39
BAB IV
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Berdasarkan pada uraian dan penjelasan-penjelasan di atas,
penulis menyimpulkan bahwa pada dasarnya kedudukan e-commerce
dalam perspektif UU ITE adalah merupakan salah satu perjanjian yang
sama dengan perjanjian yang dimaksud dengan hukum perdata
Indonesia yang diatur dalam KUHPerdata. Hal yang membedakan
e-commerce dengan perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata adalah
menyangkut cara melakukannya, yang juga menjadi ciri dari
e-commerce. E-commerce dilakukan di dunia maya (virtual world) di
mana para pihak tidak saling bertemu satu sama lain, sedangkan
perjanjian yang dimaksud dalam KUHPerdata lebih menekankan pada
perjanjian yang mana antara para pihak saling bertemu satu sama lain.
Namun, dari hasil penelitian dan analisa yang dilakukan terhadap
kedudukan e-commerce dalam perspektif UU ITE, penulis
menyimpulkan bahwa e-commerce adalah suatu perjanjian yang tetap
memiliki ciri dan karakter dari perjanjian yang diatur dalam
KUHPerdata. Sehingga unsur-unsur dari e-commerce sebagai perjanjian
tetap merujuk pada karakter perjanjian yang terdapat dalam
40
1. Lingkup E-commerce yang adalah perjanjian tersebut di dalam UU
ITE dibagi menjadi dua, yaitu lingkup e-commerce publik dan
lingkup e-commerce privat. Di mana e-commerce lingkup privat
dilakukan berdasarkan atau oleh karena adanya perintah
undang-undang. Sedangkan e-commerce lingkup privat dilakukan
berdasarkan atau lahir karena adanya perjanjian dari para pihak.
2. Asas-asas hukum yang terdapat di dalam e-commerce yang adalah
perjanjian tersebut pada dasarnya juga sama dengan asas-asas
hukum perjanjian yang selama ini diatur dalam KUHPerdata.
Asas-asas tersebut adalah Asas-asas personalia, Asas-asas konsensualitas, Asas-asas
kebebasan berkontrak, asas pacta sunt servanda dan asas iktikad
baik.
3. Mengenai syarat sahnya suatu perjanjian dalam e-commerce penulis
menemukan bahwa, UU ITE juga menerapkan syarat yang sama
dengan syarat sahnya suatu perjanjian menurut Pasal 1320
KUHPerdata, yang terdiri dari adanya kesepakatan para pihak,
kecakapan yang membuat janji, terdapat hal tertentu, dan causa
yang halal.
4. Dalam hal e-commerce yang bersifat internasional, maka di dalam
UU ITE juga disebutkan bahwa, para pihak memiliki kewenangan
sepenuhnya untuk menentukan pilihan hukum (choice of law) dan
pilihan forum penyelesaian sengketa (choice of forum). Namun jika
41
forum, maka yang berlaku secara otomatis adalah asas-asas hukum
perdata internasional.
B.
SARAN
Adapun saran dari Penulis dalam tulisan ini adalah:
1. Aktifitas e-commerce yang terjadi di dunia maya, merupakan salah
satu peristiwa hukum yang sering terjadi dewasa ini. Oleh karena
transaksi e-commerce bukan merupakan transaksi dengan cara
konvensional, maka berpotensi akan timbulnya masalah, terutama
masalah hukum menjadi tidak terhindarkan. Dengan lahirnya
Undang-Undang ITE sebagai payung hukum bagi transaksi
e-commerce, tentu menuntut pemahaman dari para ahli hukum
tentang e-commerce itu sendiri sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ITE. Oleh karena itu, melalui tulisan ini penulis
menyarankan bagi para mahasiswa dan semua praktisi hukum agar
turut memperdalam pemahaman tentang e-commerce, terutama
yang diatur dalam Undang-Undang ITE.
2. Untuk Institusi seperti Fakultas Hukum, diperlukan suatu mata
kuliah khusus yang mempelajari hukum perjanjian e-comemrce
secara mendalam dalam kaitannya dengan huku perjanjian yang