• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Gunung Merapi merupakan gunung teraktif di Indonesia. Gunung yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Gunung Merapi merupakan gunung teraktif di Indonesia. Gunung yang"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Gunung Merapi merupakan gunung teraktif di Indonesia. Gunung yang menjulang setinggi 2978 m di jantung pulau Jawa ini dalam sejarah letusannya telah menelan banyak korban. Letak Gunung Merapi yang berada pada 4 wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Sleman, Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali, dan Kabupaten Klaten memberikan dampak letusan yang luar biasa bagi daerah di sekitarnya

.

Gambar 1.1. Letak Gunung Merapi

Sumber: Materi Paparan BPPTKG Yogyakarta pada Rakor Bakohumas di Kabupaten Magelang, 2010.

(2)

Berdasarkan data dari BPBD Kabupaten Magelang tahun 2014, sejak abad ke-20 korban meninggal akibat letusan Merapi dan banjir lahar dingin tercatat sekitar 1987 jiwa, dengan korban terbanyak pada letusan tahun 1930 sekitar 1369 jiwa. Letusan dahsyat abad ke-21 terjadi tahun 2010. Letusan tersebut menghanguskan Desa Kinahrejo Kecamatan Cangkringan Yogyakarta dengan korban meninggal dunia tercatat 388 jiwa yang tersebar di 4 kabupaten yaitu Kabupaten Sleman, Klaten, Boyolali, dan Magelang.

Tabel 1.1. Jumlah Korban Letusan Gunung Merapi dan Banjir Lahar Dingin dalam Kurun Waktu 100 Tahun Terakhir

No Tahun Awan panas Lahar Dingin

1 1902-1904 16 -

2 1920 - 35

3 1930-1931 1369 -

4 1954 64 -

5 1961 6 -

6 1969 1 3

7 1974 - 9

8 1976 - 29

9 1994 65 -

10 2006 2 -

11 2010 386 2

Jumlah 1909 78

Sumber: Materi paparan BPBD Kabupaten Magelang, 2014

Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, selama 100 tahun terakhir, letusan Gunung Merapi rata-rata terjadi 2-5 tahun sekali. Ancaman utama letusan Gunung Merapi adalah awan panas atau aliran piroklatik.

Sedangkan ancaman sekunder berupa banjir lahar dingin di sepanjang aliran sungai yang berhulu di Gunung Merapi. Jangkauan awan panas dalam letusan normal biasanya kurang dari 10 km, tetapi pada letusan besar bisa mencapai lebih

(3)

dari 20 km. Kondisi Gunung Merapi pasca letusan tahun 2010 terdapat endapan material sebesar > 130 juta m3 yang berpotensi menimbulkan bencana lahar dingin yang akan mengancam setiap kali musim hujan. Morfologi kawah di puncak Gunung Merapi juga berubah yang berimplikasi pada arah ancaman erupsi yang akan datang. Terbentuknya kawah yang membuka ke arah tenggara/ selatan membawa implikasi pada ancaman erupsi ke depan akan lebih dominan ke arah selatan atau sekitar DIY dan Kabupaten Klaten.

Gambar 1.2. Kondisi Morfologi Puncak Gunung Merapi Sebelum dan Sesudah Erupsi 2010

Sumber: Materi paparan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi Kementerian ESDM, 2014.

Meskipun potensi letusan ke depan lebih mengarah ke arah DIY dan Kabupaten Klaten. Akan tetapi selama status Gunung Merapi masih sebagai gunung api aktif, maka pemerintah daerah di wilayah Gunung Merapi harus selalu siaga dengan menetapkan prosedur manajemen bencana Gunung Merapi.

Berbagai upaya dilakukan guna mengurangi risiko bencana letusan Gunung Merapi. Salah satunya di Kabupaten Magelang, Pemerintah Kabupaten Magelang melalui BPBD menerapkan program sister village sebagai upaya pengurangan risiko bencana. Program sister village merupakan upaya pengurangan risiko

(4)

bencana dengan menempatkan pengungsi di desa bersaudara yang letaknya di luar Kawasan Rawan Bencana (KRB) III Gunung Merapi. Sehingga apabila bencana terjadi, masyarakat di KRB III Gunung Merapi tidak panik dan bingung karena sudah punya arah dan tujuan yang jelas kemana mereka harus mengungsi.

Penempatan pengungsi di desa bersaudara (desa penyangga) bervariasi, ada yang ditempatkan di gedung fasilitas umum, rumah penduduk atau perpaduan antara gedung fasilitas umum dengan rumah penduduk, semua tergantung pada kondisi desa yang ditempati pengungsi.

Program sister village ini menyatukan dua pasang desa atau lebih dalam suatu hubungan yang dilembagakan. Di dalam mempersiapkan penerapan program ini, desa penyangga turut bekerja keras. Hal ini dikarenakan fasilitas dan sarana prasarana pendukung pengungsian berada di desa penyangga, sehingga mereka juga turut berperan dalam penyediaannya. Pemenuhan kebutuhan dasar pengungsian seperti tempat penampungan, tempat logistik, dapur umum, dan tempat MCK (mandi, cuci, kakus) harus dipersiapkan dengan baik. Faktanya desa penyangga yang bukan merupakan desa terdampak letusan Gunung Merapi tampak antusias dalam mempersiapkan pemenuhan kebutuhan dasar pengungsian tersebut. Antara desa penyangga dengan desa KRB III Gunung Merapi juga terlihat kompak dalam mempersiapkan penerapan program sister village ini.

Melihat fenomena seperti ini, penulis tertarik untuk menggali lebih dalam mengenai modal sosial di dalam sister village. Bagaimana peranan modal sosial di dalam sister village, sehingga pasangan desa bersaudara mampu menjalin hubungan dengan baik. Modal sosial merupakan bagian penting dalam

(5)

peningkatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana. Seperti yang dikatakan Mathbor (1997, 1999, 2004: Mathbor et. al. 1993) dalam Mathbor (2007: 358) bahwa peningkatan kapasitas masyarakat melalui pemanfaatan modal sosial yang efektif sangat penting dalam proyek penanggulangan bencana.

Penelitian ini fokus pada dimensi dan peranan modal sosial di dalam sister village. Pemilihan topik ini juga untuk mengisi kekosongan gap dalam kajian

manajemen bencana dan pengungsi yang didapat dari hasil kajian pustaka. Penulis sebelumnya telah melakukan tinjauan pustaka pada jurnal-jurnal internasional dan tesis yang terkait dengan manajemen bencana. Topik yang dibahas dalam jurnal manajemen bencana meliputi upaya, tantangan, dan persoalan yang dihadapi dalam penanganan bencana serta konsep penanganan bencana berbasis kemitraan dan masyarakat (Sharma, 2003; Chen dkk, 2006; Khan & Rahman, 2006; Hardoy dkk, 2011; Sabur, 2012); Pemanfaatan dan mobilisasi modal sosial dalam mitigasi bencana (sumber: Mathbor, 2007; LaLone, 2012); Strategi masyarakat bekerjasama dengan pemerintah dan LSM dalam tata kelola informasi risiko bencana (sumber: Ikeda dan nagasaka, 2011); Analisis sistem manajemen bencana dan perbandingan sistem penanggulangan bencana (sumber: Lixin dkk, 2011);

Pengalaman pengurangan risiko bencana dan pengintegrasian ke dalam manajemen pembangunan (sumber: Hardoy, 2011); serta sejarah dan peran organisasi masyarakat dalam pengurangan risiko bencana (sumber: Ishiwatari, 2012).

Selain jurnal internasional, tesis tentang manajemen bencana juga telah banyak ditulis, di antaranya tentang model ketahanan masyarakat dalam bencana

(6)

(Ikhwanuddin, 2014) dan penanganan bencana berbasis pengembangan institusi dan peran serta masyarakat (Balebu, 2010). Selain jurnal dan tesis tentang manajemen bencana, penulis melakukan tinjauan pustaka pada tesis tentang pengungsi. Di antaranya adalah strategi dan pola-pola adaptasi pengungsi terhadap hunian baru dan barak pengungsian (sumber: Nyak Pha, 2007; Widayani, 2014).

Dari tinjauan pustaka jurnal dan tesis manajemen bencana serta tesis pengungsi di atas, diketahui bahwa masih banyak kajian tentang manajemen bencana yang belum dibahas. Kajian tentang kelemahan dan kelebihan penerapan manajemen bencana yang diterapkan; faktor-faktor pendukung munculnya modal sosial dan unsur-unsur modal sosial; sejarah atau awal mula munculnya program tata kelola informasi risiko bencana; langkah-langkah yang diambil dalam mengatasi kendala yang dihadapi dalam penanggulangan bencana; persepsi masyarakat terhadap manajemen bencana; dan evaluasi manajemen bencana yang telah dilakukan. Kajian tentang upaya-upaya yang dilakukan masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana juga belum banyak dikaji. Tesis tentang pengungsi yang telah dikemukakan belum mengkaji tentang kendala yang dihadapi masyarakat dalam beradaptasi dengan hunian baru atau barak pengungsian.

Selain terinspirasi dari tinjauan pustaka, penelitian sister village ini penting dilakukan karena pengurangan risiko bencana telah menjadi agenda besar negara-negara di dunia dengan menggelar berbagai konferensi. Aksi Beijing, Deklarasi Hyogo, dan Kerangka Kerja Aksi Hyogo merupakan sebagian kecil yang terbentuk. Salah satu poin penting Konferensi Sedunia tentang Pengurangan

(7)

Risiko Bencana yang diselenggarakan tanggal 18-22 Januari 2005 di Kobe, Hyogo, adalah pentingnya pengurangan risiko bencana yang diperkuat dengan suatu pendekatan yang lebih proaktif dalam memberikan informasi, memotivasi, dan melibatkan penduduk dalam segala aspek pengurangan risiko bencana dalam komunitas lokal mereka sendiri (Laporan Akhir Konferensi Sedunia tentang Pengurangan Risiko Bencana dan Laporan Akhir Konferensi Se-Asia tentang Pengurangan Risiko Bencana, 2005).

Peran partisipasi komunitas dan kemampuan penduduk untuk melakukan penyesuaian secara umum juga diakui sebagai elemen-elemen kunci dalam menjelaskan risiko bencana (Affeltranger dkk, 2007: 72). Llyod Bailey mengatakan “Ketahanan masyarakat lokal merupakan hal yang terpenting, ketahanan ini ditentukan pemahaman dan pendidikan mengenai risiko bencana, termasuk apa yang perlu dilakukan disaat kritis, pengembangan sistem jaringan komunitas lokal, pengurangan risiko bencana melalui pengaturan lingkungan dan peningkatan kapasitas menghadapi bencana”. Llyod menambahkan bahwa pengalaman bencana di masa lalu adalah aset, sebagai guru terbaik dalam mempersiapkan manajemen bencana dan membangun komunitas yang mempunyai kekuatan bertahan yang lebih baik (kjri-perth.org.au).

Kabupaten Magelang dipilih sebagai lokasi penelitian dengan dasar bahwa Kabupaten Magelang menjadi satu-satunya kabupaten di lingkar Merapi yang secara resmi menerapkan sister village. Selain itu, Kabupaten Magelang sudah membentuk sister village di 19 desa wilayah KRB III. Pemilihan studi kasus di Desa Ngargomulyo Kecamatan Dukun dan Desa Tamanagung

(8)

Kecamatan Muntilan dengan alasan bahwa kedua desa tersebut menjadi pilot project (proyek percontohan) penerapan sister village. Pasangan Desa Ngargomulyo dengan Desa Tamanagung menjadi pilot project, karena kedua desa tersebut paling antusias dalam merespon program sister village dan merupakan pasangan desa yang pertama kali membentuk sister village.

Sampai dengan tahun 2014, dari 19 desa KRB III Gunung Merapi, baru 4 pasang desa yang telah selesai dalam melaksanakan tahapan pembentukan sister village. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan anggaran yang dimiliki

Pemerintah Daerah Kabupaten Magelang dan kurangnya kesiapan pemerintah desa bersaudara. Dalam melaksanakan 4 tahapan penerapan sister village tersebut, diperlukan dukungan anggaran, sumber daya, dan kesiapan seluruh pemerintah desa bersaudara.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana peranan dimensi modal sosial di dalam program sister village sebagai upaya pengurangan risiko bencana letusan Gunung Merapi serta faktor apa yang mendukung dimensi modal sosial tersebut.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan dimensi modal sosial di dalam program sister village dan faktor pendukung modal sosial tersebut.

(9)

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi dan pemikiran bagi semua pihak yang terkait dengan pengurangan risiko bencana.

Selain itu juga bisa memberikan masukan bagi pemerintah daerah lain dalam penanganan pengungsi.

1.5. Keaslian Penelitian

Sebelum memilih penelitian peranan modal sosial dalam membangun sister village ini, penulis telah melakukan tinjauan pustaka. Tinjauan pustaka

memiliki beberapa tujuan utama antara lain yaitu: menginformasikan kepada pembaca hasil-hasil penelitian lain yang berkaitan erat dengan penelitian yang dilakukan, menghubungkan penelitian dengan literatur-literatur yang ada, dan mengisi celah-celah dalam penelitian sebelumnya. Tinjauan ini juga menyediakan kerangka kerja dan tolok ukur untuk mempertegas pentingnya penelitian yang dilakukan seraya membandingkan hasil-hasilnya dengan penemuan lain (Creswell, 2010: 40).

Penulis melakukan tinjauan pustaka pada jurnal dan tesis manajemen bencana serta tesis tentang pengungsi. Jurnal dan tesis terdahulu mengenai manajemen bencana dan pengungsi secara garis besar berbicara tentang mekanisme dan implementasi. Secara garis besar ada beberapa kajian tentang manajemen bencana di India, Taiwan, Bangladesh, Jepang, Cina, dan Amerika Latin. Kajian tentang mekanisme manajemen bencana di India yang ditulis oleh Sharma (2003) meliputi upaya yang dilakukan, tantangan dan berbagai persoalan

(10)

yang dihadapi dalam manajemen bencana. Dikatakan bahwa manajemen bencana di India sebelumnya tidak terintegrasi dengan rencana pembangunan berkelanjutan. Namun, sekarang pemerintah India membuat pola baru dalam manajemen bencana yang terdiri dari 4 pilar, yaitu: budaya kesiapsiagaan, budaya tanggap cepat, budaya berpikir strategis, dan budaya pencegahan. Dalam membangun 4 pilar ini, diperlukan pendekatan multidisipliner, multisektoral, dan pendekatan multiancaman. Semua pihak dan semua tingkatan masyarakat turut berperan dalam manajemen bencana yang mencakup kesiapsiagaan, mitigasi, dan pengurangan bencana.

Jurnal tentang sistem manajemen bencana di Taiwan yang ditulis oleh Chen dkk (2006) membahas tentang manajemen bencana berbasis masyarakat terpadu dan kendala yang dihadapi dalam penerapannya disertai dengan studi kasus di Desa Shang-An Taiwan. Di Taiwan, program manajemen bencana berbasis masyarakat fokus pada promosi perencanaan prabencana, fasilitasi kemampuan ketahanan bencana, dan mendukung masyarakat dengan kerangka kerja ke depan agar lebih mempunyai ketahanan dan keberlanjutan. Tujuannya adalah mengajak masyarakat berkolaborasi mempersiapkan dan melindungi diri mereka melawan bencana alam dengan mengurangi kerentanan dan memperkuat ketahanan. Desa Shang An, Kota Shili, wilayah Nantou menjadi contoh masyarakat bagi program manajemen bencana berbasis masyarakat terpadu tahun 2001. Secara keseluruhan mendorong Shang An mewujudkan masyarakat yang tahan dan tangguh bencana serta masyarakat yang berkelanjutan. Proyek ini berupaya menyadarkan masyarakat tentang mitigasi bencana untuk memperkuat

(11)

kemampuan mereka dalam bertahan dari bencana alam dan untuk mengembangkan tindakan pengurangan risiko bencana. Tahapan program ini adalah inisiasi, penilaian, perencanaan, dan praktik atau simulasi. Meskipun telah melakukan pencapaian yang berharga, namun dalam mengimplementasikan proyek ini masih terdapat sejumlah kendala yaitu: adanya kelemahan/ penurunan kesadaran masyarakat akan bencana alam dan ukuran yang digunakan untuk meningkatkan kesiapsiagaan bencana dan mempromosikan mitigasi. Masyarakat terdampak bencana cenderung fokus pada pemulihan ekonomi dan kasus kriminal serta pendidikan daripada mengikuti pelatihan. Kekurangan tenaga profesional, pemandu, dan material. Serta kekurangan dukungan perundangan, dana, mekanisme implementasi dari pemerintah membuat proyek ini sulit diwujudkan dalam tindakan nyata.

Jurnal tentang manajemen bencana di Bangladesh, negara yang rentan terhadap bencana, ditulis oleh Khan dan Rahman (2006), Mathbor (2007), dan Sabur (2012). Khan dan Rahman (2006) mengkaji konsep manajemen bencana berbasis kemitraan dan faktor-faktor penyebab tidak berjalannya konsep tersebut.

Studi, laporan, dan rencana tindakan yang berkaitan dengan penyebab bencana, prabencana, dan rekomendasi setelah bencana telah tersedia Bangladesh.

Kemitraan dalam manajemen bencana juga telah terjalin. Meskipun demikian manajemen bencana tersebut masih berada di atas kertas dan jauh dari kenyataan.

Budaya proses kemitraan dalam manajemen bencana belum membumi, maka tidak ada internalisasi dari pendekatan ini dalam strategi pembangunan.

Kurangnya akuntabilitas dan transparansi dalam kemitraan membuat manajemen

(12)

bencana tidak bisa berjalan sesuai konsep. Peneliti menyarankan sebuah kerangka kerja kemitraan yang memberikan perbedaan dan penjelasan peranan dan tanggung jawab stakeholder dalam manajemen bencana. Sehingga diharapkan dapat membawa sebuah kemitraan yang efektif dalam manajemen bencana.

Mathbor (2007) mengkaji pemanfaatan modal sosial dan pekerja sosial dalam pemulihan bencana di daerah pesisir Bangladesh dan Amerika yang menyoroti peranan penguatan personal, sosial, ekonomi, dan politik melalui keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan berkelanjutan usai terjadinya bencana. Dalam berbagai perspektif, ditemukan bahwa kekuatan lokal, regional, dan rekanan internasional yang efektif dapat dibangun guna mengintervensi situasi bencana dalam jangka panjang maupun pendek.

Bangladesh telah membangun sebuah mekanisme penggunaan modal sosial guna pemulihan dan pembangunan kembali setelah bencana mengguncang negara ini.

Banyak pekerja sosial/ relawan di Bangladesh yang menggunakan konsep modal sosial untuk meningkatkan kapasitas individu, kelompok, komunitas, dan organisasi. Relawan memainkan peranan penting dalam pemulihan bencana dengan melakukan pendampingan dalam berbagai cara. Peneliti menyarankan bahwa sebenarnya akan lebih efektif apabila relawan tidak hanya berperan di dalam pemulihan pascabencana, namun penting untuk berperan dalam antisipasi bencana.

Sabur (2012) mengkaji tentang transformasi sistem manajemen bencana di Bangladesh dengan fokus pada teori, kerangka hukum, dan kelembagaan. Selama ribuan tahun, tanpa bantuan pemerintah, masyarakat Bangladesh telah mencoba

(13)

menghadapi bencana alam dengan mengandalkan pengalaman dan pengetahuan yang ditransmisikan dari generasi ke generasi. Setelah kemerdekaan, upaya penanggulangan bencana mulai mengalami transformasi, pemerintah menjadi tokoh sentral, LSM juga memainkan peranan penting. Manajemen bencana telah berkembang dari sekedar bantuan dan kegiatan rehabilitasi, menjadi usaha kompleks yang mencakup tugas-tugas prediksi bencana, kesiapsiagaan jangka panjang, rekonstruksi, dan manajemen risiko bencana di masa datang. Bangladesh telah menerapkan sistem penanggulangan bencana yang mencakup mekanisme, proses, dan keseluruhan cara dan sarana guna pengelolaan berbagai bencana.

Manajemen bencana terbagi menjadi 4 tahap: fase normal diperlukan tindakan guna mengantisipasi dampak. Fase waspada atau peringatan. Fase bencana, diperlukan langkah-langkah darurat. Dan fase pemulihan guna mengembalikan infrastruktur dan kebutuhan jangka panjang. Namun, penanggulangan bencana ini berfokus pada pendekatan top down yang kurang melibatkan masyarakat.

Jurnal tentang manajemen bencana lainnya ditulis oleh Mimura dkk (2011), Ikeda dan Nagasaka (2011), dan Ishiwatari (2012) yang mengkaji manajemen bencana di Jepang. Mimura dkk (2011) mengkaji tentang langkah- langkah masyarakat dan pemerintah Jepang dalam menghadapi bencana gempa dan tsunami. Orang-orang dari kota-kota di timur laut Jepang seperti Kesennuma dan Kamaishi, antusias dalam pencegahan bencana tsunami. Mereka telah sangat efektif dalam hal ini, dengan menyelenggarakan workshop, pendidikan bencana tsunami, dan simulasi evakuasi. Selain itu, mereka juga mendistribusikan peta bahaya tsunami ke seluruh rumah tangga. Setiap pemerintah kota yang berpotensi

(14)

banjir dan tsunami menyiapkan peta bahaya tsunami. Speaker dan radio transmisi keras yang dipasang di setiap kota untuk mengumumkan keadaan darurat.

Kegiatan pencegahan ini memiliki efek yang besar, bahkan dalam menghadapi tsunami raksasa. Catatan khusus tentang fakta bahwa hampir 3.000 anak-anak di SD dan SMP berhasil mengevakuasi diri di Kamaishi. Ada sebuah legenda

"tsunami tendenko", “tendenko" dalam bahasa lokal berarti "tersebar", legenda telah ditransfer dalam waktu yang lama untuk mengajarkan bahwa ketika Anda merasakan gempa, Anda tidak harus menunggu untuk berkumpul, tapi segeralah lari secara individu.

Ikeda dan Nagasaka (2011) mengkaji tentang strategi masyarakat Jepang bekerjasama dengan pemerintah dan LSM dalam tata kelola informasi risiko bencana guna mengurangi kerentanan terhadap bencana. Tata kelola risiko bencana dapat didefinisikan sebagai manajemen risiko bencana yang terintegrasi yang disesuaikan atau diarahkan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam penanganan kompleksitas yang tinggi dan ketidakpastian kondisi. Merupakan sebuah kolaborasi dalam pengambilan keputusan oleh berbagai pemangku kepentingan. Jepang membentuk saluran komunikasi bagi pemerintah dan warganya untuk saling berkomunikasi tidak hanya dalam saat bahaya tetapi juga berbagi informasi tentang risiko bencana. Metode skenario komunikasi risiko berbasis bencana: 1. Mengidentifikasi bahaya, menilai risiko, dan mengevaluasi kemungkinan kerusakan dan kerentanan masyarakat lokal terhadap bencana yang spesifik. 2. Menghasilkan rencana aksi pengurangan risiko sebagai kolaborasi berbagai inovasi kegiatan mengatasi kemampuan untuk mencapai penggunaaan

(15)

sumber daya secara optimal. 3. Menyebarluaskan skenario risiko yang dihasilkan bagi penduduk yang belum berpartisipasi dalam kegiatan komunikasi. Tujuannya tidak hanya untuk mempromosikan pemahaman dasar risiko bencana, tetapi juga membuka kemungkinan untuk reorganisasi struktur pemerintahan di komunitas mereka.

Ishiwatari (2012) mengkaji tentang peranan organisasi komunitas dan pemerintah dalam pengurangan risiko bencana di Jepang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran pemerintah sangat penting dalam memperkuat kapasitas masyarakat dalam pengurangan risiko bencana. Dukungan pemerintah terhadap organisasi masyarakat sangat bermanfaat. Pemerintah Jepang menyediakan dukungan yang amat besar terhadap organisasi masyarakat seperti Suibo-dan, Syobo-dan, dan Jisyubo.

Jurnal tentang manajemen bencana di Cina oleh Lixin dkk (2011) membandingkan sistem manajemen bencana di Cina dengan Amerika dan Jepang.

Perbedaan sistem penanggulangan bencana Cina dengan Amerika dan Jepang yaitu: Pertama, manajemen bencana di Cina terdesentralisasi, tidak seperti di Amerika dan Jepang yang tersentralisasi. Kedua, payung hukum bencana di Cina terdesentralisasi di masing-masing lembaga, sedangkan di Amerika dan Jepang terintegrasi, satu payung hukum memayungi semua bencana. Ketiga, peran masyarakat dan swasta dalam penanggulangan bencana di Cina tidak secara jelas diatur dalam pemerintahan. Dalam manajemen bencana Amerika dan Jepang, partisipasi masyarakat dan swasta memainkan peranan penting. Keempat, Cina mempunyai anggaran manajemen bencana rendah, sedangkan anggaran

(16)

manajemen bencana Amerika dan Jepang tinggi. Selain perbedaan yang amat signifikan tersebut, Cina juga mengalami kendala dalam melaksanakan manajemen bencana, yaitu: Koordinasi antar lembaga bencana tidak berjalan dengan baik, sehingga terjadi keterlambatan informasi yang berdampak pada penanggulangan bencana yang tidak efektif dan efisien; Tidak ada undang-undang manajemen bencana keseluruhan di Cina, yang mengatur dasar kebijakan, manajemen, tugas pokok, tanggung jawab, dan prosedur dalam penanggulangan bencana; Rencana darurat bencana sebagai dasar penyelamatan darurat memiliki banyak kekurangan, yaitu kurangnya analisis bencana, langkah-langkah penyelamatan, dan berkualitas rendah; Tidak ada pendidikan dan kesadaran dari masyarakat dalam pencegahan dan mitigasi bencana; Tidak ada asuransi bencana;

Tidak ada mekanisme dan prosedur partisipasi swasta dalam pencegahan dan mitigsi bencana; serta anggaran bencana Cina yang relatif sedikit.

Jurnal manajemen bencana di Amerika Latin ditulis oleh Hardoy dkk (2011) dan LaLone (2012). Hardoy dkk (2011) mengkaji tentang integrasi pengurangan risiko bencana ke dalam manajemen rencana pembangunan dan lingkungan perkotaan dengan studi kasus pada Kota Manizales, Kota Medellin, Kota Moreno, dan Kota Santa Fe. Mencakup diskusi inovasi dalam sistem nasional dan dukungan dana untuk pengurangan risiko bencana. Kota Manizales terkenal dengan program pengembangan dan aksi lingkungan. Proses pembangunan perkotaan mengintegrasikan lingkungan perkotaan dengan manajemen risiko lokal, meliputi: kebijakan lingkungan kota dan rencana aksi kota untuk memfasilitasi implementasi kebijakan. Kota ini berhasil dalam

(17)

mengintegrasikan pemerintah lokal dan regional, sektor swasta, universitas, dan ormas ke dalam partisipasi proses pembangunan. Program-program yang membangun antara lain adalah pengurangan pajak bagi mereka yang berperan dalam pengurangan kerentanan perumahan di daerah berisiko tinggi dan program asuransi bangunan. Medellin Kolombia, punya sistem untuk merespon keadaan darurat. Moreno Argentina, masyarakat mengelola dapur umum dan memberikan ekstrakurikuler untuk anak sekolah. Santa Fe Argentina, mengkolaborasikan berbagai ormas dalam manajemen bencana. Setelah banjir 2003, muncul berbagai ormas yang membantu penanganan bencana. Tantangan bagi pemerintah Amerika Latin adalah memberikan mekanisme partisipatif untuk mendukung peranan masyarakat sipil dalam pengurangan risiko bencana.

LaLone (2012) menulis mobilisasi modal sosial dalam manajemen bencana di Pedesaan Appalachian Virginia. Studi ini memberikan pandangan dalam skala kecil bahwa modal sosial dimobilisasi bersama saluran informasi di tingkat lokal dan di daerah pedesaan pasca bencana lingkungan. Analisis menunjukkan bahwa Manajemen Kedaruratan Departemen Virginia (VDEM) dan pemerintah daerah memiliki struktur organisasi formal terencana sehingga pemerintah mampu merespon dengan cepat bencana lingkungan tak terduga.

Pelajaran yang bisa diambil dari penanganan bencana tornado di Virginia yaitu menunjukkan potensi jumlah, proses kelompok sosial, tindakan individu, dan kecepatan dalam memobilisasi sumber daya modal sosial di wilayah pedesaan, dimana sumber daya dapat dimobilisasi menyusul bencana yang tak terduga.

Meskipun telah banyak tulisan tentang nilai potensial modal sosial di tengah

(18)

bencana, tetapi pesan inklusi modal sosial belum sepenuhnya dihargai. Selain itu belum sepenuhnya terintegrasi dalam kesiapsiagaan darurat bencana. pelajaran lainnya menunjukkan kebutuhan perencanaan prabencana dengan mengkolaborasikan potensi modal sosial, masyarakat, dan praktisi kedaruratan untuk lebih mengantisipasi, memfasilitasi, dan mengkoordinasikan potensi masuknya modal sosial yang mungkin dimobilisasi dalam situasi darurat bencana, sehingga sumber daya tersebut dapat digunakan secara maksimal. Pelajaran yang bisa diambil dari penerapan penelitian berbasis masyarakat untuk perencanaan bencana lingkungan yaitu besarnya potensi sumber daya modal sosial melalui jaringan dan saluran lokal, menggambarkan pola proses mobilisasi sosial pada hari-hari dan minggu-minggu pertama, perlunya melakukan perencanaan pengelolaan sumber daya formal dan informal, dan perlunya antisipasi besarnya kontribusi modal sosial dalam ketahanan masyarakat terhadap bencana.

Tesis tentang manajemen bencana juga telah banyak ditulis, salah satunya oleh Ikhwanuddin (2014) yang mengambil tema Model Ketahanan Masyarakat Lereng Merapi Terhadap Erupsi di Kabupaten Sleman Yogyakarta. Fokus kajiannya berupa upaya-upaya masyarakat lereng Merapi dalam menghadapi ancaman bencana erupsi Gunung Merapi dan perumusan model ketahanan masyarakat dalam menghadapi erupsi Gunung Merapi. Hasil penelitiannya adalah bahwa upaya yang dilakukan masyarakat lereng Gunung Merapi dalam membangun ketahanan diri menghadapi ancaman erupsi Gunung Merapi yaitu dengan terlibat dan berperan serta dalam setiap perencanaan, penyusunan program-program dan pelaksanaan kegiatan mitigasi bencana.

(19)

Tesis oleh Balebu (2010) mengkaji tentang Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Pengembangan Institusi dan Peran Serta Masyarakat di Kabupaten Poso.

Fokus kajiannya adalah pemahaman masyarakat tentang bencana banjir, kesiapsiagaan masyarakat menghadapi banjir, dan peran serta masyarakat dalam pengurangan risiko bencana banjir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pemahaman masyarakat akan bencana banjir cukup tinggi, termasuk mengerti penyebab banjir dan gejala akan datangnya banjir. Namun dalam tingkat kesiapsiagaan dan partisipasi masyarakat masih sangat kurang karena pengetahuan akan perundang-undangan serta sosialisasi dan pelatihan masih sangat rendah. Hal ini didukung dengan belum terbentuknya suatu lembaga yang secara khusus menangani masalah banjir. Masyarakat memiliki sikap pasrah terhadap banjir dan kurang menjaga sarana prasarana penanggulangan banjir yang telah ada.

Selain jurnal dan tesis tentang manajemen bencana, penulis melakukan tinjauan pustaka pada tesis tentang pengungsi. Di antaranya adalah tesis tentang Strategi Adaptasi Penghuni di Barak Pengungsian Lhoong Raya Banda Aceh oleh Pha (2007) dan Adaptasi Pengungsi Erupsi Merapi 2010 Terhadap Permukiman Baru oleh Widayani (2014). Tesis oleh Pha (2007) mengkaji tentang strategi adaptasi penghuni barak penoongungsian Lhoong Raya, Kecamatan Banda Aceh, Kota Banda Aceh. Hasilnya adalah, strategi adaptasi yang dilakukan ada 4 hal yaitu: menyesuaikan fisik dan lingkungan sesuai dengan keinginan penghuni;

menyesuaikan perilaku penghuni agar harmoni dengan lingkungan; tindakan diam karena mampu bertahan atau diam dan menunggu. Apabila tiga hal tersebut sulit

(20)

dilakukan, maka mereka memilih cara keempat dengan menghindar atau pindah sementara pada saat-saat tertentu.

Tesis Widayani (2014) mengkaji tentang adaptasi yang dilakukan korban erupsi Gunung Merapi terhadap pemukiman baru di hunian tetap Batur dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adaptasi yang dilakukan meliputi: penyesuaian terhadap perubahan fisik, baik rumah maupun lingkungan; penyesuaian terhadap perubahan kondisi perekonomian; dan penyesuaian diri terhadap perubahan sosial yang mengiringi perubahan fisik, yang dilakukan secara individu maupun kelompok. Penyesuaian- penyesuaian ini banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat “nggunung” yang penuh dengan kekeluargaan.

Dari hasil tinjauan pustaka yang dilakukan, penelitian tentang peranan modal sosial dalam pengurangan risiko bencana yang fokus pada penanganan pengungsi belum dilakukan. Sehingga ini menarik perhatian bagi penulis untuk mengambil tema ini dalam tesis. Selain itu beralihnya paradigma penanganan bencana dari tanggap darurat menuju pengurangan risiko bencana menjadikan penelitian ini sangat relevan dengan kondisi saat ini.

Referensi

Dokumen terkait

pegawai fungsional tersebut belum PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil). Jika terjadi pelanggaran pidana oleh pengusaha dengan hak pekerja, maka Dinas Sosial dan

Sesuai jadwal Pengumuman Seleksi Sederhana Nomor : 91/PAN-APBD/X/2013 tanggal 4 Oktober 2013, pekerjaan : Jasa Konsultan Pengawasan Pada Program Pembangunan Jalan

[r]

ABSTRAK: - Bahwa dengan telah ditetapkanya Peraturan Daerah Kota Yogyakarta nomor 2 Tahun 2012 tentang Bangunan Gedung, agar dapat dilaksanakan secara optimal perlu

KESATU : Perubahan Atas Keputusan Bupati Bantul Nomor 40A Tahun 2010 tentang Pembentukan Tim Pelaksanaan Kegiatan Pengawasan dan Pengendalian Perijinan di Dinas

Membuat karya seni lukis berjudul: Pasar Dipamerkan pada acara: Pameran Nasional Seni Rupa Dosen, Alumni, dan Mahasiswa (DAM)dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda dengan

Berdasarkan permasalahan, maka tujuan dari penelitian ini adalah: Untuk mengetahui strategi yang dilakukan guru dalam menerapkan pembelajaran nyanyian Kakor Lalong pada siswa

Dari penerapan nilai-nilai as Sunah, privasi antara pemilik rumah, anak kos dan pihak luar seperti tamu, tetangga maupun kerabat kurang dapat terjaga dikarenakan arah hadap