MISKONSEPSI IPA FISIKA SISWA KELAS V SEMESTER 2 SD NEGERI SE-KECAMATAN NGAGLIK KABUPATEN SLEMAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Oleh :
LIDWINA KASIH RADITA NIM: 121134043
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
i
MISKONSEPSI IPA FISIKA SISWA KELAS V SEMESTER 2 SD NEGERI SE-KECAMATAN NGAGLIK KABUPATEN SLEMAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Oleh :
LIDWINA KASIH RADITA NIM: 121134043
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
PERSEMBAHAN
Skripsi ini Ku persembahkan untuk :
Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria yang telah mengutus Roh Kudus
untuk mendampingiku.
Kedua Orang tuaku, F.X. Suradiya dan Anastasia Priharyatmi yang
telah memberikan dukungan baik material, moral, maupun spiritual.
Adikku Marcellinus Luber Anggoro yang selalu memberi dukungan dan
menemani berjaga sampai malam.
Sahabat Natalia Peni dan teman-teman OMK yang selalu memberi
motivasi, semangat, dan selalu menghibur.
v
MOTTO
“Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena
hari
besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari
cukuplah untuk sehari
”
(Matius 6:34)
“Gantungkanlah cita
-citamu setinggi langit!
Bermimpilah setinggi langit… Jika engkau jatuh,
engkau akan jatuh di antara bintang-
bintang”
viii
ABSTRAK
MISKONSEPSI IPA FISIKA KELAS V SEMESTER 2 SD NEGERI SE-KECAMATAN NGAGLIK KABUPATEN SLEMAN
Lidwina Kasih Radita Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2016
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rendahnya pemahaman konsep IPA Fisika pada siswa kelas V yang mengakibatkan terjadinya miskonsepsi. Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan miskonsepsi IPA Fisika siswa kelas V semester 2 SD Negeri se-Kecamatan Ngaglik Kabupaten Sleman.
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif survei yang dilaksanakan di 29 SD Negeri se-Kecamatan Ngaglik. Pengumpulan data dilakukan dengan cara tes tertulis, wawancara, dan dokumentasi. Instrumen tes berupa soal pilihan ganda dan uraian, kisi-kisi wawancara, dan data siswa . Populasi penelitian adalah seluruh siswa kelas V SD Negeri se-Kecamatan Ngaglik Kabupaten Sleman tahun ajaran 2014/2015 yang berjumlah 784 siswa. Sampel penelitian ini dihitung menggunakan tabel Krejcie dan Morgan dan diperoleh sampel 260 siswa. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara simple random sampling. Analisis data penelitian ini menggunakan analisis deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi miskonsepsi IPA Fisika pada siswa kelas V SD Negeri se-Kecamatan Ngaglik. Siswa mengalami miskonsepsi pada konsep tentang gaya, pesawat sederhana, cahaya, cermin, batuan, dan struktur bumi. Untuk pilihan ganda miskonsepsi tertinggi terjadi pada konsep tentang sifat cahaya yaitu 53,3 % dan miskonsepsi terendah terjadi pada konsep pesawat sederhana yaitu 3,1 %. Untuk soal uraian miskonsepsi tertinggi terjadi pada konsep bidang miring yaitu 89,1 % dan miskonsepsi terendah terjadi pada konsep cahaya yaitu 25,3 %.
ix ABSTRACT
MISCONCEPTION ABOUT SCIENCE PHYSICS IN THE SECOND SEMESTER FIFTH GRADES OF STATES ELEMENTARY SCHOOLS IN
NGAGLIK DISTRICT OF SLEMAN REGENCY
Lidwina Kasih Radita
Sanata Dharma University Yogyakarta
2016
The background of this research is based on the lack of understanding of the concept of science physics in fifth graders which led to misconception. This research aims to describe the misconception of science physics of fifth graders in the second semester of stste elementary school in Ngaglik District of Sleman.
This research is a quantitative survey. This research was conducted in 29 state elementary schools in Ngaglik District. The researcher used written test, interview, questionnaire, and documentation as the data gathering technique. The test instrumen consisted of multiple choice and essay, lattice interview, and data students. The population of this research was all of the fifth graders of state elementary schools academic year 2014/2015 in Ngaglik District which amounts to 784 students. The researcher used Krejcie table and Morgan to calculate the research Sampel and obtained a sampel of 260 students. The researcher used simple random sampling as a sampling technique. The data analysis technique of this research was descriptive analysis.
The finding showed that there was a misconception of science physics towards the fifth graders of state elementary schools in Ngaglik District. The students had misconception on the concept of force, a simple plane, light, mirror, rock, and earth structure. For the multiple choices, the highest misconception was on the concept of nature of light that was 53.3%, while for the lowest misconception was on the concept of simple plane that was 3.1%. For the essay, the highest misconception was on the concept of incline that was 89.1%, while for the lowest misconception was the concept of light that was 25.3%.
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan
judul “Miskonsepsi IPA Fisika Siswa Kelas V Semester 2 SD Negeri
Se-Kecamatan Ngaglik Kabupaten Sleman” dengan baik. Penelitian ini disusun
untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada
Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.
Peneliti menemui banyak kendala dan kesulitan selama menyusun skripsi ini, namun berkat dukungan dan bantuan dari beberapa pihak kendala tersebut dapat teratasi. Karena itu, perkenankanlah peneliti mengucapkan ucapan terima
kasih dengan setulus hati kepada:
1. Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma.
2. Christiyanti Aprinastuti, S.Si., M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Sanata Dharma.
3. Apri Damai Sagita Krissandi, S.S., M.Pd., selaku Wakil Ketua Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Sanata Dharma.
4. Maria Melani Ika Susanti, S.Pd., M.Pd., selaku Dosen Pembimbing I yang
telah memberikan ide, saran, kritik, dan bimbingan yang sangat berguna selama penelitian.
xi
6. Kepala UPT Pelayanan Pendidikan Kecamatan Ngaglik yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian di SD Negeri se-Kecamatan Ngaglik.
7. Kepala Sekolah Dasar Negeri se-Kecamatan Ngaglik yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian di SD yang bersangkutan.
8. Bapak dan Ibu wali kelas V SD Negeri se-Kecamatan Ngaglik yang telah bersedia menyempatkan waktu untuk menunggui siswa mengisi instrumen penelitian.
9. Siswa-siswi kelas V SD Negeri se-Kecamatan Ngaglik yang telah bersedia menyempatkan waktu untuk mengerjakan instrumen penelitian.
10.Prof. Dr. Paulus Suparno, SJ., M.ST., dan Ir. Sri Agustini, M.Si., selaku Dosen Pendidikan Fisika, Universitas Sanata Dharma sebagai validator instrumen penelitian yang memberikan saran dan kritik dalam penyusunan
instrumen penelitian.
11.Ari Trisnawati, S.Pd., selaku Guru SD Negeri Denggung sebagai validator instrumen penelitian yang memberikan saran dan kritik dalam penyusunan
instrumen penilitian.
12.Agustinus Tarmadi, S.Pd., selaku Guru SD di Kabupaten Magelang, Jawa
Tengah, sebagai validator instrumen penelitian yang memberikan saran dan kritik dalam penyusunan instrumen penilitian.
13.Orangtuaku tercinta, F.X. Suradiya dan Anastasia Priharyatmi yang
xiii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL… ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ... ii
HALAMAN PENGESAHAN… ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN MOTTO…. ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA…. ... vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS. ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
KATA PENGANTAR…. ... x
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR GAMBAR… ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN…. ... xix
BAB I PENDAHULUAN….. ... 1
A.Latar Belakang….. ... 1
B.Identifikasi Masalah…. ... 4
C.Batasan Masalah….. ... 4
D.Rumusan Masalah…. ... 5
E.Tujuan Penelitian….. ... 5
F.Manfaat Penelitian… ... 5
G.Definisi Operasional…… ... 6
BAB II LANDASAN TEORI…. ... 8
A.Kajian Teori…... 8
1.Konsep…. ... 8
2.Konsepsi…. ... 10
3.Miskonsepsi…. ... 11
4.Hakikat Pembelajaran IPA….. ... 20
xiv
6.Miskonsepsi IPA…. ... 33
B.Hasil Penelitian Relevan…... 34
C.Kerangka Berpikir…. ... 39
D.Hipotesis Penelitian…. ... 40
BAB III METODE PENELITIAN…. ... 41
A.Jenis Penelitian… ... 41
B.Waktu dan Tempat Penelitian… ... 41
1.Waktu Penelitian….. ... 41
2.Tempat Penelitian…… ... 42
C.Populasi dan Sampel…. ... 42
1.Populasi…. ... 42
2.Sampel… ... 44
D.Variabel Penelitian…. ... 47
E.Teknik Pengumpulan Data… ... 48
1.Tes Tertulis ... 48
2.Wawancara ... 49
3.Studi Dokumenter… ... 50
F.Instrumen Penelitian… ... 50
1.Instrumen Tes… ... 50
2.Kisi-kisi Wawancara… ... 54
3.Data Siswa… ... 54
G.Teknik Pengujian Instrumen… ... 55
1.Validitas… ... 55
2.Reliabilitas… ... 64
H.Teknik Analisis Data… ... 66
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.. ... 69
A.Hasil Penelitian… ... 69
1.Deskripsi Pelaksanaan Penelitian… ... 69
2.Deskripsi Responden Penelitian…. ... 70
3.Deskripsi Data Miskonsepsi…. ... 71
B.Pembahasan… ... 107
xv
A.Kesimpulan… ... 110
B.Keterbatasan Penelitian… ... 110
C.Saran…. ... 111
DAFTAR REFERENSI… ... 112
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Populasi Penelitian ... 43
Tabel 3.2. Penentuan Sampel dan Populasi Tabel Krejcie dan Morgan... 44
Tabel 3.3. Penghitungan Sampel ... 45
Tabel 3.4. Kisi-kisi Soal Pilihan Ganda ... 51
Tabel 3.5. Kisi-kisi Soal Uraian ... 52
Tabel 3.6. Kisi-kisi Wawancara dengan Guru ... 54
Tabel 3.7. Ketentuan Pelaksanaan Revisi Instrumen ... 56
Tabel 3.8. Hasil Rekap Nilai Expert Judgment Soal Pilihan Ganda ... 57
Tabel 3.9. Hasil Rekap Nilai Expert Judgment Soal Uraian ... 59
Tabel 3.10. Pedoman Wawancara Validitas Muka... 60
Tabel 3.11. Hasil Wawancara Siswa ... 60
Tabel 3.12. Hasil Validasi Soal Pilihan Ganda ... 62
Tabel 3.13. Hasil Validasi Soal Uraian ... 63
Tabel 3.14. Koefisien Reliabilitas ... 64
Tabel 3.15. Reliabilitas Soal Pilihan Ganda ... 65
Tabel 3.16. Reliabilitas Soal Uraian ... 65
Tabel 4.1. Pembagian Kompetensi Dasar dan Nomor Soal Pilihan Ganda ... 72
Tabel 4.2. Pembagian Kompetensi Dasar dan Nomor Soal Uraian... 96
Tabel 4.3. Data Miskonsepsi Siswa Mengenai Konsep Pesawat Sederhana (Pengungkit) ... 98
Tabel 4.4. Data Miskonsepsi Siswa Mengenai Konsep Pesawat Sederhana (Bidang Miring) ... 100
Tabel 4.5. Data Miskonsepsi Siswa Mengenai Konsep Cermin ... 102
Tabel 4.6. Data Miskonsepsi Siswa Mengenai Konsep Cahaya ... 103
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Garis gaya magnet ... 22
Gambar 2.2. Seorang anak sedang melempar bola keatas. ... 23
Gambar 2.3. Pada saat mendorong kardus terjadi gaya gesek ... 23
Gambar 2.4. Jungkat-jungkit merupakan pengungkit golongan pertama ... 24
Gambar 2.5. Alat pemecah kemiri ... 25
Gambar 2.6. Sekop adalah contoh tuas golongan ketiga ... 25
Gambar 2.7. Bidang miring digunakan untuk memindahkan peti ... 26
Gambar 2.8. Katrol pada sumur timba (katrol tetap) ... 26
Gambar 2.9. Roda berporos pada sepeda ... 26
Gambar 2.10. (a) Sedotan dalam gelas berisi air terlihat seperti bengkok ... 28
Gambar 2.10. (b) Skema pembiasan cahaya pada sedotan ... 28
Gambar 2.11. Periskop sederhana dari kardus dan cermin ... 30
Gambar 2.12. Kaca pembesar sederhana dari bola lampu yang diberi air ... 30
Gambar 2.13. Spektrum warna yang terbuat dari karton dan kertas warna ... 31
Gambar 2.14. Struktur bumi ... 33
Gambar 2.15. Literature map penelitian yang relevan ... 38
Gambar 3.1. Rumus menghitung sampel penelitian ... 45
xviii
Gambar 4.11. Persentase miskonsepsi IPA Fisika pada aitem 10 soal Pilihan Ganda ... 84 Gambar 4.12. Persentase miskonsepsi IPA Fisika pada aitem 11 soal Pilihan
Ganda ... 85 Gambar 4.13. Persentase miskonsepsi IPA Fisika pada aitem 12 soal Pilihan
Ganda ... 86 Gambar 4.14. Persentase miskonsepsi IPA Fisika pada aitem 13 soal Pilihan
Ganda ... 87 Gambar 4.15. Persentase miskonsepsi IPA Fisika pada aitem 14 soal Pilihan
Ganda ... 88 Gambar 4.16. Persentase miskonsepsi IPA Fisika pada aitem 15 soal Pilihan
Ganda ... 89 Gambar 4.17. Persentase miskonsepsi IPA Fisika pada aitem 16 soal Pilihan
Ganda ... 90 Gambar 4.18. Persentase miskonsepsi IPA Fisika pada aitem 17 soal Pilihan
Ganda ... 91 Gambar 4.19. Persentase miskonsepsi IPA Fisika pada aitem 18 soal Pilihan
Ganda ... 92 Gambar 4.20. Persentase miskonsepsi IPA Fisika pada aitem 19 soal Pilihan
Ganda ... 93 Gambar 4.21. Persentase miskonsepsi IPA Fisika pada aitem 20 soal Pilihan
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1a. Surat Ijin Penelitian dari Universitas Sanata Dharma ... 116
Lampiran 1b. Surat Ijin Penelitian Kesatuan Bangsa... 117
Lampiran 1c. Surat Ijin BAPPEDA ... 118
Lampiran 1d. Surat Ijin Telah Melakukan Penelitian dari UPT ... 119
Lampiran 2a. Kisi-Kisi Instrumen Soal Pilihan Ganda Sebelum Expert Judgment ... 120
Lampiran 2b. Kisi-Kisi Instrumen Soal Uraian Sebelum Expert Judgment ... 137
Lampiran 3a. Hasil Rekap Nilai Expert Judgment Instrumen Pilihan Ganda ... 140
Lampiran 3b. Hasil Rekap Nilai Expert Judgment Instrumen Uraian ... 145
Lampiran 3c. Sampel Pekerjaan Siswa ... 147
Lampiran 4a. Instrumen Soal Pilihan Ganda Sebelum Uji Empiris ... 154
Lampiran 4b. Instrumen Soal Uraian Sebelum Uji Empiris ... 160
Lampiran 5a. Hasil Uji Validitas Instrumen Soal Pilihan Ganda ... 161
Lampiran 5b. Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Soal Pilihan Ganda ... 163
Lampiran 5c. Hasil Uji Validitas Instrumen Soal Uraian ... 164
Lampiran 5d. Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Soal Uraian ... 165
Lampiran 6a. Instrumen Soal Pilihan Ganda Setelah Uji Empiris ... 166
Lampiran 6b. Instrumen Soal Uraian Setelah Uji Empiris ... 170
Lampiran 6c. Sampel Pekerjaan Siswa ... 171
Lampiran 7a. Kunci Jawaban Soal Pilihan Ganda ... 177
Lampiran 7b. Pedoman Penskoran Soal Uraian ... 178
Lampiran 8. Hasil Rekapitulasi Miskonsepsi IPA Fisika Instrumen Soal Pilihan Ganda ... 180
Lampiran 9. Hasil Rekap Data Responden tentang Jenis Kelamin, Pekerjaan Orangtua, Pendidikan Orangtua ... 188
Lampiran 10. Dokumentasi ... 190
1
BAB I PENDAHULUAN
Bab I ini peneliti akan membahas tentang latar belakang, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan
definisi operasional.
A. Latar Belakang
Pendidikan mempunyai peran penting dalam proses perkembangan
manusia. Tujuan utama pendidikan adalah transmisi pengetahuan atau proses membangun manusia menjadi berpendidikan yang dijelaskan oleh Danim
(dalam Ahmadi, 2014: 45). Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah (Triwiyanto, 2014: 122). Senada dengan Mulyasa (2006:9) yang menjelaskan sekolah dan komite
sekolah, mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabus baik untuk SD/MI, SMP/M.Ts., SMA/SMK/MA dalam upaya untuk menyempurnakan kurikulum agar lebih familiar dengan guru, karena mereka
banyak dilibatkan dan diharapkan memiliki tanggung jawab yang memadai. Sehubungan dengan itu, kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib
memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, IPA, IPS, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan/kejuruan, dan muatan lokal.
Salah satu mata pelajaran yang terdapat pada Sekolah Dasar adalah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Samatowa (2011: 170) mengemukakan bahwa
serta proses untuk menanamkan sikap ilmiah mengenai konsep dasar Ilmu Pengetahuan Alam. Sesuai dengan ilmu yang diterapkan dalam IPA yaitu
berbasis peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam ini. Samatowa (2011: 5) kembali menjelaskan IPA sebagai disiplin ilmu dan penerapannya membuat
pendidikan IPA menjadi penting, karena memberi kesempatan anak untuk berlatih keterampilan-keterampilan proses IPA dan memodifikasi sesuai dengan tahap perkembangan kognitif anak. Aplikasi teori perkembangan
kognitif pada pendidikan IPA berupa konsep IPA dan daur belajar yang mendorong perkembangan konsep IPA dalam kehidupan sehari-hari.
Namun jika melihat dalam laporan studi Programme for International
Student Assessment (PISA) tahun 2006 untuk literasi sains peserta didik usia
15 tahun, Indonesia berada pada ranking 50 dari 57 negara peserta dengan
skor 393 di bawah rata-rata internasional 500 (OECD, 2007). Selain itu pula dari data hasil studi Trends in International and Science Study (TIMSS) tahun 2007 hasilnya belum menunjukan prestasi yang memuaskan. Untuk literasi
sains berada di urutan ke 35 dari 49 negara dengan pencapaian skor 433, dan masih di bawah skor rata-rata internasional yaitu 500 (Tjalla, 2010: 2). Peneliti
juga menemukan rendahnya nilai KKM pada mata pelajaran IPA yang peneliti peroleh dari wawancara yang dilakukan dengan beberapa guru SD kelas V di Kecamatan Ngaglik.
Laporan studi dari PISA, TIMSS, dan wawancara yang dilakukan peneliti, membuktikan bahwa prestasi IPA siswa SD di Indonesia masih rendah.
(Suparno, 2005: 2). Suparno (2005: 7) menjelaskan bahwa menurut banyak penelitian, miskonsepsi ternyata terdapat dalam semua bidang sains, seperti
fisika, biologi, kimia, dan astronomi. Secara garis besar penyebab miskonsepsi dapat berasal dari siswa, guru, buku teks, konteks dan metode mengajar. Oleh
karena itu pentingnya pemahaman konsep yang benar sejak awal sehingga tidak terjadi miskonsepsi, dan miskonsepsi merupakan kondisi yang perlu segera ditangani agar tidak berdampak pada jenjang pendidikan seterusnya.
Peneliti membaca penelitian terdahulu, seperti milik Taufiq (2012) yang melakukan penelitian untuk mengidentifikasi miskonsepsi mahasiswa berkaitan dengan konsep gaya menggunakan Certainty of Respons Index (CRI)
dan wawancara, senada meneliti miskonsepsi yaitu Fitrianingrum (2013)
melakukan penelitian tentang ”Analisis Miskonsepsi Gerak Melingkar Pada Buku Sekolah Dasar (BSE) Fisika SMA Kelas X Semester 1” dengan metode
penelitian deskriptif kualitatif. Jayadianta (2010) meneliti tentang pembelajaran IPA yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan
keterampilan proses siswa sekolah dasar tentang peristiwa benda padat dengan penerapan model pembelajaran inkuiri melalui kegiatan praktikum pada
pembelajaran sains. Rizqi (2015) yang juga meneliti tentang miskonsepsi yang bertujuan untuk mendiskripsikan jenis miskonsepsi yang terjadi pada pelajaran matematika materi bilangan bulat kelas VI SDN Adisucipto 2 Yogyakarta dan
mengetahui faktor penyebab miskonsepsi.
Berdasarkan permasalahan yang ada di Sekolah Dasar dan didukung oleh
kelas V SD, maka peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai
“Miskonsepsi IPA Fisika Siswa Kelas V Semester 2 SD Negeri se-Kecamatan
Ngaglik Kabupaten Sleman”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka peneliti mengidentifikasi beberapa masalah yang mendasari penelitian ini yaitu
sebagai berikut:
1. Prestasi belajar IPA yang masih tergolong rendah untuk Sekolah Dasar daerah Kabupaten Sleman khususnya SD Negeri se-Kecamatan Ngaglik.
2. Penguasaan konsep IPA yang masih belum sesuai dengan materi yang diajarkan pada Sekolah Dasar Negeri se-Kecamatan Ngaglik Kabupaten
Sleman.
3. Nilai mata pelajaran IPA yang rendah di bawah KKM.
4. Pemahaman konsep IPA yang rendah di jenjang Sekolah Dasar.
C. Batasan Masalah
Dalam penelitian ini peneliti akan meneliti tentang miskonsepsi IPA siswa kelas V SD Negeri semester 2 se-Kecamatan Ngaglik khususnya pada KD 5.1 tentang gaya, gerak dan energi, KD 5.2 tentang pesawat sederhana KD 6.1
tentang sifat-sifat cahaya, KD 6.2 tentang penerapan sifat-sifat cahaya, KD 7.1 tentang pembentukan tanah karena pelapukan, dan KD 7.3 tentang
untuk materi pada semester 2 yang diberikan memerlukan konsep yang mendalam karena berhubungan dengan kehidupan sehari-hari murid.
Peneliti juga membatasi lingkup permasalahan hanya untuk SD yang menggunakan Kurikulum 2006 (KTSP).
D. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah miskonsepsi IPA Fisika siswa kelas V semester 2 SD Negeri se-Kecamatan
Ngaglik Kabupaten Sleman?”.
E. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan miskonsepsi IPA
Fisika siswa kelas V semester 2 SD Negeri se-Kecamatan Ngaglik Kabupaten Sleman.
F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat yang bermakna
bagi: 1. Guru
Manfaat dari penelitian ini untuk guru yaitu membantu guru
mengetahui materi IPA semester 2 yang banyak terjadi miskonsepsi dikalangan siswa sehingga guru dapat lebih memperhatikan materi yang
2. Sekolah
Manfaat penelitian ini bagi sekolah adalah membantu sekolah untuk
mengetahui adanya miskonsepsi dalam materi IPA sehingga perlu adanya tindak lanjut dari sekolah dalam menanggulangi terjadinya miskonsepsi.
Misalnya dengan pengadaan alat peraga sebagai penunjang dalam pembelajaran dan penyampaian materi.
3. Peneliti
Dari penelitian ini manfaat yang diperoleh oleh peneliti menjadi sadar bahwa perlu adanya pemahaman konsep yang benar dalam memberikan materi sehingga tidak terjadi miskonsepsi dikalangan siswa. Peneliti juga
dapat mengetahui kompetensi dasar mana saja yang rentan terhadap miskonsepsi.
G. Definisi Operasinal
Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
1. Miskonsepsi adalah pemahaman yang salah terhadap suatu konsep ilmiah yang sudah ada. Miskonsepsi dapat ditinjau dari jawaban siswa pada suatu
soal. Miskonsepsi terjadi ketika siswa menjawab salah tetapi yakin benar dengan jawabannya.
2. IPA adalah salah satu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dasar yang
berkaitan tentang alam dan lingkungan sehari-hari.
3. Miskonsepsi IPA adalah pemahaman yang salah tentang materi IPA
4. Miskonsepsi IPA Fisika adalah pemahaman yang salah tentang pembelajaran IPA terkhusus fisika di sekolah dasar yang berkaitan dengan
kehidupan sehari-hari.
5. Siswa kelas V SD adalah siswa yang sedang duduk di tingkatan kelas V
dengan rentang usia 11-12 tahun.
6. Kecamatan Nganglik adalah satu dari 17 Kecamatan di Kabupaten Sleman yang sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Sleman, sebelah timur
8
BAB II
LANDASAN TEORI
Bab II pada penelitian ini membahas tentang empat sub bab yaitu kajian pustaka, hasil penelitian yang relevan, kerangka berpikir, dan hipotesis penelitian.
A. Kajian Pustaka 1. Konsep
a. Pengertian Konsep
Konsep adalah abtraksi dari ciri-ciri sesuatu yang mempermudah komunikasi antara manusia dan yang memungkinkan manusia berfikir
(Berg, 1991: 8). Basleman dan Mappa (2011: 67) menyatakan bahwa konsep diperoleh dari kejadian yang dijumpainya, baik positif maupun negatif. Sekali memperoleh konsep, peserta belajar akan mampu
mengenal hal atau kejadian dan mampu memberikan definisi verbal dari konsep tersebut.
Ausubel (dalam Dahar, 2011: 64) menjelaskan bahwa konsep
diperoleh dengan dua cara, yaitu pembentukan konsep dan asimilasi konsep. Pembentukan konsep terutama merupakan bentuk perolehan
konsep sebelum anak-anak masuk sekolah. Asimilasi konsep merupakan cara utama untuk memperoleh konsep selama dan sesudah sekolah. Berg (1991: 11) menjelaskan seorang siswa dapat dikatakan
memahami suatu konsep apabila (1) siswa tersebut mampu menjelaskan konsep yang bersangkutan, (2) mampu menjelaskan
menjelaskan hubungan konsep-konsep, (4) mampu menjelaskan arti konsep dalm kehidupan sehari-hari dan menerapkannya dalam
memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan pendapat yang sudah disampaikan para ahli dapat
dikatakan bahwa konsep adalah sebuah pemahaman awal tentang tentang suatu pengetahuan yang dapat membantu komunikasi dengan orang lain.
b. Ciri-ciri Konsep
Hamalik (1990: 199) menyebutkan ciri-ciri konsep antara lain: 1) Atribut konsep adalah suatu sifat yang membedakan antara konsep
satu dengan konsep lainnya. Adanya keragaman antara konsep-konsep sebenarnya ditandai oleh adanya atribut yang berbeda.
2) Atribut nilai-nilai, adanya variasi-variasi yang terdapat pada suatu atribut. Suatu konsep mungkin punya rentang nilai yang luas, misalnya atribut warna bermacam-macam mulai dari merah oranye
sampai dengan oranye kuning. Semakin atibut konsep sangat luas, maka konsep tersebut dapat saja diidentifikasi berdasar
atribut-atribut lainnya.
3) Jumlah atribut juga bermacam-macam antara satu konsep dengan konsep lainnya. Semakin kompleks suatu konsep semakin banyak
jumlah atributnya dan semakin sulit untuk mempelajarinya.
4) Kedominan atribut, menunjukkan pada kenyataan bahwa beberapa
menguasai konsep dan jika atributnya tidak nyata maka sulit untuk menguasai suatu konsep.
Jadi dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep memiliki beberapa ciri-ciri, di antaranya adalah atribut konsep,
atribut nilai-nilai, jumlah atribut dan juga kedominanan atribut. c. Jenis-jenis Konsep
Hamalik (1990: 200-201) menyebutkan terdapat tiga jenis konsep di
antaranya:
1) Konsep konjungtif, yaitu nilai-nilai tertentu (yang penting) dari berbagai atribut disajikan bersama-sama. Nilai-nilai dan atribut
ditambahkan bersama untuk menghasilkan suatu konsep konjungtif.
2) Konsep disjungtif, yaitu sesuatu yang dapat dirumuskan dalam sejumlah cara yang berbeda-beda.
3) Konsep hubungan, yakni suatu konsep yang mempunyai
hubungan-hubungan khusus antara atribut-atribut.
Jadi dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis konsep
terdiri dari konsep konjungtif, konsep disjungtif dan konsep hubungan.
2. Konsepsi
Pemahaman setiap murid terhadap suatu konsep disebut dengan konsepsi (Berg dalam Suryanto, 2002: 13). Berg (1991: 10) menjelaskan
hasil bagi massa dan volume selalu tetap dan bahwa tetapan itu berbeda untuk setiap unsur/senyawa/campuran, maka unsur/senyawa dapat dikenal
dari massa jenisnya.
Berdasarkan pendapat yang sudah disampaikan oleh ahli dapat
disimpulkan bahwa konsepsi adalah suatu pemahaman seseorang terhadap konsep.
3. Miskonsepsi
a. Pengertian Miskonsepsi
Miskonsepsi adalah suatu konsep yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima oleh para pakar dalam
bidangnya Suparno (2005: 4). Pengertian miskonsepsi juga dikemukakan oleh Feldine (dalam Suparno, 2005: 4) yaitu suatu
kesalahan dan hubungan yang tidak benar antara konsep-konsep. Bentuk miskonsepsi dapat berupa konsep awal, kesalahan hubungan yang tidak benar antara konsep-konsep, gagasan intuitif
atau pandangan yang naif (Suparno, 2005: 4). Konsep awal biasanya didapatkan sewaktu siswa berada di jenjang pendidikan sekolah dasar,
sekolah menengah, dan dari pengalaman serta melalui pengamatan di masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Seorang siswa mampu menggunakan konsep ganda dalam hal ini. Mereka akan
menggunakan konsep ilmiah ketika berada di sekolah dan akan menggunakan konsep sehari-hari ketika berada di masyarakat.
karena matahari terbit dari Timur dan tenggelam di Barat. Hal itu menunjukkan bahwa mataharilah yang bergerak terhadap bumi.
Menggunakan konsep tersebut seorang anak dapat membuat jam waktu berdasarkan gerak matahari terbit, bergerak, dan tenggelam.
Oleh karena itu, miskonsepsi sulit untuk dihilangkan.
Berdasarkan beberapa pendapat yang sudah disebutkan, dapat disimpulkan bahwa miskonsepsi adalah pemahaman konsep seseorang
yang berbeda dengan konsep-konsep ilmiah yang sudah ditetapkan sebelumnya oleh ahli.
b. Penyebab Terjadinya Miskonsepsi
Penyebab miskonsepsi dipengaruhi oleh 5 faktor, yaitu: siswa, guru, buku teks, konteks, dan metode mengajar (Suparno, 2005: 29).
Untuk lebih jelasnya, akan dijelaskan sebagai berikut: 1) Siswa
Miskonsepsi yang berasal dari siswa dapat dikelompokkan
dalam beberapa hal, antara lain:
a) Prakonsepsi atau Konsep Awal Siswa
Prakonsepsi atau konsep awal sudah dimiliki siswa sebelum mereka mengikuti pelajaran formal di bawah bimbingan guru. Konsep awal yang dimiliki siswa sering mengandung
miskonsepsi. Hal ini dikarenakan prakonsepsi ini diperoleh dari orang tua, teman, sekolah awal, dan pengalaman di
Jelas sekali bahwa orang tua mempengaruhi prakonsepi siswa. Suparno (2005: 35) juga menegaskan bahwa
miskonsepsi akan lebih banyak lagi, jika yang mempengaruhi pembentukan konsep pada anak tersebut mempunyai banyak
miskonsepsi, seperti orang tua, tetangga, dan lain-lain. b) Pemikiran Asosiatif Siswa
Marshall dan Gilmour (dalam Suparno, 2005: 36)
mengungkapkan bahwa pengertian yang berbeda dari kata-kata antara siswa dan guru juga dapat menyebabkan miskonsepsi. Kata dan istilah yang digunakan guru ketika pembelajaran di
kelas, akan diasosiasikan lain oleh siswa. Hal ini dikarenakan kata dan istilah itu mempunyai arti yang lain.
c) Pemikiran Humanistik
Gilbert (dalam Suparno, 2005: 36) mengungkapkan bahwa siswa kerap kali memandang semua benda dari pandangan
manusiawi. Benda-benda dan situasi dipikirkan dalam term pengalaman orang dan secara manusiawi. Tingkah laku benda
dipahami seperti tingkah laku manusia yang hidup, sehingga tidak cocok. Contoh miskonsepsi tentang kekekalan energi dimana manusia jika bekerja terus atau bermain terus energi
pasti akan berkurang dan lenyap. d) Reasoning yang tidak lengkap/salah
Suparno, 2005: 38). Alasan yang tidak lengkap dapat disebabkan karena logika yang salah dalam mengambil
kesimpulan atau dalam menggeneralisasi, sehingga terjadi miskonsepsi.
e) Instuisi yang salah
Suparno (2005: 38) mengungkapkan bahwa intuisi yang salah dan perasaan siswa juga dapat menyebabkan
miskonsepsi. Intuisi adalah suatu perasaan dalam diri seseorang, yang secara spontan mengungkapkan sikap atau gagasannya tentang sesuatu sebelum secara obyektif dan
rasional diteliti. Contohnya adalah siswa telah mempunyai pengertian spontan bahwa benda padat bila dimasukkan ke air
akan tenggelam, kemudian jika mereka dihadapkan pada persoalan apakah gabus jika dimasukkan ke air akan
tenggelam, mereka pasti akan menjawab „ya‟.
f) Tahap perkembangan kognitif siswa
Perkembangan kognitif siswa yang tidak sesuai dengan
bahan yang digeluti dapat menjadi penyebab adanya miskonsepsi siswa. Siswa yang masih dalam tahap operational
concrete bila mempelajari sesuatu bahan yang abstrak sulit
menangkap dan sering salah mengerti tentang konsep tersebut. Mereka masih memiliki keterbatasan untuk menggeneralisasi,
jarang konsep yang mereka pelajari tidak lengkap atau bahkan salah konsep.
g) Kemampuan siswa
Kemampuan siswa juga mempunyai pengaruh pada
miskonsepsi siswa. Siswa yang kurang berbakat fisika atau kurang mampu dalam mempelajari fisika, sering mengalami kesulitan menangkap konsep yang benar dalam proses belajar.
Suparno (2005: 40) menjelaskan bahwa siswa yang tingkat intelegensi matematis-logisnya kurang tinggi, akan mempengaruhi tingkat pemahaman tentang konsep Fisika
terlebih hal yang abstrak. Sedangkan siswa yang IQ-nya rendah juga mudah melakukan miskonsepsi.
h) Minat belajar siswa
Berbagai studi menunjukkan bahwa minat siswa terhadap fisika juga berpengaruh pada miskonsepsi. Suparno (2005: 42)
menjelaskan bahwa siswa yang tidak berminat dalam fisika lebih cenderung kurang memperhatikan penjelasan guru
mengenai pengertian fisika yang baru. Secara umum dapat dikatakan, siswa yang berminat pada fisika cenderung mempunyai miskonsepsi lebih rendah daripada siswa yang tidak
berminat pada fisika. 2) Guru
atau mengerti bahan fisika secara tidak benar, akan menyebabkan siswa mendapatkan miskonsepsi (Suparno, 2005: 42). Arons &
Lona (dalam Suparno, 2005: 42) menyebutkan bahwa beberapa guru Fisika tidak memahami konsep Fisika dengan baik, sehingga
mereka mengajar dengan beberapa miskonsepsi. 3) Buku
Miskonsepsi pada siswa juga dapat disebabkan oleh
miskonsepsi yang terdapat pada buku teks atau buku yang berisi penjelasan materi mengenai mata pelajaran Fisika. Iona & Renner (dalam Suparno, 2005: 45) menjelaskan bahwa miskonsepsi pada
buku teks disebabkan karena bahasa yang digunakan sulit untuk dipahami oleh siswa atau uraian penjelasan yang terkandung di
dalamnya tidak benar. Selain itu pemilihan buku teks yang terlalu sulit bagi level siswa SD juga dapat menyebabkan miskonsepsi, karena siswa tidak bisa menangkap seluruh konsep secara utuh
melainkan hanya mampu menangkap sebagian dari isi konsep tersebut.
4) Konteks
Konteks bisa menimbulkan terjadinya miskonsepsi. Konteks meliputi pengalaman siswa, bahasa sehari-hari, teman
lain, dan keyakinan dan ajaran agama. Pengalaman siswa dapat menyebabkan miskonsepsi. Stavy (dalam Suparno, 2005: 47)
pengalaman sifatnya hanya terbatas dan tidak dalam pengertian luas.
Gilbert (dalam Suparno, 2005: 48) menyatakan bahwa beberapa miskonsepsi datang dari penggunaan bahasa sehari-hari
yang mempunyai arti lain dengan bahasa fisika. Misalnya dalam bahasa sehari-hari siswa mengerti dan menggunakan istilah berat dengan unit kg, tetapi dalam fisika, berat adalah suatu gaya, dan
unitnya adalah Newton. Teman juga mempengaruhi terjadinya miskonsepsi dimana teman yang dominan pandai, kebetulan mereka menjelaskan pelajaran pada teman tetapi terjadi
miskonsepsi disitu, maka jelas sekali mereka dapat mempengaruhi siswa lain dalam hal miskonsepsi. Keyakinan dan ajaran agama
ternyata juga mempengaruhi miskonsepsi. Commins (dalam Suparno, 2005: 49) menjelaskan bahwa keyakinan atau ajaran agama yang diyakini secara kurang tepat sering membuat siswa
tidak dapat menerima penjelasan ilmu pengetahuan. 5) Metode Mengajar
Beberapa metode mengajar yang digunakan guru, terlebih yang menekankan satu segi saja dari konsep bahan yang digeluti, meskipun membantu siswa menangkap bahan, tetapi sering
mempunyai dampak jelek yaitu memunculkan miskonsepsi siswa. Beberapa metode pembelajaran seperti metode ceramah,
c. Cara Mendeteksi Adanya Miskonsepsi
Suparno (2005: 121) mengungkapkan cara mendeteksi
miskonsepsi pada siswa, yaitu melalui : 1) Peta Konsep
Peta konsep dapat digunakan untuk mendeteksi miskonsepsi siswa dalam bidang fisika. Peta konsep yang mengungkapkan hubungan berarti antara konsep-konsep dan
menekankan gagasan-gagasan pokok, yang disusun hirarkis, dengan jelas dapat mengungkap miskonsepsi siswa digambakan dalam peta konsep tersebut. Biasanya miskonsepsi
dapat dilihat dalam proposisi yang salah dan tidak adanya hubungan lengkap antar konsep (Nova dalam Suparno 2005:
121).
2) Tes Multiple Choice dengan Reasoning Terbuka
Beberapa peneliti menggunakan pertanyaan pilihan
ganda digabungkan dengan alasan yang sudah tertentu. Jadi alasan-alasannya sudah dipilihkan. Model ini dipilih, biasanya
dengan alasan untuk lebih memudahkan menganalisis. Kelemahan model ini adalah alasan siswa yang tidak tercantum dalam pilihan itu, tidak terungkap.
3) Tes Esai Tertulis
Dari tes tersebut dapat diketahui miskonsepsi yang
lebih mendalami, mengapa mereka mempunyai gagasan seperti itu.
4) Wawancara Diagnosis
Wawancara dapat berbentuk bebas dan terstruktur.
Dalam wawancara bebas, guru atau peneliti memang bebas bertanya kepada siswa dan siswa dapat dengan bebas menjawab. Sedangkan dalam wawancara terstruktur,
pertanyaan sudah disiapkan dan urutannya pun secara garis besar sudah disusun, sehingga memudahkan dalam praktiknya. 5) Diskusi dalam Kelas
Dalam kelas siswa diminta untuk mengungkapkan gagasan mereka tentang konsep yang sudah diajarkan atau yang
hendak diajarkan. Dari diskusi di kelas itu dapat dideteksi juga apakah gagasan mereka itu tepat atau tidak.
6) Praktikum dengan Tanya Jawab
Praktikum yang disertai dengan tanya jawab antara guru dengan siswa yang melakukan praktikum juga dapat digunakan
untuk mendeteksi apakah siswa mempunyai miskonsepsi tentang konsep pada praktikum itu atau tidak. Selama praktikum, guru selalu bertanya bagaimana konsep siswa dan
d. Hakikat Pembelajaran IPA
Pada hakikatnya IPA dibangun melalui proses, produk, dan
sikap ilmiah. IPA sebagai proses diartikan semua kegiatan ilmiah untuk memperbaiki pengetahuan atau menemukan pengetahuan baru.
Sebagai produk yaitu hasil dari proses ilmiah, sedangkan sebagai sikap yaitu mengembangkan dan menumbuhkan sikap ilmiah (Samatowa, 2011: 2). Hal ini juga diungkapkan oleh Wisudawati (2014: 24)
menjelaskan bahwa IPA memiliki hakikat sebagai berikut:
1) IPA sebagai proses. Dalam IPA perlu memahami bagaimana menghubungkan fakta-fakta yang meliputi cara kerja, cara berpikir,
dan cara memecahkan masalah. Kegiatan yang dilakukan dalam proses IPA adalah mengamati, mencoba, memahami, dan
menganalisis.
2) IPA sebagai produk. Produk IPA diperoleh melalui kumpulan hasil kegiatan empirik dan analitik yang dilakukan ilmuwan. Bentuk IPA
sebagai produk adalah fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip dan teori. Fakta-fakta merupakan hasil kegiatan empirik dalam IPA
sedangkan konsep dan prinsip merupakan kegiatan analitik IPA. 3) IPA sebagai sikap. IPA dapat memunculkan rasa ingin tahu siswa
tentang benda, fenomena alam, makhluk hidup serat hubungan
sebab akibat. Selain itu, IPA dianggap sebagai sarana untuk mengembangkan sikap religius, keteraturan, dan keterbukaan.
suatu sekolah yaitu (1) bahwa IPA berfaedah bagi suatu bangsa, sebab IPA merupakan dasar teknologi, (2) IPA merupakan suatu mata
pelajaran yang memberikan kesempatan latihan berpikir kritis, (3) banyak contoh memecahkan masalah lain yang memerlukan daya
berfikir yang kritis, meskipun sederhana, dan (4) hasil-hasil IPA semakin lama semakin banyak mempengaruhi kehidupan kita.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa IPA memiliki tiga
unsur penting yaitu sebagai proses, produk, dan sikap. Dari ketiga unsur tersebut diharapkan dapat membantu siswa dalam mempelajari IPA secara lebih baik dan memahami fakta-fakta baru yang belum
diketahui.
e. Pembelajaran IPA di SD kelas V semester 2
Pembelajaran IPA yang cocok untuk sekolah dasar adalah melalui pengalaman langsung yang dapat memperkuat ingatan siswa. Penggunaan media dalam pembelajaran akan memberikan pengalaman
menarik kepada siswa dan membuat siswa tidak bosan. Pembelajaran IPA sendiri merupakan aktivitas pembelajaran dengan seperangkat
aturan serta proses untuk menanamkan sikap ilmiah mengenai konsep dasar Ilmu Pengetahuan Alam (Samatowa , 2011: 170).
Pembelajaran IPA yang baik harus mengaitkan IPA dengan
kehidupan sehari-hari dimana siswa diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, mengungkapkan ide-ide, membangun rasa
dan menimbulkan kesadaran siswa belajar IPA sangat diperlukan, hal ini diungkapkan oleh De Vito (dalam Samatowa, 2011: 104).
Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti menggunakan materi IPA pada semester 2 yang dirasa materi tersebut memerlukan
pemahaman konsep karena berhubungan juga dengan kehidupan sehari-hari. Ada beberapa materi yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut :
1) Gaya
Gerakan mendorong atau menarik yang menyebabkan benda bergerak disebut gaya. Gaya yang dikerjakan pada suatu
benda akan mempengaruhi benda tersebut. Gaya terhadap suatu benda dapat mengakibatkan benda bergerak, berubah bentuk, dan
berubah arah (Sulistyanto, 2008: 89). Macam-macam gaya yaitu; a) Gaya Magnet
Magnet berasal dari batuan yang mengandung logam besi.
Batuan logam tersebut diolah sampai akhir menjadi magnet. Tarikan atau dorongan yang disebabkan oleh magnet disebut
gaya magnet.
Sumber: https://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://fisikazone.com/wp-content/uploads/2014/09/Garis-Gaya-
b) Gaya Gravitasi
Buah mangga yang ada di atas pohon dapat jatuh kebawah
karena adanya gaya tarik dari bumi, atau saat melempar bola ke atas, bola akan jatuh ke bawah. Gaya tarik inilah yang
disebut gaya gravitasi. Gaya gravitasi adalah gaya tarik menarik yang terjadi antara partikel yang mempunyai massa di alam semesta. Gaya gravitasi di pengaruhi oleh ukuran dan
bentuk benda tersebut (Sulistyanto, 2008: 98)
Sumber: (Sulistyanto,2008:98) BSE Gambar 2.2 Seorang anak sedang melempar
bola ke atas
c) Gaya Gesek
Gaya gesek merupakan gaya yang ditimbulkan oleh dua permukaan yang saling bersentuhan. Lantai yang licin
membuat kita sulit berjalan di atasnya karena gaya gesekan yang terjadi antara kaki kita dengan lantai sangat kecil
(Sulistyanto, 2008: 99).
Sumber: (Sulistyanto,2008:99) BSE Gambar 2.3 Pada saat mendorong kardus
2) Pesawat Sederhana
Semua jenis alat yang digunakan untuk memudahkan pekerjaan manusia disebut pesawat. Kesederhanaan dalam
penggunaannya menyebabkan alat-alat tersebut dikenal dengan sebutan pesawat sederhana (Sulistyanto, 2008: 109). Pesawat sederhana dikelompokkan menjadi empat jenis, yaitu tuas, bidang
miring, katrol, dan roda berporos (Sulistyanto, 2008: 110-112). a) Tuas
Tuas lebih dikenal dengan nama pengungkit. Berdasarkan posisi atau kedudukan beban, titik tumpu, dan kuasa, tuas
digolongkan menjadi tiga, yaitu sebagai berikut : (1)Tuas golongan pertama
Pada tuas golongan pertama, kedudukan titik tumpu
terletak di antara beban dan kuasa. Contoh tuas golongan pertama ini diantaranya adalah gunting, linggis,
jungkat-jungkit, dan alat pencabut paku.
Sumber: (Sulistyanto,2008:109) BSE Gambar 2.4 Jungkat-jungkit merupakan pengungkit
(2)Tuas golongan kedua
Pada tuas golongan kedua, kedudukan beban terletak di
antara titik tumpu dan kuasa. Contohnya adalah gerobak beroda satu, alat pemecah kemiri,dan pembuka tutup botol.
Sumber: (Sulistyanto,2008:110) BSE Gambar 2.5 Alat pemecah kemiri
(3)Tuas golongan ketiga
Pada tuas golongan ketiga, kedudukan kuasa terletak di antara titik tumpu dan beban. Contohnya adalah sekop
yang biasa untuk memindahkan pasir.
Sumber: (Sulistyanto,2008:98) BSE Gambar 2.6 Sekop adalah contoh tuas golongan ketiga b) Bidang Miring
Bidang miring adalah permukaan rata yang menghubungkan dua tempat yang berbeda ketinggiannya
sumber: buku BSE (Asmiyawati, 2008:108)
Gambar 2. 7 Bidang miring digunakan untuk memindahkan peti
c) Katrol
Katrol merupakan roda yang berputar pada porosnya.
Biasanya pada katrol juga terdapat tali atau rantai sebagai penghubungnya. Katrol digolongkan menjadi tiga, yaitu katrol
tetap, katrol bebas, dan katrol majemuk (Sulistyanto, 2008: 117).
`
Sumber: (Sulistyanto,2008:117) BSE Gambar 2.8 Katrol pada sumur timba (katrol tetap)
d) Roda Berporos
Roda berporos merupakan roda yang di dihubungkan dengan sebuah poros yang dapat berputar bersama-sama.
3) Sifat-Sifat Cahaya
Benda-benda yang ada di sekitar kita dapat kita lihat apabila ada cahaya yang mengenai benda tersebut. Cahaya yang mengenai benda akan dipantulkan oleh benda ke mata sehingga
benda tersebut dapat terlihat. Cahaya memiliki sifat merambat lurus, menembus benda bening, dapat dipantulkan dan dapat dibiaskan. Cahaya juga mempunyai sifat-sifat yang terbentuk jika
mengenai cermin datar, cermin cekung dan cermin cembung (Sulistyanto, 2008: 125).
a) Cahaya merambat lurus
Sifat cahaya yang merambat lurus ini dimanfaatkan manusia pada lampu senter dan lampu kendaraan bermotor dan dapat
dilihat pada pagi hari ketika melewati celah-celah kecil genting rumah (Rositawaty, 2008: 100).
b) Cahaya dapat menembus benda bening
Bayangan dapat terbentuk ketika kita berjalan di bawah sinar matahari. Bayangan terbentuk karena cahaya tidak dapat
menembus suatu benda. Berbeda jika ada sebuah gelas bening dan disoroti dengan senter, cahaya senter dapat menembus gelas itu (Rositawaty, 2008: 101).
c) Cahaya dapat dipantulkan
Ketika cahaya mengenai permukaan yang licin seperti
licin tetapi juga dapat permukaan kasar (Rositawaty, 2008: 103).
d) Cahaya dapat dibiaskan
Gambar 2.10 (a) sedotan dalam gelas berisi air terlihat seperti bengkok, (b) skema pembiasan cahaya pada sedotan
Dari gambar 2.10 (b) cahaya dibiaskan mendekati garis normal. Hak itu terjadi apabila cahaya datang dari zat yang kurang rapat (udara) menuju zat yang lebih rapat (air). Sebaliknya, jika
cahaya datang dari zat yang lebih rapat ke zat yang kurang rapat, akan dibiaskan menjauhi garis normal (Rositawaty, 2008:
105).
e) Sifat-sifat cahaya apabila mengenai cermin datar, cermin cekung, dan cermin cembung
(1) Cermin datar adalah cermin yang permukaan pantunya datar. Sifat-sifat cahaya yang mengenai cermin datar yaitu,
bayangan benda tegak dan semu; besar dan tinggi bayangan sama besar dan tinggi benda sebenarnya; jarak benda dengan cermin sama dengan jarak bayangannya; bagian kiri pada
(2) Cermin cekung adalah cermin yang permukaan pantulnya berupa cekungan. Sifat bayangan yang terbentuk oleh
cermin cekung bergantung pada letak benda. Jika letak benda dekat dengan cermin cekung maka akan terbentuk
bayangan yang memiliki sifat semu, lebih besar dan tegak. Ketika benda dijauhkan dari cermin cekung maka akan diperoleh bayangan yang bersifat nyata dan terbalik
(Sulistyanto, 2008: 129).
(3) Cermin cembung adalah cermin yang permukaan pantulnya berupa cembungan. Sifat bayangan yang terbentuk oleh
cermin cembung adalah semu, tegak dan diperkecil (Sulistyanto, 2008: 130).
4) Pemanfaatan sifat-sifat cahaya dalam karya sederhana
Sifat-sifat cahaya dapat dimanfaatkan dalam pembuatan berbagai macam alat, diantaranya periskop, kaca pembesar
sederhana, dan cakram warna (Azmiyawati, 2008:108). a) Periskop
Periskop adalah sejenis teropong yang biasanya terdapat
pada kapal selam untuk mengamati keadaan di permukaan laut.
Periskop dapat digunakan untuk melihat benda yang berada di
Sumber: (Azmiyawati,2008:139) BSE
Gambar 2.11 Periskop sederhana dari kardus dan cermin
b) Kaca pembesar sederhana
Kaca pembesar sederhana terbuat dari lampu yang tidak terpakai. Jika ke dalam bola tersebut dimasukkan air maka kita
dapat menggunakannya untuk melihat benda-benda kecil agar terlihat jelas (Sulistyanto, 2008: 141).
Sumber: (Sulistyanto,2008:98) BSE
Gambar 2.12 Kaca pembesar sederhana dari bola lampu yang diberi air.
c) Cakram warna
Cakram warna merupakan alat yang digunakan untuk menunjukkan bahwa cahaya putih matahari merupakan
kumpulan warna-warna yang disebut spectrum (Sulistyanto, 2008: 141). Cakram warna ini dibuat dari karton putih dan
kertas warna yang merupakan spectrum cahaya. Apabila cakram diputar dengan menarik tali yang ada di tengahnya maka dapat dilihat perpaduan warna spectrum menjadi satu
Sumber: (Sulistyanto,2008:98) BSE
Gambar 2.13 Spektrum warna yang terbuat dari karton dan kertas warna
5) Proses terbentuknya tanah
Tanah berasal dari batuan. Batuan akan mengalami pelapukan menjadi butiran-butiran yang sangat halus. Lama-kelamaan butiran-butiran halus ini bertambah banyak dan
terbentuklah tanah (Azmiyawati, 2008: 124).
Azmiyawati (2008: 125) mengungkapkan terdapat tiga jenis batuan yang menyusun lapisan kerak bumi dilihat dari proses
terbentuknya yaitu :
a) Batuan Beku (Batuan Magma/Vulkanik)
Batuan beku adalah batuan yang terbentuk dari magma yang membeku.
b) Batuan Endapan (Batuan Sedimen)
Batuan endapan adalah batuan yang terbentuk dari endapan hasil pelapukan batuan. Batuan ini dapat pula terbentuk dari
batuan yang terkikis atau dari endapan sisa-sisa binatang dan tumbuhan.
c) Batuan Malihan (Metamorf)
mengalami perubahan karena mendapat panas dan tekanan dari dalam Bumi. Jika mendapat panas terus menerus, batuan ini
akan berubah menjadi batuan malihan.
6) Proses Pembentukan Tanah karena Pelapukan Batuan
Batuan memerlukan waktu jutaan tahun untuk berubah menjadi tanah. Batuan menjadi tanah karena pelapukan. Batuan dapat mengalami pelapukan karena berbagai faktor, di antaranya
cuaca dan kegiatan makhluk hidup. Pelapukan yang disebabkan oleh faktor cuaca ini disebut pelapukan fisika. Adapun makhluk hidup yang menyebabkan pelapukan, misalnya pepohonan dan
lumut. Pelapukan yang disebabkan oleh aktivitas makhluk hidup ini disebut pelapukan biologi (Azmiyawati, 2008: 128).
7) Struktur Bumi
Bumi tempat tinggal manusia saat ini merupakan salah satu anggota tata surya dengan matahari sebagai pusatnya. Jika bumi
diiris maka akan tampak lapisan-lapisan seperti pada gambar di atas. Sulistyanto (2008: 153) mengungkapkan ada empat lapisan
penyusun Bumi yaitu : a) Lapisan inti bumi dalam
Lapisan inti dalam merupakan pusat bumi. Lapisan inti
dalam memiliki diameter sebesar 2600 km. lapisan ini terbentuk dari besi dan nikel padat dan merupakan lapisan yang
b) Lapisan inti bumi luar
Lapisan inti bumi luar merupakan lapisan tersusun atas
cairan yang sangat kental. Ketebalan lapisan ini adalah 2200 km.
c) Selimut bumi
Lapisan ini berbatasan dengan lapisan inti bumi luar. Lapisan ini memiliki ketebalan 2900 km dan terdiri atas cairan
silikat kental. Pada bagian atas lapisan selimut ini berbatasan dengan kerak bumi.
d) Kerak bumi
Lapisan kerak bumi merupakan lapisan dimana makhluk hidup tinggal. Pada lapisan ini banyak terdapat batuan. Selain
itu juga terdapat mineral dan tanah.
Sumber: (Azmiyawati,2008:128) BSE
Gambar 2.14 Struktur bumi
f. Miskonsepsi IPA
Konsep awal yang tidak sesuai dengan konsep ilmiah itu biasanya disebut miskonsepsi atau salah konsep (Suparno, 2005: 2). Konsep
atau dalam kehidupan sehari-hari. Contoh terjadinya miskonsepsi IPA di sekolah dasar yaitu ketika;
“ seorang siswa SD sebelum pelajaran IPA ditanya oleh
gurunya, mana yang benar: “bumi mengelilingi matahari
atau matahari mengelilingi bumi.” Dengan tegas anak itu
menjawab bahwa matahari mengelilingi bumi. “Tiap hari
aku melihat matahari terbit dari timur, terusberjalan di
atas bumi, dan akhirnya terbenam di barat. Dan itu
terus-menerus terjadi. Maka jelas bahwa matahari mengelilingi
bumi, dan bumi kita ini diam saja,” siswa itu
menjelaskan.” (Suparno, 2005: 1)
Dari jawaban anak tersebut dapat ditarik kesimpulan menurut teori
ilmiah, konsep murid itu tidak benar. Yang benar adalah bahwa bumi mengelilingi matahari, dan dapat dipastikan anak tersebut mengalami miskonsepsi. Jadi, miskonsepsi IPA Fisika pemahaman yang salah
tentang pembelajaran IPA terkhusus fisika di sekolah dasar yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.
B. Hasil Penelitian Relevan
Taufiq (2012) melakukan penelitian yang bertujuan mengidentifikasi
miskonsepsi mahasiswa berkaitan dengan konsep gaya menggunakan
Certainty of Respons Index (CRI) dan wawancara. Hasil penelitian ini
yang mengalami miskonsepsi. Penggunaan tes model Certainty of Respons
Index (CRI) membantu dalam memetakan tingkat miskonsepsi yang
dialami oleh mahasiswa. Implementasi model pembelajaran siklus belajar (learning cycle) 5E mampu menurunkan proporsi siswa yang mengalami
miskonsepsi mahasiswa pada konsep gaya, yakni dari 46% menjadi 2,8%. Peningkatan proporsi penurunan jumlah siswa yang mengalami miskonsepsi sebanyak 43,2%.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang peneliti lakukan adalah meneliti tentang miskonsepsi tentang salah satu materi IPA fisika. Perbedaan penelitian ini terjadinya sebuah usaha untuk memperbaiki
miskonsepsi yang terjadi, sedangkan penelitian yang dilakukan peneliti mengetahui adanya miskonsepsi di sekolah dasar se-kecamatan.
Fitrianingrum (2013) melakukan penelitian tentang ”Analisis
Miskonsepsi Gerak Melingkar Pada Buku Sekolah Dasar (BSE) Fisika
SMA Kelas X Semester 1” dengan metode penelitian deskriptif kualitatif,
pendekatan fenomenologi. Hasil penelitan tersebut menunjukkan bahwa tidak ada miskonsepsi gerak melingkar pada buku-buku BSE berdasarkan
analisis ketiga BSE yang diterbitkan Pusat Perbukuan Kemendiknas. Selain menganalisis selain menganalisis adanya miskonsepsi pada penelitian ini juga mengidentifikasi keterangan lainnya, meliputi: konsep
benar, konsep tidak ada, perbaikan gambar, perbaikan penulisan notasi, perbaikan penulisan satuan, perbaikan penulisan perumusan, perbaikan
16 konsep benar, 8 konsep tidak ada, 7 perbaikan gambar, 3 perbaikan penulisan notasi, 2 perbaikan penulisan satuan, 3 perbaikan penulisan
perumusan dan 2 perbaikan keterangan perumusan. Sedangkan pada buku B ada 20 konsep benar, 4 konsep tidak ada, 6 perbaikan gambar, 2
perbaikan penulisan satuan, dan 1 perbaikan hasil perhitungan. Buku C ada 17 konsep benar, 6 konsep tidak ada, 3 perbaikan gambar, 1 perbaikan penulisan satuan, 1 perbaikan penulisan perumusan, dan 2 perbaikan hasil
perhitungan. Terlihat bahwa buku B lebih memuat banyak konsep serta sedikit mengalami perbaikan dari pada kedua buku yang lain. Sehingga untuk proses pembelajaran Gerak Melingkar buku B dapat dijadikan
sumber belajar siswa.
Persamaan penelitian yang dilakukan Fitriningrum dan peneliti adalah
menganalisis terdapat adanya miskonsepsi. Perbedaannya pada objek yang dianalisis, jika Fitriningrum menganalisis miskonsepsi pada BSE, peneliti melakukan analisis miskonsepsi pada siswa sekolah dasar.
Penelitian ini dilakukan oleh Jayadianta (2010) yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan proses siswa sekolah dasar
tentang peristiwa benda padat dengan penerapan model pembelajaran inkuiri melalui kegiatan praktikum pada pembelajaran sains. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan menggunakan metode quasi
eksperimen. Hasil penelitian menunjukan bahwa model pembelajaran inkuiri dapat meningkatkan pemahaman konsep pada materi peristiwa
Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan peneliti adalah meneliti tentang materi IPA. Perbedaan penelitian yang dilakukan
peneliti dengan Jayadianta adalah perlakukaan yang diberikan kepada subjek, jika peneliti hanya memberikan soal pretes tanpa mengajar, tetapi
penelitian yang dilakukan Jayadianta menggunakan metode inkuiri serta menggunakan pretes dan posttes.
Penelitian relevan selanjutnya dari Rizqi (2015) yang bertujuan untuk
mendiskripsikan jenis miskonsepsi yang terjadi pada pelajaran matematika materi bilangan bulat kelas VI SDN Adisucipto 2 Yogyakarta dan mengetaui faktor penyebab miskonsepsi. Metode penelitian yang
digunakan adalah deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lima subjek terpilih mengalami miskonsepsi yang bterjadi pada
pembelajaran Matematika materi bilangan bulat. Faktor penyebab miskonsepsi secara umum adalah sumber belajar siswa yang berpatokan pada buku paket saja tanpa mencari sumber lain, metode mengajar guru
saat melakukan proses pembelajaran pada materi bilangan bulat, siswa yang kurang paham dengan konsep materi bilangan bulat.
Persamaan penelitian yang dilakukan Rizqi dengan yang peneliti lakukan adalah sama-sama meneliti tentang miskonsepsi. Pembedanya jika penelitian di atas menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif,
peneliti menggunakan penelitian kuantitatif deskriptif metode survei. Berdasarkan keempat penelitian diatas, belum ada penelitian seperti
Gambar 2.15 Literature map penelitian yang relevan
Berdasarkan gambar 2.15 dapat dilihat bahwa penelitian yang
dilakukan oleh keempat peneliti terdahulu berkaitan dengan penelitian yang peneliti lakukan sekarang mengenai miskonsepsi dan hal ini membantu peneliti dalam penelitian yang dilakukan dan menambah
referensi. Hanya yang membedakan belum adanya yang meneliti tentang miskonsepsi IPA pada siswa kelas V SD.
Taufiq (2012),
Remediasi Miskonsepsi mahasiswa calon guru fisika pada konsep gaya melalui penerapan model siklus belajar (learning cycle) 5E.
Fitriningrum (2013), Analisis miskonsepsi gerak melingkar pada buku sekolah dasar (BSE) Fisika SMA kelas X semester 1.
Jayadianta (2010)
Penerapan model pembelajaran inkuiri untuk meningkatkan pemahaman siswa tentang peristiwa benda padat dalam air melalui praktikum.
Riqzi (2015)
Jenis dan fakor miskonsepsi pada pembelajaran matematika materi bilangan bulat kelas VI SDN Adisucipto 2 Yogyakarta.
Radita (2016),
C. Kerangka Berpikir
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) adalah ilmu tentang alam dan ilmu
yang mempelajari peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam ini. IPA pun menjadi salah satu mata pelajaran di sekolah dasar. Pembelajaran IPA
melatih anak untuk berpikir kritis dan objektif, serta memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memupuk rasa ingin tahu anak didik secara ilmiah, sehingga membantu mereka mengembangkan
kemampuan bertanya dan mencari jawaban atas berdasarkan bukti serta mengembangkannya. Menjadi sangat penting pembelajaran IPA diajarkan sejak dini dengan baik, jangan sampai terjadi konsep yang salah sejak
awal. Pemahaman konsep sendiri menjadi dasar seorang siswa untuk dapat benar-benar memahami materi yang telah disampaikan dan dapat
menggunakan dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari tanpa adanya miskonsepsi atau kesalahanpahaman dalam materi. Perlu adanya bimbingan dari guru dan juga orang tua untuk mengajarkan konsep yang
benar kepada anak. Dengan bimbingan orang tua di rumah, anak pun dapat bertanya pula kepada orang tua tentang materi yang belum dipahami.
Terlebih lagi dilihat dari hasil literasi sains yang dilakukan oleh PISAdan TIMSS bahwa Indonesia berada diurutan yang belum memenuhi skor standar internasional. Peneliti juga melakukan wawancara tentang
materi IPA di beberapa guru SD di Kecamatan Ngaglik, dan terlihat adanya prestasi yang rendah, seperti nilai dibawah KKM. Dari data
Miskonsepsi adalah konsep awal yang tidak sesuai dengan konsep ilmiah. Konsep awal yang salah itu bisa didapat mungkin sejak sekolah
dasar, sekolah menengah, pengalamaan dan pengamatan mereka di masyarakat atau dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itulah perlu adanya
pembelajaran yang sesuai dan penjelasan yang benar sejak awal sehingga tidak terjadi miskonsepsi.
Jika demikian miskonsepsi menjadi salah satu dasar rendahnya
prestasi IPA, maka penelitian menjadi jalan yang baik untuk dapat membuktikan apakah terdapat miskonsepsi atau tidak dalam pembelajaran IPA kelas V semester 2 di SD Negeri se-Kecamatan Ngaglik, karena dari
hasil wawancara menunjukkan pembelajaran IPA yang rendah.
D. Hipotesis penelitian
Berdasarkan teori-teori dalam kajian pustaka dan kerangka berpikir, maka hipotesis pada penelitian ini adalah Miskonsepsi IPA Fisika
terjadi pada siswa kelas V SD Negeri semester 2 se-Kecamatan Ngaglik, Sleman untuk materi tentang gaya, pesawat sederhana, cahaya, cermin,
41
BAB III
METODE PENELITIAN
Bab III membahas mengenai jenis penelitian, waktu dan tempat penelitian, populasi dan sampel, variabel penelitian, teknik pengumpulan data, instrumen
penelitian, teknik pengujian instrumen, dan teknik analisis data.
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif
deskriptif dengan metode survei. Penelitian kuantitatif menurut Daniel Muijs dalam Suharsaputra (2014) adalah penelitian yang dimaksudkan untuk
menjelaskan fenomena dengan menggunakan data-data numeric, kemudian dianalisis yang umumnya menggunakan statistik. Tidak jauh berbeda pengertian penelitian kuantitatif menurut Mahdi (2014: 104) yang
menjelaskan bahwa penelitian kuantitatif merupakan penelitian yang berorientasi pada data-data empiris berupa angka atau suatu fakta yang bisa dihitung.
Penelitian ini mengumpulkan data dari responden yang telah melakukan tes tertulis. Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui miskonsepsi IPA
Fisika yang terjadi pada siswa kelas V SD Negeri se Kecamatan Ngaglik.
B. Waktu dan Tempat Penelitian 1. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada Bulan Maret sampai Bulan Desember.
pada awal Bulan Maret peneliti melakukan penyusunan proposal. Awal Bulan April melakukan perizinan surat melakukan penelitian kepada
Kesatuan Bangsa dan Bappeda. Pertengahan Bulan April dilanjutkan dengan penyusunan instrumen penelitian dengan membuat soal yang akan
divalidasi. Awal Bulan Mei penyerahan validasi soal kepada expert
judgment setelahnya revisi soal yang sudah diteliti. Barulah pertengahan
Bulan Mei uji coba instrumen kepada 50 anak di daerah Ngaglik.
Selanjutnya akhir Bulan Mei sampai Juni pengumpulan data di sekolah dasar negeri se-Kecamatan Ngaglik. Bulan Juli sampai Agustus peneliti melakukan pengolahan data dan penyusunan laporan peneliti lakukan pada
Bulan September sampai November. Bulan Desember sampai Januari peneliti melakukan revisi, dan pada Bulan Februari peneliti akan
melakukan ujian skripsi dan revisi. 2. Tempat penelitian
Peneliti melakukan penelitian di SD Negeri se-Kecamatan Ngaglik,
Kabupaten Sleman. Penelitian dilakukan di Kecamatan Ngaglik karena dari hasil wawancara beberapa guru di daerah Ngaglik mengeluhkan hasil
mata pelajaran IPA masih di bawah KKM dan terdapat miskonsepsi dalam mata pelajaran IPA.
C. Populasi dan Sampel 1. Populasi
oleh Sugiyono (2012: 80) bahwa populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/ subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik
tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari kemudian ditarik kesimpulannya.
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri se-Kecamatan Ngaglik, Sleman yang berjumlah 784 siswa. Populasi selengkapnya dapat dilihat pada tabel 3.1.
Tabel 3.1 Populasi Penelitian
No Nama SD Kelas Pararel Jumlah siswa