• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hibriditas Tektonika Arsitektur Joglo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Hibriditas Tektonika Arsitektur Joglo"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

https://doi.org/10.32315/sem.4.088

Prosiding Seminar Struktur Dalam Arsitektur 2020 | 088 Kelompok Keahlian Teknologi Bangunan, SAPPK, Institut Teknologi Bandung

Kelompok Kerja Struktur Konstruksi IPLBI

Hibriditas Tektonika Arsitektur Joglo

Adi Santosa1, Murni Rachmawati2, Vincentius Totok Noerwasito3

Korespondensi : adis@petra.ac.id

1,2,3Program Paska Sarjana, Program Studi Arsitektur, Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Abstrak

Joglo adalah salah satu bentuk arsitektur Jawa yang diperuntukkan bagi golongan bangsawan.

Meskipun diperuntukkan bagi strata sosial tertinggi, pengalaman empirik maupun penelitian ilmiah telah membuktikan bahwa secara teknis konstruksi joglo ternyata masih memiliki kelemahan, khususnya terhadap gempa. Hal ini memunculkan pertanyaan yaitu mengapa konstruksi joglo tidak pernah dikembangkan lagi padahal belum ideal. Untuk itu, kajian tektonika diperlukan karena melalui kajian ini aspek logika konstruksi, proses penciptaan hingga suasana ruang yang tercipta dibalik susunan konstruksi dapat diungkapkan. Dengan pengungkapan ini maka akan dipahami bahwa dibalik kelemahan yang ada pasti ada keunggulan-keunggulan yang bersifat kontekstual. Karena analisis penelitian ini akan mengungkapkan fakta-fakta sejarah maka metode penelitian yang digunakan adalah historis-interpretatif dengan strategi naratif-historis. Melalui kajian tektonika, penelitian ini mengungkapkan bahwa joglo sesungguhnya merupakan arsitektur hibrid, karena merupakan perpaduan antara unsur arsitektur tradisional yang lebih bersifat teknonik dengan unsur arsitektur klasik Jawa yang lebih besifat strereotomik.

Kata-kunci: hibriditas, joglo, tektonika Pendahuluan

Arsitektur tradisional Jawa diklasifikasikan berdasarkan bentuk konstruksi atap yang membedakan strata sosial pemiliknya. Bentuk konstruksi atap paling sederhana disebut sebagai atap kampung, diperuntukkan bagi masyarakat biasa. Bentuk konstruksi atap yang lebih canggih disebut sebagai limasan, diperuntukkan bagi golongan masyarakat yang lebih tinggi strata sosialnya. Sedangkan bentuk konstruksi atap yang paling canggih disebut sebagai joglo, diperuntukkan bagi golongan bangsawan (Tjahjono, 1998). Sebagai bentuk yang diperuntukkan bagi strata sosial tertinggi, bangunan joglo mestinya menerapkan konstruksi yang paling ideal. Ciri umum konstruksi pada bangunan joglo ini adalah menggunakan blandar (balok) bersusun yang disebut tumpangsari. Balok tumpangsari ini merupakan blandar bersusun ke atas (Dakung, 1981).

Bentuk konstruksi joglo memang bisa dianggap indah karena keunikannya. Namun apakah cukup kokoh? Faktanya, ketika terjadi peristiwa gempa di Yogyakarta pada tanggal 27 Mei 2006,

ditemukan bahwa banyak bangunan tradisional Jawa, termasuk joglo mengalami kerusakan bahkan roboh total. Data Jogja Heritage Seciety (2007) menyebutkan bahwa Kotagede-sebuah wilayah di selatan kota Yogyakarta yang banyak terdapat bangunan tradisional Jawa-sebelum gempa tercatat memiliki 550 rumah tradisional, sedangkan setelah gempa tercatat tinggal tersisa sekitar 450 rumah. Memang kekuatan konstruksi joglo dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kepresisian sambungan, beban atap, pelapukan kayu, perawatan, dan sebagainya.

Namun demikian, pembuktian teknis bahwa joglo tidak sungguh-sungguh tahan gempa telah dilakukan oleh Prihatmaji (2007). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa bangunan joglo aman untuk wilayah gempa 3 (wilayah Jawa bagian selatan) apabila sistem tumpuannya jepit.

Faktanya sistem tumpuan konstruksi joglo adalah sendi, sehingga hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa kontruksi joglo sesungguhnya tidak benar-benar aman untuk wilayah gempa 3. Selanjutnya Maer (2015) menindaklanjuti temuan Prihatmaji dengan mengembangkan sistem konstruksi joglo yang

(2)

lebih tahan terhadap gempa dengan memodifikasi bentuk santen, yaitu komponen pengganjal yang terletak diantara blandar- pangeret dengan sunduk-kili sebagai penahan gaya lateral. Dengan memperlebar santen maka lengan momen menjadi lebih besar sehingga dapat membantu menahan gaya lateral.

Gambar 1. Rumah joglo yang roboh akibat gempa Jogja 2006 (dokumentasi Maria Hidayatun)

Gambar 2. Sistem tumpuan dan sambungan pada struktur utama bangunan joglo (Maer, 2015)

Gambar 3. Perilaku gaya di santen kurus (Maer, 2015)

Gambar 4. Santen berbentuk bidang dan perilaku gaya di santen membidang (Maer, 2015)

Temuan Prihatmaji dan Maer merupakan hasil pengkajian murni dalam sudut pandang keteknikan. Sedangkan dalam ranah ilmu arsitektur, masalah struktur bangunan bukan hanya masalah perhitungan teknis saja melainkan kesuluruhan ekspresi bentuk arsitektural yang terungkap dari aspek teknis, estetis, hingga kultural. Kajian yang relevan dengan hal ini adalah tektonika. Gottfried Semper, dalam Die vier Elemente der Baukunst (Four Elements of Architecture) membedakan pengertian dasar tektonika ke dalam dua terminologi, yaitu tektonika itu sendiri dan stereotomika (Porter, 2004). Tektonika merupakan kajian ekspresi konstruksi material

‘ringan’ yang artinya dalam hukum statika memiliki kuat tekan dan tarik secara seimbang.

Material yang memenuhi karakteristik ini misalnya kayu. Prinsip struktur dalam tektonika adalah saling menarik melalui ikatan sehingga sebuah struktur dapat berdiri bebas di atas bumi melawan gravitasi. Di sisi lain, stereotomika dideskripsikan sebagai kajian ekspresi konstruksi material ‘berat’ yang artinya dalam hukum statika memiliki kuat tekan lebih dominan daripada kuat tarik. Material yang memenuhi karakteristik ini misalnya batu. Prinsip struktur dalam stereotomika adalah menekan ke bawah dengan memanfaatkan gravitasi sehingga sebuah struktur dapat berdiri kokoh di atas permukaan bumi.

Dalam wacana arsitektur Nusantara, prinsip- prinsip tektonika Semper ini banyak ditemukan pada arsitektur tradisional Nusantara yang menggunakan material kayu dengan konstruksi ikat-tarik, berakar dari tradisi arsitektur Austronesia. Sementara prinsip-prinsip stereotomika banyak ditemukan pada arsitektur klasik Nusantara yang menggunakan material batu dengan konstruksi tumpuk-tekan, berakar dari tradisi arsitektur Hindu dan Budha.

Dari analisis teknis yang dilakukan Prihatmaji, dapat diintepretasikan bahwa dalam struktur kuda-kuda pada rong-rongan bangunan joglo berlaku prinsip tektonika Samper, dimana bangunan kayu dapat berdiri karena adanya ikatan melalui konstruksi jepit pada sambungan antara sunduk-kili dengan keempat saka guru. Sedangkan dalam struktur tumpangsari dan pamidangan di atas kuda-kuda bangunan joglo sebenarnya berlaku prinsip stereotomika, dimana susunan kayu disusun bertumpuk untuk menjadi pemberat konstruksi sendi pada sambungan antara blandar-pengeret dengan

(3)

keempat saka guru. Dengan demikian, pada joglo ditemukan indikasi adanya percampuran antara tradisi arsitektur tradisional dengan klasik Nusantara.

Gambar 5. Sunduk-kili (purus lanangan-purus wedokan) dengan konstruksi jepit dan blandar- pangeret dengan konstruksi sendi pada rong-rongan joglo (Frick, 1997)

Bila dugaan ini terbukti benar, maka akan ditemukan sebuah anomali, dimana pada konstruksi kayu bangunan joglo terdapat prinsip tektonik sekaligus stereotomik, dimana prinsip stereotomik ini lazimnya diterapkan pada bangunan batu. Kombinasi struktur ini memang menimbulkan estetika visual yang unik, disamping keunikan dalam prinsip kerja mekaniknya, dimana ketika terjadi gaya lateral maka susunan balok-balok tumpangsari berfungsi sebagai pemberat yang akan mengakukan sambungan sendi antara blandar dengan saka guru. Namun demikian, sesuai dengan temuan penelitian Prihatmaji, hal ini ternyata hanya efektif untuk merespon gaya lateral akibat gempa bumi dalam frekuensi tinggi (getaran yang cepat), namun tidak efektif untuk merespon gaya lateral tersebut dalam frekuensi rendah (getaran yang lama).

Pertanyaan selanjutnya: apakah dalam konteks historis, masyarakat tradisional Jawa tidak pernah mengetahui kelemahan teknis konstruksi tumpangsari? Jika melihat fakta bahwa pulau Jawa berada dalam wilayah rawan gempa sehingga sejarah gempa selalu berulang, maka dapat diinterpretasikan bahwa masyarakat tradisional Jawa dari dulu mestinya sudah tahu melalui pengalaman empirik mereka bahwa konstruksi joglo tidak selalu efektif dalam merespon gempa.

Muara pertanyaan berikutnya adalah mengapa joglo ditempatkan sebagai model arsitektur

untuk strata sosial tertinggi (bangsawan) padahal sistem konstruksinya terbukti masih memiliki kelemahan terhadap kondisi gempa tertentu (karena hanya efektif menahan gempa berfrekuensi tinggi, namun lemah terhadap gempa berfrekuensi rendah)? Tentu ada nilai- nilai lebih dari arsitektur joglo ini, dan kemungkinan hal ini terkait dengan aspek non teknis. Untuk mengungkapkan hal ini maka teori Semper tidak cukup memadahi lagi mengingat teori Semper terpaku pada artefak sebagai obyek kajiannya, sedangkan untuk menjawab pertanyaan ini harus diteliti dari sudut pandang manusia penggunanya. Artinya, kajian berikutnya akan masuk dalam konteks sejarah budaya, yaitu penelusuran historis untuk mamahami bagaimana masyarakat Jawa pada masa lampau memaknai joglo, sehingga dengan pemaknaan itu mereka kemudian menerapkan rong-rongan dengan tumpang sari untuk kontruksi joglo, dan tidak memilih atau mengembangkan model yang lainnya.

Permasalahannya, manusia yang menempati atau merawat bangunan-bangunan tradisional pada saat ini adalah manusia modern yang tidak lagi hidup dalam konteks budaya tradisional, sehingga menjadikan mereka sebagai narasumber mungkin kurang relevan. Oleh karena itu hasil-hasil kajian di bidang ilmu sejarah dan budaya yang mengungkap tentang pola kehidupan dan perilaku kultural masyarakat tradisional Jawa di masa lampau dapat menjadi sumber referensi yang penting untuk mengungkapkan jawaban atas pertanyaan di atas.

Dari uraian di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkapkan nilai budaya yang terkandung di balik ekspresi tektonika ataupun stereotomika arsitektur joglo. Terkait dengan hal ini, Frampton (1995) telah mengembangkan teori tektonika secara integratif dengan menyatakan bahwa konstruksi mencakup makna budaya dan puitis. Hal ini dapat dicapai dengan memperhatikan sifat material, logika struktural dan kerajinan pembuatan (craft of making). Dengan demikian, melihat arsitektur dari kacamata tektonik tidak sebatas mengamati artefak yang sudah ada (kajian fisik saja) tetapi juga menelusuri bagaimana proses terciptanya artefak tersebut.

Lebih jauh lagi, Reiser dan Umemoto (2010) memperluas cakupan tektonika ini tidak hanya sampai pada wujud artefak dan proses penciptaanya tetapi juga suasana yang

(4)

ditimbulkannya. Kajian tektonika tidak hanya menyangkut “bahan” (matter) tetapi sampai kepada “suasana” (atmosphere), dari perkara

“struktur” (teknis) sampai kepada “efek” yang ditimbulkannya (non teknis/bagi manusianya).

Gambar 6. Pengungkapan nilai budaya arsitektur joglo dengan analisis tektonika Samper, Frampton, dan Reiser-Umemoto (Jogja Heritage Seciety, 2007) Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode historis- interpretatif (interpretive-historical research), dengan pendekatan poststrukturalis. Dalam pendekatan poststrukturalis "realitas"

merupakan bagian dari "wacana," dan karenanya tunduk padanya. Menurut Michel Foucault, periode sejarah datang dan pergi.

Setiap periode dipahami sebagai jaringan wacana yang hanya untuk digantikan oleh periode lain dan dipahami sebagai jaringan wacana lain. Jadi pandangan poststukturalis menolak pemahaman universal atau transkultural tentang "realitas," dimana tolok ukur ideasional tertentu tetap konstan. Karena poststrukturalisme melihat produk-produk materi budaya sebagai bagian dari pokok wacana yang lebih besar, penilaian historis apa pun dari arsitektur adalah juga penilaian wacana sosial-budaya (Groat, 2013).

Penelitian ini menggunakan strategi naratif- historis (historical narrative), dimana fakta masa lalu dipandang sebagai kumpulan kejadian yang tidak terstruktur. Peneliti membuat fakta-fakta itu menjadi terstruktur sehingga membentuk sebuah alur cerita yang logis dan dapat dipertanggungjawabkan. Tipe fakta sejarah (type of historical evidence) dalam penelitian ini bersifat kontekstual, dimana faktor budaya yang bertepatan dalam waktu dan tempat dengan obyek studi merupakan fakta kontekstual (contextual evidence) dari obyek studi tersebut.

Sedangkan taktik untuk mengungkap permasalahan dapat dijelaskan sebagai berikut:

Metode historis-interpretatif ini akan digunakan untuk membedah arsitektur joglo melalui 3 tahapan yaitu: (1) kajian struktur yang mengungkapkan logika teknik susunan konstruksi artefak, (2) kajian proses yang mengungkapkan sejarah penciptaan artefak, (3) kajian budaya yang mengungkapkan efek spasial atau suasana ruang yang tercipta dari artefak.

Untuk kajian tahap yang pertama, sumber- sumber referensi yang membahas tentang bentuk fisik arsitektur joglo dan bentuk fisik arsitektur candi-candi Hindu-Budha di Jawa dikaji dan diperbandingkan untuk mengidentifikasi persamaan dan perbedaan prinsip-prinsip teknis dari arsitektur joglo dan arsitektur candi Hindu-Budha. Identifikasi ini akan dievaluasi/divalidasi kebenarannya melalui triangulasi, yaitu diperbandingkan dengan hasil- hasil penelitian yang mengungkapkan perhitungan-perhitungan teknis secara riil dari kedua jenis bangunan ini. Selanjutnya tokoh- tokoh yang ahli dibidang konstruksi kayu dan konstruksi batu diwawancarai untuk menyampaikan pandangan mereka terhadap hasil temuan perbandingan teknis antara konstruksi joglo dengan candi. Hasil akhir dari proses pertama ini akan dideskripsikan sebagai sebuah narasi untuk menjelaskan logika teknis susunan konstruksi joglo sebagai perpaduan antara sistem konstruksi tektonik dengan stereotomik.

Untuk kajian tahap yang kedua, sumber-sumber referensi yang membahas tentang sejarah perkembangan arsitektur joglo dan candi-candi di Jawa akan dikaji dan diperbandingkan untuk mengidentifikasi sejarah penciptaan artefak bangunan joglo dan candi. Identifikasi ini akan dievaluasi/divalidasi kebenarannya melalui analisis untuk mencari keterkaitan sejarah penciptaan kedua jenis bangunan ini secara logis. Hasil evaluasi ini akan dideskripsikan sebagai sebuah narasi untuk menjelaskan proses yang mengungkapkan keterkaitan sejarah penciptaan arsitektur joglo dengan candi.

Untuk kajian tahap yang ketiga, sumber-sumber referensi yang membahas tentang kebudayaan Jawa akan dikaji dan diperbandingkan untuk mengetahui aspek kultural dari masyarakat Jawa pada masa lalu, yaitu jaman tradisional dan klasik Jawa. Kajian aspek kultural dari manusianya ini penting untuk mengungkapkan

(5)

bagaimana mereka secara kultural menggunakan bangunan-bangunan ini di masa lalu. Hal ini akan berguna dalam menginterpretasikan pola perilaku manusia dalam merespon dan memaknai arsitektur yang dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya tertentu.

Hasil dari kajian budaya ini akan dideskripsikan sebagai sebuah narasi untuk menjelaskan kesamaan efek spasial atau suasana ruang yang tercipta pada joglo dan candi sehingga dapat diketahui bahwa keduanya sesungguhnya mengungkapkan nilai budaya yang sama.

Secara keseluruhan, dalam metode historis- interpretatif, penelusuran data penting untuk identifikasi, evaluasi dan penyusunan narasi guna membangun interpretasi yang tepat dan relevan. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan penelitian ini, berbagai sumber data atau bukti- bukti lain terus digali untuk dideskripsikan, dianalisis, dinilai, diverifikasi dan ditriangulasikan, sehingga hasil akhir dari penelitian ini akan lebih kaya dalam pengungkapan nilai budaya dari arsitektur joglo sebagai arsitektur hibrid.

Arsitektur joglo akan diketahui memiliki sifat- sifat hibrid apabila di dalamnya terdapat perpaduan dari dua unsur budaya arsitektur yang berbeda, yaitu budaya tektonik pada arsitektur tradisional Jawa yang berbasis kayu dan budaya stereotomik pada arsitektur klasik Jawa yang berbasis batu, dimana perpaduan tersebut menghasilkan satu tata nilai baru yang berbeda dari sifat asali dari kedua unsur budaya sebelumnya dan memiliki nilai keunggulan secara kontekstual.

Hasil dan Pembahasan

Kajian Struktur Arsitektur Joglo

Bangunan joglo ditandai dengan adanya rong- rongan, yaitu rongga yang tercipta dari susunan 4 saka guru yang disatukan melalu sunduk-kili dan blandar-pangeret (Frick, 1997). Di atas blandar-pangeret terdapat susunan balok disusun secara piramidal yang disebut tumpang sari. Tumpang sari ini sering dikategorikan sebagai “persolekan” (Prijotomo, 2006) yang artinya bukan merupakan konstruksi yang sesungguhnya melainkan lebih kepada ornamentasi. Hal ini memang masuk akal karena tumpang sari disusun dengan cara ditumpuk dan diganjal dengan pen (sistem catokan) sekedar supaya posisinya tidak bergeser.

Mereka sama sekali tidak mengikat kolom yaitu saka guru.

Gambar 7. Tumpang sari (G) yang disusun dengan sistem catokan diganjal pen, sama sekali tidak mengikat saka guru (B) (Frick, 1997)

Dengan demikian fungsi balok-balok tumpangsari adalah sebagai pemberat, untuk mengakukan saka guru dengan menekan ke bawah memanfaatkan gravitasi. Dengan demikian tumpangsari disusun mengikuti prinsip stereotomika. Prinsip ini biasanya diterapkan pada bangunan batu, mengingat batu tidak memiliki kuat tarik yang memadahi, sehingga batu disusun dengan prinsip tekan. Hal ini menunjukkan bahwa prinsip kerja konstruksi tumpangsari sama dengan prinsip kerja konstruksi batu pada susunan atap candi.

Prihatmaji (2007) telah melakukan kajian struktur utama arsitektur joglo ini secara mendalam seperti telah dijelaskan dalam pendahuluan. Temuan yang paling signifikan adalah bahwa konstruksi joglo aman dari gempa apabila tumpuannya jepit, sedangkan faktanya tumpuan kaki joglo (saka guru) adalah sendi.

Hal ini mengindikasikan bahwa konstruksi joglo tidak benar-benar aman terhadap gempa.

Apalagi dengan adanya susunan balok tumpangsari yang berfungsi sebagai pemberat, maka apabila terjadi gaya lateral gempa berfrekuensi rendah ia justru menjadi pendulum yang akan memperbesar tekanan lateral pada saka guru yang dapat mengakibatkan patahnya saka guru pada bagian yang berpotongan dengan sunduk-kili akibat tumpuan bawah saka guru yang bersifat sendi terpelanting ke samping mengikuti arah gaya lateral gempa.

Untuk memahami hal ini, aspek teknis hanya bisa dipahami bila dikaitkan dengan aspek fungsi. Joglo diterapkan untuk ruang pendopo

(6)

dan dalem. Pendopo merupakan ruang terbuka di bagian depan rumah bangsawan yang berfungsi untuk aktivitas komunal seperti pertunjukan wayang atau pementasan sendra tari. Sedangkan dalem merupakan ruang sakral yang berfungsi sebagai tempat persembahan bagi Dewi Sri. Pemilik rumah hanya menggunakan dalem untuk aktivitas spiritual yaitu bersamadi atau ‘laku prihatin’, yaitu berdiam diri dalam keadaan terjaga sambil berpantang dan berpuasa selama beberapa hari sesuai dengan nazar yang dikehendaki. Artinya, karena joglo dipakai untuk aktivitas dalam kesadaran (tidak tidur) maka apabila terjadi keadaan darurat (termasuk gempa) maka penghuninya dapat segera keluar dari bangunan.

Tempat untuk aktivitas profan keseharian, termasuk tidur, dilakukan di gandok (bangunan di samping dalem) berbentuk rumah kampung atau limasan yang konstruksinya lebih ringan.

Gambar 8. Pendopo sebagai tempat aktivitas komunal dan dalem sebagai tempat aktivitas spiritual (dokumentasi pribadi)

Kajian Proses Penciptaan Joglo

Hingga saat ini belum ada hasil penelitian yang mampu mengungkapkan dengan pasti kapan arsitektur joglo mulai muncul. Relief candi di era Hindu dan Budha, atau yang disebut sebagai jaman Klasik Nusantara, banyak menggambarkan arsitektur bangunan.

Bangunan rumah tinggal biasanya digambarkan berupa rumah panggung, seperti yang dapat dilihat hingga saat ini pada bangunan-bangunan tradisional Nusantara pada umumnya.

Sementara bangunan publik seperti istana atau tempat peribadatan digambarkan berupa bangunan dengan lantai yang menapak di tanah, biasanya berbahan batu, sedangkan bangunannya terbuat dari batu, kayu, atau perpaduan keduanya. Hal ini juga dapat dilihat dari banyak artefak bangunan candi era Hindu

dan Budha yang menunjukkan adanya lubang pada umpak bangunan sebagai mortise, tempat meletakkan ujung bawah kolom kayu sebagai tenon, maupun sebaliknya.

Gambar 9. Berbagai macam model umpak pada Candi Sambisari (dokumentasi pribadi)

Masalahnya, joglo merupakan bangunan rumah tinggal, bukan bangunan publik, sehingga hal ini menimbulkan keunikan. Karena rumah tinggal yang lantainya menapak di tanah diduga belum ada pada masa Hindu dan Budha, maka dapat diinterpretasikan bahwa joglo tercipta setelah era tersebut. Dengan demikian kemunculan joglo merupakan wujud pergeseran dari bangunan publik menjadi bangunan rumah tinggal. Karena joglo merupakan rumah tinggal bagi kaum bangsawan, maka terdapat korelasi logis karena bangunan dengan lantai yang menapak di tanah pada masa Hindu dan Budha merupakan bangunan istana. Dengan kata lain, joglo merupakan privatisasi dari bangunan publik istana.

(7)

Gambar 10. Ilustrasi bangunan istana dengan lantai yang menapak di atas tanah pada relief Candi Prambanan (dokumentasi pribadi)

Kajian Budaya Arsitektur Joglo

Rong-rongan merupakan generator bentuk joglo. Lebih dari sekedar konstruksi utama, rong- rongan menghadirkan sentralitas. Susunan balok-balok tumpangsari yang mengerucut ke atas menghadirkan efek spasial yang mengesankan tengah sebagai pusat. Hal ini sama dengan efek spasial yang ditimbulkan dari dalam bangunan candi yang mengacu pada konsep mandala.

Gambar 11. Bentuk mandala pada rong-rongan joglo dan struktur atap dalam ruangan Candi Sambisari (dokumentasi pribadi)

Mandala berasal dari bahasa Sansekerta yang arti harafiahnya adalah lingkaran. Mandala merupakan sebuah diagram tentang alam semesta yang memiliki pusat di tengah. Dalam kepercayaan Hindu dan Budha, mandala dimaknai sebagai sebuah pencapaian tertinggi dari kehidupan rohani manusia. Mandala merupakan pusat, dimana tujuan akhir dari kehidupan akan tertuju.

Gambaran mandala dalam arsitektur Hindu dan Budha dapat ditemukan pada bentuk arsitektur

candi, dimana bangunan candi selalu terpusat ke tengah. Di bagian tengah inilah nilai kesucian diletakkan. Karena pusat berada di bagian tengah maka bentuk denah bangunan candi selalu simetris. Karena rong-rongan joglo memiliki kesamaan karakter ruang dengan atap candi yang mengerucut di tengah maka dapat diinterpretasikan bahwa rong-rongan joglo bersifat sakral karena juga mengacu pada prinsip mandala.

Kesimpulan

Dari kajian tektonika yang dilakukan dalam penelitian ini maka dapat dibuktikan bahwa joglo merupakan arsitektur hibrid, karena joglo merupakan arsitektur tradisional yang dikonstruksikan dengan material kayu yang berkarakter tektonik pada bagian saka guru, namun demikian, dalam konstruksi tumpangsari ternyata ditemukan unsur pengolahan stereotomik, dimana material kayu diperlakukan seperti batu. Unsur stereotomik pada arsitektur joglo mengadopsi prinsip struktur bangunan candi batu yang merupakan arsitektur klasik Nusantara.

Hibriditas ini menimbulkan kelemahan teknis di satu sisi, dimana ketika terjadi gempa berfrekuensi rendah maka susunan balok tumpangsari yang berfungsi sebagai pemberat justru menjadi pendulum yang akan memperbesar tekanan lateral pada saka guru yang dapat mengakibatkan patahnya saka guru. Namun demikian di sisi lain hibriditas ini mampu menghadirkan nilai lebih yaitu dari sisi efek spasial yang ditimbulkannya, dimana arsitektur joglo dapat menerapkan konsep mandala secara ideal seperti halnya bangunan candi melalui susunan balok tumpangsari ini.

Daftar Pustaka

Canclini, Néstor García. (1995). Hybrid Cultures.

Minneapolis: University of Minnesota Press.

Dakung, Drs. Sugiarto. (1981). Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Dumarçay, Jaques. (2007). Candi Sewu dan Arsitektur Agama Buda di Jawa Tengah (“Le Candi Sewu et l'architecture bouddhique de Java Centre”). Jakarta:

Kepustakaan Populer Gramedia.

Frampton, Kenneth. (1995). Studies ini Tectonic Culture: The Poetics of Construction in Nineteenth

(8)

and Twentieth Century Architecture. Massachusetts:

Massachusetts Institute of Technology.

Frick, Heinz. (1997). Pola Struktural dan Teknik Bangunan di Indonesia: Suatu Pendekatan Arsitektur Indonesia Melalui Pattern Language Secara Konstruktif Dengan Contoh Arsitektur Jawa Tengah.

Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Groat, L. & Wang, D. (2013). Architectural Research Methods. Second Edition. Canada: John Wiley &

Sons. Inc.

Jogja Heritage Society. (2007). Homeowner’s Conservation Manual, Kotagede Heritage District, Yogyakarta, Indonesia. Jakarta: UNESCO House.

Maer, Bisatya W. dan Pudjisuryadi, Pamuda (2015).

Santen-Fuse as an Earthquake Damper for Pendopo Joglo. Journal of Architecture and Built Environment, 1, 01-08

Porter, Tom. (2004). Archispeak, An Illustrated Guide to Architectural Terms. London: Spon Press.

Prihatmaji, Yulianto P (2007). Perilaku Rumah Tradisional Jawa “Joglo” Terhadap Gempa. Dimensi Teknik Arsitektur, 1, 1-12

Prijotomo, Josef. (2006). (Re-)Konstruksi Arsitektur Jawa, Griya Jawa dalam Tradisi Tanpatulisan.

Surabaya: P.T. Wastu Lanas Grafika.

Reiser dan Umemoto. (2010). Introduction to Atlas of Novel Tectonics. dalam Constructing A New Agenda Architectural Theory 1993-2009. ed. Sykes, A. Krista.

New York: Princeton Architectural Press. 436-446.

Tjahjono, Gunawan. (1998). Indonesian Heritage:

Architecture. Singapore: Archipelago Press.

Gambar

Gambar 2. Sistem tumpuan dan sambungan pada  struktur utama bangunan joglo (Maer, 2015)
Gambar 5. Sunduk-kili (purus lanangan-purus  wedokan) dengan konstruksi jepit dan  blandar-pangeret dengan konstruksi sendi pada rong-rongan  joglo (Frick, 1997)
Gambar 6. Pengungkapan nilai budaya arsitektur  joglo dengan analisis tektonika Samper, Frampton,  dan Reiser-Umemoto (Jogja Heritage Seciety, 2007)  Metode Penelitian
Gambar 7. Tumpang sari (G) yang disusun dengan  sistem catokan diganjal pen, sama sekali tidak  mengikat saka guru (B) (Frick, 1997)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Restoran Boemi Joglo memiliki interior yang khas dengan adat tradisional jawa. tengah serta makanan nasi liwet ayam jamur yang berbeda dengan

Konsep Regionalisme dari arsitektur tradisional Jawa (Rumah Joglo) dan arsitektur tradisional Nusa Tenggara Timur (Ume Kbubu) diterapkan pada tata ruang, tata massa,

# Fasade Bangunan, Pada fasade bangunan menerapakan bentuk – bentuk dari Arsitektur Tradisional Jawa seperti Joglo, limasan dll. # Orientasi Bangunan, Orientasi bangunan

Berdasarkan analisa di atas, tektonika rumah Tongkonan dapat diketahui melalui penggunaan material, teknik penyelesaian sambungan dan kestabilan gaya yang tercipta

KAJIAN ARSITEKTUR TRADISIONAL SEBAGAI ACUAN DESAIN RUMAH TINGGAL KONTEMPORER (Studi Kasus: Arsitektur Vernakular Gayo Lut di Kota

Saat manusia berada pada rumah joglo paling pinggir, sebagai perbatasan antara ruang luar dengan ruang dalam, manusia masih merasakan hawa udara dari luar, namun saat

Konsep Regionalisme dari arsitektur tradisional Jawa (Rumah Joglo) dan arsitektur tradisional Nusa Tenggara Timur (Ume Kbubu) diterapkan pada tata ruang, tata massa,

Pada rumah joglo sistem struktur lateral nya yang berbeda dengan rumah tradisional jawa lainnya, perbedaan itu terletak pada struktur penahan gaya lateral melalui pembebanan pusat pada