MAKALAH
MODEL HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
Ditulis untuk Memenuhi tugas terstuktur matakuliah Hubungan Antar Pemerintah
Oleh : Kelompok 9
Anggota :
1. Cik Ida Kumalasari Amirudin (135030100111043) 2. Betty Dyah Anggun Purnama Wulan (135030101111039) 3. Hafiz Alfiansyah Izzudin (135030101111052)
4. Ardika Wasis Harsanto (135030107111033)
Program Studi Ilmu Administrasi Publik Jurusan Administrasi Publik
Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya
Malang
2015
Kata Pengantar
Puji Syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq serta hidayah-Nya kepada penulis, sehingga makalah yang berjudul “Model Hubungan Pusat dan Daerah” ini dapat diselesaikan sesuai dengan rencana dan tepat pada waktunya tanpa ada halangan apapun.
Penyusunan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah Hubungan Antar Pemerintah pada semenster genap tahun 2014-2015. Selain itu, dalam makalah ini diuraikan tentang Hubungan Koordinat, Hubungan Inklusif, dan Hubungan Tumpang Tindih.
Dengan penuh kesadaran penulis mengakui bahwa dalam menyelesaikan makalah ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, atas terselesaikannya penulisan makalah ini tidak lupa penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada :
1. Allah SWT karena telah memberikan penulis kemudahan dalam penulisan makalah ini sehingga dapat terselesaikan tanpa ada halangan apapun
2. Romy Hermawan, S.Sos, MAP selaku Dosen matakuliah Hubungan Antar Pemerintah yang telah membimbing dan memberikan pengarahan dalam penyusunan makalah ini sehingga terselesaikan sesuai dengan rencana
Dalam penyusunan makalah ini telah diusahakan semaksimal mungkin akan tetapi penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dikarenakan sedikitnya pengalaman penulis, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang berguna dari semua pihak yang telah membaca makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang membaca dan masyarakat pada umumnya.
Malang, April 2015
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...1
KATA PENGANTAR...2
DAFTAR ISI...3
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...4
1.2 Rumusan Masalah...4
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Makna Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah oleh Gubernur dan Hubungan Antar Level Pemerintahan dalam Era Otonomi Daerah...5
2.2 Hubungan Koordinatif...7
2.3 Hubungan Inklusif...8
2.4 Hubungan Tumpang Tindih...9
2.5 Model hubungan kewenangan dan konsekuensinya terhadap pengawasan dalam era otonomi daerah...11
2.6 Review UU No. 23 Th 2014 tentang Pemerintahan Daerah...13
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan...20
3.2 Saran...21
DAFTAR PUSTAKA...22
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah selalu menjadi sorotan menarik untuk ditelaah. Setelah berdirinya Republik Indonesia dan dibentuknya pemerintahan pusat dan daerah, tak selalu hubungan yang terjalin penuh keharmonisan. Ada kalanya terjadi beberapa
“perselisihan”. Baik sejak zaman orde lama, orde baru, bahkan pada era reformasi ini.
Pada dasarnya, guna mencapai tujuan Negara yaitu kemakmuran rakyat, perlu adanya hubungan harmonis dari berbagai pihak. Termasuk pemerintah pusat dan daerah. Dengan adanya hubungan yang harmonis, diharapkan terjalin kinerja yang sinergis sehingga pelayanan negara terhadap rakyat dapat diwujudkan. Perbincangan tentang hubungan pemerintahan antara pusat dan daerah senantiasa selalu menjadi perdebatan panjang dinegara manapun didunia ini, baik pada negara-negara yang telah maju seperti Amerika Serikat dan Inggeris apalagi bagi negara yang baru berkembang dan sedang berusaha mencari bentuk dan bereksprimen tentang bentuk hubungan yang serasi antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat seperti Republik Indonesia ini.
Oleh karena itu, kelompok kami mengambil judul Model Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah untuk mengetahui bagaimana hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah sekarang.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa Makna Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah oleh Gubernur dan Hubungan Antar Level Pemerintahan dalam Era Otonomi Daerah ?
2. Bagaimana Hubungan Koordinatof dalam Model Hubungan Pusat dam Daerah?
3. Bagaimana Hubungan Inklusif dalam Model Hubungan Pusat dam Daerah?
4. Bagaimana Hubungan Tumpang Tindih dalam Model Hubungan Pusat dam Daerah?
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Makna Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah oleh Gubernur dan Hubungan Antar Level Pemerintahan dalam Era Otonomi Daerah
Fungsi pengawasan memiliki kedudukan yang sangat penting dalam rangkaian kegiatan manajemen termasuk manajemen pemerintahan. Fungsi pengawasan melibatkan paling tidak adanya dua pihak yakni pihak yang mengawasi dan pihak yang diawasi. Pembahasan dibatasi pada aspek teoritis dikaitkan dengan hubungan antar level pemerintahan dalam era otonomi daerah.
Pengawasan didefinisikan sebagai proses :
1. Memonitor berbagai kegiatan untuk menjamin agar kegiatan tersebut dapat dicapai sesuai dengan rencana dan
2. Melakukan koreksi terhadap penyimpangan yang signifikan.
Sebagai suatu proses pengawasan dilakukan secara berkelanjutan, melalui tahapan- tahapan yang relative baku atau secara sistematis, dan diutamakan sebagai langkah pencegahan sebelum suatu penyimpangan terjadi.
Pengawasan diawali dengan adanya rencana yang dilengkapi dengan standar yang telah ditentukan untuk menentukan berhasil, gagal, atau sekedar adanya penyimpangan pencapaian rencana yang dimaksud. Dengan demikian jelas bahwa kegiatan pengawasan tidak sekedar observatif melainkan lebih bersifat korektif.
Kegiatan pengawasan lebih bersifat korektif yaitu untuk meluruskan pelaksaan kegiatan agar dapat mencapai sasaran yang dikehendaki dan sesuai dengan ukuran yang diharapkan bukan untuk mencari-cari kesalahan. Pengawasan akan lebih bersifat ideal apabila bersifat preventif dan atisipatif dalam arti bahwa pengawasan dilakukan sebagai tindakan pencegahan agar penyimpangan atau kekurangan yang mungkin terjadi dapat dihindari.
Ada dua unsur penting dalam fungsi pengawasan yaitu adanya kegiatan mempengaruhi yang mempengaruhi pihak yang dipemgaruhinya, dan adanya tujuan dalam pengertian bahwa kegiatan mempengaruhi pihak lain itu dilakukan dengan maksud untuk mengerahkannya pada sasarn yang dikehendaki oleh pihak yang mempengaruhi.
Sesuai dengan tema yang dibahas yaitu pendekatan “pengawasan birokratik” yang memberikan penekanan pada otoritas organisasi yang berpijak pada mekanisme administrative dan hirarki.
Proses pengawasan meliputi tiga tahapan utama, yakni pertama, penentuan standar kinerja; kedua, pengukuran kinerja nyata dan membandingkannya dengan standar kinerja; dan yang terakhir melakukan tindakan-tindakan yang dianggap perlu untuk mengoreksi penyimpangan ataupun kekurangan yang dijumpai untuk disesuaikan dengan standar yang telah ditetapkan.
Telah disinggung sebelumnya, pengawasan akan lebih ideal apabila bersifat preventif dan antisipatif. Untuk dapat melakukan pengawasan seperti itu diperlukan “carly warning system” yang biasanya sukar untuk didesain. Oleh karena itu, pengawas cenderung lebih memanfaatkan dua cara pengawasan lainnya, yakni dengan cara pengawasan terhadap kegiatan yang sedang dilakukan, yang lebih dikenal dengan istilah supervise atau dengan dengan cara pengawasan terhadap kegiatan yang dilakukan setelah terjadinya penyimpangan.
Hal penting lainnya, perlu ditetapkan hal-hal yang menjadi pusat perhatian atau obyek dalam pengawasan yang masing-masing obyek pengawasan itu telah ditetapkan terlebih dahulu antar keberhasilan yang dikehendaki. Selain itu perlu pula ditetapkan pada level mana pengawasan itu dilakukan.
Hal lainnya yang tidak boleh dilupakan, bahwa kegiatan pengawasan memerlukan persyaratan tertentu agar dapat dilaksanakan secara efektif, antara lain berupa objektivitas, kecermatan dan keluwesan, dan kepekaan dalam arti kemampuan memberikan perhatian lebih untuk situasi yang memang memerlukan kekhususan.
MODEL HUBUNGAN KEWENANGAN DALAM KONTEKS NEGARA KESATUAN Hal pertama yang perlu dikemukakan adalah bahwa daerah otonom seberapapun luas otonominya harus tetap di bahas dalam konteks negara kesatuan. Daerah otonom bukanlah negara bagian dan karenanya tidak semestinya memiliki kewenangan semestinya negara bagian. Dari sisi lain apabila daerah otonom dipandang sebagai sub sistem dari pemerintahan (nasional), tentunya kita tidak akan sependapat bahwa seluas apapun kewenangan yang oleh Undang-undang ditentukan sebagai kewenangan daerah otonom, penyelenggaraan berbagai kewenangan itu perlu selalu ditempatkan dalam konteks ikatan negara kesatuan. Weight (1988) menyebutkan bahwa ada tiga model hubungan kewenangan antar Pemerintah Nasional (PN),Pemeintah Regional (PR),dan Pemerintah Lokal (PL) yakni :1) Hubungan koordinat (coordinat authority).2)Hubungan Koordinat (inclusive authority),dan 3)Hubungan Timpang Tindih (overlapping authority).
Hubungan otoritas-koordinat ditandai dengan pemisahan yang tajam antara kewenangan Pemerintah Nasional (PN) dan Pemerintah Regional (PR). Dengan demikian hubungan PN dn PR sifatnya independen dan otonom. Pemerintah Lokal merupakan bentukan Pemerintah Regional (PR) dan oleh karenanya PR memiliki kewenangan untuk menghapuskan Pemerintah Lokal. Selain itu kewenangan Pemerintah Lokal terbatas.
2.2 HUBUNGAN KOORDINAT ( COORDINATE – AUTHORITY MODEL ) REGIONAL GOVERNMENT
LOCAL GOVERMENT
NATIONAL GOVERNMENT
Hubungan otoritas-inklusif dapat digambarkan sebagai hubungan tiga buah lingkaran dengan ukuran besar (PN) yang didalamnya terdapat lingkaran dengan ukuran sedang (PR),sedangkan didalam lingkaran sedang tersebut terdapat lingkaran kecil (PL).Sebab itulah hubungan otoritas antara PN,PR,dan PL bersifat independen dan hirarkis.Dengan tata hubungan yang digambarkan,perubahan kewenangan PN dapat dilakukan dengan dua cara:dengan cara keluar,yakni dengan memperluas lingkaran PN tanpa mengurangi kewenangan PR ataupun PL atau dengan cara kedalam dengan konsekuensi mempersempit area kewenangan PR dan/atau PL.Karena Hubungan kewenanganya ditandai dengan adanya ketergantungan hirarkis,hubungan kewenangan otoritas-inklusif pada umumnya bersifat
“zero-sum” game,dalam arti perolehan satu pihak akan mengakibatkan kehilangan pihak lain.Sebagai contoh,apabila PN membuat suatu kebijakan tertentu,kewenangan PR dan/atau PL akan berkurang pada areas tersebut.
2.3 HUBUNGAN INKLUSIF ( INCLUSIVE – AUTHORITY MODEL )
Model Ketiga yang dipercaya berada diantara kedua model yang ekstrim tersebut diatas dikenal dengan sebutan otoritas overlap dan merupakan model tata hubungan kewenangan yang dinilai memiliki keluesan dalam praktek penyelenggaraan pemerintah. Sehubungan dengan hal itu model itu juga ditandai dengan sedikitnya kewenangan otonomi masing-
NATIONAL GOVERNMENT
REGIONAL GOVERNMENT
LOCAL GOVERNMENT
masing yang berarti pula sedikitnya kewenangan yang dimiliki PN.PR ataupun PL dan karenanya akan mendorong kegiatan “tawar-menawar”antara PN,PR dan PL.
2.4 HUBUNGAN TUMPANG TINDIH ( OVERLAPPING – AUTHORITY MODEL )
Gambaran mengenai model-model tersebut dan perbandingannya dengan model di Indonesia berdasarkan Undang-undang nomor 22 tahun 1999 adalah sebagai berikut :
1. Model lain dikemukakan oleh Kavanagh (1985) yang pada dasarnya menyebutkan bahwa model hubungan Pemerintah Pusat dengan daerah ada dua macam yaitu :
1. Model Pelaksana ( Agency Model )
Dalam hubungan ini pemerintah daerah dapat dilihat sebagai pelaksana dari Pemerintah Pusat. Kewenangan-kewenangan daerah sangat terbatas dan keberadaan pemerintah daerah tergantung kepada pusat. Pusat dapat menghapus Pemerintah Daerah dan kewenangan-kewenangannya. Di dalam model ini, kerangka kerja nasional suatu kebijakan ditentukan secara terpusat dan Pemerintah Daerah tinggal melaksanakan.
2. Model Kemitraan ( Pertnership Model ) N/R
N/R/L REGIONAL GOVERNMENT
LOCAL GOVERNMENT NATIONAL GOVERNMENT
N/L
Menurut model ini, Pemerintah Daerah mempunyai kebebasan tertentu untuk menentukan beberapa pilihan lokal. Pemerintah Daerah juga mempunyai legitimasi sendiri,mempunyai otoritas pembiayaan, penguasaan sumber-sumber dan kewenangan tertentu dibidang perundang – undangan. Pemeritah Daerah menurut model ini tidak hanya sebagai pelaksana tetapi sebagai mitra yang dapat berunding untuk menciptakan keseimbangan kekuasaan antara pusat dengan daerah.
Menurut Undang – undang nomor 22 tahun 1999 yaitu :
Interaksi antara pusat dan daerah pada dasarnya selalu dilandaskan pada pengkombinasian (unit) dari pengawasan, ketergantungan dan kerjasama. Pemerintah Daerah mempunyai kekuasaan legislatif sendiri dan semua otoritas kekuasaan di kontrol oleh parlemen.
Parlemen dapat mengamandemen atau menarik kewenangan – kewenangan yang diberikan kepada daerah, apabila daerah melampaui kewenangan – kewenangan yang di berikan. Ini adalah pengawasan yang disebut pengawasan politik dalam konteks Hubungan Pusat daerah di Inggris ( Kavanagh; 274 ).
PEMERINTAH NASIONAL
PEMERINTAH PROVINSI PEMERINTAH KABUPATEN /KOTA
2.5 MODEL HUBUNGAN KEWENANGAN DAN KONSEKUENSINYA TERHADAP PENGAWASAN DALAM ERA OTONOMI DAERAH
Dengan diperolehnya gambaran tentang tata hubungan antar PN, PR, dan PL yang dikemukakan oleh Wright dan Kavanagh. Dalam konteks tata pemerintahan pada waktu ini adalah Presiden dalam kedudukannya sebagai kepala negara dan Kepala Kepemerintahan. Yang menjadi persoalan tentunya apabila Presiden untuk menjalankan fungsi pengawasan dengan melakukan pengawasan secara langsung terhadap seluruh daerah otonomi suatu keadaan yang tidak efisien dilakukan. Oleh karena itu muncul teori organisasi yakni dengan menempatkan wakil yang merupakan personifikasi seorang pimpinan atau pejabat di suatu wilayah tertentu.
Perlu ditegaskan bahwa personifikasi Presiden yang merupakan departentisasi geografis tidak hanya terdapat pada jabatan Gubernur. Sebab Presiden selaku Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia juga menempatkan wakil sebagai personifikasinya di wilayah tertentu pada Komandan Komando Daerah Militer. Jabatan Gubernur sebagai personifikasi Presiden, ia memiliki kedudukan sebagai “ The Tutelage” atau “ The Guardian of the Republic”.
Langkah- langkah nyata untuk mengkokohkan kewenangan Gubernur dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap Daerah Otonomi setidaknya untuk hal- hal berikut:
1. Melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan otonomi daerah agar tetap dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tetap berada dalam lingkup tata urutan peraturan-perundangan yang berlaku.
2. Melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan otonomi daerah agar tetap dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk didalamnya mengawasi agar daerah otonomi daerah.
3. Melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan otonomi daerah agar gubernur memainkan peran yang konstruktif dalam memupuk kerjasama lembaga- lembaga daerah otonomi dalam penyelenggaraan otonomi daerah.
4. Melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan otonomi daerah agar gubernur dapat memainkan peran yang konstruktif dalam memupuk kerjasama antar daerah otonom.
5. Melakuakn pengawasan terhadap penyelenggaraan otonomi daerah agar gubernur dapat memainkan peran yang positif dalam mencegah sengketa atau konflik antar daerah otonom.
6. Masih ada lagi fungsi pengawasan lain yang dijalankan oleh gubernur sebagai konsekuensi dari diberlakukannya atas tugas pembantuan yang dilengkapi dengan berbagai sumber daya maupun “aturan mainnya”.
Review UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
Mengingat bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan pemerintahan daerah sehingga perlu diganti; Penyelenggaraan pemerintahan daerah memasuki era baru ketika UU no 32 tahun 2004 digantikan dengan UU no 23 tahun 2014.
Era baru penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat kita lihat dari perbedaan yuridis maupun filosofis. Perbedaan yuridis tertuang dalam bentuk pasal-pasal yang mengatur hal-hal yang tidak diatur dalam UU sebelumnya. Sedangkan perbedaan filosofis terlihat dari makna dan orientasi yang secara tersurat terkandung dalam pasal-pasal yang sebelumnya tak diatur dalam UU sebelumnya.
Perbedaan secara yuridis, sangat terlihat dengan tidak adanya pasal-pasal yang mengatur tentang penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Perihal pemilihan daerah telah diatur dalam UU no 22 tahun 2014. Adapun alasan utama yang tecantum dalam naskah akademik RUU Pilkada dimaksudkan untuk agar UU baik tentang Pemda maupu Pilkada dapat berjalan secara maksimal sesuai dengan isu sentralnya masing-masing. Selain itu, dalam pemisahan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pilkada dimaksudkan untuk mempertegas posisi dan perbedaan Gubernur dan Walikota/Bupati.
Hal ini dikarenakan Gubernur yang dipilih melalui mekanisme pemilihan langsung. Namun, secara sepihak dikooptasi dengan menempatkan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
Dalam perspektif akademis posisi Gubernur dapat dikategorikan sebagai “unit antara”. Ciri khas dari “unit antara” dalam penyelenggaraan pemerintahannya bersinggungan dengan kegiatan dekonsentrasi daripada desentralisasi. Dengan demikian, Gubernur yang dipilih langsung oleh rakyat, kewewenangannya “terkebiri” karena status gandanya yang juga sebagai wakil pemerintah pusat. Berbeda dengan Walikota dan Bupati yang sama-sama dipilih oleh rakyat tapi statusnya sebagai daerah otonom yang mengedepankan prinsip atau azas desentralisasi. Disinilah urgensi pemisahan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pemilihan pilkada mejadi dua UU yang berbeda.
Perbedaan selanjutnya perihal pembagian urusan pemerintahan. Pada UU sebelumnya urusan pemerintahan dibagi atas Urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat (dapat dilimpahkan sebagian urusannya kepada perangkat Pemerintah Pusat atau wakil Pemerintah Pusat di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah) dan Urusan pemerintah daerah dibagi atas urusan wajib dan pilihan. Namun, di UU no 23 tahun 2014, urusan pemerintahan dibagi atas Urusan Absolut yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, Urusan pemerintahan kongkruen yang dibagi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Dalam naskah akademik RUU Pemda tahun 2011 dijelaskan bahwasanya mengacu kepada ketiga kriteria tersebut, pembagian urusan pemerintahan menjadi sebagai berikut:
1. Pemerintah Pusat mempunyai kewenangan untuk membuat pengaturan dalam bentuk Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) yang dijadikan acuan bagi pemerintahan daerah provinsi, kabupaten/kota untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah tersebut; berwenang melakukan monitoring, evaluasi dan supervise terhadap pemerintahan daerah, dan berwenang untuk melakukan urusan pemerintahan yang berskala nasional (lintas provinsi) atau internasional (lintas negara).
2. Pemerintahan daerah provinsi mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang berskala provinsi (lintas kabupaten/kota) berdasarkan NSPK yang ditetapkan Pemerintah Pusat.
3. Pemerintahan daerah kabupaten/kota berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang berskala kabupaten/kota berdasarkan NSPK yang ditetapkan Pemerintah Pusat.
Selain itu Pemerintah Pusat diwajibkan menyelesaikan penetapan NSPK tersebut dalam waktu dua tahun dan apabila dalam waktu dua tahun Pemerintah Pusat belum juga menetapkan NSPK untuk dijadikan acuan bagi pemerintahan daerah untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang
untuk melaksanakan urusan yang menjadi kewenangannya. Fungsi lainnya dari NSPK adalah mengatur hubungan antar tingkatan dan susunan pemerintahan yaitu antara pusat dan daerah dan antar pemerintahan daerah dalam pelaksanaan suatu urusan (naskah akademik RUU Pemda hal 8-9, 2011).
Adapun yang menjadi titik permasalahan dalam pembagian urusan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah yang terlalu banyak (31 buah urusan yang menajdi urusan pemerintahan yang didesentralisasikan). Selain itu, pemerintah daerah dari Provinsi hingga Desa juga dibebankan untuk melaksanakan urusan Pemerintah Pusat berdasarkan azas tugas pembantuan.
Dengan besarnya urusan pemerintahan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah, kebutuhan akan aparatur yang melaksanakan urusan wajib tersebut semakin membesar. Aparatur daerah yang gemuk ini, tentunya membutuhkan biaya yang sangat besar pula sehingga terjadi overcost terhadap pembiayaan aparatur. Kondisi ini berdampak tidak maksimalnya penyelenggaran program di daerah khususnya pada aspek pengadaan sarana dan prasarana yang diperuntukkan bagi masyarakat.
Selain itu, efek samping dari gemuknya aparatur di daerah, dan diparah dengan alur birokrasi yang kacau, telah melahirkan birokrasi yang tidak efektif dan efisien. dalam New Public Management (NPM), yang sekarang ini menjadi gerakan pembaharuan administrasi publik di negara maju dan berkembang, desentralisasi telah menjadi satu nilai penting dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang efisien, efektif, responsif, dan akuntabel.
Maka dari itu, dalam UU no 23 tahun 2014, Urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah dibedakan atas dua jenis. Termaktub dalam Pasal 9 (1) Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum, ; (2) Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, ; (3) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota, ; (4) Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah, ; (5) Urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Urusan pemerintah absolut sebagaimana dijelaskan dalam pasal 10 ayat 1, terdiri atas Politik LN, Hankam, yustisi, moneter dan fiskal serta agama. Namun, Pemerintah Pusat dalam melimpahkan kewenangannya kepada instansi vertikal dan wakil pemerintah pusat di daerah yakni Gubernur yang berdasarkan asas dekonsentrasi. Dengan demikian, urusan pemerintah absolut memang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan tak berkaitan dengan pemerintah kota dan kabupaten yang mengedepankan azas desentralisasi serta bukan perwakilan pemerintah pusat.
Selain itu, untuk memaksimalkan kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah baik Gubernur selaku wakil Pemerintah Pusat dan pemerintah kota serta kabupaten, telah dibedakan menjadi dua jenis urusan konkuren yakni urusan pemerintah wajib dan urusan pilihan. Untuk urusan wajib pun dibagi dua lagi yakni urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar dan yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Urusan wajib ini pun, secara yuridis diatur dengan menggunakan skala prioritas bahwa urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar diprioritaskan pelaksanaannya sebagaimana diatur dalam pasal 18 ayat 1.
Adanya penyertaan skala prioritas dalam penyelenggaraan urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar agar dimaksudkan otonomi luas bukan lagi diartikan semua urusan harus dilembagakan. Akan tetapi fungsinya tetap menjadi domain kewenangan daerah namun tidak harus dilembagakan tersendiri karena akan memicu bengkaknya overhead cost. Diperlukan pemikiran untuk menerapkan kelembagaan yang ”right sizing” yang bercirikan ramping struktur namun kaya fungsi.
Pembagian wilayah kerja antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota pun dijelaskan secara spesifik dalam UU ini seperti yang termaktub dalam pasal 13 ayat 2, 3 dan 4. Hal ini dimaksudkan untuk memaksimalkan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan wewenangnya masing-masing serta meningkatkan tingkat akuntabilias dan efisiensi dalam mengukur keberbehasilan. Selain itu, pembagian wilayah kerja ini juga ditujukan untuk
memudahkan jalur birokrasi yang kelak akan mempermudah pemerintah baik pusat maupun daerah dalam melayani masyarakat.
Dalam urusan pemerintahan umum, juga diatur secara spesifik yang meliputi 7 bidang utama dan termasuk bidang yang bukan kewenangan daerah dan tidak dilaksanakan oleh Instansi Vertikal. Urusan pemerintahan umum ini dilaksanakan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota di wilayah kerjanya masing-masing. Yang patut dicatat disini adalah penggunaan APBN dalam penyelenggaraan pemerintahan umum. Hal in dimaksudkan agar APBD di masing-masing pemerintah daerah dapat digunakan untuk melaksanakan urusan konkuren yang pelayanan dasar.
Disinilah terlihat komitmen Pemerintah Pusat, untuk menghindari beban berlebih yang harus ditanggung APBD dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Sinergi penyelenggaraan urusan pemerintahan antara kementerian dengan pemerintahan daerah, Presiden melimpahkan kewenangan kepada Menteri Dalam Negeri untuk bertindak selaku kordinator dari kementerian atau lembaga pemerintah non kementerian yang sebagian urusannya diserahkan ke daerah (Naskah Akademik RUU Pemda, hal 77, 2011). Kementerian yang kewenangannya diserahkan kepada daerah berkewajiban untuk melakukan pembinaan dan pengawasan yang bersifat teknis kepada pemerintahan daerah, sedangkan Kementerian Dalam Negeri melaksanakan pembinaan dan pengawasan yang bersifat umum. Mekanisme tersebut diharapkan mampu menciptakan harmonisasi dan sinergi antara Pemerintah Pusat dengan pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan secara keseluruhan.
Dalam melaksanakan urusan pemerintahan umum tersebut, untuk kelancaran kordinasi dengan seluruh pimpinan instansi pemerintahan di daerah, dapat dibentuk Forum Koordinasi Pimpinan Pemerintahan di Daerah dan kepala daerah selaku kepala pemerintahan daerah bertindak sebagai koordinatornya sebagaimana diatur dalam pasal 26. Karena urusan pemerintahan umum merupakan urusan pemerintahan yang tidak di desentralisasikan, maka biaya penyelenggaraan urusan pemerintahan umum tersebut di daerah menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.
Sebagai Negara yang bercirikan kepulauan, dalam UU ini juga mengakomodasi daerah yang bercirikan kepulauan dan diatur dalam Bab V tentang Kewenangan Daerah Provinsi Di Laut dan
Daerah Provinsi yang Bercirikan Kepulauan. Realitas daerah yang memiliki ciri khas kepulauan adalah tidak meratanya sarana dan prasarana yang memadai untuk menunjang penyelenggaraan pemerintahan sehingga pembangunan dan penciptaan kesejahteraan bagi masyarakat yang hidup di daerah kepulauan masih jauh dari harapan. Maka dari itu, pemerintah daerah yang bercirikan kepulauan haruslah memiliki model pembangunan yang berbeda dengan pada umumnya, model pelayanan administrasi/pelayanan publik yang berbasis kepulauan, dan meningkatkan intensitas pembangunan sarana-prasarana yang mengedepankan pendekatan prosperity dan security secara linier.
Dalam UU no 23 tahun 2014, daerah yang bercirikan kepulauan diberikan semacam insentif dan perlakuan secara khusus seperti yang tercantum dalam pasal 28 hingga 30. Ini merupakan bentuk komitmen yang ditunjukkan Pemerintah Pusat dalam membangun daerah bercirikan kepulauan.
Tentunya, dalam pelaksanaannya komitmen ini haruslah dijalankan secara konsekuen dan perlu diberikan pengawasan yang ketat agar permasalahan yang dihadapi masyakarat yang tinggal di daerah kepulauan dalam selesaikan.
Undang-Undang ini juga menjelaskan bahwasanya Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, diatur lebih spesifik seperti yang diatur dalam pasal 91-93. Adapun tugas tersebut melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Tugas Pembantuan di Kabupaten/Kota, melakukan monev dan supervisi, melakukan evaluasi APBD dan lain-lain, dapat membatalkan Perda dan memberikan persetujuan terhadap Raperda Kabupaten/Kota, serta dapat memberikan sanksi kepada Bupati/Walikota.
Gubernur memegang dua peran yaitu sebagai kepala daerah otonom provinsi dan sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah. Sebagai kepala daerah provinsi, gubernur memegang kewenangan memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi sesuai dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi. Sedangkan sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah, gubernur menjalankan peran Pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pemerintahan daerah kabupaten/kota. Dalam konteks melaksanakan peran sebagai wakil Pemerintah Pusat, hubungan gubernur dengan pemerintahan daerah kabupaten/kota bersifat
Dengan luas dan besarnya kewenangan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, diharapkan dapat meminimalisir kekuasaan “Raja-Raja Kecil” yang menerapkan oligarki politik. Upaya ini ditujukan agar penyelenggaraan pemerintahan jauh lebih bersih, akuntabel, efektif-efisien, dan mampu memberikan pelayanan publik bagi masyarakat.
Semangat dari UU no 23 Tahun 2014 ini adalah memaksimalkan peranan pemerintah daerah yang mampu melaksanakan kewenangannya yang berorientasi pelayanan dasar bukan kekuasaan semata. Dengan kondisi tersebut, mau tidak mau, peran serta masyakarat dalam hal pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang berbasis pelayanan publik.
Bentuk manifestasi dari semangat pembaharuan secara yuridis termaktub dalam BAB XIII tentang Pelayanan Publik. Dalam bab ini dibahas tentang upaya pemerintah daerah dalam memenuhi kebutuhan masyakarat sebagai bentuk pelayanan publik. Dengan demikian, masyarakat mampu memberikan feedback terhadap pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah daerah. Maka dari itu, dalam UU ini juga diatur tentang Partisipasi Masyarakat di Bab XV.
Partisipasi masyarakat ditujukan untuk mendorong dan meningkatkan tingkat kesadaran masyarakat terhadap penyelenggaraan pelayanaan publik yang diberikan oleh pemerintah daerah.
Hal ini tentunya akan menjadi katalisator bagi pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan publik yang terbaik.
Keberadaan UU no 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ini harapannya mampu memperbaiki sstem penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selain itu, perubahan orientasi dari kekuasaan semata menjadi pelayanan publik seharusnya mampu mendorong adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah.
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 menempatkan propinsi sebagai wakil Pemerintah Pusat atau wilayah administratif, sekaligus Daerah Otonom. Ini berarti, sebaga wakil Pemerintah Pusat antara propinsi dan kabupaten mempunyai hubungan hierarkhis.
Dalam hal kedudukan propinsi sebagai sesama Daerah Otonom, memang tidak ada hubungan yang bersifat hierarkhis. Kedudukan antar daerah otonom adalah sederajat, sehingga tidak bisa saling meniadakan. Peluang yang diberikan adalah hubungan kerjasama (co-operative). Terdapat 3 model dalam hubungan dalam kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam konteks negara kesatuan yakni coordinat authority, inclusive authority dan overlapping authority. Model ini berpedoman pada UU No 22 Tahun 1999. Mengingat Indonesia telah mengalami 9 kali perubahan UU terkait pemerintahan daerah. Perubahan terakhir terdapat pada UU No. 32 Th 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan pemerintahan daerah sehingga perlu diganti; Penyelenggaraan pemerintahan daerah memasuki era baru ketika UU no 32 tahun 2004 digantikan dengan UU no 23 tahun 2014.
Dalam kaitannya dengan pengawasan oleh gubernur, di dalamnya terkandung sifat pengawasan preventif dan represif. Fungsi pengawasan propinsi/ gubernur yang paling utama adalah untuk meluruskan jalannya otonomi daerah agar tidak menyimpang dari tujuannya yaitu mensejahterakan rakyat melalui proses yang demokratis.
3.2 Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan- kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Irawan Soejito, Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah, Bina Aksara, Jakarta, 1983
UUD NO 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
M. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI dan CV Sinar Bakti , 1988
https://www.academia.edu/8984964/Naskah_akademik_ruu_tentang_hubungan_kewenangan_pe merintah_pusat_dan_daerah
https://www.academia.edu/6845715/pendidikan_inklusi
http://www.kemenkeu.go.id/Artikel/keuangan-inklusif-dan-pengentasan-kemiskinan http://www.bppt.go.id/index.php/opini/daftar-opini/1081-opini’
https://www.academia.edu/6775849/Hubungan_Struktural_Fungsional_Pemerintah_Pusat_denga n_Pemerintah_Daerah_UUD_1945_Hubungan_Pemerintah_Pusat_dengan_Pemerintah_Daerah