BAB II
KERANGKA TEORI
A. Pengantar
Konsep dan teori yang digunakan dalam penelitian ini ada dua yaitu teori semiotika Charles Sander Pierce dan juga teori Etika Jawa dari Romo Franz Magnis Suseno. Teori Charles Sander Pierce akan penulis gunakan sebagai prosedur analisis pemaknaan tari Babak Yaso (ba’so atau baksa), sedangkan teori etika Jawa Romo Farnz Magnis Suseno akan penulis gunakan untuk memaknai etika-etika yang dipakai oleh masyarakat Trusmi dalam tarian Babak Yaso (ba’so atau baksa) karena Cirebon adalah bagian dari Jawa. Adapun keterangannya sebagai berikut:
B. Teori Semiotika Charles Sander Pierce 1. Biografi Charles Sander Pierce
Charles Sander Pierce lahir dalam sebuah keluarga intelektual pada tanggal 10 September 1839 dan meninggal pada tanggal 19 April 1914 di Milford, Pennsylvania.1 Charles merupakan seorang ahli logika, semiotika, matematika, filsuf dan ilmuwan Amerika Serikat yang lahir di Cambridge, Massachusetts.2 Sebagai putra Benjamin Charles Sander Pierce, seorang ilmuwan terkemuka dan guru besar matematika di Harvard. Pada saat usianya yang baru menginjak 12 tahun ia telah tertarik dengan logika.
Pada tahun 1855, Charles memulai study nya di Harvard disana ia memulai persahabatan seumur hidup dengan filsuf dan psikolog William James, yang sangat mendukung dia dalam sebagian besar hidupnya. Selama tahun pertama, Charles melakukan penelitian pribadi dalam filsafat, terutama berfokus pada Kant. Charles lulus pada tahun 1859 dan kemudian melanjutkan study nya untuk mengejar master, dan dia memperoleh gelar MA dari Harvard pada tahun 1862. Empat tahun kemudian ia juga memperoleh gelar Bachelors Of Science, summa cumlaude dalam ilmu kimia.3 Charles menikah pada tahun 1862 dengan Marriet Melunisia Inadequasies yang akrab dengan nama Zina, feminis pertama di Amerika.
Dari tahun 1859 sampai tahun 1891 Charles bekerja sebagai ilmuwan untuk United States Coast dan Geodetic Survey, sambil melanjutkan study nya dalam
1 Alex Sobur. Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006). Cet. 3.hlm. 39.
2 Ahmad Asnawi. Sejarah Para Filsuf Dunia (90 Pemikir Terhebat Paling Berpengaruh di Dunia, (Yogyakarta: Penerbit Indoliterasi, 2015). Cet. I. hlm. 50.
3 Alex Sobur. Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006). Cet. 3.hlm. 40.
logika. Selama masa kerjanya di survey tersebut Charles dikirim ke Eropa pada tahun 1870-1871 untuk bekerja dan pada tahun 1875-1876 dan 1877. Dia juga bekerja sebagai asisten di Observatorium Astronomi di Hardvard antara tahun 1869 dan 1872.
Hasilnya, ia menerbitkan Photometric Research (1878), yang ternyata menjadi satu- satunya buku yang diterbitkan selama hidupnya. Pada tahun 1867, ia menjadi anggota The Academy Of Arts dan 10 tahun kemudian, pada tahun 1877, menjadi anggota National Academy Of Sciences. Dia diangkat menjadi dosen dalam ilmu logika di Universitas Johns Hopkins di tahun 1879. Dia dipecat dari jabatannya beberapa tahun kemudian, pada tahun 1884.
Charles tinggal di Washigton DC selama 2 tahun setelah pemecatannya. Pada tahun 1891, ia kemudian harus meninggalkan US Coast Survey. Setelah keluar Charles membeli rumah dan property di Milford, Pennsilvania, dimana ia tinggal sampai kematiannya. Inilah waktunya saat ia didera kemiskinan yang mengenaskan.
Charles bergantung pada bantuan keuangan orang lain dan tidak memiliki penghasilan lain selain pekerjaan sporadic sebagai penerjemah dan konsultan ilmiah. William James. Charles merupakan seorang tokoh pendiri salah satu aliran filsafat yaitu Pragmatisme. Pragmatisme sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu pragma yang berarti tindakan atau keputusan yang mana menegaskan sifat dasar kegunaan untuk filsafat, pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tindakannya, ucapan, dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam kehidupannya.4
2. Karya-karya Charles Sander Pierce
Karya-karya yang Charles setelah ia wafat meninggalkan sejumlah besar karya dengan berbagai topik termasuk logika, matematika, astronomi, fisika, filsafat dan juga ekonomi. Karya-karyanya yang paling pentig mengenai pragmatism di antaranya:
a. What Pragmaticism (1905)
b. Prolegomena To an Apology For Pragmaticism (1906)
Kemudian beberapa tulisannya yang terkenal di antaranya:
4 Ahmad Asnawi. Sejarah Para Filsuf Dunia (90 Pemikir Terhebat Paling Berpengaruh di Dunia, (Yogyakarta: Penerbit Indoliterasi, 2015). Cet. I. hlm. 51.
c. Grounds of Validity of the Laws of Logic: Further Consquences of Four Incapacities (1869)
d. The Harvard Lectures on British Logicians (1869-1970) e. Description of a Natation for thr Logic of Relatives (1870) f. On the Algebra of Logic (1880)
g. The monist Metaphysical Series (1891-1893)
h. A Neglected Argument for the Reality of God (1908)
3. Teori Charles Sander Pierce
Semiotika merupakan ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), fungsi tanda dan produksi makna. Semiotika berasal dari bahasa Yunani semion yang berarti
“tanda” atau (sign) dalam bahasa Inggris ini adalah ilmu komunikasi yang mempunyai makna antara lain: kata (bahasa), ekspresi wajah, isyarat tubuh, tanda serta karya sastra yang mencakup musik ataupun hasil kebudayaan dari manusia itu sendiri. Tanpa adanya sistem tanda seseorang tidak akan dapat berkomunikasi dengan satu sama lainnya.
Semiotika mengkaji tentang tanda, penggunaan tanda dan segala sesuatu yang berkaitan dengan tanda, dengan kata lain perangkat pengertian semiotika (tanda, pemaknaan, denotatum dan interpretan) dapat diterapkan pada semua bidang kehidupan asalkan ada syarat yang harus dipenuhi yaitu arti yang diberikan ada pemaknaan dan interpretasi.5 Tanda-tanda adalah perangkat yang dipakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia.6
Charles Sander Pierce mengemukakan teori segi tiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni berdasarkan ground, berdasarkan objek dan berdasarkan interpretan.7 Sander Pierce berpikir dari konteks Amerika namun cara berpikir Charles mengenai simbol ini sangat menarik dan saya akan gunakan untuk menganalisis situasi di Trusmi, karena dalam hal ini teori Charles Sander Pierce akan diaplikasikan dengan tarian yang ada di daerah Trusmi yaitu sebuah tari Babak Yaso (ba’so atau baksa) yang didalam tariannya ada gerakan- gerakan dan dalam gerakan-gerakan tersebut memiliki makna-makna dan nilai-nilai
5 Cristomy dan Untung Yuwono. Semiotika Budaya, (Jakarta: PusatPenelitianKemasyarakatan dan Budaya UI, 2004). hlm. 79.
6 Alex Sobur. Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006). Cet. 3.hlm. 15.
7 Alex Sobur. Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006). Cet. 3.hlm. 41.
yang terkandung didalamnya. Penulis akan menggunakan teori Charles Sander Pierce dalam tahapan-tahapan tari tersebut.
a. Berdasarkan Ground
Ground bagi Pierce sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi.8 Ground yaitu berkaitan dengan sesuatu yang membuat tanda dapat berfungsi dalam hal ini Pierce mengklasifikasikan kedalam tiga hal yakni:
1) Qualisign
Qualisign yaitu kualitas dari suatu tanda. Misalnya kualitas kata-kata yang digunakan dalam menyertai tanda tersebut seperti kata-kata yang keras, kasar ataupun lembut, tidak hanya kata-kata melainkan dapat berupa warna yang digunakan bahkan gambar yang menyertainya.
2) Sinsign
Sinsign adalah eksistensi dan aktualitas atas suatu benda atau peristiwa terhadap suatu tanda. Misalnya kata banjir dalam kalimat “terjadi bencana banjir” adalah suatu peristiwa yang menerangkan bahwa banjir diakibatkan oleh adanya hujan.
3) Legisign
Legisign adalah norma yang terkandung dalam suatu tanda. Hal ini berkaitan dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Misalnya tanda dilarang merokok menunjukan bahwa kita dilarang merokok pada lingkungan dimana tanda itu berada.
b. Berdasarkan Objeknya dibagi menjadi tiga yaitu:
1) Icon (Ikon)
Icon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah, atau dengan kata lain icon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan. Contohnya adalah foto atau peta.
2) Indeks
Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah anatara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat atau tanda
8 Alex Sobur. Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006). Cet. 3.hlm.41.
yang lansung mengacu pada kenyataan. Contohnya adalah asap sebagai tanda adanya api.
3) Simbol
Simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya. Hubungan di antaranya bersifat arbitrer atau semena, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat.
Simbol dalam seni harus diartikan dan setelah diartikan maka akan muncul makna yang terkandung dalam seni itu sendiri. Seni memiliki makna tersendiri didalamnya, seperti gerak, alunan musik, lukisan memiliki makna yang hanya dapat diungkapkan melalu simbol-simbol tertentu. Tari juga bukanlah gerak yang tanpa makna, setiap gerak dalam tari bermakna dan memiliki motif tertentu.
c. Berdasarkan Interpretant
Berdasarkan interpretant tanda (sign, representamen) dibagi menjadi tiga bagian:
1) Rheme
Rheme adalah tanda yang memungkinkan orang menafsirkan berdasarkan pilihan. Misalnya, orang yang matanya merah dapat saja menandakan bahwa orang itu baru menangis atau menandakan sakit mata.
2) Dicent sign atau dicisign
Dicent sign atau dicisign adalah tanda yang sesuai kenyataan. Misalnya, jika pada suatu jalan sering terjadi kecelakaan, maka ditepijalan dipasang rambu lalu lintas yang menyatakan bahwa disitu sering terjadi kecelakaan.
3) Argument
Argument adalah tanda yang langsung memberikan alasan tentang sesuatu.
Misalnya tanda larangan merokok di SPBU, hal tersebut dikarenakan SPBU merupakan tempat yang mudah terbakar.
C. Teori Etika Jawa Romo Franz Magnis Suseno 1. Biografi Romo Franz Magnis Suseno
Franz Magnis Suseno SJ adalah seorang rohaniawan seorang dosen etika di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta dan doden tidak tetap di Fakultas Sastra
dan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia di Jakarta. Lahir di Eckeresdorf, Jerman, tanggal 26 Mei 1936. Belajar filsafat, teologi dan teori politik di Hochschule fur Philosophie Pullach, di Institut Filsafat Teologi di Yogyakarta dan di Universitas Munchen. Gelas doctor dibidang filsafat diraih dari Universitas Munchen pada tahun 1973.
2. Karya-karya Ilmiah Romo Franz Magnis Suseno9
Karya-karya ilmiah Romo Franz Magnis Suseno di antaranya adalah:
Normative Voraussetzungen im Denken den Jungen Marx (1843-1848) (1975); Etika Umum: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral (1975); Kita dan Wayang (1982), Javanische Weisheit und Ethik, Studien zu einer ostlichen Moral (1981); Etika Jawa dalam Tantangan (1983, bersama Dr. S. Reksosusilo).
3. Teori Franz Magnis Suseno Tentang Makna Etika Jawa a. Pengertian Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani ethos (kata tunggal) yang berarti: tempat tinggal, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, watak, sikap, cara berpikir.
Bentuk jamak nya adalah ta, etha yang berarti adat istiadat. Dalam hal ini kata etika sama pengertiannya dengan moral.10 Menurut K. Berten ada dua pengertian etika sebagai praktis dan sebagai refleksi.Sebagai praktis, etika berarti nilai-nilai dan norma-norma moral yang baik yang di praktikan atau justru tidak di praktikan walaupun seharusnya dipraktikan. Etika sebagai praktis sama artinya dengan moral atau moralitas yaitu apa yang harus dilakukan, tidak boleh dilakukan, pantas dilakukan dan sebagainya.Etika sebagai refleksi adalah pemikiran moral.11
Franz Magnis Suseno memaparkan empat kegunaan etika pada zaman sekarang dalam buku Etika Dasar (Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral), antara lain:12
a) Bahwasannya kita hidup dalam masyarakat yang semakin pluralistic, juga dalam bidang moralitas. Setiap hari kita bertemu dengan orang-orang dari suku, daerah dan agama yang berbeda-besa. Kesatuan tatanan normatif
9 Franz Magnis Suseno. Etika Jawa, (Jakarta: PT Gramedia, 1984). hlm. 265.
10 Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, Op, Cit, hlm. 75.
11 K. Bertenz. Etika, (Jakarta: PT Gramedia Pusaka Utama, 2007). hlm. 22.
12 Dewi Amanah. Skripsi. Tokoh Semar dan Etika Jawa (Studi Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu di Indramayu). IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Tahun 2017. hlm. 40.
sudah tidak ada lagi, belum lagi berhadapan dengan sekian banyak pandangan moral yang sering saling bertentangan dan semua mengajukan klaim. Mana yang akan kita akui? yang kita peroleh dari orang tua kita dulu? moralitas tradisional desa? moralitas yang ditawarkan melalui media masa secara historis etika sebagai usaha filsafat yang lahir dari keambrukan tatanan lingkungan kebudayaan Yunani 2500 tahun lalu karena pandangan-pandangan lama tentang baik dan buruk tidak lagi dipercaya, para filosof mempercayakan kembali norma-norma dasar bagi kelakuan manusia. Situasi itu berlaku pada zaman sekarang juga bahkan kita masing-masing disini yang dipersoalkan bukan hanya apakah yang merupakan kewajiban saya dan apa yang tidak, melainkan manakah norma-norma untuk menentukan apa yang harus dianggap sebagai kewajiban. Norma-norma moral sendiri dipersoalkan, misalnya dalam bidang etika sekual, hubungan anak dan orang tua, kewajiban terhadap Negara, etika sopan santun dan pergaulan serta penilaian terhadap harga nyawa manusia terhadap pandangan yang sangat berbeda satu sama lain, untuk mencapai suatu pendirian dalam pergolakan pandangan-pandangan moral ini refleksi etika sangat diperlukan.
b) Karena saat ini kita hidup dalam masa transformasi masyarakat yang tanpa tanding. Perubahan itu terjadi dibawah hantaman kekuatan yang menengai semua segi kehidupan kita, yaitu gelombang modernisasi tidak perlu mencoba untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan modernisasi.
Jelaslah bahwa modenisasi terasa sampai kesegala penjuru tanah air, sampai keplosok-plosok yang paling terkecil tak ada dimensi kehidupan yang tidak terkena, kehidupan kita telah berubah tidak seperti seratus bahkan seribu tahun sebelumnya, bahkan pada setatus tahun lalu belum ada kendaraan bermotor, plastik, alat elektronika dan media masa melainkan cara berpikir pun berubah secara amat radikal. Rasionalisme, individualism, nasionalisme, sekularisme, materialism, kepercayaan akan kemajuan, konsumerisme, pluralism, religious serta system, pendidikan modern secara hakiki mengubah lingkungan budaya dan rohani di Indonesia dalam transformasi ekonomi, sosial, intelektual dan budaya itu nilai-nilai budaya yang tradisional ditantang semuanya. Dalam situasi demikian etika mau membantu agar jangan kehilangan orientasi dan dapat
membedakan antara apa yang hakiki dan apa yang boleh saja berubah dan dengan demikian tetap sanggup untuk mengambil sikap-sikap yang dapat kita pertanggungjawabkan.
c) Tidak mengherankan bahwa perubahan sosial budaya dan moral yang kita alami ini dipergunakan oleh berbagai pihak untuk memancing dalam air keruh, mereka menawarkan ideologi-ideologi mereka sebagai obat penyelamat. Etika dapat membuat kita sanggup dalam menghadapi ideologi-ideologi itu dengan kritis dan objektif dan untuk membentuk penilaian sendiri, agar kita tidak terlalu naïf atau ekstrim, agar jangan cepat-cepat segala bentuk pandangan yang baru tetapi jangan menolak nilai-nilai hanya karena baru dan belum biasa.
d) Etika juga dibutuhkan oleh kaum agama yang disatu pihak menemukan dasar kemantapan mereka dalam iman kepercayaan mereka, dilain pihak sekaligus mau berpartisipasi tanpa takut-takut dan dengan tidak menutup diri dalam semua dimensi kehidupan, dimensi kemasyarakatan yang sedang berubah itu.13
Etika Jawa ini merupakan bantuan untuk memahami salah satu setelan sikap dan nilai yang merupakan titik acuan moral bagi masyarakat Jawa, walaupun disini tidak dapat dipastikan sejauh mana setelan ini secara nyata masih menentukan pola kelakuan masyarakat.14
b. Masyarakat Jawa
Semula di Jawa dipergunakan empat bahasa yang berbeda.Penduduk- penduduk asli Ibukota Jakarta (sekarang hanya kurang lebih sepuluh persen dari seluruh penduduk Jakarta yang lebih dari enam setengah juta orang itu) bicara dalam suatu dialek bahasa Melayu yang disebut Melayu-Betawi. Dibagian tengah dan selatan Jawa Barat dipakai bahasa Sunda, sedangkan Jawa Timur bagaian utara dan timur sudah lama dihuni oleh imigran-imigran dari Madura yang tetap mempertahankan bahasa mereka.15 Dibagian Jawa lainnya orang bicara dalam bahasa Jawa, namun bahasa Jawa yang dipergunakan di dataran-dataran rendah pesisir utara Jawa Barat, dari Banten Barat sampai ke Cirebon, cukup berbeda
13 Dewi Amanah. Skripsi. Tokoh Semar dan Etika Jawa (Studi Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu di Indramayu).IAIN Syekh Nurjati Cirebon.Tahun 2017. hlm. 42.
14 Franz Magnis Suseno, Etika Jawa, Op, Cit. hlm. 5.
15 Franz Magnis Suseno. Etika Jawa, (Jakarta: PT Gramedia, 1984). hlm. 11.
dari bahasa Jawa dalam arti yang sebenarnya. Bahasa Jawa dalam arti yang sebenarnya dijumpai di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang disebut orang Jawa adalah orang yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa yang sebenarnya itu.16 Orang Jawa atau masyarakat Jawa merupakan penduduk asli bagian tengah dan timur pulau ini meski demikian orang Jawa telah tersebar luas mendiami hampir di seluruh kepulauan Indonesia.17
Disebutkan bahwa masyarakat Jawa dibedakan menjadi dua golongan, pertama orang kecil yakni sebagaian dari mereka adalah petani, kedua kaum priyayi yakni mereka yang terdiri dari kaum pegawai dan kaum intelektual.
Namun kebanyakan orang Jawa hidup sebagai petani atau buruh tani, didaerah dataran rendah mereka bercocok tanam padi, didaerah pegunungan mereka menanam ketela dan palawija. Sebagaian besar Pulau Jawa bersifat agraris, penduduknya masih hidup di desa-desa.18 Jadi etika Jawa adalah ilmu yang mempelajari tentang adat istiadat, pandangan hidup, nilai-nilai filsafat yang berlangsung di masyarakat Jawa.19
c. Dua Kaidah Dasar Kehidupan Masyarakat Jawa
Sebagaimana yang telah Franz Magnis Suseno paparkan dalam buku Etika Jawa, bahwa sebagai titik tolak Romo Franz mengambil anggapan Hildred Geertz yaitu:
Bahwa ada dua kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa.Kaidah pertama mengatakan, bahwa dalam setiap situasi manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa hingga tidak sampai menimbulkan konflik. Kaidah kedua menuntut agar manusia dalam cara bicara dan membawa diri selalu menunjukan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Kaidah pertama akan saya sebut prinsip kerukunan, kaidah kedua sebagai prinsip hormat. Kedua prinsip itu merupakan kerangka normative yang menentukan bentuk-bentuk kongkret semua interaksi.20
16 Franz Magnis Suseno. Etika Jawa, (Jakarta: PT Gramedia, 1984). hlm. 11.
17 Dewi Amanah. Skripsi. Tokoh Semar dan Etika Jawa (Studi Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu di Indramayu).IAIN Syekh Nurjati Cirebon.Tahun 2017. hlm. 42.
18 Dewi Amanah. Skripsi. Tokoh Semar dan Etika Jawa (Studi Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu di Indramayu., hlm. 12
19 https://id.m.wikipedia.org/wiki/Etika_Jawa. Pada Hari Ahad, pukul 11.34 WIB. 03 September 2018
20 Franz Magnis Suseno. Etika Jawa, (Jakarta: PT Gramedia, 1984). hlm. 38.
a) Prinsip Kerukunan 1) Rukun
Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang harmonis.21 Keadaan demikianlah yang disebut dengan rukun.Rukun sendiri berarti “berada dalam keadaan selaras”, tenang dan tentram tanpa perselisihan dan pertentangan, bersatu dalam maksud untuk saling membantu.22 Rukun adalah keadaan ideal yang diharapkan dapat mempertahankan dalam semua hubungan sosial dalam keluarga, dalam rukun tetangga desa, dalam setiap pengelompokan tetap.Suasana seluruh masyarakat seharusnya bernafas kerukunan.23
Kemudian kata rukun juga menunjuk pada cara bertindak. Berlaku rukun berarti menghilangkan tanda-tanda ketegangan dalam masyarakat atau antara pribadi-pribadi sehingga hubungan sosial tetap terlihat selaras dan baik-baik. Rukun juga mengandung usaha terus menerus oleh semua individu untuk bersikap tenang satu sama lain dan untuk menyingkirkan unsur-unsur yang mungkin menimbulkan perselisihan dan keresahan.
Tuntutan kerukunan merupakan kaidah piñata masyarakat yang menyeluruh, segala apa yang dapat mengganggu keadaan rukun dan suasana keselarasan dalam masyarakat harus dicegah.24
Terdapat dua segi dalam tuntutan kerukunan. Pertama, dalam pandangan Jawa masalahnya bukan penciptaan keadaan keselarasan sosial, melainkan lebih untuk tidak mengganggu keselarasan yang diandaikan sudah ada. Dalam perspektif Jawa ketenangan dan keselarasan sosial merupakan keadaan normal yang akan terdapat dengan sendirinya selama tidak diganggu, seperti juga permukaan laut dengan sendirinya halus jikalau tidak diganggu oleh angin atau oleh badan-badan yang menentang arus. Dalam prinsip kerukunan terutama harus bersifat negativ, dimana prinsip itu menuntut untuk mencegah segala cara kelakuan yang bisa menganggu keselarasan dan ketenangan dalam masyarakat. Rukun
21 Franz Magnis Suseno. Etika Jawa, (Jakarta: PT Gramedia, 1984). hlm. 39.
22 Franz Magnis Suseno. Etika Jawa. hlm. 39.
23 Dewi Amanah. Skripsi. Tokoh Semar dan Etika Jawa (Studi Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu di Indramayu).IAIN Syekh Nurjati Cirebon.Tahun 2017. hlm. 47.
24 Franz Magnis Suseno. Etika Jawa, (Jakarta: PT Gramedia, 1984). hlm. 39
juga berarti berusaha untuk menghindari pecahnya konflik-konflik. Oleh karenanya prinsip kerukunan ini sebaiknya tidak disebut dengan prinsip keselarasanmelainkan, dengan mengikuti Ann. R. Willner, “Prinsip pencegahan politik”.25
Kedua, prinsip kerukunan pertama-tama tidak menyangkut suatu sikap batin atau keadaan jiwa, melainkan penjagaan keselarasan dalam pergaulan, yang diatur adalah permukaan hubungan-hubungan sosial yang kentara, yang perlu dicegah adalah konflik-konflik terbuka.26 Supaya manusianya dapat hidup sesuai dengan tuntutan kerukunan dengan mudah dan enak.
2) Berlaku Rukun
Setiap orang harus berhati-hati dalam situasi-situasi dimana kepentingan-kepentingan yang berlawanan saling berhadapan.27 Suatu permintaan atau tawaran misalnya tidak boleh langsung ditolak. Jawaban yang baik dan tepat adalah suatu inggih yang sopan dan tidak pernah langsung kata mboten. Terserah kepada kehalusan perasaan si peminta untuk menemukan apakah inggih itu merupakan suatu persetujuan, suatu pembenaran bahwa permohonan memang didengar tetapi tanpa komitmen untuk memenuhinya atau bahkan suatu penolakan yang tersembunyi. Satu keutamaan yang sangat dihargai oleh orang Jawa adalah kemampuan untuk memperkatakan hal-hal yang tidak enak secara tidak langsung.
Berita yang tidak disenangi, peringatan-peringatan dan tuntutan-tuntutan jangan diajukan langsung kepada seseorang, melainkanharus dipersiapkan dulu dan dibungkus.
Suatu teknik lain untuk menghindari kekecewaan adalah kebiasaan untuk berpura-pura. Orang Jawa bicara tentang ethok-ethok. Kemampuan untuk ber ethok-ethok adalah suatu seni yang tinggi dan dinilai positif.
Bahasa Jawa sendiri sangat cocok untuk itu, yaitu suatu pembicaraan di antara orang-orang yang beradab harus dijalankan dalam bentuk karma, namun bahasa karma tidak menyediakan kemungkinan untuk omong
25 Franz Magnis Suseno. Etika Jawa, (Jakarta: PT Gramedia, 1984). hlm. 40.
26 Franz Magnis Suseno. Etika Jawa. hlm. 40.
27 Franz Magnis Suseno. Etika Jawa. hlm. 42.
kasar, untuk mengumpat, untuk memberi perintah secara langsung atau untuk menampakan emosi.28 Dalam berlaku rukun juga mencegah timbulnya konflik yang timbul, maka dari itu tatakrama Jawa yang mengatur semua bentuk interaksi langsung diluar lingkungan keluarga dan lingkungan teman-teman akrab.29
3) Rukun dan Sikap Hati
Inti prinsip kerukunan adalah tuntutan untuk mencegah segala kekuatan yang bisa menimbulkan konflik terbuka. Tujuan kelakuan rukun adalah keselarasan sosial, keadaan yang rukun. Suatu keadaan disebut rukun apabila semua pihak dalam kelompok berdamai satu sama lain.
Motivasi untuk bertindak rukun bersifat ganda di satu pihak individu berada dibawah tekanan berat dari pihak lingkungannya yang mengharapkan daripadanya sikap rukun dan memberi sanksi terhadap kelakuan yang tidak sesuai.30
Dalam etika dibedakan antara prinsip-prinsip moral dan prinsip- prinsip piñata masyarakat, yang pertama menuntut sikap-sikap batin yang memang harus terwujud dalam tindakan lahiriah, yang kedua memuat norma-norma kelakuan yang dituntut dan seperlunya dipaksakan oleh masyarakat entah apa sikap batin seseorang,31 misalnya norma-norma hukum. Prinsip moral dan prinsip piñata kehidupan dalam masyarakat tidak mutlak terpisah karena prinsip-prinsip moral menuntut perwujudan lahiriah dari sikap batin yang dituntut dan dilain pihak terdapat suatu kewajiban moral untuk hidup sesuai dengan aturan-aturan masyarakat terhadap kerangka acuan itu prinsip kerukunan termasuk prinsip pinata masyarakat dan bukan prinsip moral. Sikap-sikap moral yang hendaknya menunjang kelakuan yang rukun dikemukakan banyak dalam ajaran kebijaksanaan hidup dan wejangan-wejangan moral Jawa. Sedangkan yang dituntut oleh masyarakat entah ditunjang oleh sikap moral yang sesuai atau tidak adalah kelakuan rukun, maka kerukunan jangan disalah artikan sebagai sikap altruis melawan sikap egois. Berlaku rukun tidak
28 Franz Magnis Suseno. Etika Jawa, (Jakarta: PT Gramedia, 1984). hlm. 45.
29 Franz Magnis Suseno. Etika Jawa. hlm. 45.
30 Franz Magnis Suseno. Etika Jawa. hlm. 52.
31 Franz Magnis Suseno. Etika Jawa. hlm. 54.
berarti menilai diri rendah atau terus mau berkorban bagi orang lain.
Mengusahakan kerukunan tidak dengan sendirinya menjamin sikap hati mau berdamai, mau mengerti, apalagi mau mengembangkan rasa simpati, melainkan berlaku rukun berarti bahwa orang sanggup untuk membawa diri dengan terkontrol dan dewasa dalam masyarakat.32
b) Prinsip Hormat
Kaidah kedua yang memainkan peranan besar dalam mengatur pola interaksi dalam masyarakat Jawa adalah prinsip hormat. Prinsip hormat mengatakan bahwa setiap orang dalam cara bicara dan membawa diri selalu harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya.33 Contohnya apabila dua orang bertemu terutama orang Jawa, bahasa, pembawaan dan sikap mereka mesti mengungkapkan suatu pengakuan terhadap kedudukan mereka masing-masing dalam suatu tatanan sosial yang tersusun dengan terperinci dan cita rasa. Mengikuti aturan-aturan tatkrama yang sesuai dengan mengambil sikap hormat yang tepat adalah sangat penting, disini nampak bahwa apa yang telah kita lihat tentang prinsip kerukunan juga berlaku tentang prinsip hormat, prinsip itu tidak mengenai sikap batin, melainkan mengenai kelakuan dalam masyarakat.
Hildren Geertz mengungkapkan bahwa suatu segi menarik dalam semua hubungan sosial Jawa adalah bahwa yang penting bukanlah kejujuran hubungan itu, dan walaupun dalam banyak interaksi sosial kedua belah pihak menyadari betul-betul bahwa situasi yang sebenarnya antar mereka bukanlah sebagaimana nampak dipermukaan namun semua puas asal saja kesatuan pada permukaan tidak diganggu.34
Jangkauan prinsip hormat bersama dengan perasaan isin dan sungkan, namun isi tuntutannya terbatas. Hormat hanya berarti pengakuan pangkat yang lebih tinggi melalui tatakrama yang sesuai. Pemberian hormat tidak selalu menunjuk pada otoritas yang sebenarnya, dalam keluarga Jawa otoritas yang sebenarnya sering terletak ditangan ibu, tetapi yang menerima sikap hormat adalah ayah.
32 Franz Magnis Suseno. Etika Jawa, (Jakarta: PT Gramedia, 1984). hlm. 54.
33 Franz Magnis Suseno. Etika Jawa. hlm. 60.
34 Franz Magnis Suseno. Etika Jawa. hlm. 68.
Hilden Geertz memaparkan bahwa pendidikan itu tercapai melalui tiga perasaan yang dipelajari oleh anak Jawa dalam situasi-situasi yang menuntut sikap hormat yaitu wedi, isin, dan sungkan. Wedi berarti takut, baik sebagai reaksi terhadap ancaman fisik maupun sebagai rasa takut terhadap akibat kurang enak suatu tindakan. Setelah wedi anak belajar atau di didik untuk merasa isin. Isin berarti malu, ini merupakan langkah pertama kearah kepribadian Jawa matang. Rasa isin dikembangkan pada anak dengan membuat dia malu dihadapan tetangga, tamu dan sebagainya. Sedangkan sungkan sebagai rasa hormat yang sopan terhadap atasan atau sesame yang belum dikenal. Wedi, isin dan sungkan merupakan suatu kesinambungan perasaan-perasaan yang mempunyai fungsi sosial untuk member dukungan psikologis terhadap tuntunan-tuntunan prinsip hormat.35
4. Kontekstualitas Penggunaan Teori Etika Jawa Franz Magnis Suseno
Kontekstual teori ialah sesuatu yang berhubungan dengan kontek apa yang akan penulis riset, teori etika Jawa Franz Magnis Suseno yang man lahir di Jerman, namun Romo Franz ini lama berada di Jawa seperti di Yogyakarta, sehingga teori ini cocok digunakan pada riset saya yaitu tentang tari Babak Yaso di daerah Trusmi yang mana Cirebon termasuk dalam bagian Jawa. Salah satunya adalah sikap-sikap kerukunan, prinsip hormat yang ada kaitannya dalam prosesi tari tersebut.
Objek Material filsafat ilmu adalah pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang telah disusun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara umum. Dalam hal ini adalah adalah teori Romo Franz Magnis tentang Etika Jawa, sedangkan objek formal filsafat ilmu adalah sudut pandang dari mana sang subjek menelaah objek materialnya. Objek forma filsafat ilmu adalah hakikat ilmu pengetahuan artinya filsafat ilmu lebih menaruh perhatian terhadap problem mendasar ilmu pengetahuan. Dalam hal ini peneliti akan menelaah objek kajian dari sudut pandang tari sebagai tari.
Tari Babak Yaso merupakan tari perjuangan atau tari prajurit yang ada di Trusmi sebagai penghormatan terhadap prajurit-prajurit yang dahulu mengikuti perang dan melindungi Raja, dalam hal ini tarian ini memiliki aturan-aturan yang harus dilakukan oleh seorang penari dan tidak boleh melanggarnya.
35 Franz Magnis Suseno. Etika Jawa, (Jakarta: PT Gramedia, 1984). hlm. 65.