• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kedudukan Hukum Tanda Tangan Elektronik (Digital Signature ) dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik T1 312009062 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kedudukan Hukum Tanda Tangan Elektronik (Digital Signature ) dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik T1 312009062 BAB II"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

14

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Sesuai dengan judul, Bab ini berisi suatu tinjauan kepustakaan yang

membicarakan mengenai aspek-aspek hukum berkaitan dengan kedudukan tanda

tangan elektronik dalam hukum positif di Indonesia. Tinjauan kepustakaan

tentang aspek tersebut di atas dimulai dengan hakikat tanda tangan elektronik,

sumber hukum dan pengaturan tanda tangan elektronik, cara kerja teknologi

tanda tangan elektronik, tranksaksi tanda tangan digital, keabsaan tanda tangan

elektronik kelemahan dan keunggulan tanda tangan elektronik, aspek tentang

penemuan hukum dan gambaran singkat tentang arti penting tujuan kepustakaan

dalam hal ini dihubungkan dengan perumusaan masalah bagaimanakah

kedudukan hukum tanda tangan elektronik dalam UU ITE? Tercatat dalam

konsep bagaimana dalam rumusan masalah tersebut, antara lain adalah apakah

hakikatnya tanda tangan scan merupakan tanda tangan elektronik (digital

signature)?

2. 1. Hakikat Tanda Tangan Elektronik

Hakikat digital signature adalah sebagai alat bukti identifikasi para

(2)

15

maksud dari para pihak dalam sebuah perikatan yang terjadi melalui transaksi

elektronik. Kekuatan beban pembuktian yang melekat dalam digital signature

ditinjau dari pembuktian hukum acara perdata memiliki kekuatan beban bukti

setingkat dengan akta bawah tangan (ABT), oleh karena itu kekuatan beban

bukti yang melekat dalam tanda tangan pada surat elektronik hanya kekuatan

pembuktian formil dan pembuktian materil.1

Pengaturan penandatanganan non elektronik ditegaskan dalam Pasal 1

Ordonansi tahun 1867 No. 29. Dalam Ordoansi itu ditegaskan bahwa ketentuan

tantang kekuatan pembuktian dari tulisan-tulisan di bawah tangan dari

orang-orang Indonesia atau yang disamakan dengan mereka. Sejalan dengan ituYahya

Harahap juga menguraikan arti penting tanda tangan. Menurut kepustakaan

tersebut, tanda tangan berfungsi sebagai syarat yang mutlak sahnya suatu akta.

Oleh sebab itu maka tulisan yang hendak dijadikan surat harus ditandatangani

pihak yang terlibat dalam pembuatannya.2 Dengan perkataan lain, suatu surat atau tulisan yang memuat pernyataan atau kesepakatan yang jelas dan terang,

tetapi tidak ditandatangani, ditinjau dari segi hukum pembuktian dipandang

sebagai sesuatu yang tidak sempurna sebagai surat atau akta sehingga tidak sah

dipergunakan sebagai alat bukti tulisan. Dalam hubungan dengan itu, tanda

tangan sebagai identitas diri juga menjadi simbol sekaligus semiotik hukum

1

Keny Witso, Internet Isu, Bandung, Pustaka, Citra Aditama, 2002, hal., 11.

2 Ibrahim Ibdam, Perbandingan Hukum Terhadap Peranti Keras Komputer , Bandung, Alumni,

(3)

16

bahwa diantara para pihak itu telah melahirkan konsensus untuk tunduk pada

norma-noma imperatif yang dibangunnya. Oleh karena itu jika diringkaskan

maka dalam hukum, hakikat tada tangan dalam kaitannya dengan tujuan hukum

adalah sarana membangun kepastian untuk menjadi pedoman dalam melahirkan

peristiwa-peristiwa hukum (seperti jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, dan

perjanjian utang piutang lainnya).3

Dari uraian di atas dapat disimpulkan hakikat dari pada tanda tangan

digital sebagai berikut: pertama, sebagai alat bukti identifikasi para pihak. Dari

mekanisme atau tata kerja lahirnya tanda tangan digital melalui proses enkripsi

dengan tekhnik kriptografi, lahirlah kunci privat dari salah satu pihak sehingga

dapat membuka kunci pulik milik pelanggan dari salah satu pihak yang hendak

melakukan perjanjian tersebut. Kedua, memenuhi syarat formalitas.

Dilibatkannya lembaga certification authority sebagai lembaga yang dipercaya

untuk menjamin kerahasiaan digital signature. Negara masih mengusahakan

agar memilki lembaga yang berada di bawah naungan Pemerintah untuk

menerbitkan sertifikat digital. Ketiga, tanda persetujuan. Sifat yang ada dalam

tanda tangan digital sebagai kunci untuk membuka kontrak yang telah dienkripsi

pula maka pada saat pihak yang memiliki kunci privat mencocokan kunci

publik milik pelaku usaha misalnya, maka pada saat pihak yang memiliki kunci

publik itu mengetahui penawaran pelanggannya, maka saat itu juga merupakan

(4)

17

tanda persetujuan atas peristiwa hukum yang akan terjadi dari kedua pihak.

Keempat, efisiensi. Setelah pelanggan menyatakan persetujuannya dengan

membuka atau melakukan dekripsi atas kontrak yang telah dienkripsi, dan

membaca segala ketentuan yang harus diikuti terhadap pelaku usaha, maka

kedua pihak secara tegas menyepakati tunduk pada ketentuan yang ada dalam

kontrak yang telah dienkripsi itu.

Dalam kaitan dengan uraian di atas, sertifikat digital yang kemudian

melahirkan dokumen/surat elektronik hanyalah dapat digolongkan dalam akta

bawah tangan (ABT). Sertifikat digital dengan prinsip kerjanya menjamin

rahasia dari surat tersebut oleh para pihak yang melakukan transaksi elektronik.

Tapi satu sifat yang dimiliki oleh akta otentik tidak berlaku dalam sertifikat

digital. Sifat yang melekat dalam akta otentik adalah akta yang dibuat oleh

pejabat yang berwenang.4

2. 2. Sumber Hukum dan Pengaturan Tanda Tangan Elektronik

Masalah yang mengemuka dan diatur dalam UU ITE adalah hal yang

berkaitan dengan masalah kekuatan dalam sistem pembuktian dari informasi,

dokumen, dan tanda tangan elektronik. Pengaturan informasi, dokumen, dan

tanda tangan elektronik, dituangkan dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 UU

(5)

18

ITE. Secara umum dikatakan bahwa bahwa informasi elektronik dan/atau

dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang

sah, yang merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum

acara yang berlaku di Indonesia. Demikian halnya dengan tanda tangan

elektronik, memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah. Namun

pembuatan tanda tangan elektronik tersebut harus memenuhi

persyaratan-persyaratan seperti yang telah ditentukan.

Pasal (5) Ayat (1) sampai dengan Ayat (3) UU ITE, secara tegas

menyebutkan: informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil

cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah dan merupakan perluasan dari

alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia sesuai

dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang. Namun, dalam Ayat (4)

ada pengecualian yang menyebutkan informasi elektronik dan/atau dokumen

elektronik tidak berlaku untuk: (a) surat yang menurut Undang-Undang harus

dibuat dalam bentuk tertulis; dan (b) surat beserta dokumennya yang menurut

Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat

oleh pejabat pembuat akta.

Pasal 11 menyebutkan, tanda tangan elektronik memiliki kekuatan

hukum dan akibat hukum yang sah selama memenuhi persyaratan sebagai

(6)

19

penanda tangan; (b) data pembuatan tanda tangan elektronik pada saat proses

penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa penanda tangan; (c)

segala perubahan terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi setelah waktu

penandatanganan dapat diketahui; (d) segala perubahan terhadap informasi

elektronik yang terkait dengan tanda tangan elektronik tersebut setelah waktu

penandatanganan dapat diketahui; (e) terdapat cara tertentu yang dipakai untuk

mengidentifikasi siapa penandatangannya; dan (f) terdapat cara tertentu untuk

menunjukkan bahwa penanda tangan telah memberikan persetujuan terhadap

informasi elektronik yang terkait.

2. 3. Kelemahan dan Keunggulan Tanda Tangan Elektronik

Sebagaimana telah dikemukakan berkembangnya penggunaan sarana

elektronik dalam berbagai transaksi, di samping memberikan manfaat yang

positif yakni adanya kemudahan bertransaksi, juga memberikan manfaat yang

sangat besar bagi penyimpanan dokumen sebagai hasil kegiatan usaha yang

dilakukan. Namun, memang diakui bahwa disamping keuntungan tersebut dalam

penggunaan sarana elektronik terdapat pula kekurangan atau kelemahannya

apabila dihadapkan pada masalah alat bukti di pengadilan.

Dalam hukum perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 1866, alat bukti

(7)

20

Selanjutnya dalam Pasal 1867 ditentukan bahwa pembuktian dengan tulisan

dilakukan dengan tulisan otentik atau tulisan dibawah tangan. Pegertian

“tulisan” dalam pasal tersebut dipastikan dalam bentuk tertulis di atas kertas.

Pengertian semacam ini tentu sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan

jaman teknologi saat ini. Untuk itu perlu diketahui ketentuan dalam UU ITE

yang terlihat dari kebiasaan yang berlangsung dalam pergaulan internasional

sebagai suatu kontrak.

2. 4. Bentuk Pengaturan Meregulasi Internet

Menurut Viktor Mayer-Schönberger terdapat tiga pendapat mengenai

bentuk pengaturan mengenai siapa yang berhak meregulasi Internet. Pendapat

pertama dikenal dengan the State-Based Traditionalist Discourse mengatakan

sebaiknya pihak yang mengatur internet adalah Pemerintah (the State) melalui

peraturan perundang-undangan. Berdasarkan pendapat ini bentuk pengaturan

internet akan diatur oleh masing-masing negara. Kelebihan pandangan ini adalah

penegakan hukum terhadap pengaturan internet lebih terjamin. Sementara itu,

kelemahan dari pengaturan ini adalah dilupakannya dasar dari internet yaitu sifat

global. Tidak mungkin suatu negara dapat memaksakan peraturan negaranya

bagi warga negara lain yang menggunakan fasilitas internet di negaranya,

(8)

21

Pendapat kedua mengatakan, internet sebaiknya diatur oleh

masing-masing pihak berdasarkan kebiasaan atau dikenal dengan istilah the

Cyber-Separatist Discourse. Pendapat ini memisahkan antara kehidupan sosial di dunia

nyata dengan kehidupan di dalam cyberspace. Berdasarkan pendapat ini

sebaiknya pengaturan mengenai internet tidak usah dilakukan oleh negara,

karena tidak akan ada peraturan yang cocok untuk mengatur kemajemukan di

internet. Karena pengaturan internet menggunakan kebiasaan, para pengguna

internet akan merasa lebih dapat menerima peraturan yang ada. Akan tetapi,

kelemahan dari pendapat ini adalah tidak adanya penegakan hukum seandainya

terjadi sengketa antara para pihak, kecuali penegakkan hukum oleh para pihak

yang terlibat.5

Pendapat ketiga yaitu the Cyber-Internationalist Discourse, mengatakan

pengaturan Internet sebaiknya melalui ketentuan internasional. Jadi, ada suatu

ketentuan hukum berlaku secara internasional yang mengatur mengenai internet.

Pendapat ini mengarahkan pandangannya kepada usaha untuk mengunifikasikan

peraturan internet yang ada pada sifat hukum itu sendiri. Kelemahan dari aliran

ini adalah, tidak semua negara mau mengakui pengaturan mengenai internet

yang berlaku tersebut, karena tiap negara memiliki karakterisitik tersendiri

sepanjang tidak bertentangan dengan hukum.

5

(9)

22

Kecenderungan yang terjadi sehubungan dengan pendapat-pendapat di

atas adalah dalam proses arbitrase online khususnya dalam penyelesaian

sengketa e-commerce yang dilakukan antara business to consumer (B2C).

Pilihan hukum yang digunakan adalah berdasarkan hukum nasional dari si

pelaku bisnis, karena konsumen hanya memiliki pilihan menerima klausula baku

arbitrase yang tersedia atau tidak melakukan e-commerce sama sekali (take it or

leave it). Hal ini dipengaruhi hukum positif yang mengatur internet di negara

tersebut, sehingga di pengaturan mengenai e-commerce mengikuti hukum yang

mengatur tentang koneksi e-commerce dalam hubungan Internetnya. Dengan

demikian proses arbitrase akan menggunakan pilihan hukum dimana media

internet yang menjalankan e-commerce berada.

Apabila sengketa yang terjadi dalam hubungan e-commerce antara client

to client (C2C). Pengaturan internet yang biasa digunakan adalah menganut

the Cyber-Separatist Discourse yaitu mereka akan mengatur tersendiri mengenai

pilihan hukum mana yang akan digunakan. Selanjutnya, apabila sengketa

tersebut melibatkan sesama pelaku bisnis mengenai suatu hal yang berlaku

secara internasional, mereka akan menganut the

Cyber-Internationalist Discourse yaitu ketentuan hukum internasional yang berlaku.

Contoh sengketa pada kasus ini adalah sengketa mengenai “nama domain” atau

domain name di mana pihak penyedia domain name untukt top level domain

(10)

23

diselesaikan melalui arbitrase dengan pilihan hukum, hukum internasional yaitu

Uniform Domain Name Dispute Resolution Policy.6

Dalam UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa dinyatakan bahwa:

Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase

terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks,

telegram, faksimili, e-mail atau dalam bentuk sarana

komunikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan

penerimaan oleh para pihak.

Selain kata e-mail adanya kata “bentuk sarana komunikasi lainnya”

dalam ketentuan tersebut dapat dijadikan dasar hukum pelaksanaan arbitrase

secara online. Hanya masih menjadi masalah bagaimana prosedur operasional

arbitrase online. Telah dijelaskan sebelumnya, arbitrase online tidak berbeda

dengan arbitrase konvensional, yang berbeda hanyalah tata cara pelaksanaannya.

Namun, timbul permasalahan menyangkut syarat sah dari perjanjian arbitrase

yaitu tertulis dalam suatu dokumen dan ditandatangani.7

Permasalahannya adalah bagaimana cara pemenuhan syarat tersebut

dalam arbitrase online. Untuk itu perlu dijelaskan sebagai berikut Pertama:

6 Edmom Makarim, Pengantar Hukum Telematika Suatu Kompilasi Kajian, Jakarta, PT.

RajaGrafindo Persada, 2005, hal., 239.

7 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa Suatu Pengantar ,

(11)

24

Perjanjian Arbitrase tertulis tidak selalu harus tercetak UU No. 30 tahun 1999

memang menentukan perjanjian arbitrase harus tertulis. Timbul suatu

pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan tertulis berarti tulisan di atas media

kertas. Undang-undang tidak menjelaskan lebih lanjut. Penyelesaian sengketa

melalui arbitrase konvensional mendasarkan kegiatannya pada pertukaran dan

pemeriksaan dokumen bermedia kertas (paperbase). Sedangkan, dalam arbitrase

online, media kertas telah digantikan oleh data digital sehingga tidak lagi

diperlukan adanya dokumen berbentuk kertas (paperless). Jika isu orisinalitas

yang menjadi acuan harus digunakannya dokumen cetak bermedia kertas, saat

ini sudah tidak relevan lagi. Masyarakat sering memahami bahwa suatu

dokumen yang asli adalah dokumen yang tertulis di atas kertas. Padahal, untuk

suatu sistem dokumentasi yang menggunakan komputer, dokumen yang asli

sebenarnya adalah dalam bentuk data elektronik (softcopy) yang tersimpan

dalam hardisk komputer yang sesuai dengan bentuk cetaknya (hardcopy).

Dengan demikian, nilai ataupun eksistensi suatu pernjanjian secara

substansial tidak bergantung pada media apa yang digunakan sebagai fiksasinya,

(12)

25

suatu perjanjian arbitrase yang tertulis di atas kertas pun kalau proses

penyusunannya tidak memenuhi syarat sah perjanjian maka batal demi hukum.8

Dapat disimpulkan, meskipun perjanjian arbitrase dibuat dalam bentuk

data elektronik dan di-online-kan, sepanjang dapat dibuktikan prosesnya berjalan

dengan baik dan dilakukan oleh pihak yang berhak, tetap memiliki kekuatan

mengikat para pihak yang membuatnya. Dalam hal ini berlakulah ketentuan

dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyatakan perjanjian yang dibuat

secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Sebagai contoh sudah diterimanya perjanjian arbitrase online dalam pelaksanaan

arbitrase online dapat dilihat ketentuan pelaksanaan arbitrase yang dikeluarkan

oleh America Arbitration Association (AAA) pada Supplementary Rules untuk

arbitrase online yang telah mengadopsi perjanjian dalam bentuk online. Hal ini

terlihat dari pengantar Supplementary Rules yang menyatakan:

The purpose of the Supplementary Procedures for Online

Arbitration is to permit, where the parties have agreed to

arbitration under these Supplementary Procedures, arbitral

proceedings to be conducted and resolved exclusively via the

Internet. The Supplementary Procedures provide for all party

submissions to be made online, and for the arbitrator, upon

8 H. Ahmad M. Ramli, Sambutan atas Penerbitan Buku Arbitrase Online Alternatif

(13)

26 review of such submissions, to render an award and to

communicate it to the parties via the Internet.9

Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU No. 30 tahun 1999, perjanjian arbitrase

dimuat dalam satu dokumen dan ditandatangani. Artinya, suatu perjanjian

arbitrase sah apabila telah ditandatangai oleh para pihak yang membuatnya.

Timbul suatu pertanyaan, apakah tanda tangan dalam Pasal tersebut hanya

diartikan secara sempit yaitu sebagai tanda tangan hitam diatas putih?

Perkembangan teknologi telah menggeser bentuk tanda tangan yang sebelumnya

hanya di atas kertas, kini tanda tangan dapat berupa tanda tangan digital atau

yang biasa disebut digital signature (DS). Penggunaan tanda tangan dalam

kegiatan sehari-hari secara harfiah disamakan dengan penggunaan DS dalam

internet yaitu ditujukan untuk nilai keotentikan suatu data atau informasi.

Perbedaannya adalah, tanda tangan lazimnya merupakan kombinasi atau variasi

dari nama atau singkatan nama seseorang. Di lain pihak dalam internet tanda

tangannya berupa kombinasi digital, yaitu kombinasi dari bilangan biner 0 dan 1

yang diinterpretasikan menjadi karakter yang unik dan melalui proses

penyandian (enkripsi).10

Tanda tangan digital sering disalahartikan menjadi tanda tangan di atas

kertas lalu dengan melalui proses scanning, tanda tangan tersebut dimasukkan

9

Ibid,hal., 32.

10

(14)

27

(input) kedalam komputer sehingga menjadi gambar tanda tangan yang

kemudian dilekatkan dengan suatu dokumen untuk menyatakan dokumen

tersebut telah ditanda tangani.11 Tidak jarang tanda tangan digital juga dipahami

sebagai tanda tangan yang dibuat langsung di komputer menggunakan mouse

sehingga berbentuk tanda tangan seperti lazimnya tanda tangan di atas kertas.

2. 5. Tanda Tangan Elektronik dalam Arbitrase Online

Kembali ke pokok permasalahan yaitu apakah tanda tangan yang

dimaksud Pasal 4 Ayat (2) UU No. 30 tahun 1999 terbatas pada pengertian tanda

tangan sebagai hitam di atas putih? Perlu dilihat dari pentingnya tanda tangan

dalam perjanjian arbitrase. Dalam Pasal 9 Ayat (2) UU No. 30 tahun 1999

dikatakan apabila para pihak tidak menandatangani perjanjian arbitrase, maka

perjanjian tersebut dibuat dalam bentuk akta notaris. Pasal ini menjelaskan

tujuan tanda tangan dalam perjanjian arbitrase yaitu untuk keperluan pembuktian

keotentikan perjanjian arbitrase tersebut.12

Mark Taylor dalam tulisannya yang berjudul Uses of Encryption

mengatakan bahwa:

11

Ibid, hal., 33.

12

(15)

28 Digital signatures designed in such a way that the authenticity

and integrity of the data to which they are attached can be

assured. In essence, the key issues for data which have been

signed digitaly are: whether those data have been altered

between their being signed and being read or received by the

intended recipient and whether those data were actually signed

by the person by whom the data purport to have been signed or

whether the signature attached to them is forged in some way.

Jadi, apabila keperluan tanda tangan dalam perjanjian arbitrase adalah untuk

pembuktian, perlindungan keotentikan suatu dokumen yang menggunakan tanda

tangan digital jauh lebih kuat. Karena sebuah tanda tangan digital memiliki

karakter yang sangat unik dan telah tersandikan (encrypted) sehingga

kemungkinan ditiru sangat kecil. Berdasarkan hal tersebut, seharusnya

penggunaan tanda tangan digital dalam perjanjian arbitrase, khususnya

perjanjian arbitrase online tidak usah dipermasalahkan. Justru dengan adanya

tanda tangan digital seluruh data dalam proses arbitrase akan terlindung

kerahasiaan dan keotentikannya, karena yang dapat membuka data tersebut

hanyalah pihak yang tanda tangannya telah di-accept dalam dokumen saja yang

dapat membuka dokumen. Selain harus dipenuhinya persyaratan perjanjian

arbitrase sebagaimana dijelaskan sebelumnya, suatu proses arbitrase online

memerlukan prosedur dan kelengkapan yang berbeda dengan proses arbitrase

konvensional.13 Sama halnya dengan arbitrase online, mediasi online dilakukan

(16)

29

melalui internet dengan menggunakan sarana komunikasi elektronik. Mediasi

online secara global menggambarkan susunan strategi, gaya dan layanan yang

diberikan. Secara jelas menggambarkan standar yang diakui. Institusi ini adalah

online resolution dengan menggunkan standar yang ditetapkan praktik mediasi

oleh American Bar Associatin (ABA) Society of Professionals in Dispute

Resolution (SPIDR). Sebagian besar dari provider mediasi online merupakan

medasi fasilitaif dibandingkan dengan mediasi online evaluatif.14

Sengketa yang terjadi dalam transaksi elektronik terutama untuk perkara

yang terjadi dalam negeri, dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase. Karena

sengketa yang terjadi dalam transaksi elektronik merupakan sengketa di bidang

perniagaan dan bisnis yang memang ditegaskan dalam UU No. 30 tahun 1999.

Pasal 1 UU No. 30 tahun 1999 menegaskan bahwa arbitrase adalah cara

penyelesaian suatu sengketa di luar peradilan umum yang didasarkan pada

perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa.

Selanjutnya dalam Pasal 5 Ayat (1) ditegaskan bahwa “sengketa di bidang

perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan

perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa”. Selanjutnya

dalam Pasal 5 Ayat (1) ditegaskan bahwa “sengketa di bidang perdagangan dan

mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai

sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Adanya kesepakatan tertulis dari para

(17)

30

pihak untuk menyerahkan penyelesaian sengketa yang akan ataupun yang sudah

terjadi, kepada seorang atau beberapa orang pihak ketiga di luar pengadilan

umum untuk mendapatkan putusan. Dengan adanya kesepakatan tertulis

tersebut, berarti para pihak melepaskan haknya untuk menyelesaikan sengketa di

pengadilan. Tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat

hukum yang sah selama data pembuatan tanda tangan elektronik terkait hanya

kepada penanda tangan, data pembuatan tanda tangan elektronik pada saat

proses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa penanda tangan,

segala perubahan terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi setelah waktu

penandatanganan dapat diketahui, segala perubahan terhadap informasi

elektronik yang terkait dengan tanda tangan elektronik tersebut setelah waktu

penandatanganan dapat diketahui, terdapat cara tertentu yang dipakai untuk

mengidentifikasi siapa penandatangannya dan terdapat cara tertentu untuk

menunjukkan bahwa penanda tangan telah memberikan persetujuan terhadap

informasi elektronik yang terkait.

2. 6. Atribut Tanda Tangan

Untuk mencapai tujuan dari penandatanganan suatu dokumen, sebuah

tanda tangan harus mempunyai atribut-atribut berikut: pertama, otentikasi

penanda tangan. Sebuah tanda tangan seharusnya dapat mengindentifikasikan

(18)

31

Kedua, otentikasi dokumen. Sebuah tanda tangan seharusnya

mengidentifikasikan apa yang ditanda tangani, membuatnya tidak mungkin

dipalsukan ataupun diubah (baik dokumen yang ditandatangani maupun tanda

tangannya) tanpa diketahui. Otentikasi penandatangan dan dokumen adalah alat

untuk menghindari pemalsuan dan merupakan suatu penerapan konsep

“nonrepudiation” dalam bidang keamanan informasi. Nonrepudiation adalah

jaminan dari keaslian ataupun penyampaian dokumen asal untuk menghindari

penyangkalan dari penandatangan.15

Berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) UU ITE sesuatu itu memiliki kekuatan

hukum sebagai alat bukti yang sah, bila informasi elektronik ini dibuat dengan

menggunakan sistem elektronik yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai

dengan perkembangan teknologi informasi. Bahkan secara tegas, Pasal 6 UU

ITE menentukan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli selain

yang diatur dalam Pasal 4 Ayat (4), persyaratan tersebut telah terpenuhi

berdasarkan undang-undang jika informasi elektronik tersebut dapat terjamin

keutuhannya dan dapat dipertanggungjawabkan, dapat diakses, dapat

ditampilkan sehingga menerangkan suatu keadaan. telah menjadi hukum positif,

akta elektronik dianggap sama dengan akta konvensional, begitu pula dengan

tanda tangan elektronik dianggap sama dengan tanda tangan manuskrip.16

15

Rick Wiebe, Yuridiksi, Seminar E-Commerce and the Law, Bandung , Citra Aditya, 2002, hal., 61.

(19)

32 2. 7. Cara Kerja Teknologi Tanda Tangan Digital

Seperti telah Penulis singgung di atas tanda tangan digital dibuat dengan

menggunakan teknik kriptografi, suatu cabang dari matematika terapan yang

menangani tentang pengubahan suatu informasi menjadi bentuk lain yang tidak

dapat dimengerti dan dikembalikan seperti semula.17

Tanda tangan digital menggunakan public key cryptography (kriptografi

kunci publik), dimana algoritmanya menggunakan dua buah kunci. Kunci yang

pertama adalah kunci untuk membentuk tanda tangan digital atau mengubah data

kebentuk lain yang tidak dapat dimengerti. Sedangkan kunci yang kedua

digunakan untuk verifikasi tanda tangan digital ataupun mengembalikan pesan

ke bentuk semula. Konsep ini juga dikenal sebagai “assymmetric cryptosystem”

(sistem kriptografi non simetris). Sistem kriptografi itu menggunakan kunci

privat, yang hanya diketahui oleh penandatangan dan digunakan untuk

membentuk tanda tangan digital. Sistim kriptografi itu juga mempunyai kunci

publik, yang digunakan untuk verifikasi tanda tangan digital. Jika beberapa

orang ingin memverifikasi suatu tanda tangan digital yang dikeluarkan oleh

seseorang, maka kunci publik tersebut harus disebarkan ke orang-orang tersebut.

Kunci privat dan kunci publik ini sesungguhnya secara matematis „berhubungan‟

(memenuhi persamaan-persamaan dan kaidah-kaidah tertentu). Walaupun

(20)

33

demikian, kunci privat tidak dapat ditemukan menggunakan informasi yang

didapat dari kunci publik.18

Proses lain yang tak kalah penting adalah “fungsi hash”, digunakan untuk

membentuk sekaligus memverifikasi tanda tangan digital. Fungsi hash adalah

sebuah algoritma yang membentuk representasi digital atau semacam “sidik jari”

dalam bentuk “nilai hash” (hash value) dan biasanya jauh lebih kecil dari

dokumen aslinya dan unik hanya berlaku untuk dokumen tersebut. Perubahan

sekecil apapun pada suatu dokumen akan mengakibatkan perubahan pada “nilai

hash” yang berkorelasi dengan dokumen tersebut. Fungsi hash yang demikian

disebut juga “fungsi hash satu arah”, karena suatu nilai hash tidak dapat

digunakan untuk membentuk kembali dokumen aslinya. Fungsi hash dapat

digunakan untuk membentuk tanda tangan digital. Fungsi hash ini akan

menghasilkan “sidik jari” dari suatu dokumen (sehingga unik hanya berlaku

untuk dokumen tersebut). Ukuran hash jauh lebih kecil daripada dokumen

aslinya serta dapat mendeteksi apabila dokumen tersebut telah diubah dari

bentuk aslinya.

Penggunaan tanda tangan digital memerlukan dua proses, yaitu dari

pihak penandatangan serta dari pihak penerima. Secara rinci kedua proses

tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: pertama, pembentukan tanda tangan

digital menggunakan nilai hash yang dihasilkan dari dokumen serta kunci privat

yang telah didefinisikan sebelumnya. Untuk menjamin keamanan nilai hash

18

(21)

34

maka seharusnya terdapat kemungkinan yang sangat kecil bahwa tanda tangan

digital yang sama dapat dihasilkan dari dua dokumen serta kunci privat yang

berbeda. Kedua, verifikasi tanda tangan digital adalah proses pengecekan tanda

tangan digital dengan mereferensikan ke dokumen asli dan kunci publik yang

telah diberikan, dengan cara demikian dapat ditentukan apakah tanda tangan

digital dibuat untuk dokumen yang sama menggunakan kunci privat yang

berkorespondensi dengan kunci publik.19

2. 8. Transaksi Tanda Tangan Digital

Pada hakikatnya, seperti telah Penulis kemukakan terdahulu, tanda

tangan digital adalah satu tanda tangan elektronik yang dapat digunakan untuk

membuktikan keaslian identitas pengirim dari suatu pesan atau penandatangan

dari suatu dokumen. Tanda tangan elektronik juga berfungsi untuk memastikan

isi yang asli dari pesan atau dokumen itu sudah dikirim tanpa perubahan. Sifat

khas dari tanda tangan elektronik adalah bahwa tanda tangan digital dengan

mudah dapat dipindahkan. Tanda tangan elektronik juga tidak bisa ditiru oleh

orang lain, dan dapat secara otomatis dilakukan time-stamp. Kemampuan itu

untuk memastikan bahwa pesan asli yang tiba di pengirim tidak bisa dengan

mudah diganti. Suatu tanda tangan digital dapat digunakan di segala macam

pesan, apakah itu terenkripsi atau tidak, sehingga penerima dapat memastikan

(22)

35

identitas pengirim itu dan pesan tiba secara utuh. Suatu sertifikat digital berisi

tanda tangan digital dari sertifikat pihak yang mengeluarkan sertifikat elektronik

adalah otoritas sehingga siapapun dapat memverifikasi bahwa sertifikat itu

adalah nyata.20

Tanda tangan elektronik biasanya digunakan dalam transaksi elektronik

sebagai cara melakukan otentifikasi para pihak. Untuk memastikan kebenaran

tanda tangan elektronik, maka hendaknya suatu tanda elektronik memenuhi

unsur berikut : pertama, data yang dimasukkan hanyalah berkaitan dengan si

pemilik tanda tangan dan oleh si pemilik saja. Pada saat memasukkan data hanya

diketahui oleh orang itu saja. Kedua, jika terjadi perubahan data terhadap tanda

tangan elektronik selepas waktu penandatanganan, maka harus dapat diketahui.

Ketiga, ada tata cara tertentu yang dapat memastikan siapa yang melakukan

tanda tangan elektronik tersebut. Keempat, secara sederhana terdapat metode

pengamanan tertentu untuk memastikan kebenaran transaksi elektronik dan

tanda tangan elektronik. Kode dimaksud adalah password simetris dan asimetris.

Pasword simetris adalah password yang sama untuk digunakan oleh pengirim

dan penerima informasi elektronik. Sedangkan password asimetris ialah

password yang berbeda yang dimiliki oleh pengirim, maupun penerima.

Kedua-duanya secara tekhnikal dapat menjamin kerahasiaan sekaligus memastikan para

20

(23)

36

pihak dalam transaksi elektronik yang didalamnya juga terdapat data

elektronik.21

Sebuah tanda tangan elektronik akan menjadi alat bukti yang sempurnya

jika ia memenuhi beberapa syarat, yaitu: pertama, reliable atau dapat

dipertanggung jawabkan oleh si pembuat tanda tangan. Kedua, autentcity atau

otentik. Hal ini terkait dengan identitas si pembuat, kewenangan, kedudukan

hukum dan data usernya. Ketiga, integrity yaitu terkait dengan keutuhan data

yang dikirimkan. Keempat, tidak dapat disangkal. Untuk itu si pembuat tanda

tangan harus memastikan bahwa tanda tangan tersebut miliknya. Kelima, bersifat

rahasia (confidencial).22

2. 9. KeabsahanTransaksi Elektronik

Berbicara masalah keabsahan suatu tranksaksi, orang selalu akan

mendasarkan pada ketentuan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan

bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 2 (dua) syarat, yakni: yang

pertama cakap untuk membuat suatu perikatan sedangkan yang kedua sebab

yang halal.23

21

Ibid,hal., 40.

22 Ibid, hal., 41 - 42. Perlu Penulis kemukakan disini, bahwa semua hal yang telah dikemukakan

di atas, ternyata tidak dilakukan dalam Putusan 15. Atau, mungkin saja dilakukan namun kurang eksplisit dapat dibaca dalam putusan tersebut, sebagaimana terlihat dalam uraian hasil penelitian yang telah Penulis uraikan di Bab III, infra, lihat mulai hal., 57 skripsi ini.

(24)

37

Dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata

sebenarnya tidak dipermasalahkan mengenai media yang digunakan dalam

transaksi, atau dengan kata lain Pasal 1320 KUHPerdata tidak mensyaratkan

bentuk dan jenis media yang digunakan dalam bertransaksi. Oleh karena itu,

dapat saja dilakukan dengan menggunakan media konvensional maupun secara

elektronik.24 Namun suatu perjanjian dapat dikatakan sah bila telah memenuhi

unsur-unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 tersebut.

Demikian pula asas kebebasan berkontrak yang dianut KUHPerdata,

dimana para pihak dapat bebas menentukan dan membuat suatu perikatan atau

perjanjian dalam bertransaksi yang dilakukan dengan tikat baik (Pasal 1338).

Jadi, apapun bentuk dan media dari kesepakatan tersebut, tetap berlaku dan

mengikat para pihak karena perikatan tersebut25 merupakan undang-undang bagi yang membuatnya.

Permasalahan akan timbul dari suatu transaksi bila salah satu pihak

ingkar janji, maka penyelesaian permasalahan selalu berkaitan dengan apa yang

menjadi bukti dalam transaksi. Lebih-lebih bila tranksaksi menggunakan sarana

elektronik. Hal ini karena penggunaan dokumen atau data elektronik sebagai

akibat transaksi melalui media elektronik, belum secara khusus diatur dalam

24 Menurut penulis, dengan kata lain Pasal 1320 KUHPerdata tidak mensyaratkan bentuk dan

jenis media yang digunakan dalam bertransaksi.

25 Menurut Penulis, termasuk dalam perikatan/kontrak tersebut adalah tanda tangan biasa yang

(25)

38

hukum acara PTUN, termasuk dalam Hukum Acara Perdata maupun dalam

Hukum Acara Pidana. Mengenai hukum materiilnya pada dasarnya selain diatur

atau mempunyai kedudukan dalam UU ITE, diatur pula secara tegas dalam

Pasal 15 Ayat (1) UU No. 8 tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan yang

menyatakan bahwa dokumen perusahaan yang telah dimuat dalam microfilm

atau mendia lainnya dan atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah.

Selanjutnya apabila diperhatikan ketentuan dalam Pasal 1 Angka (2) UU

Dokumen Perusahaan mengenai pengertian dokumen, dikaitkan dengan

ketentuan Pasal 12 Ayat (1) dan Ayat (2) UU No. 8 tahun 1997 jo. Pasal 1320

KUHPerdata, transaksi melalui media elektronik adalah sah menurut hukum.26 Masih menyertai teknologi tanda tangan digital adalah biaya tambahan

secara institusional. Tanda tangan digital memerlukan pembentukan

otoritas-otoritas yang berhak menerbitkan sertifikat serta biaya-biaya lain untuk menjaga

dan mengembangkan fungsi-fungsinya. Disamping itu, biaya langganan.

Penanda tangan memerlukan perangkat lunak aplikasi dan juga membayar untuk

memperoleh sertifikasi dari otoritas yang berhak mengeluarkan sertifikat

Sedangkan kelebihan yang paling utama dari adanya tanda tangan digital adalah

lebih terjaminnya otentikasi dari sebuah dokumen. Tanda tangan digital sangat

sulit dipalsukan dan berasosiasi dengan kombinasi dokumen dan kunci privat

secara unik.27

(26)

39 2. 10. Alat Bukti Menurut Hukum Acara TUN dan UU ITE

Hukum pembuktian adalah hukum yang mengatur tentang tata cara untuk

menetapkan terbuktinya fakta yang menjadi dasar dari pertimbangan hakim

dalam menjatuhkan suatu putusan. Fakta tersebut terdiri dari fakta hukum dan

fakta biasa. Fakta hukum yaitu kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang

keberadaannya tergantung dari penerapan suatu peraturan perundang-undangan.

Sedangkan fakta biasa yaitu kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang juga

ikut menentukan adanya fakta hukum tersebut. Selain itu, terdapat fakta yang

juga dapat menjadi dasar pertimbangan dari hakim dalam menjatuhkan

putusannya yang tidak perlu dibuktikan, yaitu pertama, hal-hal yang menurut

pengalaman umum selalu terjadi. Kedua, fakta-fakta prosesual yang terjadi

selama pemeriksaan. Ketiga, eksistensi hukum Dari uraian di atas, dapat

diketahui bahwa pembuktian merupakan tata cara untuk menetapkan terbuktinya

suatu fakta dalam suatu perkara TUN untuk dijadikan dasar pertimbangan dalam

menjatuhkan suatu putusan.

Dalam penjelasan umum UU No. 5 tahun 198628 disebutkan bahwa

ajaran pembuktian yang digunakan dalam PTUN adalah ajaran pembuktian

bebas. Hukum acara yang digunakan pada PTUN mempunyai persamaan dengan

hukum acara yang digunakan pada peradilan umum untuk perkara perdata

dengan beberapa perbedaan. Pada PTUN, hakim berperan lebih aktif dalam

28

(27)

40

proses persidangan guna memperoleh kebenaran materiil dan untuk itu

undang-undang ini mengarah pada ajaran pembuktian bebas dan suatu gugatan Tata

Usaha pada dasarnya tidak bersifat menunda pelaksanaan Keputusan TUN yang

disengketakan. Ajaran pembuktian bebas atau teori pembuktian bebas adalah

ajaran atau teori yang tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang

mengikat hakim, sehingga sejauh mana pembuktian dilakukan diserahkan

kepada hakim. Berdasarkan ajaran pembuktian bebas, maka Hakim PTUN dapat

menentukan sendiri apa yang harus dibuktikan, dalam hal ini hakim dapat

mengesampingkan fakta dan hal yang diajukan oleh Penggugat atau Tergugat,

demikian pula hakim dapat memeriksa lebih lanjut tentang fakta dan hal yang

tidak disangkal atau tidak cukup dibantah, apabila fakta dan hal tersebut

memiliki arti yang relevan untuk dijadikan dasar pertimbangan dari hakim.

Selanjutnya siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus

dibuktikan oleh pihak yang berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan

oleh hakim sendiri dalam hal ini, Penggugat dan Tergugat adalah para pihak

yang dibebani pembuktian. Beban pembuktian adalah kewajiban yang

dibebankan kepada suatu pihak untuk membuktikan fakta yang menjadi dasar

pertimbangan dari hakim dalam menjatuhkan putusannya. Alat bukti mana saja

yang diutamakan dalam pembuktian dalam hal ini alat-alat bukti diatur oleh

undang-undang. Hakim mempunyai wewenang untuk memilih alat bukti tertentu

di antara alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang dan memberikan

(28)

41

pembuktian alat bukti yang telah diajukan Hakim mempunyai wewenang untuk

memberikan penilaian terhadap hasil pembuktian dalam memeriksa, memutus,

dan menyelesaikan sengketa TUN dengan memperhatikan pembatasan

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 107 UU No. 5 tahun 1986.29

Ketentuan-ketentuan tentang alat bukti dalam Hukum Acara TUN sedikit

sekali jika dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan dalam Hukum Acara

Perdata. Hal ini terjadi karena Hukum Acara TUN mengikuti ajaran pembuktian

bebas sebagaimana telah dijelaskan di atas sehingga dalam undang-undang tidak

terdapat ketentuan tentang kekuatan pembuktian dari suatu alat bukti, tidak

seperti di dalam Hukum Acara Perdata.

Pasal 100 Ayat (1) UU No. 5 tahun 1986 menentukan alat-alat bukti surat

atau tulisan, keterangan ahli, keterangan saksi, pengakuan para pihak, dan

pengetahuan hakim.

Dengan ketentuan di atas dapat diketahui bahwa selain bersifat bebas,

alat bukti yang digunakan dalam acara TUN juga bersifat terbatas, karena telah

ditentukan oleh UU No. 5 tahun 1986. Oleh karena itu, untuk sahnya

pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan

keyakinan hakim. Sehingga alm. Indroharto30 menyebutkan bahwa ajaran

pembuktian yang diikuti merupakan ajaran pembuktian bebas terbatas, bukan

29 Ibid, hal., 39.

30 Setelah Beliau meninggal, terjadi pemekaran UU No. 5 tahun 1986 diubah dengan

(29)

42

ajaran pembuktian bebas. Surat sebagai alat bukti tertulis dibedakan menjadi

dua, yaitu akta, adalah surat yang diberi tanda tangan memuat

peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan dibuat sejak semula

dengan sengaja untuk pembuktian dan bukan akta. Akta itu sendiri ada dua

macam akta otentik dan akta dibawah tangan. Sedangkan menurut UU No.

5/1986 Pasal 101 bahwa surat sebagai alat bukti yaitu akta otentik, surat yang

dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan

perundang-undangan berwenang membuat surat ini dengan maksud untuk

dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa hukum yang tercantum di

dalamnya. Selanjutnya akta dibawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan

ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dapat

dijadikan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang

tercantum di dalamnya.

Di dalam UU No. 5/1986 Pasal 102 Ayat (1), dijelaskan bahwa:

“Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di

bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui

menurut pengalaman dan pengetahuannya”

Kehadiran seorang ahli di persidangan adalah atas permintaan kedua

belah pihak atau salah satu pihak atau karena jabatannya. Hakim ketua sidang

dapat menunjuk seseorang atau beberapa orang ahli untuk memberikan

(30)

43

atau janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuan dan pengalamannya.31

Keterangan ahli diperlukan untuk menambah keyakinan hakim mengenai suatu

persoalan di bidang tertentu, yang memang hanya bisa dijelaskan oleh ahli di

bidang yang bersangkutan. Dalam hal ini keterangan juru taksir dapat

digolongkan sebagai keterangan ahli. Tetapi mereka yang tidak dapat didengar

sebagai saksi dalam perkara itu, juga tidak dapat diangkat sebagai ahli.32

Saksi adalah orang yang memberikan keterangan di muka sidang dengan

memenuhi syarat-syarat tertentu tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia

lihat, dengar dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau

keadaan tersebut. Setiap orang pada prinsipnya wajib untuk memberikan

kesaksian apabila dibutuhkan oleh pengadilan, tetapi tidak semua orang dapat

menjadi saksi. Ada beberapa saksi yang tidak diperbolehkan didengar

keterangannya sebagai saksi sebagaimana di atur dalam Pasal 88 UU PTUN No.

5 tahun 1986 sebagai berikut: (1) keluarga sedarah atau semenda menurut garis

keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat kedua dari salah satu pihak

yang bersengketa, (2) istri atau suami salah satu pihak yang bersangkutan

meskipun sudah bercerai, (3) anak yang belum berusia tujuh belas tahun, (4)

orang sakit ingatan.

Ada pula beberapa orang yang meskipun berhak menjadi saksi tetapi

berhak pula mengundurkan diri sebagai saksi mebnurut Pasal 89 UU PTUN, (1)

31

Pasal 103 UU PTUN.

32

(31)

44

saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak,

(2) setiap orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya diwajibkan

merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal itu.

Adakalanya, orang yang dijadikan saksi itu tidak mengerti bahasa

Indonesia, hakim dapat menunjuk seseorang yang akan bertindak sebagai

penerjemah dan sebelum melaksanakan tugasnya ia harus di sumpah terlebih

dahulu33 dan apabila seorang saksi dalam keadaan bisu-tuli dan tidak dapat menulis, maka demi kepentingan pemeriksaan, hakim menunjuk seorang yang

sudah biasa bergaul dengan saksi sebagai juru bahasa. Sebelum melaksanakan

tugasnya, ia wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama dan

kepecayaannya.34 Sedangkan apabila yang dipanggil sebagai saksi adalah

pejabat TUN, maka pejabat tersebut tidak boleh mewakilkan kepada orang lain,

ia wajib datang sendiri di persidangan.35

Sehubungan dengan uraian di atas, terdapat perbedaan antara keterangan

saksi dengan keterangan ahli. (1) keterangan ahli seorang/beberapa saksi ahli

dipanggil ke muka pengadilan untuk mengemukakan keterangan berdasarkan

keahliannya terhadap suatu peristiwa, (2) keterangan saksi atau ahli bisa secara

lisan ataupun tertulis, (3) kedudukan seorang ahli dapat diganti dengan ahli yang

33

Pasal 91 UU No. 5 tahun 1986.

34

Pasal 92 ayat (1) dan 92 UU No. 5 tahun 1986.

35

(32)

45

lain yang sesuai dengan keahliannya, (4) pengakuan para pihak, adalah

keterangan sepihak dalam suatu perkara, dimana ia mengakui apa yang

dikemukakan oleh pihak lawan atau sebagian dari apa yang dikemukakan oleh

pihak lawan. Pengakuan yang diberikan di depan persidangan oleh pihak yang

bersengketa sendiri atau oleh wakilnya yang diberi kuasa secara khusus, untuk

itu mempunyai kekuatan bukti yang sempurna terhadap pihak yang memberikan

pengakuan itu. Hal ini berarti hakim harus menganggap bahwa dalil-dalil yang

telah diakui itu benar, kendatipun belum tentu benar.36

Pengakuan yang diberikan di luar persidangan, nilai pembuktiannya

diserahkan kepada pertimbangan hakim. Dengan kata lain pengakuan yang

diberikan di luar persidangan merupakan alat bukti bebas dan konsekuensinya

hakim leluasa untuk menilai alat bukti tersebut, atau bisa juga hakim hanya

menganggap hal itu sebagai alat bukti permulaan saja. Terserah kepada hakim

untuk menerima atau tidak menerimanya.37

Pengetahuan hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini

kebenarannya.38 Melihat pada pengertian ini maka pengetahuan hakim dapat

juga diartikan sebagai apa yang dilihat, didengar dan disaksikan oleh hakim

dalam persidangan. Misalnya sikap, perilaku, emosional dan tindakan para pihak

dalam memutus perkara. Supomo mengemukakan bahwa persangkaan sebagai

36

Penjelasan UU No. 5 tahun 1986.

37 Penjelasan UU No. 5 tahun 1986.

38

(33)

46

alat bukti mempunyai kekuatan bukti bebas, sebagaimana yang telah dijelaskan

sebelumnya namun, menurut Pasal 107 UU No. 5 tahun 1986 untuk sahnya

pembuktian dengan persangkaan masih harus didukung oleh satu alat bukti lagi.

Sehingga terdapat minimal 2 alat bukti yang terdiri dari persangkaan hakim, dan

alat bukti lain. Tetapi pengetahuan hakim mengenai para pihak yang diperoleh di

luar persidangan tidak dapat dijadikan bukti dalam memutus perkara. Menurut

Pasal 100 Ayat (2) UU No. 5 tahun 1986 pengetahuan hakim ataupun keadaan

lain yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.

UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 6 ayat (2)

yang berbunyi:

Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila

pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut

Undang-Undang mendapat keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap

dapat bertanggungjawab atas perbuatan yang dituduhkan atas

dirinya. Sistem pembuktian ini berpangkal tolak pada

aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh

Undang-Undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan hakim.

Pembuktian sangat penting artinya dalam perkara TUN, karena dikabulkan

atau ditolaknya suatu gugatan bergantung pada terbukti atau tidaknya gugatan

tersebut didepan pengadilan. Untuk itu hakim harus menyelidiki apakah suatu

hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar atau tidak?

Dalam praktik tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus

(34)

47

disangkal oleh Tergugat serta hal-hal yang telah diketahui oleh khalayak ramai

(notoirfeiten).

Pasal 100 UU No. 5 tahun 1986 dan UU No. 9 tahun 2004 menentukan,

bahwa alat-alat bukti dalam PTUN terdiri dari surat ( akta autentik, akta di

bawah tangan, surat lain), keterangan ahli, keterangan saksi, pengakuan para

pihak, pengetahuan hakim.

Setelah selesai acara pembuktian, kepada para pihak diberikan

kesempatan untuk meyampaikan konklusi yang disusun dalam bentuk

kesimpulan dan masing-masing pihak,39 secara sitematis mulai dan eksepsi, tentang pokok perkara, tentang bukti tertulis, bukti saksi dan lainlainnya.

Suatu konklusi biasanya berisikan pertayaan, kesimpulan

jawab-menjawab, cara proses jawab-menjawab (gugatan, jawaban, repliek dan dupliek

apa hal-hal yang dianggap telah terbukti, atau hal-hal yang tidak terbukti

sebaliknya bagi tergugatnya tidak terbukti), kesimpulan dan bukti-bukti tertulis,

biasanya isi penting dan aIat-alat bukti tertulis dikemukakan secara singkat dan

jelas. Kemudian dirumuskan hal-hal yang dianggap terbukti atau tidak dan

bukti-bukti tersebut, kesimpulan dari saksi, inti-inti pokok dan keterangan

masing-masing saksi Penggugat maupun Tergugat. Selanjutnya dari keterangan

saksi-saksi itu disimpulkan hal-hal yang terbukti atau hal-hal yang tidak terbukti,

simpulan hal-hal mengenal penilaian terhadap alat bukti secara lengkap misalnya

penilaian terhadap alat bukti lawan, korban, konklusi yang disusun secara baik

39

(35)

48

akan dapat menjadi masukan bagi hakim dalam mengambil keputusan tentang

perkara yang diperiksanya, akan tetapi apabila disusun secara subjektif dan

sepihak dengan mengabaikan fakta-fakta yang terungkap di persidangan,

konklusi itu akan mempersulit hakim dalam mempertimbangikan perkara yang

ditanganinya.

Sengketa TUN diatur dalam Pasal 1 Angka (4) UU No. 5 tahun 198640

yaitu sebagai sengketa yang timbul dalam bidang TUN, antara orang atau badan

hukum perdata dengan Badan atau Pejabat TUN, baik di pusat maupun di

daerah. Sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan TUN, termasuk sengketa

kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Unsur-unsur sengketa TUN, yaitu: (1) sengketa yang timbul dalam bidang TUN, (2)

antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat TUN, (3)

sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan TUN, termasuk sengketa

kepegawaian, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sengketa TUN itu ditimbulkan oleh dikeluarkannya suatu Keputusan

Tata Usaha Negara (KTUN), oleh karena itu KTUN menjadi dasar lahirnya

Sengketa TUN. KTUN menurut Pasal 1 Angka (3)41 UU No. 5 tahun 1986, dimaksudkan sebagai suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau

Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan

40

Sekarang Pasal 1 Angka (10) UU No. 51 tahun 2009. 41

(36)

49

perundang-undangan yang berlaku yang bersifat kongkrit, individual dan final

yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Unsur-unsur KTUN berdasarkan Pasal 1 Angka (3) dan penjelasannya

UU No. 5 tahun 1986, adalah: (1) penetapan tertulis. Istilah penetapan tertulis

terutama menujukan kepada isi dan bukan kepada bentuk keputusan yang

dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN. Keputusan itu memang diharuskan

tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukan bentuk formalnya seperti Surat

Keputusan Pengangkatan dan sebagainya. Persyaratan tertulis itu diharuskan

untuk kemudaham segi pembuktian, sebuah memo atau nota dapat memenuhi

syarat tertulis tersebut dan akan merupakan suatu KTUN menurut

undang-undang ini apabila sudah jelas. (2) dikeluarakan oleh badan atau pejabat TUN.

Badan atau pejabat TUN adalah badan atau pejabat di pusat dan daerah yang

melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif. (3) berisi tindakan hukum TUN.

Tindakan hukum TUN yaitu tindakan hukum yang bersumber pada suatu

ketentuan hukun TUN yang dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada orang

lain. (4) bersifat kongkrit, individual dan final. Bersifat kongkrit artinya objek

yang diputuskan dalam KTUN itu tidak abstrak tetapi berwujud, tertentu atau

dapat ditentukan. Bersifat individual artinya KTUN itu tidak ditujukan untuk

umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Kalau yang dituju

lebih dari seorang maka tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu,

disebutkan. Bersifat Final artinya sudah definitif dan karenanya dapat

(37)

50

instansi lain belum bersifat final karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak

atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan.

Unsur-unsur KTUN sebagi mana tercantum dalam Pasal 1 Angka (3)

UU No. 5 tahun 1986 ternyata belum tuntas, ternyata terdapat pengecualian

berupa pengurangan untuk hal-hal yang tercantum dalam Pasal 2 dan

pengecualian yang berupa tambahan pada hal-hal yang tercantum dalam Pasal 3.

Menurut Pasal 2, yang tidak termasuk dalam pengertian KTUN: (a) KTUN yang

merupakan perbuatan hukum perdata; (b) KTUN merupakan pengaturan yang

bersifat umum; (C) KTUN yang masih memerlukan persetujuan; (d) KTUN

yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan

perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana; (e) KTUN yang dikeluarkan atas

dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku; (f) KTUN mengenai tata usaha negara

Tentara Nasional Indonesia; (g) Keputusan KPU baik di Pusat maupun di

Daerah, mengenai hasil pemilihan umum. Pasal 3 yang merupakan pengecualian

yang berupa tambahan, mengatur: (a) jika suatu Badan atau Pejabat TUN tidak

mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal

tersebut disamakan dengan KTUN; (b) jika suatu Badan atau Pejabat TUN tidak

mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana

ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka

(38)

51

keputusan yang dimaksud; (c) dalam hal peraturan peundang-undangan yang

bersangkutan rtidak menentukan jangka waktu sebagai mana dimaksud dalam

Ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya

permohobnan, Badan atau Pejabat TUN yang bersangkutan dianggap telah

mengeluarkan keputusan penolakan.

Isi ketentuan yang tercantum dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 5

tahun 1986, dapat ditarik pengertian bahwa yang tercantum dalam Pasal 2

sebenarnya merupakan suatu KTUN, akan tetapi menurut sifatnya oleh

undang-undang ini dianggap bukan sebagai KTUN, sedangkan hal-hal yang tercantum

dalam Pasal 3 UU No. 5 tahun 1986 sebenarnya bukan merupakan KTUN, tetapi

menurut sifatnya oleh undang-undang ini dianggap sebagai KTUN.

Kompetensi Absolut tersebut di atas masih dilimitasi oleh suatu

keadaan sebagaimana tercantum dalam Pasal 49, bahwa:

Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan sengketa TUN tertentu dalam hal keputusan

yang disengketakan itu dikeluarkan: dalam waktu perang

keadaan bahaya,keadaan bencana alam atau keadaan luar

biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan”

Menurut Pasal 47 wewenang Peraturan Undang-Undang (Peratun)

mengadili sengketa TUN. Sengketa TUN menurut Pasal 1 Angka (4)

(39)

52

tercantum dalam Pasal 1 Angka (3). Isi rumusan KTUN tersebut ternyata tidak

tuntas. Terhadap rumusan tersebut masih terdapat pengecualiannya yaitu berupa

pengurangan pada hal-hal yang tercantum dalam Pasal 2 dan penambahan pada

hal-hal yang terdapat dalam Pasal 3, serta masih lagi dilimitasi oleh keadaan

yang tercantum dalam Pasal 48 dan 49.

Merujuk pada ketentuan dalam UU No. 11 tahun 2008 Pasal 5 UU ITE

dapat dilihat mengenai apakah e-mail dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam

proses peradilan perdata:

(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik

dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang

sah; (2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik

dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai

dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia; (3).

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik

dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik

sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam

Undang-Undang ini; (4). Ketentuan mengenai Informasi Elektronik

dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) tidak berlaku untuk surat yang menurut

Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis dan surat

beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus

dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh

(40)

53

Dengan mendasarkan pada ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa

UU ITE telah mempertegas kedudukan e-mail sebagai salah satu dokumen

elektronik yang dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah. Informasi elektronik

menjadi alat bukti surat jika informasi elektronik itu diubah dalam bentuk cetak.

Informasi elektronik menjadi alat bukti petunjuk apabila informasi elektronik itu

punya keterkaitan dengan alat bukti lain dan semua kekuatan alat bukti tersebut

bebas artinya, informasi elektronik tersebut tetap dikaitkan dengan alat bukti lain

dan menurut keyakinan hakim, selain kemampuan jaksa meyakinkan hakim.

Sedangkan untuk ranah perdata, karena dalam hukum acara perdata tidak ada

alat bukti petunjuk, maka e-mail yang kemudian diubah menjadi bentuk cetak

adalah termasuk alat bukti surat.

Namun, sesuai pengaturan Pasal 5 Ayat (4) UU ITE, tidak semua e-mail

dapat dikategorikan sebagai alat bukti yang sah. E-mail tidak dapat dijadikan

sebagai alat bukti yang sah dalam beberapa hal: (a) surat yang menurut

undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; (b) surat beserta dokumen

pendukungnya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta

notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah. Jadi, e-mail dapat

saja dijadikan sebagai alat bukti dalam proses peradilan perdata dengan

(41)

54 2. 11. Penemuan Hukum

Dalam penulisan skripsi ini adapun penulis mendekatkan dengan

metode-metode penemuan hukum di dalamnya, antara lain interprestasi

mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan melakukan penafsiran atau

dijelaskan dengan menguraikan menurut bahasa umum sehari-hari. Di sini arti

atau makna ketentuan undang-undang dijelaskan menurut bahasa umum

sehari-hari.42 Penafsiran juga dilakukan dengan memperbandingkan. Dengan memperbandingkan hendak dicari kejelasan mengenai suatu ketentun

Undang-undang.43 Kaitan dengan tanda tangan elekronik, menurut Penulis ada kedudukan hukum tanda tangan dengan hukum positif di Indonesia. Namun

apakah tanda tangan hasil scan atas tanda tangan merupakan bukti elektronik

(digital signature) dalam perspektif penemuan hukum, juga merupakan domain

penemuan hukum .

2. 12. Arti Penting Tinjauan Kepustakaan

Seperti yang digambarkan Penulis di atas kedudukan sederajat antara

perlindungan hukum, kehandalan dan keamanan teknologi informasi akan

menciptakan suatu kepercayaan kepada para penggunanya. Tanpa kepercayaan

ini perdagangan elektronik dan pemerintahan elektronik yang saat ini digalakkan

42 Sudikmo Mertokusumo, Penemuan Hukum, Libery, Yogyakarta, 2007, hal., 57.

(42)

55

oleh pemerintah Indonesia tidak akan berkembang. Kepercayaan ini antara lain

dapat diperoleh dengantanda tangan elektronik memiliki kududukan hukum dan

akibat hukum yang sah dalam UU ITE. Artinya, selama dapat dipastikannya atau

diakui ada keterkaitan antara tanda tangan elektronik dengan penandatangan

yang bersangkutan, dan tanda tangan elektronik tersebut dibuat dan disimpan

dalam kondisi yang menjamin integritas dengan akta yang dilekatinya, maka

sebuah tanda tangan elektronik mempunyai nilai hukum yang sama dengan

tanda tangan manuskrip. Tanda tangan elektronik dapat menjadi sebuah

instrumen dasar pada hubungan-hubungan kontraktual, asalkan identitas

penggunanya, dan integritasnya dengan akta yang dilekatinya dapat dijamin.

Tentunya keamanan terhadap hubungan kontraktual ini harus dijamin. Melihat

bagaimana keamanan ini dijamin dengan melihat pelaksanaan, teknik dari tanda

tangan elektronik dan instrumen hukumnya, memberikan pengakuan hukum

terhadap tulisan elektronik. Hukum positif Indonesia menentukan bahwa ada

cara untuk memberikan kekuatan hukum dan akibat hukum terhadap suatu akta,

yaitu dengan mengetahui tanda tangan elektronik dalam UU ITE. Arti

pentingnya adalah dalam praktik perdagangan maupun pemerintahan khususnya,

tanda tangan manuskrip sudah kian tergeser dengan penggunaan tanda tangan

elektronik yang melekat pada akta terdematerialisasi atau akta elektronik,

sehingga seharusnya disudahi perdebatan tentang pengakuan, kekuatan hukum

dan akibat hukum dari sebuah tanda tangan elektronik sebab tanda tangan

(43)

56

gambarakan dalam Bab II mengenai tinjauan kepustakaan tentang tanda tangan

Referensi

Dokumen terkait

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL LTNIVERS ITA S NEGEzu YOGYAKARTA FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN. Alanrat: .ll, Kolombo I Yogyakarta 55281

Adapun syarat-syarat lain di antaranya adalah amanah, memiliki kapabilitas dan kompetensi, memahami dan membela aspirasi umat Islam, serta khusus bagi warga

Demikian Surat penugasan/ljin ini di'-ruat untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya dan setnlah selesaitugas dimohon untuk dapat melaporkan hasilnya'.. Agar

Sekolah Imbas juga dapat menjadi pelajaran dan feedback bagi Sekolah Model untuk tetap mempertahankan dan meningkatkan mutu yang sudah dijalankan, mengingat Sekolah

kepemilikan saham yang ditanamkan oleh investor pada suatu perusahaan, antara lain.. struktur kepemilikan keluarga dan struktur

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui rasio leverage (Debt to Equity Ratio), solvabilitas (Debt to Asset Ratio), profitabilitas (Return On Asset)

Pada zaman Mesir Kuno belum ada pengetahuan atau teknologi yang bisa dipakai untuk mengukur jarak Bulan dan jarak Matahari dari Bumi, tetapi ada orang-orang

Demikian Berita Acara ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.