• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hermeneutika Trauma: Membaca Ulang Markus 5:25-34 sebagai Narasi Trauma dan Pemulihan 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Hermeneutika Trauma: Membaca Ulang Markus 5:25-34 sebagai Narasi Trauma dan Pemulihan 1"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

1 Webinar Lembaga Alkitab Indonesia Sabtu, 21 Agustus 2021 Septemmy E. Lakawa, Th.D.

Hermeneutika Trauma:

Membaca Ulang Markus 5:25-34 sebagai Narasi Trauma dan Pemulihan1

Trauma memiliki beragam definisi. Umumnya trauma dilekatkan pada kondisi psikologis seseorang pasca peristiwa besar, yang tidak dapat dikelola olehnya. Trauma tidak hanya terjadi pada seseorang atau individu, namun secara kolektif dapat terjadi pada sebuah komunitas. Trauma merampas kemampuan seseorang atau komunitas untuk merespons hal yang biasanya dapat direspons dengan baik. Oleh karena itu, untuk tidak terjebak pada luasnya definisi trauma, saya memilih beberapa definisi yang umumnya digunakan dalam studi trauma.

Beberapa ahli mendefinisikan trauma. Sigmund Freud mengartikan trauma sebagai luka yang diderakan pada pikiran atau ingatan. Cathy Caruth mendefinisikan trauma sebagai suara luka. Menurut Judith Herman trauma sebagai sebuah peristiwa yang mengancam hidup, “life-threatening event”. Sementara itu, Shelly Rambo, seorang teolog, memberi definisi trauma sebagai penderitaan yang tersisa, yang tidak kunjung pergi. Dari pengertian- pengertian tersebut diperlihatkan bahwa peristiwa traumatis dapat terjadi baik secara individual maupun komunal.

Trauma dan Pemulihan

Trauma disebabkan oleh beragam hal dan peristiwa termasuk kekerasan dan stigma.

Peristiwa trauma tersebut meninggalkan efek negatif pada tubuh, spiritual, psikologis dan kehidupan sosial seseorang. Oleh karena itu, diperlukan respons yang tepat untuk menolong mereka yang mengalami trauma untuk pulih dari kondisi tersebut. Judith Herman dalam bukunya yang berjudul Trauma and Recovery menjelaskan tiga langkah pemulihan trauma.

Pertama, rasa aman dan keamanan. Kedua hal ini mesti diciptakan oleh orang yang

mengalami trauma akibat kekerasan. Kedua, mengingat dan meratap. Orang yang mengalami trauma biasanya tidak langsung bisa menceritakan pengalaman yang ia alami. Namun, jika rasa aman sudah tersedia, kemungkinan penyintas dapat ditolong dan didampingi untuk menceritakan apa yang terjadi. Proses penceritaan tersebut dapat dilakukan dalam berbagai bentuk. Pada tahap ini yang terpenting adalah cara orang mengingat diwadahi secara baik, sehingga ketika mengingat peristiwa, penyintas dapat meratap tanpa harus putus harapan.

1 Beberapa bagian dari materi ini, khususnya tentang interpretasi Markus 5:25-34 sudah pernah saya sampaikan dalam presentasi pendalaman Alkitab online, Kelompok Biblika Progresif, Agustus 2020; tentang hermeneutika trauma secara garis besar sudah saya sampaikan pada presentasi online Preachers Without Borders (November 2020). Pada presentasi ini kedua bagian tersebut digunakan dan disesuaikan. Bagian tentang hermeneutika retak diambil dari khotbah online pada Ibadah Luther Seminary, Agustus 2021. Tetapi pada presentasi ini bagian tersebut baru pertama kali dikembangkan dalam konteks analisis yang lebih mendalam.

(4)

2 Ketiga, terhubung dan terintegrasi kembali dengan orang lain. Trauma menyebabkan

seseorang mengalami putusnya hubungan dalam ruang-ruang sosial, termasuk orang

terdekat. Pada fase ketiga, seseorang dihubungkan kembali dengan apa yang sudah terputus akibat peristiwa trauma.

Trauma Ruptures Theology Cathy Caruth mengatakan:

Trauma seems to be much more than a pathology, or the simple illness of a wounded psyche: it is always the story of a wound that cries out, that addresses us in the attempt to tell us of a reality or truth that is not otherwise available. This truth, in its delayed appearance and its belated address, cannot be linked only to what is known, but also to what remains unknown in our very actions and our language (Cathy Caruth 1996, 4).

Dari pemaparan Caruth, kita dapat melihat bahwa trauma bukan sesuatu yang sederhana, namun hal tersebut nyata terjadi di dalam kehidupan baik seseorang maupun komunitas termasuk gereja. Dalam konteks teologi, trauma dengan segala kompleksitasnya sebenarnya mengganggu teologi. Trauma mengganggu teologi yang umumnya dilihat sebagai jawaban dan kepastian atas semua persoalan. Misalnya, dalam pengajaran gereja-gereja ada

pemahaman bahwa pada akhirnya persoalan termasuk luka akan pulih atau sembuh. Namun studi trauma memperlihatkan bahwa ada sesuatu yang tertinggal pada ingatan seseorang akibat peristiwa terjadi yang memberikan beragam macam efek pada mental dan tubuh seseorang. Menurut Rambo, teologi Protestan yang cenderung menghapus luka (erasing wounds) harus diganggu dan digugat demi menghasilkan respons teologis yang relevan bagi pengalaman dan fenomena trauma.

Salah satu cara untuk mengganggu dan menggugat teologi yang mengabaikan pengalaman trauma adalah dengan pembacaan teks-teks Alkitab dengan menggunakan perspektif trauma. Dalam membaca teks Alkitab kita perlu melakukan interpretasi kembali agar kita dapat terlibat memberi kontribusi terhadap upaya pemulihan trauma. Menurut Caruth dan Rambo diperlukan sebuah cara baca yang mempertimbangkan apa yang terjadi pada mereka yang mengalami trauma. Secara teologis, dengan menggunakan lensa baru, apa yang dapat kita temukan, termasuk kehendak Allah ketika kita membaca teks Alkitab?

Membaca Alkitab dengan perspektif trauma menolong kita untuk melihat sejauh mana tanggung jawab kita sebagai gereja sekaligus masyarakat untuk terlibat dalam pemulihan yang holistik.

Hermeneutika Trauma: Apa, Mengapa, dan Bagaimana?

Christopher Frechette dan Elizabeth Boase dalam buku Bible Through the Lens of Trauma mengatakan bahwa “trauma hermeneutics is used to interpret texts in their historical contexts and as a means of exploring the appropriation of texts, in contexts both past and present”

(Frechette and Boase 2016, 2). Hermeneutika trauma bersifat mulitidimensi dan multi arah.

(5)

3 Artinya, ia tidak dapat menjadi sebuah dispilin atau fokus riset tunggal tanpa memanfaatkan sumber-sumber lain. Hermeneutika trauma menjadikan trauma sebagai lensa dalam tafsir Alkitab. Lensa ini bersifat multidimensi dan multiarah karena ia digunakan dalam dialog dengan kerangka teoritis dan disiplin keilmuan yang beragam (bd. 2). Teologi trauma bersifat interdisipliner: psikologis, sosiologis, teologis, sastra, kultural, estetika/seni (bd.3 dan 4).

Hermeneutika adalah proses pemaknaan. Pemaknaan tersebut kemudian mewujud menjadi sebuah tawaran pemikiran yaitu konstruksi teologis trauma. Hermeneutika trauma dan juga pendekatan konstruksi trauma pada akhirnya menghasilkan narasi trauma.

Judith Butler mengatakan the loss of meaning, yaitu hilangnya makna pada sebuah peristiwa. Hal ini terjadi pada trauma, di mana memori seseorang terganggu dan ia tidak mampu menyusun kembali ingatan yang terjadi pada dirinya. Pada umumnya orang yang mengalami trauma tidak mampu memberi makna pada peristiwa yang ia alami. Di sini, fungsi teologi pada konteks trauma adalah memberi kerangka teologis yaitu bagaimana makna itu dapat muncul atas peristiwa traumatis seperti kekerasan yang terjadi pada seseorang. Dari sini proses pemulihan juga terjadi.

Hermeneutika trauma sekaligus adalah hermeneutika pemulihan. Ia memberi kerangka teologis yang baru kepada seseorang atau komunitas yang mengalami trauma, sehingga trauma tidak menghilangkan makna, melainkan dengan perspektif yang baru, menghasilkan makna yang baru. Dengan demikian teologi yang saya kembangkan merujuk pada Shelly Rambo, bukan semata-mata sistematika dari berbagai macam pemikiran, tetapi teologi sebagai sebuah diskursus pemulihan, yang tidak mengasingkan pengalaman ragawi. Di sini saya juga hendak menekankan bahwa tubuh sebagai bagian penting dalam proses pemulihan.

Model Hermeneutika Trauma

Saya menawarkan empat model hermeneutika trauma antara lain Hermeneutics of Rupture (Hermeneutika Retak), Hermeneutics of the Unsayable (Hermeneutika Tak tertutur),

Hermeneutics of Resilience (Hermeneutika Daya lenting) dan Hermeneutics of Remaining (Hermeneutika Tertinggal/Tersisa). Namun, saya akan berfokus pada model hermeneutika retak dalam kaitannya dengan menafsir atau membaca kembali kisah dalam Markus 5:25-34.

Hermeneutics of Rupture (Hermeneutika Retak)

Rupture diartikan sebagai pecah atau retak. Rupture adalah sebuah kondisi ketika

pengalaman tertentu tidak lagi sama dengan yang sebelumnya. Rupture atau retak digunakan sebagai sebuah analogi untuk membahasakan pendekatan hermeneutika yang digunakan untuk membahas teks Markus tersebut. Saat ini saya lebih memilih menggunakan kata retak sebagai analogi untuk memperlihatkan bahwa di tengah retak tersebut ada cahaya. Analogi ini akan menolong kita membandingkan satu kondisi dengan kondisi lainnya.

(6)

4 The hermeneutic of rupture disrupts, discerns, and disorders faith claims and narratives

that negate wounds. It re-imagines and reconfigures sacred texts, symbols, and narratives from the complex elision of wounds and healing and reconstructs a theology and praxis of life that persists and a love that remains in the abyss of the wounds (Lakawa 2018, 337).

Hermeneutika retak mengganggu, menyelidiki, dan mengacaukan klaim-klain iman dan narasi-narasi yang mengabaikan luka [trauma]. Hermeneutika ini mengimajinasikan ulang, mengonfigurasi teks-teks, simbol, dan narasi suci dari kompleksitas kelindan-senyap antara luka [trauma] dan pemulihan dan merekonstruksi sebuah teologi dan praksis hidup yang bertahan dan sebuah cinta yang menetap di kedalaman jurang luka [trauma].

Destigmatisasi Identitas dan tubuh Perempuan.

Hermeneutika trauma hendak membaca kembali Alkitab dari sudut pandang trauma, demi meluruhkan stigma religius terhadap tubuh perempuan yang sebenarnya telah menyebabkan trauma bagi perempuan. Stigma, pelekatan pada identitas seseorang yang dianggap normal dan akhirnya menjadi sebuah kebenaran sangat sulit untuk didekonstruksi atau di destigmatisasi. Namun, upaya membaca ulang Alkitab dari lensa trauma memberi perspektif pembebasan yang berdampak bagi mereka yang mengalami trauma. Membaca Alkitab dari sudut pandang trauma adalah bagian dari proses pemulihan trauma yang holistik.

Namanya Veronika Bukan “Perempuan yang Sakit Pendarahan” (Markus 5:25-34) Kisah dalam Markus 5:25-34 menceritakan pengalaman sakit pendarahan seorang perempuan, yan g pada akhirnya pengalaman tersebut menjadi label baginya. Ia yang mestinya memiliki nama, disebut atau dilekatkan dengan kondisinya sehingga pembaca mengenalnya sebagai perempuan yang sakit pendarahan. Di sini, hermeneutika trauma hendak melakukan dekonstruksi, destigmatisasi, dan melekatkan kembali perempuan tersebut pada namanya, yaitu Veronika. Dengan hermenutika trauma kita melihat kisah Veronika dari kacamata yang berbeda dan menemukan pemaknaan baru dari kisahnya.

Saat ini kita membaca kisah Veronika sebagai narasi retak (a narrative of rupture). Markus 5 sebagai lanskap retak (a landscape of rupture) yang terdiri dari dua hal yaitu The Postures of Rupture (Postur Retak) dan The Plot of Rupture (Plot Retak).

Pertama, the posture of rupture. Pada Markus 5: 1-20, teks ini menceritakan apa yang terjadi pada orang Gerasa, dan pada ayat 21-24 tentang Yairus. Sementara pada ayat 25-34, kisah Veronika menjadi semacam sisipan yang dianggap tidak penting. Pada ayat 35-43 diceritakan tentang Yairus dan anaknya. Jika kita melihat, kisah Veronika yang diceritakan di tengah kisah orang Gerasa dan Yairus serta anaknya tersebut telah mengganggu alur dan penokohan dalam cerita Markus 5 ini. Sebuah retakan terjadi dalam narasi tersebut. Dari retakan inilah, tafsiran atau pembacaan atas kisah Markus 5 ini dilakukan.

(7)

5

“Siang malam ia berkeliaran di pekuburan dan di bukit-bukit sambil berteriak-teriak dan memukuli dirinya dengan batu. Ketika ia melihat Yesus dari jauh, berlarilah ia mendapatkan- Nya lalu menyembah-Nya dan dengan keras ia berteriak . . .” (5:5-7a).

Pada ayat 1-20 tentang orang Gerasa berdiri di hadapan Yesus, bersuara nyaring, berteriak-teriak. Yesus berdiri di depan orang Gerasa, mendengar teriakannya, dan

melihatnya.Pada bagian ini kita menyadari bahwa ada suara-suara yang keluar dan didengar oleh Yesus, sementara pada bagian Veronika, suaranya tidak terdengar atau senyap dan hilang.

”dia sudah mendengar berita-berita tentang Yesus, maka di tengah-tengah orang banyak itu ia mendekati Yesus dari belakang dan menjamah jubah-Nya.” (5:27).

Veronika membungkuk di belakang Yesus, tak bersuara, menyentuh jubah Yesus. Ini adalah postur pertama yang diperlihatkan oleh Veronika. Sementara itu, Yesus berdiri membelakangi Veronika, tak mendengar suaranya, dan tak melihatnya. Ini merupakan postur kedua yang diperlihatkan dalam kisah Veronika. Di sini rupture terwujud dalam dua postur retak yang paradoks, yaitu postur berdiri versus membungkuk, tak terdengar versus terdengar,

menghadap versus membelakangi. Kedua postur retak ini terhubung secara paradoksal dan mengganggu fokus pembaca yang diarahkan hanya pada salah satu dari bagian narasi ini.

Jika kita melihat keseluruhan kisah ini dalam Markus 5 dan secara spesifik melihatnya dari sudut pandang Veronika, maka kita akan melihat adanya retakan-retakan di dalamnya yang perlu didalami.

Kedua, the plot of rupture. Plot retak berarti adanya narasi yang retak. Kelindan antara postur retak dan plot retak membentuk narasi retak. Di dalam Markus 5, Veronika

mengatakan: “Sebab katanya: ‘Asal kujamah saja jubah-Nya, aku akan sembuh.” Seketika itu juga (immediately, at once) berhentilah pendarahannya dan ia merasa, bahwa badannya sudah sembuh dari penyakitnya.” Pada ketika itu juga (εὐθὺς, immediately, at once), Yesus

mengetahui, bahwa ada tenaga yang keluar dari diri-Nya, lalu Ia berpaling di tengah orang banyak dan bertanya: ‘Siapa yang menjamah jubah-Ku?” (5:29-30).

Ada dua kata yang sama dalam bahasa Yunani εὐθὺς yang diterjemahkan sebagai

seketika itu juga dan pada itu juga. Ini berarti, sesuatu terjadi secara berkelindan. Di saat yang sama, ada peristiwa menyentuh terjadi sekaligus peristiwa di mana Yesus menyadari ada sesuatu yang keluar dari diri-Nya, sehingga membuat-Nya bertanya siapa yang menjamah jubah-Nya. Peristiwa ini merupakan keretakan yang menjadi daya dan kekuatan di dalam pembacaan ulang atas teks ini. Peristiwa ini berbeda dengan kisah Yesus dan orang Gerasa, di mana pertanyaan Yesus kepada orang Gerasa bersifat langsung dan memperlihatkan bahwa Yesus melihat orang itu—”siapa namamu?” (5:9). Sementara itu, jika kita bandingkan dengan peristiwa Veronika, pertanyaan Yesus kepada Veronika bersifat tidak langsung dan

mengindikasikan bahwa Yesus tidak mengetahui orang yang menyentuh jubah-Nya—”siapa yang menjamah jubah-Ku? (5:30). Di sini sebuah image yang berbeda tentang Yesus muncul.

Yesus tidak diperlihatkan sebagai maha yang mengetahui.

Dari kisah Veronika, kita melihat bahwa yang sakit yang datang menyentuh Tuhan (yang sakit, yang rapuh, kini kembali menjadi subjek). Veronika kini menjadi simbol dari

(8)

6 subjektivitas, pengakuan, dan penerimaan terhadap mereka yang dipinggirkan dan

didiskriminasi karena penyakit mereka atau situasi dan kondisi mereka yang membuat menjadi objek dari stigma.

Tenaga Tuhan keluar dari tubuh-Nya tanpa terkontrol. Gerakan pemulihan ini berbeda dari banyak klaim orang beragama yang menjadikan penyakit sebagai stigma religius (dosa) dan stigma sosial (terpinggir/terdiskriminasi); yang sakit menjadi objek dan tak punya suara untuk membuat keputusan. Sang Penyembuh menjadi rapuh (vulnerable healer) ketika

tenaga/kuasa pemulihan-Nya keluar dari diri-Nya atas ratapan senyap tubuh sang sakit.

Kuasa/tenaga/energi itu keluar tanpa memilah, tanpa memilih. Ia keluar dari tubuh Tuhan dan meresapi tubuh Veronika, tanpa saksi dan tanpa pengamatan dari publik. Di ruang publik itu, sebuah momentum pemulihan terjadi tanpa suara, senyap, tetapi meretakkan stigma, prasangka sosial dan religius tentang tubuh perempuan dan penyakit. Di ruang publik itu, sebuah laku pemulihan terjadi, tetapi tanpa saksi. Di sini, murid-murid Yesus dan orang banyak gagal menjadi saksi. Pemulihan membutuhkan saksi. Kesaksian atau

penyaksian kristiani adalah bagian dari proses pemulihan yang utuh.

Narasi retak menjadikan Veronika sebagai tokoh utama. Pengalaman perempuan yang distigma akibat tubuh sakitnya digunakan sebagai perspektif/lensa/sudut pandang utama dalam membaca kembali narasi dalam Markus 5.

Refleksi

Dari kisah Veronika dan pemulihan yang dilakukan Tuhan kepadanya, saya berefleksi bahwa Tuhan sebagai Pemulih menjadi rapuh. Energi Pemulih keluar dan memperlihatkan bahwa tubuh Pemulih menjadi rapuh untuk merasakan dan mengalami kerapuhan Veronika.

Jika Tuhan tetap pada posisi maha kuasa, maka Ia tidak mengalami apa yang dirasakan oleh Veronika.

Di dalam kisah Veronika, kerapuhan Tuhan berjumpa dengan kerapuhannya. Veronika tidak berani datang ke hadapan Tuhan karena menyadari bahwa stigma sangat melekat kuat pada dirinya. Namun Veronika menyakini, dengan menyentuh jubah Yesus, maka ia akan sembuh. Ini adalah suara yang dikeluarkan melalui trauma yang dialami Veronika. Hal inilah yang sebenarnya hendak disampaikan Markus kepada kita yaitu mendengar suara trauma.

Kisah Veronika ini juga hendak mengatakan kepada kita bahwa bukan Penyembuh yang menyentuh siapa yang sakit, sebaliknya Veronika yang menyentuh jubah Pemulihnya. Hal ini menyimbolkan dua hal paradoks yaitu jarak antara Sang Penyembuh, namun pada saat yang sama ada kondisi yang sangat intim terbangun. Veronika percaya pada Tuhan, sehingga energi Tuhan masuk ke dalam tubuhnya. Di sini, yang intim yang berjarak, yang privat dan yang publik terjadi secara bersamaan tanpa kekerasan. Hal ini sebenarnya menjadi bagian dari orientasi pemulihan yaitu seseorang pulih tanpa menjadi bagian dari kekerasan.

Refleksi ini mengingatkan kita bahwa Veronika melalui pemulihan yang ia alami

dibebaskan dari stigmatisasi. Jadi, pemulihan itu sendiri adalah pembebasan. Veronika bebas dari sistem yang tidak adil yang mewujud dalam stigma yang diberikan padanya. Ia juga bebas untuk menciptakan dunia baru bagi dirinya sendiri, baik secara sosial, psikologis,

(9)

7 medis, dsb. Veronika adalah saksi bahwa pemulihan itu penting dan ia menjadi saksi

pemulihan Tuhan.

Daftar Acuan:

Boase, Elizabeth and Christopher G. Frechette. 2016. Bible through the lens of trauma.

Atlanta, GA: SBL Press.

Caruth, Cathy. 1996. Unclaimed experience: Trauma, narrative, history. Maryland: The Johns Hopkins University Press.

Herman, Judith L. 1997. Trauma and recovery: The aftermath of violence-from domestic abuse to political teror. New York: Basic Books.

Lakawa, Septemmy E. Lakawa, Septemmy E. Teaching Trauma and Theology Inspires Lives of Witnessing Discipleship. Dalam International Review of Mission Vol 107. Nu 2 (2018): 331-346.

(10)

LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS SEBAGAI NARASUMBER SEMINAR LEMBAGA ALKITAB INDONESIA

21 AGUSTUS 2021

1. Sebagai dosen tetap STFT Jakarta yang mengampu studi teologi trauma, saya diundang sebagai pembicara pada kegiatan Seminar Alkitab yang diselenggarakan oleh Lembaga Alkitab Indonesia. Seminar ini adalah satu dari rangkaian seminar Alkitab yang diselenggarakan secara rutin dalam rangka memberikan pemahaman Alkitab dengan beragam perspektif kepada umat. Secara khusus seminar kali ini menelusuri kedalaman Alkitab dari perspektif feminis trauma.

2. Saya menyampaikan materi berjudul “Hermeneutika Trauma: Membaca Ulang Markus 5:25-34 sebagai Narasi Trauma dan Pemulihan”. Materi yang saya sampaikan berfokus pada pentingnya membaca Alkitab dengan perspektif atau lensa trauma. Hermeneutika trauma bersifat multidimensi dan multiarah yang

memperlihatkan peran teologi pada konteks trauma, yang memberi kerangka teologis dan pemaknaan pada peristiwa traumatis yang berujung pada upaya pemulihan. Ini berarti hermeneutika trauma pada saat yang sama adalah hermeneutika pemulihan.

Hermeneutika trauma ini berperan untuk menolong komunitas atau seseorang yang mengalami trauma dapat menemukan makna baru dari peristiwa tersebut. Dalam seminar ini saya menawarkan beberapa model hermeneutika trauma antara lain:

Hermeneutics of Rupture (Hermeneutika Retak), Hermeneutics of the Unsayable (Hermeneutika Tak tertutur), Hermeneutics of Resilience (Hermeneutika Daya lenting) dan Hermeneutics of Remaining (Hermeneutika Tertinggal/Tersisa). Dalam seminar kali ini, model hermeneutika retak menjadi fokus utama untuk menafsir Markus 5: 25-34. Hermeneutika retak digunakan untuk mengganggu atau mengkritik narasi atau klaim yang mengabaikan trauma, dan merekonstruksi sebuah teologi yang membangun daya lenting dan cinta di tengah pengalaman dan peristiwa trauma.

3. Seminar ini dilaksanakan secara virtual via youtube Lembaga Alkitab Indonesia dan berlangsung selama 2 jam yang dapat diakses langsung oleh peserta dari berbagai tempat dan waktu. Seminar berjalan dengan baik dan diikuti dengan tanya jawab oleh peserta kepada pembicara melalui live chat youtube.

4. Terlampir sertifikat dan materi presentasi saya.

Jakarta, 23 Agustus 2021

Septemmy E. Lakawa, Th.D.

(11)

Referensi

Dokumen terkait

Dari simulasi tegangan pada rangka sepeda motor yang dilakukan diketahui beban maksimal yang direkomen- dasikan untuk diberikan pada rangka sepeda motor yang diuji adalah

Kata-kata imam al-Ghazali bahawa pendidikan tanpa membangunkan potensi spiritual akan melahirkan manusia yang terpenjara dengan kehendak materia tanpa kemampuan

!istem akuntansi biaya dalam perusahaan manufakur erat hubungannya dengan sistem pengawasan produksi, karena sebagian besar kegiatan perusahaan manufaktur berada

Diharapkan dari penerapan metode TAPPS dapat menjadi salah satu alternatif strategi pembelajaran yang berguna untuk meningkatkan kemampuan kesadaran metakognitif dan hasil

Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya (FP-UB) mencermati bahwa perubahan paradigma dari pertanian dalam arti sempit sebagai penyedia biomass (pangan dan serat) ke

-Lokasi Lampu Hias Dalam Kota Kuala Tungkal -Pemasangan jaringan listrik instalasi dan daya SMA N 1 Pengabuan.. Belanja jasa konsultansi perencanaan Teknis Program

 j aringan komputer, digunakan suatu model arsit ektur sist em t erdist ri busi yang berbentuk :..