1. Indang masih hidup dalam masyarakat
Minangkabau. Indang merujuk pada
perkembangan masyarakat Minangkabau baik secara sosiokultural maupun
geografis.
2. Indang merupakan bentuk teater statis
(diam) jika dibandingkan dengan randai.
3. Indang adalah produk “masyarakat
agama”. Namun demikian, tetap bersifat
1. Dunia Urang Siak
2. Kesenian sebagai Alat
3. Dunia Surau
Islam masuk ke Minangkabau melalui dua gerbang: barat dan timur. Gerbang timur adalah daerah pantai timur Sumatera
bagian tengah melalui sungai-sungai besar Siak, Kampar, dan Inderagiri. Gerbang barat adalah sepanjang pantai barat Sumatera bagian tengah melalui Air Bangis, Tiku, Nareh, dan
Pariaman.
Orang yang datang dari gerbang timur dikenal sebagai Urang Siak ‘orang dari Siak’. Mereka orang yang alim yang
Urang Siak memiliki kedudukan tersendiri yang terbebas dari aturan-aturan adat Minangkabau, tetapi mereka tidak menolak aturan tersebut. Mereka adalah tempat orang bertanya tentang agama Islam. Seringkali terjadi mereka mendapat penghargaan khusus dari sebuah kampung dengan diberi tanah garapan atau disediakan surau. Kedudukannya berbeda dengan ulama. Urang
Kesenian dijadikan sebagai alat dakwah oleh urang Siak. Kesenian rebana yang telah dikenal masyarakat Minangkabau, yang pada mulanya terkait dengan “hubungan vertikal”, pada akhirnya dihubungkan kepada “hubungan
horisontal”. Kesenian tidak hanya dipahami dan dianggap sebagai pamenan
atau selingan. Keindahan yang terkandung dalam kesenian bukanlah tujuan akhir, tetapi merupakan akibat logis dari ketakwaan.
Kesenian indang merupakan perpanjangan dan modifikasi kesenian rebana. Indang menjadi berbeda karena pengaruh kesenian dari Aceh yang dibawa
pedagang Aceh gerbang barat.
Berkembangnya Islam menyebabkan surau tumbuh sebagai sebuah lembaga
pendidikan agama dan adat dan menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Hal ini terjadi karena peranan urang Siak telah beralih kepada ninik mamak. Surau menjadi tempat belajar kesenian rebana, indang, dan sekaligus pencak.
Pada akhirnya surau juga menjadi pusat kegiatan indang dan randai.
Dunia surau adalah dunia pertemuan orang Minang muda dengan orang Minang tua. Orang Minang tua yang telah menempuh periode gelanggang, rantau, dan balai adat, mentransfer pengetahuan dan pengalaman kepada orang Minang muda. Dunia rantau
mengenalkan dunia luar kepada orang Minang muda seperti halnya dunia perempuan di rumah gadang. Di samping itu, surau mengenalkan fungsi dan kedudukan seorang
Guru adalah orang yang mengajarkan berbagai kepandaian dan ilmu yang tidak terbatas pada dunia surau. Guru pada mulanya adalah urang Siak yang beralih menjadi tugas ninik
mamak yang telah terbebas dari balai adat. Guru benar-benar menjadi panutan bahkan wibawanya jauh lebih tinggi
daripada Datuk, kepala kaum.
Dalam kesenian indang, posisi guru terlihat dengan
1. Manusia di Hadapan Tuhan
2. Hubungan Sesama Manusia
3. Menghormati Tamu
Indang tidak bercerita sebagaimana yang ada dalam randai, tetapi
Dalam indang, hubungan sesama manusia berbentuk saling menanyakan hal tentang
mereka (tentang tuan rumah, tamu, dan penonton). Pertanyaan harus sopan dan tidak secara langsung, tetapi melalui
Dalam indang, sebagai pengundang maupun tamu harus sopan dan berlaku baik. Mereka harus memberikan porsi yang
pantas terhadap kelompok tamu. Jika ada “pertarungan” antara kelompok tamu, tuan
Pada bagian awal indang, ada beberapa bagian yang merupakan bentuk pujian.
Pujian ini adalah pujian kepada Allah, Rasul, sahabat, dan guru. Hal ini dilanjutkan
dengan permohonan ampunan kepada Allah dan maaf keada penonton. Kemudian
1. Harmoni
2. Pembebasan Keterbatasan pada
Ruang
3. Gymnastic Intelectual
Pendekatan kepada Tuhan memiliki 3 komponen: manusia, guru atau imama, dan Allah. Kehidupan manusia terbagi 3 lokasi: alam gaib (barzah), alam nyata (dunia), dan alam akhirat. Zikir dilakukan 33
kali.
Bentuk tiga-tiga ini diproyeksikan dalam indang. Terdapat 3 tahapan permainan: pujian kepada Allah, Rasul, dan guru; penjelasan tentang
diri; uraian keagamaan. Indang disajikan oleh 3 kelompok sandiang.
Tidak seperti randai, indang tidak
Indang merupakan bentuk pertunjukkan dialog atau tanya jawab untuk olah otak.
Pertanyaan yang diajukan tidak hanya menuntut luasnya wawasan dan
Tidak ada simbol peribadatan dalam indang. Indang adalah bentuk kesenian yang dijadikan sebagai alat dakwah dan pengajaran. Jumlah pemain yang ganjil
bukanlah simbol melainkan proyeksi suatu ajaran. Demikian pula gerak yang menyerupai zikir bukanlah
gerak zikir yang sebenarnya. Gerak, selain hanya mengikuti irama, juga disesuaikan dengan citarasa kelompok indang itu sendiri sehingga tidak ada gerak
1. Bergerak dalam Diam
2. Stages on The Stage
3. Tiga Grup dalam Satu Pertunjukkan
Posisi tidak berpindah dalam indang mengingatkan pada posisi berdoa. Bentuk pertunjukkan indang memberi kesan static monumental. Indang adalah
Pertunjukkan indang dilakukan di laga-laga sebagai sebuah pentas (stage). Setiap kelompok berada pada tikarnya masing-masing. Anak indang pada tikar yang panjang,
tukang dikie pada tikar lain yang lebih kecil. Di belakang
tukang dikie, duduk beberapa orang lain (dukun dan
sipatuang sirah) pada tikar yang lain.
Pertunjukkan indang menampilkan tiga
kelompok (tigo sandiang). Saat tiba
giliran satu sandiang, maka sandiang lain
Dalam pertunjukkan indang rapport tidak dicapai dengan
kesamaan citarasa antara penonton dan pemain. Ikatan penonton dengan pemain ada dalam lingkup ikatan intelektual. Sebuah pertanyaan yang harus dijawab kelompok lain juga membuka
peluang penonton untuk menebak.
Namun demikian, jawaban yang ditunggu penonton adalah jawaban kelompok yang ditanya (samakah dengan perkiraan
penonton?). Pada akhirnya, pertanyaan dan jawaban selalu menjadi bahan pikiran penonton karena tidak jarang jawaban