• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS POLA SUBDUKSI DAERAH SELATAN JAWA BARAT DAN BANTEN MENGGUNAKAN METODE SEGMEN IRISAN VERTIKAL DATA GEMPA PERIODE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS POLA SUBDUKSI DAERAH SELATAN JAWA BARAT DAN BANTEN MENGGUNAKAN METODE SEGMEN IRISAN VERTIKAL DATA GEMPA PERIODE"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

LISTIANA CAHYANINGSIH NIM. 11170970000007

P ROGRAM STUDI FISIKA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1443 H / 2021 M

(2)
(3)
(4)

iii

(5)

iv

gempa bumi. Namun, ada beberapa kawasan yang jarang terjadi gempa bumi dalam jangka waktu yang lama. Kawasan itu disebut dengan zona seismic gap.

Zona seismic gap harus kita waspadai karena kawasan ini belum melepaskan akumulasi energi tektoniknya. Jika terjadi gempa megathrust (gempa dengan kekuatan yang sangat besar) maka akan menimbulkan bencana tsunami seperti gempa bumi pada 17 Juli 2006 di Pangandaran. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian terkait zona subduksi untuk mengetahui pola subduksi yang terbentuk dan besarnya sudut penunjaman. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Segmen Irisan Vertikal. Metode segmen irisan vertikal merupakan metode untuk mengetahui pola subduksi dan besarnya sudut penunjaman pada setiap segmen irisan vertikal. Berdasarkan hasil analisis didapat bahwa segmen A-A’

menunjukkan pola subduksi diskontinu sedangkan segmen B-B’ dan C-C’

menunjukkan pola subduksi pendek dengan sudut penujaman berturut-turut 27°- 65°, 20° - 38° dan 13° - 20°.

Kata kunci: Megathrust, segmen irisan vertikal, seismic gap, zona subduksi.

(6)

v

ABSTRACT

A subduction zone is a tectonic active zone and an area where earthquakes occur frequently. However, there are some areas where earthquakes rarely occur over a long period of time. This area is known as the seismic gap zone. We have to be careful of the seismic gap zone because this area has not released its accumulated tectonic energy. If a megathrust earthquake (earthquake with a very large strength) occurs, it will cause a tsunami disaster such as the earthquake on July 17, 2006 in Pangandaran. Therefore, it is necessary to conduct research related to the subduction zone to determine the subduction pattern formed and the magnitude of the subduction angle. The method used in this research is the Vertical Slice Segment. The vertical slice segment method is a method to determine the subduction pattern and the magnitude of the subduction angle in each vertical slice segment. Based on the results of the analysis, it was found that segments A-A' showed a discontinuous subduction pattern while segments B-B' and C-C' showed a short subduction pattern with subduction angles of 27°-65°, 20° - 38° and 13° - respectively. 20°.

Keywords: Megathrust, vertical wedge segment, seismic gap, subduction zone.

(7)

vi

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Analisis Pola Subduksi Daerah Selatan Jawa Barat Dan Banten Menggunakan Metode Segmen Irisan Vertikal Data Gempa Periode 1970 – 2020. Dalam penelitian ini saya mendapat banyak bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu saya ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Kedua orangtua penulis yang telah memberikan dukungan dan do’a selama penyusunan tugas akhir ini.

2. Ibu Biaunik Niski Kumila, M.S selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan ilmu serta bimbingan dalam menyusun tugas akhir ini.

3. Bapak Dede Sunarya, S.Si, M.T selaku Pembimbing II dan Pembimbing Lapangan di BBMKG Wilayah II yang telah memberikan ilmu dan membimbing penulis selama pelaksanaan tugas akhir ini.

4. Ibu Tati Zera, M.Si sebagai Ketua Program Studi Fisika Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Bapak Sutiyono, S. Si. sebagai Kepala Bidang Data dan Informasi yang telah mengizinkan penulis untuk melaksanakan tugas akhir di BBMKG Wilayah II serta seluruh staff BBMKG Wilayah II yang telah memberikan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung.

6. Luthfia, Ai, Ghifari dan Syamson yang telah memberikan motivasi serta dukungan moril selama pelaksanaan tugas akhir.

7. Teman - teman Fisika angkatan 2017 yangtelah menjadi keluarga penulis selama menjalani perkuliahan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

8. Seluruh dosen dan staff akademik Fakultas Sains dan Teknologi dan

jurusan Fisika serta Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

(8)
(9)

viii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 4

1.3 Rumusan Masalah ... 4

1.4 Batasan Masalah ... 5

1.5 Tujuan Penelitian ... 5

1.6 Manfaat Penelitian ... 6

1.7 Sistematika Penulisan ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Gempa Bumi... 8

2.2 Jenis Gempa Bumi ... 9

2.3 Sumber Gempa Bumi... 14

2.4 Parameter Gempa Bumi ... 16

2.5 Zona Subduksi ... 17

2.6 Tsunami ... 19

2.7 Metode Segmen Irisan Vertikal ... 21

BAB III METODE PENELITIAN ... 23

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 23

3.2 Instrumen Penelitian ... 23

3.2.1 Perangkat Keras ... 23

3.2.2 Perangkat Lunak ... 24

3.3 Diagram Alir ... 24

3.4 Prosedur Pengolahan Data ... 25

(10)

ix

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 27

4.1 Hasil Penelitian ... 27

4.2 Analisis... 29

BAB V PENUTUP ... 41

5.1 Kesimpulan... 41

5.2 Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 42

Lampiran ... 45

(11)

x

Tabel 3. Sudut Penunjaman Irisan Segmen B-B’………..

Tabel 4. Sudut Penunjaman Irisan Segmen C-C’………..

36

39

(12)

DAFTAR GAMBAR

xi

Gambar 1. Peta Tektonik Indonesia ………

Gambar 2. Segmen Zona Subduksi ……….

Gambar 3. Diagram Alir Penelitian...

Gambar 4. Peta Seismisitas Daerah Jawa Barat dan Banten………...

Gambar 5. Pembagian Segmen Irisan………..

Gambar 6. Peta Segmen Irisan Segmen A-A’……….

Gambar 7. Pola Subduksi Irisan Segmen A-A’………..

Gambar 8. Peta Segmen Irisan Segmen B-B’……….

Gambar 9. Pola Subduksi Irisan Segmen B-B’………...

Gambar 10. Peta Segmen Irisan Segmen C-C’………

Gambar 11. Pola Subduksi Irisan Segmen C-C’………..

2

17

24

27

28

30

31

34

35

37

38

(13)

1

Kejadian gempa bumi kerap terjadi di Indonesia karena letaknya didekat pertemuan lempeng besar dunia serta beberapa lempeng kecil.

Lempeng Indo-Australia, Lempeng Pasifik, Lempeng Eurasia serta Lempeng Laut Filipina merupakan empat lempeng utama yang mengelilingi Indonesia [1]. Pergerakkan lempeng tersebut sesuai dengan arahnya masing-masing.

Lempeng Eurasia yang relatif tidak bergerak bersentuhan dengan Lempeng Indo-Australia yang bergerak ke utara. Kedua lempeng tersebut diperkirakan bergerak dengan kecepatan sekitar 6,5 cm/th di Jawa dan sekitar 5,5 cm/th di Sumatera. Sedangkan Lempeng Pasifik bergerak ke barat hingga barat laut bersentuhan dengan Lempeng Filipina bergerak ke timur hingga barat laut dan diperkirakan kecepatannya 8 cm/th sampai 11 cm/th [2].

Gempa bumi sering terjadi di Indonesia disebabkan oleh proses tektonik. Zona subduksi aktif dari bagian barat hingga bagian timur Indonesia merupakan salah satu sumber gempa bumi yang sudah jelas teridentifikasi, sedangkan sesar-sesar yang ada dibeberapa pulau dan laut Indonesia disebabkan dari sisa energi tumbukan antar lempeng. Zona subduksi ialah daerah yang terletak pada batasan pertemuan antara lempeng yang konvergen.

Sesar-sesar aktif di Indonesia diantaranya adalah Sesar Palu-Koro yang

terletak di Sulawesi Tengah, Sesar Belakang Busur Flores yang terletak di

utara Kepulauan Nusa Tenggara, Sesar Besar Sumatera yang terletak di utara

(14)

2

2

hingga selatan Pulau Sumatera, lalu sesar aktif yang terletak di Pulau Jawa diantaranya adalah sesar Cimandiri, Sesar Baribis, Sesar Opak dan Sesar Baribis [1].

Gambar 2. Peta Tektonik Indonesia [1]

Dari gambar diatas dapat diketahui bahwa Indonesia berada pada zona

patahan aktif dan zona subduksi. Zona patahan aktif terletak di Pulau

Sulawesi bagian utara dan disekitar Pulau Sumatera, sedangkan zona

subduksi terbentuk dari aktivitas keempat lempeng tersebut. Subduksi terjadi

di ujung pertemuan antara lempeng benua dengan samudra ataupun diantara

sesama lempeng samudra. Terdapat 3 zona subduksi disekitar pulau-pulau

Indonesia. Subduksi pertama terjadi pada daerah perairan batas laut lepas dan

darat bagian barat Pulau Sumatera, daerah perairan batas laut lepas dan darat

bagian selatan Pulau Jawa, daerah perairan batas laut lepas dan darat bagian

selatan kepulauan Nusa Tenggara serta di sebelah selatan perairan Maluku

yang disebabkan oleh tumbukan antara lempeng Eurasia dengan lempeng

(15)

Indo-Australia. Subduksi kedua terjadi disekitar Pulau Papua yang disebabkan oleh tumbukan antara lempeng Pasifik dengan lempeng Indo- Australia. Subduksi ketiga terjadi di Sulawesi yang disebabkan oleh tumbukan antara lempeng Eurasia, Indo-Australia serta Pasifik [1].

Sumber gempa bumi besar (megathrust) di Jawa yang akan terjadi pada masa mendatang disebabkan oleh zona subduksi yang belum melepaskan akumulasi energi tektoniknya atau disebut dengan zona seismic gap.

Megathrust terjadi pada zona yang ada dibatas antar lempeng atau sepanjang zona subduksi. Zona seismic gap adalah zona yang memiliki aktivitas kegempaan rendah terhadap sekitarnya. Dalam riset yang berjudul

”Implication for Megathrust Earthquakes And Tsunamis from Seismic Gaps South of Java Indonesia” disampaikan bahwa skenario permasalahan terburuk menunjukkan ketinggian tsunami hingga 12 meter di pantai selatan Jawa Timur dan 20 meter di pantai selatan Jawa Barat jika terjadi pada segmen megathrust di Jawa pecah secara bersamaan [3].

Zona subduksi di bagian selatan Pulau Jawa merupakan daerah yang

menarik untuk dikaji, karena gempa bumi besar (Megathrust) di daerah ini

berpotensi terjadinya tsunami seperti gempa bumi pada 17 Juli 2006 di

Pangandaran. Hal ini terjadi karena Pulau Jawa terletak di depan lempeng

samudera Indo-Australia, sehingga Pulau ini rawan tsunami [4]. Oleh karea

itu, perlu dilakukan penelitian terkait zona subduksi untuk mengetahui pola

subduksi yang terbentuk dan besarnya sudut penunjaman. Penelitian

(16)

4

sebelumnya yang dilakukan di Jawa Barat menunjukkan bahwa Jawa Barat memiliki pola subduksi yang pendek [5].

Data gempa akan dianalisis menggunakan metode segmen irisan vertikal yang dapat memberikan informasi berupa pola subduksi yang terbentuk dan sudut penunjamannya. Software Generic Mapping Tool digunakan untuk membuat peta distribusi sebaran episenter. Data tersebut diharapkan dapat memberikan informasi mengenai tingkat kerawan gempa dan dapat dijadikan acuan dalam perencanaan infrastuktur di masa mendatang serta meningkatan kesadaran masyarakat akan kemungkinan tsunami yang bisa terjadi kapan saja untuk meminimalisir dampak (mitigasi).

1.2 Identifikasi Masalah

Bersumber pada latar belakang yang sudah ditulis didapat beberapa identifikasi permasalahan, yaitu:

1. Mengetahui pola subduksi yang ada di Selatan Jawa untuk mengetahui ada atau tidaknya seismic gap.

2. Besar sudut penunjaman lemnpeng di daerah Selatan Jawa Barat dan Banten pada setiap segmen irisan vertikal.

3. Informasi mengenai tingkat kerawanan gempa.

1.3 Rumusan Masalah

Bersumber pada latar belakang diatas, diperoleh rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pola subduksi di daerah Selatan Jawa Barat dan Banten ?

(17)

2. Berapa besar sudut penunjaman di daerah Selatan Jawa Barat dan Banten pada setiap segmen irisan vertikal ?

3. Bagaimana pengaruh gempa bumi yang ditimbulkan berdasarkan pola subduksi?

1.4 Batasan Masalah

Bersumber pada rumusan masalah dari latar belakang dapat ditentukan batasan masalah yang akan dibuat, yaitu:

1. Daerah penelitian mencakup daerah Selatan Jawa Barat dan Banten dengan koordinat 103.5 – 108.5 BT dan -10.0 sampai – 5.0 LS.

2. Penelitian ini menggunakan data katalog BMKG dan USGS yang diolah menggunakan Generic Mapping Tools (GMT).

3. Metode yang digunakan Segmen Irisan Vertikal.

4. Mengkaji pola subduksi dan sebaran episenter gempa di daerah Selatan Jawa Barat dan Banten dengan batasan wilayah 103.5 – 108.5 BT dan - 10.0 sampai – 5.0 LS.

1.5 Tujuan Penelitian

Bersumber pada rumusan masalahan di atas, diperoleh tujuan penelitian sebagai berikut :

1. Mengetahui pola subduksi di Selatan Jawa Barat dan Banten.

2. Mendapatkan besar sudut penunjaman pada zona subduksi untuk setiap segmen irisan vertikal.

3. Mengetahui akibat yang ditimbulkan gempa bumi berdasarkan pola

subduksi.

(18)

6

1.6 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui pola subduksi di Selatan Jawa Barat dan Banten.

2. Memberikan informasi mengenai tingkat kerawan gempa.

3. Sebagai acuan dalam perencanaan infrastuktur di masa mendatang.

4. Sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan Penanggulangan gempa bumi serta tsunami khususnya di daerah Selatan Jawa Barat dan Banten.

5. Sebagai bahan kajian lanjutan untuk penelitian di daerah Selatan Jawa Barat dan Banten.

1.7 Sistematika Penulisan

Sistematika tertulis mengacu pada buku pedoman akademik terbitan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang pada setiap bab adalah sebagai berikut : BAB I Pendahuluan

Bab ini menjelaskan mengenai Latar Belakang, Identifikasi Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II Tinjauan Pustaka

Bab ini menjelaskan mengenai kondisi wilayah Penelitian,

dasar teori yang terdiri dari Pengertian Gempa Bumi, Jenis

Gempa Bumi, Sumber Gempa Bumi, Zona Subduksi,

Metode Segmen Irisan Vertikal.

(19)

BAB III Metode Penelitian

Bab ini menjelaskan mengenai lokasi dan waktu penelitian, instrumen penelitian, teknik pengumpulan data, teknik pengolahan data, dan diagram alir penelitian.

BAB IV Pembahasan

Bab ini menjelaskan mengenai hasil pengolahan data, pembahasan, dan interpretasi.

BAB V Kesimpulan

Bab ini berisi tentang kesimpulan yang diperoleh dari

penelitian.

(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gempa Bumi

Peristiwa gempa diakibatkan oleh energi yang lepas secara tiba-tiba.

Pergerakkan lempeng tektonik mengakibatkan akumulasi energi sehingga terjadi gempa bumi. Energi gempa bumi bisa dirasakan hingga ke permukaan bumi karena energi yang dipancarkan kesegalah arah dalam bentuk gelombang seismik. Gempa bumi memiliki sifat yang berulang, dalam artian gempa bumi akan terjadi kembali di suatu wilayah tertentu dimasa yang akan datang [6].

Berdasarkan teori lempeng tektonik, bagian luar bumi tersusun dari lempeng-lempeng yang bergerak. Bagian luar bumi terdiri dari litosfer di bagian atas dan atenosfer di bagian bawah. Bagian kerak bumi yang terbuat dari bahan yang kaku disebut litosfer. Ketebalan maksimum lapisan ini di darat adalah 80 km dan ketebalan maksimum di bawah laut adalah 15 km.

Atenosfer terbuat dari bahan yang padat serta materinya dapat bergerak karena terdapat perbedaan tekanan [7].

Tegangan terjadi pada batas antara dua lempeng yang saling bertumbukan. Salah satu lempeng menyusup di lapisan atenosfer ke bawah lempeng lainnya. Umumnya, lempeng samudera mempunyai densitas yang lebih besar daripada lempeng benua sehingga lempeng samudera akan menusup ke bawah lempeng benua. Patahan pada kulit bumi terjadi di daerah

8

(21)

terlemah apabila tegangannya sudah melebihi kekuatan kulit bumi.

Sebagian atau seluruh energi akan dilepaskan ketika kulit bumi tersebut patah. Hal ini dikarenakan untuk kebali ke keadaan semula. Peristiwa tersebut dikenal sebagai gempa bumi [8].

Kedua lempeng akan bergerak saling menjauhi, saling mendekat atau saling bergeser apabila kedua lempeng tersebut bertemu dengan sesar [6].

Sesar adalah belahan atau rekahan yang mengalami pergeseran yang signifikan. Pergeresan ini berkisar dari beberapa desimeter hingga ratusan meter dan panjangnya berkisar dari beberapa desimeter hingga beberapa kilometer. Sesar bisa terjadi pada berbagai jenis batuan. Perubahan maupun perkembangan topografi diakibatkan oleh sesar pada struktur batuan yang mengubah aliran air diatas dan dibawah permukaan serta merusak formasi batuan. Sesar inilah yang menyebabkan gempa bumi [7].

2.2 Jenis Gempa Bumi

Jenis gempa bumi dikategorikan menjadi 5 kategori yaitu menurut penyebabnya, kedalamannya, bentuk episentrumnya, letak episentrumnya, jarak episentralnya.

A. Berdasarkan Penyebabnya

Gempa bumi dikategorikan menjadi 4 macam menurut penyebab

terjadinya, yaitu :

(22)

10

1. Volcanic Earthquake

Aktivitas Gunung berapi menyebabkan terjadinya Volcanic Earthquake. Adanya tekanan pada magma di bawah kantong gunung menyebabkan terlepasnya energi secara tiba-tiba sehingga terjadinya guncangan. Peningkatan aktivitas gunung api ditandai dengan proses dinamika magma dan cairan hidrotermal [9].

a. Gempa Vulkanik Jenis A

Sumber gempa vulkanik jenis A terletak di dasar gunung berapi dengan kedalaman 1 kilometer hingga 20 kilometer dan umumnya terjadi pada gunung berapi aktif. Magma yang naik kepermukaan dengan rekahan-rekahan merupakan penyebab gempa bumi ini. Waktu datang gelombang P serta S sangat jelas merupakan karakteristik dari gempa bumi vulkanik jenis A.

b. Gempa Vulkanik Jenis B

Diduga pada jarak satu kilometer di dasar gunung berapi aktif merupakan sumber gempa vulkanik jenis B. Pergerakkan awal sangat jelas, magnitude yang kecil serta waktu gelombang S tidak jelas yaitu ciri dari gempa jenis ini.

c. Gempa Letusan

Letusan yang ekplosif menyebabkan terjadinya gempa

letusan. Menurut hasil observasi seismik bisa dikatakan bahwa

(23)

gerakan keatas atau push-up adalah gerakan pertama dari gempa letusan. Mekanisme sumber tunggal positif menyebabkan terjadinya gempa letusan.

d. Gempa Termor

Disekitar gunung berapi merupakan tempat terjadinya gempa termor. Tipe gempa ini dibagi 2 tipe, ialah :

1) Tremor Spasmodik

Termor Spasmodik adalah getaran yang terus menerus tetapi tidak teratur. Kedalaman gempa diperkirakan antara 45 kilometer sampai 60 kilometer.

2) Tremor Harmonik

Termor Harmonik adalah getaran kontinu sinusoidal, dengan perkiraan kedalaman fokus 5 kilometer hingga 15 kilometer.

2. Tectonic Earthquake

Tectonic Earthquacke terjadi karena terdapat aktivitas tektonik

yaitu berupa tumbukan, lipatan, pergeseran atau penyusupan. Di

daerah pertemuan lempeng, tegangan dihasilkan karena

pergerakkan lempeng-lempeng yang bertumbukan serta elastisitas

batuan. Tegangan pada batuan akan terakumulasi secara kontinu

hingga melebihi batas elastisitas batuan, pada saat itulah energi

(24)

12

yang terkumpul oleh proses tegangan dilepaskan dan terjadilah gempa bumi [10].

3. Collapse Earthquake

Collapse Earthquacke ialah gempa bumi lokal yang terjadi ketika medan karst atau sejumlah besar batuan di daerah pertambangan runtuh. Gempa bumi ini tidak berbahaya karena magnitudo gempa akibat runtuhnya batuan dasar juga sangat kecil [11].

4. Artificial Earthquake

Kegiatan eksplorasi industri pertambangan dan kegiatan eksplorasi batuan dasar sebagai fondasi bangunan menyebabkan terjadinya Artificial Earthquake. Gempa ini tidak akan menimbulkan ancaman untuk manusia serta bangunan karena magnitudonya juga sangat kecil [11].

B. Berdasarkan Kedalamannya

Menurut kedalaman gempanya terdapat tiga jenis gempa bumi, yaitu [12]:

1. Gempa dangkal

Hiposentrum (Pusat gempa) yang kurang dari 60 kilometer di

bawah permukaan bumi merupakan gempa dangkal.

(25)

2. Gempa menengah

Hiposentrum (Pusat gempa) yang berada antara 60 kilometer dan 300 kilometer di bawah permukaan merupakan gempa menengah.

3. Gempa dalam

Hiposentrum (Pusat gempa) yang berada pada jarak lebih dari 300 kilometer di bawah permukaan merupakan gempa dalam.

C. Berdasarkan bentuk episentrumnya

Menurut bentuk episentrumnya terdapat dua jenis gempa bumi, yaitu [13]:

1. Gempa linier

Gempa yang episentrumnya berbentuk garis merupakan gempa linear. Gempa ini terjadi di daerah sesar (gempa tektonik).

2. Gempa sentral

Gempa yang episentrumnya berbentuk titik merupakan gempa sentral. Penyebab gempa bumi ini adalah gunung berapi yang meletus atau runtuhnya bagian atas litosfer.

D. Berdasarkan Letak Episentrumnya

Menurut letak episentrumnya terdapat dua jenis gempa bumi, yaitu [13]:

1. Gempa laut

Gempa yang terjadi ketika episentrumnya berada di dalam laut.

(26)

14

2. Gempa daratan

Gempa yang terjadi ketika episentrumnya berada ,di darat.

E. Berdasarkan Jarak Episentralnya

Menurut letak episentrumnya terdapat dua jenis gempa bumi, yaitu [13]:

1. Gempa setempat

Gempa yang terjadi apabila tempat yang dirasakannya dan jarak episentrumnya kurang dari 10.000 km.

2. Gempa jauh

Gempa yang terjadi jika tempat yang dirasakannya dan jarak episentrumnya kurang lebih 10.000 km.

3. Gempa sangat jauh

Gempa yang terjadi jika tempat yang dirasakannya dan jarak episentralnya lebih dari 10.000 km.

2.3 Sumber Gempa Bumi

Sumber gempa dapat dikategorikan menjadi 3 jenis, yaitu [11] : A. Gempa Sesar

Sisa energi dari proses tumbukan akan menyebabkan terjadinya

patahan (sesar). Sumber gempa sesar terjadi pada daerah kejadian gempa

di shallow crustal fault (patahan dangkal) dengan mekanisme sesar

(normal, reverse atau strike-slip), panjang sesar serta lokasinya telah

(27)

terdefinisi dengan jelas. Pemodelan sumber gempa sesar sampai kedalaman 15 km.

B. Gempa Subduksi

Zona subduksi merupakan tempat terjadinya gempa subduksi. Zona subduksi adalah daerah terjadinya gempa ketika lempeng samudera bersubduksi di bawah lempeng benua. Katalog seismik utama yang digunakan oleh model hiposenter subduksi telah dihilangkan dari gempa di daerah patahan serta gempa yang belum diketahui hiposenternya. Peristiwa gempa yang disebabkan oleh patahan normal, patahan naik dan patahan mendatar pada daerah pertemuan lempeng dapat dikategorikan sebagai zona subduksi.

C. Gempa background

Gempa Background belum diketahui sumber gempanya, namun

beberapa kejadian gempa ditemukan di tempat tersebut. Sumber gempa

background dikategorikan menjadi dua yaitu deep background dan

shallow Background. Sumber gempa deep background digolongkan

kedalam 4 interval : 50 sampai 100 kilometer, 100 sampai 150 kilometer,

150 sampai 200 kilometer dan 200 hingga 300 kilometer [14].

(28)

16

2.4 Parameter Gempa Bumi

Ada beberapa Parameter gempa bumi, yaitu [15]:

1. Waktu Gempa (Origin Time)

Waktu gempa mengacu pada waktu dimana tegangan terakumulasi dalam bentuk perambatan gelombang seismik. Waktu gempa (Origin Time) dinyatakan ke satuan UTC (universal time coordinated) yang meliputi hari, tanggal, detik, menit, jam, bulan dan tahun.

2. Magnitudo Gempa

Besarnya energi seismik yang dipancarkan oleh suatu sumber gempa merupakan definisi dari magnitudo gempa. Bahkan jika dihitung dari tempat yang berbeda, jumlahnya akan tetap sama. Skala Richter merupakan skala yang biasa digunakan untuk menyatakan magnitude gempa. Skala logaritma basis 10 menyatakan magnitudo gempa [16].

3. Episenter (Lintang Bujur)

Titik di permukaan bumi yang merupakan refleksi tegak lurus dari fokus gempa bumi (hypocenter) merupakan definisi dari episenter [16].

4. Kedalaman Gempa Bumi

Kedalaman gempa bumi adalah jarak dari sumbernya tegak lurus dengan permukaan bumi. Kedalaman gempa dinyatakan dalam kilometer [16].

5. Frekuensi Gempa

Frekuensi atau banyaknya gempa bumi adalah ciri dasar dari

aktivitas seismik di suatu daerah dalam selang waktu tertentu. Aktivitas

(29)

suatu gempa yang terjadi pada batuan dasar di suatu daerah digambarkan dalam model matematis pada parameter ini [17].

2.5 Zona Subduksi

Zona subduksi terbagi menjadi dua kategori, yaitu zona benioff dan zona megathrust. Zona benioff adalah sumber gempa subduksi dengan kedalaman lebih dari 50 kilometer. Sementara itu, sumber gempa subduksi dari permukaan hingga kedalaman 50 kilometer disebut Zona megathrust.

Zona subduksi Jawa merupakan hasil interaksi pergerakkan lempeng Indo-Australia ke Utara dan pergerakkan lempeng Eurasia ke Selatan. Salah satu karakteristik zona subduksi ialah terbentuknya palung. Palung Jawa yang berhadapan langsung dengan pantai selatan Jawa terbentuk dari subduksi antara lempeng Indo-Australia dengan lempeng Eurasia. Palung tersebut mewakili batas dari lempeng konvergen yang melengkung, dimana sesuai dengan zona Benioff yang memanjang kearah timur hingga busur Banda [18].

Gambar 2. Segmen Zona Subduksi [19]

(30)

18

Dari gambar diatas dapat diketahui bahwa di sekitar Pulau Jawa terdapat 10 sumber gempa subduksi, yakni Megathrust S. Sumatera, Megathrust Jawa 1, Megathrust Jawa 2, Megathrust Jawa 3, Megathrust Sumba, Benioff S.

Sumatera, Benioff Jawa 1, Benioff Jawa 2, Benioff Jawa 3, Benioff Sumba.

Terdapatnya gempa-gempa besar yang pernah terjadi di sepanjang zona megathrust Jawa, seperti gempa dengan magnitude 8.3 SR pada 20 Agustus 1977 yang disertai dengan tsunami 15 meter dan gempa yang terjadi pada 17 Juli 2006 dengan magnitude 7.7 juga disertai dengan tsunami, hal ini membuktikan bahwa zona megathrust Jawa memiliki tingkat aktivitas yang tinggi. Dalam 40 tahun terakhir, zona benioff Jawa memiliki 234 peristiwa gempa bumi dengan sudut penunjaman sekitar 50° [11].

Terdapatnya sumber-sumber gempa tektonik dari zona subduksi menyebabkan sebagian besar wilayah Indonesia rawan gempa dan tsunami.

Peristiwa gempa tektonik yang mengakibatkan timbulnya tsunami berada di sepanjang jalur subduksi dari barat Pulau Sumatera hingga laut Banda.

Kondisi terjadinya tsunami ketika kedalaman pusat gempa sangat dangkal (<30 kilometer), magnitude gempa lebih dari 6,5 SR, episenter berada di dasar laut dan terjadi dislokasi batuan secara vertikal [10].

Secara umum di Indonedia terdapat 4 bentuk zona subduksi [20]:

1. Zona Penunjaman pendek

Di sepanjang Sumatra sampai Jawa Barat, kedalaman penunjaman

sejauh 180 km dengan sudut penunjaman 25

o

.

(31)

2. Zona penunjaman diskontinu.

Bentuk ini ditemui mulai dari Jawa tengah sampai Flores.

Kedalaman maksimum 665 km dengan sudut penunjaman sekitar 52

o

. Subduksi diskontinu terdapat di Jawa Tengah sebesar 282 km dan di Flores 80 km.

3. Zona penunjaman berbentuk permukaan cekung.

Bentuk zona ini terdapat mulai dari Alor sampai kepulauan Kai (daerah Laut Banda). Kedalaman zona penunjaman lempeng berkurang dari arah sebelah barat ke timur, yaitu dari 650 sampai 96 km, sedangkan sudut penunjaman berkurang dari 74

o

sampai dengan 16

o

.

4. Zona penunjaman berbentuk permukaan cembung.

Ditemui didaerah Maluku, kedalaman penunjaman di sebelah barat 635 km dan di sebelah timur 275 km. Sudut penunjaman di timur sebesar 32

o

– 51

o

dan di sebelah barat 34

o

– 43

o

.

2.6 Tsunami

Kata Tsunami berasal dari Jepang, dimana tsu artinya pelabuhan dan nami artinya gelombang. Di laut lepas, terjadi gelombang pasang setinggi 8 meter, namun begitu masuk ke area pelabuhan maka tinggi gelombang pasang menjadi 30 meter [21].

Salah satu bencana alam yang sering terjadi di Indonesia adalah tsunami.

Gempa bumi di bawah laut, letusan gunung berapi atau tanah longsor di

bawah laut dapat memicu terjadinya tsunami. Gempa bumi dan letusan

gunung berpotensi menimbulkan tsunami karena adanya bebarapa patahan di

(32)

20

bawah laut dan gunung api yang terletak di bawah laut. Namun tsunami juga dapat ditimbulkan oleh tanah longsor di bawah laut yang biasanya disebabkan oleh gempa bumi dan letusan gunung berapi [22].

Gempa bumi merupakan sumber utama tsunami. Gempa bumi yang terjadi di dasar laut berpotensi menimbulkan tsunami. Mekanisme sesar yang paling dominan menimbulkan gelombang tsunami adalah sesar naik atau sesar turun. Akibat aktivitas sesar naik atau turun, perubahan massa air di dasar laut akan menghasilkan gelombang dengan panjang gelombang ratusan kilometer dan kecepatan hingga 800 kilometer/jam di permukaan laut.

Walaupun di tengah lautan memiliki amplitudo gelombang yang kecil atau sekitar 50 cm, namun setelah sampai di pantai, gelombang akan tetap diperkuat sehingga memiliki amplitudo (ketinggian gelombang) bertambah hingga puluhan meter. Gelombang tsunami yang sangat besar akan merusak apapun hingga masuk ke daratan, bahkan dapat mencapai 3 km, tergantung morfologi pantainya jika terjadi ketinggian gelombang setinggi itu dan kecepatan gelombang hingga 50 km/jam di pantai [23]

Bencana tsunami yang terjadi pada hari Sabtu tanggal 22 Desember 2018

pukul 20.56 WIB di Selat Sunda dipicu oleh letusan Gunung Anak Krakatau

dengan material longsoran lereng seluas 64 hektar sepanjang 312,78 km

masuk ke Selat Sunda dengan kedalaman 0,08 km intensitas 255 milimeter

kubik. Akibat dari fenomena tersebut terdapat 2 provinsi di wilayah

tedampak, yaitu Provinsi Banten (Kabupaten Serang dan Kabupaten

Pandeglang) dan Provinsi Lampung (Kabupaten Lampung Selatan,

(33)

Kabupaten Pesawaran dan Kabupaten Tanggamus). Pandeglang dan Lampung Selatan merupakan wilayah yang terdampak paling parah dengan ketinggian gelombang tsunami 2 sampai 5 meter [22].

2.7 Metode Segmen Irisan Vertikal

Metode segmen irisan vertikal adalah metode yang digunakan untuk mengetahui pola subduksi serta besarnya sudut penunjaman pada setiap segmen irisan. Perhitungan jarak episenter yang tegak lurus terhadap palung laut digunakan dalam metode ini. Persamaan garis lurus yang sejajar dengan trench adalah [5] :

𝑎𝑥 + 𝑏𝑦 + 𝑐 = 0 (1)

Persamaan garis dapat diperoleh dengan menggunakan dua titik yang terdapat pada garis lurus yang sejajar garis trench. Setelah persamaan garis lurus tersebut diketahui, jarak episenter terhadap garis tersebut dapat dihitung dengan menggunakan rumus empiris:

𝑎X

1

+ 𝑏𝑌

1

+ 𝐶 𝑑 =

√𝑎

2

+ 𝑏

2

(2)

dan

𝐷 = 𝑑 × 111 𝑘𝑚 (3)

Dimana :

𝑑 : Jarak episenter dalam derajat (°) X

1

: Bujur episenter

𝑌

1

: Lintang episenter 𝑎, 𝑏, 𝑐 : Bujur episenter

𝐷 : Jarak episenter dalam derajat (°)

(34)

22

Untuk mendapatkan nilai D (jarak episenter dalam kilometer) maka dari d (jarak episenter dalam derajat) dikalikan dengan 111 km. Hubungan jarak (D=X) dan kedalaman (Y) dianalisa dengan menggunakan metode Least Square (Kuadrat Terkecil) untuk persamaan parabola, dimana untuk jumlah kuadrat dalam orde diferensiasi harus sama dengan nol adalah:

𝑌 = 𝐴 + 𝐵X + 𝐶X

2

(4)

𝑑𝑆

2

= ∑(𝑌

i

− 𝐴 − 𝐵X

i

− 𝐶X

2

i

(5)

Sehingga diperoleh persamaan :

𝑛𝐴 + 𝐵 ∑ X

i

+ 𝐶 ∑ X

2

= ∑ 𝑌

i i

𝐴 ∑ X

i

+ 𝐵 ∑ X

2

+ 𝐶 ∑ X

3

= ∑ X

i

𝑌

i

i i

𝐴 ∑ X

2i

+ 𝐵 ∑ X

i 3

+ 𝐶 ∑ X

4i

= ∑ X

2i

𝑌

i

(6) Persamaan tersebut diubah dalam notasi matriks menjadi :

𝖥 𝑛 ∑ X

i

∑ X

2i

1 𝖥 ∑ 𝑌

i

1

∑ X

i

∑ X

2

∑ X

3

[𝐵] = ∑ X 𝐴

i

𝑌

i

i i

I ∑ X

2

∑ X

3

∑ X

4

I 𝐶 I

∑ X

2

𝑌 I

[

i i i

] [

i i

]

(7) Untuk memperoleh nilai A, B, dan C digunakan metode Eliminasi Gauss.

Analisa besarnya sudut subduksi didapatkan dari turunan fungsi pertama dari persamaan (4):

𝑡𝑎𝑛 𝖺 = 𝑌′ = 𝐵 + 2𝐶X (8)

(35)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2021 di Balai Besar Meteorologi dan Klimatologi Wilayah II Ciputat yang beralamat di Jalan H.

Abdul Ghani No. 35 Cempaka Putih, Kampung Bulak, Ciputat, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Bagian yang menjadi tempat penelitian adalah bidang Geofisika yang terdapat pada bagian Tsunami Early Warning System (TEWS).

3.2 Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari United States Geological Survey (USGS) dan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika sebagai data gabungan yang akan dianalisis. Data gempa yang digunakan adalah data gempa tektonik periode 1970-2020 dengan batasan wilayah 103.5 – 108.5 BT dan -5.0 sampai – 10.0 LS dan kedalaman pusat gempa bumi 0-1000 km serta magnitudo gempa bumi 2.5-10 SR. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkat keras dan perangkat lunak.

3.2.1 Perangkat Keras

Perangkat keras yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Laptop.

23

(36)

24

3.2.2 Perangkat Lunak

Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : Software GMT, Microsoft Word, Microsoft Excel, dan Notepad.

a. Generic Mapping Tools (GMT) yang digunakan untuk membuat peta distribusi gempa bumi dan membagi segmen irisan daerah yang tegak lurus dengan trench (palung).

b. Notepad yang digunakan untuk menulis script GMT serta mengubah format menjadi .txt dan .bat.

c. Microsoft Excel 2010 yang digunakan untuk sortir data gempa dan menghitung sudut penunjaman.

d. Microsoft Word 2010 yang digunakan untuk membuat dan menyusun draft skripsi.

3.3 Diagram Alir

Gambar 3. Diagram Alir Penelitian

(37)

3.4 Prosedur Pengolahan Data

Berikut tahapan-tahapan dalam pengolahan data:

a. Pemetaan Episenter

Pada tahap ini dibuat pemetaan episenter untuk menghasilkan peta seismisitas wilayah Selatan Jawa Barat dan Banten yang disesuaikan dengan lintang serta bujur dari data gempa BMKG dan USGS.

b. Pembagian Segmen Irisan Vertikal

Pada tahap ini membagi segmen irisan daerah yang tegak lurus terhadap trench (palung laut) dengan persamaan [5]:

𝑎𝑥 + 𝑏𝑦 + 𝑐 = 0 (1)

Dengan a, b dan c adalah konstanta.

c. Pengeplotan Episenter Gempa Pada Setiap Segmen Irisan Vertikal

Data diplot pada persamaan 1 untuk menghitung jarak episenter X terhadap garis yang sejajar dengan trench menggunakan rumus empiris:

𝑎X

1

+ 𝑏𝑌

1

+ 𝐶 𝑑 =

√𝑎

2

+ 𝑏

2

(2)

dan

𝐷 = 𝑑 × 111 𝑘𝑚 (3)

Dimana :

𝑑 : Jarak episenter dalam derajat (°) X

1

: Bujur episenter

𝑌

1

: Lintang episenter

(38)

26

𝑎, 𝑏, 𝑐 : Bujur episenter

𝐷 : Jarak episenter dalam derajat dalam km

Analisis pola subduksi didapat dari grafik hubungan jarak X dan kedalaman Y menggunakan metode least square dan menggunakan persamaan parabola [4] :

𝑌 = 𝐴 + 𝐵X + 𝐶X

2

(4)

Dengan A, B dan C adalah Konstanta. Sedangkan Analisis patahan dilakukan jika terdapat titik gempa yang tidak terletak pada zona subduksi pada grafik hubungan jarak X dan kedalaman Y.

d. Sudut penunjaman

Menghitung sudut penunjaman didapat dari turunan pertama persamaan parabola dari masing-masing segmen :

𝑡𝑎𝑛 𝖺 = 𝑌′ = 𝐵 + 2𝐶X (5)

(39)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Peta distribusi gempa atau biasa disebut sebagai peta seismisitas merupakan suatu peta yang digunakan untuk menampilkan persebaran gempa bumi disuatu daerah dari pandangan atas kertas. Software utama yang digunakan dalam membuat peta seismisitas adalah Generic Mapping Tools (GMT). Peta seismisitas dibuat dengan cara mengumpulkan data gempa bumi dalam kurun waktu beberapa tahun.

Gambar 4. Peta Seismisitas Daerah Jawa Barat dan Banten

27

(40)

28

Gambar diatas menunjukkan hubungan antara kedalaman dan magnitudo gempa bumi. Dimana sesuai keterangan diatas, bahwa warna merah menunjukkan gempa dangkal dengan kedalaman 0 hingga 60 kilometer, warna kuning menunjukkan gempa menengah dengan kedalaman 60 hingga 300 kilometer dan warna hijau menunjukkan gempa dalam dengan kedalaman 300 hingga 600 kilometer. Sedangkan besar lingkaran menunjukkan tingkat magnitudo yang ada pada sumber gempa bumi.

Gambar 5. Pembagian Segmen Irisan

(41)

Gambar diatas menunjukkan pembagian segmen irisan vertikal menggunakan software GMT (Generic Mapping Tool). Daerah penelitian dibagi menjadi tiga segmen irisan vertikal dengan arah tegak lurus terhadap subduksi sehingga dapat diketahui arah penunjaman lempeng, jarak, serta persebaran gempa bumi dengan benar. Segmen irisan A-A’ berada pada di perbatasan Jawa barat dan Jawa Tengah. Segmen irisan B-B’ berada di Jawa Barat. Segmen irisan C-C’ berada di antara pulau Jawa dan pulau Sumatera (Selat Sunda). Adapun koordinat masing-masing irisan vertikal dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Koordinat Pembagian Segmen

Lintasan Koordinat 1 Koordinat 2 Panjang (Km) Lebar (Km)

A-A’ 106.7 – 9.85 108.2 – 4.8 650 Km 75 Km B-B’ 105.7 – 9.45 107.2 – 4.5 650 Km 75 Km C-C’ 104.7 – 8.85 106.2 – 4.2 650 Km 75 Km

Tabel diatas menjelaskan bahwa setiap segmen irisan memiliki ukuran panjang 650 km dan lebar 75 dengan koordinat yang bersesuaian.

4.2 Analisis

A. Segmen Irisan A-A’

Gambar dibawah menunjukkan segmen irisan A-A' berada di paling timur daerah Jawa Barat yang berdekatan dengan daerah Jawa Tengah.

Pada daerah ini dilihat pola subduksi dengan melihat persebaran gempa

bumi segmen irisan A-A' dan mencari sudut penunjamannya.

(42)

30

Gambar 6. Peta Segmen Irisan Segmen A-A’

Terdapat 10.766 data gempa bumi yang tersebar di segmen A-A’

dengan kedalaman mencapai 673 kilometer. Dari hasil analisis dan

perhitungan diperoleh nilai koefisien sebagai berikut :

(43)

A = -55.1534 B = 0.549566 C = -0.00183

Persamaan garis pola subduksi diperoleh dari hasil subtitusi nilai koefisien tersebut ke persamaan parabola.

Y = -55.1534 + 0.549566 X – 0.00183 X

2

Adapun persamaan garis pola subduksi itu ditandai dengan warna merah pada gambar 7.

Gambar 7. Pola Subduksi Irisan Segmen A-A’

Hubungan jarak episenter (km) dan kedalaman (km) ditunjukkan pada gambar diatas. Pada segmen A-A’ dikedalaman 0 km hingga 400 km terlihat bahwa gempa bumi tersebar merata. Kemudian pada kedalaman lebih dari 400 km hingga 600 km jarang terjadi gempa bumi dan pada kedalaman lebih dari 600 km terdapat persebaran gempa bumi lagi. Hal

Irisan A-A'

0 -100 0 -200 -300 -400 -500 -600 -700 -800

100 200 300 400 500 600

Epicenter Zona Subduksi

Jarak (Km)

Kedalaman (km)

(44)

32

ini dapat diindikasikan bahwa adanya zona seismic gap pada segmen tersebut.

Gambar diatas menunjukkan bahwa segmen A-A’ memiliki pola subduksi yang curam. Hal ini dikarena persebaran hiposenter mencapai lebih dari 200 km dengan kedalaman maksimal 673 Km. Pada daerah dengan sudut yang curam, gempa bumi umumnya terjadi di dalam zona subduksi atau di daerah interplate (zona benioff). Hal ini dikarenakan trench terletak jauh dari daerah tersebut. Namun demikian, daerah dengan sudut penunjaman landai, gempa bumi terjadi di pertemuan subduksi atau di daerah interplate (zona megathrust). Pada daerah ini sering terjadi gempa bumi yang berbahaya bagi kehidupan manusia.

Turunan fungsi pertama persamaan parabola digunakan untuk menganalisa besarnya sudut penunjaman.

Y’ = B + 2CX

tan 𝖺 = 𝑌

= 0. 549566 + 2(− 0. 00183)X Tabel 2. Sudut Penunjaman Irisan Segmen A-A’

Kedalaman Jarak Sudut Alfa

50 290.8979378 27.20930088

100 367.3587978 38.43984927

150 423.176388 44.93767065

200 469.374671 49.40087187

250 509.682585 52.73067198

(45)

Tabel 2. Sudut Penunjaman Irisan Segmen A-A’ (Lanjutan)

Kedalaman Jarak Sudut Alfa

300 545.904715 55.34476199 350 579.0777712 57.47040567 400 609.8625025 59.24426014 450 638.7107233 60.75443232 500 665.9475501 62.06075458 550 691.8161811 63.20553381 600 716.5041749 64.21967198 650 740.1597919 65.12635183

Hubungan antara jarak, kedalaman dan sudut yang dibentuk dapat terlihat pada tabel diatas. Gempa yang semakin dalam dan jarak penunjaman dari palung semakin jauh maka akan terbentuk sudut yang semakin besar.

Pada segmen A-A’ persebaran gempa bumi tidak merata karena segmen ini terletak berdekatan dengan Jawa Tengah yang mempunyai penunjaman diskontinu. Maka dari itu akan ditemukan pada kedalaman atau jarak tertentu tidak terjadi gempa bumi. Sehingga segmen A-A’

memiliki zona subduksi diskontinu.

(46)

34

B. Segmen Irisan B-B’

Gambar 8. Peta Segmen Irisan Segmen B-B’

Gambar diatas, segmen irisan B-B' berada di daerah Jawa Barat.

Pada daerah ini akan dilihat pola subduksi dengan melihat persebaran

gempa bumi segmen irisan B-B' dan mencari sudut penunjamannya.

(47)

Terdapat 4537 data gempa bumi yang tersebar di segmen B-B’ dengan kedalaman mencapai 494 kilometer.

Dari hasil analisis dan perhitungan diperoleh nilai koefisien sebagai berikut :

A = -39.54333421 B = 0.31298207 C = -0.001178457

Persamaan garis pola subduksi diperoleh dari hasil subtitusi nilai koefisien tersebut ke persamaan parabola.

Y = -39.54333421 + 0.31298207 X – 0.001178457 X

2

Adapun persamaan garis pola subduksi itu ditandai dengan warna merah pada gambar 9.

Gambar 9. Pola Subduksi Irisan Segmen B-B’

Hubungan jarak episenter (km) dan kedalaman (km) ditunjukkan pada gambar diatas. Pada segmen B-B’ dikedalaman 0 km hingga 180 km terlihat bahwa gempa bumi tersebar merata. Hal itu terjadi karena pada segmen ini jalur subduksi terletak di kedalaman dangkal. Sehingga gempa

Irisan B-B'

-50 0

- 100 0 100 200 300 400 500 600

-150 -200 -250 -300 -350 -400 -450 -500 -550

Epicenter Zona Subduksi

Jarak (km)

Kedalaman (km)

(48)

36

bumi sering terjadi di kedalaman dangkal dan jarang terjadi gempa bumi pada daerah yang jauh dari jalur subduksi. Namun, jika terjadi gempa pada daerah yang jauh dari subduksi maka akan terjadi di kedalaman yang sangat dalam.

Gambar diatas menunjukkan bahwa segmen B-B’ memiliki pola subduksi yang landai. Hal ini disebabkan karena persebaran hiposenter mencapai kurang dari 200 km. Pada daerah dengan sudut yang curam, gempa bumi umumnya terjadi di dalam zona subduksi atau di daerah interplate (zona benioff). Hal ini dikarenakan trench terletak jauh dari daerah tersebut. Namun demikian, daerah dengan sudut penunjaman landai, gempa bumi terjadi di pertemuan subduksi atau di daerah interplate (zona megathrust). Pada daerah ini sering terjadi gempa bumi yang berbahaya bagi kehidupan manusia.

Turunan fungsi pertama persamaan parabola digunakan untuk menganalisa besarnya sudut penunjaman.

Y’ = B + 2CX

tan 𝖺 = 𝑌

= 0. 31298207 + 2(−0. 001178457)X Tabel 3. Sudut Penunjaman Irisan Segmen B-B’

Kedalaman Jarak Sudut Alfa 50 295.6034512 20.99330622 100 395.3489415 31.75011667 150 466.5054422 38.1861614

Hubungan antara jarak, kedalaman dan sudut yang dibentuk dapat

terlihat pada tabel diatas. Gempa yang semakin dalam dan jarak

(49)

penunjaman dari palung semakin jauh maka akan terbentuk sudut yang semakin besar.

Pada Segmen B-B’ letaknya tepat berada di Jawa Barat yang memiliki zona subduksi pendek, terlihat bahwa lempeng menunjam hingga kedalaman 180 km dengan sudut penunjaman 20° - 38°.

C. Segmen Irisan C-C’

Pada gambar dibawah mrnunjukkan segmen irisan C-C' berada di perbatasan daerah Sumatera dan Jawa Barat. Pada daerah ini akan dilihat pola subduksi dengan melihat persebaran gempa bumi segmen irisan C-C' dan mencari sudut penunjamannya.

Gambar 10. Peta Segmen Irisan Segmen C-C’

(50)

38

Terdapat 6081 data gempa bumi yang tersebar di segmen B-B’

dengan kedalaman mencapai 215 kilometer. Dari hasil analisis dan perhitungan diperoleh nilai koefisien sebagai berikut :

A = -22.29313586 B = 0.078599719 C = -0.000447979

Persamaan garis pola subduksi diperoleh dari hasil subtitusi nilai koefisien tersebut ke persamaan parabola.

Y = -22.29313586 + 0.078599719 X – 0.000447979 X

2

Adapun persamaan garis pola subduksi itu ditandai dengan warna merah pada gambar 10.

Gambar 11. Pola Subduksi Irisan Segmen C-C’

Hubungan jarak episenter (km) dan kedalaman (km) ditunjukkan pada gambar diatas. Pada segmen C-C’ dikedalaman 0 km hingga 100 km terlihat bahwa gempa bumi tersebar merata. Hal ini disebabkan gempa bumi terdistribusi pada zona subduksi khususnya pada daerah slab antara

Irisan C-C'

-50 0 -150

100 200 300 400 500 600

-250 -350

Epicenter Zona Subduksi -450

-550

Jarak (km)

Kedalaman (km)

(51)

bidang kontak lempeng Indo-Australia dengan lempeng Eurasia sehingga sering terjadi gempa bumi di kedalaman yang dangkal.

Gambar diatas menunjukkan bahwa segmen C-C’ memiliki pola subduksi yang landai. Hal ini disebabkan karena persebaran hiposenter mencapai kurang dari 200 km. Pada daerah dengan sudut yang curam, gempa bumi umumnya terjadi di dalam zona subduksi atau di daerah interplate (zona benioff). Hal ini dikarenakan trench terletak jauh dari daerah tersebut. Namun demikian, daerah dengan sudut penunjaman landai, gempa bumi terjadi di pertemuan subduksi atau di daerah interplate (zona megathrust). Pada daerah ini sering terjadi gempa bumi yang berbahaya bagi kehidupan manusia. Sehingga segmen C-C’ terjadi di daerah interplate (Zona Megathrust).

Turunan fungsi pertama persamaan parabola digunakan untuk menganalisa besarnya sudut penunjaman.

Y’ = B + 2CX

tan 𝖺 = 𝑌 = 0. 078599719 + 2(−0. 000447979)X

Tabel 4. Sudut Penunjaman Irisan Segmen C-C’

Kedalaman Jarak Sudut Alfa 50 356.4040337 13.29381192 100 518.3162667 20.87398045

Hubungan antara jarak, kedalaman dan sudut yang dibentuk dapat

terlihat pada tabel diatas. Gempa yang semakin dalam dan jarak

(52)

40

penunjaman dari palung semakin jauh maka akan terbentuk sudut yang semakin besar.

Pada Segmen C-C’ letaknya tepat berada di Selat Sunda yang memiliki zona subduksi pendek, terlihat bahwa lempeng menunjam hingga kedalaman 215 km dengan sudut penunjaman 13° - 20°.

D. Tingkat Kerawanan Gempa Bumi berdasarkan Pola Subduksi

Di selatan Jawa Barat dan banten, garis subduksi terletak di kedalaman 1 km hingga 60 km (kedalaman dangkal). Hal ini mengakibatkan sudut yang terbentuk sangat dangkal dan gempa bumi sering terjadi pada daerah ini. Namun pada segmen A-A’ yang berdekatan dengan Jawa Tengah akan jarang terjadi gempa bumi pada kedalaman lebih dari 300 km. Hal ini dikarenakan Jawa Tengah memiliki bentuk zona penunjaman diskontinu. Maka dari itu akan ditemukan pada kedalaman atau jarak tertentu tidak terjadi gempa bumi. Sehingga persebaran gempa bumi pada daerah ini tidak merata dan akan terbentuk sudut yang sangat curam.

Dengan demikian, jika sudut yang terbentuk dangkal atau landai maka jarak dengan permukaan bumi sangat dekat. Hal ini mengakibatkan gempa bumi yang terjadi akan sangat merusak kehidupan manusia.

Namun jika sudut yang terbentuk curam maka gempa yang terjadi tidak

terlalu membahayakan kehidupan manusia.

(53)

41

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengolahan dan analisa, dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Pada segmen A-A’, pola subduksi yang terbentuk yaitu tukik dan curam serta memiliki bentuk pola penunjaman diskontinu. Sedangkan pada segmen B-B’ dan C-C’ memiliki bentuk pola penunjaman pendek serta memiliki pola subduksi yang landai.

2. Besar sudut penunjaman yang dibentuk pada segmen A-A’,B-B’ dan C- C’ berturut-turut adalah sekitar 27°- 65°, 20° - 38° dan 13° - 20°.

3. Pola subduksi yang landai menunjukkan bahwa gempa bumi yang terjadi sangat merusak karena jarak dengan permukaan bumi sangat dekat. Sedangkan pola subduksi yang curam menunjukkan bahwa gempa yang terjadi tidak terlalu membahayakan karena jarak dengan permukaan bumi sangat jauh. Namun pada segmen A-A’ yang memiliki pola subduksi yang curam terdapat zona seismic gap yang akan terjadinya gempa megathrust.

5.2 Saran

Saran sebagai masukan untuk penelitian selanjutnya yaitu daerah

penelitian diperluas dan pembagian segmen lebih banyak untuk memperkuat

hasil penelitian yang akurat sehingga dapat dibuatkan peta zonasi rawan

bencana tsunami untuk kepentingan mitigasi bencana.

(54)

42

42

DAFTAR PUSTAKA

[1] P. Penelitian, P. Perumahan, P. B. Penelitian, P. Kementerian, P. Umum, and P. Rakyat, PETA SUMBER DAN BAHAYA GEMPA INDONESIA TAHUN 2017. .

[2] S. Rohadi, “Studi seismotektonik sebagai indikator potensi gempabumi di wilayah indonesia,” pp. 111–120, 2008.

[3] S. Widiyantoro, E. Gunawan, A. Muhari, N. Rawlinson, J. Mori, and N. R.

Hanifa, “Implications for megathrust earthquakes and tsunamis from seismic gaps south of Java Indonesia,” Sci. Rep., pp. 1–11, 2020, doi:

10.1038/s41598-020-72142-z.

[4] K. Pandeglang and P. Jawa, “Potensi rendaman tsunami di wilayah lebak banten,” no. 2, pp. 9–18, 2017.

[5] J. Fisika, F. Matematika, P. Alam, and U. N. Surabaya, “SELATAN JAWA BARAT DENGAN METODE SEGMEN IRISAN VERTIKAL Anis Yulia Amanati Asnawi , Madlazim Abstrak,” vol. 03, no. 1, pp. 11–20, 2014.

[6] G. Andriyani, S. Kahar, M. Awaluddin, and I. Meilano, “KAJIAN REGANGAN SELAT BALI BERDASARKAN DATA GNSS KONTINU,” pp. 1–12, 2011.

[7] I. Muflihah, “DISTRIBUSI DAN POLA SESAR DAERAH KEPALA BURUNG ( PAPUA BARAT ),” pp. 91–98.

[8] R. T. Saman, H. L. Sianturi, R. K. Pingak, K. Kupang, and T. Kabupaten,

“KECAMATAN KUPANG TIMUR KABUPATEN KUPANG,” vol. 2,

(55)

43

no. 2, 2017.

[9] P. M. E. I. Mei, S. Dawid, and G. Pasau, “PENENTUAN LOKASI

PERGERAKAN MAGMA GUNUNG API SOPUTAN BERDASARKAN STUDI SEBARAN HIPOSENTER GEMPA VULKANIK,” 2014.

[10] B. Mustafa, J. T. Sipil, and U. Andalas, “Analisis gempa nias dan gempa sumatera barat dan kesamaannya yang tidak menimbulkan tsunami,” vol. 2, no. 1, pp. 44–50, 2010.

[11] B. M. Hutapea, “Analisis Hazard Gempa dan Usulan Ground Motion pada Batuan Dasar untuk Kota Jakarta,” vol. 16, no. 3, pp. 121–132, 2009.

[12] T. Azhar et al., “TELESEISMIC DOUBLE DIFFERENCE UNTUK ANALISIS POLA,” pp. 101–107, 2016.

[13] E. P. Saptorini, P. Studi, L. Pesawat, F. Teknik, U. N. Bandung, and E.

Detector, “PEMBUATAN SIMULASI PENDETEKSI GETARAN,” vol. 8, no. 3, pp. 51–61, 2020.

[14] M. M. Meq, P. Embara, and S. D. Nugroho, “Bulletin of Scientific Contribution,” vol. 18, no. April, pp. 1–12, 2020.

[15] S. A. Garini, E. Rahmawati, J. Fisika, F. Universitas, and N. Surabaya,

“RELOKASI HIPOSENTER GEMPA BUMI DI SULAWESI TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN METODE GEIGER DAN COUPLED VELOCITY-HYPOCENTER Abstrak,” vol. 03, pp. 107–112, 2014.

[16] F. Mipa and U. Mulawarman, “PENENTUAN TITIK EPICENTER DAN

HYPOCENTER SERTA PARAMETER MAGNITUDE GEMPABUMI

BERDASARKAN DATA,” vol. 3, pp. 1–8, 2020.

(56)

44

44

[17] S. Upaya, M. Bencana, and G. Bumi, “Pemodelan Sumber Gempa Di Wilayah Sulawesi Utara Earthquake Source Modeling of North Sulawesi Region As,” J. Ilm. Sains, vol. 11, no. 2, 2011.

[18] R. M. Widyarta, W. Setyonegoro, J. Arifin, P. S. Geofisika, U. Indonesia, and J. Barat, “Sistem informasi dan analisa gempabumi menggunakan jisview pada studi kasus gempabumi tasikmalaya,” pp. 15–23, 2020.

[19] W. Erlangga, J. T. Sipil, and U. I. Indonesia, “KARAKTERISTIK DAN PARAMETER SUBDUKSI SUMBER GEMPA PULAU,” vol. XXV, no.

2, 2020.

[20] Ibrahim Gunawan dan Subarjo, “Buku Seismologi.” 2014.

[21] K. Kunci, “Gempa Bumi, Tsunami Dan Mitigasinya,” J. Geogr., vol. 7, no.

1, 2010, doi: 10.15294/jg.v7i1.92.

[22] K. Carita and D. A. N. Kecamatan, “Analisis Kerusakan Tutupan Lahan Akibat Bencana Tsunami Selat Sunda Di Kawasan Pesisir Pantai Kecamatan Carita Dan Kecamatan Labuan Kabupaten Pandeglang,” J.

Geod. Undip, vol. 9, no. 1, pp. 146–155, 2019.

[23] B. Marwanta, “Tsunami Di Indonesia Dan Upaya Mitigasinya,” Alami:

Jurnal Teknologi Reduksi Risiko Bencana, vol. 10, no. 2. 2005.

(57)

Lampiran

Script Segmen Irisan Vertikal

set F=koordinat_pembagian_segmen3.ps

psbasemap -JM18c -X2.4 -Y-3 -R103/109/-10.5/-3.5 -Ba2g2WSne -K > %F%

grdimage indo.nc -R -Iiluminasi.nc -JM -Celev2.cpt -K -O >> %F%

pscoast -JM -R -K -P -O -Dh -IX -Lf104.3/-10/15/200+l+jr --

LABEL_FONT_SIZE=8p -Tf108.2/-4.2/0.5i/2 --HEADER_FONT_SIZE=7.5p -- HEADER_OFFSET=0.05i >> %F%

psxy -R -JM -W1.1 -O -K sesar_garis_balai2.gmt>> %F%

psxy -R -JM -W0.9 -O -K pantai.gmt>> %F%

psxy -R -JM -W1.1 -Sf0.8i/0.07i+l+t -Gblack -O -K sesar_subduksi.gmt>> %F%

gawk "{print $4, $3, $5, $6*0.014}" gempa1.txt | psxy -JM -R -Ckedalaman.cpt - Sci -W1 -P -O -K >> %F%

echo 106.7 -9.85 A> line.dat

echo 108.2 -4.8 A'>> line.dat

(58)

46

psxy line.dat -JM -R -W1 -Wblack -P -O -K >> %F%

pstext line.dat -JM -R -P -O -K >> %F%

echo 105.7 -9.45 B> line.dat

echo 107.2 -4.5 B'>> line.dat

psxy line.dat -JM -R -W1 -Wblack -P -O -K >> %F%

pstext line.dat -JM -R -P -O -K >> %F%

echo 104.7 -8.85 C> line.dat

echo 106.2 -4.2 C'>> line.dat

psxy line.dat -JM -R -W1 -Wblack -P -O -K >> %F%

pstext line.dat -JM -R -P -O -K >> %F%

gawk "{print $4, $3, $5, $6*0.02}" gempa_dangkal.txt | project -Q -C106.7/-9.85 -E108.2/-4 -Fpz -W-75/75 > cross.dat

gawk "{print $4, $3, $5, $6*0.02}" gempa_menengah.txt | project -Q -C106.7/- 9.85 -E108.2/-4 -Fpz -W-75/75 > cross1.dat

gawk "{print $4, $3, $5, $6*0.02}" gempa_dalam.txt | project -Q -C106.7/-9.85 - E108.2/-4 -Fpz -W-75/75 > cross2.dat

psbasemap -JX15/-5 -X0 -R0/680.09/-10/750 -Ba50:"Jarak (km)":/:"Kedalaman

(km)":50WSne --LABEL_FONT_SIZE=18p -P -O -K -Y-7 >> %F%

(59)

echo 0 -10 A> teks.dat

echo 680.09 -10 A'>> teks.dat

pstext teks.dat -JX -R -P -O -Gwhite -N -K >> %F%

psxy cross.dat -JX -R -Sci -W1 -Gred -P -O -K >> %F%

psxy cross1.dat -JX -R -Sci -W1 -Gyellow -P -O -K >> %F%

psxy cross2.dat -JX -R -Sci -W1 -Ggreen -P -O -K >> %F%

echo 105.7 -9.45 B> line.dat

echo 107.2 -4.5 B'>> line.dat

psxy line.dat -JM -R -W1 -Wblack -P -O -K >> %F%

pstext line.dat -JM -R -P -O -K >> %F%

gawk "{print $4, $3, $5, $6*0.02}" gempa_dangkal.txt | project -Q -C104.7/-8.85 -E106.2/-3.75 -Fpz -W-75/75 > cross.dat

gawk "{print $4, $3, $5, $6*0.02}" gempa_menengah.txt | project -Q -C104.7/- 8.85 -E106.2/-3.75 -Fpz -W-75/75 > cross1.dat

gawk "{print $4, $3, $5, $6*0.02}" gempa_dalam.txt | project -Q -C104.7/-8.85 -

E106.2/-3.75 -Fpz -W-75/75 > cross2.dat

(60)

48

psbasemap -JX15/-5 -X0 -R0/680.09/-10/550 -Ba50:"Jarak (km)":/:"Kedalaman (km)":50WSne --LABEL_FONT_SIZE=18p -P -O -K -Y-7 >> %F%

echo 0 -10 B> teks.dat

echo 680.09 -10 B'>> teks.dat

pstext teks.dat -JX -R -P -O -Gwhite -N -K >> %F%

psxy cross.dat -JX -R -Sci -W1 -Gred -P -O -K >> %F%

psxy cross1.dat -JX -R -Sci -W1 -Gyellow -P -O -K >> %F%

psxy cross2.dat -JX -R -Sci -W1 -Ggreen -P -O -K >> %F%

echo 104.7 -8.85 C> line.dat

echo 106.2 -4.2 C'>> line.dat

psxy line.dat -JM -R -W1 -Wblack -P -O -K >> %F%

pstext line.dat -JM -R -P -O -K >> %F%

gawk "{print $4, $3, $5, $6*0.02}" gempa_dangkal.txt | project -Q -C102.7/-7.85 -E104.2/-3.5 -Fpz -W-75/75 > cross.dat

gawk "{print $4, $3, $5, $6*0.02}" gempa_menengah.txt | project -Q -C102.7/-

7.85 -E104.2/-3.5 -Fpz -W-75/75 > cross1.dat

(61)

gawk "{print $4, $3, $5, $6*0.02}" gempa_dalam.txt | project -Q -C102.7/-7.85 - E104.2/-3.5 -Fpz -W-75/75 > cross2.dat

psbasemap -JX15/-5 -X0 -R0/680.09/-10/550 -Ba50:"Jarak (km)":/:"Kedalaman (km)":50WSne --LABEL_FONT_SIZE=18p -P -O -K -Y-7 >> %F%

echo 0 -10 C> teks.dat

echo 680.09 -10 C'>> teks.dat

pstext teks.dat -JX -R -P -O -Gwhite -N -K >> %F%

psxy cross.dat -JX -R -Sci -W1 -Gred -P -O -K >> %F%

psxy cross1.dat -JX -R -Sci -W1 -Gyellow -P -O -K >> %F%

psxy cross2.dat -JX -R -Sci -W1 -Ggreen -P -O -K >> %F%

Gambar

Tabel 3. Sudut Penunjaman Irisan Segmen B-B’……………………………..
Gambar 2. Peta Tektonik Indonesia [1]
Gambar 2. Segmen Zona Subduksi [19]
Gambar 3. Diagram Alir Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dakwah Islam merupakan sebuah aktifitas komunikasi, sehingga keberhasilan dakwah tergantung pada beberapa komponen yang memperngaruhinya, yakni da’i sebagai orang

DHARMA KUSUMAH NO.. PLERED

Program utama (priotitas) dari pemerintah adalah pembenahan tata ruang (yang berbasis sosial ekologis), infrastruktur (terutama jalan) dan institusi kelembagaan serta pemetaan

Pelanggan C-SPOT yang memiliki hobi mengoleksi buku, terutama buku buku yang sudah jarang ditemui di pasar, juga bisa memesan buku yang mereka inginkan, baik buku baru maupun buku

Berdasarkan hasil analisis deskriptif pada garis kontinum, diperoleh bahwa variabel ambient condition (X 1 ) berada pada kategori baik dengan nilai persentase debesar 72,17%,

Efektivitas pembelajaran yang diperoleh, relevan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Sigit Priatmoko, dkk (2008) dengan judul “Pengaruh Media

Angket merupakan metode pengumpulan data yang dilakukan dengan memberi seperangkat pertanyaan tertulis terhadap responden untuk dijawab, dalam penelitian ini angket diberikan

(1) Bupati atau Pejabat yang diberikan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), dalam waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal diterimanya