• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 4 DINAMIKA PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA

2. Tantangan dan Peluang

kewenangan antara kabupaten dengan desa, baik sumber daya alam maupun sumber daya hasil karya masyarakat (teknologi). Belum dapat terselesaikannya permasalahan antara pemegang HPH dengan desa mengenai penggantian/ganti rugi atas penebangan kayu dan hasil hutan yang telah hilang di atas tanah hak ulayat yang selama ini dimiliki desa, demikian juga dengan pertambangan.

 Sarana-Prasarana Desa.

Persoalan minimnya sarana-prasarana desa yang meliputi kantor desa, mebelair, peralatan perkantoran seperti kendaraan operasional, komputer, filing cabinet dan sebagainya merupakan persoalan umum yang dihadapi oleh desa-desa di Indonesia, khususnya di daerah kajian. Yang menarik, munculnya persoalan tersebut ternyata tidak hanya terjadi di luar Jawa tetapi juga terjadi di pulau Jawa. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh beberapa narasumber di lapangan yang menyatakan bahwa minimnya sarana-prasarana desa

2. Tantangan dan Peluang

Pelaksanan otonomi daerah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 2004, memberikan rumusan lebih jelas tentang otonomi itu sendiri. Lebih lanjut pengaturan otonomi pada provinsi dilaksanakan “otonomi terbatas”. Pada kabupaten dilaksanakan dengan “otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab” dan yang dilaksanakan dengan “otonomi asli”. Hal mendasar pengaturan

mengenai desa adalah pengakuan keanekaragaman,

menumbuhkan partisipasi, memelihara dan mengembangkan otonomi asli dan demokratisasi dalam upaya mendorong pemberdayaan masyarakat.

Berkembangnya otonomi asli desa, berarti memberi peluang bagi desa untuk menjadikan penyelenggaraan pemerintahan pembangunan dan sosial kemasyarakatan yang bergerak atas inisiatif dan kekuatan masyarakat desa itu sendiri. Fenomena ini selain menarik untuk dikaji juga merupakan suatu tanda adanya pergeseran paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan desa dan yang bersifat desentralistik dan penyeragaman pemerintah desa desentralistik yaitu pemerintahan desanberakar dari bawah (grassroots) dan lebih bersifat heterogen. Oleh karena itu,

percepatan pemahaman kesadaran dalam pelaksanaan

pemerintahan. Desa adalah mutlak dilaksanakan di berbagai tentang pemerintahan dan kemasyarakatan.

Desa berdasarkan PP No. 72/2005 adalah bersifat urgen dan mutlak. Selanjutnya, mengingat desa adalah daerah otonom yang paling tua, dan sudah ada sebelum lahirnya daerah koordinasi yang lebih besar dan sebelum lahirnya negara-negara (kerajaan), tidak saja berisikan pemerintahan dalam arti kata yang sempit (bestuur) akan tetapi juga dalam arti kata yang lebih luas (regerin). Oleh karenanya dalam akselerasi penyelenggaraan pemerintahan desa harus diupayakan proses emensipasi diri, bukan karena “pemberian” maupun “pemaksaan”, namun harus ada suatu proses penyadaran diri.

Dengan demikian dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan desa, percepatan penyelenggaraannya tidak dapat semata-mata mengandalkan kekuatan peraturan perundangan yang ada namun harus disertai dengan kesadaran untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat serta kebebasan masyarakat setempat atau natura non fasit saltum. Maknanya yaitu adanya kesadaran dari semua pihak untuk mewujudkan kesatuan antara

pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan pemerintahan desa menurut situasi dan kondisi masyarakat setempat, dalam rangka untuk mewujudkan pemerintahan desa dan rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (government of, by, and for the people).

Berkaitan dengan memberdayakan desa dalam

meningkatkan partisipasi dan peran serta masyarakat sesuai makna demokrasi, yaitu dari, oleh, dan untuk masyarakat guna meningkatkan kesejahteraannya, maka penajaman makna desa dan kepastian kewenangan desa mengalami perubahan-perubahan. Hal dimaksud dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Masa jabatan kepala desa sebelumnya 5 tahun dan dapat dipilih 1 kali menjadi 6 tahun dan dapat dipilih 1 kali. Hal ini mengandung arti memberi kesempatan lebih banyak kepada kepala desa untuk berkiprah dalam meningkatkan peran dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan desa. Disamping itu juga masa jabatan kepala desa tidak terbentur dengan masa jabatan atasannya (Bupati). Diharapkan rentang waktu (± 1 tahun) cukup memberi gambaran pada bupati terpilih untuk mempelajari kondisi administratif desa.

b. Salah satu kewenangan yang dipertegas sebagaimana pasal 2006 UU No.32/2004 “urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya pada desa” sebelumnya berdasarkan UU No. 22/1999 pasal 99 merupakan kewenangan residu pada desa.

c. Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 dan PP No. 72 tahun 2005 tentang desa. Perubahan dari Badan Perwakilan Desa menjadi

Badan Permusyawaratan Desa, mengandung makna

pengembalian kewenangan desa sesuai dengan asal usul desa yang sarat dengan musyawarah, mufakat dan kekeluargaan.

Dengan demikian akses kontrol penyelenggaraan pemerintahan bukan menjadi tanggung jawab BPD akan menjadi tanggung jawab masyarakat desa yang dikoordinir oleh BPD.

Perubahan mendasar juga terjadi pada keuangan desa. Dimana dalam UU No. 22/1999 Pasal 107 salah satunya berbunyi“sumber pendapatan desa terdiri atas bantuan pemerintah kabupaten baik bagi yang perolehan pajak dan retribusi maupun dana perimbangan keuangan pusat dan daerah” namun dalam ketentuan UU No. 32/2004 pasal 212, ketentuan sebagaimana dimaksud diatas “bukan lagi bantuan kabupaten akan tetapi hak yang diperoleh desa”.

Dari uraian di atas, peluang dan tantangan penyelenggaraan pemerintahan desa antara lain:

a. Revisi/penyempurnaan UU No. 32 Tahun 2004, yang menghendaki pemisahan pengaturan pemerintahan daerah, pemilukada dan desa. Pada saat ini naskah akademik terhadap RUU tentang Desa sudah dibahas di lingkungan Depdagri. Salah satu hal yang melatarbelakangi revisi tersebut adalah bahwa posisi desa yang diletakkan di bawah kabupaten tidak koheren dan konkruen dengan nafas lain dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang mengakui dan menghormati kewenangan asli yang berasal dari hak asal-usul. Apabila naskah akademik tersebut disepakati, maka pemisahan pengaturan tentang desa sangat mungkin terjadi. Hal ini mungkin dapat menjadi peluang bagi pemerintahan desa sekaligus merupakan tantangan yang harus dijawab dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

b. Percepatan kerangka aturan teknis dengan prioritas program kegiatan antara lain :

(1) Pengkajian permasalahan penyelenggaraan pemerintahan desa didaerah sebagai implikasi adanya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 tahun 1999 tentang Pencabutan beberapa Peraturan Menteri Dalam Negeri mengenai Pelaksanaan Undang-Undang No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dan pelaksanaan Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;

(2) Sosialisasi perubahan Peraturan Perundang-Undangan yang

yang berkaitan dengan pengaturan mengenai

penyelenggaraan Pemerintah Desa;

(3) Penetapan Peraturan Menteri Dalam Negeri yang berkaitan dengan pengaturan mengenai Desa, meliputi :

(a) Permendagri No. 27 tahun 2006 tentang penetapan dan penegasan batas Desa.

(b) Permendagri No. 28 tahun 2006 tentang pembentukan, penghapusan, pengesahan Desa dan perubahan status Desa menjadi Kelurahan.

(c) Permendagri No. 29 tahun 2006 tentangpedoman pembentukan dan mekanisme penyusunan Peraturan Desa.

(d) Permrndagri No. 30 tahun 2006 tetang tata cara penyerahan urusan Pemerintahan Kabupaten/Kota Kepala Desa.

(e) Permendagri No. 31 tahun 2006 tentang pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Kelurahan.

(f) Permendagri No. 32 tahun 2006 tentang Pedoman Administrasi Desa.

(g) Permendagri No. 26 tahun 2007 tentang Kader Pemberdayaan Masyarakat.

(4) Penyesuaian buku manual teknis Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, dan.

(5) Penyusunan pedoman umum standarisasi tolak ukur pembatalan Peraturan Daerah kabupaten yang mengatur tentang Desa.

c. Pemantapan kelembagaan Desa dengan prioritas program antara lain :

(1) Pemantapan Lembaga Pemerintahan Desa.

(2) Penataan Kelembagaan dan pengaturan hak, kewajiban dan wewenang Badan Permusyawaraan Desa.

(3) Peningkatan kapasitas lembaga kemasyarakatan di desa dalam membantu pemerintah Desa sekaligus sebagai mitra Pemerintah Desa dalam penyelenggaraan Pemerintahan dan pembangunan di Desa.

(4) Fasilitasi mendirikan Badan Usaha Milik Desa; dan

(5) Pemantapan kelembagaan dan kewenangan Desa adat dan lembaga Desa.

d. Peningkatan kualitas personil penyelenggara Pemerintahan Desa dengan prioritas program antara lain :

(1) Peningkatan konsultasi Pemerintah dengan Pemerintah daerah dalam rangka sinkronisasi kebijakan dan pemantapan penyelenggaraan Pemerintahan Desa;

(2) Pemantapan pelatihan bagi Fasilitator Otonomi Desa;

(3) Pengembangan sistem administrasi Pemerintahan Desa. Sistem Pendapatan Desa, dan sistem kerja sama pengelolaan sumber pendapatan Desa; dan

(4) Penyusunan standarisasi penilaian kinerja penyelenggaraan Pemerintah Desa.

B. PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA DI BERBAGAI DAERAH

Dokumen terkait