagar kawat maupun pagar hidup dari tanaman berkayu. Hijauan Makanan Ternak (HMT) merupakan rumput lokal / rumput lapangan. Sumber air minum di dapat dari sumur pompa yang berada dilokasi. Shelter/kandang sebagai tempat berlindung ternak ada pada penggembalaan ini. Introduksi teknologi sederhana telah dilakukan. Air minum diberikan dengan penambahan garam. Jumlah kepemilikan ternak relatif besar rata–rata di atas 10 ekor. Lokasi penggembalaan disepanjang sungai Katingan.

2000 400600 1000800 12001400 1600

Populasi Sapi potong di Katingan

Series 1

(4)

569 Kabupaten Gunung Mas

Kabupaten Gunung Mas merupakan daerah yang tergolong dataran tinggi, memiliki luas wilayah 10805 km2 (BPS,2014), merupakan kapubaten pemekaran dari Pulang Pisau . Pemeliharaan ternak sapi dengan sistem padang penggembalaan ekstensif tradisional (ranch) . Sapi yang dipelihara pada umumnya sapi lokal yang mempunyai ciri seperti sapi lokal Katingan. Lokasi penggembalaan pada lahan yang agak berbukit – bukit. Air minum untuk sapi berasal dari air sungai. Hijauan makanan ternak yang digunakan jenis rumput lokal / lapangan. Pola penggembalaan di Katingan dan di Gunung Mas, tergolong ekstensif, hal ini didukung oleh penyataan Suratman (2003), menyatakan bahwa pola penggembangan peternakan dibagi menjadi tiga yaitu: 1) Pola ekstensif, ternak digembalakan atau dibebaskan begitu saja, 2) Pola semi ekstensif, ternak digembala secara terkendali sambil diaritkan, dan pada malam hari ternak dikandangkan, 3) Pola intensif, ternak dikandangkan dan diaritkan.

Hijauan Makanan Ternak

Dalam industri peternakan biaya pakan mencapai ± 70 persen dari total biaya pakan. Dengan pola ekstensif tradisional ini biaya pakan hampir tidak ada.

Biaya yang dikeluarkan peternak hanya untuk pengobatan yang biasanya dilakukan oleh petugas kesehatan ternak setempat maupun untuk membeli obat – obatan seperti obat cacing dan vitamin. Permasalahannya sebagian besar lahan padang penggembalaan merupakan lahan gambut yang mempunyai sifat keasaman dan kandungan organik yang tinggi, serta kesuburan tanah yang rendah. Disamping itu kalteng merupakan salah satu dari propinsi di Indonesia yang dilalui garis khatulistiwa, siang hari bisa sangat terik mencapai 320C, sinar matahari yang didapat dalam satu tahun lebih dari 50%. Ditambahkan rumput yang tumbuh di daerah yang beriklim tropis mempunyai kualitas yang rendah.

Hal ini karena pada hujan turun sepanjang tahun, yang mengakibatkan larutnya unsur hara yang ada di dalam tanah.

Rumput yang biasa tumbuh di padang penggembalaan, biasanya sasendok atau uyah – uyahan (Plantago mayor), delingu (Dianella ensifolia sp), pakis (Asplenum nidus), asem – aseman (Baccaurea bracteata), gajihan (Stenochlaena paluris). Introduksi rumput unggul masih jarang ditemukan.

Susetyo (1980), mengemukakan bahwa kondisi optimum suatu padang penggembalaan yang baik adalah komposisi 60% rumput dan 40% leguminosa.

Ditambahkan Purbajanti (2013), rumput cocok sebagai tanaman padang

(5)

570

penggembalaan ternak atau rumput potong karena alasan: 1) reproduksi dari tunas dan batang mampu pulih dari pemotongan atau penggembalaan,2) jaringan baru yang dihasilkan selama pertumbuhan muncul di dasar daun mana yang paling mungkin akan rusak oleh padang pemotongan atau penggembalaan, 3) rumput mampu mempertahankan pertumbuhan vegetatifnya yang terputus oleh periode kekeringan atau dingin, 4) rumput mampu menyebar dengan rimpang atau stolons yang siap membentuk akar adventif dan mengcengkeram tanah dengan cepat, 5) sistem akar mengikat partikel tanah bersama – sama membentuk sebuah ‘tanah’ dan membawa nutrisi ke lapisan permukaan yang telah dicuci ke lapisan tanah oleh hujan deras.

Selain rumput di padang penggembalaan (ranch) juga terdapat gulma.

Gulma di ranch merupakan semua jenis tumbuhan yang merugikan produktivitas ternak. Gulma di padang penggembalaan merupakan tumbuhan yang tidak palatabel, berkayu dan atau beracun. Gulma yang ditemukan di padang penggembalaan di Kalimantan umumnya ki rinyuh (Chromolaena odorata ), alang – alang (Imperata cylindrica), putri malu (Mimosa sp.). Jika tidak ditangani dengan baik gulma akan mengakibatkan bila termakan oleh ternak akan mengakibatkan keracunan, menimbulkan persaingan dengan rumput di padang penggembalaan, serta dapat menimbulkan kebakaran pada musim kemarau.

Pengendalian gulma hampir tidak dilakukan. Gulma seharusnya dilakukan pengendalian seperti dibabat maupun disemprot dengan herbisida, maupun pengendalian biologis.

Kapasitas Tampung

Kapasitas tampung pada beberapa lokasi tidak mengalami masalah.

Karena lahan untuk penggembalaan ternak relatif luas. Disamping itu peternak biasanya memiliki lebih dari satu lokasi padang penggembalaan.

Penggembalaan dilakukan dengan sistem roling (grazing roling). Purbajanti (2013), menambahkan dan padang penggembalaan alam hanya 0,25 UT/ha (1 UT=sapi dengan bobot 300-350 kg).

Jumlah dan kebutuhan nutrisi pakan tergantung status fisiologis ternak.

Kuantitas bahan kering yang dimakan ternak tidak saja tergantung dari kualitas padang penggembalaan tetapi juga ukuran ternak. Reksohadiprodjo (1987), Rata –rata sapi pedaging, merenggut di pastura 9-10 jam, ternak muda memerlukan

(6)

571

protein lebih dibanding ternak dewasa untuk pertumbuhannya serta kebutuhan air minum 45 L / hari atau 16000 L/ tahun.

Pemberian air minum untuk ternak, untuk padang penggembalaan yang berada jauh dari sungai, dengan sumber air dari sumur pompa, relatif kurang.

Air minum diberikan jika peternak mendatangi lokasi. Ternak kekurangan air minum. Pada saat suhu meningkat, utamanya pada saat musim kering / kemarau, kebutuhan air minum meningkat. Dalam keadaan seperti ini ternak merenggut pakan pada malam hari. Kekurangan air minum dapat menurunkan konsumsi pakan. Musim kemarau akan mengakibatkan kekurangan air, produksi rumput akan menurun. Sebagian peternak memberikan pakan tambahan berupa rumput yang diaritkan. Pemberian pakan dimaksudkan agar ternak tercukupi kebutuhan agar tetap hidup dan kebutuhan pokoknya. Diharapkan bila pakan ruminansia tercukupi kebutuhan energinya maka kebutuhan protein, mineral, vitamin akan tercukupi pula.

Penyakit

Kejadian terjangkitnya penyakit di lapangan jarang ditemukan. Penyakit yang sering ditemukan adalah defisiensi mineral. Seperti dilaporkan Bambang (2011 ), bahwa sapi Katingan kekurangan mineral Zn. Untuk mengatasinya peternak memberikan mineral yang diberikan dengan cara dicampurkan dengan air minum. Jika tidak ada mineral peternak menggamtinya dengan garam.

Berbeda dengan (Braverman et al., 2003), ternak yang digembalakan lebih berpotensi terinfeksi dibandingkan dengan dikandangkan karena ternak yang dilindungi baik oleh kandang, pepohonan dan tempat tertutup lainnya, sehingga vektor tidak dapat melihat langsung indung semang untuk dihisap darahnya.

Penelitian lain menyebutkan, penyakit yang berhubungan dengan pernafasan merupakan masalah kesehatan utama ternak di daerah tropis (Oliveira et al., 2014). Sementara itu Hutchings et al., (1997), padang rumput dapat terkontaminasi dengan kotoran urin dan atau dahak dari luak, menjadi cara penularan penyakit.

Keamanan di Padang Penggembalaan

Masalah keamanan menjadi masalah yang serius di padang penggembalaan. Kasus pencurian ternak sudah marak terjadi. Di Tumbang lahang, Katingan, pencurian ternak mulai sering terjadi sejak akses jalan darat

(7)

572

dari Buntut Bali ke Tumbang Samba menjadi lancar. Lokasi padang penggembalaan yang terletak disepanjang jalan memudahkan akses bagi pencuri. Pada awalnya akses tranportasi warga menggunakan transpotasi air melewati sungai Kahayan. Pada saat itu ternak yang ada di padang penggembalaan relatif aman. Maraknya pencurian ternak selain menurunkan populasi ternak, bisa menjadi faktor yang menurunkan keinginan peternak untuk memelihara sapi. Hal ini karena khawatir jika ternaknya dicuri. Sementara itu pencurian ternak masih jarang ditemukan di Gunung Mas.

KESIMPULAN DAN SARAN

Pola pemeliharaan ternak dengan sistem padang penggembalaan secara ekstensif tradisional di Kalimantan khususnya di Katingan dan Gunung Mas menghadapi beberapa kendala : Rumput di lapangan dengan kandungan gizi rendah, kapasitas tampung utamanya hijauan dan air pada saat kekeringan, penyakit defisiensi mineral, serta masalah pencurian ternak.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Penanaman Modal dan Perizinan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah.

2013. Potensi Investasi di Kalimantan Tengah. Badan Penanaman Modal dan Perizinan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah.

BPS. 2014. Kalimantan Tengah Dalam Angka. Badan Pusat Statistik BPS. 2014. Katingan Dalam Angka. Badan Pusat Statistik

Oliveira C.A and D.D. Millen. 2014. Survey of The Nutritional Recommendations and Management Practices Adopted by Feedlot Cattle Nutritionists in Brazil. Animal Feed Science and Technology Vol. 197. Hal. 64 – 75.

Purbayanti E.D. 2013. Rumput dan Legum Sebagai Hijauan Makanan Ternak.

Edisi Pertama. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Reksohadiprodjo, S. 1987. Pakan Ternak Gembala. BPFE Yogyakarta.

Suratman. 2003. Pewilayahan Peternakan Mau Dibawa Kemana?. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal. 16

Susetyo S. 1980. Padang Penggembalaan. Direktorat Bina Sarana Usaha Peternakan Direktur Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian.

Bogor

(8)

573

Utomo, B.N., R.R. Noor, C. Sumantri, I. Supriatna, E.D. Gunardi dan B.

Tiesnamurti. 2012. Keragaman fenotipik kualitatif sapi Katingan.

JITV 17 (1): 1-12

Utomo. 2011. Keragaman fenotipik dan genetik, profil reproduksi serta strategi pelestarian dan pengembangan sapi katingan di Kalimantan Tengah. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor

Referensi

Dokumen terkait

Mekanisme pengelolaan dana dengan sitem muḍᾱrabah di AJB Bumiputera 1912 Syariah, pada dasarnya telah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah yang ada di dalam fatwa

patokan setara paket man"aat dan wraparo!nd man"aat bagi terdiri dari man"aat EPSDT !nt!k setiap anak di bawah !sia %& tercak!p dalam rencana negara# D1A $!ga

Gambut pada umumnya berada pada kawasan hilir dari suatu DAS, sehingga rehabilitasi hutan rawa gambut dengan konservasi vegetasinya khususnya jenis ramin dapat berfungsi sebagai

Faktor kepatuhan minum obat terdapat pengaruh antara pengobatan MDT (Multi Drug Therapy) pada penderita kusta tipe MB di Provinsi Sulawesi Selatan.Berdasarkan hasil

makhluk sosial, dan sebagai calon manusia seutuhnya. Hal tersebut dapat dicapai apabila dalam aktivitas belajar mengajar, guru senantiasa memanfaatkan teknologi

[r]

Seluruh bagian tumbuhan obat pada dasarnya memiliki khasiat obat, akan tetapi bagian tumbuhan obat yang banyak digunakan oleh Suku Dayak Iban Desa Tanjung Sari adalah

Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi masyarakat Desa Jaddih bermigrasi ke Papua adalah jumlah keluarga, status kepemilkan rumah, status pekerjaan dan