• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLRI Peranan dan Kedudukan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "POLRI Peranan dan Kedudukan"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

Peranan dan Kedudukan

POLRI

dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H

Diterbitkan Oleh:

Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan Jl. Wolter Monginsidi No. 3

Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110, INDONESIA

Telp +62-21-7279-9566, Fax. +62-21-720-5260, +62-21-720-4916 http://www.kemitraan.or.id

Peranan dan Keduduk an POLRI

dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

(2)

Peranan dan Kedudukan POLRI

dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H.

Peranan dan Kedudukan

POLRI

dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H

Diterbitkan Oleh:

Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan Jl. Wolter Monginsidi No. 3

Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110, INDONESIA

Telp +62-21-7279-9566, Fax. +62-21-720-5260, +62-21-720-4916 http://www.kemitraan.or.id

Peranan dan Keduduk an POLRI

dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

(3)

ISBN: 978-602-1616-04-8

Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan Jl. Wolter Monginsidi No. 3

Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110 INDONESIA

Telp +62-21-7279-9566

Fax. +62-21-720-5260, +62-21-720-4916 http://www.kemitraan.or.id

Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Penulis : Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H.

Cetakan Pertama, Januari 2014

(4)

KATA PENGANTAR

Direktur Eksekutif Kemitraan

Masa transisi demokrasi Indonesia saat ini menuntut negara dan alat negara untuk tampil lebih professional dan mandiri. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai salah satu alat negara yang memiliki kedudukan, tujuan, dan fungsi strategis dalam mewujudkan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, yaitu mencapai masyarakat adil dan makmur. Polri juga berperan dalam menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) telah menetapkan status Polri melalui Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Dalam Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2000 dihasilkan dua ketetapan penting, yaitu Ketetapan MPR-RI Nomor VI/MPR/2000 Tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta Ketetapan MPR-RI Nomor VII/MPR/2000 Tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kedudukan dua ketetapan tersebut semakin bermakna setelah adanya perubahan kedua terhadap Pasal 30 UUD 1945. Berdasarkan aturan-aturan hukum di atas, jelaslah bahwa Polri bukanlah militer dan bukan pula bertugas dalam bidang pertahanan negara–yang merupakan wilayah tugas tentara/militer. Upaya pemisahan Polri dan TNI dilakukan setelah reformasi di Indonesia. Pada era tersebut, kedudukan Polri semakin dipertegas, karena secara yuridis keberadaannya telah dipisahkan dari TNI. Polri menjadi ujung tombak perwujudan keamanan dan ketertiban masyarakat.

Sesuai perkembangan ketatanegaraan Republik Indonesia dan pembaharuan hukum, khususnya pemisahan TNI dan Polri, ada beberapa konsekuensi hukum yang lahir. Pertama, Polri punya kuasa di bidang kepolisian preventif dan reprensif dalam

(5)

rangka Criminal Justice System. Kedua, Polri berperan aktif memelihara keamanan dalam negeri. Ketiga, Polri berkedudukan langsung di bawah presiden, dimana Kepala Polri diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan DPR.

Sesuai dengan kedudukannya yang berada langsung di bawah presiden, dalam merumuskan susunan organisasi Polri pemerintah diharapkan memperhatikan bahwa Polri merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem ketatanegaraan Indonesia sehingga Polri merupakan Kepolisian Nasional. Pembagian daerah hukum Polri disusun menurut keperluan pelaksanaan tugas Polri yang diusahakan sesuai dengan pembagian wilayah administratif pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar dapat diwujudkan keselarasan dengan unsur Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) atau instansi lainnya dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan Susunan Polri tersebut ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas usul Kapolri. Secara organisasi, Polri dipimpin oleh Kepala Polri yang menetapkan dan mengendalikan kebijaksanaan teknis kepolisian sesuai dengan kebijaksanaan presiden dengan memperhatikan saran dari Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).

Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara di dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat mengandung makna bahwa Polri adalah alat negara yang merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif yang tunduk pada kebijakan pemerintah (Presiden) dan implikasi yang timbul dari kedudukan polisi sebagai alat negara adalah mempunyai kedudukan yang mandiri dalam pelaksanaan tugasnya.

Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan (Partnership for Governance Reform), yang didirikan tahun 2000, melalui hibah dari berbagai lembaga dan negara donor mendorong berbagai reformasi dalam tata kelola pemerintahan, salah satunya adalah mendorong terwujudnya iklim demokrasi yang akomodatif dan partisipatif.

Karena itu, Kemitraan sangat mengapresiasi hasil penelitian Saudara M.Gaussyah dan berinisiatif untuk mempublikasikan hasil penelitiannya dalam bentuk buku.

Buku ini setidaknya menggambarkan bahwa reformasi yang sedang bergulir di Indonesia belum selesai, masih banyak hal-hal yang perlu kita benahi dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik di Indonesia. Semoga buku ini dapat berguna sebagai pendorong munculnya gagasan-gagasan, regulasi, dan kebijakan inovatif dalam perwujudan Good Governance di Indonesia.

Jakarta, 3 Januari 2014

Wicaksono Sarosa

Direktur Eksekutif Kemitraan

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR iii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang Penelitian 1

1.2 Identifikasi Masalah 9

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian 9

1.4 Kerangka Pemikiran 10

1.5. Metode Penelitian 18

1.6 Sistematika Penulisan 21

BAB 2 KAJIAN TEORETIK TENTANG KEDUDUKAN POLRI SEBAGAI ALAT

NEGARA PENEGAK HUKUM DAN KAMTIBMAS 23

2.1 Negara Berdasarkan Atas Hukum 23

2.2 Pembatasan Kekuasaan Melalui Konstitusi 29

2.3 Pembagian Kekuasaan dan Kedudukan Polri Sebagai Alat Negara

Penegak Hukum dan Kamtibmas. 30

2.4 Istilah Polisi 32

BAB 3 TINJAUAN UMUM TERHADAP SEJARAH, KEDUDUKAN, TUGAS, DAN WEWENANG POLRI SERTA STUDI KOMPARATIF TENTANG KEDUDUKAN DAN FUNGSI KEPOLISIAN DI NEGARA INGGRIS DAN JEPANG 37

3.1 Sejarah Perkembangan POLRI 37

3.2 Kedudukan Polri dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia 41 3.3 Kedudukan Polri Dalam Kepolisian Internasional 43

(7)

3.4 Tugas dan Wewenang POLRI 44

3.5 Kondisi Kemandirian Polri Saat Ini 46

3.6 Perkembangan Lingkungan Strategis 55

3.7 Studi Komparatif tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara

Inggris dan Jepang 68

BAB 4 KAJIAN TERHADAP MAKNA DAN IMPLIKASI KEDUDUKAN POLISI SEBAGAI ALAT NEGARA DI DALAM KERANGKA PENEGAKAN HUKUM

DAN KETERTIBAN DALAM MASYARAKAT 73

4.1 Kedudukan Polri Menurut UUD 1945 73

4.2 Kedudukan Polri Menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002

Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia 78

4.3 Tantangan Tugas Polri Pada Era Reformasi 84

4.4 Pelaksanaan Kedudukan Polisi Sebagai Alat Negara yang Mandiri dan Profesional di dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban

dalam Masyarakat 95

4.5 Beberapa Pemikiran tentang Faktor-faktor Pendukung dan Penghambat Kedudukan Polri Sebagai Alat Negara dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat Serta Upaya-Upaya yang Dapat

Dilakukan untuk Mengatasi Hambatan-hambatan Tersebut. 99

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 115

5.1 Kesimpulan 115

5.2 Saran-saran 116

DAFTAR PUSTAKA 117

A. BUKU-BUKU 117

B. DISERTASI, TESIS DAN MAKALAH 120

C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 121

D. KAMUS 121

E. Sumber-sumber Lain (Artikel, Majalah, Jurnal dan Surat Kabar) 122

(8)

1.1 Latar Belakang Penelitian

Peranan hukum dalam mengatur kehidupan manusia sudah dikenal sejak masyarakat mengenal hukum itu sendiri, sebab hukum itu dibuat untuk mengatur kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Hubungan antara masyarakat dan hukum diungkapkan dengan sebuah adagium yang sangat terkenal dalam ilmu hukum, yaitu ubi societas ibi ius, yang bermakna di mana ada masyarakat di sana ada hukum.

Hukum memegang peranan penting dalam perkembangan masyarakat; oleh karena itu tidak heran apabila peranan hukum mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Pada masyarakat yang sederhana, hukum berfungsi untuk menciptakan dan memelihara keamanan dan ketertiban (Kamtib). Selanjutnya fungsi ini berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat sendiri.

Dalam menjalankan fungsi menciptakan dan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) diperlukan institusi atau aparat penegak hukum. Dalam hal ini adalah lembaga kepolisian, sebagai suatu kelompok pekerja yang unik, yang menjalankan peran fungsional dan simbolik dalam masyarakat. Di dalam menjalankan peran yang demikian itu, lembaga kepolisian adalah pelindung kebebasan yang paling penting bagi perorangan atau kelompok. Namun secara paradoksal, diakui atau tidak, polisi juga dapat merupakan ancaman terhadap kebebasan.

Secara fungsional, polisi dituntut untuk melaksanakan tugas dengan sikap etis, adil, ramah, dan jujur di dalam memberikan pelayanan dan menjaga ketertiban, bukan sebagai tuan yang harus dilayani oleh masyarakat. Dalam menjaga ketertiban, polisi diberi wewenang untuk membatasi kebebasan gerak seseorang secara hukum.

BAB I

PENDAHULUAN

(9)

Secara simbolis, polisi tidak hanya merupakan lambang sistem peradilan pidana yang paling jelas, namun lebih jauh dari itu polisi juga mewakili suatu sumber pembatasan yang sah dalam suatu masyarakat bebas. Kegiatan polisi dalam suatu masyarakat demokratis merupakan bentuk tugas polisi yang paling sulit. Karena polisi dituntut untuk dapat menciptakan dan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dalam kerangka kebebasan yang justru dijamin oleh demokrasi.

Dewasa ini hampir di mana pun di dunia, polisi berurusan dengan pekerjaan memelihara hukum dan ketertiban (law and order). Lebih khusus lagi memerangi kejahatan dalam masyarakat. Oleh karena spesialisasi dan pembagian kerja yang makin ketat dan rinci yang menjadi ciri masyarakat modern, maka pekerjaan polisi pun menjadi tidak mudah. Dalam hubungan ini, polisi dihadapkan kepada struktur birokrasi dan hukum modern yang semakin formal. Sekalipun polisi mengemban tugas memelihara hukum dan ketertiban, tetapi tugas itu tetap dilaksanakan dalam ruang lingkup dan mengikuti persyaratan yang disodorkan oleh struktur tersebut.

Untuk mengatasi masalah yang dihadapi polisi (Polri) ke depan, harus diberikan aturan, peranan, dan kedudukan yang jelas serta tegas terhadap lembaga kepolisian.1

Lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan salah satu alat negara yang memiliki kedudukan, tujuan dan fungsi penting serta strategis dalam mewujudkan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, yaitu mencapai masyarakat adil dan makmur. Untuk itu perlu dipahami pengertian Polri itu sendiri.

Secara konstitusional, Majelis Permusyawaratan Rakyat telah menetapkan status Polri melalui perubahan kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagaimana dimuat dalam Bab XII Pasal 30 ayat (2), ayat (4) dan ayat (5).

Pasal 30 ayat (2): Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung.

Pasal 30 ayat (4): Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum.

Pasal 30 ayat (5): Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, di dalam menjalankan tugasnya, syarat-syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan keamanan negara, serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan keamanan diatur dengan undang-undang.

Menurut bunyi Pasal 30 ayat (4) Undang Undang Dasar 1945, dapat diketahui bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga

1 Satjipto Rahardjo, Polisi dan Masyarakat Indonesia - Citra Polisi, Yayasan Obor Indonesia Jakarta, 1988, hlm. 174.

(10)

Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas), bertugas melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat serta menegakkan hukum, yang akhirnya bertujuan untuk mencapai ketertiban hukum dan ketertiban sosial.2

Pengertian Kamtibmas menurut Pasal 1 angka 5 Undang-undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 adalah :

“Suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketenteraman yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat”.

Pengertian Kamtibmas sebagaimana disebutkan di atas ialah bahwa Kamtibmas merupakan suatu kebutuhan dasar masyarakat yang menginginkan suasana aman, damai dan tertib dalam tata kehidupan. Hal ini berkaitan dengan harapan dan keinginan masyarakat yang mendambakan perasaan bebas dari ganguan fisik dan psikis, bebas dari rasa takut dan segala macam ancaman bahaya serta perasaan damai dan tenteram lahir dan bathin. Hak-hak tersebut adalah hak alami manusia berdasarkan hukum alam. Oleh karena manusia mempunyai hak yang dikenal sebagai bayangan hidup dari Tuhan, maka setiap individu mempunyai hak untuk berdaulat, hak untuk berada, hak untuk berfungsi dan hak untuk dilindungi.3

Dalam Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2000 juga dihasilkan dua buah ketetapan yang amat penting artinya bagi Polri, yaitu Ketetapan MPR-RI No.VI/MPR/2000 Tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta Ketetapan MPR-RI No. VII/MPR/2000 Tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kedudukan Tap MPR No.VI/MPR/2000 dan Tap MPR No. VII/MPR/2000 tersebut semakin bermakna setelah adanya perubahan kedua terhadap Pasal 30 UUD 1945.

Dalam Pasal 6 ayat (1) Tap MPR No. VII/MPR/2000 disebutkan bahwa Polri merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat; sedangkan Pasal 6 ayat (2) menyebutkan bahwa dalam menjalankan perannya, Polri wajib memiliki keahlian dan keterampilan secara profesional.

Dalam konteks ini, Kunarto4 menyatakan bahwa sebagai alat negara yang memiliki peranan dan tanggung jawab dalam bidang penegakan hukum di Wilayah

2 Bambang Poernomo, Pembangunan Hukum dalam Perspektif Ketertiban Sosial, Penerbit UII Press, Yogyakarta 1992,hlm.173

3 LaRouche, Apakah Demokrasi itu ?- Rencana Besar Menghancurkan Kekuatan Militer Di Amerika Latin (diterjemahkan oleh Sesko TNI), EIR News Service, Inc, Washinton DC, 1994, hlm. 242.

4 Kunarto, Perilaku Organisasi Polri, Cipta Manunggal, Jakarta,1997. hlm.36

(11)

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Polri haruslah bersikap profesional dan berwibawa dengan menganut prinsip bahwa hukum adalah di atas segala- galanya, keadilan dan kejujuran harus ditegakkan. Dalam melaksanakan tugasnya memelihara keamanan di dalam negeri, Polri haruslah dapat secara tepat dan akurat memanfaatkan segenap potensi bangsa terutama dengan melibatkan seluruh rakyat Indonesia sebagai bahagian dari unsur keamanan itu sendiri dengan menciptakan suatu kondisi bahwa setiap rakyat mampu untuk menjadi polisi bagi dirinya sendiri.

Kedudukan Polri sebagai alat negara adalah kedudukan Polri sebagai unsur sistem penyelenggara kekuasaan negara, unsur sistem keamanan, serta unsur sistem peradilan pidana yang masing-masing membawa konsekuensi-konsekuensi institusional serta organisasi tersendiri. Masalah itu lahir oleh karena dalam hubungannya dengan penyelenggaraan kekuasaan negara, Polri tentu akan berhadapan dengan berbagai bentuk dinamika masyarakat sipil. Sementara itu sebagai unsur keamanan, Polri harus bekerja dalam kerangka konsep dan operasi yang berlaku dikalangan Kepolisian dan sebagai sistem peradilan pidana, Polri bergerak sebagai ujung tombak, sekaligus penyeleksi dalam sebuah proses hukum.5

Polri sebagai institusi atau organisasi yang menjalankan fungsi sebagai alat negara harus menjalankan strategi negara, khususnya untuk kepentingan stabilitas serta pengendalian masyarakat sipil. Di samping itu, Polri harus pula merealisasikan kesepakatan-kesepakatan internasional mengenai penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan mewujudkan keadilan (hukum maupun sosial) dalam kondisi masyarakat yang demokratis.

Selain standar dan konvensi internasional di bidang hak-hak sipil dan politik, hak-hak sosial, ekonomi dan budaya, serta hak-hak kelompok-kelompok masyarakat (anak, perempuan, buruh,dll), secara internasional diakui juga oleh sejumlah konvensi serta prinsip yang dapat menjadi acuan bagi evaluasi orientasi dan pola kerja “alat negara” yaitu antara lain :6

1. Body of Principles for the Protection of All Persons under any form of Detention or Inprisonment;

2. Declaration on the Protection of All Person from being Subjected to Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment;

3. Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment;

4. Code of Conduct for Law Enforcement officials.

Dewasa ini, tugas polisi semakin kompleks, hal ini disebabkan oleh kemajuan teknologi yang berkembang dengan sangat pesat yang memicu terjadinya globalisasi dan modernisasi di segala bidang kehidupan. Modernisasi tidak hanya membawa

5 Kusumah, Mulyana W, Polisi Masa depan Dalam Perspektif Kriminologi-Polisi, Masyarakat dan Negara, Bigraf Publishing, Yogyakarta, 1995, hlm.153.

6 Ibid, hlm.154.

(12)

dampak positif dalam bidang kehidupan, tetapi juga membawa dampak negatif terutama dalam bidang kejahatan/pidana. Meningkatnya intensitas kejahatan dan berbagai macam tindak kejahatan yang terjadi dengan berbagai modus operandinya memberikan suatu tantangan tugas baru yang lebih berat bagi Polri dalam mewujudkan Kamtibmas.

Ketika taraf kehidupan masyarakat masih sederhana, modus operandi kejahatan yang timbul pun tergolong sederhana (konvensional), seperti pencurian, pembunuhan biasa, penggelapan, perampokan, perkosaan, dan penipuan. Akan tetapi ketika modernisasi merasuki kehidupan masyarakat, maka intensitas kejahatan semakin tinggi dan modus operandi kejahatan semakin canggih pula. Tidak hanya itu, masalah kamtibmas pun semakin kompleks dan mutakhir. Dewasa ini, pembunuhan yang disertai dengan perampokan dan perkosaan merupakan berita pagi yang sudah biasa didengar atau dibaca. Begitu pula pencurian uang melalui pembobolan Anjungan Tunai Mandiri (ATM) melalui komputer pun sudah sering dilakukan, bahkan kasus terakhir pembobolan rekening kartu kredit warga negara asing yang dilakukan melalui akses internet oleh warga negara Indonesia cukup merepotkan Polri. Banyak lagi kejahatan yang lebih canggih dan modern yang dilakukan oleh petualang- petualang kejahatan yang tidak dapat diungkap dan ditangkap oleh pihak Polri.

Di lain pihak, masih lemahnya institusi Polri dalam menangani berbagai aksi kerusuhan dan pemberontakan yang terjadi di daerah-daerah menyebabkan institusi Polri dipandang sebelah mata oleh masyarakat, bahkan ironisnya oleh pemerintah sendiri, sehingga tidak jarang dalam menangani aksi kerusuhan dan pemberontakan, institusi Polri sering didahului atau dilangkahi oleh institusi militer. Seperti contoh dalam menangani kerusuhan di Ambon, Maluku, yang tampil ke depan terlebih dahulu adalah institusi militer, sehingga terjadi gesekan-gesekan di lapangan. Begitu pula halnya dengan pemberontakan di Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam), peranan Polri sebagai ujung tombak pencipta Kamtibmas kurang berfungsi secara baik. Hal ini dapat dilihat dari digelarnya operasi militer yang dikenal dengan operasi jaring merah pada saat diberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM) dari tahun 1989 sampai tahun 1998, dimana peran Polri diambil alih oleh institusi militer (TNI). Seharusnya dalam keadaan seperti itu, Polri menunjukkan perannya sebagai pewujud Kamtibmas (sebagai penanggung jawab keamanan dalam negeri) sesuai dengan bunyi Pasal 4 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 yang menyebutkan bahwa :

“Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”.

Menurut ketentuan Pasal 30 Undang-undang Dasar 1945, Polri diberikan kedudukan dan peranan yang penting dan strategis dalam rangka perwujudan keamanan dan ketertiban masyarakat serta diberi tugas untuk melindungi,

(13)

mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum. Suasana ketertiban yang mantap diperlukan oleh masyarakat yang menghendaki keadaan yang aman dan stabil.

Polri pada hakikatnya mempunyai tugas “melindungi” yang berbeda dengan Angkatan Perang. Secara prinsipil terdapat perbedaan tugas dan fungsi antara Angkatan Perang sebagai penegak kedaulatan dan Polri sebagai penegak hukum, pelindung, pengayom dan pembimbing masyarakat sehingga kedudukannya dalam sistem ketatanegaraan dan tugas serta kewenangannya dalam sistem pemerintahan berbeda, dalam arti tidak dapat disatukan.

Menurut Vollenhoven dan Recless, kalau ingin maju dan memiliki masyarakat yang berdisiplin tinggi, suatu negara harus memiliki kepolisian yang kuat dan tangguh. Kedua pakar hukum tersebut, mengembangkan teori Montesquieu yang membagi kekuasaan negara ke dalam tiga kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif atau yang lebih dikenal dengan teori Trias Politica. Namun teori Trias Politica ini menurut Vollenhoven7 masih perlu dikembangkan lagi, sehingga perlu menambah satu kekuasaan negara lagi menjadi empat kekuasaan negara (caturpraja),8 yaitu kepolisian sebagai pengawas sekaligus pemaksa undang-undang, agar undang- undang dipatuhi oleh segenap masyarakat sehingga ketertiban dan keamanan terpelihara, disiplin masyarakat terwujud serta dinamika kehidupan masyarakat berjalan dengan baik.

Sejak akhir abad ke-20 telah ada konstelasi tentang perubahan peran kepolisian dari lingkup penegakan hukum secara sempit ke arah lingkup yang lebih luas mencakup upaya memelihara ketertiban dan pelayanan sosial. Hal tersebut menuntut orientasi, dimensi dan topik baru mengenai peran kepolisian, yang gilirannya menuntut pula bahasan tentang penyesuaian organisasi dan kedudukan kepolisian dalam menyelenggarakan fungsinya.

Di Indonesia sekalipun fungsi kepolisian telah mengalami perkembangan dari lingkup penegakan hukum yang sempit ke arah lingkup yang lebih luas, namun dalam perjalanannya seringkali dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang meletakkan polisi pada sisi kepentingan bukan pada profesionalisme sesuai dengan visi dan misinya, sehingga fungsi kepolisian mengalami distorsi.

Distorsi fungsi kepolisian, tercermin pada tugas-tugas yang harus dilaksanakan.

Tugas Polri pada masa yang lalu banyak diambil alih oleh beberapa institusi yang tidak memiliki wewenang kepolisian. Hal itu pula yang menyebabkan Polri didudukkan sebagai subordinat dari institusi yang tidak memiliki fungsi dan peran yang sama dengan kepolisian secara universal. Tugas kepolisian pada masa lalu,

7 Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hlm. 447.

8 Van Vollenhoven membagi Hukum Administrasi Negara kedalam :

a. Regelaarsrecht = the law of the legislative process = Hukum Peraturan perundangan b. Bestuursrecht = the law of the government = Hukum Tata Pemerintahan c. Justitierecht = the law of the administration of justice = Hukum Acara Peradilan d. Politierecht = the law of the administration of security = Hukum Kepolisian

(14)

di satu sisi mengemban fungsi militer, dan di sisi lain fungsi kepolisian yang harus melindungi dan mengayomi masyarakat. Motto militer “ to kill or to be killed” harus disatukan dengan motto kepolisian “fight crime, help the delinquent, love humanity”.

Secara filosofis hal tersebut satu sama lain sangat bertentangan.

Pada saat kedudukan Polri masih bagian dari ABRI, banyak masalah yang timbul sehingga dapat mengganggu stabilitas keamanan dan kredibilitas Polri di mata dunia internasional. Contoh masalah tersebut adalah ketidakberdayaan Polri membasmi sarang-sarang perjudian, peredaran narkoba, perampokan bersenjata, praktek prostitusi, dll. Hal ini dikarenakan oleh sebagian dari pelaku tindak pidana tersebut dilindungi oleh aparat militer (TNI), yang pada saat itu intervensi TNI terlalu kuat dalam menghalangi tindakan kepolisian. Di samping itu, pendidikan, latihan dan keterampilan yang diterima Polri sangat terbatas, bahkan sangat jarang mengirimkan anggotanya untuk mendapat pendidikan luar negeri karena sering diambil hak pendidikannya oleh TNI, bahkan untuk pendidikan intelijen dan pendidikan Interpol pun lebih didominasi oleh TNI. Pada akhirnya timbullah antipati, apatis dan rasa benci masyarakat terhadap Polri, yang dianggap tidak mampu mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat.

Setelah Polri terpisah dari ABRI, masih banyak masalah yang dijumpai, antara lain ketidaksiapan Polri dalam mengantisipasi tindak pidana yang terjadi karena rendahnya sumber daya manusia Polri, keterbatasan sarana/prasarana operasional penunjang tugas seperti alat komunikasi, kendaraan bermotor, senjata api, dan alat khusus kepolisian. Bahkan fasilitas markas/kantor masih belum memadai. Tidak hanya itu, keterbatasan personil, pemahaman tugas anggota yang kurang memadai, anggaran yang terbatas, dan gaji yang kurang memadai membuat anggota Polri sering bertingkah tidak simpatik dan bahkan melanggar hukum. Ketidakjelasan kedudukan dan mekanisme pertanggungjawaban di tubuh Polri, mekanisme kepangkatan dan mutasi yang tidak jelas serta peran, fungsi dan kedudukan Polri yang kurang jelas menyebabkan institusi Polri masih kurang dihargai dan dihormati oleh masyarakat.

Dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002, diatur tentang kedudukan Polri, yang menyatakan bahwa : “Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden”.

Ketentuan tersebut tidak menyebutkan secara tegas kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Ada beberapa alternatif yang dapat dijadikan acuan tentang kedudukan Polri langsung di bawah Presiden, yaitu :

1. Lembaga Khusus Pemerintah setingkat Kejaksaan Agung

2. Departemen Kepolisian yang dipimpin oleh Menteri Kepolisian Negara Republik Indonesia

3. Lembaga Pemerintahan Non Departemen (LPND) yang dipimpin oleh Kapolri.

4. Berada/sebagai bagian dari Departemen Dalam Negeri.

Dewasa ini, walaupun kedudukan Polri telah dinyatakan mandiri, yang biasa

(15)

dikenal dengan istilah kemandirian Polri, dalam kenyataannya tidak/belum terlaksana. Hal ini disebabkan masih kuatnya intervensi berbagai lembaga di luar Polri, termasuk intervensi pemerintah dalam proses operasional dan manajemen Polri. Ketidaktransparanan dalam finansial dan penyediaan sarana/prasarana untuk lembaga Polri dan tidak berfungsinya secara baik mekanisme kepangkatan dan dewan kepangkatan di tubuh Polri disebabkan oleh adanya rekayasa dari luar Polri.

Pengaturan tentang kedudukan polisi sebagai alat negara di dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat tersebut berada dalam ru- ang lingkup ilmu hukum tata negara. Hal ini sesuai dengan batasan hukum tata negara, yang antara lain sebagaimana dikatakan oleh Logemann, bahwa hukum tata negara (dalam arti yang sempit) adalah serangkaian kaidah hukum yang mengatur:9

1. jabatan-jabatan apakah yang terdapat dalam susunan ketata negaraan tertentu;

2. siapakah yang mengadakan jabatan-jabatan itu;

3. bagaimanakah cara melengkapinya dengan pejabat;

4. apakah tugasnya (lingkungan pekerjaannya);

5. apakah wewenang hukumnya;

6. perhubungan kekuasaannya satu sama lain;

7. dalam batas-batas apakah organisasi negara (dan bagian-bagiannya) menjalankan tugas kewajibannya.

Menurut batasan yang diberikan oleh Logemann tersebut, jelas bahwa pengaturan tentang wewenang hukum jabatan termasuk dalam bidang hukum tata negara. Kedudukan Polisi di dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat merupakan kajian bidang hukum tata negara karena menyangkut mengenai jabatan-jabatan yang terdapat dalam susunan ketata negaraan Indonesia, juga mengatur mengenai tugas, wewenang, hubungan kekuasaan Polri dengan kekuasaan pemerintahan lainnya dan batas-batas Lembaga Polri menjalankan tugas kewajibannya.

Wade dan Bradley,10 berpendapat bahwa tugas serta wewenang lembaga- lembaga negara merupakan kajian bidang hukum ketatanegaraan. Demikian pula pendapat Hood Philips11, yang menegaskan bahwa, hubungan antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lainnya, pengaturan tugas dan kewenangan dari masing-masing lembaga negara merupakan ruang lingkup hukum ketatanegaraan.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan; bahwa kedudukan, tugas dan wewenang polisi sebagai alat negara di dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat adalah masalah hukum dan kajian bidang Hukum Tata Negara Indonesia.

9 Sri Soemantri M, Prosedur Dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 1987, hlm.143-147 10 Ibid, hlm.145-146

11 Ibid, hlm.146

(16)

Sesuai dengan latar belakang perlu dilakukan penelitian terhadap Polri sebagai penegak hukum dan penjaga ketertiban dalam masyarakat.

1.2 Identifikasi Masalah

Berkaitan dengan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas, permasalahan dalam penelitian ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut :

1. Apakah makna dan implikasi yang timbul dari kedudukan Polri sebagai alat negara ?

2. Apakah dengan kedudukan Polri sebagai alat negara dapat menjamin terwujudnya penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat ?

3. Faktor-faktor apakah yang mendukung dan menghambat kedudukan Polri sebagai alat negara dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat serta upaya-upaya apakah yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut ?

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui kedudukan dan fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia secara yuridis dalam rangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat

2. Mengungkapkan peranan Polri dalam kedudukannya sebagai alat negara dalam upaya menjamin terwujudnya penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat.

3. Mengungkapkan faktor-faktor yang mendukung dan menghambat kedudukan Polri sebagai alat negara dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat serta mengungkap upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut.

1.3.2 Kegunaan Penelitian

1.3.2.1 Kegunaan Teoretis :

Secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan kegunaan bagi pengembangan ilmu berupa kerangka teoritik tentang kedudukan Polri sebagai alat negara.

(17)

1.3.2.2 Kegunaan Praktis :

Penelitian ini diharapkan pula dapat memberikan kegunaan praktis terutama menemukan faktor-faktor yang dapat mendukung dan menghambat kedudukan Polri sebagai alat negara dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat, serta upaya-upaya untuk mengatasi hambatan- hambatan tersebut.

1.4 Kerangka Pemikiran

Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup secara sendiri-sendiri dan terpisah dari lingkungannya. Adanya keinginan untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya mengakibatkan manusia saling berhubungan antara satu dan lainnya.

Agar terwujudnya keteraturan dan tercapainya tujuan bersama, diadakanlah aturan- aturan dan dipilih pemimpin di antara mereka.

Untuk mencapai tujuan bersama, maka setiap manusia perlu bernegara,12 oleh karena negara adalah suatu organisasi kekuasaan daripada manusia-manusia (masyarakat) dan merupakan alat yang akan dipergunakan untuk mencapai tujuan bersama itu. Tiap-tiap negara mempunyai tujuannya. Tujuan suatu negara bermacam- macam, antara lain :

a. untuk memperluas kekuasaan semata-mata;

b. untuk menyelenggarakan ketertiban hukum;

c. untuk mencapai kesejahteraan umum.

Salah satu ajaran mengenai tujuan negara adalah ajaran negara hukum yakni negara bertujuan menyelenggarakan ketertiban hukum dengan berdasarkan dan berpedoman pada hukum (Krabbe). Dalam negara hukum segala kekuasaan dari alat-alat pemerintahannya didasarkan atas hukum. Semua orang tanpa kecuali harus tunduk dan taat pada hukum, hanya hukumlah yang berkuasa dalam negara itu.

Pandangan tentang negara hukum dibagi dalam dua pengertian, yakni negara hukum dalam arti sempit/formal/klasik atau negara penjaga malam (nachtwakersstaat) dan negara hukum dalam arti luas/materiil/modern atau negara kesejahteraan (welfarestate). Negara hukum dalam arti sempit adalah pandangan dari mereka yang menganggap, bahwa suatu negara yang segala aksinya dibatasi oleh undang-undang yang dibuat dengan bantuan dewan perwakilan rakyat. Dalam pandangan negara hukum kuno dari filsuf-filsuf Jerman, antaranya Kant, maka negara hanya dipandang sebagai suatu negara penjaga malam (nachtwakersstaat).

Dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa negara sebagai sang penjaga malam, yang hanya bertindak untuk memukul dengan tongkatnya, apabila ketenteraman,

12 Kansil, C.S.T, Sistem Pemerintahan Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta, 1995, hlm. 14-15.

(18)

ketertiban dan keamanan atau hak-hak asasi perseorangan terancam. Tugas negara hanya memelihara keamanan semata.13

Pasal 1 ayat (3) Perubahan Ketiga UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Ketentuan pasal tersebut memperjelas bahwa Indonesia adalah negara hukum yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mewujudkan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat serta mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur. Selanjutnya disebutkan bahwa negara hukum menentukan alat-alat perlengkapan yang bertindak menurut dan terikat kepada peraturan-peraturan yang ditentukan terlebih dahulu oleh alat- alat perlengkapan yang dikuasakan untuk mengadakan peraturan itu.

Adapun ciri-ciri khas bagi suatu negara hukum adalah:14 a. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia;

b. Peradilan yang bebas dari pengaruh suatu kekuasaan atau kekuatan lain yang tidak memihak;

c. Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya.

Sri Soemantri M,15 mengemukakan bahwa unsur-unsur terpenting negara hukum ada empat, yaitu :

1. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan;

2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);

3. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;

4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle).

Untuk menegakkan hukum diperlukan adanya institusi penegak hukum, salah satunya yaitu polisi.16 Polisi secara yuridis dapat mengambil alih tugas/fungsi negara sebagai pemelihara ketertiban dan penegak hukum. Rakyat tidak boleh bertindak sendiri dan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Sebagai pengembangan lebih lanjut dari ajaran negara hukum adalah konsep negara kesejahteraan (welfare state/social service). Tujuan negara ini adalah mewujudkan kesejahteraan umum. Dalam hal ini negara dipandang sebagai alat belaka yang dibentuk manusia untuk mencapai tujuan bersama, kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat negara itu. Negara hukum dalam arti luas ini mempunyai

13 Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, 1983, hlm.9-10.

14 Andi Mustari Pide, Pengantar Hukum Tata Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1999, hlm.94 15 Sri Soemantri M, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 29-30.

16 Istilah polisi merujuk baik pada orangnya atau lembaganya, adalah suatu badan / orang yang diberikan kewenangan kepadanya untuk menegakan hukum dan menciptakan Kamtibmas. Perkataan polisi berasal dari kata Yunani politeia, yang dipergunakan untuk menyebut orang menjadi warga negara dari kota Athena, kemudian pengertian itu berkembang dan artinya berubah menjadi kota dan dipakai untuk menyebut semua urusan kota.

(19)

kewajiban yang lebih luas. Negara yang modern harus mengutamakan kepentingan seluruh masyarakatnya. Kemakmuran dan keamanan sosial, bukan hanya keamanan semata, yang harus dikejar kemakmuran seluruh lapisan masyarakat. Berdasarkan tugas pemerintah ini, maka penguasa zaman sekarang turut serta dengan aktif dalam mengatur pergaulan hidup khalayak ramai. Tindakan-tindakan pemerintah dewasa ini yang menjadi tujuan adalah kepentingan umum.

Negara kesejahteraan itu merupakan pengembangan dari ide negara hukum, yang oleh Kant dimanfaatkan sekedar untuk menegakkan keamanan dan ketertiban di masyarakat (rust en orde/Kamtibmas). Tidak mengherankan bahwa ide Kant dikenal dengan nama Negara Jaga Malam (Nachtwakerstaat) dimana pencapaian kesejahteraan masing-masing terserah pada warga masing-masing sesuai prinsip liberalisme (sempit) dengan persaingan bebasnya. Ide negara hukum ini berkembang dari Negara Hukum Liberal (Jaga Malam) ke Negara Hukum Formal; kemudian Negara Hukum Materiil dan yang terakhir sekarang ialah negara hukum dalam arti negara kemakmuran yang dikenal dengan sebutan : Wohlfahrtstaat, Social Service State, sociale Verzorgingsstaat, welfarestaat dan sebagainya.17

Konsep negara kesejahteraan secara tegas disebutkan dalam Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa :

“...untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,...”

Subekti dalam bukunya yang berjudul “Dasar-Dasar Hukum dan Pengadilan

“mengatakan, bahwa hukum itu mengabdi pada tujuan negara yang dalam pokoknya ialah mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya.

Keadilan itu kiranya dapat digambarkan sebagai suatu keadaan keseimbangan yang membawa ketentraman di dalam hati orang, dan jika diusik atau dilanggar akan menimbulkan kegelisahan dan kegoncangan.18 Sebagai alat negara yang diberikan kewenangan untuk menegakan hukum, keamanan dan ketertiban masyarakat, polisi bertanggung jawab dalam menciptakan iklim kondusif, aman, tentram dan damai dalam masyarakat.

Sebagai alat negara yang berperan dan berfungsi menegakan hukum dan ketertiban masyarakat, polisi harus memainkan peran aktif dalam mewujudkan negara kesejahteraan. Salah satu syarat untuk dapat mewujudkan negara kesejahteraan oleh polisi adalah dengan memberikan kewenangan penuh kepada Polri sebagai penanggung jawab keamanan dalam negeri yang utama. Rumusan tentang hakekat

17 Padmo Wahjono, Asas Negara Hukum dan Perwujudannya Dalam Sistem Hukum Nasional (Sistem Hukum Nasional (Politik Pembangunan Hukum Nasional ), UII Press,Yogyakarta,1992, hlm.40

18 Kansil,C.S.T, Op.cit., Hlm 41

(20)

permasalahan, maupun spektrum ancaman Kamdagri pada dasarnya adalah permasalahan dan urusan dalam negeri yang bersifat pelanggaran hukum termasuk pemberontakan-pemberontakan bersenjata yang masih berasal dan berskala dalam negeri. Mengingat luasnya permasalahan Kamdagri yang penangganannya harus menggerakkan seluruh unsur potensi masyarakat baik sebagai komponen dasar utama maupun pendukung diperlukan suatu kebijakan pemerintah yang memungkinkan Polri untuk dapat menggerakan dan mengendalikan segenap potensi kekuatan keamanan termasuk didalamnya unsur Angkatan Perang yang diperbantukan pada Polri, kebijakan tersebut adalah berupa reposisi Polri yang secara yuridis memberi kewenangan kepada Polri untuk menggerakan dan mengendalikan unsur-unsur Angkatan Perang dan komponen keamanan dalam negeri lainnya.

Reposisi yang paling tepat untuk mendapatkan hasil yang efektif adalah dengan mendudukan lembaga Polri sebagai lembaga otonom setingkat Menteri, Panglima TNI atau Kejaksaaan Agung, serta bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Negara adalah organisasi kekuasaan, hal ini disebabkan karena setiap negara mempunyai pusat-pusat kekuasaan baik yang berada dalam suprastruktur politik maupun yang berada dalam infrastruktur politik. Sedangkan kekuasaan adalah suatu kemampuan untuk memaksakan kehendak kepada pihak lain atau kemampuan untuk mengendalikan pihak lain. Untuk membatasi kekuasaan itulah diadakan konstitusi, hal ini tidak lain untuk mengurangi tindakan sewenang-wenang dari pemegang kekuasaan, Power tends to corrupt, absolut power corrupt absolutely.

International Commission of Jurist telah menentukan syarat-syarat representative goverment under the rule of law (pemerintahan berdasarkan atas sistem perwakilan yang berdasarkan hukum), sebagai berikut :

1. Adanya proteksi konstitusional,

2. Adanya pengadilan yang bebas dan tidak memihak, 3. Adanya pemilihan umum yang bebas,

4. Adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berserikat, 5. Adanya tugas oposisi,

6. Adanya pendidikan civic.19

Adanya proteksi konstitusional ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 setelah perubahan ketiga yang menyatakan bahwa : Negara Indonesia adalah negara hukum. Demikian pula di dalam Penjelasan Umum UUD 1945 tentang sistem Pemerintahan Negara, dimana dalam bagian II dikatakan : Pemerintahan berdasarkan atas sistem hukum dasar, tidak bersifat kekuasaan yang tidak terbatas (absolutisme).

Keberadaan konstitusi untuk membatasi kekuasaan dalam negara dapat dilihat

19 Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,1993, hlm.13

(21)

dari muatan konstitusi yang menurut Sri Soemantri20 sedikitnya memiliki 3 (tiga) muatan yaitu :

1. Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia

2. Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang mendasar

3. Adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang mendasar.

Pengakuan adanya hak asasi manusia dalam konstitusi mempunyai arti membatasi kekuasaan negara dari tindakan sewenang-wenang terhadap rakyat yang dikuasainya.

Konsep kenegaraan yang ditemukan dalam UUD 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) dan bukan negara kekuasaan (machtstaat). Dalam negara yang berdasarkan hukum inilah keberadaan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang berperan sebagai penegak hukum, pengayom, pelindung, pembimbing dan pelayan masyarakat dalam mewujudkan kepastian hukum, mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat serta sebagai tulang punggung keamanan negara dalam menyelenggarakan pembangunan.

Secara konstitusional kedudukan polisi di dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat telah ditegaskan dalam ketentuan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 setelah perubahan ketiga21 Pengaturan tentang kedudukan polisi dalam konstitusi menandakan bahwa lembaga Polri merupakan alat negara yang mempunyai kedudukan, tugas dan fungsi sebagai pewujud keamanan dan ketertiban masyarakat, di samping sebagai alat negara penegak hukum yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Criminal Justice System (CJS).

Salah satu unsur dari negara hukum yang tidak kalah pentingnya adalah adanya pembagian kekuasaan dalam negara. Pembagian tugas dan wewenang yang dimaksudkan adalah meliputi wewenang legislatif, wewenang eksekutif dan wewenang yudikatif. Mengenai masalah pembagian tugas dan wewenang ini, dapat dikemukakan gagasan yang dikemukakan oleh Charles de Secondat Montesquieu, seorang sarjana filsafat dan kenegaraan kelahiran Perancis, yang telah mendapat nama harum karena bukunya “L’esprit des Lois (Jiwa Undang-undang)”. Dalam buku ini (1748) Montesquieu, mengemukakan bahwa kekuasaan negara harus dibagi-bagi dalam tiga kekuasaan yang terpisah-pisah (la separation des pouvoirs = pemisahan kekuasaan-kekuasaan). Ketiga kekuasaan itu ialah :

1. Kekuasaan membentuk undang-undang (Legislatif) 2. Kekuasaan menjalankan undang-undang (Eksekutif)

3. Kekuasaan mengadili pelanggaran-pelanggaran terhadap undang-undang (Yudikatif).22

20 Sri Soemantri M, Op.cit.,hlm.51

21 Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 setelah perubahan ketiga menyatakan bahwa : Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga kemanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakan hukum.

22 Solly Lubis, M., Hukum Tata Negara, CV Mandar Maju, Bandung, 1992, hlm.57.

(22)

Menurut Montesquieu, ketiga kekuasaan tersebut harus dipisah-pisah demikian, sehingga yang satu terpisah dari yang lainnya, dan pemisahan ini perlu, supaya kekuasaan pemerintahan tidak terpusat pada satu tangan saja (raja). Dengan adanya pemisahan kekuasaan itu diharapkan akan dapat dicegah tindakan-tindakan sewenang-wenang dan bahkan kebebasan berpolitik dalam negara akan lebih terjamin.

Menurut Donner Trias Politica itu bertitik tolak pada perbedaan bentuk dari pelbagai macam tindakan penguasa saja. Karena itu lebih tepat jika orang bertitik tolak pada kenyataan, bahwa sesungguhnya semua kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh penguasa hanya meliputi dua bidang saja yang berbeda, yaitu :

1. bidang yang menentukan tujuan yang akan dicapai atau tugas yang akan dilakukan (bidang politik atau politics / policy making).

2. bidang yang menentukan perwujudan atau pelaksanaan dari tujuan atau tugas yang sudah ditetapkan itu (bidang pemerintahan atau bestuur).

Selanjutnya Vollenhoven berpendapat, bahwa dalam melaksanakan tugas negara dapat dibagi dalam empat fungsi yang lazim disebut caturpraja, yaitu :

1. regeling (membuat peraturan)

2. bestuur (pemerintahan dalam arti sempit) 3. rechtspraak (mengadili)

4. politie (polisi).

Pentingnya polisi dalam menjalankan tugas negara, menjadikan fungsi polisi sebagai fungsi yang harus diatur sendiri dalam suatu lembaga kepolisian. Begitu pula halnya di Indonesia, yang mengedepankan polisi sebagai alat negara yang menegakkan hukum dan menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, sehingga sangat patut menempatkan polisi dalam suatu institusi sendiri yang mandiri dan otonom.

Indonesia tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan, tetapi menganut pembagian kekuasaan. Pengertian pembagian kekuasaan adalah berbeda dari pengertian pemisahan kekuasaan. Pemisahan kekuasaan berarti bahwa kekuasaan negara itu terpisah-pisah dalam beberapa bagian, baik mengenai orangnya maupun mengenai fungsinya. Pembagian kekuasaan berarti bahwa kekuasaan itu memang dibagi-bagi dalam beberapa bagian, tetapi tidak dipisahkan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa di antara bagian-bagian itu dimungkinkan adanya kerja sama.23

Polri adalah alat negara yang merupakan salah satu bagian dari fungsi eksekutif (pelaksana undang-undang). Adanya intervensi terhadap kedudukan, peran dan fungsi Polri termasuk intervensi dalam pengangkatan Kapolri oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI)24 adalah salah satu bentuk intervensi politik yang

23 Kusnardi, Moh & Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara, Pusat Studi HTN FH UI dan CV. Sinar Bakti, Jakarta,1988, hlm 140

24 Pasal 11 ayat (1) UU No. 2/2002 menyatakan bahwa Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan

(23)

menghambat kemandirian Polri. Kedudukan lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam eksekutif dapat dilihat dari ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang- undang Nomor 2 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden, dan ketentuan Pasal 8 ayat (2) yang menyatakan bahwa Polri dipimpin oleh Kapolri yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sebagai bagian dari eksekutif, polisi bertanggung jawab atas Penegakan Hukum (Gakkum) dan ketertiban dalam masyarakat. Polri sebagai bagian terpenting dalam sistem pemerintahan negara (eksekutif) yang mempunyai wewenang dan fungsi pewujud keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas), yang harus siap menjaga dan menjamin keamanan serta ketertiban masyarakat akibat perubahan- perubahan yang terjadi, perlu melakukan langkah-langkah strategik berupa intropeksi yang cermat terhadap kedudukannya, fungsinya, peran dan wewenangnya agar polisi (Polri) benar-benar tetap dapat menempatkan dirinya sebagai pembimbing, pelindung, pengayom dan penegak hukum yang profesional, efektif, efisien, modern dan handal.

Untuk menentukan sikap dalam memanfaatkan semangat reformasi yang bergulir saat ini, perlu dilakukan secara strategis dan realistis dengan mempertimbangkan secara sungguh-sungguh tentang peluang dan kendala yang akan dihadapinya.

Pertimbangan tersebut, haruslah didasarkan pada kepentingan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan tugas-tugas Polri. Hendaknya permasalahan ini tidak hanya ditinjau dari segi kepentingan Polri semata, tetapi juga dari sudut kepentingan yang lebih besar yaitu kepentingan nasional.

Sejalan perkembangan situasi yang melahirkan tuntutan reformasi agar Polri mandiri terlepas dari campur tangan politik maupun sebagai perpanjangan alat kekuasaan murni sebagai pelindung dan pengayom masyarakat, pelopor dalam penegakan hukum yang selalu berpegang pada kebenaran, keadilan, dan keterbukaan serta menuntut perlunya dilakukan upaya-upaya pemberdayaan tentang kedudukan, fungsi dan peranan Polri sehingga dapat memenuhi harapan masyarakat dalam mengemban tugasnya sebagai alat negara penegak hukum inti pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat dalam penanganan masalah-masalah keamanan dalam negeri.

Pengertian keamanan erat sekali hubungannya dengan tugas polisi. Keamanan dalam kamus bahasa Indonesia dapat diatikan sebagai suatu perasaan tenteram, tidak merasa takut, khawatir atau berbahaya atau suatu keadaan yang sentosa (tidak ada sesuatu yang menakutkan atau membahayakan), keamanan, ketenteraman, keadaan yang aman.25 Melalui istilah asing dapat ditemukan beberapa istilah dari kata keamanan tersebut seperti istilah Security Council dan National Security.

Mengenai paham dan pandangan tentang keamanan di dapatkan pula di dalam

persetujuan DPR.

25 Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1952, hlm.28.

(24)

konsepsi Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tata Tenteram Karta Raharja, dimana disebutkan bahwa arti aman mengandung 4 (empat) unsur pokok yakni :

1. Security : adalah perasaan bebas dari ganguan baik fisik maupun psykis.

2. Surety : adalah perasaan bebas dan kekhawatiran.

3. Safety : adalah perasaan bebas dari risiko.

4. Peace : adalah perasaan damai lahiriah dan bathiniah26

Keempat unsur tersebut menimbulkan kegairahan kerja dan akhirnya tercapai kesejahteraan masyarakat materiil dan spirituil. Paham keamanan yang dianut di Indonesia mengandung dua pengertian yaitu keamanan dan kesejahteraan.

Mewujudkan ketertiban masyarakat adalah salah satu tugas polisi yang paling utama disamping penegakan hukum. Istilah ketertiban masyarakat dapat ditemukan dalam rangkaian kata Kamtibmas, sedangkan istilah ketertiban umum atau openbare orde diartikan sebagai Normale rechtsniveau atau tingkat ketenangan yang normal.

Tingkat ketenangan yang normal ini dapat tercapai apabila keselamatan ditempat umum dapat terjamin.

Menurut Zevenbergen dalam bukunya Formele Encyclopaedie derrechtwetenschap dinyatakan bahwa openbare orde ada sangkut pautnya dengan masyarakat dimana tiap anggotanya tahu akan kewajibannya dan tidak melanggar kepentingan orang lain.27 Dalam doktrin Kepolisian Negara Republik Indonesia Tata Tenteram Kerta Raharja dinyatakan bahwa tertib dan ketertiban adalah : “ Suatu keadaan, dimana terdapat keadaan keamanan dan ketertiban yang menimbulkan kegairahan dan kesibukan bekerja dalam rangka mencapai kesejahteraan masyarakat seluruh sesuai dengan doktrin Kepolisian Tata Tenteram Kerta Raharja.”28

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 disebutkan bahwa:

Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketenteraman yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah dan menangulangi segala bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.

Mengingat luasnya permasalah keamanan dan ketertiban masyarakat yang penanganannya harus menggerakkan seluruh potensi masyarakat baik sebagai komponen dasar utama maupun pendukung, diperlukan suatu kebijakan pemerintah yang memungkinkan Polri untuk menggerakkan dan mengendalikan segenap

26 Momo Kelana, Hukum Kepolisian, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta,1994, hlm.35 27 Ibid, hlm.38

28 Soenito Djojosoegito, Pokok Pelaksanaan Tugas Kepolisian RI, Cetakan Ketiga, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1970, hlm 43.

(25)

potensi kekuatan keamanan termasuk didalamnya unsur Angkatan Perang yang diperbantukan pada Polri, kebijakan tersebut adalah berupa reposisi Polri yang secara yuridis memberi kewenangan kepada Polri untuk menggerakkan dan mengendalikan unsur-unsur Angkatan Perang dan komponen keamanan dalam negeri lainnya, dan reposisi yang paling tepat untuk mendapatkan hasil yang optimal dan efektif adalah dengan cara mensejajarkan kedudukan Polri setingkat Menteri dan Panglima TNI serta Jaksa Agung, dalam suatu Lembaga Khusus Pemerintah yang otonom serta bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Untuk mempermudah pemahaman tentang kerangka pemikiran tersebut di atas, maka dibuat bagan kerangka pemikiran sebagai berikut :

Bagan I : Kerangka Pemikiran

1.5. Metode Penelitian

1.5.1 Objek dan Metode Penelitian

Objek penelitian ini pada dasarnya sekitar peraturan perundang-undangan yang berkaitan erat dengan Polri. Selain itu juga akan dilihat bagaimana pelaksanaan peraturan tersebut di lapangan. Berkenaan dengan objek penelitian ini, maka tipe penelitian ini adalah penelitian hukum normatif.29 Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis, yang dilakukan dengan cara meneliti data sekunder berupa:30

29 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm.10 30 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Normatif, Rajawali Pers, Jakarta,1985, hlm.14

Pemisahan kekuasaan

Dwipraja Trias Politica Catur praja Arti Sempit

Pembangunan

Ketertiban

Polisi Arti luas Negara Kesejahteraan Negara Hukum

(26)

1) Bahan-bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat berupa UUD 1945, Ketetapan-ketetapan MPR RI dan Undang-undang yang berkaitan dengan Polri beserta peraturan pelaksanaannya.

2) Bahan-bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan kejelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku yang ditulis oleh para pakar hukum dan ahli ilmu kepolisian, dan makalah-makalah.

3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, bibliografi, dan indeks.

Untuk mendukung akurasi data, dipergunakan pula pendekatan yuridis historis, yaitu dengan meneliti sejarah hukum yang dapat mengungkapkan perkembangan dan latar belakang pengaturan tentang Polri dalam peraturan perundang-undangan.

Di samping itu, pendekatan yuridis sosiologis dipergunakan juga untuk dapat mengungkapkan bagaimana peranan, fungsi, tugas dan kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia itu dapat terlaksana sesuai dengan peraturan yang mengaturnya serta faktor-faktor apa saja yang menghambat di dalam pelaksanaannya.

Untuk melengkapi pendekatan penelitian, dipergunakan juga pendekatan yuridis komparatif yang berguna untuk mengungkapkan perbandingan pengaturan terhadap Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepolisian Negara Inggris, dan Kepolisian Negara Jepang.

1.5.2 Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data dalam penelitian ini dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu :

1.5.2.1 Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Penelitian ini dilaksanakan guna mendapatkan data-data sekunder, melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur- literatur, karya-karya penelitian, tulisan-tulisan para pakar hukum dan ahli ilmu kepolisian yang ada kaitannya dengan penelitian ini.

1.5.2.2 Penelitian Lapangan (Field Research)

Penelitian lapangan ini dilaksanakan untuk memperoleh data primer.

Hal ini diperoleh dengan cara melakukan wawancara dengan informan dan responden yang terdiri dari Perwira Tinggi, Perwira Menengah, Perwira Pertama, Bintara, Tamtama dan Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia mulai dari tingkat Markas Besar Polri, Polda, Polwil, Polres dan Polsek, tokoh masyarakat dan pemerhati kepolisian. Wawancara dilakukan terhadap Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri), Inspektoral Jenderal Polri (Irjen Polri), Deputi Operasional Polri (Deops Polri), Assisten Personil Polri (Aspers Polri), Kepala Dinas Penelitian dan

(27)

Pengembangan Polri (Kadis Litbang Polri), Kepala Dinas Hukum Polri (Kadis Kum Polri), Kepala Dinas Informasi dan Pengolahan Data Polri (Kadis Infolahta Polri) pada tingkat Markas Besar Polri. Pada satuan kewilayahan Polda, wawancara dilakukan terhadap Kapolda/Waka Polda, Asrena dan Kadit/Sesdit fungsi yang terdiri atas fungsi Serse, Lantas, Bimmas, Sabhara, Personil, dan Intel Pam Polri.

Ditingkat Polwil / Polwiltabes, wawancara dilakukan terhadap Kapolwil / Kapolwiltabes atau Wakapolwil / Wakapolwiltabes, Pemegang Kas (Pekas), Kepala Bagian fungsi yang terdiri atas fungsi Serse, Lantas, Bimmas, Sabhara, dan Intel Pam Polri; sedangkan ditingkat Polres/Polresta/Poltabes/Polres metro, wawancara dilakukan terhadap Kapolres / Kapolresta / Kapoltabes / Kapolres Metro atau Wakapolres / Wakapolresta / Wakapoltabes / Wakapolres Metro. Ditingkat Polsek / Polsekta / Polsektif / Polsek metro, wawancara dilakukan terhadap Kapolsek / Kapolsekta / Kapolsektif / Kapolsek Metro atau Wakapolsek / Wakapolsekta / Wakapolsektif / Wakapolsek metro. Penentuan sampel dilakukan secara purposive.

1.5.3 Analisis Data

Data-data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan dan kepustakaan tersebut akan dianalisis secara kualitatif. Analisis kualitatif dimaksudkan guna mengungkapkan hasil penelitian dan hasil sinkronisasi baik vertikal maupun horizontal dari bahan-bahan hukum,31 yang dituangkan dalam bentuk rumusan- rumusan dan uraian-uraian.

1.5.4 Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia di Jakarta dan di 20 (dua puluh) Kepolisian Daerah (POLDA) diseluruh Indonesia mulai dari tingkat Markas Polda (Mapolda), Markas Polwil (Mapolwil), Markas Polres (Mapolres) dan Markas Polsek (Mapolsek), lokasi penelitian tersebut adalah :

1. Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (MABES POLRI) di Jakarta 2. POLDA Metro Jaya (beserta jajarannya)

3. POLDA Jawa Barat (beserta Jajarannya) 4. POLDA Yogyakarta (beserta jajarannya) 5. POLDA Bali (beserta jajarannya)

6. POLDA Kalimantan Barat (beserta jajarannya) 7. POLDA Jawa Timur (beserta jajarannya) 8. POLDA Sulawesi Tengah (beserta jajarannya) 9. POLDA Aceh (beserta jajarannya)

31 Ibid, hlm. 19

(28)

10. POLDA Sulawesi Selatan (beserta jajarannya) 11. POLDA Kalimantan Timur (beserta jajarannya) 12. POLDA Irian Jaya (beserta jajarannya)

13. POLDA Sumatera Utara (beserta jajara)nnya 14. POLDA Sulawesi Utara (beserta jajarannya) 15. POLDA Jawa Tengah (beserta jajarannya) 16. POLDA Sumatera Barat (beserta jajaranya) 17. POLDA Sumatera Selatan (beserta jajarannya) 18. POLDA Lampung (beserta jajarannya)

19. POLDA Jambi (beserta jajarannya) 20. POLDA Maluku (beserta jajarannya) 21. POLDA Riau (beserta jajarannya)

Adapun yang dimaksud dengan POLDA beserta jajaran adalah kesatuan-kesatuan kewilayahan yang berada dalam ruang lingkup wilayah hukum Kepolisian Daerah dan kesatuan kewilayahan di bawah Kepolisian Daerah yang meliputi Kepolisian Wilayah (Polwil), Kepolisian Resort (Polres) dan Kepolisian Sektor (Polsek).

1.6 Sistematika Penulisan

Guna mempermudah pembahasan, maka tesis ini disusun berdasarkan sistematika sebagai berikut :

BAB I : Mengemukakan latar belakang masalah, identifikasi masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Mengemukakan kajian teoretik tentang kedudukan Polri sebagai alat negara penegak hukum dan Ketertiban dalam masyarakat, yang didahului dengan kajian negara berdasarkan atas hukum, pembatasan kekuasaan melalui konstitusi, pembagian kekuasaan dan kedudukan Polri sebagai alat negara penegak hukum dan ketertiban dalam masyarakat serta istilah polisi.

BAB III : Mengemukakan tinjauan umum terhadap sejarah, kedudukan, tugas dan wewenang Polri serta studi komparatif tentang kedudukan dan fungsi kepolisian di Negara Inggris dan Jepang, yang didahului dengan sejarah perkembangan Polri sebelum dan sesudah reformasi. Selanjutnya dikemukakan tentang kedudukan Polri dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, kedudukan Polri dalam kepolisian internasional, tugas dan wewenang polri, kondisi kemandirian Polri saat ini yang meliputi aspek struktural, instrumental dan kultural, dikemukakan pula perkembangan

(29)

lingkungan strategis, yang meliputi lingkungan global, regional, dan nasional serta strategi penataan kedudukan organisasi Polri dan diakhiri dengan studi komparatif tentang kedudukan dan fungsi kepolisian di Negara Inggris dan Jepang.

BAB IV : Mengemukakan kajian terhadap makna dan implikasi kedudukan Polri sebagai alat negara di dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat. Pada bagian awal dikemukakan tentang kedudukan Polri menurut UUD 1945 dan menurut UU No. 2 Tahun 2002. Selanjutnya dikemukakan tentang tantangan tugas Polri pada era reformasi, yang mengemukakan Polri sebagai alat negara penegak hukum dan inti Binkamtibmas, Polri sebagai salah satu bagian dari unsur Criminal Justice system, dan pemberdayaan peran Polri sebagai ujung tombak penanganan masalah keamanan dalam negeri. Dikemukakan pula tentang pelaksanaan kedudukan polisi sebagai alat negara yang mandiri dan profesional di dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat serta beberapa pemikiran tentang faktor-faktor pendukung dan penghambat kedudukan Polri sebagai alat negara dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat serta upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut.

BAB V : Merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran. Kesimpulan merupakan hasil kajian dari bab-bab sebelumnya yang dipadukan dengan identifikasi masalah. Terakhir dikemukakan saran-saran yang ada relevansinya dengan penelitian ini.

(30)

2.1 Negara Berdasarkan Atas Hukum

Menurut fitrahnya manusia adalah makhluk sosial. Ia tidak dapat hidup secara sendiri-sendiri dan terpisah dari lingkungannya. Aristoteles, seorang filsof yang hidup pada masa Yunani Kuno, menyatakan bahwa manusia itu menurut fitrahnya adalah makhluk yang bermasyarakat (man is by nature a political animal). Dalam ajarannya, Aristoteles menyatakan lebih lanjut bahwa manusia itu adalah Zoon Politicon.32 Artinya, manusia sebagai makhluk pada dasarnya selalu ingin berkumpul dengan sesama manusia lainnya. Jadi manusia adalah makhluk yang suka bermasyarakat. Oleh karena sifatnya yang suka bergaul satu sama lain, manusia disebut makhluk sosial.33 Demikian pula penegasan Hugo de Groot (Grotius) bahwa manusia mempunyai hasrat yang terpuji yang disebut hasrat bermasyarakat (appetitus societatis). Untuk terwujudnya keteraturan dan tercapainya tujuan bersama, diadakanlah aturan- aturan dan dipilih pemimpin di antara mereka.

Adanya anggota masyarakat, pemimpin, dan aturan-aturan yang mengatur tingkah laku di antara manusia, lama kelamaan menjadi besar dan semakin kompleks sehingga pada akhirnya lahir kelompok manusia yang bernaung dalam suatu negara.

Negara adalah suatu organisasi kekuasaan yang terdiri atas manusia-manusia dan merupakan alat yang akan dipergunakan untuk mencapai tujuan bersama. Setiap negara mempunyai tujuannya masing-masing. Dalam negara yang modern, biasanya tujuan negaranya tercantum dalam konstitusi atau undang-undang dasarnya.

Ada bermacam-macam tujuan suatu negara, di antaranya, untuk memperluas

32 Sjachran Basah, Ilmu Negara -Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989, hlm. 104.

33 Kansil, C.S.T., Loc.cit, hlm. 29.

BAB 2

KAJIAN TEORETIK TENTANG KEDUDUKAN

POLRI SEBAGAI ALAT NEGARA PENEGAK

HUKUM DAN KAMTIBMAS

(31)

kekuasaan, menyelenggarakan ketertiban hukum, mencapai kesejahteraan umum, dan melindungi warga negaranya dari ancaman dan gangguan pihak luar. Salah satu ajaran mengenai tujuan negara adalah ajaran negara hukum yang dipelopori oleh Krabbe, yakni negara bertujuan menyelenggarakan ketertiban hukum dengan berdasarkan dan berpedoman pada hukum.

Pandangan tentang negara hukum dibagi dalam dua pengertian, yakni negara hukum dalam arti sempit/formal/klasik atau negara penjaga malam (nachtwakersstaat) dan negara hukum dalam arti luas/materil/modern atau negara kesejahteraan (welfarestate). Negara hukum dalam arti sempit adalah pandangan mereka yang menganggap bahwa suatu negara yang segala aksinya dibatasi oleh undang-undang yang dibuat dengan bantuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Dalam pandangan negara hukum kuno dari filsuf-filsuf Jerman, di antaranya Kant, negara hanya dipandang sebagai suatu negara penjaga malam (nachtwakersstaat).

Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa negara sebagai sang penjaga malam, yang hanya bertindak untuk memukul dengan tongkatnya, apabila ketenteraman, ketertiban dan keamanan atau hak-hak asasi perseorangan terancam. Tugas suatu negara hukum klasik tidak lain adalah mempertahankan dan melindungi ketertiban sosial dan ekonomi berdasarkan asas “laissez faire laissez aller” yang berarti bahwa biarlah setiap anggota masyarakat menyelenggarakan sendiri kemakmurannya, negara jangan ikut campur tangan.34

Dalam suatu negara hukum klasik, tugas negara tidak luas. Negara hanya bertugas membuat dan mempertahankan hukum tertulis atau hanya menjaga keamanan dalam arti sempit. Negara hanya berfungsi sebagai penjaga malam (nachtwaker).

Oleh karena itu, negara hukum klasik dikenal dengan sebutan “nachtwakersstaat”.

Negara melakukan reaksi apabila adanya pengaduan atau laporan dari warga jika terjadi ancaman atau hal-hal yang membahayakan warga. Singkatnya, tindakan negara adalah pasif tapi represif.

Berbeda dengan negara hukum klasik, negara hukum modern mempunyai ruang lingkup tugas yang luas. Negara harus melaksanakan dan mengutamakan kepentingan seluruh rakyat. Negara dituntut harus menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan, keamanan, dan ketertiban serta melindungi seluruh rakyat dari ancaman dan bahaya, baik yang datang dari dalam maupun dari luar.

Negara hukum modern bersifat aktif dan responsif. Sebagai pengembangan lebih lanjut dari ajaran negara hukum adalah konsep negara kesejahteraan (welfare state/social service). Tujuan negara ini adalah mewujudkan kesejahteraan umum.

Dalam hal ini negara dipandang sebagai alat belaka yang dibentuk manusia untuk mencapai tujuan bersama, yaitu kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat negara tersebut.

Istilah negara hukum yang diperkenalkan di Eropa Kontinental disebut dengan

34 Andi Mustari Pide, Loc. Cit., hlm. 46.

Referensi

Dokumen terkait

PERUBAHAN ATAS PROTOKOL ANTARA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA (POLRI) DAN KEPOLISIAN FEDERAL AUSTRALIA (AFP) UNTUK MENDIRIKAN PUSAT KERJASAMA PENEGAKAN HUKUM

Profesionalisme dalam Polri dapat dilihat dalam pelaksanaan tugas dan wewenang kepolisian sebagai alat negara penegak hukum, memelihara ketertiban dan keamanan masyarakat,

1. Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat Polri adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan

Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat Polri adalah alat negara yang berperan dalam m em elihara keam anan dan ketertiban m asyarakat,

Khusus mengenai peran Polri dinyatakan dalam Tap MPR tersebut sebagai berikut: “Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan

internal termasuk penegakan disiplin dan ketertiban dilingkungan Polri dan pelayanan pengaduan masyarakat tentang adanya penyimpangan tindakan anggota Polri yang dalam

Pembahasan Tinjauan Kode Etik Profesi dan Profesionalisme Polri dalam Penegakan Hukum Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia POLRI Kode etik profesi Kepolisian

Kedudukan Polri dalam organisasi kenegaraan ini dilandasi oleh suatu konsep adanya kebutuhan lembaga kepolisian yang mandiri Independen dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, sehingga