• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 4 DINAMIKA PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA

B. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa di Berbagai

2. Pengelolaan Keuangan Desa

Narang dalam mengakselerasi pembangunan kawasan perdesaan”

Dalam kaitan ini, peran Bappeda ditantang oleh Gubernur, untuk mengkoordinasikan pelaksanaan program dan kegiatan di setiap satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Sebagaimana diketahui, PM2L ini merupakan program yang dilaksanakan di desa – dimana tiap kabupaten ditunjuk 3 desa – sesuai dengan kebutuhan desa yang bersangkutan.

Untuk itu, pemetaan kebutuhan tersebut menjadi salah satu tugas Bappeda, agar program dan kegiatan tidak menumpuk pada satu atau beberapa kabupaten saja, selain agar program/kegiatan yang dilaksanakan benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa.

Pemetaan kebutuhan ini dilakukan bersama-sama dengan Biro Tatapraja Sekretariat Provinsi dan Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD). Mengapa demikian? Karena kedua unit inilah yang berhubungan langsung dengan pemerintah desa. Selanjutnya, Bappeda akan mengonsolidasikan berbagai kebutuhan yang telah dipetakan tersebut, dan menginformasikannya kepada seluruh SKPD yang akan melaksanakan di tiap desa.

Demikian beberapa contoh perencanaan pembangunan desa di level provinsi dan kabupaten/kota. Adapun di level pemerintah desa, ternyata penyusunan perencanaan pembangunan belum dilaksanakan secara optimal.

2. Pengelolaan Keuangan Desa

Pengelolaan keuangan desa diatur dalam Pasal 212 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 67 PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 37

Tahun 2007 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa dan Surat Mendagri No. 140/161/SJ tentang Pedoman Umum Pengelolaan Keuangan Desa. Pembiayaan atau keuangan merupakan faktor esensial dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahan desa, sama pentinginya dengan peran keuangan daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Pada pasal 67 PP No. 72 Tahun 2005 disebutkan: (1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan desa yang menjadi

kewenangan desa didanai dari anggaran pendapatan dan belanja

desa, bantuan Pemerintah, dan bantuan pemerintah daerah, (2) Penyelenggaraan urusan pemerintah daerah yang

diselenggarakan oleh pemerintah desa didanai dari anggaran pendapatan dan belanja daerah, dan (3) penyelenggaraan urusan Pemerintah yang diselenggarakan oleh pemerintah desa didanai dari anggaran dan belanja negara.”

Sementara itu, di dalam Surat Mendagri No. 140/161/SJ disebutkan bahwa kepala desa selaku Kepala Pemerintah Desa adalah Pemegang Kekuasaan Keuangan Desa dan mewakili Pemerintah Desa dalam kepemilikan kekayaan desa yang dipisahkan. Pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa mempunyai kewenangan: menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan APBDesa, menetapkan kebijakan tentang pengelolaan barang desa, menetapkan bendahara desa, menetapkan petugas yang melakukan pemungutan penerimaan desa, dan menetapkan petugas yang melakukan pengelolaan barang milik desa.

Berdasarkan temuan lapangan, otonomi daerah (: otonomi desa) lebih sering dimaknai sebagai keleluasaan daerah dan desa untuk mengelola keuangannya, sebagaimana disampaikan Kepala Biro Pemerintahan Provinsi Bali:

“…….autonomy” identik dengan “automoney”, maka untuk mengatur dan mengurus rumah-tangganya desa, pemerintah desa membutuhkan dana yang memadai sebagai dukungan pelaksanaan atas kewenangan yang dimilikinya”.

Sama halnya dengan daerah lain di Indonesia, sumber pembiayaan yang diharapkan Provinsi Bali guna mendukung kelancaran pemerintahan desa – dalam hal ini dana operasional dan dana pelaksanaan kewenangan yang dimiliki – sangat terbatas, yang mengakibatkan rendahnya kualitas pelayanan pemerintahan desa. Pemerintahan desa pada saat ini lebih tepat dikatakan sebagai pemerintahan semu “quasi government organization” karena pemerintah desa tidak memiliki kewenangan untuk menarik pajak/retribusi, penghasilan aparat desa sangat tergantung pada dana yang dialokasikan oleh pemerintah daerah kabupaten, karena Kas Desa yang bersumber dari PAD Desa dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sangat minim, bahkan “Nihil”.

Secara ideal, kebijakan yang mengatur keuangan desa tersebut sudah sesuai dengan konsep desentralisasi fiskal, dengan cara dana yang diperuntukkan bagi masing-masing desa ditransfer langsung dari pemerintah Kabupaten ke masing-masing rekening desa. Penentuan jumlah dana sesuai dengan formula ADD yang telah ditentukan dalam berbagai kebijakan yang mengatur tentang keuangan desa.

Jumlah ADD yang diterima masing-masing desa untuk tahun 2007 dan 2008 ini berkisar antara Rp. 80.000.000,- sampai Rp. 100.000.000,-. Desentralisasi fiskal ini juga harus diimbangi dengan aspek lain yang tidak kalah penting yakni “pembangunan desa partisipatif”. Selain dana yang ditransfer langsung tersebut desa juga masih mendapat dana lain seperti dana pembangunan

melalui kecamatan yang disebut PPK yang untuk masing-masing kecamatan mendapat dana Rp. 1 milyar. Dana tersebut dibagi-bagikan kepada desa-desa yang ada dalam kecamatan yang bersangkutan‟

Untuk mengelola dana-dana tersebut terdapat masalah utama yang dihadapi yaitu terbatasnya sumber daya manusia yang mampu melaksanakan tugas mengelola keuangan desa. Selain masalah kesiapan sumber daya manusia pola transfer langsung ini juga masih menimbulkan masalah lain yakni belum sepenuhnya mencerminkan “pemerataan dan keadilan” karena masih terdapat kesan penentuan jumlah dana yang diperoleh oleh masing-masing desa jumlahnya sama.

Permasalahan lain adalah menyangkut “isi kebijakan” yang mengatur aspek keuangan desa, banyak persepsi yang berbeda akibat ketidakjelasan maksud yang terkandung dalam berbagai kebijakan yang mengatur masalah keuangan desa. Selain itu, hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana fungsi Kecamatan dalam pembinaan pemerintah desa, sebab menurut hasil pengamatan “span of control” dari Kabupaten langsung ke Desa terlalu jauh dan membutuhkan waktu dan dana.

Dari hasil diskusi dengan para Kepala Desa di Kabupaten Badung dan Gianyar, secara umum dapat diidentifikasi beberapa kendala dalam hal pengelolaan keuangan desa, antara lain :

 Perlu dipisahkan dana yang dikelola oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa, karena pihak pemerintah desa selalu mengalami hambatan dalam proses pertanggungjawaban keuangan terhadap uang yang dikelola oleh Badan Permusawaratan Desa;

 Pertanggungjawaban administrasi keuangan ternyata membutuhkan “dana administrasi”, dimana dana operasional tersebut tidak terdapat dalam mata anggaran yang tersedia;  Minimnya sosialisasi dan bimbingan teknis dari Provinsi dan

Kabupaten tentang Manajemen Keuangan Desa;

 Terbatasnya peralatan pendukung proses pengelolaan keuangan;

 Terbatasnya sumberdaya manusia yang mampu dan mau menjadi bendahara di desa;

 Pertanggungjawaban keuangan yang berbelit-belit.

Senada dengan apa yang terjadi di Provinsi Bali, peningkatan kapasitas kampung di Papua berproses sejalan dengan Visi dan Misi dari Gubernur Provinsi Papua. Salah satu strategi percepatan

pembangunan kampung tersebut adalah meningkatkan

pembangunan kampung dengan memberikan dukungan berupa pemberian Dana Otsus, dan dana-dana lainnya dari pemerintah Kabupaten dan Provinsi yang bersumber dari APBD ataupun dana pembangunan dari sektoral. Jumlah dana Otsus tersebut untuk masing-masing kampung sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah), sehingga jumlah alokasi anggaran untuk masing-masing kampung dilihat dari segi jumlahnya sudah cukup memadai. Tujuan utama dari pemberian dana Otsus ini adalah agar pemerintah baik pemerintah provinsi, kabupaten dan sektoral melalui SKPD masing-masing unit mempunyai konsen dan perhatian terhadap pembangunan kampung, jadi dana Otsus ini hanyalah stimulus untuk semua aparat pemerintah di wilayah provinsi papua untuk

bersama-sama mengarahkan program-programnya bagi

Dana Otsus ini disampaikan ke kampung-kampung melalui rekening Bank Papua yang dimiliki oleh masing-masing kampung. Petugas yang mengelola dana Otsus ini terdiri dari pejabat kampung dari berbagai kalangan yankni perwakilan aparat kampung, tokoh adat kampung, dan tokoh agama. Mereka inilah yang secara bersama-sama mengelola dan mempertanggungjawabkan dana Otsus tersebut. Sifat dari dana Otsus tersebut tidak seperti pengelolaan keuangan desa yang bersumber dari APBD Provinsi maupun Kabupaten. Dana Otsus tersebut tidak diproyekkan, pertanggungjawabannya sangat transparan, dimana masyarakat kampung dapat secara langsung memantau pemanfaatan dari dana tersebut.

Jika terdapat penyimpangan, maka pengelola dana Otsus tersebut harus diminta pertanggungjawabannya secara hukum. Dana Otsus tersebut diperuntukkan bagi program-program yang secara langsung dapat dirasakan oleh masyarakat kampung, misalnya untuk mendukung program pendidikan, program kesehatan, program pembangunan infrastruktur kampung, program PKK, penanganan gizi buruk dan sebagainya.

Sedangkan pengelolaan keuangan yang bersumber dari APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota harus sesuai dengan pedoman pengelolaan keuangan yang telah diatur baik dari pusat (Departemen Dalam Negeri dan Departemen Keuangan) maupun Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur tentang Anggaran dan

Pendapatan dan Belanja Kampung (APBK), dan

pertanggungjawabannya pun tentunya sesuai dengan pedoman-pedoman yang telah ditetapkan.

Hambatan-hambatan dalam hal keuangan kampung ini antara lain; Sumber keuangan kampung tidak ada, hanya tertumpu

pada dana-dana dari pemerintah, baik pusat maupun daerah, kampung tidak memiliki asset, tidak memiliki sumber pendapatan, tidak memiliki badan usaha, dan tidak memilki koperasi. Selain tidak memilki sumber pendapatan, kemampuan aparat kampung dalam mengelola angaran juga masih perlu ditingkatkan dan dilatih dengan cara simulasi atau bimbingan teknis pengelolalan keuangan kampung, meskipun secara kewenangan penguatan kapasitas kampung dan aparat kampung ini adalah kewenagna kabupaten/kota namun demikian pihak provinsi (Biro Tata Pemerintahan dan Badan Pemberdayaan Masyarakat Kampung) juga mempunyai program-program peningkatan kapasitas aparat kampung khususnya dalam hal pengelolaan keuangan kampung.

Selain lemahnya sumberdaya manusia pengelola keuangan di kampung-kampung juga teridentifikasi ketegasan dari Pemerintah dalam hal memberi sanksi bagi Kabupaten/Kota yang terlambat mempertanggungjawabkan keuangan baik DAK maupun DAU, mestinya Departemen Keuangan lebih tegas, bagi Daerah yang bandel harus ada sanksi, agar terdapat efek jera, tetapi kita lihat malah sebaliknya, Kabupaten yang bandel tersebut malah diberi DAU dan DAK yang lebih besar, ini perlu perhatian pemerintah pusat.

Berbagai permasalahan umum terkait dengan pengelolaan keuangan desa :

 Perubahan peraturan perundangan; seringnya perubahan peraturan kepala desa menjadi salah satu penyebab buruknya pengelolaan keuangan desa.

 Kemampuan kepala desa; keterbatasan kemampuan kepala desa dalam merencanakan, mengelola dan mempertanggung jawabkan keuangan desa, sehingga banyak kepala desa di

dalam membuat pertanggungjawaban menyewa atau membeli seorang administrator (calo) untuk menyusun pertanggung jawaban keuangan desa yang ada. Hal ini memang dirasakan

sangat memberatkan kepala desa dalam menyusun

pertanggungjawaban keuangan dan proses administrasi, untuk itu dipandang perlu untuk melakukan penyederhanaan dan sosialisasi serta pelatihan yang intensif.

a. Bantuan Keuangan

Besaran alokasi bantuan keuangan yang diberikan oleh pemerintah kabupaten kepada kepala desa dan perangkatnya berbeda satu sama lain, hal ini tergantung pada kemampuan keuangan daerah yang bersangkutan. Di Kabupaten Bintan-Provinsi Kepri, bantuan keuangan dari pemerintah kabupaten diberikan untuk membayar honorarium kepala desa dan perangkat desa. Honor Kades antara Rp 500.000,- sampai dengan Rp 1.000.000,-. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Bappeda Provinsi Kepri:

”Honor Kades bervariasi ada yang Rp 500 ribu s/d Rp 1 juta. Kalau di Jawa kan ada tanah ’bengkok’. Mereka disini tidak mengharapkan tanah bengkok, tetapi hendaknya ada kewenangan yang jelas. Contoh: membuat pengantar untuk dokumen kayu untuk pesanan keluarga, ditangkap. Ini kan tidak jelas”.

Sementara itu, menurut Asisten III Kabupaten Bintan. Pemerintah kabupaten juga memberikan tunjangan kepada pemerintah desa atau TPAPD sebesar Rp. 3 miliar lebih dan dana operasional desa sebesar Rp. 50 juta per desa, sebagaimana pernyataan berikut:

“TPAPD sebesar 3,321 Miliar, sedangkan dana oprsional desa 50 juta/desa (1,8 Miliar). Tunjangan BPD 675 juta,

sedangkan operasional BPD sebesar 25 juta per BPD (900 juta).Bantuan RT/RW karena SIAK dan akte kelahiran gratis. Untuk mendukung ini kita memberi dana insentif sebesar 250 ribu per bulan, kepada LPM kita berikan 10 juta per tahun”.

Dari pernyataan tersebut, ternyata pemberian tunjangan kepada pemerintah desa tidak hanya diberikan kepada kepala desa dan perangkatnya, tetapi juga kepada BPD sebesar Rp 25 juta. Sementara bantuan untuk Lembaga Pemberdayaan Masyarakat sebesar Rp 10 juta per tahun.

Selain itu, Pemerintah Kabupaten juga memberikan bantuan keuangan untuk penyelenggaraan Pilkades (pemilihan kepala desa) yang disebut sebagai dana pendamping. Sebagaimana dinyatakan oleh Asisten III sebagai berikut:

”Untuk Pilkades kita berikan dana pendamping. Bantuan purnabhakti 10 juta.Kita menganggarkan untuk sewa kantor desa/kel/kecamatan pemekaran Rp. 600 ribu per bulan. Sekdes yang tidak jadi PNS diberi tunjangan Rp 10 juta/orang”.

Berbeda dengan Kabupaten Bintan, para Kepala Desa di Kabupaten Lombok Timur-Provinsi NTB, selain mendapatkan gaji juga memperoleh pecatu yang diganti dengan uang sebesar Rp. 250.000,-. Sayang tidak ada penjelasan berapa gaji Kades di daerah yang bersangkutan, sehingga tidak jelas berapa gaji sesungguhnya.

Namun demikian, peraturan telah menetapkan bahwa gaji Kades dan perangkatnya diberikan sama dengan UMR daerah yang bersangkutan, sebagaimana tercantum pada Pasal 27 PP No. 72/2005, bahwa para kepala desa dan perangkat desa diberikan penghasilan tetap minimal sebesar Upah Minimum Regional (UMR). Hal ini pula yang menjadi salah satu

tuntutan Persatuan Perangkat Desa se-Indonesia atau Parade Nusantara, selain tuntutan dana 10% dari APBN.

b. Pelaksanaan Alokasi Dana Desa

Dalam rangka pelaksanaan pemerataan pembangunan

desa menunu kemandirian desa dan meningkatnya

kesejahteraan masyarakat desa, dibutuhkan partisipasi dari seluruh masyarakat melalui pembangunan dalam skala desa. Untuk mendukung pelaksanaan kegiatan tersebut maka perlu dialokasikan dana bantuan kepada desa dalam bentuk Alokasi Dana Desa (ADD), yang merupakan dana perimbangan dan

diharapkan menjadi penyangga utama pelaksanaan

pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.

Sebagai bentuk implementasi dari kegiatan tersebut, maka Pemerintah Kabupaten Malang mengeluarkan Peraturan Daerah No. 18 Tahun 2006 tentang Alokasi Dana Desa, yang merupakan persentase dana dari APBD yang bersumber dari bagian dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Pemerintah Daerah untuk desa dengan alokasi berdasarkan besar dana minimum ditambahkan dengan besar alokasi dana berdasarkan variabel dari indikator.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menentukan ADD, antara lain:

 Alokasi Dana Desa Minimum (ADDM) yaitu dana yang dialokasikan dengan besaran yang sama setiap desa.

 Alokasi Dana Desa Proporsional (ADDP) yaitu dana yang dialokasikan dengan besaran sesuai dengan hasil perkalian

antara bobot desa dengan total alokasi dana desa yang tersedia dari persentase dan bersifat variabel.

 Bobot Desa (BD) adalah nilai kelayakan desa penerima ADD dengan indikator pembobotan :

a. Persentase luas wilayah desa (LW) dalam Km2 (luas wilayah desa : luas wilayah seluruh desa di daerah) x 100%;

b. Persentase jumlah penduduk desa (JP) = (jumlah penduduk desa : jumlah penduduk seluruh desa di daerah) x 100%;

c. Persentase jumlah KK miskin desa (JPM) = (jumlah KK miskin desa : jumlah KK miskin seluruh desa di daerah) x 100%;

d. Persentase keterjangkauan desa (KJ) = (0,6 x jarak desa dengan ibukita kabupaten) + (0,4 x jarak desa dengan ibukota kecamatan) : skor seluruh desa x 100%;

e. Persentase PADS desa = (besarnya PADS desa : besar PADS seluruh desa di daerah) x 100%

Sumber dan besaran Alokasi Dana Desa (ADD) :

 ADD bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun berjalan, yang besarnya adalah minimal 10% dari Dana Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang diterima oleh Pemerintah Daerah,

 Besarnya ADDM adalah 60% dari ADD yang ditetapkan, sedangkan ADDP adalah 40% dari ADD.

Rumusan penetapan Alokasi Dana Desa (ADD) :

 Besarnya ADD untuk setiap desa di wilayah daerah yang selanjutnya disebut ADD i ditetapkan dengan rumus ADD i = ADDM i + ADDP i;

 Besarnya ADDM untuk setiap desa di wilayah daerah yang selanjutnya disebut ADDM i adalah (60% x ADD) : Jumlah Desa

 Besarnya ADDP untuk setiap desa di wilayah daerah yang selanjutnya disebut ADDP i adalah (40% x ADD) x Bobot Desa  Bobot Desa untuk setiap desa di wilayah daerah yang

selanjutnya disebut BD i ditetapkan dengan menjumlah seluruh indikator pembobotan dikurangi PADS, dengan rumus BD i = LW + JP + JPM + KJ - PADS

Pengelolaan ADD :

 Penggunaan dana perimbangan desa dimusyawarahkan antara Pemerintah Desa dengan BPD dan dituangkan dalam Peraturan Desa tentang APBDes tahunan yang bersangkutan  Semua penerimaan dan pengeluaran keuangan sebagai

akibat diberikannya perimbangan keuangan Kabupaten dan Desa dicatat dan dibukukan dalam buku administrasi keuangan desa oleh Bendahara Umum Desa

 Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan

dikoordinasikan oleh Pemerintah Desa

Tugas dan tanggung jawab Kepala Desa dalam ADD adalah :  Mengkoordinasikan musyawarah antara pemerintah desa,

BPD, dan elemen desa terkait lainnya mengenai rencana penggunaan perimbangan keuangan Kabupaten dan Desa;  Mengkonsultasikan pada masyarakat tentang rencana

penggunaan perimbangan keuangan Kabupaten dan Desa  Menyusun rancangan peraturan desa tentang APBDes yang

setelah mendapat persetujuan BPD ditetapkan menjadi peraturan desa

 Bertanggung jawab atas penggunaan perimbangan keuangan kabupaten dan desa

Tugas dan tanggung jawab BPD dalam ADD adalah :

 Bersama-sama pemerintah desa menyusun rancangan peraturan desa tentang APBDes, yang di dalamnya termasuk rencana penggunaan perimbangan keuangan kabupaten dan desa

 Mengawasi penggunaan perimbangan keuangan kabupaten dan desa baik tertib administrasi maupun pelaksanaan di lapangan

 Meminta pertanggungjawaban kepala desa atas penggunaan perimbangan keuangan kabupaten dan desa;

DAU Desa

 Merupakan penerimaan dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima pemerintah Kabupaten, dialokasikan kepada Desa sebesar 10% dari penerimaan dana perimbangan yang ditetapkan dalam APBD, setelah dikurangi belanja pegawai, yang pemberiannya dengan memperhatikan kondisi kesiapan Desa;

 Plafon DAU Desa untuk seluruh Desa se-Kabupaten ditetapkan dalam APBD Kabupaten Malang;

 DAU masing-masing Desa ditentukan dengan penjumlahan alokasi rata-rata dengan alokasi tertimbang berdasarkan porsi Desa yang bersangkutan;

 Alokasi rata-rata untuk masing-masing Desa adalah sebesar 75% dari plafon DAU Desa seluruh Desa dibagi jumlah Desa se-Kabupaten Malang;

 Alokasi tertimbang adalah sebesar 25% dari plafon DAU Desa se-Kabupaten Malang;

 Porsi Desa yang bersangkutan merupakan proporsi bobot Desa yang bersangkutan terhadap jumlah bobot seluruh Desa;

 Bobot Desa ditentukan berdasarkan : a. luas wilayah;

b. jumlah penduduk tahun sebelumnya

c. jumlah kepala keluarga miskin sebelumnya d. keterjangkauan desa

e. potensi desa tahun sebelumnya

f. pajak bumi dan bangunan (PBB) tahun sebelumnya g. luas tanah desa yang diolah untuk pertanian peternakan,

perikanan dan lain-lain usaha yang produktif

 DAU Desa untuk masing-masing Desa dihitung berdasarkan rumus:

Ket :

DAU Desa-I = besaran DAU masing-masing desa RT = besaran bantuan rata-rata masing desa BDi = bobot suatu Desa

BT = alokasi bantuan secara tertimbang DAK Desa

 DAK desa dapat diberikan kepada desa-desa tertentu untuk membiayai kegiatan yang sudah ditentukan pemerinth kabupaten, yang pengaturannya diatur melalui Peraturan Bupati;

Penggunaan dan Pertanggungjawaban ADD : ADD yang diterima setiap desa digunakan untuk :

a. pemberdayaan masyarakat dan penguatan kapasitas pemerintah desa sebesar 70%, yang meliputi :

 penanggulangan kemiskinan dan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat miskin serta mengurangi kesenjangan melalui bina manusia dan bina usaha;

 peningkatan peranan wanita melalui perwujudan kesetaraan gender dan peningkatan peranan Dasa Wisma dalam bentuk bantuan operasional Tim Penggerak PKK Desa;

 pembentukan dan pengembangan BUMDes;  peningkatan derajat kesehatan;

 peningkatan kualitas pendidikan luar sekolah;

 usaha-usaha peningkatan stabilitas keamanan, ketentraman dan ketertiban masyarakat/linmas;

 pembinaan organisasi kepemudaan melalui karang taruna dan bina keluarga remaja (BKR)

 peningkatan pengamalan kehidupan keagamaan dalam rangka peningkatan kesalehan sosial;

 pelestarian kegotong-royongan dan keswadayaan;  pembangunan infrastruktur pedesaan;

 pengembangan wilayah terpencil yang mempunyai potensi berkembang;

 pengembangan dan pemasyarakatan teknologi tepat guna (TTG) dan pemanfaatan sumber daya desa, serta pelestarian lingkungan hidup;

 bantuan operasional lembaga kemasyarakatan desa  bantuan operasional lembaga RW dan RT

b. Biaya operasional pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa sebesar 30%, yang meliputi :

 Bantuan tunjangan aparat Pemerintah Desa  Bantuan tunjangan BPD

 Biaya operasional Sekretaris Desa  Biaya operasional Sekretaris BPD  Biaya perjalanan dinas

 Lain-lain pengeluaran rutin

c. Penggunaan ADD tidak diperbolehkan untuk kegiatan politik, melawan hukum dan peruntukkan yang tidak tepat sasaran d. Apabila menyimpang dari DURK semula karena skala

prioritas harus ada musyawarah mufakat yang dituangkan dalam berita acara.

Pertanggungjawaban ADD dan pengenaan sanksi :

a. pembangunan skala desa yang bersumber dari ADD dilaksanakan secara swakelola oleh LKMD, dan dipertanggungjawabkan secara langsung kepada masyarakat dan BPD, mekanisme pertanggungjawabannya diatur dalam Peraturan Desa

b. pelaksanaan ADD dilakukan secara partisipatif, transparan dan akuntabel.

c. Bupati dengan persetujuan DPRD, berhak mengurangi jumlah ADD tertentu pada tahun berikutnya dari jumlah yang seharusnya secara proporsional bagi desa yang terbukti tidak mampu melaksanakan pembangunan skala desa yang bersumber dari ADD secara transparan, partisipatif, dan akuntabilitas;

d. Bagi pelaksana pembangunan yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam pelaksanaan pembangunan skala desa dari dana ADD akan dilakukan tindakan hukum sesuai peraturan yang berlaku.

Dokumen terkait