• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDY OF REGULATED AND RESPONSIBILITY FOR PRIVATE SECTOR IN CORRUPTION CRIME.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "STUDY OF REGULATED AND RESPONSIBILITY FOR PRIVATE SECTOR IN CORRUPTION CRIME."

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

STUDY OF REGULATED AND RESPONSIBILITY FOR PRIVATE SECTOR IN CORRUPTION CRIME

ABSTRACT

In the society, it was formed a mindset that civil servants is the only actor who did corruption criminal act. This born an opinion that corruption criminal subject in Corruption Eradication Act is just applied for civil servants. The cause that forms this perception is due to the usage of civil servants term in some articles in Corruption Eradication Act and most undergoing corruption cases is being led to civil servants or state power as single party involved. But by concerning one example case of loans allocated by Bank Indonesia in the form of Bank Indonesia Bank Liquidity fund (BLBI) which brought state bankruptcy, it's well identified that most actor who committed the crime is someone that come from private sector. Here, private sector in corruption criminal act is defined as the exclusion set of civil servants definition.

This research aims to expose: (1) Regulated of corruption articles for private sector by the Corruption Eradication Act (2) Criminal responsibility for private sector with Corruption Eradication Act.

Research follows normative law method using secondary data. After compiling all required literatures and reference documents as well, interpretation is made from authentic, grammatical, systematic, and historical aspect, yields two subjects or more and those are used as object to be analyzed, in order to get answers for problem addressed within this research.

Research comes out with the result of identifying 14 (fourteen) articles ruling the corruption criminal act that is done by private sector. The articles are categorized into three groups: criminal act of detrimental effect to the finances of the state or the economy of the state, graft criminal act, and dishonesty criminal act and the penalization for crime acted by private sector is death sentence, putting in into jail, paying a fine, and supplementary indictment.

KATA KUNCI

Pengaturan

Pertanggungjawaban Pidana Tindak Pidana Korupsi

(2)

UU No. 31 Tahun 1999 UU No. 20 Tahun 2001

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Permasalahan

Permasalahan korupsi di Indonesia memang sudah sedemikian parah. Berbagai kalangan angkat bicara, mendiskusikan dan membahas permasalahan korupsi. Dari orang awam, mahasiswa, praktisi hukum, pakar hukum dan sastrawan pun ikut bicara. Intinya bahwa korupsi harus segera diberantas. Satjipto Rahardjo, menyatakan bahwa sudah waktunya bangsa Indonesia mencanangkan bahaya korupsi sebagai keadaan darurat. Karena keadaannya darurat maka juga mesti ditangani dengan cara berpikir darurat cara bertindak darurat dan dengan petinggi hukum yang mampu melakukan terobosan yang bersifat darurat.1

Di Indonesia lembaga-lembaga pengawasan sangat banyak, seperti: Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal Departemen, Badan Pengawasan Daerah (Bawasda), Pengawasan Fungsional, Pengawasan Melekat dan Pengawasan Masyarakat, sehingga seharusnya pengawasan dalam pelaksanaan pekerjaan pegawai negeri di Indonesia

1 Achmad Ali, Keterpurukan Hukum Di Indonesia, Penyebab dan

(3)

maupun pihak swasta apalagi yang ada hubungannya dengan penerimaan, penggunaan dan pengelolaan keuangan negara seharusnya sudah sedemikian sangat ketat diawasi oleh lembaga-lembaga pengawasan itu, namun kenyataannya tindak pidana korupsi semakin meluas.

Kenyataan yang terungkap bahwa di Indonesia, seolah-olah pelaku utama dari tindak pidana korupsi tersebut adalah pegawai negeri. Pegawai negeri dengan jabatan tertentu dalam melakukan tugas jabatannya dapat melakukan tindak pidana korupsi sehingga yang menjadi sasaran utama dari Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi itu adalah pegawai negeri saja. Hal ini dipertegas lagi oleh Andi Hamzah sendiri menyatakan sebab terjadinya korupsi antara lain adalah kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin hari makin meningkat.2

Penyebab pendapat seperti itu oleh karena banyaknya kasus tindak pidana korupsi hanya diarahkan kepada pegawai negeri atau aparat pemerintah. Bahkan pegawai negeri yang dimaksud terutama adalah pegawai negeri sipil. Sehingga seakan-akan pelaku utama dari praktek-praktek korupsi atau tindak pidana korupsi hanyalah pegawai negeri sipil saja

2 Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia, Masalah Pemecahannya, Gramedia

(4)

ataupun orang-orang yang disamakan dengan pegawai negeri sipil itu.

Praktik-praktik korupsi itu terkadang terjadi karena adanya kerjasama dengan pegawai negeri, namun seringkali seakan-akan pihak swasta tidak dapat disentuh atau dijangkau oleh hukum, padahal kemungkinan besar kasus-kasus korupsi di Indonesia apabila ditinjau dari sudut jumlah pelaku dan jumlah kerugian keuangan negara lebih banyak dilakukan oleh pihak swasta dari pada yang dilakukan oleh pegawai negeri, tetapi hal ini perlu penelitian lebih lanjut.

Secara teoritis yuridis Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi saat sekarang ini telah memberikan sarana yang cukup lengkap untuk dapat menjerat pelaku praktik-praktik korupsi. Mulai dari si penerima sampai dengan si pemberi, dari pegawai negeri sampai dengan bukan pegawai negeri atau pihak swasta dan korporasi. Sehingga seharusnya setiap orang atau siapapun yang secara langsung atau tidak langsung perbuatannya telah memenuhi rumusan menurut Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, dapat dikenakan hukuman atau diminta pertanggungjawaban pidananya.

(5)

oleh karena peraturan perundang-undangannya tidak mengatur dengan cukup lengkap. Menurut penulis peraturan perundang-undangannya sudah cukup lengkap bahkan ancaman pidana Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi saat sekarang ini jauh lebih berat, dan dalam keadaan tertentu dapat dijatuhkan pidana mati.

(6)

METODE PENELITIAN

1.1 Pendekatan Penelitian

Penulisan tesis ini menggunakan penelitian hukum normatif dengan melakukan studi bahan kepustakaan guna mengumpulkan data sekunder. Menurut Soerjono Soekanto, pada penelitian hukum normatif yang diteliti hanya bahan pustaka atau data sekunder, yang mungkin mencakup bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Pada penelitian hukum normatif yang sepenuhnya memepergunakan data sekunder, maka penyusunan kerangka teoritis yang bersifat tentatif dapat ditinggalkan akan tetapi penyusunan kerangka konsepsionil mutlak diperlukan.3 Lebih lanjut Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut mencakup: Pertama, penelitian terhadap asa-asas hukum. Kedua, penelitian terhadap sistematik hukum. Ketiga, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal. Keempat, penelitian perbandingan hukum. Kelima, penelitian sejarah hukum.4

3 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia,

Jakarta: 1986, hal 51-53.

4 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu

(7)

Penelitian hukum normatif dalam penulisan tesis ini dilakukan dengan pendekatan peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum, dan sejarah hukum. Setelah semua bahan hukum terkumpul maka bahan hukum tersebut dilakukan interprestasi atau penafsiran hukum sebagai pusat perhatian baik secara autentik, gramatikal, sistematis dan sejarah, sehingga di dapat dua subjek atau lebih sebagai objek pembahasan untuk mendapatkan pengetahuan baru. Sebab dengan melakukan penelusuran terhadap asas-asas yang terdapat dalam hukum positif dan juga pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan serta sinkronisasi perundang-undangan secara vertikal dan horisontal sehingga diharapkan akan dapat diketahui kelebihan dan kelemahan dari pengaturan Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi untuk pihak swasta, dengan demikian diharapkan hasil penelitian ini berguna bagi para penegak hukum.

1.2 Metode Dan Alat Pengumpulan Bahan Hukum

(8)

Metode dokumentasi merupakan suatu cara mengumpulkan bahan hukum yang bersumber dari tulisan yang biasanya digunakan dalam penelitian kepustakaan. Ketiga bahan hukum tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

.a Bahan Hukum Primer

1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

3) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

4) Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.

5) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

6) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). 7) Peraturan Perundang-undangan lainnya berupa :

(9)

(2) Tap MPR No. XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi Kolusi dan Nepotisme.

(3) Tap MPR No.VII Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi.

(4) Inpres No.5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

.b Bahan hukum Sekunder

1) Putusan hakim yang telah berkekuatan hukum yang tetap.

2) Buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.

3) Berbagai artikel dan jurnal. 4) Laporan-laporan penelitian.

5) Dokumen-dokumen yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.

.c Bahan hukum tertier

1) Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh Departemen Pendidikan Nasional.

(10)

3) Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer yang disusun oleh Peter Salim dan Yenny Salim.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1.1 Rumusan Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(11)

diatur dalam Pasal 1 ayat (1) sub c Undang-undang Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(12)

dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.Demikian juga walaupun hasil uang korupsi telah dikembalikan kepada negara maka terhadap pelaku tindak pidana korupsi tersebut tetap dapat diajukan ke pengadilan dan tetap dipidana. Pasal 4 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 menyatakan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan pidananya pelaku tindak pidana. Bertitik tolak dari pengertian tersebut, suatu perbuatan dapat diklasifikasikan dan dirumuskan sebagai tindak pidana korupsi apabila perbuatan-perbuatan yang dilakukan memenuhi semua unsur-unsur dari pasal peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi yaitu Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan Pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-undang tersebut maka secara terperinci ada 31 (tiga puluh satu) Pasal yang merupakan bentuk perbuatan tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan pidana penjara sampai kepada hukuman mati.

(13)

1)Kelompok tindak pidana merugikan keuangan negara dan perekonomian negara, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3.

2)Kelompok tindak pidana penyuapan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11, Pasal 12 huruf a, b, c, d dan Pasal 13.

3)Kelompok tindak pidana perbuatan curang, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7, Pasal 12 huruf h dan i

4)Kelompok tindak pidana penggelapan dalam jabatan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 10. 5)Kelompok tindak pidana pemalsuan sebagaimana yang

diatur dalam Pasal 9.

6)Kelompok tindak pidana pemerasan sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf e, f dan g

7)Kelompok tindak pidana gratifikasi, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12B

Sedangkan tindak pidana lainnya namun masih berkaitan dengan tindak pidana korupsi tersebut di atas, terbagi dalam 5 (lima) kelompok, yaitu :

(14)

2) Memberikan bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan terjadinya tindak pidana korupsi diluar wilayah negara Republik Indonesia, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 16.

3) Menghalangi pemeriksaan perkara korupsi, sebagaimana diatur dalam Pasal 21.

4) Memberikan keterangan yang tidak benar, sebagaimana diatur dalam Pasal 22 jo Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35 dan Pasal 36.

5) Saksi yang membuka identitas pelapor, sebagaimana diatur dalam Pasal 24 jo Pasal 31.

Ketetentuan ini menurut penulis merupakan perluasan dari pertanggungjawaban pidana. Dimana bagi mereka yang melakukan percobaan, perbantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, memberikan bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan terjadinya tindak pidana korupsi diluar wilayah negara Republik Indonesia, menghalangi pemeriksaan perkara korupsi, memberikan keterangan yang tidak benar dan saksi yang membuka identitas pelapor dapat dipidana menurut Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.

(15)

Pihak swasta menurut Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah setiap orang diluar pengertian pegawai negeri yang sudah diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 20 tahun 2001, Advokat, Pemborong, Ahli Bangunan, Penjual Bangunan dan Korporasi yang tidak menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

Dari tiga puluh satu Pasal rumusan tindak pidana korupsi menurut Undang-undang pemberantasan korupsi tersebut, dari hasil penelitian penulis terdapat 14 (empat belas) Pasal yang mengatur tindak pidana korupsi untuk pihak swasta. Hal ini berdasarkan dari subjek pelakunya khusus untuk pihak swasta dan tujuan dari perbuatan.

Dari empat belas Pasal pengaturan tindak pidana korupsi yang untuk pihak swasta tersebut, terbagi lagi dalam 3 (tiga) kelompok yaitu tindak pidana merugikan keuangan negara dan perekonomian negara, tindak pidana penyuapan dan tindak pidana perbuatan curang.

Tabel 1.

Kelompok Tindak Pidana Untuk Pihak Swasta

No Kelompok

(16)

1. Merugikan keuangan

negara dan

perekonomian negara

Pasal 2 ayat (1), Pasal 2

ayat (2) dan Pasal 3 3 Pasal

2. Penyuapan Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat (1) huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 12 huruf d dan Pasal 13

7 Pasal

3. Perbuatan

curang Pasal 7 ayat (1) huruf a,Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1) huruf c dan Pasal 7 ayat (1) huruf d

4 Pasal

Sumber diolah sendiri

Pada umumnya yang diutamakan harus mencari dalam ketentuan-ketentuan undang-undang (penafsiran secara autentik). Maksudnya apakah ada suatu pasal undang-undang yang menentukan pengertian atau maksud dari istilah yang sedang dipermasalahkan. Jika tidak ada, lalu dicari dalam penjelasan undang-undang dan apabila tidak ditemukan juga maka dicari dalam jurisprudensi dan pendapat para ahli hukum.

(17)

Roeslan Saleh,5 menjelaskan bahwa dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya perbuatan. Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana tergantung pada soal apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka tentu dia akan dipidana. Tetapi, manakala dia tidak mempunyai kesalahan, walaupun dia telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, dia tentu tidak dipidana. Asas yang tidak tertulis: “Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”, merupakan dasar daripada dipidananya sipembuat.

Selanjutnya Roeslan Saleh,6 menyatakan bahwa tidaklah ada gunanya untuk mempertanggungjawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila perbuatan itu sendiri tidaklah bersifat melawan hukum, maka lebih lanjut sekarang dapat pula dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana dan kemudian semua unsur-unsur kesalahan tadi harus dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan, sehingga untuk

5 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana,

Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, Jakarta, Aksara Baru, Jakarta: 1983, hal.75.

(18)

adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa maka terdakwa haruslah:

1) Melakukan perbuatan pidana 2) Mampu bertanggungjawab

3) Dengan kesengajaan atau kealpaan 4) Tidak adanya alasan pemaaf

Menurut Satochid Kartanegara,7 schuld mempunyai pengertian yang bertalian dengan pertanggungjawaban. Dapat dipertanggungjawabkan (toerekeingsvatbaarheid) adalah mengenai keadaan jiwa seseorang, sedangkan pertanggungjawaban (toerekendbaarheid) adalah mengenai perbuatan yang dihubungkan dengan si pelaku atau pembuat. Lebih lanjut Satochid Kartanegara,8 menjelaskan bahwa seseorang dapat dipertanggungjawabkan apabila: 1) Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga

di dapat mengerti atau tahu akan nilai perbuatannya itu, juga akan mengerti akan akibatnya.

2) Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga dia dapat menentukan kehendaknya atas perbuatan yang dilakukan.

7 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana I, Kumpulan Kuliah, Jakarta, Balai

Lektur Mahasiswa, hal.244.

(19)

3) Orang itu sadar dan insyaf, bahwa perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan yang dilarang atau tidak dibenarkan dari sudut hukum, masyarakat dan tatasusila.

Dalam perkembangan hukum pidana Indonesia, ada tiga sistem pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek tindak pidana, yaitu:9

1) Pengurus korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggung jawab.

2) Korporasi sebagai pembuat, maka pengurus yang bertanggung jawab.

3) Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggung jawab.

Pasal 20 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 telah mengatur pertanggungjawaban pidana suatu korporasi. Dengan demikian pertanggungjawaban korporasi yang bukan menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau korporasi yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

Pertanggungjawaban pidana pihak swasta, dapat kita lihat mengenai adanya:

9 H. Setiyono, Kejahatan Korporasi, Analisi Viktimologis dan

(20)

1) Pengaturan tentang melakukan percobaan, perbantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, sebagaimana yang diatur Pasal 15.

2) Pengaturan tentang penjatuhan pidana secara in absentia,

sebagaiman yang diatur Pasal 38.

3) Pengaturan tentang perampasan barang-barang yang telah disita terhadap terdakwa yang telah meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan, sebagaimana yang diatur Pasal 38 ayat (5).

4) Pengaturan pelaku yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan terjadinya tindak pidana korupsi diluar wilayah negara Republik Indonesia, sebagaimana yang diatur Pasal 16.

5) Pengaturan terhadap pelaku yang menghalangi pemeriksaan perkara korupsi, sebagaimana yang diatur Pasal 21

6) Pengaturan tentang memberikan keterangan yang tidak benar, sebagaimana diatur dalam Pasal 22 jo Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35 dan Pasal 36.

(21)

1.4 Sanksi Pidana Pihak Swasta Dalam Tindak Pidana

Korupsi

Agar mencapai tujuan yang diharapkan dengan diberlakukannya Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi maka Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 telah menentukan ancaman pidana penjara minimum atau paling singkat sampai pidana denda maksimum atau paling lama, pidana denda minimum atau paling sedikit sampai pidana denda maksimum atau paling banyak dan sampai pada ancamanan pidana mati. Kemudian juga pidana tambahan berupa pidana penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi yang tidak dapat membayar uang pengganti yang merupakan pengganti dari kerugian keuangan negara.

Sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi untuk pihak swasta adalah sama saja dengan untuk pegawai negeri. Sanksi pidana yang diatur berdasarkan Undang-undang No.20 Tahun 2001 Korupsi yaitu:

3.4.1 Pidana Mati

(22)

perekonomian negara sebagaimana ditentukan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 yang dilakukan dalam “keadaan tertentu”.

3.4.2 Pidana Penjara

Pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan atau perampasan kemerdekaan seseorang melalui putusan pengadilan. Pelaksanaan pidana penjara membatasi kebebasan seseorang dimana pidana penjara ini dijalankan di dalam gedung penjara yang dinamakan Lembaga Pemasyarakatan. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. 3.4.3 Pidana Denda

(23)

pidana denda telah dilunasi, maka terpidana dapat dibebaskan dari pidana kurungan.

3.4.4 Pidana Tambahan

Pidana tambahan dijatuhkan bersama-sama dengan pidana yang utama atau pokok. Pidana tambahan bagi pelaku tindak pidana korupsi sudah diatur pada Pasal 18 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.

Tabel 2.

Pengaturan Sanksi Pidana Untuk Pihak Swasta No Pasal

Korupsi

Pidana Mati

Pidana Penjara Pidana Denda Pidana Tambahan Paling Singkat (Tahun) Paling Lama (Tahun) Paling Sedikit (Rp) Paling Banyak (Rp) 1 Pasal 2

ayat (1) - 4 20 200juta 1 Milyar

Perampasan Barang Uang pengganti Penutupan Perusahaa n Pencabutan Hak-hak Tertentu 2 Pasal 2

ayat (2) Mati - - -

-3. Pasal 3 - 1 20 50 juta 1 Milyar 4. Pasal 5

ayat (1) huruf a

- 1 5 50 juta 250 juta

5 Pasal 5 ayat (1) huruf b

- 1 5 50 juta 250 juta

6. Pasal 6 ayat (1) huruf a

- 3 15 150

juta 750 juta

7. Pasal 6 ayat (1) huruf b

- 3 15 150

juta 750 juta

8. Pasal 6 ayat (2)

- 3 15 150

juta

750 juta

9. Pasal 7 ayat (1) huruf a

- 2 7 100

juta 350 juta

10. Pasal 7 ayat (1) huruf b

- 2 7 100

(24)

11. Pasal 7 ayat (1) huruf c

- 2 7 100

juta

350 juta

12. Pasal 7 ayat (1) huruf d

- 2 7 100

juta 350 juta

13. Pasal 12 huruf d

- 4 20 200

juta 1 Milyar

14. Pasal

13 - - 3 - 150 juta

Sumber diolah sendiri.

Kemudian pidana tambahan khususnya berupa uang pengganti, apabila terdakwa tidak dapat mengganti uang pengganti yang merupakan kerugian keuangan negara maka diganti dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi dari pidana penjara pokok yang diatur dalam Pasal tersebut. Tetapi tidak otomatis apabila sudah menjalani pidana penjara yang merupakan pengganti belum dibayarnya pidana tambahan berupa uang pengganti, tetap uang pengganti itu akan ditagih secara keperdataan.

Namun apabila tidak dapat juga diganti maka uang pengganti tersebut dapat dihapus sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 31/pmk.07/2005 Tentang Tata cara pengajuan usul, penelitian, dan penetapan penghapusan Piutang perusahaan negara/daerah dan piutang negara/daerah.

KESIMPULAN DAN SARAN

(25)

1.1 Terdapat 14 (empat belas) Pasal yang mengatur tindak pidana korupsi terhadap pihak swasta yang diatur Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, yang terbagi atas tiga kelompok yaitu kelompok tindak pidana kerugian keuangan negara dan perekonomian negara, kelompok tindak pidana penyuapan serta kelompok tindak pidana perbuatan curang.

1.2 Pertanggungjawaban pidana dan sanksi pidana yang diatur dalam Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi lebih luas dari pada yang diatur oleh KUHP dan sanksi pidana yang diatur dalam Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi untuk pelaku pihak swasta maupun pengawai negeri sama yaitu pidana mati, pidana penjara, pidana denda dan pidana tambahan.

2. Saran

(26)

saja. Penyebab pendapat seperti itu oleh karena kebanyakan kasus tindak pidana korupsi diarahkan kepada pegawai negeri atau aparat pemerintah, padahal di dalam Undang-undang tindak pidana korupsi ada 14 (empat belas) Pasal yang dapat diterapkan kepada pihak swasta. 2.3 Agar terhadap penagihan uang pengganti akibat

adanya kerugian keuangan negara ataupun belum dapat ditagih (kerapkali tidak dapat diselesaikan) dilakukan oleh Jaksa Pengacara Negara, sejalan dengan tugas dan kewenangan Kejaksaan yang diatur dalam Pasal 30 ayat (2) Undang-undang Nomor: 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Dengan demikian tidak hanya pelakunya saja dipidana penjara tetapi terhadap adanya kerugian keuangan negara dapat diganti.

(27)

Indonesia mempunyai kesadaran hukum dan tidak mau melakukan praktik-praktik korupsi.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Adji, Indriyanto Seno, Korupsi dan Hukum Pidana, Kantor Pengacara dan Konsultasi Hukum Prof. Oemar Seno Adji, SH dan Rekan, Jakarta, 2001.

Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan

Sosiologis, Toko Gunung Agung, Jakarta, 2002.

- - - , Keterpurukan Hukum di Indonesia, Penyebab dan

Solusinya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002.

Arrasjid Chainur, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2001.

Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Strategi

Pemberantasan Korupsi Nasional, Pusat Pendidikan

dan Latihan BPKP, Jakarta, 1999.

Balai Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1997.

Chazawi, Adami, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Alumni, Bandung, 2006

Danil, Elwi, Fungsionalisasi Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Studi Urgensi Pembaharuan Hukum Pidana Terhadap

Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Program

Pascasarjana FH UI, 2001.

Fuad, Munir, Bisnis Kotor, Anatomi Kejahatan Kerah Putih, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.

- - - -, Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan

(28)

Hamzah, Andi, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai

Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.

- - - , Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana

Nasional dan Internasional, Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2005.

- - - -, Korupsi di Indonesia, Masalah dan

Pemecahannya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,

1991.

- - - , Pemberantasan Korupsi Ditinjau Dari Hukum

Pidana, Pusat Studi Hukum Pidana Universitas

Trisakti, Jakarta, 2002.

- - - -, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1994.

Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana, Kumpulan Kuliah, Balai Lektur Mahasiswa

Lamintang, PAF, Delik-Delik Khusus Kejahatan Jabatan dan Kejahatan-Kejahatan Jabatan Tertentu Sebagai

Tindak Pidana Korupsi, Pionir Jaya Bandung, 1991.

Lamintang, PAF dan C Djisman Samosir, Hukum Pidana

Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1983.

Liba, H. Mastra, 14 Kendala Penegakan Hukum, Mahasiswa dan

Pemuda Sebagai Pilar Tegaknya Hukum dan HAM,

Yayasan Annisa, Jakarta, 2004.

Lubis, Mochtar dan James C. Scott, Bunga Rampai Korupsi, LP3ES, Jakarta, 1985.

Ohoitimur, Yong, Teori Etika Tentang Hukuman Legal, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997.

(29)

Mertokusumo, Sudikno dan A Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan

Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1993.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002. Prodjohamidjojo, Martiman, Penerapan Pembuktian Terbalik

Dalam Delik Korupsi (Undang-undang Nomor 31

Tahun 1999), Mandar Maju, Bandung, 2001.

Rasjidi, Lili, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung, 2003.

Ranuhandoko, I.P.M, Terminologi Hukum, Inggris-Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2003.

Tedjosaputro, Liliana, Etika Profesi Notaris Dalam Penegakan

Hukum Pidana, Bigraf Publishing, Yogyakarta, 1995.

Sapardjaja, Komariah Emong, Ajaran Sifat Melawan Hukum

Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia, Alumni,

Bandung, 2002.

Saleh, Roeslan, Beberapa Asas-Asas Hukum Pidana Dalam

Perspektif, Aksara Baru, Jakarta, 1981.

- - - -, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana,

Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, Aksara

Baru, Jakarta, 1983.

Salim, Peter dan Yenny Salim, Kamus Umum Bahasa Indonesia

Kontemporer, Modern English Press, Jakarta, 1991.

Satgas BLBI, Mengurai Benang Kusut BLBI, Bank Indonesia, 2002 Setiyono, H, Kejahatan Korporasi, Analisis Viktimologis dan

Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana

Indonesia, Bayumedia, Malang, 2004.

Sholehuddin, M, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar

Double Track System dan Implementasinya, Raja

(30)

Sianturi, SR, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan

Penerapannya, Alumni, Ahaem-Petehaem, Jakarta,

1996.

Siregar, Bismar, Keadilan Hukum Dalam Berbagai Aspek Hukum

Nasional, Rajawali, Jakarta, 1986.

Singgih, Dunia Pun Memerangi Korupsi, Beberapa Catatan Dari

Internasional, Rajawali, Jakarta, 1986.

Situmorang, Victor M, Tindak Pidana Pegawai Negeri Sipil, Rineka Cipta, Jakarta, 1994.

Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1997. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Pengantar Penelitian

Hukum, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1986.

Soekanto, Soerjono, Penegakan Hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta, 1983.

- - - -, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan

Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

Soesilo, R, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Serta

Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal,

Politeia-Bogor.

Subekti, R, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1992.

Wiyono, R, Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.

Peraturan Perundang-undangan

(31)

Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara.

Ketetapan MPR-RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Ketetapan MPR-RI Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi.

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kehakiman. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Majalah, Koran dan Jurnal

Feri Wibisono, “Menyongsong Era Baru Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi,” tulisan dimuat dalam majalah Media

(32)

Indriyanto Seno Adji, “Pengadilan HAM, Masalah dan

Perspektifnya,” tulisan dimuat dalam Jurnal Keadilan,

Jakarta, 2002.

W Sukur, “Korupsi Sebagai Cara Bisnis ala Indonesia,” tulisan dimuat dalam majalah Media Hukum, Vol.2 No.11 tanggal 22 September 2004.

Varia Peradilan, Tahun IX Nomor 102, Maret 1994. Harian Umum Kompas, 30 Oktober 2004.

Harian Umum Kompas, 14 April 2005.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyadari bahwa Tesis ini masih jauh dari sempurna namun dapat diselesaikan tidak terlepas dari bantuan, dorongan dan doa restu dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Dr. Hj. Ernawati Munir, SH, MH selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Andalas, yang setiap kali bertemu, Ibu selalu memberikan motivasi kepada penulis untuk segera menyelesaikan laporan penulisan tesis ini.

2. Bapak Prof. H. Elwi Danil, SH, MH selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, memotivasi dan kontribusi pemikiran sehingga dapat menyelesaikan studi ini.

(33)

4. Bapak Prof Dr. H. Syofyan Thalib, SH selaku Dosen Penguji yang atas rekomendasi dan petunjuk Bapak pada tahun 2003 yang lalu, saya dapat mendaftar dan diterima menjadi mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Andalas. Bahkan dalam penulisan laporang tesis ini, Bapak selalu meluangkan waktu untuk membimbing, mendorong dan mengarahkan penulis dengan bijak dan penuh keikhlasan sehingga dapat menyelesaikan laporan penulisan tesis ini.

5. Bapak Dr. Ferdi, SH, MH dan Ibu Aria Zurnetty, SH, MH selaku Dosen Penguji pada seminar proposal, seminar hasil dan ujian akhir, saya ucapkan terima kasih atas semua kontribusi pemikiran yang diberikan yang sangat berharga dalam menyelesaikan laporan penulisan tesis ini.

6. Bapak Prof. Dr. Hazli Nurdin, MS, selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Andalas dan Asisten Direktur serta Staf Administrasi yang telah membantu kelancaran administratif dan membantu penulis dalam banyak hal.

7. Staf Pengajar dan Staf Administrasi pada Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Andalas, yang telah banyak membantu penulis dalam banyak hal, sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

(34)

penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dan tidak lupa kepada Bang Hendrizal Husin, SH yang telah banyak membantu memberikan izin kepada penulis untuk dapat mengikuti perkuliahan pada waktu pekerjaan sedang menumpuk di kantor.

9. Yang penulis hormati dan kasihi, Ayahanda dr. R. Tambun dan Ibunda Ir. Anny Erika Siregar, MM, yang telah mengasuh dan mendidik serta memberikan dorongan kepada penulis dengan iringan doa yang tak henti-hentinya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi. Dan juga kepada Inang T. Pakpahan yang telah memberikan dukungan dan mendoakan penulis sehingga dapat menyelesaikan studi.

10. Istriku yang tercinta dr. Lenny Selvia Sinaga yang telah memberikan pertolongan dan dukungan dimasa-masa yang sulit dan anak-anakku tersayang Joel Christofel Hinsa Tambun dan Inggrid Amadea Tambun yang telah menjadi inpirasi dan motivasi untuk menyelesaikan studi.

11. Rekan-rekan semasa mengikuti perkuliahan Khairulludin, SH, MH (Hakim PN Muara Enim), Susi, SH, MH (Dosen STIA Batu Sangkar), Idial, SH (Kacabjari Solok di Alahan Panjang), Andi Nova, SH, MH (Dosen FH Unand) dan teman-teman lainnya yang tidak dapat penulis sebut satu persatu namanya telah memberikan semangat untuk menyelesaikan tesis ini. 12. Semua pihak yang ikut membantu yang tidak dapat penulis

(35)

BIO DATA PENULIS

Penulis dilahirkan pada tanggal 22 Januari 1974 di kota Medan Propinsi Sumatera Utara sebagai anak sulung dari lima bersaudara dari Ayah dr. R Tambun dan Ibu Ir. Anny Erika Siregar, MM.

Penulis menamatkan pendidikan Sekolah Dasar dari SD Tunas Kartika I Medan pada tahun 1986, SMP St. Thomas-1 Medan tahun 1989 dan SMANegeri 4 Medan tahun 1992 dan meraih gelar Sarjana Hukum Jurusan Hukum Pidana dari Universitas Sumatera Utara (USU) pada tahun 1998.

(36)

dengan pangkat Yuana Wira TU di kantor Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam di Kabupaten Deli Serdang Propinsi Sumatera Utara.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Terhadap jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1)

Penurunan kekerasan tidak semata-mata hanya terjadi karena adanya perbesaran butir, tetapi dengan adanya pengeroposan pada material yang dapat dilihat dari hasil metalografi

 Information technology can be used to  unlock  new  game  content  automatically  once  the  players  have  achieved  something  that  can  be 

Dari pengertian ini kita dapat mngetahui bahwa pembelajaran berbasis masalah ini difokuskan untuk perkembangan belajar siswa, bukan untuk membantu guru mengumpulkan informasi

14 Saya mernceritakan kepada teman atau kerabat saya bahwa makanan di Cafe Indomie Abang Adek itu enak 15 Saya suka menceritkan hal – hal yang positif tentang.

ata (arus dan beda potensial) versus spasi elektrode diperoleh nilai error pada titik datum A sebesar 6,55% dan ouput jumlah lapisan bumi sebanyak 7 lapisan dengan

telah menurunkan kitab kepada nabi atau rasul yang berisi wahyu untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia.. yang diturunkan kepada para