• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan 1. Dasar Perkawinan

Dalam kehidupan manusia di dunia ini yang berlainan jenis kelaminnya yakni pria dan wanita secara alamiah telah memiliki daya tarik-menarik antara satu dengan lainnya untuk dapat hidup bersama, atau dapat dikatakan untuk membentuk suatu ikatan lahir dan batin dengan tujuan menciptakan suatu keluarga atau rumah tangga yang rukun, bahagia, sejahtera dan abadi. 7

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dijelaskan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami dan isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.8

Kemudian disebutkan pula dalam Buku I Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam , bahwa perkawinan menurut Islam adalah pernikahan, yakni akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. 9

7 Djoko Pra koso, S.H da n I Ketut Murtika , SH, Aza s-a za s Hukum Perka wina n di Indonesia , Ja ka rta : PT Bina Aksa ra , 1987. Ha l 1.

8 Liha t Pa sa l 1 Unda ng-Unda ng Nomor 1 Ta hun 1974 Tenta ng Perka wina n

9 Liha t Pa sa l 2 Buku 1 Tenta ng Hukum Perka wina n, Kompila si Hukum Isla m

(2)

Hal ini dapat diartikan bahwa perkawinan memiliki kaitan erat dengan agama atau kerohanian, sehingga sebuah perkawinan tak hanya memiliki unsur lahir atau jasmani saja, melainkan juga memiliki unsur batin atau rohani yang juga sangat penting perannya. 10

Menurut Hukum Islam Perkawinan merupakan suatu perjanjian yang dilakukan antara mempelai pria dan wali mempelai wanita, yang mana perjanjian ini terjadi melalui prosesi ijab yang dilalukan oleh wali bakal isteri dan diikuti oleh kabul dari bakal suami yang disaksikan sekurang-kurangnya dua orang saksi. 11

Sehingga sangat penting bagi para pihak yang bersangkutan serta masyarakat untuk mengetahui mulai kapan dapat dan harus dikatakan bahwa suatu perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum yang melekat segala akibat hukum bersamanya. Suatu perkawinan dapat dikatakan sah sebagai sebuah perbuatan hukum yang menimbulkan akibat hukum apabila dalam pelaksanaannya telah memenuhi unsur- unsur sebagaimana telah dicantumkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan, yakni sebuah perkawinan dianggap telah sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya masing-masing, serta guna menjamin kepastian hukum maka harus dicatatkan tiap-tiap perkawinan tersebut sesuai dengan kententuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

10 Koma ria h, SH, M.Si, Hukum Perda ta , Ma la ng: UMM Press, 2010. Ha l. 32.

11 Ibid, Ha l 34

(3)

Dalam Undang-Undang Perkawinan terkandung asas-asas dan prinsip-prinsip perkawinan serta segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yakni sebagai berikut :

a. Tujuan perkawinan sebagaimana yang terkandung pada Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan yakni membentuk keluarga bahagia dan kekal;

b. Perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan berdasarkan hukum agama dan kepercayaan masing-masing;

c. Tiap-tiap perkawinan harus dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku

d. Pada asasnya perkawinan seorang suami hanya boleh memiliki satu isteri, serta seorang isteri hanya boleh memiliki satu suami.

Oleh karenanya perkawinan dalam undang-undang ini berasas monogami terbuka;

e. Calon suami dan calon isteri harus sudah memiliki kemasakan jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan;

f. Batas usia yang diperbolehkan untuk melangsungkan perkawinan adalah 19 tahun untuk pria dan wanita;

g. Perceraian dipersulit dan harus dilakukan dimuka persidangan.

Hal ini dikarenakan bahwa tujuan perkawinan pada dasarnya adalah untuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera;

(4)

h. Suami dan isteri memiliki kedudukan hak dan kewajiban yang seimbang. 12

Asas monogami dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ini tidak mutlak. Hal ini d ituagkann dalam Pasal 3 ayat (2) yakni yang berbunyi Pengdilan dapat memberikan ijin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari satu apabila telah mendapatkan ijin dari pihak-pihak yang bersangkutan. Kemudian didukung dalam Pasal 4 yang menjelaskan bahwa dalam hal suami ingin memiliki isteri lebih dari satu maka harus mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya, dengan alasan-alasan yang diperbolehkan oleh Pengadilan, yakni :

a. Isteri tidak dapat mejalankan kewaibannya sebagai isteri;

b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan. 13

Selain harus memenhi alasan-alasan sebagaimana diatas, seorang suami yang ingin beristeri lebih dari satu juga harus melengkapai persyaratan-persyaratan yang telah diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Perkawinan, yakni :

a. Adanya persetujuan dari isteri atau isteri-isteri;

12 Prof. H. Hilma n Ha dikususma, SH, Hukum Perka wina n Indonesia , Ba ndung: Ma ndar Ma ju, 1990. Ha l 6.

13 Liha t Pa sa l 3 da n Pa sa l 4 Unda ng-Unda ng Perka wina n.

(5)

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan- keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri- isteri dan anak-anak mereka. 14

Tujuan dari ketentuan-ketentuan yang telah disebutkan diatas adalah untuk mempersulit poligami. Hal ini dikarenakan dalam pandangan masyarakat, keluarga yang ideal adalah keluarga yang monogami. 15

2. Syarat-syarat Perkawinan

Suatu perkawinan dapat dilaksanakan apabila telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang telah ditentukan, yakni syarat-syarat materiil dan syarat-syarat formil. Syarat-syarat materiil adalah syarat- syarat yang berkitan dengan orang-orang yang akan melaksanakan perkawinan, terutama terkait persetujuan, ijin, serta kewenangan untuk memberi ijin. Sedangkan syarat-syarat formil merupakan syarat-syarat formalitas yang berkenaan dengan upacara perkawinan. 16

Syarat-syarat perkawinan telah diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 Undang-Undang Perkawinan, yang mana dibedakan menjadi syarat materiil mutlak dan syarat materil relative. Syarat-syarat materiil mutlak ini meliputi :

14 Liha t Pa sa l 5 Unda ng-Unda ng Perka wina n.

15 Koma ria h, Hukum Perda ta ,. Op.cit., Ha l. 36.

16 Ibid, ha l. 37

(6)

a. Batasan usia untuk dapat melaksanakan perkawinan adalah 19 tahun untuk pria dan wanita.17 Dalam hal terdapat penyimpangan dalam batasan usia perkawinan dapat dimintakan dispensasi kawin pada Pengadilan.

b. Perkawinan yang dilakukan harus atas dasar persetujuan antara kedua mempelai.18

c. Untuk calon mempelai yang belum berusia 21 tahun harus mendapatkan ijin dari kedua orang tua untuk dapat melangsungkan perkawinan. 19

Dalam hal salah satu atau kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan yang tidak mampu untuk menyampaikan kehendakanya, maka ijin sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dapat diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau orang tua yang mampu menyampaikan kehendakknya, serta apabila kedua orang tua telah meninggal dunia maka ijin dapat diperoleh dari wali atau keluarga yang memiliki hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas. 20

17 Liha t Pa sa l 7 a ya t (1) Unda ng-Unda ng Nomor 16 Ta hun 2019 Tenta ng Peruba ha n Ata s Unda ng-Unda ng Nomor 1 Ta hun 1974 Tenta ng Perka wina n.

18 Liha t Pa sa l 6 a ya t (1) Unda ng-Unda ng Nomor 1 Ta hun 1974 Tenta ng Perka wina n.

19 Liha t Pa sa l 6 a ya t (2) Unda ng-Unda ng Perka wina n

20 Koma ria h, Hukum Perda ta ., op. cit., Ha l 38.

(7)

Selanjutnya syarat materiil relative merupakan syarat yang melarang perkawinan seseorang dengan seseroang tertentu, yang diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Larangan melaksanakan perkawinan antara orang-orang yang memiliki hubungan darah atau hubungan kekeluargaan dikarenakan perkawinan sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 8 Undang-Undang Perkawinan, yaitu :

a. Memiliki hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah;

b. Memiliki hubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang saudara dan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;

c. Memiliki hubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu, dan ibu atau bapak tiri;

d. Memiliki hubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibi atau paman susuan;

e. Memiliki hubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal suami ingin beristerti lebih dari satu;

f. Memiliki hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.21

21 Liha t Pa sa l 8 Unda ng-Unda ng Perka wina n

(8)

2. Seseorang yang masih memiliki tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali telah mendapatkan ijin dari Pengadilan serta memenuhi alasan-alasan dan syarat-syarat sebagaimana yang telah ditentukan dalam peraturan yang berlaku.22

3. Apabila suami dan isteri telah cerai kawin lagi satu dengan sama lain kemudian bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantaranya tidak boleh melakukan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. 23

4. Dilarang seorang wanita untuk melaksanakan perkawinan lagi sebelum habis masa tunggunya. 24

Selanjutnya adalah syarat-syarat formil yang juga harus dipenuhi sebelum melaksanakan perkawinan, diantanya sebagai berikut :

1. Pemberitahuan tentang akan dilangsungkannya perkawinan oleh calon mempelai baik secara lisan maupun tertulis kepada Pejabat Pencatat ditempat perkawinan akan dilangsungkan, dilakukan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari sebelum perkawinan dilaksanakan. 25

22 Liha t Pa sa l 9 Unda ng-Unda ng Perka wina n.

23 Liha t Pa sa l 10 Unda ng-Unda ng Perka wina n

24 Liha t Pa sa l 11 Unda ng-Unda ng Perka wina n

25 Liha t Pa sa l 3 da n Pa sa l 4 Pera tura n Pemerinta h Nomor 9 Ta hun 1975 Tenta ng Pera tura n Pela ksa na Unda ng-Unda ng Nomor 1 Ta hun 1974 Tenta ng Perka wina n.

(9)

2. Pengumuman oleh Pegawai Pencatat dengen menempelkannya pada tempat yang telah disediakan di Kantor Pencatat Perkawinan. Hal ini bertujan untuk memberikan kesempatan kepada orang-orang yang memiliki pertalian dengan calon suami atau isteri atau pihak-pihak lain yang memiliki kepentingan untuk menentang perkawinan tersebut. 26

Ketentuan-ketentuan lainnya terkait persyaratan perkawinan juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, yakni rukun perkawinan yang juga harus dipenuhi diatur dalam Pasal 14 yang menyatakan bahwa untuk dapat melaksanakan perkawinan harus ada :

1. Calon suami;

2. Calon isteri;

3. Wali nikah;

4. Dua orang saksi;

5. Ijab dan Kabul. 27

Kompilasi Hukum Islam juga menentukan batasan usia yang diperbolehkan dalam melaksanakan perkawinan, yakni disebutkan dalam Pasal 15 bahwa batasan usia yang diperbolehkan untuk melakukan perkawinan adalah 19 tahun untuk calon suami dan 16 tahun untuk calon isteri, serta bagi mempelai yang belum genap berusia 21 tahun harus mendapatkan ijin kawin terlebih dahulu dari kedua orang

26 Koma ria h, Hukum Perda ta ., op.cit., Ha l. 40.

27 Liha t Pa sa l 14 Buku I Tenta ng Hukum Perka wina n, Kompila si Hukum Isla m

(10)

tuanya, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan.28

Didalam agama Islam, apabila sebuah perkawinan tidak dilaksankan oleh wali maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah. Wali nikah dalam perkawinan sebagaimana disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam adalah rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindang untuk menikahkannya. Dalam hal ini yang bertindak sebagai wali adalah seorang pria yang memenhi syarat hukum Islam, yakni muslim, aqil dan baligh. Wali nikah dibagi menjadi dua yakni wali nasab dan wali hakim. 29

Wali nasab ini terdari 4 (empat) kelompok yakni :

1. Kelompok pertama yang terdiri dari kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya;

2. Kelompok kedua yang terdiri dari kerabat saudara kandung laki- laki atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka;

3. Kelompok ketiga yang terdiri dari kerabat paman, yakni saudara kandung laki-laki ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka;

28 Liha t Pa sa l 15 Buku I Tenta ng Hukum Perka wina n, Kompila si Hukum Isla m.

29 Liha t Pa sa l 19 da n Pa sa l 20 Buku I Tenta ng Hukum Perka wina n, Kompila si Hukum Isla m.

(11)

4. Kelompok keempat yang terdari saudara kandung laki-laki kakek, saudara laki-laki suayah dan keturunan laki-laki mereka.

Dari kelompok-kelompok ini, didahulukan kelompok yang pertama dan kelompok yang lain sesuai dengan keeratan susunan kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.30

Selanjutnya wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali untuk menikahkan calon mempelai wanita setelah adanya putusan Pengadilan Agama tentang perwalian, ketika wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya.31

Dalam pelaksanaan perkawinan juga harus dihadiri dan disaksikan oleh dua orang saksi. Hal ini telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam yang menjelaskan bahwa seseorang yang dapat ditunjuk sebagai saksi adalah seorang laki-laki muslim, adil, aqil dan baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau tuli. Saksi juga harus hadir serta menyaksikan secara langsung proses akad nikah serta menandatangani akta nikah pada waktu perkawinan dilangsungkan.32

3. Tata Cara Perkawinan

Sebelum sebuah perkawinan dilaksanakan, maka haruslah diberitahukan terlebih dahulu kepada Pejabat Pencatat di daerah tempat

30 Liha t Pa sa l 21 Buku I Tenta ng Hukum Perka wina n, Kompila si Hukum Isla m.

31 Liha t Pa sa l 23 Buku I Tenta ng Hukum Perka wina n, Kompila si Hukum Isla m.

32 Liha t Pa sa l 24 sa mpa i denga n Pa sa l 26 Buku I Tenta ng Hukum Perka wina n, Kompila si Hukum Isla m.

(12)

dilangsungkannya perkawinan, yang mana pemberitahuan ini dapat disampaikan baik secara lisan maupun tertulis. 33 Pemberitahuan ini memuat data pribadi yang meliputi nama, umur, agama atau kepercayaan, pekerjaan, tempat tinggal calon mempelai, dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin maka disebutkan pula nama isteri atau suami pada perkawinan terdahulu.34

Selanjutnya disebutkan dalam Undang-Undang Perkawinan bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dicatatkan sebagaimana ketentuan peratutan perundang-undangan yang berlaku. Bagi pasangan pengantin yang beragama Islam, pencatatan perkawinan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah yang telah diangkat oleh Menteri Agama.35

Kemudian bagi mereka yang melaksanakan perkawinan selain dengan agama Islam dapat mencatatkan perkawinannya kepada Pegawai Pencatat Perkawinan di Kantor Catatan Sipil sebagimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.36

Setelah dipenuhi syarat-syarat pemberitahuan perkawinan, maka perkawinan dapat dilaksanakan pada hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat menurut agama dan

33 Liha t Pa sa l 3 da n Pa sa l 4 Pera tura n Pemerinta h Nomor 9 Ta hun 1975 Tenta ng Pera tura n Pela ksa na Unda ng-Unda ng Nomor 1 Ta hun 1974 Tenta ng Perka wina n.

34 Liha t Pa sa l 5 Pera tura n Pemerinta h Nomor 9 Ta hun 1975 Tenta ng Pera tura n Pela ksa na Undang- Unda ng Nomor 1 Ta hun 1974 Tenta ng Perka wina n.

35 Liha t Pa sa l 2 a ya t (1) Pera tura n Pemerinta h Nomor 9 Ta hun 1975 Tenta ng Pera tura n Pela ksa na Unda ng-Unda ng Nomor 1 Ta hun 1974 Tenta ng Perka wina n.

36 Liha t Pa sa l 2 a ya t (2) Pera tura n Pemerinta h Nomor 9 Ta hun 1975 Tenta ng Pera tura n Pela ksa na Unda ng-Unda ng Nomor 1 Ta hun 1974 Tenta ng Perka wina n.

(13)

kepercayaan masing-masing, yang kemudian pelaksanaannya dilakukan dihadapan Pegawai Pencatat serta dihadiri oleh dua orang saksi.37 4. Putusnya Perkawinan

Diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, bahwa perkawinan dapat putus dikarenakan :

a. Kematian;

b. Perceraian;

c. Atas putusan pengadilan.38

Perkawinan yang telah putus dikarenakan kematian menimbulkan hak mewaris terhadap harta peninggalan kepada pihak yang ditinggalkan.

Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang persidangan setelah sebelumnya Pengadilan yang bersangkutan telah berusaha dan tidak berhasil mendamaikan keduanya.39 Hal ini dimaksudkan bahwa tujuan awal perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka proses perceraian dipersulit.

Perceraian dapat terjadi dikarenakan alasan-alasan sebagai berikut :

37 Liha t Pa sa l 10 Pera tura n Pemerinta h Nomor 9 Ta hun 1975 Tenta ng Pera tura n Pela ksa na Unda ng-Unda ng Nomor 1 Ta hun 1974 Tenta ng Perka wina n.

38 Liha t Pa sa l 38 Unda ng-Unda ng Perka wina n.

39 Liha t Pa sa l 38 a ya t (1) Unda ng-Unda ng Perka wina n.

(14)

a. Salah satu pihak telah berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan;

b. Salah satu pihak telah meinggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa ijin dari pihak lain serta tanpa alasan yang sah atau dikarenakan hal lain diluar kemampuannya;

c. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara selama 5 s(lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d. Salah satu pihak telah melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;

e. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;

f. Antara suami dan isteri terjadi pertengkaran dan perselisihan secara terus-menerus serta tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.40

Putusnya perkawinan karena perceraian menimbulkan akibat hukum sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan, yakni diantaranya :

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memlihara serta mendidik anak-anaknya, semata-mata dikarenakan kepentingan

40 Liha t Pa sa l 18 Pera tura n Pemerinta h Nomor 9 Ta hun 1975 Tenta ng Pera tura n Pela ksa na Unda ng-Unda ng Nomor 1 Ta hun 1974 Tenta ng Perka wina n.

(15)

anak, bilamana terjadi perselisihan terkait pengasuhan anak, Pengadilan akan memberikan keputusannya;

b. Bapak bertanggungjawab atas semua pembiayaan pemeliharaan dan Pendidikan yang diperlukan anak tersebut, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memnuhi kewajibannya, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri.41

Perceraian merupakan salah satu putusnya perkawinan dikarenakan keputusan pengadilan, namun tak hanya perceraian saja termasuk juga didalamnya adalah pembatalan perkawinan. Hal ini dikarenakan pembatalan perkawinan hanya dapat diputus oleh Pengadilan42

Pembatalan perkawinan adalah tindakan pengadilan yakni berupa keputusan yang menyatakan perkara perkawinan yang telah dilakukan tersebut tidak sah ( no legal force or declared void), dan sesuatu yang telah dinyatakan no legal force, maka keadaan tersebut dianggap tidak pernah ada ( never exizted). Dengan dapat disimpulkan bahwa :43

a. Perkawinan dianggap tidak sah ( no legal force)

b. Maka dengan itu dianggap tidak pernah ada ( never exizted)

41 Liha t Pa sa l 41 Unda ng-Unda ng Perka wina n.

42 Liha t Pa sa l 33 PP Nomor 9 Ta hun 1975 Tenta ng Pela ksa na an Unda ng-Unda ng Nomor 1 Ta hun 1974 Tenta ng Perka wina n.

43 Ya hya Ha ra hap, Hukum Perka wina n Na siona l, (Meda n :Za hir Tra ding, 1975), ha l 71

(16)

c. Oleh karenanya, perkawinan antara calon suami dan calon isteri yang telah dibatalkan, dianggap tidak pernah terjadi perkawinan antara calon suami dan calon isteri.

Para ahli hukum berpendapat bahwa sebuah perkawinan hanya dapat dinayatakan vernietigbaar atau dapat dibatalakan, yang artinya bahwa sebuah perkawinan hanya dapat dibatalkan oleh keputusan hakim atas dasar-dasar yang telah diajukan oleh penuntut yang ditunjuk oleh undang-undang. Maka perkawinan tidak dapat dinyatakan neitigbaar atau batal demi hukum, karena hal ini tidak dapat menjamin kepastian hukum. Serta perkawinan hanya dapat dibatalkan apabila perkawinan tersebut sudah dilaksanakan.44

B. Tinjauan Umum Tentang Pembatalan Perkawinan

1. Pembatalan Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Suatu perkawinan yang dilaksanakan dengan tidak memenuhi ketentuan-ketentuan sebagaimana yang telah diatur dalam Undang- Undang Perkawinan dapat dibatalkan Pembatalan perkawinan hanya dapat dilakukan ketika perkawinan tersebut sudah berlangsung.

Perkawinan dapat dibatalkan dengan alasan-alasan seperti berikut : a. Perkawinan yang dilakukan dengan para pihak yakni suami atau

isteri tidak memenuhi syarat materiil dan syarat formil

44 Koma ria h, Hukum Perda ta ., op. cit., Ha l. 42.

(17)

sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;

b. Perkawinan yang diajukan kepada Pegawai Pencatat yang tidak berwenang;

c. Perkawinan dilaksanakan oleh wali nikah yang tidak sah.

d. Perkawinan yang dilaksanakan dengan tanpa diahdiri oleh 2 orang saksi. Kemudian dijelaskan dalam Pasal 26 Undang- Undang Perkawinan bahwa hak untuk dapat mengajukan pembatalan perkawinan dengan alasan nomor a, b, c menjadi gugur apabila keduanya telah hidup bersama sebagai suami dan isteri serta dapat menunjukan akta perkawinan yang telah dibuat oleh Pegawai Pencatat yang tidak berwenang, namun akta perkawinan harus diperbaharui agar perkawinan menjadi sah;45 e. Perkawinan dilaksankan dengan adanya ancaman yang

melanggar hukum;

f. Terjadi salah sangka antara suami dan isteri ketika dilangsungkannya perkawinan.46

Mengenai ancaman dan salah sangka dalam perkawinan ini telah diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Perkawinan yang mana bahwa apabila ancaman telah berhenti atau baru menyadari bahwa

45 Liha t Pa sa l 26 Unda ng-Unda ng Perka wina n.

46 Koma ria h, Hukum Perda ta ., op. cit., Ha l. 43.

(18)

terjadi salah sangka dalam perkawinan tersebut setelah jangka waktu 6 bulan dan tetap hidup bersama sebagai suami dan isteri serta tidak menggunakan haknya mengajukan pembatalan perkawinan, maka haknya untuk mengajukan pembatalan perkawinan menjadi gugur.47 Pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan dalam wilayah hukum tempat dimana perkawinan telah dilangsungkan, atau di tempat kediaman kedua suami isteri, suami atau isteri. Hal ini sebagaimana telah diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Perkawinan.48

Kemudian pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan sebagaimana yang telah tercantum dalam Pasal 23 Undang-Undang Perkawinan adalah sebagai berikut :

a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari sauami atau isteri;

b. Suami atau isteri;

c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan serta yang ditunjuk oleh undang-undang;

d. Setiap orang yang memiliki kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.49

47 Liha t Pa sa l 27 a ya t (3) Unda ng-Unda ng Perka wina n.

48 Liha t Pa sa l 25 Unda ng-Unda ng Perka wina n.

49 Liha t Pa sa l 23 Unda ng-Unda ng Perka wina n.

(19)

2. Pembatalan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam

Tak hanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan saja yang mengatur terkait pembataln perkwinan, tetapi juga ada Kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang pembatalan perkawinan bagi yang menganut agama Islam.

Berdasarkan ketentuan Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam, suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila :

a. Seorang suami telah melakukan poligami tanpa adanya ijin dari Pengadilan Agama;

b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian masih terikat tali perkawinan dengan laki-laki lain yang mafqud;

c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam massa iddha;

d. Perkawinan yang dilakukan dengan melanggar batas usia kawin sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 1 Tentang Perkawinan;

e. Perkawinan yang dilaksanakan dengan tanpa wali atau wali yang tidak berhak;

f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan adanya paksaan.50

Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan kepada Pengadilan Agama dimana perkawinan

50 Liha t Pa sa l 71 Buku I Tenta ng Hukum Perka wina n, Kompila si Hukum Isla m

(20)

telah dilangsungkan atau di wilayah tempat tinggal suami atau isteri.51 Permohonan pembatalan dapat diajukan apabila :

a. Dalam pelaksanaan perkawinan terdapat ancaman yang melanggar hukum;

b. Apabila pada saat berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri;

c. Apabila ancaman telah berhenti atau salah sangka tersebut disadari setelah jangka waktu 6 bulan dan masih menjalani hidup sebagai suami dan isteri serta tidak dapat menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan, maka haknya menjadi gugur.52

Para pihak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai berikut :

a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah dari pihak suami atau isteri;

b. Suami atau isteri;

c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang;

51 Liha t Pa sa l 74 a ya t (1) Buku I Tenta ng Hukum Perka wina n, Kompila si Hukum Isla m

52 Liha t Pa sa l 72 Buku I Tenta ng Hukum Perka wina n, Kompila si Hukum Isla m.

(21)

d. Para pihak yang berkepentingan serta mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.53

3. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan

Berdasarkan ketentuan sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan, dalam Pasal 28 menyebutkan bahwa batalnya suatu perkawinan dimulai sejak adanya putusan Pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap serta berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.54

Keputusan Pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap tidak berlaku surut terhadap beberapa hal sebagai berikut :

a. Anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut;

b. Suami atau isteri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama, apabila pembatalan perkawinan didasarkan pada adanya perkawinan lain yang lebih dulu;

c. Orang-orang ketiga yang tidak termasuk dalam ketentuan a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.55

53 Liha t Pa sa l 73 Buku I Tenta ng Hukum Perka wina n, Kompila si Hukum Isla m.

54 Liha t Pa sa l 28 a ya t (1) Unda ng-Unda ng Perka wina n.

55 Liha t Pa sa l 28 a ya t (2) Unda ng-Unda ng Perka wina n.

(22)

Akibat hukum pembatalan perkawinan juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 75 yang menyebutkan bahwa keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap :

a. Perkawinan yang batal dikarenakan salah satu dari suami atau isteri murtad;

b. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;

c. Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beritikad baik, sebelum adanya keputusan pembatalan perkawinan yang memiliki kekuatan hukum tetap.56

Akibat hukum yang ditimbulkan dari adanya keputusan pembatalan perkawinan dan percerian memiliki banyak kesamaan. Hal ini dikarenakan keduanya merupakan putusnya perkawinan yang dikarenakan oleh putusan pengadilan. Akibat putusnya perkawinan ini memperngaruhi beberapa aspek yakni hubungan suami dan isteri, kedudukan anak, serta terhadap harta bersama.

Pertama, terkait dengan hubungan suami dan isteri. Adanya

keputusan pembatalan perkawinan mengakibatkan putusnya hubungan perkawinan serta perkawinan yang telah dilaksankan sebelumnya menjadi tidak sah atau dianggap tidak pernah terjadi perkawinan.

Kedua, kedudukan anak dalam perkawinan yang telah dibatalkan.

Dalam hukum positif saat ini anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang

56 Liha t Pa sa l 75 Buku I Tenta ng Hukum Perka wina n, Kompila si Hukum Isla m.

(23)

tidak sah atau lahir diluar kawin tetap memiliki hubungan hukum dengan orang tuanya sepanjang diakui keberadaanya. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Pasal 28 Undang-Undang Perkawinan bahwa adanya keputusan pembatalan perkawinan tidak menghilangkan hubungan hukum antara anak dengan kedua orang tuanya. Sehingga anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang telah dibatalkan tetap bisa menjadi ahli waris dan kedua orang tua tetap berkewajiban untuk mengurus serta mendidik anak tersebut.

Ketiga, terhadap harta bersama dalam perkawinan yang telah

dibatalkan. Harta bersama yang telah dihasilkan dalam sebuah perkawinan yang dibatalkan didasarkan pada kentuan Pasal 28 ayat (2) huruf b yang menyatakan bahwa dengan suami atau isteri yang bertindak dengan itikad baik kecuali terhadap harta bersama, apabila pembatalan perkawinan dikarenakan adanya perkawinan lainnya yang lebih dahulu. Dalam pembagian harta bersama pada perkawinan yang dibatalkan sama dengan pembagian harta bersama dengan putusnya perkawinan dikarenakan perceraian sebagaimana telah diatur dalam Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan. Namun dalam Kompilasi Hukum Islam pembagian harta bersama terhadap perkawinan yang dibatalkan akan dibagi menjadi 2 (dua) secara seimbang.57

57 Ta mi Rusli, “Pemba ta lan Perka wina n Berda sarkan Unda ng-Unda ng Nomor 1 Ta hun 1974 Tenta ng Perka wina n”, Jurna l Pra na ta Hukum, Dosen Fa kulta s Hukum Universita s Ba nda r La mpung, Vol. 8, No. 2 Juli 2013. Hlm. 163-166.

(24)

C. Tinjauan Umum Tentang Dasar dan Pertimbangan Hakim Dalam Putusan

Pengadilan merupakan lembaga yudikatif yang memiliki fungsi dan peran strategis dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa yang terjadi antara anggota masyarakat maupun antara masyarakat dengan lembaga, baik lembaga pemerintah maupun non-pemerintah.58 Proses penyelesaian sengketa yang terjadi di Pengadilan pada akhrinya akan menghasilkan putusan sebagai bentuk jawaban akhir dan hasil dari proses peradilan yang telah dilakukan.

Dalam sebuah putusan termuat pertimbangan-pertimbangan hukum yang telah dibuat oleh Hakim sebagai gambaran dan representasi dari Pengadilan. Artinya semakin bagus sebuah putusan, dalam hal ini semakin baik dan komperhensif pertimbangan hukumnya, maka semakin berwibawa pengadilan tersebut.

Putusan sebagai produk dari pengadilan yang lahir dari proses kecermatan dan kehati-hatian dari hakim, yang mana selalu dintuntut untuk dapat mendayagunakan segenap potensi yang dimilikinya untuk meng- konstatir (menemukan fakta-fakta hukum), meng-kualifisir (menemukan

dan mengklasifikasikan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok perkara) dan meng-konsituir (menetapkan hukum dari perkara tersebut).

58 M. Na tsir Asna wi, 2014, Hermeneutika Putusan Hakim. Yogya ka rta : UII Press. Ha l. 3.

(25)

Putusan hakim haruslah memuat pertimbangan hukum yang cukup dan relevan sebagai dasar kesimpulan dan ketetapan hakim (ground of t he judgement), agar putusan yang telah dihasilkan tidak dianggap onvoldeonde gemotiveerd atau kurang pertimbangan hukum yang menyebabkan putusan

dapat dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi. Pertimbangan hukum yang kurang juga dapat menyebabkan hakim keliru dalam memutus atau memberikan kesimpulan akhir sehingga tidak dapat memenuhi dan mencerminkan keadilan bagi para pencari keadilan maupun masyarakat pada umumnya.59

Dalam memutuskan suatu perkara seorang hakim sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa setiap putusan yang dijatuhkan hakim haruslah memuat alasan dan dasar putusan, serta juga memuat pasal tertentu dalam perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.60

Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 178 ayat (1) HIR atau Pasal 189 ayat (1) R.Bg. yang menyatakan bahwa hakim dikarenakan jabatannya ketika bermusyawarah wajib mencantumkan segala alasan hukum yang tidak dapat ditemukan oleh para pihak yang bersangkutan.61

Pasal diatas menegaskan bahwa hakim dalam memberikan pertimbangan hukum harus juga mempertimbangkan seluruh alat-alat bukti

59 Ibid,. Ha l. 4-5.

60 Liha t Pa sa l 50 Unda ng-Unda ng Nomor 48 Ta hun 2009 Tenta ng Kekua sa an Keha kiman.

61 Liha t Pa sa l 179 a ya t (1) HIR, da n Pa sa l 189 a ya t (1) R.Bg.

(26)

yang diajukan oleh para pihak, fakta-fakta hukum yang terungkap, dan seluruh bagian dalil gugatan penggugat. Tak hanya fakta-fakta hukum berdasarkan prespektif yuridis saja, tetapi hakim juga perlu mempertimbangkan dari prespektif filosofis, sosiologis, dan psikologis. 62

Hal ini dikarenakan pertimbangan hukum adalah jantung pada setiap putusan hakim. Selain memuat dasar alasan atau pertimbangan yang logis ranional, pertimbangan hukum juga memuat penafsiran konstruksi hukum dari majelis hakim pada sengketa yang sedang diadilinya. Sehingga dalam penyusunannya, pertimbangan hukum perlu disusun secara sistematis dan komperhensif.63

Hakim dalam mengambil keputusan atas suatu perkara atau sengketa harus berpacu dan berdasar pada fakta-fakta yang muncul saat persidangan bersamaan dengan alat bukti yang diajukan oleh para pihak, serta pada sumber-sumber hukum formil yang berkaitan dengan pokok perkara atau sengketa, yakni diantaranya adalah undang-undang, yurisprudensi, traktat dan doktrin.

Apabila hakim mengalami kendala dalam memutus suatu perkara padahal sudah berdasar dan berpacu pada fakta-fakta yang ada dan hukum, maka hakim dapat melakukan penemuan hukum dengan harapan dapat memenuhi tuntutan hukum dan masyarakat. Salah satu metode penemuan hukum yang dapat dilakukan oleh hakim adalah penafsiran hukum dan

62 M. Na tsir Asna wi, op.cit., Ha l. 44-45.

63 Ibid., Ha l. 86.

(27)

penghalusan hukum. Penafsiran hukum merupakan metode penemuan hukum yang dapat dilakukan oleh hakim apabila suatu peraturan yang berkaitan dengan pokok perkara tidak jelas, atau hakim harus mengadili suatu perkara yang sebelummya belum diatur dalam undang-undang atau kekosongan hukum.64

Sedangkan penghalusan hukum adalah metode penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim dengan cara mengkonkretkan aturan hukum yang masih bersifat umum keadalam peristiwa atau fakta hukum in concreto, yang kemudian dibuat semacam pengecualian-pengecualian dari peraturan yang bersifat umum, dan kemudian diterapkan kedalam peristiwa atau fakta hukum yang bersifat khusus.65

Penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim memiliki kaitan yang erat dengan asas ius curia novit, yang artinya hakim dianggap paling mengetahui hukum, sehingga dengan adanya asas ini hakim dilarang untuk menolak perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih belum atau tidak ada hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.66

64 Arif Hida ya t. 2013. Penemua n Hukum Mela lui Pena fsira n Ha kim Da la m Putusa n Penga dila n.

Jurna l Penelitia n Ilmu Hukum Pa ndecta , Fa kultas Hukum Universita s Sema ra ng Volume 8.

Nomor 2 Juli 2013.

65 M. Na tsir Asna wi, op.cit., Ha l. 24

66 Ibid, Ha l. 16-17.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis data yang telah dilakukan diperoleh nilai Zhitung (Zh) sebesar 2,24 (nilai (-) tidak termasuk karena harga mutlak) yang berarti lebih besar dari nilai Ztabel (Zt)

Hasil pada Tabel 6 menunjukkan bahwa adanya interaksi antara perlakuan jarak tanam dan waktu penyiangan gulma, Pada pengamatan 42,49,56 dan 63 hari setelah

Berdasarkan hasil uji korelasi, didapatkan hasil bahwa terdapat korelasi yang signifikan dan kuat antara bilangan iod dan energi aktivasi, sedangkan untuk kadar air dan

Menimbang dari permasalahan itu semua, penulis ingin menganalisis hasil kedua hukum istinbat} yang sesuai dengan kompetensi penulis yakni, sesuai metode Istinbat} hukum fatwa

Tujuan dari penelitian ini adalah Menggambarkan asuhan keperawatan dengan pemberian pendidikan kesehatan tentang pemberian makan yang baik pada bayi untuk

Memandangkan kajian dalam negeri menggambarkan wujudnya anziati dan kemurungan dalam kalangan ibu bapa namun demikian ianya tidak melibatkan berkaitan anak-anak yang

Karakteristik substrat maupun sedimennya pada Kawasan Pantai Ujong Pancu sendiri memiliki karateristik sedimen yang didominasi oleh pasir halus dimana pada

Pada variabel kualitas informasi diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,160 dimana signifikansi yang diperoleh dari t-uji lebih besar dari nilai signifikansi yang di tentukan