• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI IN VIVO PEMAKAIAN CANGKANG KAPSUL ALGINAT SEBAGAI SEDIAAN FLOATING RANITIDIN SKRIPSI OLEH: ANNA MARIA MANULLANG NIM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "EVALUASI IN VIVO PEMAKAIAN CANGKANG KAPSUL ALGINAT SEBAGAI SEDIAAN FLOATING RANITIDIN SKRIPSI OLEH: ANNA MARIA MANULLANG NIM"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI IN VIVO PEMAKAIAN CANGKANG KAPSUL ALGINAT SEBAGAI SEDIAAN FLOATING RANITIDIN

SKRIPSI

OLEH:

ANNA MARIA MANULLANG NIM 141501184

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)

EVALUASI IN VIVO PEMAKAIAN CANGKANG KAPSUL ALGINAT SEBAGAI SEDIAAN FLOATING RANITIDIN

SKRIPSI

Diajukanuntukmelengkapi salah satusyaratuntukmemperoleh gelarSarjanaFarmasi pada FakultasFarmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

ANNA MARIA MANULLANG NIM 141501184

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena limpahan berkah rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul Evaluasi In Vivo Pemakaian Cangkang Kapsul Alginat sebagai Sediaan Floating Ranitidin. Skripsi ini diajukan untuk

melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Natrium alginat telah banyak dimanfaatkan dan diteliti salah satunya dalam pengembangan formulasi pelepasan terkontrol karena sifatnya yang biodegradabel dan biokompatibel. Bentuk sediaan kapsul alginat yang berisi ranitidin HCl telah diuji secara in vitro mempunyai pelepasan berkelanjutan (sustained release). Tujuan penelitian ini adalah membandingkan efek anti ulkus secara in vivo sediaan floating ranitidin HCl yang dibuat dari cangkang kapsul alginat dengan suspensi ranitidin HCl dan membandingkan bioavailabilitas ranitidin HCl dalam kapsul alginat dan kapsul gelatin. Kapsul alginat berisi rantidin HCl memberikan efek anti ulkus lebih baik ditandai dengan penyembuhan ulkus lambung terjadi pada hari ke-4 serta memilki bioavailabilitas yang lebih baik dibandingkan kapsul gelatin. Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat dalam pengembangan formulasi pelepasan terkontrol untuk pemakaian cangkang kapsul alginat.

Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Prof. Dr. Masfria, M.S., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi dan Ibu Dr. Poppy Anjelisa Z. Hsb, M.Si., Apt.,

(5)

perkuliahan di Fakultas Farmasi. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Prof.Dr. Hakim Bangun ,Apt., yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan tanggung jawab, memberikan petunjuk dan saran-saran selama penelitian hingga selesainya skripsi ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Sumaiyah, M.Si., Apt., selaku ketua penguji dan Bapak Drs. Agusmal Dalimunthe, M.S., Apt., selaku anggota penguji yang telah memberikan saran untuk penyempurnaan skripsi ini.

Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tiada terhingga kepada Ayahanda Pangihutan Simanullang dan Ibunda Desima Hutasoit, S.Pd juga kepada saudara saya Rita, Frisca, Lincin, Panny, dan Thomas yang telah mendoakan dan memberikan semangat. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepadaTanoto Foundation yang memberikan beasiswa selama perkuliahan, sahabatku Yanti, Agnes, Reja, Josephine, Youri, Asael, Elfina, Mardiyah, Robby, asisten Laboratorium Farmasi Fisik dan teman- teman Farmasi C serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu hingga selesainya penulisan skripsi ini.

Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya dibidang farmasi.

Medan, Mei 2018

Penulis,

Anna Maria Manullang

NIM 141501184

(6)
(7)

EVALUASI IN VIVO PEMAKAIAN CANGKANG KAPSUL ALGINAT SEBAGAI SEDIAAN FLOATING RANITIDIN

ABSTRAK

Latar Belakang: Ranitidin HCl merupakan obat golongan reseptor antagonis histamin H-2 yang dapat menghambat sekresi asam lambung hingga 5 jam tetapi tidak sampai 10 jam dari sediaan konvensional dosis 150 mg, dengan dosis 300 mg dapat memicu fluktuasi kadar dalam plasma sehingga efek terapi tidak efektif.

Tujuan: Untuk membandingkan bioavailabilitas ranitidin HCl dalam kapsul alginat dengan kapsul gelatin dan efek anti ulkus secara in vivo sediaan floating ranitidin HCl yang dibuat dari cangkang kapsul alginat dengan suspensi ranitidin HCl menggunakan hewan percobaan tikus.

Metode: Cangkang kapsul alginat dibuat dari Natrium alginat 500-600 cP.

Cangkang kapsul alginat berisi ranitidin HCl (7 mg/kg per oral) diuji bioavailabilitas in vivo pada kelinci jantan yang sehat dibandingkan dengan kapsul gelatin berisi ranitidin HCl (7 mg/kg per oral). Selanjutnya Uji anti ulkus dilakukan pada tikus putih jantan dengan metode ulkus induksi HCl. Satu jam setelah induksi, tikus diberikan kapsul alginat berisi ranitidin HCl (13,5 mg/kg per oral sekali sehari) selama 2 dan 4 hari, suspensi ranitidin HCl (13,5 mg/kg per oral sekali sehari) digunakan sebagai pembanding.

Hasil: Uji bioavailabilitas in vivo kapsul alginat berisi ranitidin HCl menunjukkan nilai AUC, Cmaks, Tmaks yang lebih tinggi dan pelepasan berkelanjutan (sustained release) dibandingkan kapsul gelatin berisi ranitidin HCl. Hasil uji antiulkus selama 2 hari menunjukkan jumlah ulkus 0,66 ± 0,81 dan indeks ulkus 0,08 ± 0,13 pada tikus yang diberi kapsul alginat berisi ranitidin HCl, sedangkan pada tikus yang diberi suspensi ranitidin HCl menunjukkan jumlah ulkus 3,33±

0,51 dan indeks ulkus 1,08 ± 0,42. Secara histopatologi dapat dilihat masih adanya erosi mukosa pada pemberian kapsul alginat namun erosi tersebut lebih sedikit dibanding tikus diberi suspensi ranitidin HCl. Jumlah ulkus pada tikus pemberian kapsul alginat berisi ranitidin HCl Selama 4 hari adalah nol dan secara histopatologi tidak terdapat erosi mukosa lambung, sedangkan tikus yang diberi suspensi ranitidin HCl memilki jumlah ulkus 1,66 ± 0,51 dan indeks ulkus 0,18 ± 0,008 dan secara histopatologi masih terdapat erosi mukosa.

Kesimpulan: Kapsul alginat berisi ranitidin HCl sebagai bentuk sediaan floating menunjukkan pelepasan yang berkelanjutan dengan bioavailabilitas yang lebih baik dibandingkan kapsul gelatin berisi ranitidin HCl dan menunjukkan efek antiulkus yang lebih efektif dibandingkan sediaan konvensional.

Kata Kunci: Ranitidin HCl, floating, bioavailabilitas, antiulkus, alginat

(8)

IN VIVO EVALUATION FLOATING DOSAGE FORM OF RANITIDIN USING ALGINATE CAPSULE SHELL

ABSTRACT

Background: Ranitidine HCl is a histamine H-2 receptor antagonist drug which can inhibit gastric acid secretion up to 5 hours but not up to 10 hours from conventional dosage of 150 mg, with a dose of 300 mg can trigger fluctuations in plasma levels and the effect of theraphy is not effective.

Purpose: To compare the bioavailability differences of ranitidine HCl in alginate capsules and gelatin capsules and to compare anti-ulcer effects in vivo floating ranitidine HCl preparations made from alginate capsule shells with ranitidine HCl suspension using rat animal experiments.

Method: Alginate capsule shell is made from Sodium alginate 500-600 cP. The alginate capsule shell containing ranitidine HCl (7 mg kg orally) tested in vivo bioavailability in healthy male rabbit compared with gelatin capsule containing ranitidine HCl (7 mg/kg orally). Furthermore, anti-ulcer test was performed on male white rat by HCl induced ulcer method. One hour after induction, rats were given an alginate capsule containing ranitidine HCl (13.5 mg/kg orally once daily) for 2 and 4 days, ranitidine HCl suspension (13.5 mg/kg per orally once daily) was used as a comparison.

Results: In vivo alginate capsule bioavailability test containing ranitidine HCl showed higher AUC, Cmax, Tmax and sustained release than gelatin capsule containing ranitidine HCl. The results of anti ulcer test for 2 days showed a number of ulcers was 0.66 ± 0.81 ulcer and ulcer index was 0.08 ± 0.13 in rats given alginate capsule containing ranitidine HCl, whereas in rats treated with ranitidine HCl suspension showed the number of ulcers was 3, 33 ± 0.51 and the ulcer index was 1.08 ± 0.42. Histopathology showed that the existence of mucosal erosion rats given an alginate capsule containing ranitidine HCl but less than rats given ranitidine suspension HCl. After 4 days showed that the number of ulcers in rats giving alginate capsules containing ranitidine HCl was zero and histopathologically no erosion of the gastric mucosa, while rats given ranitidine suspension showed number of ulcer was 1.66 ± 0.51 and an ulcer index was 0.18

± 0.008 and histopathologically there is still mucosal erosion.

Conclusions: The alginate capsule as a floating dosage form shows a sustained release of ratidine HCl with better bioavailability than gelatin capsules containing ranitidine HCl and exhibits a more effective antiulcer effect than conventional preparations.

Keywords: Ranitidine HCl, floating, bioavailability, antiulcer, alginate

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

SURAT PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Hipotesis Penelitian ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 4

1.6 Kerangka Pikir Pikiran ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Kapsul ... 6

2.2 Sistem Penyampaian Gastroretentif ... 7

2.3 Sistem Pelepasan Obat Sustained Relase ... 9

2.4 Floating Drug Delivery System ... 10

(10)

2.4.1 Pembagian Sistem Floating ... 10

2.4.2 Bentuk Sediaan Floating non-effervescent ... 10

2.4.3 Bentuk Sediaan Floating effervescent ... 10

2.4.4 Keuntungan Floating Drug Delivery System ... 10

2.4.5 Kerugian Floating Drug Delivery System ... 11

2.5 Lambung ... 12

2.5.1 Anatomi Lambung ... 12

2.5.2 Histologi Lambung ... 13

2.5.3 Sistem Pertahanan Mukosa Lambung... 14

2.6 Ulkus Peptikum ... 16

2.6.1 Etiologi Penyakit Ulkus Peptikum ... 17

2.6.2 Patofisiologi ... 17

2.6.3 Helicobacter pylori ... 17

2.7 Ranitidin HCl ... 19

2.7.1 UraianBahan ... 19

2.7.2 Mekanisme Kerja ... 19

2.7.3 Farmakokinetik ... 19

2.7.4 Kegunaan... 20

2.8 Natrium Alginat ... 20

2.9 Eudagrit ... 21

BAB III METODE PENELITIAN ... 23

3.1 Lokasi Penelitian ... 23

3.2 Alat-alat yang digunakan ... 23

(11)

3.4 Hewan Percobaan ... 24

3.5 Pembuatan Pereaksi ... 24

3.5.1 Pembuatan Pereaksi Akuades Bebas Karbon dioksida ... 24

3.5.2 Pembuatan Pereaksi Kalsium Klorida 0,15 M ... 24

3.6 Pembuatan Suspensi Ranitidin HCl ... 24

3.7 Pembuatan Suspensi CMC Na 0,5%... 26

3.8 Pembuatan Cangkang Kapsul Alginat ... 26

3.8.1 Pembuatan Larutan Alginat ... 26

3.8.2 Pembuatan Cangkang Kapsul Alginat ... 26

3.8.3 Pengeringan Cangkang Kapsul Alginat ... 26

3.8.4 Pengisian Ranitidin HCl dalam Cangkang Kapsul Alginat ... 26

3.8.5 Penyalutan Larutan Alginat ... 27

3.9 Uji Bioavailabilitas ... 27

3.9.1 Penyiapan Hewan Percobaan ... 27

3.9.2 Pemberian Obat Secara Oral Pada Hewan Percobaan... 27

3.9.3 Penentuan Bioavailabilitas Ranitidin HCl Setelah Pemberian Peroral ... 28

3.10 Uji In Vivo Efek Anti Ulkus ... 29

3.10.1 Pengamatan Makroskopis ... 30

3.10.2 Pembuatan Preparat Untuk Pemeriksaan Histopatologi ... 31

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33

4.1 Sediaan floating kapsul alginat berisi ranitidin HCl ... 33

(12)

4.3 Hasil Uji Antiulkus ... 36

4.3.1 Lambung Normal ... 36

4.3.2 Penginduksian Lesi Lambung dengan 0,6 N ... 37

4.3.3 Penyembuhan Lesi Lambung ... 39

4.3.3.1 Pengamatan Makroskopik Lambung Tikus .. 39

4.3.3.1.1 Perbandingan Jumlah Ulkus dan Indeks Ulkus ... 43

4.3.3.2 Pengamatan Mikroskopik Lambung Tikus... 46

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 59

5.1 Kesimpulan ... 59

5.2 Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 60

LAMPIRAN ... 65

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman 3.1 Pemberian ranitidin HCl dengan metode cross over design ... 27 4.1 Data rata-rata konsentrasi ranitidin HCl pada sediaan kapsul

alginat dan kapsul gelatin ... 34 4.2 Hasil Cmaks, Tmaks dan AUC dari kapsul gelatin berisi

ranitidin HCl dan kapsul alginat berisi ranitidin HCl setelah

pemberian oral pada kelinci ... 36 4.3 Hasil AUC dari kapsul gelatin berisi ranitidin HCl dan kapsul

alginat berisi ranitidin HCl setelahpemberian oral pada kelinci

(n=6) ... 36 4.4 Rata-rata jumlah ulkus setiap kelompok ... 44 4.5 Rata-rata indeks ulkus setiap kelompok ... 45

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 Kerangka pikir penelitian... 5

2.1 Pembagian daerah anatomi lambung ... 13

2.2 Histologi dari lambung ... 14

2.3 Struktur ranitidin HCl ... 19

2.4 Struktur kimia alginat ... 21

2.5 Struktur eudagrit ... 21

4.1 Penyalutan cangkang kapsul alginat ... 33

4.2 Grafik hasil pengukuran kadar ranitidin HCl ... 34

4.3 Lambung normal tikus ... 37

4.4 Makroskopik mukosa lambung setelah pemberian HCl 0,6 N ... 38

4.5 Makroskopik lambung tikus setelah pemberian suspensi CMC Na 0,5% selama 2 hari ... 39

4.6 Makroskopik lambung tikus setelah pemberian suspensi ranitidin HCl selama 2 hari ... 40

4.7 Makroskopik lambung tikus setelah pemberian kapsul alginat ranitidin HCl selama 2 hari ... 41

4.8 Makroskopik lambung tikus setelah pemberian suspensi CMC Na 0,5% selama 4 hari ... 42

4.9 Makroskopik lambung tikus setelah pemberian ranitidin HCl selama 4 hari ... 42

4.10 Makroskopik lambung tikus setelah pemberian kapsul alginat ranitidin HCl selama 4 hari ... 43

4.11 Perbandingan jumlah ulkus lambung kapsul alginat ranitidin HCl dengan suspensi ranitidin HCl dan suspensi tanpa obat ... 44 4.12 Perbandingan indeks ulkus lambung kapsul alginat ranitidin

(15)

4.13 Mikroskopik jaringan lambung setelah pemberian HCl 0,6N .... 48 4.14 Mikroskopik lambung tikus setelah pemberian suspensi CMC

Na 0,5% selama 2 hari ... 50 4.15 Mikroskopik lambung tikus setelah pemberian suspensi

ranitidin HCl selama 2 hari ... 52 4.16 Mikroskopik lambung tikus setelah pemberian kapsul alginat

ranitidin HCl selama 2 hari ... 54 4.17 Mikroskopik lambung tikus setelah pemberian suspensi CMC

Na 0,5% selama 4 hari ... 56 4.18 Mikroskopik lambung tikus setelah pemberian ranitidin HCl

selama 4 hari ... 57 4.19 Mikroskopik lambung tikus setelah pemberian kapsul alginat

ranitidin HCl selama 4 hari ... 59

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman 1 Kurva kalibrasi ranitidin HCl dalam percobaan in vivo pada

Panjang gelombang 225 nm ... 65

2 Kurva absorbansi ranitidin HCl dalam percobaan in vivo pada konsentrasi mcg/ml ... 66

3 Alat dalam pembuatan kapsul ... 67

4 Alat uji makroskopik ulkus dan alat uji bioavailabilitas ... 68

5 Surat ethical clearance ... 69

6 Tabel konversi dan cara perhitungan dosis untuk berbagai jenis hewan dan manusia ... 70

7 Perhitungan dosis kesetaraan pada hewan ... 71

8 Hasil penentuan kadar ranitidin dari kapsul alginat dalam darah kelinci ... 72

9 Hasil penentuan kadar ranitidin dari kapsul gelatin dalam darah kelinci ... 73

10 Data AUC pelepasan ranitidin HCl dari kapsul alginat yang mengandung ranitidin HCl ... 74

11 Data AUC pelepasan ranitidin HCl dari kapsul gelatin yang mengandung ranitidin HCl ……. ... 75

12 Perhitungan indeks ulkus ... 76

13 Uji statistik ... 87

14 Hasil data statistik ... 88

(17)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Ulkus peptikum merupakan tukak lambung yang terjadi dalam saluran pencernaan baik didalam lambung maupun di duodenum. Ulkus peptikum mengacu pada erosi lapisan mukosa dimana saja pada saluran pencernaan, namun biasanya mengacu pada erosi dilambung atau duodenum. Ada dua penyebab utama ulkus yaitu terlalu sedikit produksi mukus atau terlalu banyak asam yang diproduksi dalam lambung atau dikirim ke usus (Corwin, 2008).

Ranitidin HCl merupakan reseptor antagonis histamin H-2 (Martindale, 1982). Secara luas diresepkan untuk pengobatan tukak usus, tukak lambung, sindroma Zollinger Ellison, penyakit refluks gastroesophageal, dan erosif esofagitis (Yadav, et al., 2010). Ranitidin HCl dapat menghambat sekresi asam lambung hingga 5 jam tetapi tidak sampai 10 jam dari sediaan konvensional dosis 150 mg, dengan dosis 300 mg dapat memicu fluktuasi kadar dalam plasma (Rao, et al., 2010), bioavaibilitas hanya 50-60% dan waktu paruh plasma kira-kira 2 jam (Tan dan Rahardja, 2002). Dengan alasan ini, ranitidin HCl sesuai untuk pengembangan sediaan obat dengan pelepasan berkelanjutan (sustained release).

Rute pemberian obat secara oral merupakan rute pemberian obat yang paling nyaman dan paling sering digunakan (Badoni, et al., 2012). Namun, rute ini memiliki beberapa masalah fisiologis, termasuk waktu retensi lambung yang singkat dan tingkat pengosongan lambung yang tidak terprediksi (Wadher, et al., 2013). Keadaan ini secara drastis mengurangi waktu yang tersedia untuk obat diabsorpsi, yang kemudian diikuti dengan berkurangnya bioavailabilitas (Jamil, et

(18)

al., 2011). Kesulitan-kesulitan ini telah mendorong peneliti untuk merancang sistem penyampaian obat gastroretentif yang dapat bertahan dalam lambung untuk waktu yang diperpanjang dan juga meningkatkan bioavailabilitas dari obat dengan cara meningkatkan waktu retensi lambung (Reddy, et al., 2013).

Waktu retensi lambung yang dikendalikan dari suatu bentuk sediaan padat dapat dicapai dengan mekanisme mukoadhesif, mengapung (floating), sedimentasi (sedimentation), ekspansi (expansion), dan sistem modifikasi bentuk atau dengan pemberian bahan tertentu, yang menunda pengosongan lambung (Vedha, et al., 2010). Sistem mengapung (floating) merupakan sistem berdensitas rendah yang memiliki cukup daya apung untuk mengapung dan tetap mengapung dalam lambung tanpa dipengaruhi tingkat pengosongan lambung untuk jangka waktu lama (Arunachalam, et al., 2011), sehingga menghasilkan peningkatan waktu retensi lambung dan mencegah terjadinya fluktuasi kadar obat dalam plasma (Gopalakrishnan dan Chenthilnathan, 2011). Sistem ini sesuai untuk obat-obat yang memiliki penyerapan kolon yang buruk tetapi ditandai dengan sifat penyerapan yang lebih baik di bagian atas saluran pencernaan tersebut (Narang, 2011). Sebagai contoh yaitu ranitidin HCl.

Alginat merupakan suatu polisakarida yang dihasilkan dari ganggang coklat (Phaeophyceae) dan bakteri. Alginat adalah kopolimer anionic linier yang terdiri dari residu asam 𝛽-D-manuronat dan asam 𝛼-L-guluronat dalam ikatan 1,4.

Kelebihan yang paling penting dari natrium alginat sebagai matriks untuk formulasi pelepasan terkontrol adalah karena sifatnya biodegradabel dan biokompatibel (Sachan, et al., 2009).

(19)

Bangun, et al., (2005), telah melakukan pengujian terhadap sifat-sifat ketahanan cangkang kapsul alginat terhadap asam lambung dan sifat-sifat pengembangannya dalam medium lambung buatan (pH 1,2). Diketahui bahwa cangkang kapsul alginat tetap utuh dalam medium lambung buatan (pH 1,2).

Cangkang kapsul alginat dapat digunakan sebagai sediaan floating amoksisilin untuk memperoleh sustained release (Bangun, et al., 2017).

Situmeang (2015) telah melakukan pengujian secara in vitro pelepasan ranitidin HCl dari sediaan cangkang kapsul alginat sebagai sediaan floating merupakan pelepasan berkelanjutan atau sustained release. Hasil penelitian ini menunjukkan sediaan floating dari ranitidin HCl menggunakan cangkang kapsul alginat No.1 dengan salut Eudagrit RS 100 20% memenuhi sebagai persyaratan sediaan sustained release. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dalam penelitian ini peneliti melanjutkan dengan evaluasi in vivo pemakaian cangkang kapsul alginat sebagai sediaan floating ranitidin HCl.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, maka perumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Apakah sediaan floating ranitidin HCl yang dibuat dari cangkang kapsul alginat mempunyai bioavailabilitas yang lebih baik dibandingkan ranitidin HCl dalam kapsul gelatin?

b. Apakah sediaan floating kapsul alginat ranitidin HCl mempunyai efek antiulkus yang lebih efektif dibandingkan dengan suspensi ranitidin HCl?

(20)

1.3 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Sediaan floating ranitidin HCl yang dibuat dari cangkang kapsul alginat mempunyai bioavailabilitas yang lebih baik dibandingkan kapsul gelatin berisi ranitidin HCl

b. Sediaan floating ranitidin HCl dari cangkang kapsul alginat mempunyai efek anti ulkus yang lebih efektif dibandingkan sediaan suspensi ranitidin HCl

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan hipotesis penelitian, maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :

a. Membandingkan perbedaan bioavailabilitas ranitidin HCl dalam kapsul alginat dan kapsul gelatin.

b. Membandingkan efek anti ulkus secara in vivo sediaan floating ranitidin HCl yang dibuat dari cangkang kapsul alginat dengan suspensi ranitidin HCl menggunakan hewan percobaan tikus.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan dalam penggunaan cangkang kapsul alginat sebagai sediaan pelepasan terkontrol dan sediaan cangkang kapsul alginat sebagai sediaan floating untuk pengobatan tukak lambung, tukak usus, sindroma Zollinger Ellison dan penyakit refluks gastroesophageal.

(21)

1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Latar Tujuan Variabel Variabel Parameter

Belakang bebas terikat

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian

Pada penelitian sebelumnya

sediaan floating dari

ranitidin HCl menggunaka

n cangkang kapsul alginat No.1 dengan salut Eudagrit RS 100 20%

memenuhi sebagai persyaratan

sediaan sustained

release.

Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi in

vivo pada sediaan floating cangkang

kapsul alginat ranitidin

HCl.

Membanding kan efek pengobatan dari sediaan floating cangkang

kapsul alginat ranitidin dan

sediaan konvensional

(suspensi ranitidin

HCl) terhadap

ulkus lambung

yang diinduksi larutan HCl

0,6 N

Suspensi CMC Na

Sediaan floating cangkang

kapsul alginat ranitidin HCl

Suspensi Ranitidin HCl

Efek anti ulkus secara in

vivo

Makroskopis

 Jumlah ulkus dan

indeks ulkus

Mikroskopis

 Histopatologi

Membanding kan perbedaan bioavailabilit

as ranitidin HCl dalam

kapsul alginat dan

kapsul gelatin.

Kapsul alginat berisi ranitidin

HCl

Kapsul gelatin berisi ranitidin

HCl

Uji bioavaila

bilitas

Cmaks

Tmaks

AUC

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kapsul

Kapsul dapat didefinisikan sebagai bentuk sediaan padat, dimana satu macam obat atau lebih dan/atau bahan inert lainnya yang dimasukkan ke dalam cangkang atau wadah kecil yang umumnya dibuat dari gelatin lunak atau keras.

Kebanyakan kapsul-kapsul yang diedarkan di pasaran adalah kapsul yang semuanya dapat ditelan oleh pasien, untuk keuntungan dalam pengobatan. Kapsul gelatin yang keras merupakan jenis yang digunakan oleh ahli farmasi masyarakat dalam menggabungkan obat-obat secara mendadak dan di lingkungan para pembuat sediaan farmasi dalam memproduksi kapsul pada umumnya (Ansel, 2008).

Ada dua tipe kapsul, keras dan lunak. Kapsul lunak terdiri dari cangkang padat lentur yang mengandung serbuk, cairan non-aqueous, larutan, emulsi, suspensi, atau pasta. Beberapa kapsul mengandung cairan diberikan dalam bentuk sediaan bentuk padat, contoh minyak ikan cod. Kapsul ini dibentuk, diisi dan ditutup dalam satu proses produksi. Cangkang kapsul keras digunakan dalam pengolahan sebagian besar pembuatan kapsul dan peracikan kapsul. Cangkang terbagi dua, badan dan tutup, keduanya berbentuk silinder dan dapat ditutup pada ujungnya. Serbuk dan partikulat padat, seperti granul dan pelet, ditempatkan dalam badan dan kapsul ditutup dengan menyatukan badan dan tutup secara bersamaan (Winfield, et al., 2009).

Sebagian besar bahan yang digunakan untuk mengisi kapsul adalah dalam

(23)

kombinasi dari jenis bahan tambahan yang berbeda. Jenis bahan tambahan yang biasanya digunakan dalam pengisi serbuk kapsul antara lain:

 Diluen,

 Lubrikan, menurunkan daya lekat serbuk terhadap alat

 Glidan, meningkatkan aliran serbuk

 Agen pembasah, meningkatkan penetrasi air

 Desintegran, menghasilkan perpecahan massa serbuk

 Stabilizer, meningkatkan stabilitas produk

Bahan aktif dengan dosis rendah dapat dirancang untuk mengalir baik dengan mencampurkan bahan aktif dengan diluen yang mudah mengalir seperti laktosa, dan mikrokristalin selulosa. Saat ruang terbatas dapat ditambahkan glidan yang dapat menurunkan pergesekan antar partikulat, seperti silikon dioksida koloidal, atau lubrikan yang dapat menghasilkan fungsi alat pengisi yang lebih efisien seperti magnesium stearat (Aulton, 2007).

2.2 Sistem Penyampaian Gastroretentif

Sistem penyampaian gastroretentif adalah bentuk sediaan yang dapat tertahan dilambung selama beberapa jam dan secara signifikan memperpanjang waktu tinggal obat dalam lambung. Sistem ini disampaikan per oral, tertahan dalam lambung, dan akan melepaskan obat dengan cara terkontrol, sehingga obat dapat disuplai secara kontinu pada daerah absorpsi saluran pencernaan (Nayak, et al., 2010).

Penyampaian obat secara oral merupakan rute pemberian obat yang paling banyak digunakan dikarenakan penggunaan yang mudah, pasien lebih patuh,

(24)

memiliki beberapa kekurangan yaitu proses absorpsi yang cepat, degradasi oleh asam lambung, dan waktu paruh yang pendek. Oleh karena hal tersebut, peneliti mengembangkan sediaan oral dengan pelepasan berkelanjutan yang dapat mencapai efek yang diinginkan (Neetika dan Manish, 2012).

Peningkatan waktu retensi lambung meningkatkan bioavailabilitas, mengurangi limbah obat, dan meningkatkan kelarutan obat yang kurang larut dalam lingkungan pH tinggi. Hal ini juga cocok untuk pengiriman obat lokal untuk perut dan bagian proksimal dari usus kecil. Adapun metode untuk membuat sediaan tinggal di lambung adalah:

 Penggunaan bentuk sediaan yang memiliki berat jenis yang lebih rendah dari cairan lambung sehingga menghasilkan daya apung dalam cairan lambung.

 Penggunaan bahan yang berat jenisnya tinggi: bahan dengan berat jenis tinggi

(˃2.5g/cm3) akan mempunyai waktu tinggal yang lama di saluran cerna. Hal ini dapat dicapai dengan penambahan bahan seperti barium sulfat.

 Sistem bioadhesi, sistem yang mempunyai daya lekat terhadap mukosa lambung.

 Pemberian obat atau bahan bahan tambahan farmasi yang memperlambat motilitas saluran cerna.

 Sistem ekspansi dengan pembengkakan atau pengembangan ke ukuran yang lebih besar sehingga membatasi kemampuan pengosongan dari sistem untuk melewati sfingter pilorus (Garg dan Gupta, 2008).

(25)

2.3 Sistem pelepasan obat Sustanined Release

Sediaan pelepasan segera (immediate-release) konvensional tidak dapat mempertahankan jumlah obat dalam jalur terapeutik untuk waktu yang lama dalam darah dan dengan demikian lama kerja obat mnjadi singkat. Sistem pelepasan extended-release disebut juga sustained release dan slow-release.

Keuntungan sistem pelepasan lambat (sustained-release) yang akan meningkatkan keuntungan terapeutik, mengurangi efek samping obat dan biaya pengobatan, dan pengelolaan penyakit kronis akan menjadi lebih baik (Rajabi-Siahboom, et al., 2013).

Sustained release (SR) menguraikan suatu pelepasan yang lambat dari

bahan obat dari suatu sediaan untuk mempertahankan respon terapeutik dalam waktu yang panjang yaitu 8-12 jam dan kriteria sediaan SR yaitu jumlah obat yang terdisolusi selama 3 jam adalah 20-50 % untuk 6 jam adalah 45-75% dan 12 jam ≥ 75 % (Murthy dan Sellaise, 1993).

2.4 Floating Drug Delivery System

Sistem penghantaran obat terapung atau Floating Drug Delivery System (FDDS) memiliki berat jenis yang lebih rendah dibandingkan dengan cairan lambung sehingga mengapung dalam lambung tanpa dipengaruhi waktu pengosongan lambung dengan waktu yang diperpanjang. Ketika sistem terapung dalam kandungan lambung, obat secara perlahan terlepas dengan laju yang diinginkan. Setelah lepasnya obat, sistem yang tersisa dikosongkan dari lambung.

Kondisi ini menghasilkan peningkatan waktu pengosongan lambung dan pengendalian yang lebih baik terhadap fluktuasi kadar obat dalam plasma (Mishra

(26)

2.4.1 Pembagian sistem floating

Sistem penghantaran floating dibagi berdasarkan pada variabel formulasinya: effervescent dan sistem non-effervescent.

2.4.2 Bentuk sediaan floating non-effervescent

Sistem non-effervescent ini bekerja dengan mekanisme pengembangan polimer, bioadhesif dari polimer pada lapisan mukosa saluran pencernaan. Pada umumnya dalam formulasi sistem non-effervescent ini menggunakan bahan yang mampu membentuk gel atau memiliki kemampuan mengembang yang baik seperti senyawa hidrokoloid, polisakarida. Biasanya juga digunakan bentuk matriks dari polimer seperti polimetakrilat, poliakrilat, polistiren, dan bioadhesif polimer yaitu kitosan dan karbopol (Goyal, et al., 2011).

2.4.3 Bentuk sediaan floating effervescent

Sediaan ini dirancang sedemikian rupa, sehingga ketika kontak dengan cairan lambung, gas karbondioksida (CO2) akan terlepas dan terperangkap dalam sistem hidrokoloid yang mengembang. Hal ini menyebabkan sediaan mengapung Sistem ini dibuat dalam bentuk matriks dengan menggunakan polimer yang dapat mengembang seperti HPMC, kitosan, senyawa polisakarida lain, dan berbagai komponen effervescent seperti natrium bikarbonat, kalsium karbonat, asam sitrat atau asam tartrat. (Goyal, et al., 2011).

2.4.4 Keuntungan Floating Drug Delivery System Keuntungan Floating Drug Delivery System ini meliputi:

a. Menguntungkan untuk obat yang dimaksudkan untuk aksi lokal di lambung misalnya: Antasida.

(27)

b. Menguntungkan untuk menjaga obat dalam kondisi mengapung di lambung ketika gerakan usus kuat dan ketika diare sehingga menghasilkan respon yang relatif lebih baik.

c. Zat yang bersifat asam seperti aspirin dapat mengiritasi lambung ketika bersentuhan dengan dinding lambung. Oleh karena itu, formulasi FDDS mungkin berguna untuk pemberian aspirin dan obat-obatan lain dengan sifat yang sama.

d. Menguntungkan untuk obat-obat diserap di lambung misalnya: garam ferro, Antasida.

e. Meningkatan penyerapan obat, karena terjadi peningkatan waktu tinggal di lambung dan peningkatan waktu kontak obat dengan daerah penyerapan (Arunachalam, et al., 2011).

2.4.5 Kerugian Floating Drug Delivery System Kerugian Floating Drug Delivery System meliputi:

a. Sistem floating tidak sesuai untuk obat-obat yang memiliki masalah kelarutan atau stabilitas pada cairan lambung.

b. Obat-obatan seperti nifedipine yang diserap di seluruh saluran pencernaan dan yang menjalani metabolisme lintas pertama tidak sesuai sebagai kandidat FDDS karena pengosongan lambung yang diperlama dapat menyebabkan penurunan bioavailabilitas sistemik.

c. Keterbatasan penerapan FDDS untuk obat yang mengiritasi mukosa lambung.

(28)

d. Salah satu kelemahan dari sistem floating adalah sistem ini membutuhkan jumlah cairan yang cukup banyak di lambung, sehingga bentuk sediaan obat dapat terapung dan bekerja secara efisien dalam cairan lambung.

e. Retensi lambung dipengaruhi oleh banyak faktor seperti makanan, pH dan motilitas lambung (Arunachalam, et al., 2011)

2.5 Lambung

2.5.1 Anatomi Lambung

Lambung adalah organ pencernaan yang paling melebar, dan terletak di antara bagian akhir dari esofagus dan awal dari usus halus. Lambung merupakan ruang berbentuk kantung mirip huruf J, berada di bawah diafragma, terletak pada regio epigastrik, umbilikal, dan hipokondria kiri pada regio abdomen (Tortora dan Derrickson, 2009).

Secara anatomik, lambung memiliki lima bagian utama, yaitu kardiak, fundus, badan (body), antrum, dan pilori (Gambar 2.1). Kardia adalah daerah kecil yang berada pada hubungan gastroesofageal (gastroesophageal junction) dan terletak sebagai pintu masuk ke lambung Fundus adalah daerah berbentuk kubah yang menonjol ke bagian kiri di atas kardia. Badan (body) adalah suatu rongga longitudinal yang berdampingan dengan fundus dan merupakan bagian terbesar dari lambung. Antrum adalah bagian lambung yang menghubungkan badan (body) ke pilorik dan terdiri dari otot yang kuat. Pilorik adalah suatu struktur tubular yang menghubungkan lambung dengan duodenum dan mengandung spinkter pilorik (Schmitz dan Martin, 2008).

(29)

Gambar 2.1 Pembagian daerah anatomi lambung (Tortora dan Derrickson, 2009).

2.5.2 Histologi Lambung

Dinding lambung tersusun dari empat lapisan dasar utama, sama halnya dengan lapisan saluran cerna secara umum dengan modifikasi tertentu yaitu lapisan mukosa, submukosa, muskularis eksterna, dan serosa (Schmitz dan Martin, 2008). Lapisan mukosa terdiri atas epitel permukaan, lamina propia, dan muskularis mukosa. Epitel permukaan yang berlekuk ke dalam lamina propia dengan kedalaman yang bervariasi, dan membentuk sumur-sumur lambung disebut foveola gastrika. Epitel yang menutupi permukaan dan melapisi lekukan- lekukan tersebut adalah epitel selapis silindris dan semua selnya menyekresi mukus alkalis.

Lamina propia lambung terdiri atas jaringan ikat longgar yang disusupi sel otot polos dan sel limfoid. Muskularis mukosa yang memisahkan mukosa dari submukosa dan mengandung otot polos. Lapisan sub mukosa mengandung jaringan ikat, pembuluh darah, sistem limfatik, limfosit, dan sel plasma. Sebagai tambahan yaitu terdapat pleksus submukosa.

(30)

Lapisan muskularis propia terdiri dari tiga lapisan otot, yaitu (1) inner oblique, (2) middle circular, (3) outer longitudinal. Pada muskularis propia terdapat pleksus myenterik. Lapisan oblik terbatas pada bagian badan (body) dari lambung. Lapisan serosa adalah lapisan yang tersusun atas epitel selapis skuamos (mesotelium) dan jaringan ikat areolar. Lapisan serosa adalah lapisan paling luar dan merupakan bagian dari viseral peritoneum (Schmitz dan Martin, 2008).

Gambar 2.2 Histologi dari lambung (Tortora dan Derrickson, 2009) 2.5.3 Sistem Pertahanan Mukosa Lambung

Lambung dapat diserang oleh beberapa faktor endogen dan faktor eksogen yang berbahaya. Sebagai contoh faktor endogen adalah asam hidroklorida (HCl), pepsinogen/pepsin, dan garam empedu, sedangkan contoh substansi eksogen yang dapat menyebabkan kerusakan mukosa lambung adalah seperti obat, alkohol, dan bakteri. Sistem biologis yang kompleks dibentuk untuk menyediakan pertahanan dari kerusakan mukosa dan untuk memperbaiki setiap kerusakan yang dapat terjadi (Kasper, et al., 2008).

(31)

Sistem pertahanan dapat dibagi menjadi tiga tingkatan sawar yang terdiri dari preepitel, epitel, dan subepitel . Pertahanan lini pertama adalah lapisan mukus bikarbonat, yang berperan sebagai sawar psikokemikal terhadap beberapa molekul termasuk ion hidrogen. Mukus dikeluarkan oleh sel epitel permukaan lambung.

Mukus tersebut terdiri dari air (95%) dan pencampuran dari lemak dan glikoprotein (mucin). Fungsi gel mukus adalah sebagai lapisan yang tidak dapat dilewati air dan menghalangi difusi ion dan molekul seperti pepsin. Bikarbonat, dikeluarkan sebagai regulasi di bagian sel epitel dari mukosa lambung dan membentuk gradien derajat keasaman (pH) yang berkisar dari 1 sampai 2 pada lapisan lumen dan mencapai 6 sampai 7 di sepanjang lapisan epitel sel (Kasper, et al., 2008).

Lapisan sel epitel berperan sebagai pertahanan lini selanjutnya melalui beberapa faktor, termasuk produksi mukus, transporter sel epitel ionik yang mengatur pH intraselular dan produksi bikarbonat dan taut erat intraselular. Jika sawar preepitel dirusak, sel epitel gaster yang melapisi sisi yang rusak dapat bermigrasi untuk mengembalikan daerah yang telah dirusak (restitution). Proses ini terjadi dimana pembelahan sel secara independen dan membutuhkan aliran darah yang tidak terganggu dan suatu pH alkaline di lingkungan sekitarnya.

Beberapa faktor pertumbuhan (growth factor) termasuk epidermal growth factor (EGF), transforming growth factor (TGF)α dan basic fibroblast growth factor (FGF), memodulasi proses pemulihan. Kerusakan sel yang lebih besar yang tidak secara efektif diperbaiki oleh proses perbaikan (restitution), tetapi membutuhkan proliferasi sel. Regenerasi sel epitel diregulasi oleh prostaglandin dan faktor pertumbuhan (growth factor) seperti EGF dan TGFα. Bersamaan dengan

(32)

pembaharuan dari sel epitel, pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis) juga terjadi pada kerusakan mikrovaskular. Kedua faktor yaitu FGF dan VEGF penting untuk meregulasi angiogenesis di mukosa lambung (Kasper, et al., 2008).

Sistem mikrovaskular yang luas pada lapisan submukosa lambung adalah komponen utama dari pertahanan subepitel, yang menyediakan HCO3¯, yang menetralisir asam yang dikeluarkan oleh sel parietal. Lebih lagi, sistem mikrosirkulasi menyediakan suplai mikronutrien dan oksigen dan membuang metabolit toksik (Kasper, et al., 2008). Prostaglandin memainkan peran yang penting dalam hal pertahanan mukosa lambung. Mukosa lambung mengandung banyak jumlah prostaglandin yang meregulasikan pengeluaran dari mukosa bikarbonat dan mukus, menghambat sekresi sel parietal, dan sangat penting dalam mengatur aliran darah dan perbaikan dari sel epitel (Kasper, et al., 2008)..

2.6 Ulkus Peptikum

Ulkus peptikum merupakan tukak lambung yang terjadi dalam saluran pencernaan baik didalam lambung maupun di duodenum. Gambaran klinis utamanya adalah rasa nyeri yang terjadi pada bagian lambung dan akan mereda setelah makan atau sesudah menelan antasida. Nyeri ini seringkali digambarkan sebagai nyeri teriris, terbakar, atau rasa tidak enak. Sekitar seperempat dari penderita mengalami pendarahan, walaupun hal ini lebih lazim terjadi pada ulkus duodenum (Price dan Wilson, 2005).

Ulkus peptikum merupakan istilah yang mengacu pada erosi lapisan mukosa dimana saja pada saluran pencernaan, namun biasanya mengacu pada erosi dilambung atau duodenum. Ada dua penyebab utama ulkus yaitu terlalu

(33)

sedikit produksi mukus atau terlalubanyak asam yang diproduksi dalam lambung atau dikirim ke usus (Corwin, 2008).

2.6.1 Etiologi Penyakit Ulkus Peptikum

Kebanyakan penyakit ulkus peptikum disebabkan karena adanya asam lambung dan enzim pepsin ketika Helicobacter pylori, antiinflamasi Non Steroid (AINS), atau faktor lainnya mengganggu sistem pertahanan mukosa dan penyembuhn mukosa. Hipersekresi dari asam lambung dan pepsin ini yang menghambat mekanisme pertahanan mukosa (Berardi dan Welage, 2005).

2.6.2 Patofisiologi

Penyebabkan terjadinya ulkus peptikum saat ini masih sering diperdebatkan. Patofisiologi penyakit tukak lambung dapat digambarkan sebagai ketidakseimbangan antara factor agresif (Helicobacter pylori, antiinflamasi non steroid (AINS), dan asam lambung) dan factor pertahanan (mucin, bikarbonat, dan prostaglandin), yang menyebabkan gangguan pada jaringan mukosa. Kondisi yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan kedua faktor tersebut yaitu adanya reaksi berlebihan terhadap makanan tertentu, minuman yang mengandung kafein dan alcohol, rangsangan parasimpatis dan histamin dapat merangsang sel-sel parietal untuk menghasilkan HCl (Wells, et al., 2003).

2.6.3 Helicobacter pylori

Helicobacter pylori merupakan bakteri basil berbentuk spiral, pH-sensitif,

gram negatif, dan bakteri mikroaerofilik yang tinggal diantara lapisan mukosa dan permukaan epitel sel lambung. Kombinasi antara bentuknya yang spiral dan berflagel memungkinkan bakteri ini berpindah dari lumen lambung (tempat

(34)

dimana pH rendah) kelapisan mukus lambung (tempat dimana pH netral) (Dipiro, et al., 2005).

Helicobacter pylori memproduksi enzim urease dalam jumlah besar

diamna enzim ini menghidrolisis urea yang terdapat dalam cairan lambung dan mengubahnya menjadi ammonia dan karbondioksida. Efek netralisir dari ammonia yang dihasilkan akan membentuk suasana netral dan berada di sekitar tubuh bakteri yang dapat membantu melindungi bakteri dari pengaruh asam dilambung. Bakteri itu juga memproduksi senyawa protein penghambat asam yang membantunya untuk beradaptasi dilingkungan dengan pH yang rendah dalam lambung Helicobacter pylori dapat berpindah ketubuh lain melalui tiga jalur yaitu feses-oral, oral-oral dan iatrogenik (Berardi dan Welage, 2005).

Bakteri ini juga mempunyai keunggulan yakni bertahan dan berkembang biak dalam lambung. Secara umum, ada 3 mekanisme infeksi bakteri H. pylori yang menyebabkan tukak lambung. Pertama, H. pylori menginfeksi bagian bawah lambung antrum. Kedua, setelah infeksi akan terjadi peradangan akibat bakteri yang mengakibatkan peradangan lendir lambung (gastritis), peristiwa ini seringkali terjadi tanpa penampakan gejala (asimptomatik). Ketiga, terjadinya peradangan dapat berimplikasi terjadinya tukak lambung atau usus 12 jari. Hal ini bisa terjadi komplikasi akut, yaitu luka dengan pendarahan (Rani dan Fauzi, 2009). Cedera epitel dapat timbul akibat infeksi H.pylori baik produksi langsung oleh sitotoksin dan ammonia ataupun secara tak langsung sebagai akibat reaksi radang. Dengan demikian pada ulkus gaster, hancurnya pertahanan mukosa lebih penting dibandingkan dengan produksi asam yang berlebihan (Underwood, 1999).

(35)

2.7 Ranitidin HCl 2.7.1 Uraian Bahan

Gambar 2.3 Struktur Ranitidin HCl Rumus Molekul :C13H22N4O3S.HCl

Nama Kimia :N-{2-{{{5-{(Dimetilamino)metil}-2furanil}metil}tio}etil}

- N’-metil-2-nitro- 1,1-etenadiamina, hidroklorida Berat Molekul :350,87

Pemerian :Serbuk hablur; putih sampai kuning pucat; praktis tidak berbau; peka terhadap cahaya dan kelembaban. Melebur pada suhu lebih kurang 140o, disertai peruraian.

Kelarutan :Sangat mudah larut dalam air; cukup larut dalam etanol dan sukar larut dalam kloroform (Ditjen POM, 1995).

2.7.2 Mekanisme Kerja

Ranitidin HCl menghambat produksi asam dengan cara berkompetisi secara reversibel dengan histamin untuk berikatan dengan reseptor H2 pada membran basolateral sel-sel parietal (Goodman dan Gillman, 2007).

2.7.3 Farmakokinetik

Ranitidin HCl yang merupakan antagonis reseptor-H2 diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian oral, dengan konsentrasi puncak dalam serum dapat dicapai 1 sampai 3 jam. Berbeda dengan pompa proton, hanya sebagian kecil antagonis reseptor-H2 yang berikatan dengan protein. Sejumlah kecil obat

(36)

mengalami metabolisme di hati. Baik produk yang dimetabolisme maupun yang tidak dimetabolisme akan disekresikan oleh ginjal dengan cara filtrasi dan sekresi tubular renal (Goodman dan Gillman, 2007).

2.7.4 Kegunaan

Ranitidin HCl digunakan untuk pengobatan tukak lambung dan tukak duodenum, refluks esofagitis, dyspepsia episodic kronis, tukak akibat AINS, tukak duodenum akibat H.pylori, sindrom Zollinger Ellison, kondisi lain dimana pengurangan asam lambung akan bermanfaat (Sukandar, et al., 2008).

2.8 Natrium Alginat

Asam alginat diekstraksi dari ganggang coklat dan dinetralisasikan dengan natrium bikarbonat untuk membentuk natrium alginate. Karakteristik natrium alginat adalah sebagai berikut :

Pemerian : Serbuk tidak berbau dan berasa, putih sampai coklat kekuningan pucat.

Kelarutan : Larut dalam air, praktis tidak larut dalam etanol, eter, pelarut organik dan asam.

Tak tercampurkan : dengan turunan acridine, Kristal violet. Fenilmerkuri asetat dan nitrat, garam kalsium, logam berat (Rowe,dkk., 2009)

Natrium alginate adalah kopolimer biner yang terdiri dari residu 𝛽-D- mannuronat (M) dan 𝛼-L-guluronat (G) yang tersusun dalam blok-blok yang membentuk rantai linier. Kedua unit tersebut berikatan pada atom C1 dan C4 dengan susunan homopolimer dari masing-masing residu (MM dan GG) dan suatu

(37)

blok heteropolimer dari dua residu (MG) (Thom,et al., 1981) Struktur alginate dapat dilihar pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Struktur Kimia Alginat (Thom, et al., 1981) 2.9 Eudragit

Eudragit merupakan polimer kation dan anion sintetik dari dimetilaminoetil metakrilat, asam metakrilat dan ester asam metakrilat dalam perbandingan yang berbeda-beda.Eudragit merupakan produk dagang dari Rohm GmbH & Co. KG, Darmstadt di German yang pertama kali dipasarkan tahun 1950. Eudragit dibuat dengan polimerisasi asam akrilat dan asam metakrilat atau esternya seperti butyl ester atau dimethylaminoethyl ester (Nikam, et al., 2011).

Eudragit E R1, R3= CH3 R2= H

R4=CH3 Eudagit FS R1= H R2= H, CH3 R3=CH3 R4=CH3

Eudragit RL dan Eudragit RS R1=H, CH3

R2=CH3, C2H5 R3=CH3

R4= CH2CH2N(CH3)3+Cl- Eudragit NE 30 D dan Eudragit NE 40 D

R1, R3= H, CH3 R2, R4= CH3, C2H5

(38)

Eudragit biasanya digunakan dalam penyalutan film kapsul dan tablet.

Film dengan karakteristik kelarutan yang berbeda dapat dihasilkan, tergantung dari jenis polimer yang digunakan.

Salah satu aplikasi penggunaan Eudragit yaitu dalam pembuatan sediaan gastroretentive. Pembuatan sediaan gastroretentive didasarkan pada pendekatan

seperti pendekatan berat jenis sediaan yang rendah sehingga sediaan dapat mengapung dalam cairan lambung, mempunyai berat jenis sediaan yang tinggi sehingga sediaan dapat tertahan di bagian bawah lambung, bioadhesi terhadap mukosa, membesar atau mengembang di dalam saluran cerna (lambung) sehingga tidak akan dapat melewati sphinkter pylorus. Semua teknik tersebut dapat kita capai dengan menggunakan Eudragit yang berbeda-beda (Nikam, et al., 2011).

(39)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksprimental.Penelitian ini meliputi evaluasi in vivo sediaan floating ranitidin HCl dari cangkang kapsul alginat yaitu dilakukan uji bioavailabilitas serta uji anti ulkus dengan sediaan konvensional (suspensi ranitidin HCl).

3.1 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Farmasi FisikFakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

3.2Alat - Alat yang Digunakan

Alat pencetak kapsul hewan, lemari pengering, air purifier (Kris), lemari asam, Spektrofotometer (Shimadzu UV 1800), neraca analitik (Ohaus), magnetic stirrer (Hanna), magnetic bar, gelas arloji, stopwatch, termometer, pH meter (Hanna), mikrometer (Delta), jangka sorong, labu tentukur 1000 ml (MBL), labu tentukur 25 ml (Pyrex), labu tentukur 5 ml (Pyrex), beaker glass 1000 ml (Pyrex), beaker glass 100 ml (Pyrex), gelas ukur 1000 ml (Pyrex), gelas ukur 100 ml (Pyrex), gelas ukur 25 ml (Pyrex), mat pipet 10 ml (Pyrex), mat pipet 2 ml (MBL),alat bedah, bak bedah, mikroskop stereo, kaca objek, kaca penutup, spuit, oral sonde,dan alat-alat laboratorium yang biasa digunakan.

3.3 Bahan – Bahan yang Digunakan

Natrium alginat 500-600 cp (Wako Pure Chemical Industries, Ltd. Japan), ranitidin HCl (PT.Mutifa), titanium oksida, gliserin, natrium metabisulfit, nipagin, silicone, Eudragit RS 100, akuades dan bahan-bahan yang berkualitas pro analysis

(40)

(E Merck): kalsium klorida, asam klorida, natrium klorida, aseton, asetonitril, formalin, Vaseline, eter, etanol, paraffin lilin, gliserin, hematoxylin erlich, Eosin Y, asam pikrat, dan asam perklorat.

3.4 Hewan Percobaan

Hewan percobaan yang digunakan adalah kelinci jantan dengan berat 1,5-2 kg sebanyak 6 ekor untuk uji bioavailabilitas dan tikus putih jantan dengan berat 150-200 g sebanyak 42 ekor.

3.5Pembuatan Pereaksi

3.5.1Pembuatan Akuades Bebas Karbondioksida

Akuades dididihkan selama 5 menit atau lebih dan didiamkan sampai dingin dan tidak boleh menyerap karbondioksida dari udara (Ditjen POM, 1995).

3.5.2 Pembuatan Larutan Kalsium Klorida 0,15 M

Kalsium klorida ditimbang 22,053 gram kemudian dilarutkan dengan aqua bebas CO2 secukupnya sampai 1000 ml (Ditjen POM, 1995).

3.6Pembuatan Suspensi Ranitidin HCl R/ Ranitidin HCl 0,2 g

CMC Na 0,5 g Akuades ad 100 ml

Dikalibrasi gelas beker 100 ml. Dipanaskan air sebanyak 20 kali dari berat CMC Na. Kedalam lumpang yang berisi air panas, ditaburkan CMC Na, didiamkan hingga mengembang (Fase 1). Di dalam lumpang lain digerus ranitidin HCl, ditambahkan sedikit demi sedikit akuades sambil digerus (Fase 2). Setelah

(41)

itu dicampurkan fase 1 ke dalam fase 2, digerus hingga homogen, kemudian dicukupkan dengan akuades hingga 100 ml.

3.7 PembuatanSuspensi CMC Na 0,5%

R/ CMC Na 0,5 g Akuades ad 100 ml

Dikalibrasi gelas beker 100 ml. Dipanaskan air sebanyak 20 kali dari berat CMC Na. Kedalam lumpang yang berisi air panas, ditaburkan CMC Na, didiamkan hingga mengembang. Setelah itu digerus hingga homogen, kemudian dicukupkan dengan akuades hingga 100 ml.

3.8 Pembuatan Cangkang Kapsul Alginat

Cangkang kapsul alginat kosong dibuat sesuai dengan metode pencelupan (Voigt, 1994), yaitu dengan mencelupkan alat pencetak kapsul dan larutan alginat.

3.8.1 Pembuatan Larutan Alginat Formula larutan alginat :

R/ Natrium Alginat 4,5 g Gliserin 2 g

Natrium Metabisulfit 0,1 g Nipagin 0,25 g

Titanium Oksida 0,4 g Akuades ad 100 ml

Beaker glass dikalibrasi 100 ml. Dilarutkan nipagin dalam air mendidih, kemudian ditambahkan natrium metabisulfit dan gliserin (Diperoleh Massa 1).Dilarutkan titanium oksida dengan akuades secukupnya (diperoleh Massa

(42)

2).Ditaburkan natrium alginat pada permukaan akuades secara merata, kemudian ditambahkan massa 1 dan massa 2 hingga natrium alginat terendam seluruhnya.

Didiamkan selama 24 jam lalu diaduk dan ditambahkan akuades hingga batas kalibrasi. Larutan didiamkan beberapa hari untuk menghilangkan gelembung udara.

3.8.2 Pembuatan Cangkang Kapsul Alginat

Alat pencetak kapsul untuk hewan yang terbuat dari bahan stainless steel dengan panjang 10 cm dan diameter 5 mm untuk cangkang kapsul dengan volume isi kapsul.dicelupkan ke dalam larutan natrium alginat sedalam 3 cm. Bagian yang telah dilapisi larutan natrium alginat tersebut direndam dalam larutan CaCl2 0,15 M selama 75 menit. Cangkang kapsul yang telah mengeras dilepaskan dari batang stainless steel, selanjutnya direndam dalam akuades selama beberapa jam untuk menghilangkan kalsium yang menempel pada cangkang kapsul, lalu dikeringkan di lemari pengering.

3.8.3 Pengeringan Cangkang Kapsul Alginat

Pengeringan cangkang kapsul dilakukan dengan cara mengeringkannya dalam lemari pengering suhu 30C dilengkapi air purifier selama 4 jam.

3.8.4 Pengisian Ranitidin HCl dalam Cangkang Kapsul Alginat

Ranitidin HCl ditimbang sebanyak 150 mg menggunakan neraca analitik, lalu diisikan ke dalam bagian badan cangkang kapsul alginat melalui bagian ujung yang terbuka.Dioleskan larutan natrium alginat di antara badan cangkang dan tutup cangkang kapsul, kemudian ditutup dengan bagian tutup cangkang kapsul alginat dengan mendorong bagian tutup ke bagian badan cangkang kapsul alginat

(43)

yang terbuka sehingga bagian tutup kapsul dengan bagian badan kapsul menyatu dengan baik.

3.8.5 Penyalutan Kapsul Alginat

Dilarutkan Eudragit RS 100 dalam beaker dengan pelarut aseton.Dibuat larutan Eudragit RS 100 dengan berbagai konsentrasi yaitu 20%.Dalam larutan Eudragit RS 100, dimasukkan kapsul alginat yang telah berisi ranitidin HCl, lalu di stirrer selama 30 menit.Kemudian diangkat dan dikeringkan dalam lemari asam.

3.9 Uji Bioavailabilitas

3.9.1 Penyiapan Hewan Percobaan

Dua minggu sebelum pengujian, kelinci dirawat sebaik-baiknya pada kandang dengan dijaga kebersihan kandangnya. Kelinci yang sehat ditandai dengan pertumbuhan normal dan suhu badan.

3.9.2 Pemberian Obat Secara Oral Pada Hewan Percobaan

Pengujian dilakukan dengan metode cross over design menggunakan 6 kelinci. Pemberian ranitidin HCl pada hewan kelinci dengan metode ini dapat dilihat pada tabel 3.1.

Tabel 3.1 Pemberian Ranitidin HCldengan metode cross over design Kelinci Sediaan

Istirahat selama 2

minggu

Kelinci Sediaan

1 A 1 B

2 A 2 B

3 A 3 B

4 B 4 A

5 B 5 A

6 B 6 A

(44)

Keterangan :

A = Kapsul alginat berisi ranitidin HCl B = Kapsul gelatin berisi ranitidin HCl

Sebelum digunakan dipuasakan selama 18 jam interval waktu pengambilan darah kelinci yaitu 15, 30, 60, 120, 180, 240, 300, 360, 440, 480, 540, 600 menit setelah pemberian obat peroral.

3.9.3 Penentuan Bioavailabilitas Ranitidin HCl SetelahPemberian Peroral a. Kurva serapan

Kurva serapan dibuat dengan mempersiapkan larutan ranitidin HCl dalam asetonitril pada konsentrasi 6 g/ml. satu ml dari larutan tersebut dicukupkan sampai 5 ml menggunakan asetonitril, ditambahkan 1 ml plasma darah kelinci yang tidak mengandung obat, disentrifus 2500 rpm selama 15 menit.

Supernatant dipipet sebanyak 4 ml, kemudian ditambahkan 0,2 ml asam perklorat 1,47 M. Serapan diukur pada panjang gelombang 200-400 nm.

b. Kurva kalibrasi

Kurva kalibrasi ranitidin HCl dibuat dengan mempersiapkan larutan ranitidin HCLdalam asetonitril pada konsentrasi 2, 4, 6, 8, dan 10 g/ml. Satu ml larutan tersebut dicukupkan sampai 5 ml menggunakan asetonitril. Setiap dari larutan ini ditambahkan 1 ml plasma darah kelinci yang tidak mengandung obat, disentrifus 2500 rpm selama 15 menit. Supernatan dipipet sebanyak 4 ml, kemudian ditambahkan 0,2 ml asam perklorat 1,47 M. Absorbansi diukur pada 225 nm. Blanko disiapkan dengan plasma dari kelinci yang tidak diberi obat, asetonitril dan asam perklorat ditambahkan dengan cara yang sama. Kurva kalibrasi diplot pada absorbansi 225 nm versus konsentrasi dengan koefisien

(45)

c. Absorbsi obat

Pengambilan darah dilakukan pada masing-masing kelinci tiap kelompok. Darah diambil dari vena auricularis telinga kelinci sebanyak 2 ml, dimasukkan pada politube yang telah berisi heparin 5000 IU kemudian disentrifus dengan kecepatan 1500 rpm selama 10 menit untuk memisahkan plasmanya. Satu ml plasma diambil dan ditambahkan 5 ml asetonitril kemudian disentrifus pada kecepatan 2500 rpm selama 15 menit, diambil 4 ml supernatan, dipipet 0,2 ml asam perklorat 1,47 M kemudian konsentrasi obat ditentukan dengan spektrofotometer UV pada 225 nm (Mastiholimath, et al., 2008).

3.10 UjiIn Vivo Efek Anti Ulkus

Aktivitas antiulkus dari sediaan floating kapsul alginat yang mengandung ranitidin HCl dilakukan dengan metode induksi ulkus yaitu penginduksian ulkus dengan HCl 0,6 N menggunakan hewan percobaan tikus.

Hewan percobaan: Tikus putih yang digunakan mempunyai berat sekitar 150-200 gram. Tikus sebelum perlakuan diadaptasikan terlebih dahulu terhadap lingkungan selama 1 minggu. Tikus kemudian dipuasakan selama 36 jam dengan tetap mendapatkan minum.

Semua tikus diberikan HCl 0,6 N secara oral, untuk pembuatan ulkus pada lambung tikus. Selanjutnya 1 jam setelah pemberian HCl 0,6 N sebanyak 6 ekor tikus dibedah sepanjang kurvatura mayor lambung tikus lalu lambung dibuka dan dicuci perlahan dengan air mengalir, lalu diamati ulkus secara makroskopis (jumlah ulkus dan indeks ulkus) dan mikroskopis (histopatologi). Keadaan pada masing-masing tikus dianggap sebagai keadaan ulkus mula-mula.

(46)

3.10.1 Pengamatan Makroskopis

Tikus dibagi atas 4 kelompok pada hari ke 2 dan hari ke 4 yang masing- masing kelompok tikus terdiri dari 6 ekor.

Kelompok 1 : Tikus kontrol negatif (suspensi tanpa obat)

Kelompok 2 : Tikus yang diberi suspensi ranitidin HCl(dosis 13,5 mg/kg bb) Kelompok 3: Tikus yang diberi 1 kapsul alginat berisi ranitidin HCl (13,5

mg/kgbb ranitidin HCl) dan setiap 1 jam diberikan 2 ml air (Saritha et al, 2012).

Tikus dipuasakan ± 36 jam, kemudian tikus diberikan 1 ml HCl 0,6 N.

Setelah 1 jam, tikus diberikan obat sekali sehari sesuai dengan perlakuan masing- masing kelompok selama 2 hari dan 4 hari, pada hari kedua dan keempat tikus dikorbankan dengan menggunakan dietileter (inhalasi), kemudian dibedah dan diambil lambungnya dan diamati secara makroskopis dan mikroskopis.

Pengamatan makroskopis meliputi penentuan jumlah ulkus dan menghitung indeks ulkus dan persentase proteksi terhadap ulkus dengan rumus sebagai berikut (Yamazaki, et al., 1991 ; Sabiu, et al., 2015):

Indeks ulkus = Luas ulkus

luas lambung total x 100 Rasio kuratif =Indeks ulkus kontrol−indeks ulkus perlakuan

indeks ulkus kontrol x 100 %

Lambung yang telah dicuci dengan larutan fisiologis NaCl kemudian direndam dalam larutan formalin 10% untuk diproses dalam pembuatan preparat untuk histopatologik.

(47)

3.10.2 Pembuatan Preparat Untuk Pemeriksaan Histopatologik

Pembuatan preparat untuk pemeriksaan histopatologik terdiri dari tahap-tahap sebagai berikut :

a. Jaringan lambung dipotong sesuai dengan yang diinginkan setebal 1-2 mm.

b. Difiksasi dengan menggunakan larutan formalin 10% minimal 6-7 jam.

c. Difiksasi kembali dengan menggunakan larutan formalin 10% selama 1 jam dan dilakukan pengulangan 2 kali.

d. Dehidrasi dengan merendam spesimen ke dalam etanol 70%, 80%, dan 96% masing-masing selama 1 jam 30 menit. Tahap dehidrasi bertujuan untuk mengeluarkan air dari jaringan yang telah difiksasi agar nantinya mudah dilakukan parafinisasi.

e. Penjernihan dengan merendam spesimen kedalam xilena selama 2 jam.

dan dilakukan pengulangan 3 kali. Tahap penjernihan bertujuan untuk mengeluarkan alkohol dari jaringan

f. Penanaman (Embeding) yaitu jaringan dimasukkan kedalam media paraffin cair 56°C) selama 2 jam dan dilakukan pengulangan 2 kali.

g. Blocking pada cassete dan didinginkan pada suhu 4°C beberapa saat.

h. Spesimen dipotong dengan menggunakan mikrotom setebal 2-3 μm kemudian dimasukkan di atas kaca objek yang telah diolesi gliserin.

i. Dilakukan deparafinisasi dengan menggunakan xilol selama 15 menit dan dilakukan pengulangan 3 kali.

j. Direhidrasi dengan menggunakan alkohol 96%, 80%, dan 50% masing- masing selama 15 menit.

(48)

k. Dibersihkan dengan menggunakan air mengalir kemudian diwarnai dengan pewarnaan Hematoxylin Eosin (rendam ke dalam zat warna larutan Haematoxylin mayers 2% selama 5 menit kemudian cuci dengan air mengalir, setelah itu direndam ke dalam larutan eosin 1% selama 1 menit

l. Dehidrasi dengan etanol 80%, 96%, dan absolut masing-masing 1 menit lalu dikeringkan.

m. Direndam dalam larutan xilene selama 1 menit, kemudian ditutup dengan kaca objek yang telah diberi Canada balsam

n. Diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 10 x 10 dan 10 x 40 (Humason, 1967; Gunarso, 1989)

(49)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sediaan floating kapsul alginat berisi ranitidin HCl

Sediaan floating kapsul alginat berisi ranitidin HCl yang dihasilkan berwarna putih baik sebelum dan setelah disalut eudagrit RS 100 20%. Volume kapsul secara perhitungan 0,065 ml, sedangkan jika diisi air pada kapsul berisi 1 tetes air yang sama dengan 0,05 ml.

Gambar 4.1Penyalutan cangkang kapsul alginat (a) sebelum penyalutan (b) setelah penyalutan eudagrit RS 100 20%

4.2Uji bioavailabilitas

Penentuan kadar ranitidin HCl dilakukan dengan menggunakan darah kelinci yang diambil dari vena auricularis telinga kelinci. Pengukuran kadar plasma digunakan alat spektrofotometer ultraviolet (UV) pada panjang gelombang 225 nm. Data rata-rata konsentrasi ranitidin HCl dalam sediaan kapsul alginat berisi ranitidin HCl dalam plasma dan kapsul gelatin berisi ranitidin HCl dalam plasma dapat dilihat pada Tabel 4.1 dan Gambar 4.2.

A B

(50)

Tabel 4.1 Data rata-rata konsentrasi ranitidinHCl pada sediaan kapsul alginat dan kapsul gelatin dalam plasma.

No Waktu

(Menit)

Konsentrasi dalam plasma (g/ml)

Kapsul gelatin Kapsul alginat

1 15 3.69 ± 3.16 3,29± 1,40

2 30 7,05 ±3,70 7,08±3.31

3 60 7,29 ± 4,06 9,63±4,77

4 120 10,35 ± 6,09 11,40 ± 4,34

5 180 8,27 ± 3,07 18,94 ± 11,96

6 240 8,44 ± 4,96 19,09 ±10,49

7 300 7,01± 4,29 18,86 ±6,66

8 360 6,76 ± 3,27 17,31 ±8,60

9 440 5,19 ± 2,42 13,22 ± 6,16

10 480 4,69 ± 2,77 10,58 ± 4,17

11 540 3,88 ± 2,77 8,74 ±4,89

12 600 2,66 ± 1,31 8,32 ± 3,53

Gambar 4.2 Grafik hasil pengukuran kadar ranitidin HCl dalam plasma Berdasarkan grafik diatas, pada menit ke-15 dan ke-30 terjadi perbedaan konsentrasi yang tidak signifikan antara kapsul alginat berisi ranitidin HCl dan kapsul gelatin berisi ranitidin HCl, dimana pada kapsul gelatin berisi ranitidin HCl mempunyai konsentrasi ranitidin HCldalam plasma dari menit ke-15 dan ke-30 yaitu 3,69 dan 7,05. Sedangkan kapsul alginat berisi ranitidine HCl memiliki konsentrasi ranitidin dalam plasma dari menit ke-15 dan ke-30 adalah 3,29 dan

0 5 10 15 20 25 30 35

0 15 30 60 120 180 240 300 360 440 480 540 600 kosentrasi dalam plasma (g/ml)

Kapsul gelatin berisi ranitidin HCl

Kapsul alginat berisi ranitidin HCl Waktu (menit)

(51)

disebabkan kapsul gelatin lebih mudah pecah dan mengeluarkan ranitidin HCl sehingga memiliki konsentrasi lebih tinggi dibandingkan kapsul alginat yang disalut oleh eudagrit RS 100 20%.

Dari bioavaibilitas, dapat diperoleh nilai atau laju suatu bahan aktif obat beredar secara sistemik dan berikatan dengan target aksi. Nilai bioavaibilitas terdiri atas tmaks, Cmaks, dan luas dibawah kurva (AUC). Hasil rata-rata parameter ketersediaan hayati diatas dapat dilihat dari konsentrasi maksimum (Cmaks) dengan kapsul gelatin berisi ranitidin HCl dan kapsul alginat berisi ranitidin HCl terdapat perbedaan yang bermakna (p < 0,05). Berdasarkan analisis tersebut dapat diketahui terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai Cmaks kapsul gelatin dan kapsul alginat dengan nilai Cmaks pada kapsul gelatin adalah 10,35g/ml dan kapsul alginat 19,09 g/ml.

Adapun tmaksKapsul alginat berisi ranitidinHCl adalah 240 menit namun tmakskapsul gelatin berisi ranitidin HCl adalah 120 menit. Hal ini berarti kapsul alginate berisi ranitidin HCl memerlukan waktu yang lebih lama untuk mencapai konsentrasi maksimum dibandingkan dengan kapsul gelatin. Jika dilihat dari nilai AUC yang diperoleh dengan menggunakan rumus trapesium pada kapsul alginat berisi ranitidin HCldan kapsul gelatin berisi ranitidin HClberturut-turut adalah 8047,3 ±179,21 menit.g/mldan 4419,22 ± 427,48 menit.g/ml. Dari data ini dapat dilihat bahwa jumlah (kadar) obat yang diabsorbsi di dalam darah pada kapsul alginat berisi ranitidin HCllebih besar dibandingkan dengan kapsul gelatin berisi ranitidin HCl, karena AUC dalam plasma-waktu adalah suatu ukuran dari jumlah ketersediaan hayati suatu obat. AUC mencerminkan jumlah total obat aktif yang mencapai sirkulasisistemik (Shargel, et al., 2005).

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

and the ``social embedded- ness of its object of analysis'' (Maurice et al., 1992), little light is in e€ect shed on the social or historical roots of observed di€erences. 81)

 Melalui lagu, siswa dapat memperkenalkan diri dengan menyebut nama panggilanD.  Melalui permainan “Suara siapakah itu?”, siswa dapat mendengar perbedaan warna

Cara pengelasan baja paduan karbon rendah adalah sama dengan cara yang diterapkan pada baja karbon murni.Semua proses las busur bisa digunakan untuk mengelas baja

Through the acceleration of science and technology research exchange and collaboration in the East Asian region, the e-ASIA Joint Research Program (e-ASIA

(a) Rangkaian saklar untuk menyalakan sebuah LED yang bekerja dengan arus 20 mA dan arus basis yang besarnya tidak lebih

Sehubungan dengan dilaksanakannya Seleksi Rekam Jejak Calon Anggota Majelis Akreditasi dan Dewan Eksekutif Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi Tahun 2016

Pola, mal atau model (pattern), yaitu sebuah bentuk dan ukuran benda yang sama dengan bentuk asli benda yang dikehendaki, pola ini dapat dibuat dari kayu atau plastik yang

Rosmawaty, M.Pd Universitas Negeri Medan. 65