• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

TINJAUAN YURIDIS

TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT (Analisis Putusan No.428/Pid.B/2017/PN.Mks)

OLEH : AGUSSALIM B 111 13 330

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN 2017

(2)

HALAMAN JUDUL

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT

(Analisis Putusan No.428/Pid.B/2017/PN.Mks)

OLEH : AGUSSALIM B 111 13 330

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Tugas Akhir Dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana Dalam Departemen Hukum Pidana

Program Studi Ilmu Hukum

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2018

(3)
(4)

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Diterangkan bahwa skripsi dari mahasiswa :

Nama : AGUSSALIM

No. Induk Mahasiswa : B 111 13 330

Bagian : Hukum Pidana

Judul Skripsi : Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana PemalsuanSurat (Analisis Putusan No.

248/Pid.B/2017/PN.Mks.)

Makassar, Desember 2017

Pembimbing I

Prof.Dr.Andi Muhammad Sofyan,SH.MH.

NIP.19620105 198601 1 001

Pembimbing II

Dr. Haeranah, SH.MH.

NIP.19661212 199103 2 002

(5)

PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI

Diterangkan bahwa skripsi dari mahasiswa :

Nama : AGUSSALIM

No. Induk Mahasiswa : B 111 13 330

Bagian : Hukum Pidana

Judul Skripsi : Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana PemalsuanSurat (Analisis Putusan No.

248/Pid.B/2017/PN.Mks.)

Memenuhi syarat untuk diajukan dalam ujian skripsi sebagai ujian akhir program studi

(6)

ABSTRAK

AGUSSALIM (B 111 13 330), Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Surat di Kota Makassar ( Studi Kasus Putusan Nomor:

428/Pid.B/2017/PN.Mks) dibimbing oleh Andi Muhammad Sofyan sebagai pembimbing I dan Haeranah sebagai pembimbing II.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah pengaturan hukum mengenai pemalsuan surat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan untuk mengetahui penerapan hukum materil terhadap tindak pidana terhadap pemalsuan surat (studi kasus Putusan Nomor:

428/Pid.B/2017/PN.Mks)

Penelitian yang dilaksanakan oleh penulis mengenai “Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Surat (studi kasus Putusan Nomor:428/Pid.B/2017/PN.Mks), maka penulis melakukan penelitian di kantor Pengadilan Negeri Makassar, serta penelitian kepustakaan dengan mempelajari buku-buku, perundang-undangan yang berhubungan dengan materi penulisan skripsi ini. Hasil yang dicapai dalam penelitian ini menunjukkan bahwa aturan mengenai tindak pidana pemalsuan surat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat dalam Bab XII buku II dari Pasal 263 s/d Pasal 276, Pemalsuan Surat diklarifikasi menjadi dua bagian yaitu pemalsuan surat umum atau standar dan pemalsuan surat khusus atau lex spesialis. Namun secara keselurahan yang menjadi inti dari semua bentuk tindak pidana Pemalsuan Surat yaitu membuat surat palsu, memalsukan surat dan memakai surat palsu atau surat yang dipalsu. sedangkan penerapan hukum pidana terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Surat sudah sesuai dengan ketentuan Hukum Pidana Materil sebagaimana yang diatur dalam Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum PIdana,.Penerapan ketentuan pidana terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Surat dalam perkara Putusan (Studi kasus Putusan Nomor 428/Pid.B/2017/PN.Mks) didasarkan pada fakta-fakta hukum baik melaui keterangan-keterangan saksi, keterangan terdakwa, maupun barang bukti.

Selain itu, juga didasarkan pada pertimbangan yuridis yaitu dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum.

(7)

ABSTRACK

AGUSSALIM (B 111 13 330), Juridical Review on Crime Counterfeiting Letter in Makassar City (Case Study of Decision Number: 428/Pid.B / 2017/PN.Mks) guided by Andi Muhammad Sofyan as mentor I and Haeranah as mentors II.

This study aims to determine how the legal arrangements concerning falsification of letters in the Criminal Code and to know the application of material law against the crime against falsification of letters (case study Decision Number: 428 / Pid.B / 2017 / PN.Mks)

The research conducted by the author on "Juridical Review on Crime of Counterfeiting Letter (case study of Decision Number:

428/Pid.B/2017/PN.Mks), the authors do research at the Makassar District Court, as well as library research by studying the books. books, legislation relating to the material of this thesis writing. The results achieved in this study indicate that the rules regarding the crime of counterfeiting of letters in the Criminal Procedure Code are contained in Chapter XII of II of Article 263 to Article 276, Counterfeiting Letter clarified into two parts: falsification of public or standard letters and counterfeiting special letters or lex specialists. However, in its entirety, the core of all forms of Penalty of Counterfeiting is to make false letters, falsify letters and use false letters or counterfeit letters. while the application of criminal law to the Crime of Counterfeiting of Letters is in accordance with the provisions of the Criminal Law as stipulated in Article 263 paragraph (1) Book of Law of PIdana, .Application of criminal provisions on the Crime of Counterfeiting Letter in the case of Decision (Case Study Decision Number 428/Pid.B/2017/PN.Mks) is based on legal facts both through witness statements, testimony of the accused, and evidence. In addition, it is also based on juridical consideration of the indictment and prosecution of the Public Prosecutor.

(8)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Syukur Alhamdulillah Penulis haturkan kepada Allah SWT atas berkat rahmat dan hidanya-Nya, serta shalawat dan salam atas Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membimbing manusia ke jalan yang benar. Akhirnya tugas penulisan hukum tentang “Tinjaun Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Surat (Studi Kasus Putusan Nomor 428/Pid.B/2017/PN.Mks)” dapat diselesaikan secara baik sesuai dengan kemampuan penulis.

Penulisan skripsi ini sebagai persyaratan akhir guna memperoleh gelar kesarjanaan khususnya Sarjana Hukum dan juga merupakan wujud tanggung jawab sebagai bagian integral dari masyarakat ilmiah untuk turut serta memberikan sumbangsih penelitian bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu pengetahuan hukum pidana pada khususnya.

Penulis menyadari sepenuhnya keterbatasan yang dimiliki penulis, sehingga selesainya penulisan hukum ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang telah berjasa dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, hanya ucapan terima kasih yang penulis bisa hanturkan kepada:

(9)

1. Ayahanda Baharuddin dan Ibunda Hasmawati yang selalu menjadi panutan penulis dan selalu memberikan dukungan baik materi maupun non materi, doa, serta mencurahkan segala perhatian dan kasih sayang kepada penulis.

2. Ibu Prof. Dr. Dwia Arie Tina, MA. Selaku Rektor Universitas Hasanuddin beserta staf dan jajarannya

3. Ibu Prof. Dr. Farida Patittingi, SH.,M.Hum. selaku Dekan Fakulas Hukum Universitas Hasanuddin, Bapak Prof. Dr. Amhadi Miru, S.H.,M.H. Selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Bapak Dr. Syamsuddin Muchtar, S.H,.M.H. Selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Dr.Hamzah Halim, S.H.M.H. Selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

4. Ibu Dr. Nur Azisah, S.H.,M.H. selaku Penasehat Akademik selama penulis mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

5. Bapak prof. Dr. Andi muhammad sofyan, S.H.,M.H. selaku pembimbing I dan Ibu Dr. Haeranah, S.H.,M.H. selaku pembimbing II yang selalu meluangkan waktu ditengah kesibukan beliau yang luar biasa untuk memberikan bimbingan, saran, petunjuk dan kritik yang membangun dari awal penulisan hingga terselesaikannya penulisan skripsi ini yang InsyaAllah akan selalu penulis ingat.

(10)

6. Bapak Prof. Dr. H.M. Said Karim, S.H.,M.H.M.Si. selaku penguji I, Dr. Abd.Aziz, S.H.,M.H. selaku penguji II, Dr. Dara Indrawanti, S.H.,M.H. selaku penguji III.

7. Bapak dan Ibu Dosen serta Staff Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar atas kesabaran, kearifan dan ketulusan hati dalam proses pelaksaan belajar, mengajar, sehingga penulis mendapatkan tambahan ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu.

8. Bapak Mustari, selaku staff Administrasi Bagian Pidana Pengadilan Negeri Makassar yang telah bersedia membrikan data dan keterangan yang penulis butuhkan.

9. Tersayang buat saudara/i penulis, adikku Ayu Astuti, Fitriani, Bayu Asmara dan Muhammad alief.

10. Keluarga Besar Himpunan Pelajar Dan Mahasiswa Komisariat Perguruan Tinggi Universitas Hasanuddin (HIPERMAWA KOPERTI UNHAS), terima kasih telah menjadi teman sekaligus saudara seperantauan selama menjalani perkuliahan di kota Makassar.

11. Rekan-rekan ASAS 2013 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, serta teman-teman seperjuangan dalam menyusun skripsi yang tidak bisa disebutkan satu-satu yang telah senantiasa membantu dan saling memberi semngat satu sama lain, dan memberikan

(11)

sumbangsih saran dan masukan, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

12. Teman-teman Kuliah Kerja Nyata (KKN) Reguler Angakatan 93 di Kabupaten Enrekang, Kecamatan Alla, posko Desa Taulo, pada Yuli Saroring, Sucipto, Vheky Artandi, Dewi Rosalia, Nafiatul Amalia, Febriyanti Angreni dan Nury SN yang telah memberikan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

Serta semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan namanya satu- satu yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini, tanpa bermaksud melupakan budi baik yang telah diberikan kepada penulis.

Semoga ALLAH SWT membalas dan melipat gandakan amalannya.

Akhir kata, dengan tidak melupakan keberadaan penulis sebagai manusia biasa yang tidak luput dari segala kekurangan dan keterbatasan dalam menyusun skripsi ini, maka penulis mengharapkan segala bentuk saran dan kritikan dalam rangka perubahan dan penyempurnaan skripsi ini. Disamping itu, haparan penulis semoga skripsi ini dapat saya pertanggung jawabkan serta dapat memberikan manfaat dalam pengembangan ilmu khususnya ilmu hukum.

Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Makassar, Januari 2018

AGUSSALIM

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PENGESAHAN SKRIPSI ... ii

PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN... iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah... 5

C. Tujuan Penelitian... 6

D. Kegunaan Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 8

A. Tindak Pidana... 8

1. Pengertian Tindak Pidana ... 8

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana ... 14

B. Pemalsuan Surat ... 16

1. Pengertian Pemalsuan Surat ... 16

2. Unsur-Unsur Pemalsuan Surat ... 20

C. Pertanggungjawaban Pidana ... 30

1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana... 30

2. Unsur-Unsur Pertanggungjawaban Pidana ... 32

D. Teori Pemidanaan ... 35

1. Pengertian Pemidanaan... 35

2. Teori Tentang Tujuan Pemidanaan... 36

3. Jenis-Jenis Pidana ... 38

E. Alasan Pengecualian,Pengurangan,dan Penambahan Pidana ... 40

F. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menjatuhkan Putusan ... 42

BAB III METODE PENELITIAN... 45

(13)

A. Lokasi Penelitian ... 46

B. Jenis dan Sumber Dana ... 46

C. Teknik Pengumpulan Data ... 47

D. Analisis Data ... 47

BAB IV PEMBAHASAN ... 49

A. Aturan Hukum Pemalsuan Surat dalam KUHP ... 49

1. Pemalsuan surat pokok ... 49

2. Pemalsuan surat khusus... 52

3. Menyuruh memuat keterangan palsu akta autentik ... 54

4. Pemalsuan surat keterangan dokter ... 56

5. Pemalsuan surat keterangan berkelakuan baik ... 59

6. Pemalsuan surat pas jalan... 59

7. Pemalsuan surat pengantar kerbau dan sapi ... 61

8. Pemalsuan surat keterangan pejabat tentang hak milik... 62

9. Menyediakan bahan-bahan yang digunakan kejahatan... 63

B. Penerapan Hukum Materil terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Surat dalam Putusan No.428/Pid.B/2017/PN.Mks ... 64

1. Identitas terdakwa... 64

2. Posisi kasus... 65

3. Dakwaan Penuntut Umum ... 66

4. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum ... 72

5. Amar Putusan ... 73

6. Analisis Penulis... 74

BAB V PENUTUP... 84

A. Kesimpulan ... 84

B. Saran... 85

DAFTAR PUSTAKA... 86

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia dan Hukum adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dalam ilmu hukum, terdapat adagium terkenal yang berbunyi: “ubi societas ibi jus” (dimana ada masyarakat di situ ada hukumnya), karena hubungan antarmanusia di dalam masyarakat terdapat norma-norma yang mengikat masyarakat itu sendiri.1

Hukum mempunyai peranan sangat besar dalam pergaulan hidup di tengah-tengah masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari ketertiban, ketentraman, dan tidak terjadinya ketegangan di dalam masyarakat, karena hukum mengatur menentukan hak dan kewajiban serta melindungi kepentingan individu dan kepentingan sosial.

Keberadaan hukum dalam masyarakat harus menyesuaikan dan ikut berkembang sesuai dengan permasalahan yang terjadi dimasyarakat.

Meskipun hukum mengikuti perkembangan kehidupan masyarakat tetapi melihat dewasa ini tidak dapat menjadi tolak ukur akan minimnya kejahatan, melihat kehidupan di masyarakat cukup banyak permasalahan yang timbul akibat kejahatan baik itu yang mendatangkan kerugian pada individu, masyarakat maupun negara.

1 Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, 2014. Sosisologi Suatu Pengantar.PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Hlm. 172. 14-july-2017. Pukul 21.30

(15)

Salah satu kejahatan yang cukup banyak terjadi di lingkungan masyarakat adalah kejahatan pemalsuan. Pemalsuan merupakan salah satu bentuk perbuatan yang disebut sebagai kejahatan, yaitu sebagai suatu perbuatan yang sifatnya bertentangan dengan kepentingan hukum.

Perbuatan pemalsuan itu sendiri merupakan suatu jenis pelanggaran terhadap dua norma dasar, yakni kebenaran (kepercayaan) yang pelanggarannya dapat tergolong dalam kelompok kejahatan penipuan.

Dan ketertiban masyarakat, yang pelanggarannya tergolong dalam kelompok kejahatan terhadap negara/ketertiban masyarakat. Sebab dan akibat perbuatan itu menjadiperhatian dari berbagai pihak, dengan mengadakan penelitian-penelitian berdasarkan metode ilmiah agar dapat diperoleh suatu kepastian untuk menetapkan porsi dan klasifikasi dari kejahatan tersebut.

Saat ini banyak sekali terjadi tindak pidana pemalsuan dengan berbagai macam bentuk dan perkembangannya yang menunjuk pada semakin tingginya tingkat intelektualitas dari kejahatan pemalsuan yang semakin kompleks. Kejahatan pemalsuan adalah kejahatan yang mana di dalamnya mengandung sistem ketidakbenaran atau palsu sesuatu objek yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya, padahal sesunggunhnya bertentangan dengan yang sebenarnya.

Dalam perkembangannya dari berbagai macam tindak pidana pemalsuan, tindak pidana pemalsuan surat mengalami perkembangan

(16)

yang begitu kompleks, sebab jika kita melihat objek yang dipalsukan yaitu berupa surat, maka tentu saja ini mempunyai dimensi yang sangat luas.

Surat adalah lembaran kertas yang di atasnya terdapat tulisan kata, frasa dan/atau kalimat yang terdiri huruf-huruf dan/atau angka dalam bentuk apa pundan dibuat dengan cara apa pun yang tulisan mana mengandung arti dan/atau makna buah pikiran manusia.2

Pemalsuan merupakan suatu bentuk kejahatan yang diatur dalam Bab XII Buku II KUHPidana, dimana pada buku tersebut dicantumkan bahwa yang termasuk pemalsuan hanyalah berupa tulisan-tulisan saja.

Termasuk didalamnya pemalsuan tanda tangan yang diatur dalam Pasal 263 KHUPidana. s/d Pasal 276 KUHPidana.

Tindak pidana yang sering terjadi adalah berkaitan dengan Pasal 263 KUHPidana (membuat surat palsu dan memalsukan surat); dan Pasal 264 (memalsukan akta-akta otentik) dan Pasal 266 KUHPidana (menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik).

Adapun Pasal 263 KUHPidana, berbunyi sebagai berikut:

1. Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasanhutang atau yang diperuntukkan sebagai alat bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karna pemalsuan surat, dengan pidan penjara paling lama enam tahun;

2Adami chazawi dan Ardi Ferdian, 2014. Tindak Pidana Pemalsuan.RajaGrafindo Persada, Jakarta. Hlm. 135.

(17)

2. Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-seolah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Sedangkan Pasal 264 KUHPidana berbunyi sebagai berikut:

1. Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap:

a. Akta-akta otentik;

b. Surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya ataupun dai suatu lembaga umum;

c. Surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari sesuatu perkumpulan, yayasan, perseroan, atau paskapai;

d. Talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukri yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu;

e. Surat kredit atau surat dagang yng diperuntuhkan untuk diedarkan.

2. Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak palsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Sedangkan Pasal 266, berbunyi sebagai berikut:

1. Barang siapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai kata itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidna penjara paling lama tujuh tahun;

2. Diancam dengan pidana yng sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak palsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.3

3Ibid,hlm 167

(18)

Dalam hukum di Indonesia pemalsuan terhadap sesuatu merupakan salah satu bentuk tindak pidana yang telah diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP). Memang pemalsuan surat sendiri akan mengakibatkan seseorang/pihak merasa dirugikan. Hal inilah yang membuat pemalsuan ini diatur dan termasuk suatu tindakan pidana.

Berdasarkan ketentuan yang termuat dalam KUHP pemalsuan terdiri dari beberapa jenis. Adakalahnya sumpah dan keterangan palsu, pemalsuan mata uang, uang kertas negara dan uang kertas bank, pemalsuan surat dan adakalahnya juga pemalsuan. terhadap materai dan merek.

Berdasarkan uraian di atas, penulis berinisiatif untuk mengadakan suatu penelitian lebih lanjut permasalahan mengenai pemalsuan surat dan menuangkannya dalam Tugas Akhir (Skripsi) dengan judul “ Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Surat (Analisis Putusan No.428/Pid.B/2017/Pn.Mks).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang penulis uraikan di atas, maka penulis merumuskan beberapa permasalahan yang menarik untuk dikaji, yaitu :

1. Bagaimana pengaturan hukum mengenai pemalsuan surat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ?

(19)

2. Bagaimana penerapan hukum materiil terhadap tindak pidana Pemalsuan Surat dalam Putusan Nomor. 428/Pid.B/2017/PN.Mks ? C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum mengenai pemalsuan surat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

2. Untuk mengetahui penerapan hukum materiil terhadap tindak pidana Pemalsuan Surat dalam Putusan Nomor.

428/Pid.B/2017/PN.Mks.

D. Kegunaan Penelitian 1. Secara Akademisi

a. Diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi kajian ilmu pengetahuan khususnya di bidang hukum pidana.

b. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan rujukan untuk memahami secara khusus tentang tindak pidana pemalsuan surat.

c. Diharapkan penelitian ini dapat melatih dan mempertajam daya analisis terhadap persoalan dinamika hukum yang berkembang seiring perkembangan zaman dan teknologi terutama dalam tindak pidana pemalsuan surat.

d. Diharapkan penelitian ini akan menjadi literatur dalam hukum pidana pada umumnya dan tindak pidana pemalsuan surat pada khususnya.

(20)

2. Secara Praktis

a. Diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran kepada praktisi hukum dan masyarakat pada umunya yang ingin memahami lebih mendalam tentang tindak pidana pemalsuan surat.

b. Diharapkan dapat menjadi salah satu topik dalam diskusi lembaga-lembaga mahasiswa pada khusunya dan civitas akademisi pada umumnya.

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana dalam bahasa latin disebut dengan “delictum”

atau “delicta”. Dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah “delict”

yang artinya suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman. Sementara itu, dalam bahasa belanda dikenal dengan istilah “strafbaar feit”.

Istilah delik sebetulnya tidak ada kaitannya dengan istilah strafbaarfeit karena istilah itu berasal dari kata delictum (latin), yang juga dipergunakan dalam pembendaharaan hukum belanda: delict, namun isi pengertiannya tidak ada perbedaan prinsip dengan istilah strafbaarfeit.

Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaraan dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang konkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.

(22)

Istilah strafbaarfeit sendiri walaupun terdapat dalam KUHP, tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan straafbaarfeit itu. Oleh karena itu, para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi istilah itu.

Andi Zainal Abidin salah seorang ahli hukum pidana di Indonesia yang tidak sepakat dengan penerjemahan strafbaarfeit menjadi tindak pidana. Adapun alasannya yang dikutip dari buku karya Ardianto Efendi adalah sebagai berikut:

a. Tindak tidak mungkin dipidana, tetapi orang yang melakukanlah yang dapat dijatuhi pidana;

b. Ditinjau dai segi bahasa Indonesia, tindak adalah kata benda dan pidana juga kata benda. Yang lazin ialah kata benda selalu diikuti kata sifat, misalnya kejahatan berat, perempuan cantik,dan lain-lain;

c. Istilah strafbaarfeit sesungguhnya harus dirumuskan feit terzake van het welk een persoon starfbaar is yang berarti peristiwa yang menyebabkan seseorang dapat dipidana. Istilah criminal act lebihtepat, karena ia hanya menunjukkan sifat kriminalnya perbuatan.4

4Erdianto Efendi,2011. Hukum Pidana Indonesia suatu Pengantar.Refika Aditama.

Bandung, hlm.97.Tgl 18-july-2017.Pukul 21.25

(23)

Andi Zainal Abidin (dikutip dari karya Amir Ilyas) mengemukakan pada hakikatnya istilah yang paling tepat adalah “delik” yang berasal dari kata “delictum delicta” karena:5

a. Bersifat universal, semua orang di didunia ini mengenalnya;

b. Bersifat ekonimis karena singkat;

c. Tidak menimbulkan keganjalan seperti “peristiwa pidana”,

“perbuatan pidana” (bukan peristiwa perbuatan yang dipidana, tetapi pembuatnya); dan

d. Luas pengertiannya sehingga meliputi juga delik-delik yang diwujudkan oleh korporasi orang yang tidak kenal menurut hukum pidana ekonomi Indonesia.

Para pakar asing Hukum Pidana menggunakan istilah Tindak Pidana atau perbuatuan pidana atau Peristiwa Pidana dengan istilah:

1. Strafaarfeit adalah peristiwa pidana;

2. Stafbake Handlung diterjemahkan dengan perbuatan pidana, yang digunakan oleh para sarjana hukum pidana jerman; dan 3. Criminal Act diterjemahkan dengan istilah perbuatan kriminal

Tindak Pidana dalam bahasa Belanda disebut strafbaarfeit, terdiri atas tiga kata, yaitu straf, baar, dan feit. Yang masig-masing memiliki arti:6

5Amir Ilyas, 2012, Asas-asas Hukum Pidana, Rangkang Education, Yogyakarta, hlm.24. tgl 18-july-2017. Pukul 23.46

6Ibid hlm 19

(24)

1. Straf diartikan sebagai pidana dan hukum, 2. Baar diartikan sebagai dapat dan boleh,

3. Feit diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.

Jadi istilah strafbaarfeit adalah peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan yan dapat dipidana. Sedangkan delik dalam bahasaasing disebutdelict yang artinya suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman (pidana).

Berikut adalah beberapa pengertian “strafbaarfeit” yang dikemukakan oleh para ahli.7

a. Menurut A. Zainal Abidin Farid “straafbaarfeit” merupakan perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan seseorang yang mampu bertanggung jawab.

b. Menurut Hazewinkel Suringa, “straafbaarfeit” adalah suatu perilaku manusia yang suatu saat tertentu telah ditolak di dalam suatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalam undang-undang.

c. Menurut Roeslan saleh, “straafbaar feit” adalah memberikan batasan peraturan pidana dalam perbuatan yan berentangan dengan tata atau ketentuan yang dikehendaki oleh hukum,

7PAF Lamintang, 1979, Delik-Delik Khusus Kejahatan, Tarsito, Bandung, hlm 181

(25)

syarat utama dari adanya perbuatan pidana adalah kenyataan bahwa ada aturan yang melarang.

d. Menurut Pompe, “straafbaar feit”secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminya kepentingan hukum.

e. Menurut E. Utrecht, tindak pidana dengan istilah peristiwa pidana yang sering juga disebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doen positif atau suatu melalaikan natalen negatif, maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulklan karena perbuatan atau melalaikan itu).

f. E. Y Kanter dan Sianturi, menyatakan bahwa tindak pidana adalah suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.

Sianturi berpendapat bahwa istilah tindak adalah merupakan singkatan dari kata “ tindakan” artinya pada orang yang melakukan tindakan dinamakan sebagai penindak. Tindakan apa saja dilakukan semua orang, akan tetapi dalam banyak hal suatu tindakan hanya

(26)

dapat dapat dilakukan orang-orang tertentu, misalnya menurut golongan dalam pekerjaan dan menurut golongan kelamin. Sianturi menjelaskan bahwa menurut golongan kelamin misalnya wanita atau pria sedangkan menurut golongan pekerjaannya misalnya buruh, pegawai dan lain sebagainya, jadi status/klasifikasi seorang penindak menurut Sianturi haruslah dicantumkan unsur “barang siapa”.8

Penggunaan terhadap istilah “tindak pidana” ini dikomentari oleh Moeljatno sebagai berikut:

Meskipun kata tindak lebih pendek dari kata “perbuatan” tapi

“tindak” tidak menunjuk kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tapi hanya menyatakan keadaan konkrit sebagaimana halnya dengan peristiwa dengann perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah laku, gerak-gerik, sikap jasmani seseorang, lebih dikenal dalam tindak tanduk, tindakan dan bertindak dan belakangan diapakai “ditindak”. Oleh karena itu tindak sebagai kata tidak begitu dikenal, maka perundang-undangan yang menggunakan istilah tindak pidana baik dalam Pasal-Pasalnya sendiri maupun dalam penjelasannya hampir selalu di pakai kata

“perbuatan”.9

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka sesungguhnya tidak tepat jika penerjemahan istilah hukum pidana diartikan secara harfiah belaka karena hanya akan menghasilkan pengertian hukum tentang hukuman. Padahal hukum pidana yang dimaksudkan dan akan dibicarakan, tidaklah sekedar membicarakan hukuman, teatapi juga membicarakan perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dihukum, serta siapa saja yang dapat dihukum,apakah semua orang

8Erdianto Effendi.Ibid. hlm 22

9Ibid hlm 23

(27)

dapat dihukum atau hal apa saja yang membuat seseorang tidak dapat dihukum.

Jadi setelah melihat beberapa pendapat para ahli yang menjelaskan pengertian tindak pidana dari sudut pandang yang berbeda, maka penulis bisa tarik kesimpulan bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan manusia yang dapat bertanggungjawab terhadap perbuataannya dalam artian tidak ada alasan pembenar dan perbuatan itu dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan sanksi pidana.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Dari beberapa definisi yang ada tentang tindak pidana, maka di dalam tindak pidana itu sendiri terdapat berbagai unsur-unsur tindak pidana yang dapat diuraikan oleh para ahli yang mendefinikan tentang tindak pidana itu sendiri.

Menurut Moeljatno dapat diketahui unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:10

1. Perbuatan;

2. Yang dilarang (oleh undang-undang);

3. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).

Sementara itu, Loebby Loqman menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana meliputi:11

10Adami Chazawi, 2005. Pelajaran Hukum Pidana 1, RajaGrafindo Persada, Jakarta.Hlm.79

11Erdianto Effendi,2011,Hukum Pidana Indonesia Suatu pengantar, Refika Aditama, Bandung,hlm 99.

(28)

1. Perbuatan manusia baik aktif maupun pasif;

2. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh undnang-undang;

3. Perbuatan itu dianggap melawan hukum;

4. Pelakunya dapat dipertanggungjawabkan.

Sedangkan, menurut E.Y. Kanter dan SR Sianturi, unsur-unsur tindak pidana yaitu:12

1. Subjek;

2. kesalahan;

3. bersifat melawan hukum (dan tindakan);

4. suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang- undang/perundangan dan terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana;

5. waktu, tempat dan keadaan (unsur objektif lainnya).

Sungguhpun diketahui adanya unsur-unsur tindak pidana di atas, penentuan suatu perbuatan sebagai tindak pidana atau tidak sepenuhnya tergantung kepada perumusan di dalam perundang- undangan, sebagai konsekuensi atas asas legalitas yang dianut oleh hukum Indonesia, bahwa tidak ada satu perbuatan dapat dihukum kecuali ditentukan di dalam undang-undang. Menurut Loebby Loqman, terdapat tiga kemungkinan dalam perumusan tindak pidana:

pertama, tindak pidana dirumuskan baik nama maupun unsur- unsurnya. Kedua, tindak pidana yang hanya dirumuskan unsurnya saja, dan ketiga, tindak pidana menyebutkan namanya saja tanpa menyebutkan unsur-unsurnya. Bagi tindak pidana yang tidak menyebutkan unsur-unsurnya atau tidak menyebutkan namanya, maka nama serta unsurnya dapat diketahui melalui doktrin.13

12Ibid.

13Erdianto Effendi, op.cit, hlm 99.

(29)

B. Pemalsuan Surat

1. Pengertian Pemalsuan Surat a. pemalsuan

Dalam kehidupan bermasyarakat, keadaan palsu atau tidak benar yang diucapkan dan disebarkan dapat membawa pengaruh tidak baik terhadap aspek kehidupan masyarkat itu sendiri. Oleh karena itu, keadaan tertentu atau dengan syarat-syarat tertentu tidak boleh mengandung sifat palsu. Sifat palsu yang mengandung pengaruh buruk itu perlu dihindari, dengan cara mengancam pidana bagi perbuatan yang membuat, yang menyampaikannya. Demikian itu kiranya filosofi dan latar belakang dibentuknya tindak pidana pemalsuan.

Definisi pemalsuan menurut Adami Chazawi yaitu:

“Pemalsuan adalah kejahatan yang di dalamnya mengandung unsur keadaan ketidakbenaran atau palsu atas sesuatu(objek), yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya, padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sesungguhnya”14.

Istilah pemalsuan, tidak perlu selalu diartikan pada perbuatan yang menjadikan palsunya isi tulisan seperti surat atau sejenisnya, melainkan termasuk juga palsunya isi berita/informasi yang tidak dituliskan seperti diucapkan atau disampaikan secara verbal.

Seperti halnya laporan dan pengaduan palsu (Pasal 220 KUHP),

14Adami Chazawi, op.cit. hlm 3

(30)

menyiarkan berita palsu dan menyebabkan naik dan turunnya harga barang-barang(Pasal 390 KUHP).

Jadi berkaitan dengan itu, pemalsuan surat hanya merupakan salah satu tindak pidana pemalsuan yang diatur dalam Pasal 263 s/d Pasal275 KUHP.

b. Surat

Surat adalah segala macam tulisan, baik yang ditulis dengan tangan, maupun diketik atau dicetak dengan menggunakan arti (makna). Meskipun KUHP tidak memberi secara jelas tentang pengertian surat tetapi dengan memperhatikan rumusan yang ada pada Pasal 263 ayat (1) KUHP, maka dapat diketahui pengetian surat.

Pasal 263 KUHP dirumuskan sebagai berikut.

1) Barangsiapa membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain pakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, diancam, jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

(31)

2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat yang isinya tidak benar atau yang palsu, seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Selanjutnya, Pasal 264 KUHP ditegaskan bahwa:

1) Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap:

1. Akta-akta otentik;

2. Surat hutang dan sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum;

3. Surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan yayasan, peseroan atau maskapai;

4. Talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu;

5. Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukan untuk diedarkan.

2) Diancam dengan pidana yang sama barangsiapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak benar atau yang dipalsu seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

(32)

Berdasarkan Pasal tersebut di atas, maka yang dapat dimaksudkan dengan surat adalah sebagai berikut:

1. Yang dapat menerbitkan suatu hak seperti ijazah, karcis tanda masuk, dll;

2. Yang dapat menerbitkan suatu perjanjian seperti surat perjanjian piutang, perjanjian sewa perjanjian jual beli;

3. Yang dapat menerbitkan suatu pembebasan utang seperti kuitansi, atau surat semacam itu;

4. Yang dapat dipergunakan sebagai keterangan buku tabunga, pos, buku kas, buku harian kapal, surat angkutan, dll.

Dalam KUHP tidak jelas apakah surat itu tertulis di atas kertas, kain atau batu, yang dijelaskan hanyalah macam tulisannya yaitu surat tersebut ditulis dengan tangan atau dicetak dengan menggunakan mesin cetak. Tetapi dengan menyimak dari contoh- contoh yag dikemukakan di dalam KUHP seperti akte kelahiran, bukti tabungan pos, buku kas, buku harian kapal, surat angkutan obligasi. Dapatlah disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan surat dalam KUHP adalah tulisan yang tertulis di atas kertas dan mempunyai tujuan yang dapat menimbulkan dan menghilangkan hak.

(33)

c. Pemalsuan Surat

Pemalsuan dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang meniru, menciptakan suatu benda kehilangan keabsahannya dengan tujuan untuk mendapat keuntungan. Sama halnya dengan membuat surat palsu, pemalsuan surat dapat terjadi terhadap sebagian atau seluruh isi surat.

Perbuatan membuat surat palsu atau memalsukan surat adalah bahwa membuat palsu surat, sebelum perbuatan dilakukan, belum ada surat, kemudian dibuat suatu surat yang isinya sebagian atau seluruhnya adalah bertentangan dengan kebenaran atau palsu.

Seluruh tulisan dalam surat itu dihasilkan oleh perbuatan membuat surat palsu. Surat yang demikian disebut dengan surat palsu atau surat tidak asli.

2. Unsur-Unsur Pemalsuan Surat

Rumusan Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat sebagai berikut:

(1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukan sebagai alat bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian

(34)

tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memaki surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Pemalsuan surat dalam Pasal 263 KUHP terdiri dari dua bentuk tindak pidana, masing-masing dirumuskan dalam ayat (1) dan ayat (2).

Berdasarkan unsur pembuataannya pemalsuan surat ayat (1), disebut dengan membuat surat palsu atau memalsu surat. Sementara surat pemalsuan surat dalam ayat (2) disebut dengan memakai surat palsu atau yang dipalsu. Meskipun dua bentuk tindak pidana tersebut saling berhubungan, namun masing-masing berdiri sendiri-sendiri, yang berbeda tempus dan locus tindak pidananya serta dapat dilakukan oleh si pembuat yang tidak sama.15

Apabila rumusan ayat (1) dirinci, maka dapat diketahui unsur- unsurnya sebagai berikut:

Unsur-unsur yang objektif:

a. Perbuatannya:

1) Membuat palsu;

2) Memalsu;

b. Objeknya:

1) Surat yang dapat menimbulkan suatu hak;

15Adami Chazawi,Ardi Ferdian. op,cit, hlm 137

(35)

2) Surat yang menimbulkan suatu perikatan

3) Surat yang menimbulkan suatu pembebasan hutang;

4) Surat yang diperuntuhkan sebagai bukti daipada suatu hal;

c. Pemakaian surat tersebut dapat menimbulkan kerugian.

Unsur subjektif:

d. Kesalahan: dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu.

Unsur-unsur yang membentuk rumusan tindak pidana Pasal 263 ayat (1) KUHP sebagai berikut.16

a. Perbuatan membuat palsu (valschelijkopmaaken) dan perbuatan memalsu (vervalschen)

Dalam perumusan pemalsuan surat ayat (1) terdapat dua perbuatan ialah membuat palsu dan memalsu. Bila dihubungkan dengan objeknya sebuah surat, perbuatan yang pertama biasanya disebut sebagai perbuatan membuat surat palsu. Pengertian membuat surat palsu membuat sebuah surat (yang sebelumnya tidak ada surat) yang isi seluruhnya atau pada bagian-bagian tertentu tidak sesuai dengan yang sebenarnya atau bertentangan dengan kebenaran atau palsu. Surat yang dihasilkan oleh perbuatan

16Ibid.hlm 138

(36)

membuat surat palsu ini disebut dengan “surat palsu” atau “surat tidak asli”.

Palsu sebagian isinya juga termasuk pengertian membuat surat palsu- melanggar Pasal 263 ayat (1), misalnya tanggal (tempos) dibuatnya surat, atau nama si pembuat surat, bahkan perbedaan ejaan dari sebuah kata atau nama, asalkan tidak benarnya tersebut dapat menimbulkan kerugian apabila surat yang demikian itu digunakan. Jadi potensialnya timbul kerugiaan dari penggunaan sebuah surat yang isinya palsu atau dipalsu itu harus ada hubungannya dengan pada bagian isi yang palsu tersebut, tidak perlu pada keseluruhan isi surat, potensialnya kerugian itu harus diakibatkan oleh isi yang tidak benar dari surat itu.

Perbuatan yang kedua yang biasa disebut memalsu surat adalah mengubah surat sedemikian rupa, sehingga isinya menjadi lain dari isi yang asli atau sehingga surat itu menjadi lain dari pada yang asli.

Adapun caranya bermacam-macam. Tidak senantiasa perlu, bahwa surat itu diganti dengan yang lain. Dapat pula dilakukan dengan jalan mengurangkan, menambah atau merubah dari surat itu.

Memalsu tanda tangan termasuk dalam pengertian memalsu surat, demikian pula penempelan suatu foto orang lain dari pada pemegang yang berhak dala suatu surat ijazah sekolah, ijazah

(37)

mengemudi (rijbewys), harus dipandang sebagai suatu pemalsuan.17

Jadi dalam pemberian sanksi, yang dihukum menurut Pasal ini tidak saja “memalsukan” surat (ayat (1)), tetapi juga, “sengaja mempergunakan” surat palsu (ayat (2)). “sengaja” maksudnya, bahwa orang yang mempergunakan itu harus mengetahui benar- benar bahwa surat yang ia gunakan itu palsu. Jika ia tidak tau hal itu maka ia tidak dapat dihukum.

Penggunaanya itu harus dapat mendatangkan kerugian. “Dapat”

maksudnya tidak perlu kerugian itu betul-betul sudah ada, baru kemungkinan saja akan adanya kerugian itu sudah cukup. Yang diartikan dengan “kerugian” disini tidak saja hanya kerugian mateial, akan tetapi juga kerugian dilapangan kemasyarakatan, kesusilaan, kehormatan dsb.

Sudah dianggap sebagai mempergunakan, ialah misalnya:

menyerahkan surat itu kepada orang lain yang harus mempergunakan lebih lanjut atau menyerahkan surat itu ditempat dimana surat tersebut dibutuhkan. Dalam hal menggunakan surat palsu inipun harus dibuktkan, bahwa orang itu bertindak seolah-plah surat itu asli dan tidak dipalsukan, demikian pula perbuatan itu harus mendatangkan kerugian.

17R. Soesilo,1995. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Politeia, Bogor. Hlm 195, tgl 22-7-2017, pukul 01.47

(38)

b. Objek: surat yang dapat menimbulkan suatu hak; yang menimbulkan suatu perikatan; yang menimbulkan suatu pembebasan hutang; yang diperuntuhkan sebagai bukti dai suatu hal

Dari sudut objek tindak pidana, pemalsuan surat ini hanya dapat dilakukan terhadap empat macam surat saja, tidak terhadap semua surat. Empat macam surat tersebut ditentukan dari sudut isinya surat.

Bukan pada bagian mana isi surat yang palsu atau yang dipalsu, atau bentuknya surat.

Mengenai pemalsuan surat dengan melihat bentuknya tidak dirumuskan dalam bentuk standar – Pasal 263, namun dirumuskan dalam bentuknya yang khusus atau lex spesialis dalam Pasal-Pasal lainnya dalam Bab XII Buku II. Pemalsuan bentuk-bentuk khusus dalam Pasal-Pasal lainnya juga, objeknya tetap harus memuat salah satu hal isi sebagaimana yang disebut dalam Pasal 263 ayat (1) tersebut.

1) Surat yang dapat menimbulkan hak

Surat yang berisi suatu perikatan pada dasarnya adalah berupa surat yang karena perjanjian yang tertulis dalam surat itu – melahirkan hak tertentu. Ada surat-surat tertentu yang disebut surat formal yang keberadaannya melahirkan suatu hak tertentu.

Surat semacam itu, misalnya cek, bilyet giro, wesel, surat izin mengemudi, ijazah dan sebagainya.

(39)

2) Surat yang menimbulkan suatu perikatan

Dalam setiap perikatan dipastikan melahirkan suatu hak dan sebaliknya juga melahirkan suatu kewajiban hukum pihak lain.

Perikatan yang dimaksuudkan dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP adalah semua bentuk prikatan yang ada dalam hukum perikatan, baik perikatan yang lahir karena perjanjian maupun peikatan yang lahir karena undang-undang sebagaimana diatur dalam KUHPerdata.

3) Surat yang membebaskan hutang

Membebaskan hutang artinya menghapuskan kewajiban hukum untuk membayar/menyerahkan sejumlah uang. Jadi tidak selamanya hutang diartikan sebagai perbuatan hukum hutang- piutang (objeknya uang).

4) Surat yang diperuntukkan bukti mengenai sesuatu hal

Arti diperuntukkan sebagai bukti adalah bahwa surat itu mempunyai nilai pembuktian atau kekuatan pembuktian (bewijksracht). Sebuah surat yang demikian itu karena sifatnya mempunyai nilai pembuktian mengenai isinya. Dalam hal ini ukan pembuat surat yang menentukan nilai pembuktian itu, melainkan undang-undang atau kekuasaan tata usaha negara (administratifgezag).

(40)

3. Tindak Pidana Pemalsuan Surat Dalam KUHP

Pemalsuan surat (valschheid in geschriften) diatur dalam Bab XII buku II KUHP, dari Pasal 263 s/d 276, yang bentuk-bentuknya adalah:18

1) Pemalsuan surat dalam bentuk standar atau bentuk pokok, yang juga disebut sebagai pemalsuan surat pada umumnya (Pasal 263).

2) Pemalsuan surat yang diperberat

(gequalificeerdevalshheidsingeschriftein) (Pasal 264).

3) Menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam akta autentik (Pasal 266).

4) Pemalsuan surat keterangan dokter (Pasal 267 dan 268) 5) Pemalsuan surat-surat tertentu (Pasal 269, 270 dan 271)

6) Pemalsuan surat keterangan pejabat tentang hak milik (Pasal 274)

7) Menyimpan bahan atau benda untuk pemalsuan surat (275)

Kejahatan pemalsuan surat pada umumnya adalah pemalsuan dalam bentuk pokok yang dimuat dalam Pasal 263 KUHP, yang rumusan Pasalnya sebagai berikut.

1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan suatu hak, suatu perjanjian (kewajiban) atay sesuatu pembebasan hutang, atau yan boleh

18Adami Chazari, Ardi Ferdian. Ibid. Hlm. 136

(41)

dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat itu seolah-olah surat itu asli atau tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya itu dapat mendatangkan susuatu kerugian dihukum karenaa pemalsuan surat dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun.

2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum, barangsiapa dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan,kalau hal mempergunakannya dapat mendatangkansesuatu kerugian.

Bagian inti delik (delictsbestandelen).19

- Membuat surat palsu atau memalsukan surat;

- Yang dapat menimbulkan hak, perikatan atau pembebasan hutang atau diperuntuhkan sebagai bukti mengenai suatu hal, perikatan atau pembesasan utang; dan

- Dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain untuk memakai surat tersebut seolah-olah benar dan tidak dipalsu.

Menurut Cleiren, ada dua kepentingan yang akan dilindungi ketentuan ini yaitu:20

19Andi Hamzah, 2009. Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 135.

20Ibid, hlm 136.

(42)

1. Kepentingan umum (publica fide), kepercayaan warga dalam hubungan masyarakat diperhatikan dalam hal ini.

2. Kemungkinan adanya kerugian, tidak perlu telah terjadi, tetapi harus dapat terjadi. Kesulitannya, ialah bagaimana dapat dibuktikan kerugian itu harus dapa terjadi.

Pasal 263 KUHP adalah delik sengaja, kadang-kadang bukan perbuatan sengaja tetapi sengaja sebagai maksud (opzet als oogmerk). Dipidana karena memakai atau menyuruh memakai sebagai asli dan tidak dipalsukan. Ada bagian inti culpa (kelalaian), yang dalam KUHP semuanya delik sengaja, tidak ada delik culpa dalam pemalsuan surat. Pasal 263, 264 dan 266 KUHP adalah delik pemalsuan secara spesifik yang sangat penting bagi pergaulan masyarakat. Pidana tambahan yang diterapkan ialah pencabutan hak dan tidak ada perampasan.

Surat diartikan baik tulisan tangan maupun dicetak termasuk dengan memakai mesin tulis. Tidak menjadi soal, huruf dan angka apa yang dipakai dengan tangan, cetakan atau alat lain termasuk telegram. Pemalsuan surat harus ternyata.21

1. Diperuntuhkan untuk bukti suatu fakta apakah menurut undang- undang atau surat dari kekuasaan administrasi yang dikeluarkan berdasarkan wewenangnya atau juga dengan surat itu dapat timbul hak, suatu perikatan (verbintenis) atau pembebasan hutang.

21ibid

(43)

2. Dibuat palsu.

3. Pembuat mempunyai maksud untuk memakai sebagai asli dan tidak palsu atau menyuruh orang lain memakai.

4. Dengan pemikiran itu dapat ditimbulkan kerugian.

C. Pertanggungjawaban Pidana

1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Dalam hukum pidana konsep liability atau “pertanggungjawaban”

itu merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan.

Dalam bahasa latin ajaran kesalahan ini dikenal dengan sebutan mens rea. Suatu perbuatan tidak mengakibatkan seorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. Doktrin mensrea itu dilandaskan pada maxim actus nonfacitreum nisi mens sit rea, yang berarti “suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pemikiran orang itu jahat”.22

Kesalahan, pertanggungan jawab, dan pidana adalah ungkapan- ungkapan yang terdengar dan digunakan dlalam percakapan sehari- hari, dalam moral, agama dan hukum. Tiga unsur itu berkaitan satu dengan yang lain, dan berakar dalam satu keadaan yang sama yaitu adanya pelanggaran terhadap suatu sistem aturan-aturan. Sistem aturan-aturan ini dapa bersifat luas dan aneka macam (hukum perdata, hukum pidana, aturan moral dan sebagainya). kesamaan dari ketiga-tiganya adalah bahwa mereka meliputi suatu rangkaian aturan

22Erdianto Efendi, op,cit,.hlm.107

(44)

tertentu tentang tingkah lau yang diikut oleh suatu kelompok tertentu.

Jadi sistem yang melahirkan konsepsi kesalahan, pertanggung jawaban dan pemidanaan itu adalah sistem normatif.23

Berpangkal tolak kepada sistem normatif yang melahirkan konsepsi kesalahan, pertanggungan jawab, dan pemidanaan itu, dicobanya menganalisa tentang pertanggungan jawab pidana.

Bertanggung jawab atas sesuatu perbuatan pidana berarti yang bersangkutan secara sah dapat dikenakan pidana karena perbuatan itu.24

Konsep kesalahan geen straf zonder schuld (tiada pidana tanpa kesalahan) sebagai dasar untuk meminta pertanggungjawaban seseorang atau suatu badan hukum dikenal pula di Indonesia.

Walaupun tidak secara tegas disebut dalam KUHP Indonesia tentang adanya asas tiada pidana tanpa kesalahan, namun asas tersebut diakui melalui Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi “ tiada satu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya.”

Berdasarkan pandangan-pandangan tersebut di atas, maka dapat dirumuskan pengertian pertanggungjawaban pidana yaitu sebagai penilaian keadaan dan kemampuan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana apakah ia dapat dimintai

23Ibid,hlm.108

24Ibid,

(45)

pertanggungjawaban atau tidak. Sedangkan untuk menilai bagaimana keadaan tentang terjadinya suatu tindak pidana haruslah diketahui adanya kesalahan dari si pelaku, dan untuk menilai kemampuan si pelaku haruslah dilakukan pengujian kesehatan jiwa si pelaku apakah ia tergolong mampu atau tidak untuk bertanggung jawab.

2. Unsur-Unsur Pertanggungjawaban Pidana

Dalam bukunya, Amir Ilyas menjelaskan dan membagi unsur- unsur pertanggungjawaban pidana menjadi tiga, yaitu mampu bertanggungjawab, kesalahan, serta tidak ada alasan pemaaf.25

a. Mampu BertanggungJawab

Pertanggungjawaban (pidana) menjurus pada pemidanaan petindak, jia telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan dalam undang-undang.

Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang dilarang(diharuskan), seseorang akan dipertanggung jawab pidanakan atas tindakan-tindakan tersebut apabila tindakan tersebut melawan hukum (dan tidak ada peniadaan sifat melawan hukum atau reschtsvaardidigings gronden atau alasan pembenar) untuk itu.

Dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab, maka hanya seseorang yang “mampu bertanggung jawab yang

25Amir Ilyas, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana di (Memahami Tidank Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana sebagai Syarat Pemidanaan, Mahakarya Rangkang Offset, Yogyakarta, hlm. 75.

(46)

dipertanggungjawabkan”. Dikatakan seseorang mampu bertanggungjawab (berekeningsvatbaar), yang menurut E.Y.

Kanter dan S.R. Sianturi memiliki unsur mampu bertanggungjawab antara lain:

1) Keadaan jiwanya:

a) Tidak terganggu dengan penyakit yang terus menerus atau sementara (temporary).

b) Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile, dan sebagainya).

c) Tidak terganggu karena terkejut, hipnotism, amarah yang meluap, pengaruh bawah sadar/reflexe bewenging, melindur / slaapwendel, mengingau karena demam/koorts, dan lain sebagainya.

2) Kemampuan jiwanya:

a) Dapat menginsyafi hakikat dari tindakannya:

b) Dapat menetukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah dilaksanakan atau tidak.

c) Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.

b. Kesalahan

Dalam bukunya, AmirIlyas menjelaskan bahwa kesalahan dianggap ada, apabila dengan sengaja atau karena kelalaian telah melakukan perbuatan yang menimbulkan keadaan atau akibat yang

(47)

dilarang oleh hukum pidana dan dilakukan dengan mampu bertanggungjawab. Berikut ini beberapa jenis kesalahan.26

1) Kesengajaan, terbagi menjadi tiga antara lain:

- Sengaja sebagai niat (ogmerk)

- Sengaja sadar akan kepastian atau keharusan (zekerheidsbewustzjin)

- Sengaja sadar akan kemungkinan (dolus eventualis, mogelijkeheidsbewuitzjin)

2) Kealpaan, terbagi menjadi dua, antara lain:

- Kelalaian berat (culpa lata) - Kelalaian ringan (culpa levis) c. Tidak Ada Alasan Pemaaf

Hubungan pelaku dengan tindakannya ditentukan oleh kemampuan bertanggungjawab dari pelaku. Ia menginsyafi hakikat dari tindakan yang dilakukannya, dapat mengetahui ketercelaan dari tindakannya dan dapat menentukan (akan) melaksanakan tindakan itu, maka bentuk hubungan tersebut itu adalah sengaja atau alpa. Dan untuk penentuan tersebut, bukan akibat dari dorongan sesuatu, yang jika demikian penentuan itu berada di luar kehendaknya sama sekali.

Adapun yang dimaksud alasan pemaaf menurut Amir ilyas dalam bukunya “ asas-asas hukum pidana” terdiri atas:27

26Ibid, hlm 77.

(48)

1) Daya paksa relatif (overmacht), Pasal 48 KUHP

2) Pembelaan terpaksa melampaui batas ( noodweer) Pasal 49 ayat (2) KUHP

3) Perintah jabatan yang tidak sah, namun ketika melakukan perbuatan pelakunya mengirah sah ( Pasal 52 ayat (2) KUHP).

D. Teori Pemidanaan

1. Pengertian Pemidanaan

Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya diartikan sebagai hukum, sedangkan “pemidanaan” diartikan sebaga suatu tindakan terhadap seorang penjahat, dapat dibenarkan secara normal bukan terutama karena pemidanaan itu mengandung konsekuensi- konsekuensi positif bagi si terpidanan, korban, dan juga masyarakat.

Karena itu teori ini disebut juga teori konsekunsialisme. Pidana dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat tetapi agar pelaku kejahatan tidak lagi berbuat jahat dan orang lain takut melakukan kejahatan serupa.

Pernyataan di atas, terlihat bahwa pemidanaan itu sama sekali bukan dimaksudkan sebagai upaya balas dendam melainkan sebagai upaya pembinaan bagi seorang pelaku kejahatan sekaligus sebagai upaya preventif terhadap terjadinya kejahatan serupa. Pemberian

27Ibid, hlm 91

(49)

pidana atau pemidanaan dapat benar-benar terwujudkan apabila melihat beberapa tahap perencanaan sebagai berikut :28

1) Pemberian pidana oleh pembuat undang-undang;

2) Pemberian pidana oleh badan yang berwenang;

3) Pemberian pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang.

Dalam KUHP, pinjatuhan pidana pokok hanya boleh satu macam saja dari tindakan pidana yang dilakukan, yaitu salah satu pidana pokok yang diancamkan secara alternatif pada Pasal tindak pidana yang bersangkutan. Untuk pidana pokok masih dapat satu atau lebih pidana tambahan seperti Pasal 10b KUHP, dikatakan “dapat” berarti penambahan pidana tersebut adalah fakultatif. Jadi pada dasarnya dalam sistem KUHP ini tidak diperbolehkan dijatuhi pidana tambahan mandiri tanpa penjatuhan pidana pokok.

2. Teori Tentang Tujuan Pemidanaan

Ada beberapa teori-teori yang telah dirumuskan oleh para ahli untuk menjelaskan secara mendetail mengenai pemidanaan dan tujuan sebenarnya untuk apa pemidanaan itu dijatuhkan. Menurut Adami Chazahi, teori pemidanaan dapat dikelompokkan dalam tiga golongan besar29, yaitu toeri absolut atau teori pembalasan (vergeldingstheorien), teori relatif atau teori tujuan (doel theorien), dan teori gabungan (vernegins theorien).

28Ibid, hlm 95

29Ibid, hlm 97

(50)

a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan (VergeldingsTheorien)

Aliran ini yang menganggap sebagai dasar dari tujuan hukum pidana adalah alam pemikiran untuk pembalasan. Teori ini dikenal pada akhir abad 18 yang mempunyai pengikut-pengikut seperti Immanuel Kant, Herbart, Stahl dan Leo Polak.

Kant mengemukakan bahwa pembalasan atau suatu perbuatan melawan hukum adalah suatu syarat mutlak menurut hukum dan keadilan, hukuman mati terhadap penjahat yang melakukan pembunuhan berencana mutlak dijatuhkan.

b. Teori Relatif atau Teori Tujuan (DeolTheorien)

Teori ini yang memberikan dasar pikiran bahwa dasar hukum dari pidana adalah terletak pada tujuan pidana itu sendiri. Oleh karena pidana itu mempunyai tujuan-tujuan tetentu, maka disamping tujuan lainnya terdapat pula tujuan pokok berupa mmpertahankan ketertiban masyarakat (de handhaving der maat shapoljikeorde).

Mengenai cara mencapai tujuan ini ada beberapa paham yang merupakan aliran-aliran dari teori tujuan preventi khusus dan umum. Prevensi khusus adalah bahwa pencegahan kejahatan melalui pemidanaan dengan maksud mempengaruhi tingkah laku terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana lagi. Pengaruhnya ada pada terpidana itu sendiri dengan harapan agar si terpidana

(51)

dapat berubah menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi masyrakat. Sedangkan prevensi umum bahwa pengaruh pidana adalah untuk mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat untuk tidak melakukan tindak pidana.

c. Teori Gabungan (verenigingstheorien)

Disamping dari teori absolut dan teori relatif tentang pemidanaan, muncul teori ketiga yang disatu pihak mengakui adanya unsur pembalasan dalam hukum hukum pidana, akan tetapi di pihak lain juga mengakui pula unsur prenvensi dan memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap terpidana. Teori ketiga ini muncul karena terdapat kelemahan dalam kedua teori tersebut.

3. Jenis-Jenis Pidana

Dalam hukum pidana Indonesia dikenal 2 (dua) jenis pidana yang yang diatur dalam Pasal 10 KUHP yakni:

1) Pidana Pokok a. Pidana mati;

b. Pidana penjara;

c. Pidana kurungan; dan d. Pidana denda.

2) Pidana Tambahan

a. Pencabutan hak-hak tertentu;

(52)

b. Perampasan barang-barang tertentu; dan c. Pengumuman putusan hakim.

Adapun mengenai kualifikasi urutan-urutan dari jenis-jenis pidana tersebut adalah didasarkan pada berat ringannya pidana yang diaturnya, yang terberat adalah yang disebutkan terlebih dahulu.

Keberadaan pidana tambahan adalah sebagai tambahan terhadap pidana-pidana pokok, dana biasanya bersifat fakultatif (artinya dapat dijatuhkan atau tidak).

Perbedaan pidana pokok dan pidana tambahan adalah:

1) Pidana tambahan hanya dapat ditambahkan kepada pidana pokok, kecuali dalam perampasan barang-barang tertentu terhadap anak-anak yang diserahkan kepada pemerintah.

(pidana tambahan ini ditambahkan bukan kepada pidana pokok melainkan pada tindakan).

2) Pidana tambahan tidak mempunyai keharusan sebagaimana halnya pada pidana pokok, sehingga sifat dari pidana tambahan ini adalah fakultatif (artinya dapat dijatuhkan atau tidak).

3) Mulai berlakunya pencabutan hak-hak tertentu tidak dengan suatu tindakann eksekusi melainkan diberlakukan sejak hari putusan hakim dapat dijatuhkan.

(53)

E. Alasan Pengecualian, Pengurangan dan Penambahan Pidana

Dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) ternyata pembuat undang-undang tidak memerhatikan banyak hal yang konkrit.

Hal ini terlihat dari adanya beberapa ketentuan yang memuat alasan- alasan yang mengecualikan dijatuhkannya pidana, mengurangi dan menambah pidana. Alasan-alasan pengecualian atau dasar penghapusan pidana merupakan hal-hal atau keadaan yang dapat mengakibatkan seseorang yang telah melakukan perbuatan yang tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh KUHP tidak dihukum karena orangnya tidak dapat dipersalahkan dan perbuatannya tidak lagi merupakan perbuatan yang melawan hukum.

Di dalam Bab I dab Bab II KUHP memuat alasan-alasan yang menghapuskan, mengurangkan dan memberatkan pidana. Di dalam KUHP dijelaskan mengenai alasan menghapus pidana, mengemukakan alasan-alasan tidak dapat dipertangungjawabkannya atau alasan-alasa tidak dapat dipidananya seseorang adalah, yaitu:

1. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak pada diri orang itu (inwendig)

2. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak di luar orang itu.

Alasan-alasan pengecualian terdapat dalam :

(54)

1. Hukum yang tertulis, contohnya hak orang dan guru untuk mendidik anak-anak dan hak dokter untuk mengobati atau mengoprasi pasiennya.

2. Hukum yang tidak tertulis, contohnya hak dukun di kampung untuk menyunat dan tidak ada pidana tanpa kesalahan.

Alasan-alasan pengecualian pidana atau strafuitsluitingsgroden dalam KUHP dibagi atas :

1. Alasan pengecualian pidana yang umum berlaku untuk tiap-tiap delik, terdapat dalam Pasal 48 KUHP (overmacht), Pasal 49 ayat (1) dan (2) KUHP (noodweer dan noodweerexes), Pasal 44 KUHP (tidak sempurna jiwa dan akal), Pasal 51 KUHP (melaksanakanperintah jabatan yang sah).

2. Alasan pengecualian pidana yang khusus yang hanya berlaku terhadap delik-delik tertentu yang terdapat dalam Pasal 116,221 ayat (2), 310 ayat (3), dan 367 ayat (1) KUHP.

Alasan-alasan pengecualian pidana umum ini dapat dibagi atas:

1. Alasan pembenar (rechtvaardigingsgronden)

Alasan-alasan pembenar adalah alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan,sehingga meskipun perbuatan itu sesuai dengan lukisan tertentu yang dilarang dalam undang-undang, bukanlah suatu perbuatan pidana. Alasan-alasan pembenar terdiri dari:

a. Daya paksa relatif (relativeovermacht)

(55)

b. Pembelaan darurat (noodweer)

c. Menjalankan ketentuan undang-undang

d. Melaksanaka perintah jabatan dari pejabat yang berwenang.

2. Alasan pemaaf (schuilsuitsluitngsgronden)

Alasan-alasan pemaaf adalah alasan yang menghapuskan kesalahan pembuat. Perbuatan yang dilakukan itu tetap bersifat melawan hukum tetapi tidak dipidana karena tidak ada kesalahan.

Alasan-alasan pemaaf terdiri dari:

a. Tidak mampu bertanggungjawab

b. Daya paksa mutlak (absoluteovermacht).

c. Pembelaan yang melampaui batas.

d. Melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah.

F. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menjatuhkan Putusan

Jika Hakim menjatuhkan pidana harus dalam rangka menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seorang. Jadi, bukan hanya balas dendam, rutinitas pekerjaan ataupun yang bersifat formalitas. Memang apabila kita kembali pada tujuan hukum pidana, secara sederhana adalah untuk menemukan kebenaran materil. Bahkan sebanarnya tujuannya lebih luas yaitu tujuan hukum pidana adalah mencari dan menemukan kebenaran materiil itu hanya merupakan tujuan antara. Artinya ada tujuan akhir yaitu yang menjadi tujuan seluruh tertib

(56)

hukum Indonesia, dalam hal itu mencapai suatu masyarakat yang tertib, tentram, damai, adil, dan sejahtera.30

Prakter sehari-hari, baik Penuntut Umum maupun Hakim, faktor-faktor yang dikemukakan dalam tuntutan dan penjatuhan pidana adalah dua hal pokok yaitu hal-hal yang meringankan dan memberatkan. Faktor-faktor yang meringankan antara lain, terdakwa masih muda, berlaku sopan, dan mengakui perbuataannya. Faktor-faktor yang memberatkan misalnya memberi keterangan yang berbelit-belit, tidak mengakui perbuatannya, meresahkan masyarakat, merugikan negara dan sebagainya.

Sifat-sifat yang jahat maupun yang baik dari tertuduh wajib diperhatikan Hakim dalam mempertimbangkan pidana yang akan dijatuhkan. Keadaan pribadi seseorang perlu diperhitungkan untuk memberi pidana yang setimpal dan seadil-adilnya. Keadaan pribadi tersebut bisa diperolah dari keterangan orang-orang yang dilingkungannya, rukun tetangganya, dokter ahli jiwa, dan sebagainnya.

Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan juga wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (vide Pasal 27 ayat (1) undang-undang nomor 14 tahun 1970). Mengapa demikian? Mengingat masyarakat masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam pergolakan dan peralihan, Hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup dikalangan masyarakat. Untuk itu, harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk

30Bambang Waluyo, 2008, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, jakarta, hlm 89.

Referensi

Dokumen terkait

1. Para migran beranggapan bahwa pendapatan yang dihasilkan di Malaysia atau Arab Saudi lebih banyak daripada pendapatan mereka yang hanya bekerja di daerahnya

Seperti halnya Kebudayaan Barongsai yang dilakukan oleh masyarakat Tionghoa atau etnis Cina di Bagansiapiapi yang merupakan suatu tradisi atau kebudayaan yang dilakukan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, reliability (kehandalan) dari Galeri Indosat Solo yang ditunjukkan dengan kehandalan dalam bentuk prosedur pelayanan, kesiapan dan kesigapan

ngan bukti fisik yang semakin meningkat ma- ka dapat meningkatkan kepuasan konsumen Arfa Barbershop di Surakarta, dengan asumsi variabel keandalan, daya tanggap,

Setelah rangkaian sensor force sensitive resistor selesai dirangkai pada arduino maka program di upload pada arduino. Kemudian dipasang pada instrumen pengujian yaitu pada

Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Pekanbaru merupakan instansi publik yang menyelenggarakan pelayanan publik dibidang kependudukan dan pencatatan sipil,

Berdasarkan data keuangan pada PT. Berdasarkan hasil hipotesis tersebut diketahui bahwa kinerja keuangan PT.Modernland Realty Tbk menjadi lebih baik setelah

2, Desember 2014 dan Penarikan Varietas yang responsif dan akomodatif terhadap prinsip kehati-hatian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di