• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rahmah Adisty, Yeni Salma Barlinti, Gemala Dewi. Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia ABSTRAK ABSTRACT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Rahmah Adisty, Yeni Salma Barlinti, Gemala Dewi. Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia ABSTRAK ABSTRACT"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN AKAD MURABAHAH DAN AKIBAT HUKUM DARI PENYALAHGUNAANNYA OLEH BANK SYARIAH X TERHADAP NASABAH

DITINJAU DARI HUKUM ISLAM (ANALISIS PUTUSAN NO. 48 PK/AG/2009) Rahmah Adisty, Yeni Salma Barlinti, Gemala Dewi

Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia ABSTRAK

Saat ini di Indonesia mengenal Sistem Perbankan Syariah. Hal yang mendasari lahirnya Perbankan Syariah adalah adanya larangan riba. Salah satu produk perbankan syariah yang sering digunakan oleh Bank Syariah dalam menjalankan kegiatan usahanya adalah murabahah. Namun di Indonesia saat ini dalam prakteknya masih terjadi penyimpangan dalam menerapkan akad murabahah dan pelaksanaannya oleh Bank Syariah. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang membahas mengenai penerapan dan pelaksanaan akad murabahah serta akibat hukum dari penyalahgunaannya melalui analisis Putusan No. 48 PK/AG/2009 dimana sebelumnya telah diputus oleh Pengadilan Agama Bukit Tinggi dengan Putusan No. 284/Pdt.G/2006/PA.Bkt, Pengadilan Tinggi Agama Padang dengan Putusan no. 32 dan 33/Pdt.G/2007/PTA.Pdg, dan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi dengan Putusan No. 292 K/AG/2008 ditinjau dari Hukum Islam. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan melalui pengumpulan data sekunder, dan metode yang digunakan adalah metode deskriptif analitis. Dalam penerapan dan pelaksanaan akad yang dilaksanakan Bank Syariah X dengan nasabah pada akad pertama dikaitkan dengan teori pengalihan utang (take over) murabahah dan akad kedua dikaitkan dengan teori murabahah berdasarkan hukum Islam ternyata tidak memenuhi rukun dan syarat sehingga secara hukum Islam berakibat batal demi hukum.

Kata kunci: Perbankan Syariah, murabahah, take over.

ABSTRACT

Currently Islamic Banking System has been known in Indonesia. The important reason that underlying the birth of Islamic Banking is prohibition of riba. One of Islamic Banking product that is often used by Islamic Bank in performing its business activities is murabaha. However, practically in Indonesia there are some deviations that still occured in the implementation of murabaha contract and its execution by the Islamic Bank.

This research is a legal research that elaborates regarding the application and execution of murabaha contract and the legal impact of misapplication of such murabaha contract through analysis of Verdict No. 48 PK/AG/2009 which had been previously decided by Bukit Tinggi Religious Court by Verdict No.

284/Pdt.G/2006/PA.Bkt, Padang Religious High Court by Verdict No. 32 and 33/Pdt.G/2007/PTA.Pdg, and the Supreme Court by Verdict No. 292 K/AG/2008 in terms of Islamic Law. This is research literature by collecting secondary data, and the method used is descriptive method. In the implementation and execution of the contract executed with Bank Syariah X and client on the first contract based on the theory of transfer of debt (take over) and theory of murabaha and the second contract based on theory of murabaha in terms of Islamic Law did not meet the requirements. So the impact for both of contract based on Islamic law is null and void.

Keywords: Islamic Banking, murabaha, take over .

PENDAHULUAN

Mengingat semakin berkembang pesatnya pertumbuhan ekonomi saat ini, maka kebutuhan akan adanya lembaga keuangan seperti bank untuk menopang pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di suatu negara dirasakan semakin penting. Di Indonesia sendiri

(2)

dengan penduduk mayoritas memeluk agama Islam menginginkan adanya lembaga perbankan yang sesuai dengan syariah Islam yang bebas dari unsur riba, maysir, dan gharar.

Yang dimaksud dengan riba menurut pengertian bahasa berarti Az-Ziadah (tambahan), dalam Fiqih riba adalah tambahan atas modal, baik penambahan sedikit ataupun banyak.1 Yang dimaksud dengan maysir menurut Muhammad Ayub adalah permainan untung-untungan (game of chance) atau dapat disebut perjudian (gambling and wagering).2 Dan yang dimaksud dengan gharar didefinisikan oleh Imam Malik sebagai jual-beli objek yang belum ada dan dengan demikian belum diketahui kualitasnya oleh pembeli apakah kualitas barang itu baik atau buruk.3

Saat ini terdapat dua macam sistem perbankan yang dikenal di Indonesia, yakni sistem Perbankan Konvensional dan sistem Perbankan Syariah. Pada Perbankan Konvensional yang menggunakan sistem bunga ini jelas dilarang dalam Islam, karena menurut hukum Islam bunga adalah riba sehingga haram hukumnya.4 Ibnu Qayyim membedakan antara riba terang-terangan (al-jali) dan riba terselubung (al-khafi). Adapula yang membagi riba berdasarkan adanya utang piutang terdiri dari riba qardh dan riba jahiliyyah, berdasarkan jual beli terdiri dari riba fadhal dan riba nasi’ah.5 Sebagian besar transaksi pada Bank Konvensional terdapat unsur riba qardh dan riba jahiliyyah mengingat banyaknya tansaksi yang berkaitan dengan utang piutang.

Dengan demikian, karena sistem Perbankan Konvensional ini terdapat unsur riba yang dilarang oleh syariah Islam, maka bagi umat Islam dirasa sangat diperlukan keberadaan Perbankan Syariah yang sesuai dengan syariah Islam. Dasar pemikiran terbentuknya Bank Syariah ini bersumber dari adanya larangan riba didalam al Quran dan Hadits. Pada al Quran surat al Baqarah ayat 275 menyatakan bahwa :

“orang-orang yang memakan riba itu tidak akan berdiri melainkan sebagaimana berdirinya orang yang dirasuk setan dengan terhuyung-huyung karena sentuhannya. Yang demikian itu karena mereka mengatakan:

                                                                                                                         

1 Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah, cet. 3, (Jakarta:

Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm. 43.

2 Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah: Produk-produk dan Aspek-aspek hukumnya, cet. 1, (Jakarta: PT Jayakarta Agung Offset, 2010), hlm. 161.

3 Ibid.

4 Ibid., hlm. 149.

5 Muhammad Syafi’i Antonio (a), Bank Syariah dari Teori ke Praktik, cet. 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 41.

(3)

Perdagangan itu sama saja dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba. Oleh karena itu, barangsiapa telah sampai kepadanya peringatan dari Tuhannya lalu ia berhenti (dari memakan riba), maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknua dan (terserah) kepada Allah. Barangsiapa mengulangi (memakan riba) maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal didalamnya (QS. al Baqarah:275)”.6 Ayat lain yang juga menjadi dasar terhadap larangan riba adalah surat al Baqarah ayat 276 menyatakan bahwa: “Allah telah menghapus riba dan Ia menyuburkan sedekah (QS. al Baqarah:276)”. Selain dua ayat diatas masalah pengharaman riba juga di jelaskan pada ayat lainnya di al Quran seperti pada Surat an Nissa ayat 161, Surat ar-rum ayat 39, surat al Baqarah ayat 278, Surat al Baqarah ayat 279, Surat al Baqarah ayat 280, Surat ali Imron ayat 130, dan lainnya.7

Sedangkan dari Al-Hadits yang menjadi dasar pelarangan riba antara lain Dari Abu Sa’d r.a., diceritakan:

pada suatu ketika, Bilal datang kepada Rasulullah SAW. Membawa kembali kurma barni. Lalu Rasulullah. SAW. Bertanya kepadanya, “kurma dari mana ini?” jawab Bilal, “kurma kita rendah mutunya karena itu kutukar dua gantang dengan satu gantang kurma ini untuk pangan Nabi SAW”. Maka bersabda Rasulullah SAW. “inilah yang disebut riba. Jangan sekali-kali engkau lakukan lagi. Apabila engkau ingin membeli kurma (yang bagus), jual lebih dahulu kurmanya (yang kurang bagus) itu, kemudian dengan uang penjualan itu beli kurma yang lebih bagus.”8

Hadits lainnya yang menunjukan larangan riba adalah hadits dari Abu Sa’id Al-khudri r.a mengatakan Rasulullah SAW bersabda: “Tidak boleh jual-beli emas dengan emas, dan perak dengan perak kecuali sama berat.” Dan dari Jabir r.a., mengatakan: “Rasulullah SAW., mengutuk pemakan riba, yang menyuruh memakan riba, juru tulis pembuat akte riba dan saksi-saksinya. Menurut beliau: mereka itu sama saja (dosanya).”9 Oleh karena itu diperlukan adanya Perbankan Syariah yang bebas dari riba guna menghimpun dana dari masyarakat yang mayoritas beragama Islam di Indonesia.

Di Indonesia sendiri pemerintah telah membuat berbagai peraturan perundang- undangan berkaitan dengan Perbankan Syariah. Secara yuridis formal adanya Perbankan                                                                                                                          

6 Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam, cet. 4, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 9-10.

7 Ibid.

8 Ibid., hlm 11.

9 Ibid.

(4)

Syariah ini berawal dari diberlakukannya Undang-undang no. 7 tahun 1992 tentang perbankan dan Peraturan Pemerintah no. 72 tahun 1992 yang menyebutkan adanya perbankan berdasarkan prinsip bagi hasil disamping Bank Konvensional. Kemudian pada tahun 1998 dikeluarkan Undang-undang no. 10 tahun 1998 tentang perbankan dimana Undang-undang ini menggantikan secara parsial Undang-undang no 7 tahun 1992 tentang perbankan. Pada Undang-undang no. 10 tahun 1998 tentang perbankan yang menggantikan secara parsial Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan ini memberikan landasan hukum lebih jelas dengan adanya penyebutan bank berdasarkan prinsip syariah. Definisi Prinsip Syariah pada Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang- undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan adalah “Aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina) dengan demikian di Indonesia mengenal adanya dual banking system. Selanjutnya pada tahun 2008 dikeluarkan Undang-undang No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang mengatur secara lebih spesifik mengenai Perbankan Syariah ini.

Sistem operasional bank Islam (Perbankan Syariah) ini berdasarkan asas-asas:

kebebasan berusaha, pengharaman adanya riba, pengharaman sifat penipuan, pengharaman pemborosan dan kemewahan, pengharaman penyalahgunaan pengaruh, dan pengharaman penimbunan harta.10 Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Syariah antara lain:11

a. Pada sisi pengerahan dana masyarakat, terdapat produk-produk yakni Giro wadiah dan Tabungan mudharabah

b. Pada sisi penyaluran dana kepada masyarakat pada bank umum syariah dan pada BPRS terdapat produk-produk sebagai berikut:

(1) Fasilitas pembiayaan bagi hasil, terdiri dari:

(a) Fasilitas pembiayaan Mudharabah.

                                                                                                                         

10 Dewi, Op. Cit., hlm. 41

11 Wirdyaningsih, et. al., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada, 2007), hlm. 43.

(5)

(b) Fasilitas pembiayaan Musyarakah

(c) Fasilitas pembiayaan Musyarakah Mutanaqisah, dan lain-lain.

(2) Fasilitas pembiayaan pengadaan barang modal, terdiri dari:

a. Fasilitas pembiayaan Murabahah b. Fasilitas pembiayaan Salam c. Fasilitas pembiayaan Istishna’

(3) Fasilitas pembiayaan atas dasar sewa menyewa (ijarah) (4) Fasilitas Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bittamlik

(5) Fasilitas Pembiayaan berupa jaminan gadai (rahn)

(6) Fasilitas jasa perbankan lainnya, seperti pemberian jaminan (al-kafalah), pengalihan tagihan (al-hiwalah), pelayanan khusus (al-jo’alah), Pembukaan L/C (al-wakalah), dan lain-lain.

(7) Fasilitas pembiayaan “pinjaman kebajikan” (qardhul hassan)

Menurut data statistik Bank Indonesia per desember 2012 sebesar Rp80,95 triliun atau 59,71% produk investasi dan pembiayaan dari bank-Bank Syariah dan unit usaha syariah di Indonesia berupa transaksi murabahah.12 Oleh karena itu sangat penting sekali untuk mengetahui lebih mendalam mengenai akad murabahah ini.

Akad murabahah sendiri adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Sedangkan Undang-undang no. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah memberikan definisi tentang murabahah dalam penjelasan Pasal 19 ayat (1) huruf d. Menurut penjelasan Pasal 19 ayat (1) huruf d tersebut, yang dimaksud dengan

“akad murabahah” adalah akad pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang telah disepakati.13 Dalam murabahah, penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya.14 Dasar hukum yang menjadi landasan syariah dari akad murabahah ini adalah al Quran pada surat al Baqarah ayat 275 yang menyatakan: “...Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba....”

pada Al-hadits disebutkan pula hadits yakni dari Suhaib Ar-Rumi r.a. bahwa Rasulullah saw.

Bersabda: “tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan: jual-beli secara tangguh,                                                                                                                          

12 www.bi.go.id, diunduh pada tanggal 17 Juli 2013.

13 Sjahdeini, Op.Cit., hlm. 180.

14 Antonio (a), Op.Cit., hlm. 101.

(6)

muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” Mengenai akad murabahah ini selain dilandaskan pada al Quran dan Hadits diatur pula dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.15 Dalam Undang- undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menyebutkan secara umum mengenai akad murabahah ini, selain itu akad murabahah ini diatur pula dalam Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) antara lain pada Fatwa DSN-MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang murabahah, Fatwa DSN-MUI No. 13/DSN-MUI/IX/2000 tentang uang muka dalam murabahah, Fatwa DSN-MUI No. 16/DSN-MUI/IX/2000 tentang diskon dalam murabahah, Fatwa DSN-MUI No. 23/DSN-MUI/III/2002 tentang potongan pelunasan dalam murabahah, Fatwa DSN-MUI No. 46/DSN-MUI/II/2005 tentang potongan tagihan murabahah (khashm fi al-murabahah), Fatwa DSN-MUI No. 47/DSN-MUI/II/2005 tentang penyelesaian piutang murabahah bagi nasabah tidak mampu bayar, Fatwa DSN-MUI No. 48/DSN-MUI/II/2005 tentang penjadwalan kembali tagihan murabahah, Fatwa DSN- MUI No. 49/DSN-MUI/II/2005 tentang Konversi akad Murabahah.16 Terdapat pula Fatwa DSN 31/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pengalihan Hutang yang juga berkaitan dengan murabahah.

Sangat disayangkan di Indonesia saat ini dalam prakteknya masih terjadi penyimpangan dalam hal menerapkan akad murabahah dan pelaksanaannya. Seperti yang telah kita ketahui bahwa akad murabahah adalah akad jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Rukun murabahah sendiri antara lain adanya penjual (bai’) dalam hal ini dapat dilakukan oleh bank sebagai pihak yang menyediakan barang yang hendak dimiliki oleh konsumen (nasabahnya), pembeli (musytari’) yakni nasabah dari bank yang bersangkutan, barang/obyek (mabi’), ijab qabul (sighat).17 Namun pada kenyataannya terdapat akad-akad murabahah yang diikat oleh pihak Bank Syariah dan nasabahnya yang tidak memenuhi rukun ini. Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis melakukan penelitian hukum untuk mengetahui penerapan murabahah dalam akad dan pelaksanaannya ditinjau dari hukum Islam berkaitan dengan sengketa yang telah diputus oleh Mahkamah Agung dengan Putusan no 48 PK/AG/2009 dimana sebelumnya telah diputus oleh Pengadilan Agama Bukit Tinggi dengan Putusan No. 284/Pdt.G/2006/PA.Bkt, Pengadilan Tinggi Agama Padang dengan Putusan no. 32 dan 33/Pdt.G/2007/PTA.Pdg, dan                                                                                                                          

15 Ibid., hlm. 102.

16 Sjahdeini, Op.Cit., hlm. 181.

17 Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2003) hlm.

40.

(7)

Mahkamah Agung pada tingkat kasasi dengan Putusan No. 292 K/AG/2008 antara Bank Syariah X dengan nasabah pada akad pertama yang diikat dengan akad murabahah No. 2 tanggal 2 Juli 2003 dan akad kedua yang juga diikat dengan akad murabahah No. 43 tanggal 27 Agustus 2003, serta dikaitkan dengan hukum positif yang telah mengatur mengenai murabahah pada masa itu, dan perkembangan hukum positif yang mengatur mengenai akad murabahah tersebut hingga saat ini.

Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan sebelumnya dapat ditarik beberapa permasalahan, yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana penerapan murabahah dalam akad dan pelaksanaannya oleh Bank Syariah X dan Nasabahnya pada akad pertama dan kedua ditinjau dari hukum Islam?

2. Bagaimana akibat hukum penyalahgunaan akad murabahah yang dilakukan oleh pihak Bank Syariah X terhadap nasabahnya pada akad pertama dan kedua ditinjau dari hukum Islam dan hukum positif yang berlaku saat ini?

PEMBAHASAN

Penerapan Akad Murabahah No. 2 tanggal 2 Juli 2003 dalam Kasus antara Bank Syariah X dan Nasabahnya (ER) ditinjau dari Hukum Islam

Untuk melaksanakan suatu akad dalam Islam harus memenuhi rukun dan syarat yang sesuai dengan hukum Islam. Didalam kasus ini yang mengadakan perikatan (aqad) adalah ER dengan Bank Syariah X. Perikatan (Aqad) ini dilaksanakan pada tahun 2003. Pada awalnya ER merupakan nasabah dari Bank Konvensional Z dan memilki hutang kepada Bank Konvensional Z sebesar Rp 483.233.530,-. Lalu ER meminta penambahan modal kerja dan meminta pengalihan utang (take over) kepada Bank Syariah X. Bank Syariah X menyetujui permintaan ER lalu memberikan dana sebesar Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan secara bersama-sama dengan ER pergi ke Bank Konvensional Z guna melunasi hutang ER dengan ketentuan ER akan membayar kepada Bank Syariah X sebesar Rp 794.816.460,- (tujuh ratus sembilan puluh empat juta delapan ratus enam belas ribu empat ratus enam puluh rupiah) dengan cara mencicil selama 60 bulan (5 tahun). Perikatan mereka ini diikat dengan akad Murabahah No. 2 tanggal 2 Juli 2003 terdapat pula jaminan yakni sertifikat tanah hak milik No. 311/Kelurahan Belakang Balok, Kecamatan Aur birugo Tigo Baleh, Bukittinggi atas nama FE, dimana FE ini mengikatkan diri sebagai penjamin ER sebagaimana dituangkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan No. 19/ABTB/2003, lalu diikat pula dengan surat

(8)

hutang No. 3 tanggal 2 Juli 2003, dan surat membebankan Hak Tanggungan No. 4 tanggal 2 Juli 2003 yang kesemua surat tersebut dibuat oleh dan dihadapan YL selaku Notaris.

Jika dilihat dari perikatan mereka ini merupakan bentuk pengalihan hutang. Dalam hukum Islam mengenai pengalihan utang ini tidak diatur secara tersurat dalam al-Quran maupun hadits. Namun terdapat kaidah fikih yang menyatakan bahwa “pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilaksanakan, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” Pada saat itu di Indonesia ketentuan mengenai pengalihan utang diatur dalam Fatwa DSN-MUI No.

31/DSN-MUI/IV/2002 tentang pengalian utang. Perikatan mereka ini diikat dengan akad murabahah No. 2 tanggal 2 Juli 2003. Jika dilihat dari posisi kasus maka terlihat Bank Syariah X dalam melaksanakan pengalihan utang (take over) ini dengan menggunakan alternaif 1 yakni melalui cara Bank Syariah X memberikan qardh kepada ER sebagai nasabah. Dengan qardh tersebut nasabah melunasi utangnya pada Bank Konvensional Z.

Dengan demikian seolah-olah aset yang dibeli dengan kredit tersebut menjadi milik ER secara penuh. Selanjutnya ER seolah-olah menjual aset tersebut kepada Bank Syariah X, dengan hasil penjualan itu nasabah melunasi qardh nya. Lalu Bank Syariah X seolah-olah menjual secara murabahah aset yang telah dimilikinya tersebut kepada nasabah, dengan pembayaran secara cicilan yakni 60 bulan. Dikatakan pula pada Fatwa DSN No. 31/DSN- MUI/IV/2002 bahwa Fatwa DSN nomor: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-Qardh dan Fatwa DSN nomor: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah berlaku pula dalam pelaksanaan Pembiayaan Pengalihan Hutang sebagaimana dimaksud alternatif I.

Jika ditinjau dari segi hukum Islam rukun dan syarat dalam akad murabahah yang diikat setelah adanya qardh dalam pengalihan utang (take over) antara lain:

1. Pihak yang berakad (al-‘aqidain) dalam hal ini yang menjadi pihak yang berakad adalah:

a. Bank Syariah X sebagai pihak yang mengambil alih utang ER (nasabah) dari Bank Konvensional Z sekaligus penjual barang secara murabahah.

b. ER sebagai Nasabah dari Bank Konvensional yang meminta utangnya diambil alih oleh Bank Syariah X yang kemudia ia menjadi nasabah dari Bank Syariah X sekaligus sebagai Pembeli dalam murabahah. Adapula FE yang menjadi penjamin dari ER.

c. Bank Konvensional Z yang memiliki piutang pada ER dimana piutang ini diambil alih oleh Bank Syariah X dimana dianggap ER membeli aset/barang modal usahanya menggunakan kredit yang diberikan Bank Konvensional Z.

Para pihak disini merupakan subjek hukum yang memenuhi syarat cakap secara hukum baik hukum Islam maupun hukum positif di Indonesia.

(9)

2. Akad (sighat al-aqd) yakni berupa ijab kabul. Dalam akad murabahah harus dinyatakan secara tegas mengenai:

a. Harga barang, yang terdiri dari harga beli Bank, keuntungan (margin) yang diambil Bank serta harga jual dari Bank. Dimana pada akad ini seolah-olah harga Beli Bank adalah Rp 500.000.000,- margin keuntungan seolah-olah Rp 294.816.460 rupiah, dan harga jual bank seolah-olah harga jual dari Bank Syariah X kepada ER sebesar Rp 794.816.460,-.

b. Cara pembayaran, dalam hal ini melalui cara mencicil selama 60 bulan (5 tahun) oleh ER kepada Bank Syariah X.

c. Jika terjadi gagal bayar maka Bank Syariah X yang telah memegang jaminan berupa sertifikat tanah hak milik No. 311/Kelurahan Belakang Balok, Kecamatan Aur birugo Tigo Baleh, Bukittinggi atas nama FE akan menjual lelang tanah tersebut guna mengambil pelunasan atas utang ER.

3. Objek yang diakadkan (mahallul “Aqd). Dalam pengalihan utang yang diikad dengan akad murabahah ini ternyata setelah dilihat dari posisi kasus tidak pernah ada objek akad seperti barang/asset yang dijual oleh Bank Syariah X kepada ER. Inilah yang menyebabkan akad murabahah Bank Syariah X dan ER cacat hukum karena tidak memenuhi Rukun dan Syarat dalam akad murabahah yakni harus ada barang/asset yang diperjual belikan. Maka secara hukum Islam akad murabahah ini jelas tidak sah.

Dilihat dari fatwa DSN MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang murabahah dalam Ketentuan Umum Murabahah dalam Bank Syariah dikatakan bahwa:

a. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.

b. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari’ah Islam.

c. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.

d. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.

e. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.

f. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.

g. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.

(10)

h. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.

i. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.

Maka terlihat dalam Fatwa ini adanya Barang (objek) yang diperjual-belikan merupakan syarat sah dari murabahah. Dengan tidak adanya barang yang diperjualbelikan antara ER dan Bank Syariah X maka kedudukan para pihak ini bukanlah sebagai penjual dan pembeli dalam akad murabahah karena tidak terpenuhinya rukun dan syarat dari akad murabahah itu sendiri.

Jika dilihat dari posisi kasus maka yang terjadi adalah pinjam-meminjam biasa antara Bank Syariah X dan ER. Dalam hukum Islam tidak diperbolehkan pinjam-meminjam uang dengan tambahan keuntungan, hal ini termasuk riba dan hukumnya haram.

Penerapan Akad Murabahah No. 43 tanggal 27 Agustus 2003 dalam kasus antara Bank Syariah X dan Nasabahnya ditinjau dari Hukum Islam

Pada tanggal 27 agustus 2003 kembali Bank Syariah X melakukan perikatan dengan ER untuk menambah modal kerja ER. Perikatan ini diikat dengan akad Murabahah yakni dengan akta murabahah No. 43 tanggal 27 Agustus 2003, surat hutang No. 43 tanggal 27 Agustus 2003, Akta Pemberian Hak Tanggungan No. 139/ABTB/2003 tanggal 27 Agustus 2003, dengan jaminan tetap tanah sertifikat hak milik No. 311/Kelurahan Belakang Balok atas nama FE yang telah mengikatkan diri sebagai penjamin ER. Pelaksanaan akad murabahah ini yakni dengan jual beli barang P&D seharga Rp 581.230.044,- (lima ratus delapan puluh satu juta dua ratus tiga puluh ribu empat puluh empat rupiah) dimana dikatakan seolah-olah Bank Syariah X membeli barang P&D sebesar Rp 350.000.000,- (tiga ratus lima puluh juta rupiah) yakni sebagai harga pokok dan tambahan keuntungan untuk Bank Syariah X sebesar Rp 231.230.044,- (dua ratus tiga puluh satu juta dua ratus tiga puluh ribu empat puluh empat rupiah). Jika dilihat dari rukun dan syarat akad murabahah antara lain:

1. Pihak yang berakad (al-‘aqidain) dalam hal ini yang menjadi pihak yang berakad adalah:

a. ER sebagai Nasabah dari Bank Syariah X yang memesan barang P&D pada Bank Syariah X.

b. Bank Syariah X seolah-olah membeli barang P&D pesanan ER untuk dijual kepada ER secara murabahah.

(11)

Para pihak disini merupakan subjek hukum yang memenuhi syarat cakap secara hukum baik hukum Islam maupun hukum positif di Indonesia.

2. Akad (sighat al-aqd) yakni berupa ijab kabul. Dalam akad murabahah harus dinyatakan secara tegas mengenai:

a. Harga barang, yang terdiri dari harga beli Bank, keuntungan (margin) yang diambil Bank serta harga jual dari Bank. Dimana pada akad ini seolah-olah harga Beli Bank adalah Rp 350.000.000,- (tiga ratus lima puluh juta rupiah), margin keuntungan seolah-olah Rp 231.230.044,- (dua ratus tiga puluh satu juta dua ratus tiga puluh ribu empat puluh empat rupiah). Dan harga jual bank seolah-olah harga jual dari Bank Syariah X kepada ER sebesar Rp 581.230.044,- (lima ratus delapan puluh satu juta dua ratus tiga puluh ribu empat puluh empat rupiah).

b. Cara pembayaran, dalam hal ini melalui cara mencicil selama 60 bulan (5 tahun) oleh ER kepada Bank Syariah X.

c. Jika terjadi gagal bayar maka Bank Syariah X yang telah memegang jaminan berupa sertifikat tanah hak milik No. 311/Kelurahan Belakang Balok, Kecamatan Aur birugo Tigo Baleh, Bukittinggi atas nama FE akan menjual lelang tanah tersebut guna mengambil pelunasan atas utang ER.

3. Objek yang diakadkan (mahallul “Aqd). Sama halnya dengan akad murabahah No. 2 tanggal 2 Juli 2003, akad murabahah No. 43 tanggal 27 Agustus ini juga ternyata tidak ada objek berupa barang P&D yang dijual oleh Bank Syariah X kepada Nasabah.

Ditinjau dari fatwa DSN MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang murabahah dalam Ketentuan Umum Murabahah dalam Bank Syariah pun jelas akad murabahah ini tidak memenuhi rukun dan syarat sahnya suatu akad murabahah karena tidak ada barang yang diperjual belikan.

Akibat Hukum dari Penyalahgunaan Akad Murabahah oleh Bank X terhadap Nasabah Menurut Hukum Islam

Di dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 275 dengan jelas menyatakan bahwa

“...Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...” (Al-Baqarah: 275). Telah dijabarkan pada posisi kasus bahwa ER mengikatkan diri dengan Bank Syariah X melalui akad murabahah sebanyak dua kali. Yang pertama diikat dalam perjanjian murabahah dengan akta no. 2 pada tanggal 2 Juli 2003, dimana seolah-olah Bank Syariah X menyediakan barang-barang pesanan ER seharga Rp 500.000.000,- dan selanjutnya seolah-olah Bank Syariah X menjualnya kepada ER seharga Rp 794.816.460,- dengan mengambil keuntungan

(12)

sebesar Rp 294.816.460,-. Yang kedua, perjanjian murabahah dengan akte no 43. Yang dibuat pada tanggal 27 agustus 2003, untuk menambah modal kerja kembali ER dan Bank Syariah X mengikatkan diri dalam akad Murabahah, yakni jual beli barang P&D seharga Rp 581.230.044,- dimana dikatakan oleh Bank Syariah X harga pokok barang tersebut adalah sebesar Rp 350.000.000,- dan tambahan keuntungan untuk Bank Syariah X sebesar Rp 231.230.044,- padahal kenyataan yang terjadi barang yang diperjual-belikan tersebut sama sekali tidak ada. Maka pemberian pinjaman oleh Bank Syariah X ini dianggap sebagai pinjam-meminjam uang biasa, didalam hukum Islam pinjam meminjam uang tidak boleh terdapat tambahan keuntungan. Maka tambahan keuntungan sebesar Rp 294.816.460,- pada akad pertama dan Rp 231.230.044,- merupakan riba. Dengan demikian Bank Syariah X dalam hal ini telah melakukan penyalahgunaan akad, karena Bank Syariah X telah mengikat akad murabahah baik pada akad pertama maupun kedua dimana keduanya setelah ditinjau dari hukum Islam tidak memenuhi Rukun dan Syarat sahnya akad murabahah karena tidak ada objek berupa barang/aset yang diperjual belikan semata-mata untuk mendapatkan keuntungan dari pinjaman yang ia berikan kepada ER sedangkan tambahan keuntungan ini tergolong riba.

Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain riba juga berarti tumbuh dan membesar.18 Menurut istilah, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.19 Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam. Mengenai hal ini, Allah SWT mengingatkan dalam firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil....” (QS. An-Nisaa : 29).20

Mengenai jenis-jenis riba Ada beberapa jenis-jenis riba yang dikemukakan ahli hukum Islam, secara garis besar riba dapat dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang-piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh yakni riba sebagai Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berutang (muqtaridh), dan riba jahiliyyah yakni riba dari Utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang                                                                                                                          

18 Gemala Dewi, Op. Cit., hlm. 43.

19 Muhammad Syafii Antonio (a), Op. Cit., hlm. 37.

20 Ibid.

(13)

ditetapkan.21 Adapun kelompok kedua, riba jual beli terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah. Riba fadhl yakni riba yang diambil dari pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan tersebut termasuk jenis barang ribawi. Sedangkan riba nasi’ah yakni riba yang diambil dari penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya.

Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.22

Dilihat dari pinjam-meminjam antara Bank Syariah X dengan ER dengan tambahan keuntungan tersebut maka tambahan keuntungan ini dapat digolongkan sebagai riba Qardh yang hukumnya haram menurut hukum Islam. Padahal salah satu sebab diperlukannya Bank Syariah adalah guna menghindari riba yang identik dalam pelaksanaan kegiatan usaha di Bank Konvensional. Berdasarkan ketentuan yang berlaku saat itu baik Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah harus menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah.

Yang dimaksud dengan prinsip syariah menurut Pasal 1 ayat 13 Undang-undang No.10 tahun 1998 tentang perbankan adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk penyimpanan dana atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).23

Dengan tidak terpenuhinya rukun dan syarat murabahah baik pada akad pertama maupun kedua dimana tidak ada objek yang diperjual-belikan, maka tambahan keuntungan yang didapatkan oleh Bank Syariah X merupakan riba, sedangkan riba hukumnya haram dalam Islam. Sehingga akibat hukum yang ditimbulkan berdasarkan hukum Islam adalah kedua akad ini tidak sah dan batal demi hukum.

                                                                                                                         

21 Muhammad Syafii Antonio (a), Op. Cit., hlm. 41

22 Ibid.

23 Indonesia, Undang-undang Perbankan Syariah, UU no. 10 tahun 1998, LN no. 182, TLN no, 3790, Ps.1 angka 13.

(14)

Akibat Hukum dari Penyalahgunaan Akad Murabahah oleh Bank X terhadap Nasabah Menurut Hukum Positif Indonesia

Selain itu kedua akad ini juga melanggar prinsip syariah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1 angka 13 Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang perbankan yang dimana Undang-undang ini menggantikan secara parsial Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan menyatakan bahwa prinsip syariah merupakan aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam. Mengingat akad pertama maupun kedua ternyata tidak sesuai dengan hukum Islam maka jelaslah melanggar prinsip syariah sehingga konsekuensinya kedua akad tersebut batal demi hukum.24

Sedangkan jika dikaitkan dengan peraturan yang berlaku saat ini yakni Undang-undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, PBI yang terkait dengan murabahah, kodifikasi Produk Perbankan Syariah yang dikeluarkan Bank Indonesia tahun 2007, Fatwa- fatwa DSN yang berkaitan dengan murabahah, dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) untuk sahnya akad murabahah maka harus ada barang (objek) yang diperjual- belikan. Dikaitkan dengan kasus antara Bank Syariah X dengan Nasabahnya (ER) maka berdasarkan hukum yang berlaku saat ini jelas tidak sah dan batal demi hukum. Pada Undang-undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Pasal 56 Bank Indonesia menetapkan adanya sanksi administratif terhadap Bank Syariah yang tidak menjalankan kegiatan usahanya sesuai prinsip syariah. Sanksi administratif tersebut berdasarkan Pasal 58 ayat (1) Undang-undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dapat berupa: denda uang; teguran tertulis; penurunan tingkat kesehatan Bank Syariah dan UUS; pelarangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring; pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu maupun untuk Bank Syariah dan UUS secara keseluruhan; pemberhentian pengurus Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia; pencantuman anggota pengurus, pegawai, dan pemegang saham Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS dalam daftar orang tercela di bidang perbankan; dan/atau pencabutan izin usaha.25 Maka jika suatu saat nanti terdapat Bank Syariah yang mengikat perjanjian murabahah tetapi ternyata tidak memenuhi rukun dan syarat murabahah secara hukum Islam harus dijatuhi sanksi administratif ini dengan tegas.

                                                                                                                         

24 Ibid.

25 Indonesia, Undang-undang Perbankan Syariah, UU no. 21 tahun 2008, LN no. 94, TLN no, 4867, Ps.

56 dan 58 ayat (1).

(15)

Berdasarkan sengketa tentang akad murabahah diatas, maka menurut penulis sangat perlu bagi Lembaga Ekonomi Syariah seperti Perbankan Syariah yang melakukan kegiatan ekonomi syariahnya berdasarkan prinsip syariah agar lebih berhati-hati dalam menerapkan akad yang digunakannya supaya terhindar dari riba, maisir, dan gharar yang mutlak haram dalam hukum Islam.

Jika dilihat dari kasus diatas dimana ER mengikatkan diri dengan Bank Syariah X melalui akad murabahah dua kali. Yang pertama diikat dalam perjanjian murabahah dengan akte no. 2 pada tanggal 2 Juli 2003, dimana seolah-olah Bank Syariah X menyediakan barang-barang pesanan ER seharga Rp 500.000.000,- dan selanjutnya seolah-olah Bank Syariah X menjualnya kepada ER seharga Rp 794.816.4600,- dengan mengambil keuntungan sebesar Rp 294.816.460,-.Yang kedua, perjanjian murabahah dengan akte no 43. Yang dibuat pada tanggal 27 agustus 2003, untuk menambah modal kerja kembali ER dan Bank Syariah X mengikatkan diri dalam akad Murabahah, yakni jual beli barang P&D seharga Rp 581.230.044,- dimana dikatakan oleh Bank Syariah X harga pokok barang tersebut adalah sebesar Rp 350.000.000,- dan tambahan keuntungan untuk Bank Syariah X sebesar Rp 231.230.044,-. Jika Bank Syariah X dan ER benar-benar beritikad baik untuk saling bekerjasama maka perikatan tersebut tidak perlu menggunakan akad murabahah tetapi dapat menggunakan akad lain untuk menghindari adanya riba dan tidak terpenuhinya rukun dan syarat murabahah agar tidak berakibat akad batal demi hukum.

ER dalam hal ini melakukan pinjaman kepada Bank Syariah X karena ia memiliki suatu usaha dimana usahanya tersebut membutuhkan dana terlebih terdapat pembayaran kredit yang tersendat pembayarannya pada Bank BRI yang merupakan Bank Konvensional.

Untuk membantu ER ini menurut penulis tidak perlu diikat dengan akad murabahah jika memang tidak ada barang/asset yang dijual oleh Bank Syariah X karena kelebihan keuntungan dari akad murabahah tanpa adanya barang/asset yang dijual adalah riba sedangkan riba dalam hukum Islam adalah haram dan tidak sesuai dengan prinsip syariah.Daripada menggunakan akad murabahah, Bank Syariah X dapat menggunakan akad mudharabah atau akad musyarakah.

Fasilitas pembiayaan Mudharabah, yakni konsep penyaluran dana dengan sistem bagi hasil dengan penetapan nisbah dimana bank sebagai shahibul maal (pemilik dana) dan pengusaha sebagai (mudharib).26 Disini Bank Syariah X dapat bertindak sebagai shahibul                                                                                                                          

26 Tim pengembang Perbankan Syariah Institut Bankir indonesia, Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah, cet. 2, (Jakarta: Percetakan Anem Kosong Anem, 2003), hlm. 69.

(16)

maal (pemilik dana) dan ER sebagai mudharib (pengusaha). Dapat saja Bank Bukopin Syariah membiayai segala kegiatan usaha ER sebagai pengusaha. Tetapi tetap harus diperjanjikan diawal mengenai nisbah bagi hasil antara bank dengan nasabahnya dalam hal ini Bank Syariah X dengan ER.

Fasilitas pembiayaan Musyarakah, yakni percampuran dana untuk tujuan pembagian keuntungan.27 Dimana bank dan pengusaha sama-sama memasukkan modal dan ditetapkan besaran bagi hasil sesuai kesepakatan diantara bank dan pengusaha tersebut. Disini Bank Syariah X bersama dengan ER dapat bersama-sama memasukkan modal untuk membiayai kegiatan usaha ER. Baik dalam akad mudharabah maupun musyarakah untuk menghindari itikad tidak baik dari nasabah, Perbankan Syariah dapat meminta jaminan berupa benda bergerak maupun tidak bergerak yang nilainya dianggap memenuhi syarat untuk dijual lelang sebagai pelunasan bilamana nasabah tidak membayar hutangnya.

Bilamana terjadi kegagalan dalam pembiayaan maka sumber pelunasan pembiayaan adalah dari usaha nasabah (ER) yang menghasilkan pendapatan (revenue) yang disebut first way out. namun dalam mudharabah dan musyarakah tidak terdapat second way out. Jaminan merupakan hal penting untuk diperhitungkan bagi Bank karena jaminan merupakan sumber pelunasan bilamana nasabah mengalami kegagalan pembiayaan Syariah. Dalam mudharabah dan musyarakah diperbolehkan adanya jaminan. Tetapi untuk pembiayaan mudharabah dan musyarakah, jaminan tidak berfungsi sebagai Second Way-Out yakni pengganti pengembalian modal yang ditanamkan Bank di usaha/proyek Nasabah. Tetapi sebagai ganti rugi adanya pelanggaran, kelalaian dan kecurangan hal ini dijelaskan pada PBI 7/46/PBI/2005 Pasal 6 huruf o untuk Mudharabah dan Pasal 8 huruf o untuk Musyarakah.28 Selain itu untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan dalam penggunaan akad pada Lembaga Keuangan Syariah seperti Bank Syariah ini maka dirasakan perlu Adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah. DPS ini harus bekerja sesuai dengan fungsinya, jika terjadi penyalahgunaan penggunaan akad seharusnya DPS dapat dimintai pertanggungjawabannya. DPS berada pada posisi setingkat Dewan Komisaris pada bank. Hal ini untuk menjamin efektivitas dari setiap opini yang diberikan oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS). Namun jika dilihat dari kasus diatas, jelas Bank Syariah X telah melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan hukum Islam yakni melakukan akad murabahah                                                                                                                          

27 Ibid., hlm. 71

28Anonymous, Kelembagaan, Operasional, dan Pengembangan Produk LKS, http://mhugm.wikidot.com/artikel:011, diunduh pada tanggal 10 Juni 2013.

(17)

fiktif yang berdampak pada adanya unsur riba yang diharamkan dalam Islam, ini artinya DPS yang ada pada Bank Syariah X tersebut belum maksimal kinerjanya dalam menjalankan tugasnya berupa menilai dan memastikan pemenuhan prinsip syariah dalam hal Bank Syariah X menjalankan kegiatan usahanya

PENUTUP KESIMPULAN

1. Penerapan akad murabahah dalam akad dan pelaksanaannnya oleh Bank Syariah X dan Nasabahnya baik pada akad pertama melalui akte No. 2 tanggal 2 Juli 2003dan akad kedua melalui akte No. 43 tanggal 27 Agustus 2003ditinjau dari hukum Islam ini tidak memenuhi rukun dan syarat sahnya murabahah.

2. Akibat dari penyalahgunaan akad murabahah pada kedua akad murabahah tersebut yang tidak memenuhi rukun dan syarat karena tidak ada barang (objek) yang dijual, adalah harus dianggap sebagai pinjam-meminjam biasa yang dilaksanakan dengan tambahan keuntungan maka mengakibatkan timbulnya riba, baik tambahan keuntungan sebesar Rp 294.816.460,- pada akad murabahah dengan akte no. 2 pada tanggal 2 Juli 2003, maupun tambahan keuntungan sebesar Rp 231.230.044,- pada akad murabahah dengan akte no.

43 pada tanggal 27 Agustus 2003. Sedangkan menurut Hukum Islam riba tersebut adalah haram. Dilihat dari pinjam-meminjam antara Bank Syariah X dengan ER dengan tambahan keuntungan tersebut maka tambahan keuntungan ini dapat digolongkan sebagai riba Qardh yang hukumnya haram menurut hukum Islam. Dengan tidak terpenuhinya rukun dan syarat murabahah yakni tidak adanya objek yang diperjual- belikan baik pada akad pertama maupun kedua dan adanya unsur riba dalam akad-akad tersebut Maka akibat hukum yang ditimbulkan berdasarkan hukum Islam adalah kedua akad ini tidak sah dan batal demi hukum. Sedangkan dari sudut hukum positif Indonesia, kedua akad ini juga melanggar prinsip syariah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1 angka 13 Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang perbankan dimana Undang- undang ini menggantikan secara parsial Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan sehingga konsekuensinya kedua akad tersebut batal demi hukum. Sedangkan jika dilihat dari peraturan-peraturan yang berlaku saat ini baik dalam Undang-undang No. 21 tahun 2008 tentang perbankan Syariah, Peraturan Bank Indonesia dan Kodifikasi Produk Perbankan Syariah yang dikeluarkan Bank Indonesia yang mengatur mengenai murabahah, fatwa-fatwa DSN terkait murabahah, dan Kompilasi Hukum Ekonomi Islam

(18)

saat ini jelas akad murabahah yang diikat Bank Syariah X dan ER (nasabah) adalah tidak sah dan batal demi hukum karena tidak adanya objek yang diperjual-belikan yang merupakan syarat sahnya murabahah.

SARAN

Berdasarkan analisa Putusan no 48PK/AG/2009 tersebut dapat disimpulkan bahwa pada kenyataan yang terjadi di lapangan, masih terjadi penyalahgunaan akad murabahah yang dilakukan oleh Bank Syariah terhadap nasabahnya. Oleh karena itu penulis menyarankan:

1. SemestinyaBank Indonesia menjatuhkan sanksi administratif dengan tegas jika terdapat Bank Syariah yang menyalahgunakan penerapan akad seperti akad murabahah diatas seperti yang diamantkan Pasal 56Undang-undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Dengan demikian diharapkan Bank Syariah akan lebih berhati-hati dan menerapkan prinsip syariah dalam menjalankan kegiatan usahanya pada umumnya terutama dalam menggunakan akad murabahah pada khususnya.

2. Semestinya DSN membuat pengaturan mekanisme kerja yang lebih terperinci lagi bagi DPS agar DPS dapat mengawasi secara efektif setiap kegiatan Bank Syariah agar tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Selain itu sanksi tegas harus dijatuhkan kepada DPS jika tidak mampu mengawasi Bank Syariah yang berada dibawah pengawasannya bilamana Bank Syariah tersebut terbukti melakukan pelanggaran terhadap Prinsip Syariah.

3. Bagi Bank Syariah seharusnya juga memperhatikan penggunaan akad agar sesuai dengan hukum Islam. Seperti pada kasus ini, jika untuk menambah modal usaha maka tidak perlu menggunakan akad murabahah. Lebih baik digunakan akad mudharabah atau musyarakah.

Bagi Bank Syariah sendiri seharusnya mampu menjamin agar para karyawannya memiliki pengetahuan seputar Hukum Islam dan akad-akad yang digunakan dalam kegiatan usaha Bank Syariah tersebut agar setiap kegiatan usaha yang dijalankan sesuai dengan Prinsip Syariah. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan memberikan pendidikan atau pelatihan secara khusus terhadap karyawan pada Bank Syariah.

(19)

DAFTAR REFERENSI 1. BUKU

Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Cet. 1. Jakarta: Gema Insani Press, 2001.

Dewi, Gemala. Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah. Cet. 3.

Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.

Sjahdeini, Sutan Remy. Perbankan Syariah: Produk-produk dan Aspek-aspek hukumnya.

Cet. 1. Jakarta: PT Jayakarta Agung Offset, 2010.

Tim pengembang Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia. Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah. Cet. 2. Jakarta: Percetakan Anem Kosong Anem, 2003.

Wirdyaningsih, et. al. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada, 2007.

Zulkifli, Sunarto. Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah. Jakarta: Zikrul Hakim, 2003.

2. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia. Undang-undang tentang Perbankan. UU No. 7 tahun 1992. LN. No. 31. TLN No.

3473.

_______. Undang-undang tentang Perbankan. UU No. 10 tahun 1998. LN. No. 182. TLN No. 3790.

_______. Undang-undang tentang Perbankan Syariah. UU No. 21 tahun 2008. LN. No. 94.

TLN. No. 4867.

Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana, 2009.

Bank Indonesia. Peraturan Bank Indonesia tentang Akad penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha berdasarkan Prinsip Syariah.

PBI No. 7/46/PBI/2005. LN. No. 124. TLN. No. 4563.

3. INTERNET

www.bi.go.id, diunduh pada tanggal 17 Juli 2013.

(20)

Anonymous. Kelembagaan, Operasional, dan Pengembangan Produk LKS.

http://mhugm.wikidot.com/artikel:011. Diunduh pada tanggal 10 Juni 2013.

 

Referensi

Dokumen terkait

Nilai modulus elastisitas beton bervariasi tergantung dari mutu atau kekuatan beton, umur pengujian beton, sifat-sifat (kekuatan) agregat halus, kasar dan semen,

Pada grafik hubungan antara stabilitas dan kadar aspal yang menggunakan aspal pen.60/70 seperti yang terlihat pada Gambar 1, 2, dan 3, terlihat hasil penelitian menunjukan bahwa

Dengan adanya tuntutan untuk dimanfaatkan sebagai museum serta paparan FGD mengenai perencanaan teknis Penataan Fisik Kota Pusaka (DTRK, 2013) yang memuat strategi

Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini memilih metode spektrofotometri ultraviolet sebagai metode yang digunakan untuk penetapan kadar α-mangostin dalam plasma

Wawancara dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui informasi kebutuhan produk dan karakteristik media yang akan dikembangkan. Wawamcara dilakukan pada tiga guru di SD Negeri

Hasil penelitian pada indicator penggunaan kalimat dalam berita, sebanyak 96% siswa termasuk dalam kategori kurang baik, para siswa belum mampu menggunakan kalimat yang

Dari hasil analisis tersebut dapat dikatakan bahwa perangkat pembelajaran yang dikembangkan dengan model PBL ini dapat digunakan untuk membantu mengatasi

• Sedangkan convex hull untuk tiga titik yang tidak terletak pada satu garis adalah sebuah segitiga yang menghubungkan ketiga titik tersebut.. • Untuk titik yang lebih banyak