9
tentang kepariwisataan, wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.
Sedangkan menurut Meyers (dalam Karmansyah, 2020:166) pariwisata merupakan sebuah aktivitas melakukan perjalanan dengan sementara waktu, yaitu keluar dari tempat tinggal menuju ke daerah atau wilayah tertentu.
Dengan alasan tertentu, tidak menetap di daerah atau wilayah yang akan menjadi tujuan, atau mencari kehidupan yang baru. Melainkan hanya bertujuan untuk menghabiskan Waktu senggang atau Liburan, dan tujuan-tujuan lainnya.
Sementara itu Wahid (2015) menegaskan bahwa, pariwisata adalah perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, bersifat sementara, dilakukan perorangan maupun kelompok, sebagai usaha mencari keseimbangan atau keserasian dan kebahagiaan dengan lingkungan hidup dalam dimensi sosial, budaya, alam, dan ilmu. Sehingga menurut Wahid (2015) durasi perjalanan yang menentukan bagaimana orang melakukan perjalanan wisata.
Penulis merasa perlu juga dikaji mengenai jenis-jenis wisata. Pada dasarnya jenis-jenis wisata diantaranya adalah: Wisata Pantai (Marine Tourism), Wisata Etnik (Etnik Tourism), Wisata Cagar Alam (Ecotourism), Wisata Buru, Wisata Olahraga (Sport Tourism), Wisata Kuliner, Wisata Religius, Wisata Agro, Wisata Gua, Wisata Belanja, Wisata Ekologi, Wisata Budaya (Heritage Tourism) (Ismayanti,2010).
2.2 Kearifan Lokal
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kearifan adalah kebijaksanaan, kecendekiaan. Sedangkan, lokal berarti terjadi (berlaku, ada, dan sebagainya) di satu tempat, tidak merata, setempat. Menurut UU No.32 Tahun 2009 kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku didalam tata
kehidupan masyarakat yang bertujuan untuk melindungi sekaligus mengelola lingkungan hidup secara lestari.
Menurut Rahyono (dalam Fajarini, 2014:212) kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat. Santosa (2015: 14) mengungkapkan ciri-ciri kearifan lokal, yaitu: 1) mampu bertahan terhadap budaya luar; 2) memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya; 3) mempunyai kemampuan mengendalikan; 4) mampu memberi arah pada perkembangan budaya.
Kearifan lokal merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari bahasa mayarakat itu sendiri. Kearifan lokal biasanya diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi melalui cerita dari mulut ke mulut (Ramadhan,dkk, 2022).
Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun geografis dalam arti luas, dan lebih menekankan pada tempat dan lokalitas. Pengaturan kearifan lokal menurut UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 1 angka 30 adalah nilai-nilai luhur yang berlaku didalam tata kehidupan masyarakat yang bertujuan untuk melindungi sekaligus mengelola lingkungan hidup secara lestari. Kearifan lokal berfungsi sebagai filter dan pengendalian terhadap budaya luar yang pengaturannya terdapat pada berbagai peraturan perundang-undangan dan pada UUD NKRI 1945, meskipun tidak secara signifikan membahas mengenai hal tersebut (Njatrijani, 2018).
Adapun fungsi kearifan lokal terhadap masuknya budaya luar adalah sebagai berikut (Ayat, 1986:40-41) :
1. Sebagai filter dan pengendali terhadap budaya luar.
2. Mengakomodasi unsur-unsur budaya luar.
3. Mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli.
4. Memberi arah pada perkembangan budaya.
Kearifan lokal termasuk di dalamnya Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) meliputi semua warisan budaya tak benda yang dikembangkan oleh masyarakat lokal, secara kolektif atau individual dengan cara yang tidak sistemik dan disisipkan dalam tradisi budaya dan spiritual masyarakat.
Kategori warisan budaya tak benda meliputi tradisi lisan, seni pertunjukkan, praktek-praktek sosial, ritual, perayaan-perayaan, pengetahuan dan praktek mengenai alam dan semesta atau pengetahuan dan keterampilan untuk menghasilkan kerajinan tradisional.
2.3 Budaya
Soekamto (dalam Maryamah, 2016: 88) budaya berasal dari bahasa sanksekerta “budayyah” yang merupakan bentuk jamak “budhi” yang berarti akal. Dengan demikian budaya dapat diartikan sebagai hal-hal yang berhubungan dengan akal dan budi.
Istilah culture juga digunakan dalam bahasa Indonesia dengan kata serapan yaitu kultur. Budaya berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Budaya merupakan pola atau cara hidup yang berkembang oleh sekelompok orang, kemudian diturunkan pada generasi selanjutnya.
Menurut Wiranata (dalam Malasari dan Darmawan, 2017:15) secara umum inti pengertian kebudayaan: 1) Bahwa kebudayaan yang terdapat antara umat manusia itu sangat beraneka ragam, 2) Bahwa kebudayaan itu didapat dan diteruskan secara sosial melalui proses pembelajaran, 3) Bahwa kebudayaan itu terjabarkan dari komponen biologis, sosiologis, dan psikologis dari eksistensi manusia, 4) Bahwa kebudayaan itu berstruktur, 5) Bahwa kebudayaan itu memuat beberapa aspek, 6) Bahwa kebudayaan itu bersifat dinamis, dan 7) Bahwa nilai dalam kebudayaan itu bersifat relatif.
Budaya dikategorikan menjadi dua yaitu budaya benda (tangible culture) yang bisa diindera dengan mata dan tangan seperti artefak, candi-candi, arsitektur kuno, gerabah/keramik, keris, dan lain-lain, dan budaya tak benda (intangible culture) yaitu Budaya yang tak bisa diindera dengan tangan seperti tari-tarian, syair, pantun, drama, pertunjukan, cerita rakyat dan keunikan masyarakat setempat (Noho dkk, 2018).
2.4 Wisata Budaya
Wisata budaya merupakan salah satu bidang kepariwisataan yang menyajikan nilai-nilai budaya dan kesenian daerah lokal. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) wisata budaya adalah bepergian
bersama-sama dengan tujuan mengenali hasil kebudayaan setempat untuk memajukan kepariwisataan di Indonesia.
Cultural tourism menurut McKercher (dalam Leliga dkk, 2019:95) merupakan sebuah bentuk pariwisata yang bergantung pada aset warisan budaya dan mengubahnya menjadi sebuah produk yang dapat dikonsumsi oleh wisatawan. Sedangkan, cultural tourism menurut Surjanto, dkk (2003) adalah perjalanan yang diadakan dengan tujuan mempelajari atau memperdalam seni budaya. Orang yang melakukan perjalanan dengan motif untuk melihat, menyaksikan hal-hal yang berhubungan dengan kebudayaan, jadi objek kunjungannya adalah benda kuno, peninggalan sejarah, peri kehidupan masyarakat, seni tari, seni lukis, seni bangunan, dan lain-lain.
Menurut Yoeti (2005:83) wisata budaya suatu kebijaksanaan pengembangan kepariwisataan di Indonesia menekankan pada penampilan unsur-unsur budaya seperti aset utama untuk menarik para wisatawan berkunjung ke Indonesia. Hal ini tidak berarti bahwaaspek-aspek lainnya tidak dianggap seperti keindahan alam, pantai, pemandangan dan flora.
Unsur-unsur budaya memiliki manfaat yang amat penting antara lain:
1. Unsur mempromosikan kepariwisataan secara umum baik dalam maupun luar negeri.
2. Produk seni budaya akan menyiapkan lapangan kerja dan peningkatan hasil masyarakat.
3. Penampilan seni budaya disamping menarik perhatian wisatawan juga meningkatkan pemberdayaan seni dan budaya.
4. Penampilan seni budaya dapat meningkatkan pemeliharaan dan manajemen museum, galeri dan monumen-monumen seni budaya lainnya.
5. Dana yang dihasilkan dengan penjualan produk seni dan budaya meningkatkan taraf hidup masyarakat.
6. Sentuhan dengan seni budaya lain meningkatkan harkat, kehormatan dan pemahaman tentang arti kemanusiaan.
2.5 Aset
Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 16 revisi tahun 2011 pengertian aset adalah semua kekayaan yang dimiliki oleh seseorang atau perusahaan, baik berwujud maupun tidak berwujud yang berharga atau bernilai yang akan mendatangkan manfaat bagi seseorang atau perusahaan tersebut. Menurut Hidayat (2011) pengertian aset adalah barang atau benda yang bergerak dan juga tidak bergerak, baik yang berwujud (tangible) maupun yang tidak berwujud (intangible), dimana keseluruhan hal tersebut mencakup aset atau harta aset dari suatu organisasi, instansi, badan usaha, ataupun perorangan.
Aset budaya lokal merupakan kekayaan budaya suatu daerah, baik berbentuk fisik maupun nonfisik yang tumbuh dan berkembang secara warisan turun-temurun oleh masyarakatnya. Keberagaman suku dan etnis di Indonesia menunjukkan Indonesia negara paling kaya di dunia akan aset budaya lokalnya (Amrizal, 2020: 1).
2.6 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu merupakan salah satu acuan penulis dapat memperkaya teori yang digunakan. Berikut merupakan penelitian terdahulu berupa jurnal terkait dengan penelitian yang dilakukan.
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
No. Judul Penelitian Penulis Metode Hasil
1. Nilai - Nilai Kearifan Lokal Pada Ungkapan Tradisional
Upacara Pernikahan
Masyarakat Desa Remban
Kabupaten
Muratara Provinsi Sumatera Selatan
MegaArdiati, Sainil Amral &
AdeRahima (2019)
Kualitatif dengan pendekatan deskriptif (Moeleong)
Nilai- nilai kearifan lokal dalam aspek norma kesopanan adat istiadat pada ungkapan tradisional upacara pernikahan masyarakat
Desa Remban
Kabupaten Musi Rawas Utara Provinsi Sumatera Selatan terdiri dari 3 tahap yaitu tahap sebelum
pernikahan, tahap hari pernikahan dan tahap setelah pernikahan.
Jumlah ungkapan
aspek norma
kesopanan adat istiadat pada tiga tahap upacara pernikahan masyarakat
Desa Remban
Kabupaten Musi Rawas Utara Provinsi Sumatera Selatan.
sebanyak 40 ungkapan 2. Penerapan Nilai -
Nilai Kearifan Lokal dalam Budaya
Masyarakat Kampung Adat Cireundeu Sebagai Sumber
Pembelajaran IPS
Triani Widiyanti (2015)
Kualitatif
dengan metode Etnografi
Kearifan lokal dalam upaya menjaga ketahanan pangan yang dilakukan oleh masyarakat kampung adat Cireundeu yang menjadi salah satu nilai budayanya telah
mampu hidup
berkembang dalam masyarakat adat tersebut selama ratusan tahun yakni terhitung sejak 1918 hingga saat ini.
3. Budaya Adat
Pengantin Melayu
Riau dalam
Pengembangan Budaya
Kewarganegaraan
YosiMalasari &
Cecep Darmawan (2017)
Kualitatif
dengan metode Etnografi
(Creswell)
Pengembangan budaya keawarganegaraan sebagai budaya/
kearifan lokal dalam masyarakat adat pengantin Melayu Ujungbatu dapat dilakukan dengan dua cara yang pertama secara umum dan yang kedua secara khusus.
Secara umum harus ditanamkan kepada penerus atau generasi muda dari sejak lahir sampai dewasa juga berjalan dengan cara alamiah atau natural dan spontan serta melalui pendidikan infomal (keluarga) dan
non formal (masyarakat).
4. Nilai - Nilai Kearifan Lokal (Local Wisdom) Tradisi Memitu pada Masyarakat Cirebon (Studi Masyarakat Desa Setupatok
Kecamatan Mundu)
H. Iin Wariin Basyari (2014)
Kualitatif dengan pendekatan fenomenologi (Creswell)
Tradisi adat Jawa memitu (tingkeban/
mitoni) merupakan bagian dari budi pekerti Jawa yang memiliki makna filosofis dalam kehidupan. Tradisi ini memang merupakan akulturasi budaya lokal dengan Islam. Dengan demikian nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom), pada tradisi memitu, meliptui nilai rekigis, psikologi kesehatan, nilai sosial dan nialai budaya.
5. Penelusuran Jejak Makanan Khas Semarang Sebagai Aset Inventarisasi dan Promosi Wisata Kuliner Jawa Tengah
Novia Rochmawa ti, Nailah
& Imam Oktariadi (2013)
Kualitatif Kuliner khas Semarang muncul seiring perkembangan kota Semarang sendiri.
Masyarakat Semarang yang termasuk ke dalam masyarakat pesisir mempunyai karakteristik yang begitu akulturatif dan akomodatif dengan kebudayaaan lain yang masuk ke dalam lingkungannya.`
6. Tari Badeo
Sebagai Aset Wisata Budaya Melayu Okura
Andi Dwi Okta Sari (2017)
Kualitatif
dengan metode Etnografi
(Creswell)
Dengan potensi- potensi yang dimiliki oleh tari Badeo Kayangan Okura sebagai potensi aset budaya lokal menjadi
wisata yang
berlandaskan
kebudayaan, tarian tersebut layak untuk dikembangkan menjadi aset wisata budaya Melayu Okura dengan memanfaatkan potensi atraksi yang dimiliki,
meningkatkan fungsi Badeo sebagai daya tarik wisata seni pertunjukan dan hiburan, membentuk kemasan wisata budaya seni pertunjukan yang kreatif dan inovatif, meningkatkan peran Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dalam mengembangkan potensi atraksi wisata Kelurahan Tebing Tinggi Okura mulai dari peningkatan sumber daya manusia, kondisi infrastruktur serta fasilitas di Kelurahan Tebing Tinggi Okura belum dilakukan secara maksimal, dan pementasan-
pementasan seni pertunjukan seperti tari ritual Badeo Kayangan masih sangat minim sebagai upaya bentuk promosi wisata.
7. Kearifan Lokal danPengembangan Identitas untuk Promosi Wisata
Budaya di
Kabupaten Banyumas
Triana Ahdiati
&Solahudd inKusumane gara (2020)
Kualitatif dengan
pendekatan studi kasus (Miles and Huberman)
Pengembangan
identitas lokal yang mencerminkan
kearifan lokal suatu daerah adalah penting dan menjadi suatu kebutuhan yang harus dipenuhi dalam proses pengembangan
pariwisata di Kabupaten Banyumas.
Pengembangan
pariwisata di Kabupaten Banyumas melalui promosi wisata budayanya menjadi hak dan tanggung jawab semua pihak yang terlibat dalam proses tersebut.
Dengan kata lain, promosi wisata budaya harus bersifat demokratis. Dalam hal ini, promosi wisata
budaya harus
dilakukan ‘oleh’,
‘dari’, dan ‘untuk’
keempat unsur utama dalam pengembangan pariwisata di suatu daerah,yaitu:
wisatawan,pengusaha/
wiraswastawan,
pemerintah daerah dan masyarakat setempat.
8. Implementasi Kebijakan Pariwisata
Berbasis Kearifan Lokal (Studi di Kabupaten
Manggarai Barat)
Maksimilli anus Maris Jupir (2013)
Kualitatif dengan pendekatan fenomenalogi (Creswell)
Ketersediaan sumber daya pendukung implementasi belum dialokasikan dengan jelas, komunikasi dan koordinasi belum berjalan optimal, kondisi eksternal (sosial, ekonomi, dan politik) menghambat implementasi
kebijakan Pariwisata Berbasis Kearifan Lokal di Kabupaten Manggarai Barat secara efektif dan optimal. Implikasinya adalah aktivitas pariwisata berbasis kearifan lokal belum berkontribusi secara
optimal bagi
pemerintah, swasta dan masyarakat dari sisi ekonomi.
Adapun yang menjadi pembeda antara penelitian ini dengan penelitian terdahulu yaitu dilihat dari sisi metodologi penelitian, lokasi penelitian, maupun waktu penelitian, metode pengumpulan data dengan menggunakan etnografi, observasi langsung ke objek yang diteliti, kuesioner, wawancara, studi literatur dan dokumentasi. Objek yang diteliti pada penelitian ini adalah
Midang Bebuke Morge Siwe yang merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh Pemeritah Daerah Kota Kayuagung Kabupaten Ogan Komering Ilir. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dan menggunakan analisis SWOT.
2.7 Kerangka Berfikir
Menurut Sugiyono (dalam Jasmani 2018: 146) Kerangka berpikir adalah sintesa yang mencerminkan keterkaitan antara variable yang diteliti dan merupakan tuntunan untuk memecahkan masalah penelitian serta merumuskan hipotesis penelitian yang berbentuk bagan alur yang dilengkapi penjelasan kualitatif.
Dalam penelitian ini peneliti membuat kerangka berpikir untuk membantu peneliti dalam membahas permasalahan yang ada. Dibawah ini terdapat bagan kerangka berpikir dalam penelitian ini.
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir Midang Bebuke Morge
Siwe
Analisis Nilai - Nilai Kearifan Lokal
Strategi Midang Bebuke Morge Siwe Sebagai Aset
Wisata Budaya di Kota Kayuagung Kabupaten Ogan Komering Ilir menggunakan Analisis
SWOT Warisan Budaya
Tradisional Cerita Dari Mulut Ke Mulut
Berdasarkan gambar 2.1 mengenai bagan kerangka berpikir di atas, maka analisis terhadap nilai - nilai kearifan lokal pada Midang Bebuke Morge Siwe menggunakan analisis SWOT dilakukan untuk mencari strategi-strategi yang dapat digunakan agar kegiatan ini tetap lestari dan mampu menarik lebih banyak pengunjung atau wisatawan berkunjung melihat atau menyaksikan event Midang Bebuke Morge Siwe di Kota Kayuagung Kabupaten Ogan Komering Ilir.