• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAN - RI PKKOD Lembaga Administrasi Negara Pusat Kajian K inerja Otonomi Daerah Jakarta,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAN - RI PKKOD Lembaga Administrasi Negara Pusat Kajian K inerja Otonomi Daerah Jakarta,"

Copied!
167
0
0

Teks penuh

(1)

LAN - RI PKKOD

Lembaga Administrasi Negara

Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah

(2)

Executive Summary

Penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa telah menjadi bagian tak terpisahkan dari penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini tertuang dalam amanat UU No. 32 Tahun 2004, Pasal 200 ayat (1): “Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa”. Dari pasal tersebut dapat dijelaskan bahwa pemerintahan desa bukanlah menjadi bagian/perangkat pemerintah kabupaten/kota, karena sesungguhnya pemerintahan desa memiliki hak otonomi tersendiri untuk mengelola pemerintahannya.

Dengan kondisi yang demikian, maka pemerintahan desa dituntut untuk mampu menjalankan segala kewenangan yang menjadi tanggung jawabnya. Menurut peraturan perundang-undangan terdapat 4 (empat) urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan desa, yaitu: a. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa; b. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang

diserahkan pengaturannya kepada desa;

c. tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota;

d. urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-perundangan diserahkan kepada desa (Pasal 206 UU No. 32/2004).

Untuk menjalankan berbagai urusan pemerintahan tersebut, pemerintahan desa dituntut memiliki kapasitas baik secara kelembagaan, SDM maupun manajemen/ketatalaksanaan. Oleh karena itu, Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah LAN telah melaksanakan kajian tentang Peningkatan Kapasitas Pemerintahan Desa, dimana kajian tersebut bertujuan: 1) Mengidentifikasi permasalahan penyelenggaran pemerintahan desa di berbagai lokus kajian khususnya dalam aspek kelembagaan, SDM Aparatur dan manajemen/ ketatalaksanaan, 2) Mengidentifikasi berbagai upaya yang telah ditempuh dalam rangka mengatasi berbagai permasalahan yang timbul dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, dan 3) Menyusun cetak biru (blueprint) yang memuat strategi-strategi penyelesaian masalah (problem solving) penyelenggaraan

(3)

pemerintahan desa dan menyusun modul-modul peningkatan kapasitas pemerintahan desa.

Metode yang digunakan dalam kajian tersebut adalah metode kualitatif, yang pengumpulan datanya dilakukan dengan diskusi terbatas dan wawancara mendalam dengan para kepala desa dan stakeholders di beberapa daerah kajian, baik di dalam maupun luar negeri. Lokus kajian di dalam negeri adalah Provinsi Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Riau, Kalimantan Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusat Tenggara Barat, Sulawesi Tenggara dan Papua. Sedangkan lokus kajian luar negeri dilakukan di China.

Berdasarkan analisis data lapangan, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Umum

 Implementasi UU No. 32 Tahun 2004 yang memberikan keleluasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa menurut adat-istiadat masyarakat setempat ternyata disambut sangat baik oleh pemerintah daerah, baik pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota. Sebagaimana yang terjadi di Provinsi Sumatera Barat, pemberlakuan UU No. 32 Tahun 2004 yang mengembalikan pemerintah desa menjadi pemerintah nagari dianggap sangat sesuai dengan semangat lokal. Keleluasaan menyelenggarakan pemerintahan desa sesuai dengan adat-istiadat seperti yang terjadi di Provinsi Papua (Kampung) dan di Provinsi Bali (Desa Pakraman) diakui sangat tepat, karena setiap desa memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

 Secara legal-formal, penyelenggaraan pemerintahan desa di Indonesia belum sepenuhnya mengikuti amanat peraturan perundang-undangan terbaru, yakni UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. Hal ini dapat dilihat pada beberapa indikasi di antaranya pemerintahan desa belum menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes), belum melaksanakan Alokasi Dana Desa (ADD) khususnya Alokasi Dana Desa Proporsional (ADDP), pengangkatan Sekdes menjadi CPNS, dan sebagainya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan desa sebenarnya masih menggunakan kebijakan dan ‟cara-cara lama‟ yang lebih mengacu pada UU No. 5 Tahun 1979 tentang Desa.

 Namun demikian, tidak dipungkiri bahwa penyelenggaraan pemerintahan desa telah mengalami perubahan yang cukup

(4)

signifikan. Sebagai contoh: adanya penggunaan terminologi Badan Permusyawaratan Desa dalam kelembagaan desa, yang menggantikan istilah sebelumnya yakni Badan Perwakilan Desa. Signifikansi perubahan tersebut sangat dirasakan, tetapi cenderung mengarah ke sisi negatif, karena Badan Permusyawaratan Desa dianggap kemunduran (set back) dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.

2. Spesifik

a. Dalam hal perencanaan pembangunan desa, sebagaimana diungkapkan di atas, belum semua pemerintah desa menyusun dokumen perencanaan (RPJMDes dan RKPDes), sebagaimana amanat peraturan perundangan. Adapun bagi pemerintah desa yang telah menyusun dokumen perencanaan, dalam praktiknya belum mengakomodir prinsip perencanaan partisipatif.

b. Dalam hal pengelolaan keuangan desa, persoalan mendasar adalah belum dilaksanakannya kebijakan Alokasi Dana Desa (ADD) sebagai implementasi PP No. 72 Tahun 2005. Hal ini disebabkan belum siapnya SDM aparatur desa yang akan mengelola ADD. Selain persoalan SDM desa, belum dilaksanakannya ADD juga disebabkan minimnya sumber-sumber pendapatan desa untuk menopang APBDes. Memang diakui, beberapa kabupaten telah melaksanakan ADD, namun baru Kabupaten Malang-Provinsi Jawa Timur yang telah melaksanakan ADD proporsional (ADDP). Sementara kabupaten/kota lainnya baru melaksanakan ADD minimal (ADDM), dimana semua desa mendapatkan bagian yang sama tanpa melihat kondisi desa yang bersangkutan.

c. Masih dalam pengelolaan keuangan desa, belum dilaksanakannya ADD proporsional bukan berarti tidak ada pembangunan di pemerintahan desa. Hal ini dapat dilihat dari berbagai program pemerintah provinsi yang ditujukan untuk memberdayakan pemerintah dan masyarakat desa. Pada kenyataannya, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota memberikan bantuan keuangan kepada pemerintah desa yang besarnya bervariasi antara satu provinsi dengan yang lainnya. Di antara program pemberdayaan yang dilakukan pemerintah provinsi antara lain: RESPEK yaitu Rencana Strategis Pembangunan Kampung (Provinsi Papua), P3DK – Program Percepatan Pembangunan Desa dan Kelurahan (Provinsi Kepri), BAHTERA MAS – Pembangunan Kesejahteraan Masyarakat (Sultra), PM2L – Program Mamangun Mahaga Lewu yaitu Program Membangun dan Menjaga Desa (Kalteng), dan sebagainya.

(5)

d. Dalam hal kepemimpinan kepala desa, sebagian besar kepala desa belum memiliki kompetensi yang memadai untuk menyelenggarakan pemerintahan desa. Hal ini dihubungkan dengan kemampuan mereka untuk melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan.

e. Dalam hal manajemen pelayanan kepada masyarakat, masih belum menunjukkan kondisi yang menggembirakan. Pelayanan eksternal yang diberikan masih dihadapkan pada ciri-ciri sebagai berikut: sulit, mahal dan lambat.

f. Tanpa bermaksud kembali ke masa penjajahan Belanda, yang

membedakan pengaturan desa di Jawa dan Luar Jawa, sebagian

besar narasumber menginginkan agar desa-desa di Luar Jawa dan desa-desa di provinsi kepulauan (contoh: desa di Kepulauan Riau) diberikan perlakuaan berbeda dengan desa-desa di Pulau Jawa dan desa-desa di pulau besar. Mengapa? Karena desa-desa di luar Jawa dan di provinsi kepulauan memiliki tantangan geografis yang sangat berat, sehingga membutuhkan rasa keadilan dalam pemberian anggaran pemberdayaan.

g. Ringkasnya, kapasitas pemerintahan desa di Indonesia dapat dikatakan masih sangat minim, terutama jika dihadapkan pada tuntutan perundang-undangan. Oleh karenanya, implementasi PP No 72 Tahun 2005 beserta peraturan pelaksananya memerlukan ‟capacity building‟ pemerintahan desa dari semua aspeknya, baik menyangkut perencanaan pembangunan desa, pengelolaan keuangan desa, penyusunan kebijakan desa, kepemimpinan desa dan manajemen pelayanan desa.

Dari uraian pada bab-bab sebelumnya, dari kajian ini dapat direkomendasikan hal-hal sebagai berikut:

a. Secara umum, penyelenggaraan pemerintahan desa di Indonesia memerlukan penanganan lebih optimal menyangkut 3 aspek: kelembagaan, SDM Aparatur Desa, dan Ketatalaksanaan/ Manajemen. b. Secara legal-formal, perlunya mempertahankan pola penyelenggaraan

pemerintahan desa yang menghormati hak asal-usul dan adat istiadat masyarakat setempat seperti yang berlaku saat ini. Oleh karena itu, jika amandemen UU No. 32 Tahun 2004 benar-benar akan dilakukan dan menempatkan pemerintahan desa dalam undang-undang tersendiri, maka bentuk pengaturannya diharapkan masih tetap mengakomodir adat-istiadat masyarakat setempat. Inisiasi amandemen terhadap UU No. 32 Tahun 2004 memang sudah dilakukan, oleh karena itu LAN

(6)

dapat berkontribusi dalam proses akselerasi amandemen undang-undang dimaksud.

c. Dalam hal kelembagaan desa, (1) perlunya melakukan revitalisasi peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, khususnya dalam penyusunan kebijakan desa. Revitalisasi juga dimaksudkan sebagai jawaban atas keraguan dan tudingan sebagian pihak yang menyatakan kehadiran Badan Permusyawaratan Desa sebagai suatu kemunduran (set back) kelembagaan desa. Selanjutnya, dalam hal kelembagaan desa, (2) perlu penyederhanaan lembaga pemberdayaan masyarakat (LPM) di desa. Sebagaimana diketahui, saat ini banyak terdapat LPM di desa sebagai akibat pelaksanaan program-program dari Pemerintah, tetapi hal tersebut sesungguhnya tidak efisien karena ternyata LPM-LPM tersebut digerakkan oleh orang-orang yang sama, kenapa tidak diintegrasikan saja?

d. Dalam hal SDM Aparatur Desa, (1) perlu meningkatkan kompetensi kepala desa dan perangkat desa. Kompetensi kepala desa dimulai sejak penjaringan calon kepala desa (kades) dalam pemilihan kepala desa (pilkades). Sedangkan untuk meningkatkan kompetensi perangkat desa dapat dilakukan melalui pelatihan maupun non pelatihan. Untuk itu, pemerintah kabupaten dan kecamatan dapat memberikan pelatihan dan bimbingan teknis (bimtek) yang diperlukan oleh pemerintahan desa. Hal ini juga dilakukan oleh Pemerintah China, dimana Pemerintah Town (: Kecamatan) melakukan training-training dan sosialisasi kepada pemerintah desa. Materi-materi pelatihan dan bimtek disusun sesuai dengan kebutuhan pemerintahan desa, sedangkan pemerintah kabupaten dan kecamatan hanya mempersiapkan materi yang diminta. Selain itu, (2) perlu segera merealisasikan kebijakan pengangkatan sekretaris desa (Sekdes) menjadi CPNS. Hal ini penting, mengingat demikian beratnya tugas dan fungsi Sekdes dalam kerangka implementasi PP No. 72 Tahun 2005, terutama terkait dengan pengelolaan keuangan desa (: pelaksanaan ADD).

e. Dalam hal ketatalaksanaan, perlu meningkatkan kapasitas pemerintahan desa dalam: perencanaan pembangunan dan penganggaran desa, pengelolaan keuangan desa, kepemimpinan kepala desa, penyusunan kebijakan desa, dan pelayanan desa.

f. Dalam perencanaan pembangunan dan penganggaran desa, (a) perlu bimtek perencanaan pembangunan dan penganggaran desa partisipatif, yang melibatkan seluruh komponen penyelenggara pemerintahan desa. Hal ini dapat dilakukan melalui forum rembug desa

(7)

yang merupakan forum rutin di tingkat pemerintahan desa dan sebagai forum pra-Musrenbangdes. Dalam hal ini. Selanjutnya, (b) perlunya optimalisasi pelaksanaan musyawarah perencanaan pembangunan desa (Musrenbangdes), dan (c) perlu inisiasi penyempurnaan UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional agar dokumen perencanaan pembangunan desa terintegrasi dengan dokumen perencanaan pada level pemerintahan di atasnya.

g. Dalam pengelolaan keuangan desa, (a) perlu mengintensifkan sosialisasi peraturan perundangan tentang keuangan kepada pemerintahan desa, (b) perlunya konsistensi kebijakan pengelolaan keuangan, agar pemerintah desa tidak ”kebingungan” dalam mengimplementasikannya, (c) perlu segera melaksanakan kebijakan ADD Proporsional (ADDP), bukan ADD Minimal (ADDM) yang menafikan perbedaan karakteristik setiap desa. Dengan demikian pelaksanaan ADD tidak hanya menggunakan asas pemerataan tetapi menggunakan asas atau prinsip keadilan, dan (d) perlu bimtek-bimtek tentang pengelolaan keuangan desa.

h. Dalam kepemimpinan kepala desa, perlu meningkatkan kompetensi kepala desa melalui pelatihan atau bimtek yang relevan dan sesuai kebutuhan. Peningkatan kompetensi kepala desa diyakini mampu melahirkan inovasi dan kreativitas kepala desa sehingga secara langsung maupun tidak langsung akan meningkatkan kualitas kepemimpinan yang bersangkutan.

i. Dalam penyusunan kebijakan desa, perlu menciptakan hubungan harmonis antara kepala desa dengan BPD. Selain itu, revitalisasi BPD sebagaimana diungkapkan di atas diharapkan dapat mendorong efektivitas dan efisiensi penyusunan kebijakan desa. Untuk itu, keberadaan legal drafter atau perangkat desa yang ”cukup” memahami penyusunan kebijakan menjadi penting diperhatikan ke depan. Hal ini mengingat kenyataan bahwa banyak pemerintah desa yang memiliki inovasi dan kreativitas dalam rangka peningkatan pendapatan asli desa (PADes), sehingga perlu disusun dalam kerangka hukum yang benar. j. Dalam pelayanan desa, (1) perlu secara terus-menerus meningkatkan

kualitas pelayanan pemerintah desa, baik pelayanan yang bersifat internal maupun eksternal, baik fisik maupun administratif. Untuk menciptakan dan menjamin kualitas pelayanan maka perlu disusun

standard operating procedures (SOP) sehingga akan terdapat kejelasan

waktu dan biaya yang diperlukan. Selanjutnya, (2) dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat desa perlu pengadaan dan peningkatan sarana dan prasarana pemerintah desa.

(8)

DAFTAR ISI

EXECUTIVE SUMMARY……….. i

DAFTAR ISI ……… vii

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……….. 1

B. Pertanyaan Kajian ……… 9

C. Tujuan Kajian ……….. 10

D. Hasil Yang Diharapkan ……….. 10

BAB 2 KERANGKA KONSEPTUAL A. Pemerintahan Daerah ……… 12

B. Capacity Building Pemerintahan Desa ……… 26

C. Kerangka Pikir ... 38

BAB 3 METODOLOGI KAJIAN A. Jenis Kajian ……….. 39

B. Metode Kajian ………. 39

C. Daerah Kajian ………. 39

D. Teknik Pengumpulan Data ………. 46

E. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ……….... 48

BAB 4 DINAMIKA PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA A. Gambaran Umum Permasalahan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa ... 50

1. Permasalahan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa ... 51

2. Tantangan dan Peluang ... 54

B. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa di Berbagai Daerah ………... 60

1. Perencanaan Pembangunan Desa ... 60

2. Pengelolaan Keuangan Desa ... 74

3. Perumusan Kebijakan Desa ... 90

4. Kepemimpinan Kepala Desa ... 93

5. Manajemen Pelayanan Desa ... 97

C. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa di China ... 100

1. Pembagian Wilayah Administratif di China ... 100

2. Membangun Kapasitas Desa ………. 103

(9)

BAB 5 ASPEK-ASPEK PENTING PENDUKUNG KAPASITAS PEMERINTAHAN DESA

A. Aspek Perencanaan Pembangunan Desa ... 112

B. Aspek Pengelolaan Keuangan Desa ………. 137

C. Aspek Perumusan Kebijakan Desa ... 143

D. Aspek Kepemimpinan Kepala Desa ... 145

E. Aspek Pelayanan Kepada Masyarakat ... 146

BAB 6 PENUTUP A. Kesimpulan ……….. 148

B. Rekomendasi ……….. 152

(10)

Bab 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

enyelenggaraan pemerintahan desa di Indonesia merupakan fenomena yang selalu menarik untuk dikaji, tidak hanya dari sisi kerangka hukum (legal framework) tetapi juga dari sisi kemampuan atau kapasitas para penyelenggaranya dalam melaksanakan pemerintahan desa. Dari aspek legal-formal, penyelenggaraan pemerintahan desa telah mengalami beberapa perubahan dari Regeringsreglement (RR) tahun 1854, kemudian ditindaklanjuti oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan menerbitkan peraturan Inlandse Gemeente Ordonantie (IGO), yakni peraturan dasar yang mengatur Desa dan Pemerintahan Desa khusus di Pulau Jawa dan Pulau Madura, dan Inlandse Gemeente Ordonantie Buitengewesteen (IGOB) yang artinya IGO untuk luar Pulau Jawa dan Madura.

Pengaturan pemerintahan desa pada masa kemerdekaan antara lain tertuang dalam undang-undang ‟pemerintahan daerah‟ mulai UU No. 1 tahun 1945 sampai UU No. 32 tahun 2004. Namun, undang-undang yang secara khusus mengatur tentang Desa baru diterbitkan pada tahun 1965 yaitu dengan terbitnya UU No. 19/1965 tentang Desapraja, yang menempatkan Desa sebagai Daerah Tingkat III dengan tata dan sebutan Desa Praja. Di dalam pasal 1 undang-undang tersebut dijelaskan bahwa Desa Praja adalah kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memiliki pengusahaan dan mempunyai harta benda sendiri.

P

(11)

Namun cita-cita mewujudkan desa praja ini tidak terwujud karena tidak dikehendaki oleh pemerintah Orde Baru yang berkuasa saat itu. Selanjutnya, desa diatur dalam UU No. 5/1979, dimana pemerintah Orde Baru menempatkan desa langsung di bawah Camat, yang mana Camat merupakan Kepala Wilayah yang menjalankan satuan pemerintah vertikal (dekonsentrasi). Di dalam UU No. 5 Tahun 1979, desa didefinisikan sebagai suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa penyelenggaraan pemerintahan desa pada dasarnya telah dilaksanakan sejak jaman penjajahan, terutama pada masa penjajahan Belanda. Pada masa itu pemeritahan desa dapat dikatakan tidak memiliki kebebasan untuk menyelenggarakan pemerintahannya, karena sebagai negara jajahan seluruh penyelenggaraan pemerintahan – termasuk pemerintahan desa – dipaksa tunduk dan patuh kepada kepentingan negara penjajah. Dengan demikian aspek kelembagaan, sumber daya aparatur dan manajemen pemerintahan desanya pun sepenuhnya ditentukan oleh penguasa/penjajah yang berkuasa pada saat itu.

Sementara itu, pada masa kemerdekaan, komitmen untuk menyelenggarakan pemerintahan desa dapat dijumpai dalam konstitusi yaitu Pasal 18 UUD 1945 yang menyatakan bahwa ”Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang (hasil perubahan kedua). Pada pasal 18B ayat

(12)

(2) disebutkan ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan pekembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang (hasil perubahan kedua”

Kemudian, pada saat jatuhnya pemerintah Orde Baru, desa diatur dengan UU No. 22/1999. Melalui undang-undang ini desa diatur dalam satu undang-undang tentang pemerintahan daerah. Desa merupakan subsistem dari pemerintahan yang pengaturannya lebih lanjut diserahkan kepada daerah kabupaten/kota dengan membentuk peraturan daerah (Perda). Terakhir, desa diatur dengan UU No/2004 yang kembali menempatkan desa dalam satu undang-undang tentang pemerintahan daerah.

Pengaturan penyelenggaraan pemerintahan desa dalam satu undang-undang pemerintahan daerah – yang notabene digabungkan dengan pengaturan pemerintahan kabupaten/kota – menjadi fenomena yang cukup menarik terutama jika dikaitkan dengan ”otonomi desa”. Kenyataan bahwa pengaturan pemerintahan desa yang ”inheren” dengan pengaturan pemerintahan kabupaten/kota menurut UU No. 32/2004 tersebut dikhawatirkan akan mengurangi derajat otonomi (adat) yang dimiliki oleh sebuah desa.

Dalam UU No. 32/2004 jo PP No. 72/2005 tentang Desa, yang dimaksud dengan Desa atau disebutkan dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihomati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia/NKRI. Lebih jauh, pengaturan yang demikian juga akan dapat menghilangkan otonomi adat dan dalam kapasitas tertentu

(13)

dapat mengarahkan pemerintahan desa menjadi satuan pemerintah administratif, yang bertugas melayani pemerintah kabupaten/kota.

Dari gambaran tersebut, saat ini bermunculan berbagai wacana bahwa pemerintahan desa sebaiknya dipisahkan pengaturannya dari UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Desa yang diatur dalam undang tersendiri dan terpisah dari undang-undang pemerintahan daerah merupakan pilihan yang ideal. Desa ditempatkan sebagai satuan pemerintahan otonomi di luar struktur pemerintahan kabupaten/kota, karena daerah dan desa memang berbeda baik dari sisi penyelenggaraan pemerintahan maupun persoalan yang dihadapi.

Perbedaan karakteristik itulah yang secara historis menyebabkan pengaturannya berbeda dari kabupaten (di luar DW = Decentralisatie Wet), bahkan dipisahkan pula pengaturan desa-desa yang ada di Jawa-Madura (diatur dengan IGO) dan di luar Jawa-Jawa-Madura (IGOB). Pengaturan terpisah menjadi pilihan karena keberadaan desa yang pluralistik sehingga sangat sulit diatur dalam satu peraturan yang akomodatif. Dengan demikian, munculnya wacana mengeluarkan pengaturan desa dari undang-undang tersebut (UU No. 32/2004) – dan juga pengaturan tentang Pilkada Langsung – merupakan salah satu langkah strategis dalam upaya peningkatan kapasitas pemerintahan desa.

Namun demikian, dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terpenting adalah bagaimana pemerintahan desa mampu meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat desa, dan mampu meningkatkan daya saing desanya. Hal tersebut hanya mungkin terwujud apabila urusan yang menjadi kewenangan desa dapat terlaksana denga baik. Adapun urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup:

(14)

a. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa;

b. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa;

c. tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota;

d. urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-perundangan diserahkan kepada desa (Pasal 206 UU No. 32/2004).

Tidak dapat dipungkiri, bahwa dalam implementasinya terdapat berbagai permasalahan yang langsung maupun tidak langsung menghambat pelaksanaan urusan-urusan pemerintahan tersebut. Persoalan-persoalan dimaksud dapat dikelompokkan ke dalam tiga aspek yaitu kelembagaan, SDM Aparatur, dan manajemen/ ketatalaksanaan.

Secara kelembagaan, Pemerintahan Desa terdiri dari Pemerintah Desa dan BPD (Pasal 11 PP No. 72/2005). Pada pasal selanjutnya, disebutkan bahwa Pemerintah Desa terdiri dari Kepala Desa dan Perangkat Desa. Perangkat Desa terdiri dari Sekretaris Desa dan Perangkat Desa lainnya, yaitu sekretariat desa, pelaksana teknis lapangan, dan unsur kewilayahan. Jumlah Perangkat Desa disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Selanjutnya, susunan organisasi dan tata kerja pemerintahan desa ditetapkan dengan peraturan desa (Pasal 12, ayat 1 – 5, PP No. 72/2005). Sementara, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan unsur penyelenggara pemerintahan desa. Jumlah anggota BPD sebanyak 5 (lima) orang dan paling banyak 11 (sebelas) orang dengan memperhatikan luas wilayah, jumlah penduduk, dan kemampuan keuangan desa (Pasal 31).

(15)

Persoalan yang mengemuka dalam aspek kelembagaan desa adalah hadirnya BPD (Badan Permusyawaratan Desa, bukan Badan Perwakilan Desa) yang dianggap mengalami kemunduran (set back) daripada sebelumnya. BPD dalam konteks UU No. 32/2004, merupakan unsur penyelenggara pemerintahan desa, sehingga perannya sebagai lembaga kontrol menjadi berkurang. Hal ini sesungguhnya sebangun dengan posisi DPRD yang menjadi bagian dari pemerintahan daerah, yang tidak lagi menjadi badan legislatif daerah sebagaimana pada saat belakunya UU No. 22/1999.

Permasalahan dalam aspek kelembagaan lainnya adalah belum diakomodirnya kelembagaan-kelembagaan ‟lokal‟ dalam struktur pemerintah desa secara optimal, seperti ‟ulu-ulu‟ pada kelembagaan desa di Jawa Tengah. Hal ini sesuai dengan substansi PP No. 72/2005 yang menyatakan bahwa pedoman penyusunan organisasi dan tatakerja pemerintahan desa diatur dengan Perda Kabupaten/Kota. Hal ini berarti bahwa pembentukan kelembagaan pemerintahan desa diserahkan kepada pemerintah daerah sesuai dengan kebutuhan dan konsisi masyarakat desa di daerah yang bersangkutan.

Persoalan selanjutnya menyangkut aspek SDM Aparatur Desa atau SDM pemerintahan desa. SDM pemerintahan desa meliputi SDM di lingkungan Pemerintah Desa (Kepala Desa dan perangkatnya) maupun BPD (Ketua dan anggotanya). Dalam peraturan perundangan tentang Desa disebutkan bahwa perangkat desa diangkat oleh Kepala Desa dari penduduk desa. Pertanyaannya adalah, adakah persyaratan kompetensi yang harus dipenuhi oleh calon perangkat desa dan apakah persyaratan tersebut telah dituangkan dalam dokumen resmi? Pada praktiknya, kepala desa yang terpilih dalam Pemilihan Kepala Desa (Pemilu Kepala Desa atau yang lebih dikenal dengan Pilkades) belum tentu memiliki kompetensi yang diharapkan. Bukan menjadi rahasia,

(16)

bahwa proses Pilkades sarat diwarnai dengan politik uang (money politics).

Kualitas perangkat desa pun mengalami kondisi yang tidak jauh berbeda. Pemilihan dan pengangkatan perangkat desa (kecuali sekretaris desa/Sekdes) belum sepenuhnya didasarkan pada pertimbangan kompetensi. Ada dua alasan terkait hal ini, Pertama, Kepala Desa terpilih menunjuk/memilih keluarga atau orang-orang terdekat untuk menduduki jabatan perangkat desa, yang terkadang tanpa mempertimbangkan kemampuannya; Kedua, karena memang tidak ada lagi orang yang mau dan mampu menjadi perangkat desa (hal ini terjadi di desa-desa pedalaman). Persoalan SDM pemerintahan desa juga terjadi pada Ketua dan Anggota BPD. Anggota BPD yang terdiri dari unsur keterwakilan wilayah dan ditetapkan dengan musyawarah-mufakat, dapat dikatakan tidak memiliki komitmen dan kompetensi yang optimal untuk membangun desa.

Permasalahan lain yang menyangkut SDM pemerintahan desa adalah adanya ketentuan bahwa Sekdes diisi dari PNS yang memenuhi persyaratan (pasal 202 ayat 3 UU No. 32/2004 jo pasal 25 ayat 1 PP No. 72/2005). Dalam PP No. 72/2005 disebutkan bahwa persyaratan-persyaratan dimaksud meliputi:

a. berpendidikan paling rendah lulusan SMU atau sederajat; b. mempunyai pengetahuan tentang teknis pemerintahan; c. mempunyai kemampuan di bidang administrasi perkantoran;

d. mempunyai pengalaman di bidang administrasi keuangan dan di bidang perencanaan;

e. memahami sosial budaya masyarakat setempat, dan f. bersedia tinggal di desa yang berangkutan.

Dalam penjelasan pasal 25 PP No. 72/2005 dinyatakan „cukup jelas‟, artinya jabatan Sekdes (eselon V) diisi dari PNS, bukan berarti

(17)

„mengangkat Sekdes yang ada menjadi PNS‟. Hal ini pernah menimbulkan kesalahpahaman, yakni terjadi di suatu daerah di Pulau Jawa, ribuan Sekdes melakukan unjuk rasa agar diangkat menjadi PNS! Sementara, jika dilihat dari segi persyaratan pendidikan pun sudah tidak memenuhi persyaratan, terlebih lagi untuk persyaratan lainnya.

Permasalahan selanjutnya adalah aspek ketatalaksanan atau tata hubungan kerja antar lembaga dan atau penyelenggara pemerintahan desa. Aspek manajemen/ketatalaksanaan merupakan aspek yang perlu mendapat perhatian dalam rangka menjamin keselarasan dan keharmonisan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi masing-masing. Dalam kaitan perencanaan pembangunan desa misalnya, bagaimana Kepala Desa dan perangkatnya melakukan perencanaan tersebut. UU Nomor 25 Tahun 2004 telah memberikan ruang dalam melakukan perencanaan pembangunan nasional, yang diawali dengan Musyawarah Pembangunan Desa (Musrenbang tingkat Desa). Kemudian, adakah manfaat Musrenbang Desa tersebut bagi perencanaan desa?

Persoalan manajemen pemerintahan desa/ketatalaksanaan juga menyangkut pengelolaan keuangan dan sumber-sumber pendapatan desa. Dalam UU 32/2004 disebutkan bahwa keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik desa berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban (pasal 212 ayat 1). Pengelolaan keuangan desa dilakukan oleh kepala desa yang dituangkan dalam peraturan desa tentang anggaran pendapatan dan belanja desa (ayat 5). Permasalahannya adalah, tidak semua pemerintahan desa memiliki kemampuan yang memadai serta inovasi yang tinggi untuk mengelola keuangan desanya.

Persoalan lainnya adalah menyangkut hubungan Kepala Desa dengan BPD, yakni tidak adanya keseimbangan check and balances di

(18)

antara keduanya. Dalam praktik, BPD tidak memiliki kekuatan yang memadai sebagai ‟institusi pengawas‟ pemerintah desa. Hal ini mungkin, salah satunya, disebabkan perbedaan rekrutmen Kepala Desa dan BPD (dipilih dan ditunjuk).

Untuk mendapatkan perbandingan penyelenggaraan pemerintahan desa dengan negara lain, Tim Kajian juga telah melakukan kunjungan ke negara China. Pilihan Tim Kajian berkunjung ke negara China dikarenakan China telah dianggap berhasil dalam mengelola penyelenggaraan pemerintahan desa di wilayahnya. Tentu saja, ideologi yang berbeda di antara kedua negara mengakibatkan perbedaan penanganan (treatment) yang berbeda, namun demikian ternyata banyak hal yang dapat digali dan dimanfaatkan dalam implementasi pemerintahan desa di Indonesia. Selain itu, berdasarkan wawancara mendalam yang dilakukan dengan para narasumber di China nampaknya terdapat berbagai masukan berharga dalam rangka meningkatkan kapasitas pemerintahan desa ke depan.

Untuk itu, Kedeputian Bidang Kajian Kinerja Kelembagaan dan Sumber Daya Aparatur-Lembaga Administrasi Negara, dalam hal ini Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah telah melaksanakan kajian ”Peningkatan Kapasitas Pemerintahan Desa”, yang dilaksanakan pada tahun anggaran 2008. Dari kajian ini diharapkan dapat menghasilkan laporan kajian yang memuat potret penyelenggaraan pemerintahan desa saat ini dan rekomendasi penyelenggaraan pemerintahan desa ke depan, yang dilengkapi dengan blue print dan modul-modul dalam upaya peningkatan kapasitas pemerintahan desa.

B. PERTANYAAN KAJIAN

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan kajian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

(19)

1. Permasalahan apa saja yang dihadapi pemerintahan desa dalam aspek kelembagaan, SDM Aparatur dan manajemen/ ketatalaksanaan selama ini?

2. Upaya/langkah apa saja yang telah ditempuh untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut?

3. Strategi apa yang dapat disusun dalam rangka meningkatkan kapasitas pemerintahan desa guna menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang timbul dalam penyelenggaraan pemerintahan desa?

C. TUJUAN KAJIAN

Tujuan kajian ini adalah:

1. Mengidentifikasi permasalahan penyelenggaran pemerintahan desa di berbagai lokus kajian khususnya dalam aspek kelembagaan, SDM Aparatur dan manajemen/ketatalaksanaan.

2. Mengidentifikasi berbagai upaya yang telah ditempuh dalam rangka mengatasi berbagai permasalahan yang timbul dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.

3. Menyusun cetak biru (blueprint) yang memuat strategi-strategi penyelesaian masalah (problem solving) penyelenggaraan pemerintahan desa dan menyusun modul-modul peningkatan kapasitas pemerintahan desa.

D. HASIL YANG DIHARAPKAN

Hasil yang diharapkan dari kajian ini adalah tersusunnya laporan hasil kajian yang dilengkapi cetak biru (blueprint) dan modul-modul peningkatan kapasitas pemerintahan desa. Modul-modul peningkatan kapasitas pemerintahan desa tersebut meliputi:

(20)

1. Modul Kepemimpinan Kepala Desa;

2. Modul Perencanaan dan Penganggaran Desa; 3. Modul Keuangan Desa;

4. Modul Penyusunan Kebijakan Desa; 5. Modul Manajemen Pelayanan Desa.

(21)

Bab 2

TINJAUAN KONSEPTUAL

A. PEMERINTAHAN DAERAH

ecara konsep, pemerintahan daerah sebenarnya bersifat multi-dimensional. Konsep pemerintahan daerah dapat disimak dari berbagai dimensi, di antaranya adalah dimensi sosial, ekonomi, geografis, hukum, administratif, politik, dan sejarah (PKKOD LAN, 2007). Dari dimensi sosial, pemerintah daerah dipandang sebagai sekelompok orang yang terorganisir dalam ikatan geografis tertentu yang membangun perasaan kesatuan dengan karateristik lingkup sosio-ekonomi, dan mengkonstitusikan sebuah karakteristik entitas sosial. Lingkup karakteristik ini dapat dibedakan sebagai rural,

semi-urban, urban metropolitan, komersial, industrial, tribal dan

sebagainya. Area dengan seperangkat karakteristik sosio-ekonomi mungkin saja memiliki kelas yang terpisah dari miniatur pemerintahan berdasarkan sosio-ekonomi sebagai unit-unit dari Local Self Government.

Dalam dimensi sosial ini terdapat apa yang disebut sebagai

Neighbourhood Continuum, yang mana merupakan perasaan-perasaan

menyatu (konvergen) dari lingkungan umum masyarakat lokal yang mencakup (perasaan akan) kebutuhan dasar yang berhubungan dengan sandang, pangan, papan, air serta kebutuhan umum lokal seperti sanitasi, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya. Faktor-faktor geo-ekonomi dari kondisi wilayah menunjukan adanya ketergantungan masyarakat lokal dengan sumber-sumber kehidupan. Hal ini merupakan sisi luar perasaan mereka akan kesatuan yang

(22)

merupakan sebuah ikatan kekuatan yang tidak hanya di antara mereka sendiri tapi juga antara kewenangan lokal dan masyarakat lokal. Perasaan kesatuan merupakan raison d’etre untuk kewenangan lokal. Perasaan-perasaan tersebut merupakan benteng kekuatan di antara masyarakat/warga (inhabitants) lokal. Semakin kuat perasaan, semakin dalam akar dari kewenangan lokal dan semakin besar penolakan terhadap kontrol dari luar.

Dari dimensi ekonomi, pemerintahan daerah seperti halnya komposisi sosial, dimensi ekonomi wilayah lokal merefleksikan kewenangan lokalnya. Kewenangan lokal dapat memberikan perhatian yang baik terhadap kinerjanya tanpa banyak upaya jika lokalitasnya secara ekonomi sejahtera. Sebuah wilayah yang tidak subur dengan sedikit potensi untuk pertumbuhan dan pembangunan, membuat pembangunan daerah merupakan pekerjaan yang melelahkan untuk masyarakat lokal. Kemudian kelas-kelas yang berbeda secara ekonomi dalam masyarakat menentukan politik lokal.

Dari dimensi geografis, pemerintah lokal mungkin dapat dikonseptualisasikan dalam terms geografi. Geografi Pemerintah Lokal mencakup fisik, karateristik demografi dan ekonomi yang mempunyai pengaruh pada kebijakan, hukum dan administrasi. Pemerintah lokal merupakan badan perwakilan yang mereprentasikan seperangkat pandangan-pandangan lokal, kondisi, kebutuhan-kebutuhan dan masalah-masalah bergantung pada karakteristik populasi dan elemen-elemen ekonomi. Seperangkat pandangan lokal yang beragam, kondisi, kebutuhan dan masalah-masalah, menghasilkan varian lokal yang merupakan mekanisme kebebasan lokal yang memberikan ekspresi opini lokal dan agregasi opini lokal melalui bentuk-bentuk opini publik.

Dari dimensi hukum, pemerintah lokal merupakan sebuah miniatur badan politik dan sebuah badan corporate, yang merupakan

(23)

agen dari negara dan semacam perwakilan kepentingan publik. Dalam kapasitas tersebut Pemerintah Lokal melaksanakan sebagian dari kekuasaan negara yang didelegasikan kepada pemerintah lokal dalam wilayah geografisnya. Sebagai institusi yang memerintah, pemerintah lokal harus menunjukkan tiga kualifikasi.

Pertama, adalah tempat, yang merupakan sebuah entitas

terorganisasi, memiliki organisasi dan kekuasaan minimum yang terkontitusi yang disebut otonomi yang berkaitan dengan meningkatkan pendapatan, persiapan anggaran serta pengawasan dan manajemen terhadap sumber daya lokal, manusia, fiskal dan material.

Kedua, harus memiliki karakter pemerintahan sebagai sebuah

agen publik, dan harus dipilih oleh masyarakat lokal sebagai obyek akuntabilitasnya.

Ketiga, harus memiliki hak untuk masuk ke dalam kontrak dan untuk memiliki serta mengorganisasikan kepemilikan (property). Dengan demikian status dari kewenangan lokal sebagai unit-unit dari pemerintahan lokal (Local Self Government) disediakan dengan berdasarkan pada landasan hukum yang luas. Tidak seperti manusia, pemerintah lokal dilandaskan pada hukum yang tidak pernah mati, kehidupan yang berkesinambungan. Secara legal, pemerintah merupakan pencipta dari kewenangan lokal yang dapat menghancurkan ciptaannya.

Dari dimensi administratif, pemerintah lokal secara operasional merupakan organisasi administratif yang berjalan bersamaan dengan politik, administrasi dan teknologi. Derajat kebersamaan dalam pemerintah lokal merupakan karakter unik, tidak diketahui pada level manapun dalam pemerintahan. Seseorang mungkin saja membedakan pengetahuan dan pengalaman dari politisi, administrator, dan teknokrat pada level yang beragam dalam sebuah organisasi. Pada suatu saat,

(24)

seseorang tidak dapat menjelaskan ketika proses-proses politik, organisasional dan teknologi dimulai dan berakhir serta bagaimana hal-hal tersebut bercampur (mingle).

Sedangkan dari dimensi sejarah, pemerintahan daerah dikenal sejak abad ke-XI dan XII di Eropa. Bahkan istilah-istilah yang terkait dengan pemerintahan daerah merupakan turunan dari jaman Yunani Kuno dan Latin. Seperti koinotes (community) dan demos (people or district), dan municipality yang berasal dari hukum administrasi Roma, yakni municipium. Demikian juga dengan city berasal dari civitas yang diturunkan dari istilah civis (citizen), county berasal dari comitates. Kemudian pada abad pertengahan di Eropa, seperti di Jerman muncul istilah burg, borough, di Perancis muncul bourg, sementara di Belanda lebih dikenal dengan munculnya istilah gemeente (Norton, 1984).

Di Indonesia, pemerintahan daerah dibentuk untuk menjalankan sebagian kekuasaan pemerintah pusat. Bentuk pembagian kekuasaan secara vertikal dalam negara kesatuan seperti Indonesia kepada unit pemerintahan di bawahnya dilakukan melalui desentralisasi, devolusi, dekonsentrasi, pendelegasian, dan tugas pembantuan. Bentuk-bentuk pendistribusian kewenangan ini yang menentukan dinamika pemerintahan daerah di suatu negara. Dalam hal kewenangan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dilakukan baik melalui desentralisasi, devolusi, dekonsentrasi, tugas pembantuan, dan pendelegasian, pada dasarnya adalah tentang bagaimana kewenangan di luar kewenangan pemerintah nasional (baca : Pemerintah Pusat) itu dijalankan melalui mekanisme-mekanisme tersebut.

Desentralisasi berasal dari Bahasa Latin, yaitu de yang berarti lepas dan centrum yang artinya pusat. Decentrum berarti melepas dari pusat, dengan demikian maka desentralisasi tidak putus sama sekali dengan pusat tapi hanya menjauh dari pusat. Penyerahan sebagian

(25)

kewenangan politik dan administrasi pada jenjang organisasi yang lebih rendah disebut desentralisasi. Jadi desentralisasi adalah penyerahan wewenang politik dan administrasi dari puncak hirarki organisasi (pemerintah pusat) kepada jenjang di bawahnya (baca : pemerintah daerah) (Nurcholis, 2005).

Menurut Rondinelli, dekonsentrasi merupakan salah satu tipe desentralisasi. Pendapat lain menyebutkan bahwa paling tidak terdapat tiga tipe desentralisasi administratif, yaitu : dekonsentrasi, devolusi dan delegasi. Dekonsentrasi adalah pelimpahan kewenangan secara spesifik melalui pembuatan keputusan, keuangan, dan fungsi manajemen secara administratif kepada tingkatan yang berbeda di bawah kewenangan yurisdiksi Pemerintah Pusat (Cohen dan Peterson (1999)). Sementara itu, Nurcholis (2005) mengutarakan bahwa yang dimaksud dengan dekonsentrasi adalah penyerahan beban kerja dari kementerian pusat kepada pejabat-pejabatnya yang berada di wilayah. Penyerahan ini tidak diikuti oleh kewenangan membuat keputusan dan diskresi untuk melaksanakannya. Sementara menurut UU No. 32 Tahun 2004, dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Sedangkan yang dimaksud tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari Pemerintah Provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

Devolusi adalah pelepasan fungsi-fungsi tertentu dari pemerintah pusat untuk membuat satuan pemerintah baru yang tidak dikontrol secara langsung. Tujuan devolusi adalah untuk memperkuat sarana pemerintahan di bawah pemerintah pusat dengan cara mendelegasikan fungsi dan kewenangannya. Devolusi menurut Cohen dan Peterson

(26)

(1999:25) adalah devolusi timbul ketika Pemerintah Pusat memindahkan kewenangan kepada daerah otonom yang dibentuk berdasarkan legislasi negara. Devolusi juga menunjukkan Pemerintah Daerah (otonom).

Selain dalam bentuk dekonsentrasi dan devolusi, desentralisasi juga bisa dilakukan dengan cara pendelegasian pembuatan keputusan dan kewenangan administratif kepada organisasi-organisasi yang melakukan fungsi-fungsi tertentu, yang tidak di bawah pengawasan kementerian pusat. Sebagaimana diketahui dalam suatu pemerintahan terdapat organisasi-organisasi yang melakukan fungsi-fungsi tertentu dengan kewenangan yang agak independen. Organisasi ini adakalanya tidak ditempatkan dalam struktur reguler pemerintah. Misalnya Badan Usaha Milik Negara seperti Telkom, bank, jalan tol, dan lain-lain.

Di samping tiga bentuk di atas, desentralisasi juga dapat berupa tugas pembantuan (medebewind). Di Belanda, medebewind diartikan sebagai pembantu penyelenggaraan kepentingan-kepentingan dari pusat atau daerah-daerah yang tingkatannya lebih atas oleh perangkat daerah yang lebih bawah. Sumber keuangannya berasal dari APBN, wewenang administrasinya oleh perangkat daerah otonom, wewenang politik oleh pusat (Nurcholis, 2005).

Dari penjelasan mengenai bentuk pembagian kekuasaan tersebut sesungguhnya menunjukkan kedudukan pemerintahan daerah, tidak hanya dari dimensi hukum, dimana pemerintah lokal bertugas menjalankan sebagian kekuasaan pemerintah pusat tetapi dapat pula dilihat dari keseluruhan dimensi baik dimensi sosial, ekonomi, geografis, administratif, politik maupun sejarah. Sebagai contoh: pemberian desentralisasi dan otonomi daerah yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah, pelayanan publik,

(27)

dan daya saing daerah (Pasal 2 ayat 3 UU No. 32/2004) menunjukkan implementasi dari dimensi-dimensi tersebut.

Ukuran paling mudah untuk mengetahui kesejahteraan masyarakat adalah dengan melihat tingkat sosial-ekonominya. Oleh karena itu, pemerintahan daerah wajib menciptakan kesejahteraan masyarakatnya baik dalam aspek sosial (contoh: ketenteraman) maupun aspek ekonomi (contoh: tingkat pendapatan). Kesejahteraan juga dapat diukur dari adanya kebebasan warga untuk menentukan pilihan politiknya.

Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota) dapat menyerahkan (desentralisasi), melimpahkan (dekosentrasi) dan memberikan tugas pembantuan sebagian urusan pemerintahan kepada pemerintahan desa. Hal ini sebagaimana diamanatkan pada Pasal 200 ayat 1 UU 32/2004 bahwa ”Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa”.

Di dalam UU No. 32/2004 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Desa atau disebut dengan nama lain, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 butir 12). Sedangkan pemerintahan desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan NKRI (Pasal 1 butir 6 PP No. 72/2005).

(28)

Selanjutnya pada Pasal 206 UU No. 32/2004, disebutkan: Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup: a) urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa; b) urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa; c) tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/ kota; dan d) urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-perundangan diserahkan kepada desa

Untuk dapat melaksanakan semua urusan pemerintahan tersebut, pemerintahan desa dituntut memiliki kemampuan atau kapasitas baik kemampuan kelembagaan, SDM Aparatur, maupun manajemen/ ketatalaksanaannya.

1. Kelembagaan

Kelembagaan pemerintahan desa diarahkan untuk dapat mencapai tujuan penyelenggaraan pemerintahan desa itu sendiri. Sebagaimana diungkapkan di atas, kelembagaan pemerintahan desa terdiri atas Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Oleh karena itu, penataan kelembagaan pemerintahan desa hendaknya mengacu pada prinsip-prinsip pengorganisasian sebagai berikut (LAN, 2003):

a. Prinsip Kejelasan Visi, Misi dan Tujuan . Setiap organisasi dalam pemerintah daerah dibentuk untuk mencapai tujuan negara yang telah ditetapkan dalam konstitusi negara, dan harus diemban organisasi yang bersangkutan sesuai dengan visi dan misi negara. Oleh karena itu dalam setiap pengorganisasian, visi, misi, tujuan dan sasaran organisasi yang dibentuk harus dirumuskan secara jelas dan terkait dengan tujuan negara. b. Prinsip Kemitraan dan Pemberdayaan Masyarakat . Prinsip ini

(29)

bangsa dalam penyelenggaraan negara, serta pemberian peran kepada masyarakat dengan cara memberikan peluang untuk melakukan pelayanan publik yang bisa dilakukan pemerintah melalui kemitraan ataupun penanganan langsung oleh masyarakat, sehingga struktur organisasi dapat menjadi lebih sederhana dan efisien.

c. Prinsip Pembagian Tugas. Dalam prinsip ini semua tugas pemerintahan negara dibagi ke dalam tugas-tugas organisasi dan atau satuan organisasi-organisasi dibawahnya sehingga tidak ada tugas yang tidak ditangani oleh suatu lembaga pemerintahan. Tugas-tugas tersebut dijabarkan dalam fungsi-fungsi tertentu yang secara keseluruhan mengacu pada pencapaian tujuan bernegara.

d. Prinsip Koordinasi. Prinsip ini menekankan keharusan adanya saling hubungan antar unit organisasi atau antar lembaga baik antar pemerintahan pusat, antar pemerintahan daerah maupun antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah sehingga terdapat kesatuan arah dan keserasian kebijakan, serta tindakan dalam mencapai tujuan nasional.

e. Prinsip Keberlangsungan Tugas. Prinsip Keberlangsungan Tugas ini menekankan bahwa dalam pengorganisasian perlu dipertimbangkan adanya kepastian bahwa tugas-tugas yang harus diemban akan terus berlangsung dalam jangka waktu lama.

f. Prinsip Proporsionalitas. Prinsip ini menekankan bahwa dalam menyusun organisasi harus diperhatikan keserasian hubungan dan kewenangan baik internal, beban tugas, kemampuan dan sumber daya yang ada.

(30)

g. Prinsip Keluwesan. Prinsip ini menekankan bahwa desain tugas suatu organisasi perlu disesuaikan dengan perkembangan dan perubahan lingkungan stratejik, sehingga organisasi dapat berkembang atau menciut sesuai dengan tuntutan perkembangan lingkungan, tugas dan beban kerjanya.

h. Prinsip Pendelegasian dan Penyerahan Wewenang. Prinsip pendelegasian wewenang menekankan tugas-tugas apa yang perlu dilimpahkan kepada satuan organisasi di bawahnya/daerah dan tugas apa yang masih perlu dilaksanakan oleh instansi induknya/pusat. Prinsip penyerahan wewenang menekankan pada tugas apa yang sudah dapat dilaksanakan oleh organisasi di bawahnya/daerah.

i. Prinsip Rentang Kendali. Prinsip ini menekankan pada penentuan jumlah satuan organisasi atau orang yang dibawahi oleh seorang pimpinan diperhitungkan secara rasional mengingat terbatasnya kemampuan pimpinan dalam melakukan pengawasan terhadap bawahannya.

j. Prinsip Jalur dan Staf. Prinsip ini merupakan derivasi dari prinsip pembagian tugas dan menekankan pada pembedaan unit organisasi yang melaksanakan tugas pokok instansi dan unit organisasi yang melaksanakan tugas-tugas penunjang terhadap tugas pokok dalam mencapai tujuan organisasi secara keseluruhan.

k. Prinsip Kejelasan Dalam Pembaganan. Prinsip ini menekankan bahwa dalam menyusun organisasi dibuat bagan yang menggambarkan secara jelas mengenai kedudukan, susunan jabatan, pembagian tugas dan fungsi serta hubungan kerja diantara satuan organisasi yang bersangkutan; dalam hubungan

(31)

ini termasuk pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen pemerintahan seperti perencanaan dan pengawasan.

l. Prinsip legalitas. Berdasarkan prinsip ini setiap pembentukan organisasi pemerintahan negara harus didasarkan pada ketentuan hukum yang ada dan ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, sehingga kewenangan dan operasinya memilliki landasan hukum.

Implementasi prinsip-prinsip tersebut secara konsisten niscaya akan menjadikan kelembagaan pemerintahan desa berjalan efektif dan efisien. Sebagai contoh, kedudukan Badan Permusyawaratan Desa sebagai badan yang menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa diharapkan dapat memainkan fungsinya sebagai “representasi” masyarakat desa.

2. SDM Aparatur

Kemampuan SDM Aparatur pemerintahan desa merupakan syarat mutlak bagi keberhasilan pemerintahan desa. Menurut peraturan perundang-undangan SDM Aparatur pemerintahan desa terdiri dari Kepala Desa, Sekretaris Desa, Perangkat Desa dan Anggota BPD.

a. Kepala Desa

Kepala Desa dipilih langsung oleh dan dari penduduk desa warga negara Republik Indonesia yang syarat selanjutnya dan tata cara pemilihannya diatur dengan Perda yang berpedoman kepada Peraturan Pemerintah. Calon kepala desa yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan kepala desa sebagaimana, ditetapkan sebagai kepala desa.

Dengan demikian, kepala desa terpilih semestinya merupakan figur pemimpin yang memiliki kompetensi untuk menjalankan tugas dan wewenangnya. Menurut PP 72 Tahun

(32)

2005, tugas Kepala Desa adalah menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan (Pasal 14), sedangkan wewenangnya adalah: a) memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama BPD, b) mengajukan rancangan peraturan desa, c) menetapkan peraturan desa yang telah mendapat persetujuan bersama BPD, d) menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desa mengenai APB desa untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD, e) membina

kehidupan masyarakat desa, f) membina perekonomian desa, g) mengkoordinasikan pembangunan desa secara partisipasi, h)

mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakiliya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan i) melaksanakan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Apabila tidak berkompeten, tentulah masyarakat desa telah menjatuhkan pilihan yang kurang tepat dan mempertaruhkan kemajuan desanya, setidaknya untuk 6 tahun ke depan, karena sesuai perundangan masa jabatan kepala desa selama 6 tahun per periode. Namun demikian, hal yang demikian sangat mungkin terjadi apabila proses pemilihan itu telah diwarnai dengan perilaku tidak terpuji seperti politik uang (money politics).

b. Sekretaris Desa.

Sekretaris Desa diisi dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan. Dalam PP No. 72/2005 disebutkan persyaratan dimaksud meliputi: a) berpendidikan paling rendah

(33)

lulusan SMU atau sederajat; b) mempunyai pengetahuan tentang teknis pemerintahan; c) mempunyai kemampuan di bidang administrasi perkantoran; d) mempunyai pengalaman di bidang administrasi keuangan dan di bidang perencanaan; e) memahami sosial budaya masyarakat setempat, dan f) bersedia tinggal di desa yang berangkutan.

Persoalan pengisian jabatan Sekdes dari PNS lebih dimaksudkan untuk mendukung tugas dan fungsi kepala desa, khususnya dalam hal-hal teknis administratif (supporting staff). Namun hal ini telah menimbulkan fenomena yang tidak diduga-duga, ternyata sejumlah Sekdes di sebuah daerah berunjuk rasa menuntut diangkat menjadi PNS!

c. Perangkat Desa

Perangkat desa merupakan ‟aparat lini‟ kepala desa, yang mempunyai tugas membantu kepala desa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Dalam melaksanakan tugasnya, perangkat desa bertanggung jawab kepada kepala desa. Analog dengan struktur pemerintahan daerah maupun nasional, perangkat desa sesungguhnya merupakan ‟motor penggerak‟ kelembagaan desa. Oleh karena itu, kemampuan/kompetensi perangkat desa seyogyanya menjadi pertimbangan utama dalam proses rekrutmen mereka.

d. Badan Permusyawaratan Desa.

Sebagaimana diungkapkan di atas, anggota BPD merupakan “representasi” warga masyarakat, oleh karena itu pilihan keanggotaan BPD hendaknya mempertimbangkan kompetensi yang bersangkutan. Dalam peraturan perundangan

(34)

disebutkan keanggotaan BPD terdiri dari wakil penduduk desa yang bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah untuk mufakat berdasarkan profesi, ketokohan, jenis kelamin dan sebagainya.

Dalam rangka mencapai tujuan mensejahterakan masyarakat desa, masing-masing aktor yang ada di desa yakni Pemerintah Desa dan BPD dan unsur-unsur yang lain dapat berperan dengan menjalankan fungsinya masing-masing. Di dalam PP No. 72/2005 disebutkan: “Laporan pertanggung-jawaban kepada BPD disampaikan 1 kali dalam 1 tahun dalam musyawarah BPD (Pasal 15 ayat 4)”.

Oleh sebab itu, perlu juga dikembangkan mekanisme kerja antara berbagai aktor tersebut sehingga masing-masing aktor menjalankan fungsinya dengan baik, sampai dengan saat ini hubungan kerja yang sifatnya “kemitraan” masih dapat diterima sepanjang kemitraan tersebut didasari oleh filosofi sebagai berikut:

a. Kedudukan yang sejajar di antara aktor yang bermitra; b. Kepentingan bersama yang ingin dicapai;

c. Prinsip saling menghormati;

d. Niat baik dari para aktor yang bermitra untuk saling membantu dan saling mengingatkan.

3. Ketatalaksanaan

Ketatalaksanaan yang dimaksud dalam kajian ini lebih kepada pengelolaan/manajemen pemerintahan desa, khususnya yang menyangkut prosedur perencanaan pembangunan desa, pengelolaan keuangan desa, dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan desa. Dalam hal perencanaan misalnya, kapasitas

(35)

perencanaan pembangunan desa menjadi suatu tuntutan bagi pemerintahan desa, terutama sejak diterbitkannya UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Pertanyaannya, apakah pemerintahan desa mampu menyusun perencanaan pembangunan secara benar dan dapat dilaksanakan?

Kemudian dalam hal pengelolaan keuangan, sebagaimana pemerintahan daerah, pemerintah desa pun memiliki sumber-sumber pendapatan dan sumber-sumber keuangan desa. Bagaimanakah pengelolaan sumber-sumber tersebut? Demikian pula dalam hal pengawasan penyelenggaraan pemerintahan desa, bagaimanakah hubungan antara kepala desa dengan BPD? Hal-hal demikian dirasakan sangat memerlukan standard operating procedure (SOP), agar terdapat kepastian hubungan antara lembaga di lingkup pemerintahan desa.

B. CAPACITY BUILDING PEMERINTAHAN DESA

Terminologi capacity building lahir dari konsep yang dikembangkan oleh kelompok negara-negara pemberi bantuan (negara donor) yang tujuan utamanya adalah untuk membantu pembangunan negara-negara yang sedang berkembang (negara penerima donor). Secara historis hampir semua negara Asia dan Afrika sejak selesainya Perang Dunia II memulai kegiatan pembangunan di masing-masing negara, salah satu cara untuk mendanai pembangunan d negaranya adalah dengan cara meminjam dana kepada negara-negara donor. Hal ini tentunya termasuk Indonesia semenjak pemerintahan Orde Baru dan juga negara-negara lainnya yang baru merdeka dihadapkan pada sejumlah permasalahan yang paling dasar, di antaranya adalah pembangunan sarana dan prasarana.

(36)

Untuk memenuhi kebutuhan negara-negara berkembang tersebut, negara-negara pemberi donor ini bergabung dalam “kelompok negara pemberi donor” yang tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dan pemerintah negara berkembang untuk menjalankan program-program pembangunannya.

Capacity building ini dikembangkan dari konsep “institution building” yang sering digunakan pada dekade 1950-an, dan berakhir pada 1960-an, dan fokusnya bergeser pada “institution strengthening” pada dekade 1970-an. Sejalan dengan perkembangan keadaan, fokus perhatian kelompok negara-negara pemberi bantuan pada dekade 1980-an pemberian bantuan lebih diarahkan pada “development

management” dan “institutional development”. Perkembangan

selanjutnya, pada dekade 1990-an, dengan memperhatikan berbagai keberhasilan dan kegagalan, perhatian terhadap “capacity building” lebih mengemuka.

Hal ini dikarenakan kelompok negara-negara donor di satu pihak dan negara-negara yang diberi bantuan tersebut sama-sama menyadari bahwa investasi di sektor publik telah gagal melakukan perbaikan secara signifikan dalam mengembangkan kemampuan sektor publik dalam memprediksi, mengenali, mencegah dan mengelola masalah-masalah pembangunan (Trostle, Sommerfeld and Simon, 1997). Dalam perkembangan selanjutnya pemikiran “capacity building” pada saat inipun dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan partisipasi, pemberdayaan, masyarakat madani dan pergerakan sosial (Eade, 1997).

Dalam praktek pelaksanaan “capacity building” di negara-negara Asia dan Afrika, kelompok negara-negara pemberi bantuan (donor), banyak menggandeng lembaga swadaya masyarakat (non

(37)

pemerintah untuk menjalankan program-program “capacity building” di kalangan lembaga swadaya masyarakat. “capacity building” ditempatkan pada spektrum “membantu orang untuk menolong dirinya sendiri” mulai dari level individu, kelompok masyarakat, dari tingkat lokal sampai pada tingkat nasional, dengan sasaran utamanya adalah terbentuknya “masyarakat madani” untuk mendorong demokratisasi dan membangun institusi pemerintah yang kuat, efisien dan akuntabel.

Sekalipun terminologi “capacity building” telah muncul pada decade 1980-an, namun sampai pada saat ini belum terdapat kesepakatan dari berbagai kalangan mengenai definisi “capacity

building” yang sifatnya sudah baku dan dapat dijadikan sebagai acuan

dari semua pihak yang punya minat terhadap pengembangan konsep “capacity building”. Meskipun dalam prakteknya terdapat beberapa rumusan dari pengertian “capacity building”, namun pengertian-pengertian tersebut kadang-kadang “vague” dan tidak konsisten, dan tidak serta-merta “incompatible” dalam prakteknya (Eade, 1997), beberapa pengertian tersebut ada yang lebih memfokuskan perhatiannya pada pengembangan kapasitas sumberdaya manusia, namun ada juga yang lebih menyoroti pengembangan kelembagaan yang kuat, dan juga ada yang lebih menyoroti penguatan manajemen.

Definisi “capacity building” yang sering dipakai adalah definisi yang dikemukakan oleh Hilderbrand dan Grindle (1997), yang mengemukakan bahwa kata “capacity” atau kapasitas berarti “ability to perform appropriate tasks effectively, efficiently and sustainably”. Capacity building sendiri mengacu pada “improvement in the ability of

public sector organizations”. Mengingat bahwa ruang lingkup perbaikan

kemampuan atau kapasitas organisasi sektor publik itu sangat luas, maka dengan sendirinya cakupan “capacity building” juga luas.

(38)

Selain itu Cohen (1995) mendefinisikan Kapasitas Sumberdaya Manusia sebagai kemampuan (ability) institusi-institusi sektor publik untuk melaksanakan fungsi yang ditetapkan, mengoperasionalkannya melalui peran institusi yang diisi oleh individu-individu yang melaksanakan tugasnya. Oxfam, sebuah lembaga swadaya masyarakat di Inggris, mendefinisikan “capacity building” berangkat dari kepecayaan yang fundamental (fundamental beliefs) yakni “setiap orang memiliki hak terhadap bagian yang sama dari sumberdaya dunia.

Pengingkaran dari hak tersebut merupakan penyebab kemiskinan dan penderitaan (that all people have the right to an equitable share in the world’s resources, ….. and that the denial of such rights is at the heart of poverty and suffering). Lembaga swadaya masyarakat ini melihat bahwa dasar pembangunan itu terletak pada peningkatan kemampuan masyarakat untuk menentukan nilai-nilai dan prioritas yang mereka pilih. “capacity building” merupakan sebuah pendekatan pembangunan daripada serangkaian intervensi yang “discrete and prepackaged”. Untuk mengaktualisasikan potensi masyarakat perlu ditumbuhkembangkan kreativitas dan oto-aktivitas masyarakat yang terarah pada peningkatan kesejahteraan masyarakat serta ketahanan dan daya saing masyarakat yang bersangkutan. Dalam rangka itu, format pemerintahan sebagai sistem penyelenggara negara baik pemerintah pusat maupun daerah perlu memperhatikan prinsip-prinsip antara lain : Demokrasi, Pemberdayaan, Pelayanan, Transparansi dan akuntabel, Partisipasi, Kemitraan, Konsistensi Kebijakan dan Kepastian hukum.

UNDP (1998) mendefinisikan kapasitas sebagai kemampuan individu, organisasi (unit organisasi) atau sistem untuk menunjukkan fungsinya secara efektif, efisien, dan berkelanjutan. Capacity adalah kekuatan dari individu, organisasi, dan sistem untuk berproduksi.

(39)

Berdasarkan definisi UNDP tersebut, peningkatan kapasitas Pemerintahan Desa meliputi aparatur desa (individu), kelembagaan desa (organisasi), dan sistem pemerintahan desa yang mencakup manajemen/pengelolaan pemerintahan desa, kepemimpinan desa, dan sebagainya (sistem). Dengan kata lain, upaya peningkatan kapasitas Pemerintahan Desa tersebut mencakup ketiga ranah: individu, organisasi dan sistem.

Definisi lainnya dikemukakan oleh OECD - persatuan negara-negara berkembang (1998) yang menyatakan bahwa capacity atau kapasitas adalah proses dimana individu, group, institusi, dan masyarakat meningkatkan kemampuan mereka untuk: (1) melaksanakan fungsi lini (core function), menyelesaikan masalah, menjabarkan dan mencapai tujuan, dan (2) memahami dan mampu beradatasi dengan kebutuhan pembangunan dalam skala yang luas dan berkelanjutan.

Sementara itu, merujuk pendapat OECD bahwa upaya peningkatan kapasitas individu, kelompok, institusi, dan masyarakat pada dasarnya ditujukan untuk melaksanakan fungsi lini. Bagi Pemerintahan Desa, fungsi lini tersebut sebagaimana tercantum dalam Pasal 206 UU Nomor 32 Tahun 2004, yaitu:

“Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup:

a. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa;

b. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa;

c. tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota;

d. urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-perundangan diserahkan kepada desa”.

(40)

Kemampuan Pemerintahan Desa dalam melaksanakan tugas dan fungsi tersebut akan menjadi tolok ukur bagi pencapaian kinerja Pemerintahan Desa. Artinya, dukungan individu, organisasi, dan sistem yang memadai sangat diperlukan dalam rangka pencapaian kinerja Pemerintahan Desa.

Kemampun atau kapasitas yang dimiliki oleh aparatur Desa (individu) dan kepemimpinan Kepala Desa diharapkan mampu mengatasi berbagai persoalan yang muncul dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Oleh karena itu, rekrutmen aparat Desa baik aparatur Kepala Desa (Sekdes dan para Kepala Urusan) maupun anggota-anggota BPD. Penempatan PNS untuk menduduki jabatan Sekdes misalnya, merupakan langkah penting dalam mengatasi kemungkinan permasalahan yang timbul khususnya dalam hal pengelolaan administrasi keuangan.

Namun demikian, keberhasilan pencapaian kinerja Pemerintahan Desa tidak hanya ditentukan oleh seorang Sekdes, oleh karenanya tuntutan kemampuan menyelenggarakan kepemerintahan desa juga menjadi tanggung jawab para kepala urusan dan anggota BPD. Berkenaan dengan hal tersebut, upaya peningkatan kompetensi aparatur desa menjadi penting untuk dilakukan secara terus-menerus.

Pertanyaannya adalah, sejauhmana keberhasilan Pemerintah dalam mengembangkan kapasitas pemerintahan desa, karena berdasarkan uraian sebelumnya ternyata masih terdapat sejumlah persoalan besar yang terjadi di desa-desa. Dalam hubungan ini, apakah perubahan pengaturan tentang Pemerintahan Daerah yang terjadi selama ini tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut?

Untuk alasan inilah, nampaknya Pemerintah dan Pemerintah Daerah perlu segera mengambil langkah-langkah konkret dalam rangka meningkatkan kapasitas/kemampuan pemerintah desa, sehingga ke

(41)

depan Desa tidak lagi terpinggirkan seperti yang terjadi pada masa lalu. Desa masa depan adalah desa yang mampu mengelola potensi yang ada berdasarkan prinsip-prinsip pemerintahan desa yang demokratis dan memiliki keunggulan di bidang sosial, politik, ekonomi, dan budaya.

Dari uraian sebagaimana diutarakan di atas, patut difahami bahwa “capacity building” merupakan proses peningkatan kapasitas yang tiada henti, berproses terus secara bertahap dan berkesinambungan dalam rangka mencapai efisiensi dan efektivitas pemerintahan secara optimal. Proses “capacity building” pemerintahan desa dapat dimaknai sebagai pendorong reformasi pemerintahan desa dalam kerangka pencapaian tujuan yang diinginkan oleh masyarakat desa, dan oleh karena itu proses awal dari peningkatan kapasitas pemerintahan desa haruslah dirancang dan dibangun secara komprehensif dan terpadu dalam rangka mewujudkan peningkatan kinerja pemerintahan desa secara terus menerus (continuous performance improvement).

Peningkatan kapasitas pemerintahan desa pada dasarnya diarahkan pada tujuan-tujuan (goals) antara lain :

a. Mengembangkan keterampilan dan kompetensi individu sehingga masing-masing individu mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang diembannya;

b. Mengembangkan budaya kerja, sistem dan prosedur ke dalam otoritas/kewenangan unit-unit kerja pemerintahan desa dalam rangka mencapai tujuan masing-masing unit kerja;

c. Mengembangkan dan menguatkan jejaring kerja dengan pihak luar dan supra desa (development and strengthening of external links) dalam rangka menumbuh-kembangkan kemitraan secara intensif, ektensif dan solid.

Peningkatan kapasitas pemerintahan desa dapat diartikan sebagai upaya menata kelembagaan, mengembangkan sistem dan

Referensi

Dokumen terkait

mata kuliah ini, mahasiswa akan dapat mengetahui dan memahami respon dan tanggapan dari sistem yang meliputi Tanggapan waktu dari Sistem Orde Satu, Tanggapan Sistem

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dorongan, bimbingan, dan do’a yang begitu besar kuasanya juga

MADRASA BY ANY OTHER NAME Pondok , Pesantren , and Islamic Schools in Indonesia and Larger Southeast Asian Region..

Setelah Anda klik tombol Finish maka Eclipse secara otomatis akan membentuk sebuah folder baru berisi ber- bagai file pendukung yang digunakan untuk membuat aplikasi baru..

Didalam kepemimpinan demokratis ini seseorang pemimpin menempatkan manusia sebagai faktor terpenting dalam kepemimpinan yang dilakukan berdasarkan dan mengutamakan

Sekarang, bila menu tidak ditampilkan, Anda dapat menekan tombol Select untuk mengganti pengaturan pembesaran (Magnify Level, Magnify Horizontal Position dan Magnify

An paninigarilyo ay mapanganib sapagkat ang usok nito ay nakakapinsala hindi lamang sa taong gumagawa nito kung hindi na rin sa taong naka paligid sa

(1) Dalam hal pengusaha hotel termasuk Motel, Losmen, Gubuk Pariwisata, Wisma Pariwisata, Pesanggrahan, Rumah Penginapan dan Rumah Kos akan melakukan perubahan