• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 KERANGKA KONSEPTUAL

B. Capacity Building Pemerintahan Desa

perencanaan pembangunan desa menjadi suatu tuntutan bagi pemerintahan desa, terutama sejak diterbitkannya UU No. 25/2004

tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

Pertanyaannya, apakah pemerintahan desa mampu menyusun perencanaan pembangunan secara benar dan dapat dilaksanakan?

Kemudian dalam hal pengelolaan keuangan, sebagaimana pemerintahan daerah, pemerintah desa pun memiliki sumber-sumber pendapatan dan sumber-sumber keuangan desa. Bagaimanakah pengelolaan sumber-sumber tersebut? Demikian pula dalam hal pengawasan penyelenggaraan pemerintahan desa, bagaimanakah hubungan antara kepala desa dengan BPD? Hal-hal demikian dirasakan sangat memerlukan standard operating procedure (SOP), agar terdapat kepastian hubungan antara lembaga di lingkup pemerintahan desa.

B. CAPACITY BUILDING PEMERINTAHAN DESA

Terminologi capacity building lahir dari konsep yang dikembangkan oleh kelompok negara-negara pemberi bantuan (negara donor) yang tujuan utamanya adalah untuk membantu pembangunan negara-negara yang sedang berkembang (negara penerima donor). Secara historis hampir semua negara Asia dan Afrika sejak selesainya Perang Dunia II memulai kegiatan pembangunan di masing-masing negara, salah satu cara untuk mendanai pembangunan d negaranya adalah dengan cara meminjam dana kepada negara-negara donor. Hal ini tentunya termasuk Indonesia semenjak pemerintahan Orde Baru dan juga negara-negara lainnya yang baru merdeka dihadapkan pada sejumlah permasalahan yang paling dasar, di antaranya adalah pembangunan sarana dan prasarana.

Untuk memenuhi kebutuhan negara-negara berkembang tersebut, negara-negara pemberi donor ini bergabung dalam “kelompok negara pemberi donor” yang tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dan pemerintah negara berkembang untuk menjalankan program-program pembangunannya.

Capacity building ini dikembangkan dari konsep “institution building” yang sering digunakan pada dekade 1950-an, dan berakhir pada 1960-an, dan fokusnya bergeser pada “institution strengthening” pada dekade 1970-an. Sejalan dengan perkembangan keadaan, fokus perhatian kelompok negara-negara pemberi bantuan pada dekade 1980-an pemberian bantuan lebih diarahkan pada “development management” dan “institutional development”. Perkembangan selanjutnya, pada dekade 1990-an, dengan memperhatikan berbagai keberhasilan dan kegagalan, perhatian terhadap “capacity building” lebih mengemuka.

Hal ini dikarenakan kelompok negara-negara donor di satu pihak dan negara-negara yang diberi bantuan tersebut sama-sama menyadari bahwa investasi di sektor publik telah gagal melakukan perbaikan secara signifikan dalam mengembangkan kemampuan sektor publik dalam memprediksi, mengenali, mencegah dan mengelola masalah-masalah pembangunan (Trostle, Sommerfeld and Simon, 1997). Dalam perkembangan selanjutnya pemikiran “capacity building” pada saat inipun dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan partisipasi, pemberdayaan, masyarakat madani dan pergerakan sosial (Eade, 1997).

Dalam praktek pelaksanaan “capacity building” di negara-negara Asia dan Afrika, kelompok negara-negara pemberi bantuan (donor),

banyak menggandeng lembaga swadaya masyarakat (non

pemerintah untuk menjalankan program-program “capacity building” di kalangan lembaga swadaya masyarakat. “capacity building” ditempatkan pada spektrum “membantu orang untuk menolong dirinya sendiri” mulai dari level individu, kelompok masyarakat, dari tingkat lokal sampai pada tingkat nasional, dengan sasaran utamanya adalah terbentuknya “masyarakat madani” untuk mendorong demokratisasi dan membangun institusi pemerintah yang kuat, efisien dan akuntabel.

Sekalipun terminologi “capacity building” telah muncul pada decade 1980-an, namun sampai pada saat ini belum terdapat kesepakatan dari berbagai kalangan mengenai definisi “capacity building” yang sifatnya sudah baku dan dapat dijadikan sebagai acuan dari semua pihak yang punya minat terhadap pengembangan konsep “capacity building”. Meskipun dalam prakteknya terdapat beberapa rumusan dari pengertian “capacity building”, namun pengertian-pengertian tersebut kadang-kadang “vague” dan tidak konsisten, dan tidak serta-merta “incompatible” dalam prakteknya (Eade, 1997), beberapa pengertian tersebut ada yang lebih memfokuskan perhatiannya pada pengembangan kapasitas sumberdaya manusia, namun ada juga yang lebih menyoroti pengembangan kelembagaan yang kuat, dan juga ada yang lebih menyoroti penguatan manajemen.

Definisi “capacity building” yang sering dipakai adalah definisi yang dikemukakan oleh Hilderbrand dan Grindle (1997), yang mengemukakan bahwa kata “capacity” atau kapasitas berarti “ability to perform appropriate tasks effectively, efficiently and sustainably”. Capacity building sendiri mengacu pada “improvement in the ability of public sector organizations”. Mengingat bahwa ruang lingkup perbaikan kemampuan atau kapasitas organisasi sektor publik itu sangat luas, maka dengan sendirinya cakupan “capacity building” juga luas.

Selain itu Cohen (1995) mendefinisikan Kapasitas Sumberdaya Manusia sebagai kemampuan (ability) institusi-institusi sektor publik untuk melaksanakan fungsi yang ditetapkan, mengoperasionalkannya melalui peran institusi yang diisi oleh individu-individu yang melaksanakan tugasnya. Oxfam, sebuah lembaga swadaya masyarakat di Inggris, mendefinisikan “capacity building” berangkat dari kepecayaan yang fundamental (fundamental beliefs) yakni “setiap orang memiliki hak terhadap bagian yang sama dari sumberdaya dunia.

Pengingkaran dari hak tersebut merupakan penyebab kemiskinan dan penderitaan (that all people have the right to an equitable share in the world’s resources, ….. and that the denial of such rights is at the heart of poverty and suffering). Lembaga swadaya masyarakat ini melihat bahwa dasar pembangunan itu terletak pada peningkatan kemampuan masyarakat untuk menentukan nilai-nilai dan prioritas yang mereka pilih. “capacity building” merupakan sebuah pendekatan pembangunan daripada serangkaian intervensi yang “discrete and prepackaged”. Untuk mengaktualisasikan potensi masyarakat perlu ditumbuhkembangkan kreativitas dan oto-aktivitas masyarakat yang terarah pada peningkatan kesejahteraan masyarakat serta ketahanan dan daya saing masyarakat yang bersangkutan. Dalam rangka itu, format pemerintahan sebagai sistem penyelenggara negara baik pemerintah pusat maupun daerah perlu memperhatikan prinsip-prinsip antara lain : Demokrasi, Pemberdayaan, Pelayanan, Transparansi dan akuntabel, Partisipasi, Kemitraan, Konsistensi Kebijakan dan Kepastian hukum.

UNDP (1998) mendefinisikan kapasitas sebagai kemampuan individu, organisasi (unit organisasi) atau sistem untuk menunjukkan fungsinya secara efektif, efisien, dan berkelanjutan. Capacity adalah kekuatan dari individu, organisasi, dan sistem untuk berproduksi.

Berdasarkan definisi UNDP tersebut, peningkatan kapasitas Pemerintahan Desa meliputi aparatur desa (individu), kelembagaan desa (organisasi), dan sistem pemerintahan desa yang mencakup manajemen/pengelolaan pemerintahan desa, kepemimpinan desa, dan sebagainya (sistem). Dengan kata lain, upaya peningkatan kapasitas Pemerintahan Desa tersebut mencakup ketiga ranah: individu, organisasi dan sistem.

Definisi lainnya dikemukakan oleh OECD - persatuan negara-negara berkembang (1998) yang menyatakan bahwa capacity atau kapasitas adalah proses dimana individu, group, institusi, dan

masyarakat meningkatkan kemampuan mereka untuk: (1)

melaksanakan fungsi lini (core function), menyelesaikan masalah, menjabarkan dan mencapai tujuan, dan (2) memahami dan mampu beradatasi dengan kebutuhan pembangunan dalam skala yang luas dan berkelanjutan.

Sementara itu, merujuk pendapat OECD bahwa upaya peningkatan kapasitas individu, kelompok, institusi, dan masyarakat pada dasarnya ditujukan untuk melaksanakan fungsi lini. Bagi Pemerintahan Desa, fungsi lini tersebut sebagaimana tercantum dalam Pasal 206 UU Nomor 32 Tahun 2004, yaitu:

“Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup:

a. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa;

b. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa;

c. tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota;

d. urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-perundangan diserahkan kepada desa”.

Kemampuan Pemerintahan Desa dalam melaksanakan tugas dan fungsi tersebut akan menjadi tolok ukur bagi pencapaian kinerja Pemerintahan Desa. Artinya, dukungan individu, organisasi, dan sistem yang memadai sangat diperlukan dalam rangka pencapaian kinerja Pemerintahan Desa.

Kemampun atau kapasitas yang dimiliki oleh aparatur Desa (individu) dan kepemimpinan Kepala Desa diharapkan mampu mengatasi berbagai persoalan yang muncul dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Oleh karena itu, rekrutmen aparat Desa baik aparatur Kepala Desa (Sekdes dan para Kepala Urusan) maupun anggota-anggota BPD. Penempatan PNS untuk menduduki jabatan Sekdes misalnya, merupakan langkah penting dalam mengatasi kemungkinan permasalahan yang timbul khususnya dalam hal pengelolaan administrasi keuangan.

Namun demikian, keberhasilan pencapaian kinerja Pemerintahan Desa tidak hanya ditentukan oleh seorang Sekdes, oleh karenanya tuntutan kemampuan menyelenggarakan kepemerintahan desa juga menjadi tanggung jawab para kepala urusan dan anggota BPD. Berkenaan dengan hal tersebut, upaya peningkatan kompetensi aparatur desa menjadi penting untuk dilakukan secara terus-menerus.

Pertanyaannya adalah, sejauhmana keberhasilan Pemerintah dalam mengembangkan kapasitas pemerintahan desa, karena berdasarkan uraian sebelumnya ternyata masih terdapat sejumlah persoalan besar yang terjadi di desa-desa. Dalam hubungan ini, apakah perubahan pengaturan tentang Pemerintahan Daerah yang terjadi selama ini tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut?

Untuk alasan inilah, nampaknya Pemerintah dan Pemerintah Daerah perlu segera mengambil langkah-langkah konkret dalam rangka meningkatkan kapasitas/kemampuan pemerintah desa, sehingga ke

depan Desa tidak lagi terpinggirkan seperti yang terjadi pada masa lalu. Desa masa depan adalah desa yang mampu mengelola potensi yang ada berdasarkan prinsip-prinsip pemerintahan desa yang demokratis dan memiliki keunggulan di bidang sosial, politik, ekonomi, dan budaya.

Dari uraian sebagaimana diutarakan di atas, patut difahami bahwa “capacity building” merupakan proses peningkatan kapasitas yang tiada henti, berproses terus secara bertahap dan berkesinambungan dalam rangka mencapai efisiensi dan efektivitas pemerintahan secara optimal. Proses “capacity building” pemerintahan desa dapat dimaknai sebagai pendorong reformasi pemerintahan desa dalam kerangka pencapaian tujuan yang diinginkan oleh masyarakat desa, dan oleh karena itu proses awal dari peningkatan kapasitas pemerintahan desa haruslah dirancang dan dibangun secara komprehensif dan terpadu dalam rangka mewujudkan peningkatan kinerja pemerintahan desa secara terus menerus (continuous performance improvement).

Peningkatan kapasitas pemerintahan desa pada dasarnya diarahkan pada tujuan-tujuan (goals) antara lain :

a. Mengembangkan keterampilan dan kompetensi individu sehingga masing-masing individu mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang diembannya;

b. Mengembangkan budaya kerja, sistem dan prosedur ke dalam otoritas/kewenangan unit-unit kerja pemerintahan desa dalam rangka mencapai tujuan masing-masing unit kerja;

c. Mengembangkan dan menguatkan jejaring kerja dengan pihak luar dan supra desa (development and strengthening of external links) dalam rangka menumbuh-kembangkan kemitraan secara intensif, ektensif dan solid.

Peningkatan kapasitas pemerintahan desa dapat diartikan sebagai upaya menata kelembagaan, mengembangkan sistem dan

prosedur kerja, peningkatan kualitas sumberdaya manusia, dan membangun jejaring kerja secara terencana dan berkesinambungan untuk menjalankan agenda atau rencana tertentu, oleh karena itu “capacity building” pemerintahan desa tidak terlepas dari “individual capability development, organizational capacity building, institutional capacity building”, pengertian peningkatan multi dimensi tersebut memberikan gambaran kepada kita bahwasanya terdapat banyak hal yang harus dicermati secara mendalam agar peningkatan kapasitas pemerintahan desa dapat berhasil dengan baik, hal ini pula patut difahami karena perencanaan peningkatan kapasitas pemerintahan desa yang sifatnya “tambal-sulam” dan tidak berkesinambungan akan menuai ketidak berhasilan, dan oleh karena itu dalam rangka peningkatan kapasitas pemerintahan desa perlu dilakukan analisis terlebih dahulu terhadap ranah-ranah kunci (key areas) pemerintahan desa baik internal maupun eksternal.

Disamping analisis tersebut diatas juga perlu ditelaah kesenjangan kapasitas antara kapasitas pemerintahan desa saat ini dengan kapasitas yang diinginkan (current gaps), kesenjangan yang ditemukenali adalah hal-hal yang “stratejik” yang secara potensial akan berdampak pada kinerja pemerintahan desa.

Merujuk pada hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh William Ramphele pada tahun 2003, diidentifikasi beberapa keterbatasan

pengembangan kapasitas pemerintahan daerah termasuk

pemerintahan desa di negara-negara berkembang antara lain :

a. Tidak memadainya infrastruktur dan penataan kelembagaan pemerintahan daerah dan desa, meskipun sudah tersedia infrasturktur yang memadai di beberapa daerah, namun pemerintahan daerah belum mampu mengoptimalkan system yang sudah dibangun untuk menghasilkan pelayanan yang prima, hal

tersebut sangat tergantung dari kucuran anggaran yang ketersediaannya sangat terbatas. Kondisi demikian diperkeruh dengan adanya hubungan antar struktur pemerintahan daerah (kabupaten, kecamatan dan desa) yang kurang solid, sehingga keberadaan mereka tidak dalam kondisi yang sinergis dan cenderung mementingkan kepentingan unit kerjanya sendiri;

b. Lemahnya dalam mengelola kapasitas yang tersedia, sebagian besar pemerintahan daerah (pemerintah kabupaten, kecamatan dan desa) belum mampu membangun sistem dan prosedur kerja internal unit kerja secara memadai;

c. Kurangnya motivasi dari pemerintahan daerah (kabupaten, kecamatan dan desa) untuk mengembangkan kapasitas daerahnya masing-masing.

Dari uaraian di atas, secara esensi dapat diidentifikasi bahwa permasalahan pengembangan kapasitas pemerintahan desa dilihat dari aspek kelembagaan, sumber daya manusia, dan manajemen dalam arti luas (mencakup berbagai aspek dan berbagai sumber) adalah sebagai berikut :

a. Belum memadainya penataan kelembagaan pemerintahan desa (organization development) berdasarkan kaedah struktur dan desain organisasi (structure and design), manakala dikaitkan dengan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintahan desa, baik kewenangan yang berdasarkan atas hak asal-usul desa dan kewenangan pemerintah yang dilimpahkan menjadi kewenangan pemerintahan desa;

b. Belum terbangunnya sistem manajemen kinerja (performance management system) pemerintahan desa, termasuk dalam hal ini adalah manajemen sumberdaya manusia yang berbasis pada

kompetensi (competence-based human resource management) dan system pengukuran kinerja (performance measurement system); c. Belum terwujudnya budaya organisasi (organization culture) yang

sensitive terhadap tuntutan perubahan lingkungan baik internal maupun eksternal;

d. Belum terbangunnya standar pelayanan umum (public services standard) terutama pelayanan dasar yang dirancang secara terpadu, menyangkut waktu dan biaya;

e. Belum memadainya pengetahuan tentang manajemen perubahan (change management) dan bagaimana cara mengantisipasi perubahan tersebut dalam praktek kerja sehari-hari;

f. Belum memadainya skills dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab yang diemban, terutama dikaitkan dengan tugas pelayanan, baik pelayanan terhadap masyarakat maupun pelayanan dalam lingkup internal pemerintahan;

g. Belum memadainya infrastuktur dan fasilitas pendukung kerja, terutama yang berkaitan dengan teknologi komunikasi dan informasi (information and communication technology).

Sebagaimana diutarakan di atas, “capacity building” pemerintahan desa mencakup peningkatan 3 (tiga) aspek utama yakni peningkatan kapasitas kelembagaan, peningkatan kapasitas sumberdaya manusia, dan peningkatan kapasitas manajemen pemerintahan desa (dalam arti luas, dilihat dari unsure manajemen dan sumber-sumber manajemen). Ketiga aspek tersebut merupakan suatu kesatuan sistem yang komprehensif dan holistik, sehingga upaya-upaya peningkatan kapasitasnya perlu dilakukan secara terintegrasi dan terpadu.

Dengan memperhatikan berbagai kelemahan-kelemahan kapasitas pemerintahan desa tersebut di atas, pada dasarnya terletak

pada lemahnya strategi pengembangan kelembagaan pemerintahan desa. Untuk pengembangan kapasitas pemerintahan desa kiranya perlu diarahkan pada pemenuhan sinergisme tiga strategi utama, yakni “struktural strategy, behavior strategy, and technical strategy” sehingga pemerintahan desa dapat menjalankan misinya dengan sebaik-baiknya.

The Struktural Strategy, lazimnya menggunakan pendekatan disain organisasi (organization design), dimana struktur organisasi dan disain semestinya diselaraskan dengan hal-hal yang menyangkut : (1) fungsi-fungsi organisasi; (2) Prinsip-prinsip pengorganisasian; (3) Kebijakan yang mengatur penataan organisasi pemerintahan desa, disamping ketiga hal tersebut juga perlu dikaitkan dengan sumberdaya manusia yang diselaraskan dengan optimasi sumber daya lainnya, sehingga tampak tertata dengan jelas hierarkhi organisasi, pengambilan keputusan sedapat mungkin didekatkan dengan pelaksana tindakan, perlu dicatat esensi dari penyelarasan struktur organisasi dengan disain organisasi adalah dalam rangka mewujudkan “new relationship”.

Sementara itu dalam implementasinya di ranah pemerintahan daerah umumnya pendekatan disain organisasi belum dikonsistensikan secara terpadu dengan Visi, Misi, dan Tujuan organisasi. Hal ini dapat dicermati dari berbagai kecenderungan yang terjadi, dimana pemerintahan daerah (dari level provinsi sampai level terendah) berlomba-lomba untuk memperbanyak jabatan struktural tanpa mempertimbangkan korelasi pencapaian kinerjanya. Hierarkhi yang semakin tinggi dan berjenjang secara langsung atau tidak langsung akan berdampak terhadap semakin banyaknya waktu yang dibutuhkan dalam pengambilan keputusan maupun dalam konteks hubungan antar hierarkhi.

Behavior Strategy, lebih menekankan bagaimana mengembangkan budaya kerja organisasi. Pengembangan budaya organisasi tersebut dimulai dari proses pembelajaran sumber daya manusia yang pada gilirannya akan membawa perubahan organisasi kea rah yang lebih baik, dalam konteks ini pembelajaran sumberdaya manusia inilah semestinya yang diperoleh adalah knowledge, skiil and attitudes yangakan mengarah pada perilaku-perilaku yang baru, dimana muaranya adalah peningkatan kualitas kinerja individu, kelompok dan organisasi. Dalam implementasinya, pendekatan pengembangan sumber daya manusia aparatur pemerintahan desa pada saat ini belum diarahkan secara memadai pada pemerolehan dan pengembangan knowledge, skiil, attitudes. Hal ini dapat dilihat dari pengembangan sumber daya manusia secara parsial, tidak konsisten dan tidak selaras dengan bagaimana pencapaian Visi, Misi dan Tujuan organisasi pemerintahan desa.

The Technical Strategy, menggunakan pendekatan peningkatan berkelanjutan (continuous improvement approach), yang menekankan bahwa bidang-bidang yang berkaitan langsung dengan kebutuhan masyarakat, pemberian layanan, dukungan dan kemitraan. Disamping itu pendekatan ini juga memandang pentingnya peningkatan teknologi yang diselaraskan dengan proses-proses produksi dan pelayanan, sehingga pemerintahan desa mampu bekerja secara efisien. Dalam implementasi organisasi pemerintahan desa, strategi ini belum menjadikan strategi ini menjadi prioritas utama. Kondisi demikian dapat dilihat dari belum maksimalnya fokus pada kebutuhan masyarakat, pemberian layanan, dukungan dan kemitraan, konsumsi teknologi sering menjadi terabaikan.

Dokumen terkait