KULTIVASI DAN OPTIMASI HIDROLISIS BIOMASSA
MIKROALGA Choricystis sp. DENGAN VARIASI
KONSENTRASI PELARUT, SUHU DAN WAKTU
MENGGUNAKAN RESPONSE SURFACE METHODOLOGY
(RSM)
SKRIPSI
HANA NURBAITI SOBIHAH HAPSIN
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
KULTIVASI DAN OPTIMASI HIDROLISIS BIOMASSA
MIKROALGA Choricystis sp. DENGAN VARIASI
KONSENTRASI PELARUT, SUHU DAN WAKTU
MENGGUNAKAN RESPONSE SURFACE METHODOLOGY
(RSM)
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Program Studi Kimia
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidatullah Jakarta
Oleh:
HANA NURBAITI SOBIHAH HAPSIN NIM. 11140960000064
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
KULTIVASI DAN OPTIMASI HIDROLISIS PADA BIOMASSA
MIKROALGA Choricystis sp. DENGAN VARIASI KONSENTRASI
PELARUT, SUHU DAN WAKTU MENGGUNAKAN RESPONSE
SURFACE METHODOLOGY (RSM)
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Program Studi Kimia
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidatullah Jakarta
Oleh:
HANA NURBAITI SOBIHAH HAPSIN NIM. 11140960000064
Menyetujui,
Pembimbing I
Dr. La Ode Sumarlin, M.Si NIP. 19750918 200801 1 007
Pembimbing II
apt. Swastika Praharyawan, M.Si NIP. 19821017 200604 1 005 Mengetahui,
Ketua Program Studi
Dr. La Ode Sumarlin, M.Si NIP. 19750918 200801 1 007
PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “Kultivasi dan Optimasi Hidrolisis Biomassa Mikroalga
Choricystis sp. dengan Variasi Konsentrasi Pelarut, Suhu dan Waktu
Menggunakan Response Surface Methodology (RSM)” telah dinyatakan LULUS pada Sidang Munaqosah Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Senin, 19 Juli 2021. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains (S1) Program Studi Kimia.
Menyetujui, Penguji I Dr. Sandra Hermanto, M. Si NIP. 19750810 200501 1 005 Penguji II Nurhasni, M.Si NIP. 19740618 200501 2 005 Pembimbing I Dr. La Ode Sumarlin, M. Si NIP. 19750918 200801 1 007 Pembimbing II
apt. Swastika Praharyawan, M.Si, NIP. 19821017 200604 1 005 Mengetahui,
Dekan Fakultas Sains dan Teknologi,
Ir. Nashrul Hakiem, S.Si., MT., Ph.D NIP. 19710608 200501 1 005
Ketua Program Studi Kimia,
Dr. La Ode Sumarlin, M.Si NIP. 19750918 200801 1 007
PERNYATAAN
DENGAN INI MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Jakarta, Juli 2021
Hana Nurbaiti Sobihah Hapsin 11140960000064
ABSTRAK
HANA NURBAITI SOBIHAH HAPSIN. Kultivasi dan Optimasi Hidrolisis Biomassa Mikroalga Choricystis sp. dengan Variasi Konsentrasi Pelarut, Suhu dan Waktu Menggunakan Response Surface Methodology (RSM). Dibimbing oleh LA ODE SUMARLIN DAN SWASTIKA PRAHARYAWAN
Optimasi hidrolisis menjadi hal penting yang perlu diperhatikan mengingat mikroalga memiliki kandungan karbohidrat yang dapat diubah menjadi gula sederhana. Mikroalga yang digunakan adalah spesies Choricystis sp. (LIPI-LBB13-045), dikultivasi dalam media AF6-Modifikasi sehingga menghasilkan biomassa. Penelitian ini bertujuan menentukan kondisi optimum hidrolisis untuk memperoleh glukosa menggunakan Response Surface Methodology (RSM). Parameter proses hidrolisis yang dioptimasi adalah suhu (x1), waktu (x2), dan konsentrasi H2SO4 (x3). Percobaan optimasi dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap penelusuran rentang optimum dan tahap penentuan nilai optimum dengan menggunakan desain eksperimen Central Composite Design (CCD). Hasil penelitian menunjukkan nilai kondisi optimum yang berhasil dicapai dengan
Response Surface Methodology (RSM) yaitu suhu93,28 oC, waktu 67,48 menit, dan konsentrasi H2SO4 2,25 % (v/v).
ABSTRACT
HANA NURBAITI SOBIHAH HAPSIN. Cultivation and Optimization of
Choricystis sp. Microalgal Biomass Hydrolysis by Variations of Solvent
Concentrations, Temperature and Time use Response Surface Methodology. Supervised by LA ODE SUMARLIN DAN SWASTIKA PRAHARYAWAN
The optimized extraction process is essential to be applied due to the necessity of maximizing carbohydrate recovery that can subsequently be converted into simple sugar. The microalgae of Choricystis sp. (LIPI-LBB13-045) used in this research is cultivated in AF6-modified media to produce biomass. This research is aiming at determining the optimum condition for microalgal biomass hydrolysis process by utilizing response surface methodology (RSM). The hydrolysis process parameters that will be optimized in this research are temperature (x1), in hydrolysis time (x2), and concentration of H2SO4 (x3). The research is comprised of two stages, tracing the interval which the optimum value is resided and determining the optimum value for each parameter by applying Central Composite Design (CCD) experimental design. The result in this research showed optimum conditions which achieved by response surface methodology is 93,28 oC temperature, time reaction 67,48 minutes, and H2SO4 concentration 2,25 % (v/v)
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrohmaanirrohim,
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas segala berkat dan hidayah-Nya penulis mampu menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Kultivasi dan Optimasi Hidrolisis Biomassa Mikroalga Choricystis sp. dengan
Variasi Konsentrasi Pelarut, Suhu dan Waktu Menggunakan Response Surface Methodology (RSM)”. penulis menyadari bahwa menyelesaikan skripsi ini tak
lepas dari bantuan banyak pihak. Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada :
1. Dr. La Ode Sumarlin, M.Si selaku pembimbing I yang telah memberikan ilmu dan bimbingan terhadap penulis.
2. apt. Swastika Praharyawan, M.Si selaku pembimbing II yang telah memberikan saran, masukan serta kemudahan terhadap penulis selama proses penelitian.
3. Dr. Sandra Hermanto, M.Si selaku dosen penguji I yang telah memberikan saran serta masukan yang bermanfaat.
4. Nurhasni, M.Si selaku penguji II yang telah memberikan saran dan bantuannya selama perkuliahan.
5. Dr. La Ode Sumarlin, M.Si selaku Ketua Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Ir. Nashrul Hakiem, S.Si., M.T., Ph.D selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Siti Nurbayti, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis selama kuliah.
8. Dr. Dwi Susilaningsih selaku Kepala Laboratorium Bioenergi dan Bioproses, Pusat Penelitian Bioteknologi, LIPI di Cibinong.
9. Orang tua dan keluarga besar yang senantiasa memberikan semangat dan batuan moril maupun materi dan doa untuk kelancaran tugas akhir.
10. Staf laboratorium bioenergi dan bioproses yang telah membantu dalam penelitian penulis serta canda tawa selama empat bulan.
11. Yanti Haryanti, Isni Putri, dan Shinta Dara teman seperjuangan atas bantuan dan saran.
Penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan umumnya bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, Amin Ya Rabbal’alamin.
Jakarta, 19 Juli 2021
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 4 1.3 Hipotesis ... 4 1.4 Tujuan Penelitian ... 4 1.5 Manfaat Penelitian ... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1 Mikroalga ... 5
2.2 Fase Pertumbuhan Mikroalga ... 8
2.3 Karbohidrat ... 8
2.3.1 Hidrolisis………..9
2.3.2 Pengaruh Kondisi Operasi……….…10
2.4 Metode Permukaan Respon ……….………...……....12
2.5 Metode Fenol-Asam Sulfat……….15
BAB III METODE PENELITIAN ... 177
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 177
3.2 Alat dan Bahan ... 177
3.2.1Alat………....…….17 3.2.2Bahan……….….17 3.3 Prosedur Penelitian ... ..188 3.3.1 Diagram Alir………...…………...18 3.3.2Produksi Biomassa………...………..19 3.3.3Optimasi Hidrolisis………...……….20
3.3.4Analisis Kuantitatif Menggunakan Metode Fenol-Asam Sulfat...24
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 277
4.1 Kultivasi Mikroalga Choricystis sp. (LIPI-LBB13-AL045) ... 277
4.2 Optimasi Hidrolisis ... Error! Bookmark not defined.1 4.3 Penelusuran Rentang Optimum ... 355
4.4 Optimasi Menggunakan Response Surface Methodology (RSM) model Central Composite Design (CCD) ... 388
4.5 Pengaruh Suhu, Waktu dan Konsentrasi Asam Sulfat Terhadap Kadar Glukosa………...43 BAB V PENUTUP ... 455 5.1 Simpulan ... 455 5.2 Saran ... 455 DAFTAR PUSTAKA ... 466 DAFTAR LAMPIRAN ... 533
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Kandungan karbohidrat beberapa spesies mikroalga ... 7
Tabel 2. Rancangan percobaan tahap penelusuran rentang optimum ... 22
Tabel 3. Perlakuan dan kode perlakuan ... 23
Tabel 4. Rancangan percobaan penentuan kondisi optimum dengan CCD ... 23
Tabel 5. Hasil hidrolisis dari dua pelarut berbeda ... 32
Tabel 6. Hasil hidrolisis menggunakan H2SO4 ... 35
Tabel 7. Hasil percobaan penelusuran rentang optimum ... 35
Tabel 8. Hasil ANOVA untuk penelusuran rentang optimum ... 37
Tabel 9. Hasil percobaan kondisi optimum dengan CCD ... 38
Tabel 10. Hasil ANOVA untuk kondisi optimum dengan CCD ... 39
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Mikroalga Choricystis sp. ... 6
Gambar 2. Laju pertumbuhan mikroalga ... 8
Gambar 3. Reaksi glukosa dengan fenol-asam sulfat ... 16
Gambar 4. Komponen alat Spektrofotometer UV-Vis ... 17
Gambar 5. Diagram Alir ... 18
Gambar 6. Kurva Pertumbuhan Choricystis sp. (LIPI-LBB13-AL045) ... 27
Gambar 7. Mekanisme reaksi hidrolisis selulosa dengan asam... 33
Gambar 7. Plot kontur antara suhu dan konsentrasi asam sulfat ... 41
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Komposisi dan pembuatan Media AF6-Modifikasi ... 53
Lampiran 2. Nilai Optical Density (OD) Choricystis sp. (LIPI-LBB13-045) ... 54
Lampiran 3. Tabel ANOVA hasil penelusuran rentang optimum ... 55
Lampiran 4. Tabel ANOVA kondisi optimum menggunakan CCD ... 56
Lampiran 5. Absorbansi standar glukosa dan perhitungan pengenceran ... 57
Lampiran 6. Hasil absrobansi hidrolisis antara dua pelarut ... 58
Lampiran 7. Hasil absorbansi penelusuran rentang optimum ... 59
Lampiran 8. Hasil absorbansi optimasi menggunakan CCD ... 60
Lampiran 9. Perhitungan kadar glukosa ... 61
Lampiran 10. Standar deviasi hasil kondisi optimum dengan CCD ... 63
Lampiran 11. Kurva larutan standar glukosa ... 64
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, salah satunya adalah mikroalga. Mikroalga yang ada di bumi diperkirakan terdapat sekitar 200.000-800.000 spesies dan baru sekitar 35.000 spesies yang teridentifikasi (Assadad et al., 2010). Potensi mikroalga menjadi aspek penting untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi karena berkaitan dengan konsep biorefineri yang mengacu pada eksplorasi biomassa. Biorefineri mikroalga merupakan cara untuk menghasilkan berbagai produk energi atau produk jenis lainnya dengan memanfaatkan biomassa mikroalga dengan harapan menghasilkan limbah yang sedikit bahkan tidak menghasilkan limbah (Arenas et al., 2016).
Mikroalga yang berperan sebagai sumber energi merupakan salah satu bukti kebesaran dan kekuasaan Allah SWT sebagai pencipta. Sebagaimana penjelasan pada Q.S. Asy-Syu’ara (26) ayat 7:
Artinya: “Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, betapa banyak kami tumbuhkan di bumi itu berbagai macam (tumbuh-tumbuhan) yang baik?”
Ayat tersebut menerangkan bahwa kita sebagai manusia diperintahkan untuk memperhatikan tumbuh-tumbuhan yang baik yang telah Allah tumbuhkan di bumi ini. Tumbuhan yang baik dapat diartikan tumbuhan yang memiliki berbagai manfaat di dalamnya. Sesungguhnya pada perkara tumbuhan yang
tentang kesempurnaan Allah SWT. Perumpamaan Allah SWT pada salah satu makhluk hidup yang tidak bisa dilihat secara langsung yaitu mikroalga yang merupakan mikroorganisme fotosintetik yang dapat hidup di air tawar maupun laut. Mikroalga ini telah banyak dimanfaatkan untuk berbagai jenis produk seperti produk energi, kosmetik, dan lainnya yang dapat bermanfaat untuk kehidupan manusia.
Mikroalga merupakan mikroorganisme yang mengandung komposisi kimia bermanfaat seperti karbohidrat, protein, lipid, dan asam amino. Hal ini menjadi alasan layaknya mikroalga dimanfaatkan sebagai sumber alternatif bahan baku energi (Qaishum et al., 2015; Sani et al., 2014). Selama ini, banyak peneliti yang memanfaatkan biomassa mikroalga sebagai bahan baku biodiesel karena kandungan lipid dan profil asam lemak monosaturated fatty acid (MUFA) yang tinggi. Choricystis sp. salah satu mikroalga yang mengandung lipid dan profil asam lemak yang tinggi (Praharyawan et al., 2016). Choricystis sp. (LIPI-LBB13-045) memiliki kemampuan daya adaptasi yang cepat terhadap lingkungan baru dan proses pemanenan yang singkat (Praharyawan et al., 2016). Sebagai bahan baku potensial penghasil biodiesel, biomassa Choricystis sp. (LIPI-LBB13-045) diharapkan memiliki potensi sebagai penghasil karbohidrat yang potensinya dapat mengiringi potensi bahan baku biodiesel sehingga dapat meningkatkan keekonomisannya saat digunakan dalam skala komersial.
Karbohidrat mikroalga terdapat dalam bentuk selulosa yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan gula sederhana melalui proses hidrolisis. Hidrolisis secara kimiawi dianggap lebih efektif memecah karbohidrat seperti selulosa untuk menghasilkan gula sederhana lebih tinggi. Hidrolisis secara
kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan katalis asam atau basa untuk mempercepat reaksi hidrolisis. Hal ini seperti pada penelitian Ho et al. (2013) yang melakukan optimasi hidrolisis pada Chlorella v. menggunakan H2SO4 1 % pada suhu 121 oC selama 20 menit menghasilkan kadar glukosa 93,6 %. Selain itu, pada penelitian Miranda et al. (2014) melakukan proses hidrolisis pada
Tetraselmiis chuii menggunakan H2SO4 1,75 % pada suhu 70 oC selama 30 menit menghasilkan kadar glukosa 48,4 %. Proses hidrolisis menggunakan basa dilakukan pada mikroalga N. salina menggunakan KOH 40 % (w/v) pada 90 oC selama 60 menit menghasilkan 0,09 g.L-1 (Chen dan Vaidyanathan, 2013).
Dalam proses hidrolisis terdapat faktor yang harus diperhatikan seperti konsentrasi pelarut, suhu, dan waktu. Oleh karena itu, penelitian mengenai pengaruh konsentrasi pelarut, suhu, dan waktu reaksi hidrolisis untuk hasil glukosa tertinggi dari biomassa Choricystis sp. (LIPI-LBB13-045) sangat penting untuk dilakukan karena ketersediaan data yang masih minim. Optimasi dilakukan dengan metode respon permukaan atau Response Surface Methodology (RSM). RSM merupakan teknik statistika yang berguna untuk mengidentifikasi dan memprediksi nilai-nilai variabel proses yang mempengaruhi variabel respon serta untuk mengoptimalkan respon (Montgomery, 2001; Ernes et al., 2014).
Keunggulan metode RSM ini tidak memerlukan percobaan dalam jumlah banyak sehingga lebih efisien dari segi waktu dan biaya (Ernes et al., 2014).Hal ini seperti proses optimasi fermentasi bagas tebu oleh Zymomonas mobilis CP4 menunjukkan hasil yang akurat menggunakan RSM dengan pemilihan kondisi terbaik terjadi pada konsentrasi inokulum 15 % (v/v), konsentrasi urea 0,3 %
(b/v), dan lama fermentasi 45 jam dengan menghasilkan kadar etanol optimum sebesar 1,257 % (v/v) (Ernes et al., 2014).
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana kondisi optimum hidrolisis karbohidrat biomassa Choricystis
sp. (LIPI-LBB13-AL045) berdasarkan parameter konsentrasi H2SO4, suhu, dan waktu reaksi dengan menggunakan Response Surface Methodology (RSM)?
1.3 Hipotesis
Proses optimasi menggunakan Response Surface Methodology (RSM) dapat menemukan kondisi optimum proses hidrolisis untuk menghasilkan glukosa tertinggi.
1.4 Tujuan Penelitian
Menentukan nilai optimum konsentrasi H2SO4, suhu, dan waktu reaksi hidrolisis karbohidrat dari biomassa Choricystis sp. (LIPI-LBB13-AL045) untuk memperoleh glukosa tertinggi dengan menggunakan Response Surface
Methodology (RSM).
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kondisi optimum proses hidrolisis biomassa mikroalga Choricystis sp. (LIPI-LBB13-AL045) sehingga dapat memaksimalkan perolehan karbohidrat dari biomassa mikroalga choricystis sp.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mikroalga
Mikroalga merupakan mikroorganisme fotosintetik berukuran antara 1 mikrometer sampai ratusan mikrometer yang hidup di perairan tawar ataupun laut (Hadiyanto dan Maulana Azim, 2012; Widiyanto et al., 2014). Mikroalga memiliki kemampuan untuk memproduksi biomassa melalui proses fotosintesis dengan bantuan sinar matahari, air dan karbon dioksida (Demirbas, 2010). Mikroalga mengandung komposisi kimia sangat bermanfaat, seperti protein, karbohidrat, pigmen, asam amino, lipid, dan hidrokarbon (Sani et al., 2014).
Mikroalga Choricystis sp. merupakan mikroalga air tawar yang diambil dari danau di Provinsi Bengkulu.
Adapun klasifikasinya sebagai berikut (Rakhmawati, 2017): Domain : Eukariot Kingdom : Plantae Filum : Chlorophyta Kelas : Trebouxiophyceae Ordo : Trebouxiophyceae Famili : Coccomyxaceae Genus : Choricystis Spesies : Choricystis sp.
Gambar 1. Mikroalga Choricystis sp. (Praharyawan et al., 2018)
Apabila dilihat dari segi bentuk, mikroalga Choricystis sp. (LIPI-LBB13-045) memiliki bentuk lonjong atau oval. Pada penelitian lain Choricystis sp. (LIPI-LBB13-045) memiliki kandungan lipid sebesar 34,2 mg.L-1.hari-1 (Menezes et al., 2016). Selain itu, Choricystis sp. (LIPI-LBB13-045) juga memiliki nilai profil asam lemak monounsaturated fatty acid (MUFA) sebesar 45,5 % (Praharyawan et al., 2016). Akan tetapi, untuk saat ini belum teridentifikasi secara detail mengenai potensi karbohidrat dari mikroalga Choricystis sp. (Menezes et al., 2015).
Mikroalga merupakan mikroorganisme yang dapat menghasilkan substansi kimia yang berguna untuk sumber energi. Salah satunya adalah kandungan karbohidrat yang terdapat dalam mikroalga. Kandungan karbohidrat pada mikroalga berbeda-beda tergantung spesies dan kondisi lingkungan hidupnya (Assadad et al., 2010; Basmal, 2008). Karbohidrat pada mikroalga terletak pada dinding sel dan sitoplasma. Sekitar 4-7 % dalam bentuk selulosa dan sekitar 51 – 60 % dalam bentuk gula netral non selulosa. Karbohidrat mikroalga sebagai sumber karbon dapat dimanfaatkan untuk produksi bioetanol yang diperoleh
melalui proses fermentasi. Karbohidrat dikonversi menjadi glukosa dan difermentasi menjadi bioethanol (Assadad et al., 2010).
Tabel 1. Kandungan karbohidrat beberapa spesies mikroalga Nama Spesies Kandungan karbohidrat
(%)
Sumber
Porphyridium cruentum
22,82 (Agustini dan Nadhil Febrian., 2019)
Tetraselmis chuii 48,4 (Miranda et al., 2014)
Spirulina platensis 65 (Samudera dan Tatang
Sopandi, 2020)
Komposisi kimia yang terkandung dalam mikroalga berbeda-beda karena dipengaruhi faktor seperti jenis spesies dan kondisi kultivasi. Pertumbuhan mikroalga dapat dipengaruhi beberapa faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi hasil biomassa diantaranya intensitas cahaya, temperatur, media, oksigen. pH, karbon dioksida, dan pengadukan. Oleh karena itu, terdapat peluang untuk memperoleh mikroalga dengan komposisi kimia tertentu dengan memodifikasi faktor lingkungannya (Assadad, 2010; Basmal, 2008)
Mikroalga melakukan aktivitas fotosintesis dengan bantuan air, oksigen, cahaya, serta menggunakan bahan-bahan organik yang terdapat dalam media (Dimas et al., 2017; Jelizanur, 2019). Cahaya dan nutrisi pada media akan tersebar merata dengan pengadukan sehingga tidak akan terjadi pengendapan biomassa (Mata et al., 2010). Pengadukan pada kultur mikroalga biasanya dilakukan dengan cara aerasi atau memompakan udara ke dalam media. Selain itu, pengadukan juga bisa dilakukan dengan cara mekanik seperti menggunakan stirrer (Kurnia, 2016).
2.2 Fase Pertumbuhan Mikroalga
Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995), Pertumbuhan mikroalga dapat ditandai dengan bertambahnya ukuran dan jumlah sel. Tanda pertumbuhan mikroalga juga ditandai dengan perubahan air kultur dari bening menjadi berwarna seperti hijau muda atau coklat muda kemudian menjadi hijau atau coklat. Selama proses kultivasi mikroalga mengalami lima fase yaitu: (1) fase adaptasi, dimana pertumbuhan kelimpahan mikroalga terjadi dalam jumlah sedikit. (2) Fase pertumbuhan lanjut yang dialami mikroalga setelah fase adaptasi. Salah satu indikasi penting sel berhasil melalui fase adaptasi adalah kecepatan pertumbuhan. (3) Fase penurunan pertumbuhan, fase yang dapat dipengaruhi oleh cahaya, dan akumulasi oksigen yang dihasilkan saat proses fotosintesis. (4) Fase stasioner yang menunjukkan tidak ada lagi pertumbuhan mikroalga. (5) Fase terakhir yaitu fase kematian, ditunjukkan dengan jumlah sel mikroalga yang mati lebih tinggi dibandingkan sel yang hidup (Hadiyanto dan Maulana Azim, 2012).
Gambar 2. Laju pertumbuhan mikroalga (Fogg dan Thake, 1987)
2.3 Karbohidrat
Karbohidrat merupakan senyawa organik yang disusun oleh tiga jenis atom, yaitu karbon (C), hidrogen (H), dan oksigen (O), baik dalam bentuk
molekul sederhana maupun kompleks (Christian dan Vaclavik, 2003). Karbohidrat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok diantaranya monosakarida, disakarida, oligosakarida, dan polisakarida. Monosakarida merupakan karbohidrat sederhana yang memiliki satu unit monomer, sehingga monosakarida tidak memiliki ikatan glikosidik. Kelompok berikutnya disakarida merupakan karbohidrat yang tersusun oleh dua unit monomer monosakarida yang dihubungkan dengan ikatan glikosidik. Ketiga yaitu oligosakarida termasuk polimer yang disusun tiga hingga sembilan unit monosakarida. Terakhir adalah polisakarida yang merupakan polimer molekul monosakarida yang dapat berantai lurus atau bercabang yang terikat satu sama lain oleh ikatan glikosidik (Sri Risnoyatiningsih, 2011).
Karbohidrat pada mikroalga terdapat dalam bentuk pati dan selulosa yang terdapat pada dinding sel, dengan tidak adanya lignin akan jauh lebih mudah untuk dikonversi menjadi kelompok monosakarida jika dibandingkan dengan lignoselulosa. Mikroalga mengandung karbohidrat karena secara umum telah dipercaya bahwa proses pembentukan karbohidrat ini terjadi saat proses fotosintesis pada siklus calvin serta adanya asupan nutrisi juga merupakan cara efektif untuk memicu akumulasi karbohidrat. Hal ini terjadi pada penelitian Fen Tan et al. (2016) yang menerangkan bahwa dari kelima mikroalga yang digunakan ternyata C. vulgaris ESP-6 mengandung karbohidrat yang lebih tinggi sebesar 61,50% dengan modifikasi ampas biogas.
2.3.1 Hidrolisis
Karbohidrat kompleks yang dikonversi menjadi glukosa dapat dilakukan dengan proses hidrolisis. Hidrolisis merupakan pemecahan gula-gula kompleks
menjadi gula-gula sederhana (Kurnia, 2016). Hidrolisis dapat dilakukan secara kimiawi dan enzimatis. Hidrolisis secara kimiawi dapat menggunakan asam seperti asam sulfat, asam klorida dan alkali seperti natrium hidroksida, kalium hidroksida. Hidrolisis secara kimiawi memberikan keuntungan lebih cepat, mudah, dan murah dibandingkan metode hidrolisis yang lain (Girio et al., 2010; Harun et al., 2010; Moxley dan Zhang, 2007). Hidrolisis secara enzimatis dilakukan menggunakan enzim, pada proses hidrolisis ini lebih lambat dan lebih mahal dibandingkan dengan hidrolisis secara kimiawi (Lynd et al., 2002).
Pemilihan hidrolisis menggunakan pelarut dan konsentrasi yang akan digunakan tergantung jenis mikroalga. Proses hidrolisis dengan suhu tinggi biasa dilakukan pada kisaran 160-240 oC, sedangkan suhu rendah kisaran 80-140 oC. Menurut hasil penelitian lain menunjukkan bahwa hidrolisis pada mikroalga
Tetraselmis chuii pada temperatur 70 oC dan konsentrasi asam sulfat 1,75 % menghasilkan glukosa dengan kadar tertinggi 48,4 % (Miranda et al., 2014). Selain itu, proses hidrolisis basa dilakukan pada mikroalga N. salina menggunakan KOH 40 % (w/v) pada 90 oC selama 60 menit menghasilkan 0,09 g.L-1 (Chen dan Vaidyanathan, 2013).
2.3.2 Pengaruh Kondisi Operasi
1. Konsentrasi Pelarut
Konsentrasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses ekstraksi. Proses hidrolisis secara kimiawi dapat digunakan asam dan basa. Sampai saat ini, penggunaan asam untuk proses hidrolisis biomassa mikroalga menjadi pilihan yang tepat, dikarenakan ketiadaan lignin pada mikroalga. Penggunaan asam dengan konsentrasi tinggi atau konsentrasi rendah akan memberikan
hasil yang bervariasi. Menurut peneliti Hamelinck et al. (2005), menyatakan bahwa penggunaan asam dengan konsentrasi tinggi akan memberikan kadar gula yang tinggi setelah tahap hidrolisis.
2. Suhu Reaksi
Suhu adalah salah satu faktor yang dapat mempercepat terjadinya reaksi hidrolisis. Suhu hidrolisis berpengaruh terhadap konstanta kecepatan reaksi. Jika suhu semakin tinggi, konstanta kecepatan reaksi akan semakin besar sehingga reaksi dapat semakin cepat (Kirk dan Othmer, 1983). Kurnia (2016) meneliti tentang proses hidrolisis lignoselulosa dari mikroalga Chlorella
vulgaris menggunakan asam sulfat konsentrasi rendah menunjukkan bahwa
suhu optimum terjadi pada 120 oC menghasilkan kadar glukosa tertinggi dan mulai menurun pada suhu di atas 120 oC.
3. Waktu Reaksi
Waktu ekstraksi juga penting untuk diperhatikan dalam proses hidrolisis karena dapat mempengaruhi hasil hidrolisis. Hasilnya akan semakin meningkat dengan semakin lamanya waktu reaksi sampai pada waktu optimum (Groggins, 1958). Erlangga et al. (2015) meneliti proses hidrolisis pada mikrolaga Nannochloropsis sp. menggunakan asam sulfat 4 % pada suhu 80 oC menunjukkan waktu optimum 75 menit menghasilkan kadar glukosa yang meningkat. Penelitian Qaishum et al. (2015) menjelaskan adanya kenaikan kadar glukosa seiring dengan bertambahnya waktu dari 10 – 30 menit, namun pada menit ke 50 mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan waktu optimum terjadi pada menit ke 30 dalam menghidrolisis biomassa
glukosa semakin meningkat, namun menit ke 50 mengalami penurunan karena ion H+ pada asam telah mencapai titik optimum dalam reaksi hidrolisis.
2.4 Metode Permukaan Respon
Optimasi merupakan suatu pendekatan untuk mengidentifikasi hasil terbaik dalam suatu permasalahan. Unsur utama pada proses optimasi adalah menentukan fungsi tujuan yang dipengaruhi oleh beberapa variabel bebas. Perlakuan optimasi merupakan langkah yang dapat meminimalisasi biaya dan penggunaan bahan baku atau mengefisiensikan proses produksi dengan memaksimalkan hasil (Box dan Draper, 1987).
Penelitian ini dilakukan untuk mencari nilai-nilai parameter produksi kadar glukosa dari hasil hidrolisis yang prosesnya dapat menghasilkan yield terbesar. Jumlah yield yang diperoleh merupakan hasil dari penerapan parameter produksi. Adapun parameter yang diamati dalam proses hidrolisis karbohidrat ini adalah konsentrasi pelarut, suhu, dan waktu. Dikarenakan dalam penelitian ini mencari hubungan antara variabel bebas terhadap variabel respon, maka desain eksperimen yang tepat untuk digunakan adalah desain permukaan respon.
Metode permukaan respon atau Response Surface Methodology (RSM) adalah teknik statistika yang berguna untuk memodelkan, menganalisis data pada variabel respon yang dipengaruhi oleh variabel bebas dengan tujuan mengoptimalkan respon (Montgomery, 2001; Radojkovic et al., 2012). Metode ini membantu dalam mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap respon, mendapatkan model hubungan antara variabel bebas dan respon serta mendapatkan kondisi proses yang menghasilkan respon terbaik. Keunggulan dari
metode ini tidak memerlukan data percobaan dalam jumlah yang besar dan tidak memerlukan waktu yang lama (Irawan dan Astuti, 2006; Nurmiah et al., 2013).
Dalam melakukan optimasi menggunakan metode permukaan respon dilakukan beberapa tahapan diantaranya: (1) Screening, tahap ini merupakan penyeleksian variabel bebas atau faktor yang diduga berpengaruh secara signifikan terhadap variabel respon. (2) Improvisasi atau penelusuran rentang optimum, tahap ini dilakukan pengubahan titik variabel bebas secara berulang sehingga menghasilkan data yang bervariasi yang dapat diolah dan dianalisis secara statistik yang akhirnya digunakan untuk mencari nilai optimum. (3) Penentuan titik optimum, tahap penentuan titik optimum menggunakan metode permukaan respon model Central Composite Design (CCD). Model CCD dipilih karena memiliki kualitas prediksi yang lebih besar dari model Box-Behnken dengan selisih running yang lebih sedikit (Croarkin dan Tobias, 2003). Tahapan selanjutnya penentuan titik optimum dilakukan dengan mencari model dari sistem dengan cara melakukan perhitungan regresi. Perhitungan regresi dan analisis dilakukan dengan bantuan software Design-Expert (Stat-Ease, 2007). Penggunaan
software ini membantu untuk mempercepat perhitungan dibandingkan secara
manual.
Langkah awal dari RSM menemukan hubungan antara variabel bebas terhadap variabel respon melalui rancangan eksperimen tahap pertama. Rancangan eksperimen tahap pertama yang sesuai untuk tahap penyaring faktor adalah rancangan faktorial 2k (Two Level Factorial Design), yang artinya setiap variabel memiliki dua level dimana k menyatakan jumlah variabel bebas dan diberi kode -1 untuk level terendah dan +1 level tertinggi. Model tahap kedua
dilakukan apabila terdapat kelengkungan dengan adanya pernyataan ketidak cocokan pada eksperimen tahap pertama. Eksperimen tahap kedua akan didesain setelah daerah optimum respon tahap pertama diketahui. Pengembangan desain eksperimen awal untuk membangun model tahap kedua dinamakan model Central
Composite Design (CCD).
Penentuan kondisi operasi optimum hidrolisis pada tahap kedua diperlukan rancangan Central Composite Design (CCD) dalam pengumpulan data percobaan. CCD merupakan rancangan faktorial 2k yang diperlukan melalui penambahan
titik-titik pengamatan pusat agar memungkinkan pendugaan koefisien parameter permukaan tahap kedua. Umumnya, CCD terdiri dari faktorial 2k, 2k aksial dan
center points titik pusat. Terdapat dua parameter dalam CCD yang harus
ditentukan yaitu besar α (nilai aksial) dari pusat rancangan dan nilai titik pusat. Rancangan CCD berotasi dengan α yang dipilih. Nilai α untuk berotasi tergantung
pada nilai dari titik dalam rancangan faktorial. Nilai α = akan menghasilkan
rancangan CCD rotatable dimana nf merupakan angka dari titik yang digunakan dalam bagian rancangan faktorial (Lubis, 2010).
Hasil visualisasi bentuk dari RSM ini dinyatakan dalam bentuk grafik dalam gambar tiga dimensi dan juga digambarkan konturnya. Plot kontur merupakan suatu garis atau kurva yang mengidentifikasi nilai peubah pada respon yang tetap sehingga plot kontur dapat dipelajari untuk menganalisis permukaan respon (Montgomery, 2001). Metode optimasi menggunakan metode permukaan respon dapat memberikan hasil lebih baik dalam mengetahui hubungan antara variabel bebas dengan variabel respon. Optimasi hasil persen glukosa dari biomassa mikroalga belum banyak dilakukan. Namun, ada peneliti asing
(Vahabisani et al., 2015) yang telah melakukan penelitian optimasi hidrolisis biomassa dengan jenis mikroalga yang berbeda yaitu Chlorella vulgaris. Mereka mengoptimasi proses hidrolisis biomassa Chlorella vulgaris menujukkan hasil terbaik pada konsentrasi asam 1 % menghasilkan 13,89 gr/L. Selain itu, aplikasi penggunaan metode RSM menggunakan CCD dilakukan penelitian oleh Huo et al. (2014) mengenai optimasi pada flokulasi alkali untuk pemanenan Scenedesmus
quadricauda dan Chaetoceros muelleri.
2.5 Metode Fenol-Asam Sulfat
Penentuan gula total didasarkan pada metode Fenol-Asam Sulfat (Dubois et al., 1956). Metode ini memiliki kelebihan dalam pengerjaannya yang memiliki efisiensi yang tinggi dalam penentuan gula total baik gula pereduksi dan gula non pereduksi. Penerapan metode fenol-asam sulfat banyak digunakan untuk menentukan karbohidrat dalam sampel secara langsung yang dinyatakan sebagai persen glukosa (Qalsum et al., 2015). Sebelum melakukan pengujian sampel perlu diketahui kurva standar yang digunakan. Pada prinsipnya, metode ini yaitu gula sederhana, oligosakarida, dan turunannya dihidrolisis menjadi monosakarida oleh asam sulfat pekat dan menghidrasinya sehingga membentuk senyawa furfural yang bereaksi dengan fenol menghasilkan warna jingga kekuningan stabil yang diukur menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 490 nm. Berikut reaksi kimia yang terjadi terdapat pada gambar 3.
Gambar 3. Reaksi Glukosa dengan fenol-asam sulfat (Qalsum et al., 2015) 2.5.1 Spektrofotometer UV-VIS
Spektrofotometri UV-Vis merupakan singkatan dari spektrofotometri sinar ultra violet dan visible (cahaya tampak). Sinar ultraviolet (UV) mempunyai panjang gelombang antara 190-380 nm, dan sinar visible (tampak) mempunyai panjang gelombang 380-780 nm. (Iskandar, 2017). Prinsip kerja spektrofotometer adalah apabila cahaya (monokromatik) jatuh pada suatu medium homogen, sebagian dari sinar yang masuk akan dipantulkan, sebagian diserap, dan sisanya akan diteruskan.
Hasil yang keluar dari cahaya yang diteruskan berupa nilai absorbansi dan berbanding lurus dengan konsentrasi sampel. Pada metode ini ada suatu hukum yang menjadi acuan adalah penentuan suatu zat secara kuantitatif. Hukum tersebut yaitu hukum Lambert-Beer yang menyatakan hubungan berbanding lurus antara absorban dengan konsentrasi larutan analit dan berbanding terbalik dengan transmitan (Iskandar, 2017). Hukum Lambert-Beer dinyatakan sebagai berikut.
A = log lo/lt = ε.b.c
Dimana: A = Absorban (serapan cahaya oleh zat kimia) lo = Intensitas sinar yang datang
lt = Intensitas sinar yang diteruskan ε = Absorptivitas molar (L.mol-1
.cm-1) b = Panjang medium (cm)
c = konsentrasi atom-atom yang menyerang sinar (mg/mL)
Gambar 4. Komponen alat spektrofotometer UV-Vis (Suhartati, 2013) Spektrofotometri sederhana terdiri dari (Suhartati, 2013):
1. Sumber cahaya
2. Monokromator merupakan alat yang berfungsi memecah cahaya polikrimatis menjadi cahaya tunggal (monokromatis) dengan komponen panjang gelombang tertentu.
3. Kuvet merupakan wadah sampel. Pada umumnya spektrofotometri melibatkan larutan, dengan demikian dibutuhkann wadah sampel untuk menempatkan larutan. 4. Detektor yang akan menangkap sinar yang diteruskan oleh larutan. Sinar kemudian
diubah menjadi sinyal listrik oleh amplifier dan dalam rekorder akan ditampilkan dalam bentuk angka-angka pada reader (komputer).
5. Recorder merupakan sistem baca yang memperagakan besarnya isyarat listrik, yang
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2018 hingga bulan Juni 2018. Penelitian ini meliputi proses produksi biomassa, optimasi hidrolisis, analisis kuantitatif dan analisis data. Proses penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bioenergi dan Bioproses (LBB), Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong, Bogor.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Peralatan yang digunakan meliputi pipet ukur (10-1000 µL, 1000 µL, 5000 µL), spektrofotometer UV-VIS Shimadzu Pharmaspec 1700, sentrifuge HITACHI CR 21GIII, magnetic stirrer, oven, timbangan analitik, spatula, peralatan gelas, selang aerasi, hot plate, autoclave TOMY ES-315, tabung sentrifugasi falcon Corning, laminar air flow ESCO Airstream, tabung reaksi, labu ukur, termometer, lemari asam, bulp, dan luxmeter.
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan meliputi isolat mikroalga Choricystis sp. (LBB13-AL045) koleksi Laboratorium Bioenergi dan Bioproses, LIPI-Cibinong yang diisolasi dari Danau Dendam Tak Sudah, Provinsi Bengkulu, biomassa Choricystis sp. (LIPI-LBB13-AL045), komposisi media AF6-Modifikasi (lampiran 1), alkohol 70 %, akuades, asam sulfat (H2SO4), natrium hidroksida (NaOH), larutan glukosa standar, larutan fenol 5 %.
3.3 Prosedur Penelitian
3.3.1 Diagram Alir
Gambar 5. Diagram Alir Penelitian
Choricystis sp.
(LIPI-LBB13-045)
Kultivasi dengan media AF6-Modifikasi dan pengukuran
Optical Density (OD)
Kultur Mikroalga
Biomassa Mikroalga
Screening parameter proses
hidrolisis Penentuan Kondisi Optimum menggunakan CCD Optimasi Hidrolisis Penelusuran rentang optimum Pemanenan
Eksperimen dan analisis kuantitatif
Analisis hasil statistik
3.3.2 Produksi Biomassa
Proses produksi biomassa dilakukan dengan beberapa tahapan seperti penanaman mikroalga Choricystis sp. (LIPI-LBB13-045) dalam media AF6-Modifikasi, kultivasi, dan pemanenan biomassa.
3.3.2.1 Sterilisasi Alat dan Bahan (Noël dan Kawachi, 2005).
Sebelum dilakukan proses penanaman kultur, alat dan bahan disterilisasi. Sterilisasi dilakukan dengan menggunakan autoclave yang dioperasikan pada suhu 121 oC selama 15 menit. Alat dan bahan yang disterilisasi meliputi media AF6-Modifikasi dilarutkan dengan aquades sebanyak 450 mL, aquades dalam botol scott 1000 mL, selang aerasi, dan tutup botol bides. Botol media ditutup dengan alumunium foil agar uap air tidak masuk selama proses sterilisasi. Kemudian botol bides ditutup dan selang aerasi dibungkus dalam plastik dan di tutup rapat.
3.3.2.2 Pembuatan Media AF6-Modifikasi (Praharyawan et al., 2016)
Pembuatan media dilakukan dengan melarutkan senyawa-senyawa media AF6-Modifikasi dalam air (lampiran 1).
3.3.2.3 Penanaman Kultur (Praharyawan et al., 2016)
Isolat mikroalga Choricystis sp. (LIPI-LBB13-045) dari koleksi laboratorium disiapkan untuk memperbanyak stok kultur. Isolat mikroalga ditumbuhkan pada media AF6-Modifikasi (komposisi media lihat lampiran 1). Isolat mikroalga sebanyak 30 mL ditambahkan ke dalam media AF6-Modifikasi (lampiran 2) yang telah disterilisasi. Isolat ditambahkan dengan volume yang
sama pada media lain. Selanjutnya kultur dikultivasi sampai fase stasioner dengan intensitas cahaya secara kontinyu dan konstan.
3.3.2.4 Kultivasi (Praharyawan dan Putri, 2017)
Awal kultivasi dilakukan pengukuran Optical density (OD) menggunakan spektrofotometer UV-VIS dengan panjang gelombang 680 nm. Kultur mikroalga
Choricystis sp. (LIPI-LBB13-045) dikultivasi pada kondisi sama yaitu diberikan
intensitas cahaya lampu sebesar 40.000 lux menggunakan luxmeter dan dilakukan pengukuran OD selama kultivasi berlangsung hingga mencapai fase stasioner.
3.3.2.5 Pemanenan (Grima, 2004)
Pemanenan dilakukan dengan cara sentrifugasi. Proses sentrifugasi dilakukan untuk memisahkan supernatan dengan biomassa. Sentrifugasi dilakukan dengan kecepatan 6000 rpm pada suhu 4 oC selama 5 menit. Supernatan dipisahkan dan diambil biomassa basahnya untuk diekstraksi.
3.3.3 Optimasi Hidrolisis
Optimasi metode hidrolisis ini dilakukan untuk menentukan nilai optimum pada variabel respon yang dipengaruhi oleh variabel proses menggunakan metode permukaan respon. Variabel respon berupa persen glukosa dan variabel proses yang merupakan faktor yang mempengaruhi proses hidrolisis yaitu suhu (x1), waktu (x2), dan konsentrasi pelarut (x3).
3.3.3.1 Penentuan Pelarut
a. Hidrolisis menggunakan NaOH (Chen dan Vaidyanathan, 2013)
Biomassa basah disiapkan dengan massa 0,2 gram, kemudian dicampurkan dalam 5 mL variasi konsentrasi NaOH (30; 40 % w/v) pada variasi suhu (70; 80; 90 oC) dengan waktu 60 menit. Kemudian dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan pada suhu 4 oC dengan kecepatan 6000 rpm selama 10 menit. Supernatan dipisahkan dari endapan, kemudian supernatan digunakan untuk analisis kadar glukosa.
b. Hidrolisis menggunakan H2SO4 (Ho et al., 2013)
Biomassa basah disiapkan dengan massa 0,2 gram dicampurkan dengan 5 mL H2SO4 variasi konsentrasi (1.5; 2.0 % v/v) kemudian dipanaskan pada suhu yang berbeda (45; 55; 65 oC) dengan waktu 60 menit. Kemudian untuk kontrol menggunakan konsentrasi 2.0 %, suhu 121 oC, dan waktu 15 menit. Setelah itu, didinginkan pada suhu ruang, di sentrifugasi pada suhu 4 oC dengan kecepatan 6000 rpm selama 10 menit. Supernatan dipisahkan dari endapan, kemudian supernatan digunakan untuk analisis kadar glukosa.
3.3.3.2 Penelusuran Rentang Optimum (Panggalo, 2012)
Optimasi pada tahap ini dilakukan dengan rancangan desain faktorial dua level (2k) dengan jumlah pengamatan n = 23 + 3 (titik pusat). Level percobaan pada masing-masing variabel bebas dikodekan dengan level terendah (-1), sedangkan level tertinggi (+1). Proses optimasi ini terdapat tiga variabel bebas yaitu x1 = suhu, x2 = waktu, dan x3 = konsentrasi asam. Sebelum proses ini
dilakukan, perlu dilakukan desain eksperimennya menggunakan software Design Expert versi 6.0. dengan model linier.
Tabel 2. Rancangan percobaan tahap penelusuran Rentang Optimum Variabel Bebas
Suhu Waktu Konsentrasi Asam Kode oC Kode menit Kode % (v/v)
-1 85 -1 50 -1 1,8 -1 85 -1 50 +1 2,2 -1 85 +1 70 -1 1,8 -1 85 +1 70 +1 2,2 +1 95 -1 50 -1 1,8 +1 95 -1 50 +1 2,2 +1 95 +1 70 -1 1,8 +1 95 +1 70 +1 2,2 0 90 0 60 0 2,0 0 90 0 60 0 2,0 0 90 0 60 0 2,0
3.3.3.3 Optimasi Kondisi Menggunakan CCD (Ernes et al., 2014)
Eksperimen untuk penentuan kondisi optimum dilakukan pada saat hasil dari proses penelusuran rentang optimum belum sesuai. Eksperimen tahap ini didesain setelah wilayah rentang optimum tahap sebelumnya diketahui dengan hasil respon tertinggi. Model permukaan respon tahap ini digunakan rancangan
Central Composite Design (CCD). Setiap level variabel bebas pada CCD dibuat
kode yaitu titik sudut yaitu (-1) dan (+1), titik pusat (0), dan titik aksial (– α) dan (+ α). Tahap ini dipengaruhi tiga variabel bebas yaitu x1 = suhu, x2 = waktu, dan x3 = konsentrasi asam dengan nilai rotabilitasnya adalah 1.682 yang digunakan juga untuk pengkodean. Dalam penelitian ini CCD dirancang dengan jumlah n = 23 + 6 (titik pusat) + 6 (titik aksial). Berikut perlakuan optimasi dan kode perlakuan dituangkan pada table 3 dan rancangan penelitian dengan metode permukaan
Tabel 3. Perlakuan dan kode perlakuan
Perlakuan Kode Perlakuan
-1,682 -1 0 +1 +1,682
Suhu (x1) 91 92 94 96 98
Waktu (x2) 53,18 60 70 80 86,82
Konsentrasi asam (x3) 1,86 2,0 2,2 2,4 2,54
Tabel 4. Rancangan percobaan menggunakan CCD Variabel Bebas
Suhu Waktu Konsentrasi Asam Kode oC Kode menit Kode % (v/v)
0 94 - α 53,18 0 2,2 -1 92 -1 60 -1 2,0 0 94 0 70 0 2,2 0 94 0 70 - α 1,86 +1 96 +1 80 +1 2,4 -1 92 -1 60 +1 2,4 +α 98 0 70 0 2,2 +1 96 +1 80 -1 2,0 0 94 0 70 0 2,2 0 94 0 70 0 2,2 0 94 + α 86,82 0 2,2 +1 96 -1 60 -1 2,0 0 94 0 70 0 2,2 - α 91 0 70 0 2,2 -1 92 +1 80 -1 2,0 0 94 0 70 + α 2,54 -1 92 +1 80 +1 2,4 0 94 0 70 0 2,2 +1 96 -1 60 +1 2,4 0 94 0 70 0 2,2
3.3.4 Penentuan Kondisi Optimum Menggunakan Metode Permukaan
Respon (Panggalo, 2012)
Persamaan model yang diperoleh disebut dengan permukaan respon dan kurva permukaan respon diperoleh menggunakan metode permukaan respon pada software Design Expert versi 6.0. Kondisi optimum dapat dilihat dari kurva permukaan respon yang dihasilkan. Setelah kondisi optimum diperoleh dari
berdasarkan prediksi model, kemudian dibandingkan dengan kondisi optimum berdasarkan percobaan.
3.3.5 Analisis Kuantitatif Menggunakan Metode Fenol-Asam Sulfat (Dubois et al., 1956).
a. Pembuatan kurva standar glukosa
Larutan glukosa standar 0,5 mL dari masing-masing konsentrasi 0, 10, 20, 30, 40, 50 ppm dimasukkan ke dalam tabung terpisah. Larutan fenol 5 % sebanyak 0.5 mL ditambahkan dan lakukan vortex. Ditambahkan 2,5 mL larutan asam sulfat pekat dengan cepat. Didiamkan selama 10 menit, divortex dan ditempatkan dalam penangas air selama 15 menit. kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 490 nm. Dibuat plot kurva standar dan tentukan persamaan regresi linier (Chapline, 1986). Nilai persamaan dapat ditulis sebagai berikut:
y = bx + a…………(1) Keterangan: y = nilai absorbansi
a dan b = nilai persamaan regresi larutan standar x = kadar gula yang dicari
b. Analisis sampel
Larutan sampel 0.5 mL dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 0.5 mL larutan fenol 5 %, divortex. Ditambahkan 2.5 mL larutan asam sulfat pekat, didiamkan selama 10 menit, divortex dan ditempatkan dalam penangas air 15 menit kemudian nilai pengukuran yang diperoleh diplot pada kurva standar. Perhitungan menggunakan metode ini adalah konsentrasi gula dalam sampel
ditentukan dengan konsentrasi gula standar dengan absorbansi dan memperhitungkan pengenceran yang dilakukan.
3.3.6 Analisis Data Statistik
Rancangan pada tahap penelusuran rentang optimum dan tahap penentuan kondisi optimum menggunakan CCD dimasukkan ke dalam software Design Expert versi 6.0 untuk dilakukan analisis data statistik. Parameter yang diukur adalah kadar glukosa. Analisis data hasil kondisi optimum eksperimen dibandingkan dengan hasil kondisi optimum prediksi model permukaan respon. Uji analysis of variance (ANOVA) dilakukan terhadap uji regresi dan uji lack of
fit, untuk menentukan apakah percobaan pada tahap I dan tahap II sudah sesuai
atau terdapat kelengkungan. Penentuan hasil analisis dilakukan dengan melihat harga F dan signifikansinya. Hasil analisis diinterpretasikan sebagai berikut: 1. Hipotesis disusun:
H0: Adanya pengaruh konsentrasi pelarut, suhu, dan waktu hidrolisis terhadap hasil optimum kadar glukosa.
H1: Tidak adanya pengaruh konsentrasi pelarut, suhu, dan waktu hidrolisis terhadap hasil optimum kadar glukosa.
2. Signifikansi perlakuan terhadap efisiensi konsentrasi pelarut, suhu dan waktu ditentukan dengan P-value < α = 0.05.
Kemudian untuk uji lack of fit dilakukan dengan menguji hipotesis: 1. Hipotesis disusun:
H1 = Ada lack of fit
2. Signifikansi terhadap daerah penolakannya adalah p-value < α = 0,05
Untuk menguji kesesuaian model pada tahap penelusuran rentang optimum, ketiga uji yang disebutkan di atas harus dipenuhi, sehingga tahap I dikatakan telah sesuai. Apabila salah satu dari uji tersebut tidak terpenuhi maka tahap I dinyatakan belum sesuai dan perlu dilanjutkan ke tahap II yaitu optimasi menggunakan model CCD. Kemudian untuk uji ANOVA pada tahap II ini tidak hanya ditinjau dari regresi individu saja tetapi juga faktor kuadrat dan interaksi dari faktor yang harus dipertimbangkan untuk mengetahui faktor yang memiliki pengaruh nyata terhadap respon.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Choricystis sp. (LIPI-LBB13-AL045) merupakan salah satu koleksi dari
Laboratorium Bioenergi dan Bioproses (LBB), Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Cibinong yang diisolasi dari Provinsi Bengkulu. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kondisi optimum proses hidrolisis yang dipengaruhi oleh konsentrasi pelarut, suhu, dan waktu hidrolisis pada biomassa mikroalga Choricystis sp. sehingga dapat memperoleh persen glukosa tertinggi.
4.1 Kultivasi Mikroalga Choricystis sp. (LIPI-LBB13-AL045)
Kultivasi diamati berdasarkan perubahan kepadatan sel atau Optical Density (OD) yang ditumbuhkan dalam media AF6-Modifikasi. Nilai Optical Density (OD) diukur setiap hari mulai hari ke-0 hingga mencapai fase stasioner. Berikut kurva pertumbuhan mikroalga Choricystis sp. (LIPI-LBB13-AL045).
Gambar 6 menunjukkan bahwa pada kurva pertumbuhan mikroalga
Choricystis sp. (LIPI-LBB13-AL045) mengalami beberapa fase pertumbuhan. Fase
lag atau adaptasi terjadi mulai hari ke-0 hingga hari ke-2 dengan nilai OD berada diantara 0.121-0.588 nm (Lampiran 2). Fase tersebut terjadi karena pada media baru yang ditambahkan nutrien dapat mempengaruhi sistem metabolik mikroalga sehingga terjadi penyesuaian dalam kultur sebelum terjadi proses pertumbuhan. Fase adaptasi terjadi karena sel-sel yang membelah masih sedikit sehingga kepadatan sel tidak banyak mengalami peningkatan. Menurut Mardigan et al. (2003) bahwa mikroalga pada fase lag akan mengalami proses adaptasi pada lingkungan kultur yang baru. Apabila mikroalga tersebut tidak mampu untuk beradaptasi pada lingkungan yang baru maka akan memperlambat pertumbuhan bahkan akan cepat mati.
Fase berikutnya berdasarkan Gambar 6 adalah fase log. Fase ini terjadi pada hari ke-3 hingga hari ke-4 dengan nilai OD berada diantara 0.875-0.978 nm. Pada fase ini ditandai dengan kepadatan sel atau nilai OD yang semakin meningkat. Selama fase ini sel membelah dengan cepat, sel-sel dalam keadaan stabil dan jumlah sel mikroalga akan bertambah. Pembelahan sel terjadi pada fase ini dikarenakan nutrien dan lingkungan kultivasi pertumbuhan mikroalga masih mendukung. Menurut Mata et al. (2010) bahwa fase eksponensial pada umumnya mikroalga akan mengalami peningkatan laju pertumbuhan serta adanya peningkatan kepadatan sel. Bahkan, Musdalifah et al. (2015) pada mikroalga Botryococcus braunii menemukan fase eksponensial pada hari ke-2 dan mengalami pembelahan sel secara cepat serta jumlah sel meningkat.
Fase berikutnya berdasarkan Gambar 6 adalah fase stasioner. Hari ke-5 hingga hari ke-10 kultur mencapai pada fase stasioner dengan nilai OD diantara 1.404-1.169. Nilai OD dari hari ke-5 hingga hari ke-10 mengalami penurunan, hal ini dikarenakan ketersediaan nutrisi yang terbatas pada media menjadi penyebab pertumbuhan mikroalga memasuki fase stasioner dimana jumlah sel yang tumbuh berkembang sama dengan sel yang mati sehingga kepadatannya tetap. Fase stasioner dipilih sebagai waktu panen karena pada fase ini kultur mengakumulasi karbohidrat ketika sel-sel mikroalga dalam kondisi stress atau menurunnya nutrisi. Kondisi ini telah digambarkan oleh Widianingsih et al. (2008) bahwa saat kultur pada fase stasioner, secara signifikan komposisi mikroalga akan berubah karena keterbatasan kandungan nitrat pada media kultur yang berakibat karbohidrat menjadi meningkat.
Pertumbuhan mikroalga Choricystis sp. (LIPI-LBB13-AL045) berlangsung cepat, hal ini dikarenakan pertumbuhan mikroalga dipengaruhi juga oleh beberapa faktor eksternal seperti media, intensitas cahaya dan aerasi. Sebelum proses penanaman pada media dilakukan sterilisasi terlebih dahulu pada media agar saat proses kultivasi dapat menghasilkan pertumbuhan kultur yang baik. Media AF6-Modifikasi digunakan sebagai media pertumbuhan mikroalga Choricystis sp. (LIPI-LBB13-AL045). Modifikasi media yang dimaksud adalah perbedaan penggunaan senyawa dengan media AF6 standar yaitu adanya Natrium bikarbonat (NaHCO3). Penambahan NaHCO3 mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan produktivitas biomassa (Praharyawan et al., 2016). Hal ini dikarenakan keberadaan NaHCO3 merupakan sumber karbon yang berperan sebagai bahan baku dalam proses fotosintesis. Berdasarkan kurva pada Gambar 6 mulai hari ke-0 hingga fase stasioner
terjadi perubahan warna yang berlangsung cepat dari hijau muda menjadi hijau tua, hal tersebut menandakan adanya peningkatan jumlah sel.
Fenomena ini didukung oleh Widayat dan Hadiyanto (2015) bahwa penambahan NaHCO3 pada kultivasi Nannochloropsis sp. mengalami pertumbuhan yang semakin baik yang diindikasikan dengan peningkatan Optical Density (OD) sehingga biomassanya juga meningkat. Selain itu, didukung oleh penelitian Astuti (2010) yang menyatakan bahwa penggunaan NaHCO3 dalam media kultivasi mikroalga dapat menunjukkan adanya peningkatan nilai Optical Density (OD). Hal ini menunjukkan bahwa mikroalga Choricystis sp. (LIPI-LBB13-AL045) tumbuh secara spesifik dalam media AF6-Modifikasi.
Intensitas cahaya dan aerasi juga merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi proses kultivasi (Lavens dan Sorgeloos, 1996; Pangentasari, 2014). Intensitas cahaya dan aerasi dapat mempengaruhi berbagai proses dalam sel dan efisiensi fotosintesis. Penelitian dilakukan pada skala laboratorium yang memanfaatkan cahaya lampu dengan daya sebesar 40000 lux, intensitas cahaya tersebut sesuai dengan kebutuhan mikroalga Choricystis sp. (LIPI-LBB13-AL045) untuk proses fotosintesis sehingga pertumbuhannya semakin cepat. Bahkan, menurut Rakhmawati (2017) pada mikroalga Choricystis sp. (LIPI-LBB13-AL045) mampu bertahan sampai pada intensitas cahaya 50000 lux. Hal tersebut menunjukkan bahwa
Choricystis sp. (LIPI-LBB13-AL045) memiliki kemampuan untuk beradaptasi dalam
intensitas cahaya yang tinggi sehingga tidak mengalami fotoinhibisi.
memacu sintesis karbohidrat dan bertujuan agar pengadukan tetap berlangsung sehingga tidak terjadi pengendapan sel pada kultur (Kawaroe, et al. 2010). Aerasi menjadikan cahaya dan nutrien tersebar dengan baik sehingga mikroalga mendapatkan cahaya dan nutrien yang sama. Hal ini sesuai dengan pendapat Abuzar et al. (2012) bahwa fungsi aerasi dapat meningkatkan oksigen terlarut dalam air dan membantu proses pengadukan.
Pemanenan mikroalga Choricystis sp. (LIPI-LBB13-AL045) dilakukan pada fase stasioner hari ke-10 ketika warna kultur sudah berubah dari warna hijau muda menjadi warna hijau tua (Lampiran 15). Sentrifugasi dilakukan sebagai proses pemanenan biomassa Choricystis sp. (LIPI-LBB13-AL045). Sentrifugasi yang dilakukan dengan gaya sentrifugal membuat mikroalga menjadi mudah terpisah antara padatan dengan cairan (Ariyanti dan Noer, 2015). Kecepatan dan waktu dalam proses sentrifugasi yang digunakan untuk sampel Choricystis sp. (LIPI-LBB13-AL045) merupakan metode optimal yang dapat menghasilkan biomassa dengan cepat dan terpisah dari cairan media. Hal tersebut didukung berdasarkan pernyataan Chen et al. (2011) bahwa proses sentrifugasi menggunakan kecepatan tinggi secara efektif dapat memisahkan biomassa dari cairan medianya.
4.2 Optimasi Hidrolisis
Optimasi hidrolisis dilakukan dengan variabel konsentrasi pelarut, suhu, dan waktu. Pelarut yang digunakan dalam proses hidrolisis berfungsi sebagai katalis yang dapat mempercepat proses hidrolisis. Berikut hasil hidrolisis menggunakan H2SO4 dan NaOH disajikan dalam tabel 5.
Tabel 5. Hasil hidrolisis dari dua pelarut yang berbeda
Pelarut Variasi Perlakuan Kadar Glukosa (ppm) Konsentrasi (%) Suhu (oC) Simplo Duplo
H2SO4 1,5 45 113,27 126,73 55 243,96 229,70 65 550,89 546,53 2,0 45 255,84 261,39 55 251,88 229,70 65 485,54 530,69 NaOH 30 70 4,97 5,35 80 1,98 1,49 90 2,89 2,67 40 70 6,65 6,93 80 5,56 3,96 90 5,37 3,66
Pada tabel 5 diperoleh bahwa proses hidrolisis menggunakan pelarut H2SO4 1,5 % dan 2,0 % pada suhu 65 oC dengan waktu 60 menit menghasilkan kadar glukosa tertinggi, hal ini glukosa yang dihasilkan meningkat sejalan dengan kenaikan suhu. Akan tetapi, penggunaan pelarut NaOH menghasilkan kadar glukosa yang lebih rendah. Rendahnya kadar glukosa yang dihasilkan saat menggunakan NaOH dikarenakan NaOH lebih efektif digunakan untuk mendegradasi lignin. Selain itu, karbohidrat seperti selulosa tidak larut dalam alkali atau basa. Mardina et al. (2014) menyatakan bahwa penggunaan basa untuk proses delignifikasi menyebabkan kerusakan terhadap struktur lignin dan melepaskan senyawa karbohidrat.
Mekanisme hidrolisis karbohidrat oleh asam (Gambar 7) telah dinyatakan oleh Balat et al. (2008) bahwa ion H+ yang berasal dari asam berikatan dengan air membentuk H3O+ akan memecah ikatan glikosida yang berada pada karbohidrat kompleks. Akibatnya akan terbentuk menjadi monomer-monomer glukosa.
Gambar 7. Mekanisme reaksi hidrolisis karbohidrat dengan asam (Fengel dan Wegener, 1995; Harianja, et al., 2015)
Mekanisme tersebut akan memperlihatkan bahwa proton dari asam akan berinteraksi dengan ikatan glikosida pada dua unit glukosa sehingga akan membentuk asam konjugasi. Keberadaan asam konjugasi menyebabkan konformasi tidak stabil sehingga terjadi pemutusan ikatan C-O dan membebaskan asam konjugasi pada konformasi yang tidak stabil. Keberadaan air pada sistem akan menyebabkan OH- dari air akan berikatan dengan ion karbonium sehingga melepaskan glukosa dari proton. Terbentuknya proton akan berinteraksi kembali dengan ikatan glikosida oksigen pada unit glukosa yang lain. Secara kontinyu proses tersebut terjadi hingga molekul polisakarida terdegradasi menjadi molekul glukosa (Xiang, 2003; Erlangga et al., 2015). Dengan demikian, membuktikan bahwa pelarut H2SO4 efektif digunakan dalam proses hidrolisis biomassa mikroalga ini karena dinding sel dari Choricystis sp. (LIPI-LBB13-AL045) tidak rigit dan mudah untuk dipecahkan menjadi glukosa.
Penentuan kadar glukosa diuji menggunakan metode fenol-asam sulfat. Hasil dari proses hidrolisis telah terjadi pemecahan menjadi monomer-monomer berupa glukosa larut dalam H2SO4, hal ini menjadi alasan larutan glukosa dijadikan sebagai standar dalam menentukan konsentrasi gula total pada sampel. Perubahan warna terjadi pada sampel dan larutan standar glukosa dari tak bewarna menjadi warna jingga kekuningan. Hal ini sesuai penelitian Umi Qalshum et al. (2015) dimana perubahan warna tersebut terjadi karena asam sulfat pekat yang direaksikan dengan fenol dan glukosa menghasilkan panas yang dapat menyebabkan glukosa terhidrasi menjadi hidroksimetil furfural. Senyawa yang direaksikan dengan fenol maka menghasilkan warna jingga kekuningan.
Penambahan fenol dan asam sulfat pekat dilakukan pada sampel maupun larutan standar glukosa dan didiamkan 10 menit agar pereaksi tercampur secara merata dan memberikan warna kompleks yang optimal pada hidroksimetil furfural. Larutan standar glukosa yang digunakan 0, 10, 20, 30, 40, dan 50 ppm (lampiran 5). Pengukuran serapan dilakukan pada panjang gelombang 490 nm karena panjang gelombang tersebut merupakan panjang gelombang maksimum dari hidroksimetil furfural yang dapat menyerap warna hidroksimetil furfural secara optimal.
Berdasarkan kurva (lampiran 11) dapat diketahui bahwa persamaan regresi linear yang diperoleh adalah y = 0,1176x – 0,0386 dengan nilai R2 = 0,9992. Kurva tersebut menunjukkan bahwa nilai koefisien determinasi (R2) mendekati 1 yang artinya telah memenuhi persyaratan secara statistik sehingga dapat dijadikan acuan dalam menentukan kadar glukosa. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa pada
tinggi, hal ini dikarenakan biomassa yang digunakan adalah biomassa yang dipanen pada fase stasioner. Biomassa yang dipanen pada fase stasioner dapat mengakumulasi kandungan karbohidrat pada mikroalga. Pernyataan tersebut diperkuat menurut Brown et al. (1997) bahwa kandungan karbohidrat akan lebih tinggi dua kali lipat dibandingkan kandungan protein pada saat kultur berada pada fase stasioner, hal ini dikarenakan komposisi mikroalga akan berubah secara signifikan karena terbatasnya nitrat pada kultur yang menyebabkan karbohidrat meningkat.
4.3 Penelusuran Rentang Optimum
Sebelum dilakukan percobaan untuk tahap penelusuran rentang optimum dengan titik-titik variasi tersebut telah dilakukan hidrolisis terlebih dahulu dengan pelarut H2SO4 untuk menjadi acuan.
Tabel 6. Hidrolisis menggunakan asam sulfat
Variabel Bebas Kadar Glukosa (ppm) Suhu (oC) Waktu (menit) Konsentrasi (% v/v) Simplo Duplo 121 15 2,0 740,13 741,06
Tabel 7. Hasil percobaan penelusuran rentang optimum
Variabel Bebas Kadar Glukosa (ppm) Suhu (oC) Waktu (menit) Konsentrasi (% v/v) Simplo Duplo 85 50 1,8 251,49 259,41 85 50 2,2 467,33 485,15 85 70 1,8 178,22 178,22 85 70 2,2 457,43 461,39 95 50 1,8 148,51 182,18 95 50 2,2 520,79 506,93 95 70 1,8 580,20 576,24 95 70 2,2 1205,94 1194,06 90 60 2,0 1299,01 1297,03 90 60 2,0 1239,60 1277,23 90 60 2,0 1261,39 1245,54
Tabel 7 menunjukkan bahwa hasil glukosa optimum diperoleh seiring dengan kenaikan suhu dengan waktu yang lama dan konsentrasi yang semakin tinggi. Kondisi tersebut telah digambarkan oleh Anggraeni et al. (2013) bahwa pengaruh semakin tinggi suhu hidrolisis dengan lama waktu hidrolisis dan massa katalis menghasilkan kadar glukosa yang semakin tinggi.
Percobaan variasi pada proses hidrolisis yang dilakukan pada titik-titik tersebut (Tabel 7) dikarenakan kondisi optimum hidrolisis pada konsentrasi H2SO4 2,0 % v/v, suhu 121 oC selama 15 menit dapat menghasilkan kadar glukosa yang cukup tinggi yaitu sebesar 740,59 ppm (Tabel 6). Hal ini juga diperkuat oleh penelitian Shih-Hsin Ho et al. (2013) bahwa hidrolisis selulosa pada Chlorella v. dengan H2SO4 2,0 % pada suhu 121 oC selama 20 menit memberikan kadar glukosa hampir mendekati 100 %.
4.3.1 Analisis Statistik
Hasil analisis statistik ANOVA bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari masing-masing variabel bebas terhadap respon glukosa. Hasil analisis menggunakan ANOVA dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Hasil uji ANOVA untuk penelusuran rentang optimum
Uji signifikansi atau uji kesesuaian model menggunakan uji ANOVA. Parameter yang digunakan untuk memeriksa uji signifikansi yaitu uji regresi yang menyatakan hubungan atau pengaruh antara variabel bebas dengan respondan uji lack
of fit (ketidaksesuaian model). Pada uji ANOVA (Tabel 8) menunjukkan bahwa
semua variabel bebas berpengaruh terhadap respon dimana p-value yang diperoleh lebih kecil dari angka signifikansi yang ditetapkan yaitu 0,05 sesuai dengan pernyataan yang ada di metode penelitian. Hal ini berarti dapat disimpulkan bahwa H0 diterima. Merujuk pada tabel 8, mengenai ketidaksesuaian model (Lack of Fit) menunjukkan bahwa Lack of Fit tidak signifikan, itu artinya terdapat kesesuaian model karena nilai lebih besar dari angka signifikansi yaitu 0,1548, sehingga dapat disimpulkan bahwa H0 diterima yang artinya model dibuat telah sesuai dengan data.
Hasil pada tahap penelusuran ini menghasilkan curvature yang belum sampai pada titik optimum, sehingga perlu dinaikkan lagi wilayah atau titik percobaannya.
Sumber Jumlah Kuadrat Total Derajat Bebas Mean Square Nilai F Nilai p Prob > F Keterangan Model 7,88 6 1,31 62,30 0,0031 Signifikan x1 1,51 1 1,51 71,88 0,0034 x2 1,34 1 1,34 63,36 0,0041 x3 2,79 1 2,79 132,20 0,0014 x1.x2 1,80 1 1,80 85,40 0,0027 x1.x3 31622,36 1 31622,36 15,00 0,0305 x2.x3 12547,79 1 12547,79 5,95 0,0925 Curvature 1,363 1 1,363 646,70 0,0001 Signifikan Sisa 6323,57 3 2107,86
Lack of Fit 4517,21 1 4517,21 500 0,1548 Tidak
signifikan
Pure Error 1806,36 2 903,18
Hal ini mengindikasikan bahwa wilayah atau titik eksperimen harus lebih tinggi dengan melakukan eksperimen tahap optimasi menggunakan rancangan Central
Composite Design (CCD). Hal ini optimasi dilanjutkan pada pendugaan eksperimen
tahap selanjutnya.
4.4 Optimasi Menggunakan Response Surface Methodology (RSM) model
Central Composite Design (CCD)
Berikut hasil percobaan yang dilakukan menggunakan metode permukaan respon dengan model Central Composite Design (CCD) ditampilkan pada tabel 9. Tabel 9. Hasil percobaan kondisi optimum menggunakan CCD
Keterangan: A: Aktual, K: Kode
Variabel Bebas
Kadar Glukosa (ppm) Suhu (oC), x1 Waktu (menit), x2 Konsentrasi (%), x3
A K A K A K Simplo Duplo 94 0 53,18 - α 2,2 0 1217,82 1302,18 92 -1 60 -1 2,0 -1 613,19 595,25 94 0 70 0 2,2 0 2192,08 2104,16 94 0 70 0 1,86 - α 213,86 180,59 96 +1 80 +1 2,4 +1 570,29 1040,79 92 -1 60 -1 2,4 +1 2007,92 1908,12 98 +α 70 0 2,2 0 1063,37 1046,73 96 +1 80 +1 2,0 -1 1449,50 1622,97 94 0 70 0 2,2 0 2233,66 2151,68 94 0 70 0 2,2 0 2376,24 2382,17 94 0 86,82 + α 2,2 0 1060,66 1039,60 96 +1 60 -1 2,0 -1 243,56 233,66 94 0 70 0 2,2 0 2358,42 2376,24 91 - α 70 0 2,2 0 1479,21 1491,09 92 -1 80 +1 2,0 -1 736,63 671,29 94 0 70 0 2,54 + α 861,39 823,74 92 -1 80 +1 2,4 +1 691,09 2091,09 94 0 70 0 2,2 0 2334,65 2310,89 96 +1 60 -1 2,4 +1 641,58 665,35 94 0 70 0 2,2 0 2299,01 2314,83