• Tidak ada hasil yang ditemukan

DISCOURSE PENILAIAN PENDIDIKAN KONTEKS INDONESIA: UJIAN EKSTERNAL DAN PENILAIAN BERBASIS KELAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "DISCOURSE PENILAIAN PENDIDIKAN KONTEKS INDONESIA: UJIAN EKSTERNAL DAN PENILAIAN BERBASIS KELAS"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

DISCOURSE PENILAIAN PENDIDIKAN KONTEKS INDONESIA:

UJIAN EKSTERNAL DAN PENILAIAN BERBASIS KELAS

Discourse on Educational Assessment in the Indonesian Context:

External Examinations and Classroom-based Assessment

R. Witjaksono dan Bagus Hary Prakoso

Pusat Penilaian Pendidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan [email protected]

Abstract. In recent decades, educational assessments are considered as central issues among educational stakeholders. It indicates that the educational assessment plays an important role especially for the policy makers in monitoring the education outcomes. The outcomes are the guidance for the policy makers in various purposes, such as improving the quality of education. This article is intended, in general, to share insights on the discourse of educational assessment to all education stakeholders. Specifically, this article is addressed to all educational assessment policy makers. The analysis on both models of educational assessment, national examination and classroom-based assessment uses critical discourse analysis based on the international framework. As the result, the policy and implementation of the national examination model referred to economic-parameters paradigm based on the tight competition of global knowledge in the free market. This paradigm has several consequences for its implementation. Overall, there are eight fundamental questions that need to be explored further. In contrary, the policy and implementation of the classroom-based assessment model are based on the humanistic paradigm. This model on its implementation has constraints that require special attention from the central government. Two paradigms with different orientation and are both found in the schools, as stated in the SPN Law No.20 / 2003 article 58 paragraphs (1) and (2), serve as the basis for making decisions regarding the quality of the educational assessment outcomes in the context of the Indonesian National Education System based on the competition of global knowledge in the global free market.

Keywords: Discourse, educational assessment, policy makers, paradigm.

Abstrak. Dalam beberapa dekade terakhir, penilaian pendidikan, dalam hal ini ujian eksternal melalui Ujian Nasional dan penilaian berbasis kelas, menjadi isu utama di kalangan pemangku kepentingan pendidikan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa penilaian pendidikan berperan penting terutama untuk pemangku kebijakan dalam memantau hasil pendidikan. Hasil penilaian pendidikan digunakan oleh pemangku kebijakan untuk berbagai macam tujuan, seperti untuk perbaikan mutu pendidikan. Berkaitan dengan hal tersebut, artikel ini ditulis dengan maksud secara umum untuk berbagi wawasan mengenai discourse penilaian pendidikan dengan semua pemangku kepentingan. Secara khusus, penulisan artikel ini ditujukan kepada semua pemangku kebijakan yang berkaitan erat dengan bidang penilaian pendidikan. Dalam melakukan kajian terhadap kedua model penilaian pendidikan ini, penulis menggunakan critical discourse analysis berdasarkan bingkai pada konteks yang lebih luas (international framework). Adapun hasil kajiannya adalah bahwa kebijakan dan implementasi penilaian pendidikan dengan model Ujian Nasional menggunakan paradigma parameter- parameter ekonomi berdasarkan pada persaingan ketat pasar yang berbasis pengetahuan global. Paradigma ini mempunyai beberapa konsekuensi terhadap implementasinya di dunia pendidikan. Secara keseluruhan, terdapat delapan pertanyaan mendasar yang perlu dieksplorasi lebih lanjut. Sebaliknya, kebijakan dan implementasi penilaian pendidikan dengan model penilaian berbasis kelas berdasar pada paradigma kemanusiaan. Kebijakan dengan model penilaian berbasis kelas inipun pada implementasinya mempunyai kendala yang menghendaki perhatian khusus dari pemerintah pusat. Dua paradigma yang berbeda orientasinya dan berada bersama-sama pada institusi sekolah, seperti dinyatakan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional (SPN) No.20/2003 pasal 58 ayat (1) dan (2), dijadikan sebagai dasar untuk mengambil keputusan mengenai mutu hasil penilaian pendidikan dalam konteks SPN yang berbasis mekanisme/persaingan ketat pengetahuan global di pasar bebas.

Kata kunci: Discourse, penilaian pendidikan, pemangku kebijakan, paradigma

(2)

I. PENDAHULUAN

Dalam beberapa dekade terakhir, penilaian pendidikan telah menjadi isu utama di kalangan banyak pemangku kepentingan pendidikan, seperti pemangku kebijakan, pengusaha, kepala sekolah dan guru, serta orangtua. Diskusi mereka berkisar pada penggunaan hasil penilaian pendidikan. Pemangku kepentingan pendidikan menggunakan hasil penilaian untuk tujuan yang berbeda-beda. Menurut Litte (1993) pemangku kebijakan menggunakan hasil penilaian untuk tujuan sertifikasi, seleksi, akuntabilitas dan pemantauan. Selanjutnya menurut Dore (1976 [1997]) kalangan pengusaha menggunakan informasi tersebut untuk tujuan seleksi pada proses rekrutmen.

Pada sisi lain, masing-masing menurut Airasian (1988), Kellaghan dan Greaney (2001) serta Madaus (1988) dan Shepard (1991), kepala sekolah dan guru menggunakan informasi tersebut untuk mengubah manajemen sekolah dan strategi pengajaran di sekolah. Akhirnya, menurut Adler (1997), Bowe (1994), dan Gorard (2001), orang tua menggunakan hasil penilaian pendidikan untuk memilih sekolah yang diinginkan anak-anak mereka. Adapun pemilihan sekolah dilakukan berdasarkan pada peringkat sekolah yang terdapat pada tabel liga (league table). Semua hal tersebut menunjukkan bahwa penilaian pendidikan berperan penting, terutama untuk pemangku kebijakan, dalam memantau hasil pendidikan. Menurut Broadfoot (1996) tujuan utama mereka memantau penyelenggaran sistem pendidikan adalah untuk mengontrol konten kurikulum serta peran dan fungsi penilaian pendidikan melalui kebijakan-kebijakan yang dimandatkan.

Dalam hal ini mereka menggunakan hasil penilaian sebagai instrumen kebijakan yang

‘powerful’. Artikel ini mengkaji discourse mengenai dua model penilaian pendidikan dalam konteks Indonesia yaitu model ujian eksternal melalui Ujian Nasional dan model penilaian berbasis kelas. Dalam kajiannya, penulis menggunakan konteks yang lebih luas dengan bingkai internasional.

Tujuan penulisan artikel ini, secara umum, adalah untuk berbagi wawasan mengenai discourse ujian eksternal melalui Ujian Nasional dan penilaian berbasis kelas dengan semua pemangku kepentingan pendidikan. Secara khusus, penulisan artikel ini ditujukan kepada semua pemangku kebijakan yang tugas dan fungsinya berkaitan erat dengan bidang penilaian pendidikan.

II. METODE

Dalam melakukan kajian terhadap kedua model penilaian pendidikan tersebut, penulis menggunakan metode critical discourse analysis dari Fairclough (1995) dan definisi discourse dari Ball (2005). Menurut Ball (2005), discourse merupakan otoritas seseorang untuk menyampaikan gagasannya dengan memperhatikan kapan waktunya dan dimana.

Gagasan tersebut disampaikan dengan cara merekonstruksi (menggabungkan, mengganti, dan menghilangkan) kata-kata sedemikian rupa sehingga membentuk makna baru.

III. KAJIAN LITERATUR

Kajian mengenai discourse dua model penilaian pendidikan tersebut dilakukan dengan menggunakan bingkai dalam konteks yang lebih luas (international framework). Selanjutnya, bingkai ini dijadikan sebagai stimulus untuk memunculkan masalah-masalah tersembunyi ke permukaan sebagai bahan untuk diskusi, yang sekaligus merangkap sebagai hasil kajian.

Adapun discourse dari dua model penilaian pendidikan tersebut dapat dilihat pada paragraf- paragraf berikut.

III. A. Konteks Internasional III. A. 1. Discourse Ujian Eksternal

Menurut Mueller (2001), secara politis, ujian dengan resiko tinggi (high stake testing) mempunyai daya tarik tertentu bagi pemangku kebijakan pendidikan. Dengan ujian tersebut, mereka dapat membuat nyaman sektor industri akan pentingnya ijazah sekolah menengah atas (SMA) pada waktu melakukan proses rekrutmen. Hal ini sejalan dengan pendapat Cibulka (2001), bahwa pemangku kebijakan pendidikan berkomitmen untuk mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi persaingan pasar berbasis pengetahuan global. Paradigma ini bertujuan untuk memantau pencapaian output sistem pendidikan berdasarkan produktivitas pendidikan (the new politics of education productivity). Mereka melakukannya dengan cara meminta pihak sekolah agar peserta didiknya dalam menempuh ujian yang dikelola secara nasional (misalnya, the National Assessment of Education Progress, NAEP, di Amerika Serikat) dapat mengerjakan ujian dengan hasil baik.

Menurut Smith (1997), pemangku kebijakan berasumsi mengenai pendidikan berbasis pengetahuan pasar global tersebut dengan cara mengadopsi standar dan kerangka akademik

(3)

yang koheren dengan kurikulum agar terjadi peningkatan terhadap capaian akademiknya.

Untuk mencapai tujuan kebijakan tersebut, pemangku kebijakan memilih sebuah instrumen, yaitu instrumen ujian yang mempunyai konsekuensi tinggi terhadap hasilnya (high stake testing). Dengan cara tersebut, mereka berharap peserta didik, guru, dan otoritas sekolah akan memfokuskan energinya terhadap target kebijakan. Dengan demikian, aktivitas sekolah akan berubah secara mekanistik, rasional, mempunyai visi yang sama, dapat diprediksi, dan seragam. Selain itu, standar dan penilaian pendidikan oleh pemerintah pusat diasumsikan sebagai objek tetap, sedangkan target untuk sekolah tidak tetap. Tujuannya adalah untuk mengarahkan upaya yang dilakukan sekolah. Menurut Madaus (1995), secara makro-politik hal ini berarti bahwa kebijakan ujian eksternal tersebut dinilai berdasarkan nilai-nilai seperti:

utilitarianisme, daya saing ekonomi, optimisme teknologi, objektivitas, kontrol birokrasi dan akuntabilitas, ketepatan numerik, efisiensi, standarisasi, dan kesesuaian.

Argumen tersebut paralel dengan apa yang dikemukakan oleh Barr dan Dreeben (1977) mengenai model fungsi produksi sekolah (the production function model of schooling). Menurut mereka, sekolah diperlakukan sebagai sebuah perusahaan yang mengubah input (seperti buku, alokasi waktu guru, kegiatan, fisik gedung sekolah, dan peralatan) menjadi output (seperti penambahan pengetahuan, perubahan dalam sikap, atau kenaikkan dalam pencapaian akademik) dengan biaya operasional minimum untuk mencapai output yang maksimum. Pada kenyataannya sulit untuk mencapai tujuan tersebut, karena sekolah adalah utilitas publik yang biayanya diperoleh dari pembayar pajak dalam konteks non-pasar. Menurut Dore (1976 [1997]) serta Lynch dan Tason (1984), dengan model penyelenggaraan sekolah seperti ini dapat dilakukan analisis secara ekonomi, yaitu cost-benefit analysis. Tujuannya adalah untuk mengalokasikan sumber biaya dengan benar.

Berdasarkan semua asumsi tersebut, Leathwood (2005) berpendapat bahwa kebijakan dan implementasi model ujian eksternal dipandang sebagai discourse teknologi, yaitu melihat semua hal sebagai sesuatu yang

‘netral dan obyektif'. Alasannya, menurut Delandshere (2001), pemangku kebijakan memanfaatkan perkembangan teknologi untuk dijadikan sebagai prosedur utama dalam melakukan ujian eksternal. Misalnya, perkembangan teknis dalam menganalisis butir

soal (menggunakan item response theory dan item bias analysis) dan adanya perubahan teknologi (misalnya menggunakan computer adaptive testing dan optical scanners). Kesemuanya itu, menurut Madaus (1992), hanya dapat dicapai melalui format butir soal objektif, misalnya pilihan ganda, yang sangat efisien dalam pembiayaan operasional program pengujian berskala besar.

Walaupun operasionalnya efisien, namun cara ini mempunyai konsekuensi. Pertama, menurut Aikenhead (2003), misalnya, pengetahuan abstrak dalam subjek Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang pembelajarannya tidak dikontekstualisasikan akan mengarah pada budaya kurikulum berbasis materi/berbasis disiplin ilmu. Dalam hal ini, peserta didik diharapkan untuk dapat berpikir seperti ilmuwan. Mereka dituntut untuk mengadopsi kebiasaan berpikir secara ilmiah, terlepas dari sejarah, sosiologi, filsafat sains, dan konteks kehidupan sosial dari peserta didik.

Selanjutnya, menurut Elliott (1991), orang yang diubah secara teknologi menjadi komoditas untuk konsumsi di pasar kerja / industri diperlakukan sebagai konsumen pasif (unskilled labours). Hal tersebut terjadi karena dalam penyelenggaraan sekolah, kurikulumnya terdiri atas objek pengetahuan fakta dan keterampilan prosedural, tidak mengandung objek pengetahuan yang memerlukan pemikiran, yaitu penyelesaian masalah sehari-hari yang menantang (real-life, challenging problem-solving).

Dengan kata lain, menurut Gipps (1999), Resnick dan Resnick (1992) serta Shepard dan Kirst (1991), nilai-nilai pendidikan konvensional tersebut kurikulumnya tidak mencerminkan pembelajaran secara kontekstual. Selain itu, pembelajarannya dilakukan secara terpisah dengan sistem ujiannya/penilaiannya. Menurut Power and Wood (1984), secara manajerial dan politis dari sudut pandang pemangku kebijakan, gagasan untuk membuat sistem Ujian Nasional adalah menarik. Adapun daya tariknya adalah bahwa hasil ujian eksternal akan memberikan informasi dan bukti objektif mengenai perdebatan yang sifatnya normatif/standar, yaitu mengenai sejauh mana standar nasional berubah. Tujuan akhirnya adalah bahwa sistem pendidikan akan lebih bertanggung jawab kepada publik yang mereka layani, yaitu akuntabel dalam proses pembelajarannya.

Pada akhirnya, berdasarkan hasil dari ujian eksternal, pemangku kebijakan menggunakan informasi tersebut untuk berbagai tujuan.

Diantaranya, menurut Orpwood (2001), hasil ujian eksternal dipakai untuk membuat

(4)

keputusan mengenai peserta didik, guru, dan sekolah serta sebagai pedoman dalam perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan. Kemudian menurut Airasian dan Madaus (1983), Baker (1994) serta Noah dan Eckstein (1992), mereka menggunakan hasil ujian eksternal sebagai sumber informasi terbaik untuk hal-hal yang bersifat administratif.

Selanjutnya menurut De Luca (1994), mereka menggunakan hasil ujian eksternal sebagai mekanisme utama untuk mengontrol mutu dari seluruh proses pendidikan. Selain itu, menurut Baker (1994), De Luca (1994), dan Madaus (1994), ada faktor teknis lainnya yang berkaitan dengan ujian eksternal. Faktor tersebut adalah desain konseptual, metode dan terminologi kuantitatif yang digunakan dalam ujian eksternal tidak dipahami dengan baik oleh mayoritas publik, baik pemangku kebijakan maupun pemangku kepentingan lainnya.

Sebagai akibatnya, menurut De Luca (1994), Leathwood (2005) dan Orpwood (2001), terdapat dua isu besar yang muncul dalam kaitannya dengan peran penilaian pendidikan yang saling bersaing - baik dalam skala nasional ataupun lokal. Menurut Orpwood (2001), kedua isu tersebut adalah secara politik, peran penilaian pendidikan adalah untuk melayani kebutuhan pemangku kebijakan atau secara akademik, peran penilaian pendidikan untuk memromosikan/meningkatkan pembelajaran peserta didik. Pertama, menurut Wiliam (2000) dalam kaitannya dengan isu politik, fokus utama dari pemangku kebijakan adalah hanya pada capaian hasil pembelajaran. Hal ini menurut Airasian (1987), fungsi utamanya adalah sebagai ukuran kinerja dalam memonitor sistem pendidikan secara keseluruhan. Indikator tunggal ini dari perspektif ekonomi, menurut Sirotnik (2002), sangat efisien dalam membuat keputusan beresiko tinggi mengenai status sosial peserta didik dan sekolah mereka. Selanjutnya menurut Apple (1999), capaian hasil pembelajaran, yang diujikan melalui ujian eksternal tersebut kemudian dipublikasikan secara luas melalui tabel liga, league table. Tetapi hal ini, menurut Goldstein dan Spiegelhalter (1996), mempunyai keterbatasan dalam membuat perbandingan antarinstitusi sekolah.

Akibat kedua, menurut Gipps (1999), dalam kaitannya dengan peran model penilaian berbasis kelas untuk peningkatan pembelajaran peserta didik, fokus utamanya adalah pada interaksi sosial antara guru dan peserta didiknya yang diikat dengan aturan budaya yang berlaku dalam kelas/sekolah tersebut. Dalam hal ini, menurut Brookhart (2001), guru seharusnya

mengetahui adanya perbedaan pada masing- masing individu peserta didik dalam hal kemampuannya, personalitinya, pengalamannya, persepsi dirinya maupun motivasinya. Secara umum, menurut Airasian dan Madaus (1983), pertanyaan yang perlu dikemukakan adalah apakah hasil ujian yang dicapai oleh masing-masing peserta didik dapat dijadikan sebagai indikator mutu layanan yang diberikan oleh sekolah, mutu dari pembelajaran atau mutu dari pengetahuan dan keterampilan yang mereka pelajari?

III. A. 2. Discourse Penilaian Berbasis Kelas

Sebagai alternatif dari pendekatan kebijakan penilaian pendidikan yang tersentralisasi, menurut Sir Richard Livingston, Presiden Corpus Christi College, Oxford, 1941 yang dikutip dari Emslie (2004), keberhasilan suatu pendidikan tidak diukur berdasarkan banyaknya pengetahuan yang dipelajari oleh seorang peserta didik di sekolah, tetapi berdasarkan pada keinginannya untuk mengetahui dan kapasitasnya untuk belajar. Menurut Emslie (2004), pertanyaan yang muncul adalah bagaimana kita dapat memperbaiki kapasitas belajar peserta didik yang selanjutnya akan membawa pada perbaikan capaian hasil peserta didik pada ujian eksternal? Dilihat dari perspektif sejarah pada konteks yang lebih luas, menurut Delandshere (2001), fungsi dan tujuan dari kebijakan dan implementasi penilaian pendidikan akan lebih sesuai jika didefinisikan dalam bingkai struktur sosial-politik. Dalam bingkai tersebut, menurut Loyd (1994), fokusnya adalah pengakuan pada adanya perbedaan antarpeserta didik dalam hal interes, budaya, turunan, dan norma-norma kehidupan yang berlaku lokal. Hal tersebut berarti juga bahwa setiap Dinas Pendidikan di daerah berperan penting dalam memformulasikan kebijakan mengenai apa yang akan dinilai, bagaimana cara penilaiannya, dan bagaimana memanfaatkan hasil penilaiannya.

Selanjutnya, pendapat dari Delandshere (2001) dan Loyd (1994) diperkuat oleh Emslie (2004). Emslie (2004) berpendapat bahwa pada hakekatnya berdasarkan perspektif sejarah maupun struktur sosial-politik pada konteks yang lebih luas, fungsi dan tujuan dari kebijakan dan implementasi penilaian pendidikan seharusnya bergeser ke arah pemenuhan semua kebutuhan peserta didik dalam kaitannya untuk meningkatkan kapasitas mereka di sepanjang spektrum kemampuan mereka. Menurut Gipps (1999), hal ini logis karena untuk melihat

(5)

munculnya aspek mikro-politik pada tingkatan kelas/sekolah hanya dapat dilakukan melalui interaksi sosial. Sedangkan budaya interaksi sosial baru dapat terjadi apabila dilakukan dalam bentuk feedback. Sebaliknya, menurut Bernstein (1978) dan Dokecki (1983), budaya interaksi sosial tidak akan muncul apabila fungsi dan tujuan dari kebijakan dan implementasi penilaian pendidikan dilakukan dengan menggunakan pendekatan teknis dan ilmiah.

Menurut Osborn (1997), asumsi yang mendasari paradigma interaksi sosial tersebut adalah bahwa peserta didik mulai menuntut ilmu dari titik yang berbeda sehingga masing- masing mereka memerlukan pendekatan pembelajaran yang berbeda. Oleh sebab itu, implementasi paradigma tersebut dilakukan dengan cara mengintegrasikan proses pembelajaran dan proses penilaiannya melalui paradigma konstruksi sosial, socio-constructivist paradigm (Filer, 2000). Menurut Leathwood (2005), paradigma tersebut memacu dan memberi dorongan serta tantangan kepada peserta didik dengan tujuan untuk mengembangkan dirinya dan berpikir secara kritis (Leathwood, 2005). Adapun caranya, menurut Airasian (1987) adalah dengan mendesain penilaian berbasis kelas untuk melayani berbagai macam kebutuhan peserta didik, baik kebutuhan ilmiah, teknis, maupun kebutuhan sosialnya. Menurut Black dan Wiliam (1998) serta Emslie (2004), paradigma tersebut merupakan paradigma sentral untuk penilaian berbasis kelas, yaitu assessment for and as learning sebagai fungsi penilaian formatif.

Namun pada sisi lain, menurut Sirotnik (2002) terdapat masalah ekonomi yang muncul dengan menekankan pada kemajuan pencapaian individu peserta didik melalui berbagai metode pembelajaran dan selanjutnya melalui berbagai metode penilaian performan.

Menurut Pollitt (1987) dan Sirotnik (2002), penilaian performan yang baik memerlukan alokasi waktu banyak dan cukup mahal (time and financial constraints). Selain itu, menurut Linn (1993) dan Shavelson (1992) aspek metodologi penilaian berbasis kelas, seperti penilaian proses pembelajaran dan kualitas instruksinya terkendala oleh aspek keandalan dan validitasnya sehingga menurut Messick (1984) akan menyulitkan praktiknya. Hal inilah, menurut Linn (1993) dan Pollitt (1987) yang kemudian menuntut peran yang lebih besar dari pemerintah pusat dalam memfasilitasi berbagai sumber daya yang memadai untuk

memromosikan pembelajaran individu peserta didik.

Sebagai konsekuensinya, menurut Pollitt (1987), semakin banyak tuntutan terhadap pemerintah pusat dalam hal keharusan mendesain penilaian kelas yang memfokuskan pada individu peserta didik dalam memenuhi kebutuhannya secara teknis, ilmiah, dan sosialnya serta memfasilitasi semua sumber daya secara memadai, semakin jelas bahwa penilaian berbasis kelas menjadi bersifat politis.

Berdasarkan semua informasi yang ada, menurut Pollitt (1987), sebenarnya apa tujuan ekonomi dan tujuan politik pemerintah di seluruh negara dalam menerapkan penilaian berbasis kelas? Adapun implikasinya secara ekonomi, menurut Pollitt (1987), adalah bahwa efisiensi cenderung menjadi kriteria yang dominan, paling tidak karena efektivitas sulit diukur dan sensitif secara politis. Dengan demikian, dalam keadaan ini, tujuan ekonomi pelaksanaan penilaian berbasis kelas tidak mungkin jauh dari prinsip input yang efisien dan output yang efektif, terlepas dari hasil atau kepuasan pelanggan. Sedangkan konsekuensinya secara politik, perubahan dalam kebijakan kurikulum tidak diikuti oleh perubahan signifikan dalam perumusan kebijakan penilaian pendidikan untuk kepuasan publik. Hal ini berarti bahwa peran penilaian berbasis kelas dalam melayani pembelajaran peserta didik di bawah mekanisme pasar dan kelangkaan sumber daya dapat berorientasi ke arah prinsip efisiensi dan efektivitas dalam mengejar target pendidikan nasional. Dengan kata lain, hal ini serupa dengan peran penilaian tradisional dalam melayani kebutuhan pemangku kebijakan. Oleh karena itu, peran penilaian pendidikan untuk meningkatkan mutu pembelajaran peserta didik sulit untuk dicapai di bawah mekanisme ketat berdasarkan prinsip- prinsip pasar global.

III. B. Konteks Indonesia

III. B. 1. Discourse Ujian Eksternal

Dalam konteks Indonesia, Bapak Malik Fadjar (2003), Menteri Pendidikan Nasional, mempunyai komitmen mengenai pentingnya pendidikan sebagai suatu bentuk investasi sumber daya manusia yang selanjutnya dijadikan sebagai dasar untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan bangsa di masa mendatang. Komitmennya tercantum pada bagian pembukaan Undang- Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20/Tahun 2003 (Undang-Undang SPN No.20/2003).

(6)

Dalam merespons kebijakan SPN tersebut, Pusat Kurikulum dan Perbukuan melakukan aktivitas penyusunan Kurikulum-2013 mengenai materi apa saja yang harus dipelajari oleh peserta didik dan diajarkan oleh guru.

Selanjutnya pada implementasinya, kurikulum tersebut mengalami revisi pada tahun 2014 dan

2016. Hasil revisi kurikulum tersebut ternyata masih berbasis pada materi (kurikulum berbasis disiplin ilmu) yang berkorelasi positif dengan parameter ekonomi/industri. Hal ini dapat dilihat, misalnya, pada Kurikulum-2013 revisi 2016 bidang studi kimia jenjang pendidikan SMA/MA (lihat tabel).

Tabel hubungan antara materi kimia pada Kurikulum 2013 revisi 2016 dengan industri kimia

Kompetensi Dasar (K-2013 rev 2016) Asosiasi dengan Industri Kimia - Perkembangan model atom (Dalton, Thomson,

Rutherford, Bohr, dan mekanika gelombang (Kls X, K-13, rev 2016).

- Konfigurasi elektron dan pola konfigurasi elektron terluar untuk setiap golongan dalam tabel periodik (Kls X, K-13, rev 2016).

- Kemiripan sifat unsur dalam golongan dan keperiodikannya (Kls X, K-13, rev 2016).

- Ikatan ion, ikatan kovalen, ikatan kovalen koordinasi, dan ikatan logam serta kaitannya dengan sifat zat (Kls X, (K-13, rev 2016).

- Teori pasangan elektron kulit valensi (VSEPR) dan teori domain elektron dalam menentukan bentuk molekul (Kls X, (K-13, rev 2016).

- Hubungan interaksi antarion, ato, molekul dengan sifat fisika zat (Kls X, (K-13, rev 2016).

Sebagai dasar untuk memahami sifat fisika dan sifat kimia dari senyawa kimia yang digunakan sebagai bahan baku dalam proses kimia organik sintetik pada proses industri.

- Hukum-hukum dasar kimia, konsep massa molekul relatif, persamaan kimia, konsep mol dan kadar zat untuk menyelesaikan perhitungan kimia (Kls X, (K-13, rev 2016).

Sebagai dasar untuk memahami perhitungan matematika dalam formulasi bahan baku kimia yang diperlukan dalam suatu reaksi untuk menghasilkan produk kimia sesuai dengan spesifikasi tertentu.

- Sifat larutan dan daya hantar listrik (Kls X, (K-13, rev

2016). Sebagai dasar untuk pengendalian

kualitas produk kimia.

- Menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi laju reaksi menggunakan teori tumbukan (Kls XI, K-2013 rev 2016).

- Menentukan orde reaksi dan tetapan laju reaksi berdasarkan data hasil percobaan (Kls XI, K-2013 rev 2016).

- Menjelaskan reaksi kesetimbangan dalam hubungan antara pereaksi dan hasil reaksi (Kls XI, K-2013 rev 2016).

- Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi pergeseran arah kesetimbangan dan penerapannya dalam industri (Kls XI, K-2013 rev 2016).

Sebagai dasar untuk mengatur / mengontrol (konsentrasi, suhu, dan tekanan) dalam suatu reaksi kimia dan mempercepat laju reaksi kimia dalam suatu proses produksi kimia.

- Menganalisis kelimpahan, kecenderungan sifat fisika dan kimia, manfaat, dan proses pembuatan unsur-unsur golongan utama (gas mulia, halogen, alkali dan alkali tanah), unsur-unsur periode 3 dan golongan transisi- periode 4 (Kls XII, K-2013 rev 2016).

Sebagai dasar untuk memahami bahan baku alami yang diperlukan untuk digunakan lebih lanjut dalam proses reaksi kimia.

(7)

Tabel hubungan antara materi kimia pada Kurikulum 2013 revisi 2016 dengan industri kimia

Kompetensi Dasar (K-2013 rev 2016) Asosiasi dengan Industri Kimia - Reaksi reduksi dan oksidasi menggunakan konsep

bilangan oksidasi unsur (Kls X, K-2013 rev 2016).

- Menyetarakan persamaan reaksi redoks (Kls XII, K-2013 rev 2016).

- Menganalisis proses yang terjadi dalam sel Volta dan menjelaskan kegunaannya (Kls XII, K-2013 rev 2016).

- Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya korosi dan cara mengatasinya (Kls XII, K-2013 rev 2016).

- Menerapkan stoikiometri reaksi redoks dan Hukum Faraday untuk menghitung besaran-besaran yang terkait sel elektrolisis (Kls XII, K-2013 rev 2016).

Sebagai dasar untuk memahami bagaimana dan mengapa reaksi kimia terjadi.

- Menganalisis struktur dan sifat senyawa hidrokarbon berdasarkan kekhasan atom karbon dan golongan senyawanya (Kls XI, K-2013 rev 2016).

- Menjelaskan proses pembentukan fraksi-fraksi minyak bumi, teknik pemisahan serta kegunaannya (Kls XI, K- 2013 rev 2016).

- dan seterusnya (Kls XI, K-13, rev 2016).

- Menganalisis struktur, tatanama, sifat, sintesis, dan keguanaan senyawa karbon, benzena dan turunannya serta penggolangan makromolekul (Kls XII, K-2013 rev 2016).

Sebagai dasar untuk memproduksi produk-produk petrokimia.

Kurikulum-2013 revisi 2016

Sebagai akibatnya, menurut Shihab (2018) dari sisi akademiknya, peserta didik SMP pada waktu mengikuti Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) tahun 2018 merasa sulit untuk menyelesaikan butir soal yang dikategorikan sebagai Higher Order Thinking Skills (HOTS), yang notabene pembelajarannya dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari- hari. Sebaliknya, mereka sudah terbiasa mengerjakan soal-soal pada proses kognisi rendah yang bersifat ingatan, Lower Order Thinking Skills (LOTS). Selanjutnya menurut Tim Penyusun ‘Buku Saku Tanya Jawab UN’

(2017), hasil Ujian Nasional masih digunakan untuk tujuan administratif dengan desain konseptualnya sebagai bahan pertimbangan seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, (high stake testing). Sebagai konsekuensinya, menurut Yudono (2018), beberapa bulan sebelum berlangsung UNBK, sekolah melakukan beberapa kali simulasi/try-out.

Semua itu dilakukan semata-mata untuk memeroleh hasil Ujian Nasional tinggi.

Kemudian dalam kaitannya dengan penyelenggaraan Ujian Nasional, Suryadi (2018) melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), meminta sekolah di seluruh provinsi untuk mencapai standar pendidikan nasional 55 pada Ujian Nasional 2017/2018. Dalam hal ini, mayoritas

sekolah yang menempuh Ujian Nasional Tahun 2017/2018 menggunakan Komputer (UNBK) sebanyak 78% dan sisanya (22%) menggunakan Kertas Pensil (UNKP). Selanjutnya, bagi peserta didik yang hasil Ujian Nasionalnya di bawah standar nasional 55 dapat memperbaikinya pada Ujian Nasional Berbasis Komputer Perbaikan bulan Juli 2018 mendatang. Adapun biaya operasionalnya, menurut Sudiyarto (2018) dapat ditekan seminimal mungkin hingga mencapai 70% atau sekitar seratus juta rupiah.

Selanjutnya, menurut Nizam (2017), hasil Ujian Nasional, baik UNBK maupun UNKP, dibuatkan daftar daya serap untuk setiap materi per mata pelajaran yang diujikan per sekolah per kabupaten / per kota per provinsi per jenjang pendidikan (SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK) dan ditambah daftar daya serap dalam skala nasional. Semua daftar perbandingan hasil Ujian Nasional antarinstitusi sekolah tersebut, yang dikemas dalam sebuah disket, dibuat hanya berdasarkan standar kompetensi lulusan, tanpa memperhatikan komponen-komponen standar nasional pendidikan lainnya. Hal ini berkaitan dengan rasa keadilan bagi peserta didik yang menempuh ujian nasional (fairness of testing) yang selanjutnya membawa implikasi pada status sosial bagi peserta didik dan pihak sekolahnya.

(8)

Secara keseluruhan, berdasarkan kebijakan penilaian pendidikan model ujian eksternal melalui Ujian Nasional tersebut, terdapat delapan pertanyaan mendasar yang perlu dieksplorasi lebih lanjut. Pertama, mengapa Kurikulum-2013 revisi 2016 untuk bidang studi kimia SMA/MA masih disusun berdasarkan materi (Kurikulum-2013 berbasis disiplin ilmu)?

Kedua, mengapa ditetapkan standar nasional sebesar 55 (skala 0-100) sebagai batas minimal kelulusan peserta didik? Ketiga, apakah standar 55 pada kontinum skala 0 – 100 tersebut dapat dikategorikan sebagai standar rendah atau tinggi? Kemudian, mengapa hasil UN yang diukur melalui capaian daya serap untuk jenjang pendidikan SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK per kota/per kabupaten/ per provinsi diumumkan ke publik melalui league table?

Selanjutnya, mengapa ada kebijakan Ujian Nasional Perbaikan pada Bulan Juli 2018? Apa tujuannya? Berikutnya, secara keseluruhan, apa konsekuensi dari kebijakan mengenai Ujian Nasional tersebut? Pada akhirnya, siapa yang paling bertanggungjawab? dan bagaimana menyelesaikan masalahnya?

III. B. 2. Discourse Penilaian Berbasis Kelas Dalam konteks Indonesia, Kurikulum-2013 pada tingkatan kurikulum sebagai dokumen (intended curriculum) menggunakan paradigma interaksi sosial. Jadi pembelajarannya berpusat pada semua kebutuhan peserta didik. Tetapi dalam penyelenggaran Ujian Nasional, misalnya, ketiga parameter tersebut (yaitu dalam memformulasikan kebijakan mengenai apa yang akan dinilai, bagaimana cara penilaiannya, dan bagaimana memanfaatkan hasil penilaiannya) ditentukan oleh pemerintah pusat, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang), Kemendikbud bekerjasama dengan BSNP. Sebaliknya, menurut Tim Penyusun

‘Buku Tanya Jawab UN’ (2017), dalam penyelenggaraan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Dinas Pendidikan, sebagai koordinator, mendapat otoritas untuk mengoordinir Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Kelompok Kerja Guru (KKG), dan Forum Tutor dalam menentukan ketiga parameter tersebut dengan proporsi sebanyak 75% - 80%, sisanya 20% - 25%

merupakan otoritas pemerintah pusat.

Berdasarkan informasi tersebut, dapat dikatakan bahwa pemerintah pusat memberlakukan dua paradigma model penilaian pendidikan, yaitu model ujian eksternal melalui Ujian Nasional dan model penilaian berbasis kelas, pada institusi sekolah.

Hal tersebut tercermin dari pasal 58 ayat (1) dan (2) pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.20/2003. Pada ayat (1), kontrol terhadap proses pembelajaran melalui penilaian berbasis kelas dan perbaikan hasil belajar melalui USBN merupakan otoritas pendidik/guru, sedangkan pada ayat (2) kontrol terhadap peserta didik, sekolah, dan program melalui Ujian Nasional merupakan otoritas

‘lembaga mandiri’ (BSNP). Berdasarkan informasi secara keseluruhan, ternyata terdapat perbedaan antara kebijakan sebagai dokumen/

teks dan kebijakan yang diimplementasikan.

Ternyata otoritas pendidik/guru berkurang sebesar 20% - 25% sehingga otoritasnya menjadi 75% - 80%. Proporsi sebesar 20% - 25%

selanjutnya menjadi otoritasnya BSNP, sesuai dengan kebijakan dari pemerintah pusat.

Pertanyaannya, mengapa hal itu dapat terjadi dan apa tujuannya? Secara politik, dua paradigma yang sangat bertentangan orientasinya, paradigma ekonomi versus paradigma kemanusian, berada bersama-sama dalam institusi sekolah. Apa yang sebenarnya terjadi dengan kesetimbangan dari dua paradigma tersebut? Terjadi pergeseran kesetimbangan ke arah paradigma ekonomi/ ke arah kepentingan pemangku kebijakan yang mempunyai otoritas paling besar. Secara ekonomi, apa konsekuensinya terhadap proses pembelajaran yang berpusat pada pemenuhan kebutuhan peserta didik? Apakah mungkin semua kebutuhan peserta didik, baik kebutuhan sosialnya: interesnya, harapannya, dan budayanya, dan kebutuhan ilmiahnya:

kurikulum pembelajaran sepanjang hayat maupun kebutuhan teknisnya: fasilitas pembelajarannya, diakomodir oleh pemerintah pusat yang notabene berprinsip pada mekanisme ketat dari pengetahuan global di pasar bebas, yaitu efisien pada inputnya, akuntabel pada prosesnya, dan efektif pada outputnya? Apa yang terjadi dengan mutu pembelajarannya/pendidikannya di dalam kelas/sekolah? Apakah perbaikan mutu pembelajarannya/pendidikannya benar-benar terjadi di dalam kelas/sekolah? Secara politik, perubahan dalam formulasi kebijakan Kurikulum-2013 pada tinjauan kurikulum sebagai dokumen, tidak diikuti oleh perubahan signifikan dalam struktur materi Kurikulum- 2013 revisi 2016 (masih merupakan Kurikulum- 2013 berbasis disiplin ilmu) dan tidak diikuti pula oleh perubahan perumusan kebijakan dalam penilaian pendidikannya, seperti dinyatakan dalam UU SPN pasal 58 ayat (2),

(9)

untuk kepuasan publik sebagai pengguna/

pelaksana kurikulum.

IV. SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil kajian terhadap dua model penilaian pendidikan tersebut dapat diambil simpulan sebagai berikut. Kebijakan dan implementasi penilaian pendidikan dengan model ujian eksternal menggunakan pendekatan parameter-parameter ekonomi berdasarkan persaingan pasar yang berbasis pengetahuan global. Paradigma ini bertujuan hanya untuk memantau output sistem pendidikan (the new politics of education productivity) dengan prinsip biaya operasional minimum untuk mencapai output yang maksimum (cost-benefit analysis).

Pendekatan ini mempunyai beberapa konsekuensi terhadap impelementasinya di dunia pendidikan. Secara keseluruhan, terdapat delapan pertanyaan mendasar yang memerlukan eksplorasi lebih lanjut. Sebaliknya, fungsi dan tujuan dari kebijakan dan implementasi penilaian pendidikan dengan model penilaian berbasis kelas, berdasarkan perspektif sejarah maupun struktur sosial-politik pada konteks yang lebih luas, seharusnya bergeser ke arah pemenuhan semua kebutuhan peserta didik (yaitu kebutuhan sosialnya, ilmiahnya, dan kebutuhan teknisnya) dalam proses pembelajarannya. Paradigma sentral dari model penilaian ini adalah pengintegrasian proses pembelajaran dan proses penilaiannya melalui paradigma konstruksi sosial - socio- constructivist paradigm. Model inipun pada implementasinya mempunyai kendala yang memerlukan perhatian khusus dari pemerintah pusat. Jika kendala tersebut tidak dapat diatasi, selanjutnya akan memunculkan dua isu besar, yaitu isu ekonomi dan isu politik. Sebagai konsekuensi akhirnya adalah model penilaian berbasis kelas juga akan mempunyai prinsip kerja yang sama dengan model penilaian ekternal, yaitu efisien dalam inputnya, akuntabel dalam prosesnya, dan efektif dalam outputnya. Adapun saran dari kajian ini, terutama bagi pemangku kebijakan yang berkaitan erat dengan bidang penilaian pendidikan, adalah bahwa dalam memformulasikan kebijakan penilaian pendidikan dapat mempertimbangkan secara cermat dan menyeluruh semua aspek, teknis maupun non-teknis, yang berkaitan dengan sistem pendidikan nasional.

REFERENSI

Adler, M. (1997). Looking backwards to the future: parental choice and education policy. British Educational Research Journal, 23(3), pp.297-313.

Aikenhead, G.S. (2003). Chemistry and physics instruction: integration, ideologies, and choices. Chemistry and Education: Research and Practice, 4(2), pp. 115-130.

Airasian, P.W. (1988). Measurement driven instruction: A closer look. Educational Measurement: Issues and Practice.

Airasian, P.W. (1987). State mandated testing and educational reform: context and consequences. American Journal of Education, 95(3), pp.393-412.

Airasian, P.W., and Madaus, G.F. (1983).

Linking testing and instruction: policy issues. Journal of Educational Measurement, 20(2), pp.103-118.

Apple, M.W. (1999). Rhetorical reforms:

markets, standards and inequality. Current Issues in Comparative Education, 1(2), pp.

1-13.

Baker, E.L. (1994). Researchers and assessment policy development: a cautionary tale.

American Journal of Education, 102(4), pp.450-477).

Ball, S.J. (2005). Education policy and social class:

The selected works of Stephen J. Ball.

London: Routledge.

Barr, R., and Dreeben, R. (1977). Instruction in classrooms. Review of Research in

Education, 5, pp.89-162.

Bernstein, R.J. (1978). The restructuring of social and political theory. London: Methuen.

Black, P., and Wiliam, D. (1998). Assessment and classroom learning. Assessment in Education, 5(1), pp.7-74.

Bowe, R., Gewirtz, S., and Ball, S.J. (1994).

Captured by the discourse? Issues and concerns in researching ‘Parental Choice’.

British Journal of Sociology of Education, 15(1), pp. 63-78.

Broadfoot, P. (1996). The social purposes of assessment (Chapter 2). Education, Assessment and Society: A sociological analysis. Buckingham: Open University Press.

Brookhart, S.M. (2001). Successful students’

formative and summative uses of assessment information. Assessment in Education, 8(2), pp.153-169.

(10)

Cibulka, J.G. (2001). The changing role of interest groups in education:

nationalization and the new politics of education productivity. Educational Policy, 15(1), pp.12-40.

Delandshere, G. (2001). Implicit theories, unexamined assumptions and the status quo of educational assessment.

Assessment in Education, 8(2), pp.113-133.

De Luca, C. (1994). The impact of examination systems on curriculum development: an international study (Report). Paris, France:

UNESCO.

Dokecki, P.R. (1983). The place of values in the world of psychology and public policy.

Peabody Journal of Education, 60(3), pp.107- 125.

Dore, R. (1976[1997]). The diploma disease:

education, qualification and development.

In Core Module – Learning, Education and Development: Concepts and Issues (Created for the academic year 2005-2006). Institute of Education, University of London.

Elliott, J. (1991). Action research for educational change. Milton Keynes: Open University Press.

Emslie, G., Jonsson, M., Kwawukume, S., Kuhlenkamp, J., Noor, N., and Strapkova, I. (2004). Assessment: It’s impact in the classroom. Bobergsskolan Report.

Fairclough, N. (1995). Critical discourse analysis:

the critical study of language. Longman.

Filer, A. (2000). Introduction. In A. Filer and A. Pollard, Assessment: Social practice and social product. London: Routledge Falmer.Firestone, W.A. (2000). Format, focus and frustration:the policy and politics of state testing. Paper presented at the annual meeting of the British Educational Research Association in Cardiff, Wales, September 8.

Gipps, C. (1999). Socio-cultural aspects of assessment. Review of Research in Education, Vol. 24. pp. 355-392.

Goldstein, H., and Spiegelhalter, D.J. (1996).

League tables and their limitations:

statistical issues in comparisons of institutional performance. Journal of the Royal Statistical Society, 159(3), pp.385- 443.

Gorard, S., Fitz, J., and Taylor, C. (2001).

School choice impacts: what do we know?

Educational Researcher, 30(7), pp.18-23.

Kellaghan, T., and Greaney, V. (2001). Using assessment to improve the quality of education.

Paris, UNESCO: International Institute for Educational Planning.

Kurikulum 2013, revisi 2016. Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Kimia SMA/MA.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Leathwood, C. (2005). Assessment policy and practice in higher education: purpose, standards and equity. Assessment and Evaluation in Higher Education, 30(3), pp.307-324.

Linn, R. (1993). Educational assessment:

expanded expectations and challenges.

Educational Evaluation and Policy Analysis, 15(1), p.1-16.

Little, A. (1993). Towards an international framework for understanding assessment.

International Centre for Research on Assessment, Institute of Education, University of London.

Loyd, B.H. (1994). Book review: Toward a science of educational testing and assessment by H. Berlak., F.M.

Newmann., E. Adam., D.A. Archbald., T. Burgess., J. Raven., and

T.A. Romberg. Journal of Educational Measurement, 31(1), pp.83-87.

Lynch, P.D., and Tason, M. (1984). Research on educational planning: an international perspective. Review of Research in Education, 11, pp. 307-367.

Madaus, G. F. (1995). A technological and historical consideration of equity issues associated with proposals to change the nation's testing policy. In M. T. Nettles, A. L. Nettles (Ed.), Equity and excellence in educational testing and assessment. (pp. 23- 68). Boston: Kluwer Academic Publishers.

Madaus, G.F. (1994). Review: Testing’s place in society: an essay review of “Testing:

social consequences of the examined life”

by F.A. Hanson. American Journal of Education, 102(2), pp. 222-234.

Madaus, G.F., Haney, W., and Kreitzer, A.

(1992). Testing and evaluation: learning from the projects we fund. Policy Issues in the Conduct of Corporate Support of Education, pp.2-64. The Council for Aid to Education, Inc.

(11)

Madaus, G. F. (1988). The influence of testing on the curriculum. In L.N. Tanner (Ed.).

Critical issues in curriculum, 87th yearbook of NSSE part 1, Chicago, IL, University of Chicago Press.

Messick, S. (1984). Assessment in context:

appraising student performance in relation to instructional quality.

Educational Researcher, 13(3), pp.3-8.

Mueller, J. (2001). Facing the unhappy day:

three aspects of high-stakes testing movement.

Kansas Journal of Law and Public Policy.

Available at:

http://scholar.google.com/scholar?hl=en&lr=

&q=cache:2OWwaUv20roJ:www.law.ukans.e du/jrnl/v11n2/Muellerv11p201.pdf+a+techn ological+and+historical+consideration+of+eq uity+issues,+madaus. Retrieved on December 28, 2006.

Nizam (2017). Panduan Pemanfaatan Hasil Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2016/2017 untuk Perbaikan Mutu Pendidikan. Puspendik dan BSNP.

Noah, H.J., and Eckstein, M.A. (1992). The two faces of examinations: a comparative and international perspective (pp.147- 170), in H.J Noah and M.A Eckstein (eds.), Examinations: Comparative and international studies. Oxford: Pergamon Press. Available at: http://www.hku.hk /cerc/3e.html.

Retrieved on September28, 2006.

Orpwood, G. (2001). The role of assessment in science curriculum reform. Assessment in Education, 8(2), pp.135-151.

Osborn, M., Broadfoot, P., Planel, C., and Pollard, A. (1997). Social class, educational opportunity and equal entitlement: dilemmas of schooling in England and France. Comparative Education, 33(3), pp.375-393.

Pollitt, C. (1987). The politics of performance assessment: lessons for higher education?

Studies in Higher Education, 12(1), pp.87-98.

Power, C., and Wood, R. (1984). National assessment: a review of programs in Australia, the United Kingdom and the United States. Comparative Education Review, 28(3), pp.355-377.

Resnick, L.B., and Resnick, D.P. (1992).

Assessing the thinking curriculum: new tools for educational reform. In B.R.

Gifford and M.C. Connor (Eds.), Changing assessments: alternative views of aptitude, achievement and instruction (pp.37- 75). London: Kluwer Academic Publishers.

Shavelson, R.J., Baxter, G.P., and Pine, J.

(1992). Performance assessments: political rhetoric and measurement reality.

Educational Researcher, 21(4), pp.22-27.

Shepard, L.A. (1991). Will national tests improve student learning? CSE Technical Report 342. National Center for Research on Evaluation, Standards, and Student Testing (CRESST). UCLA: Graduate School of Education.

Shepard, L.A., and Kirst, M.W. (1991).

Interview on assessment issues with Lorrie Shepard. Educational Researcher, 20(2), pp.21-23, 27.

Shihab, N. (2018). Nilai UNBK SMP Turun.

Ahli: Murid Indonesia terbiasa hafalan.

TEMPO.CO

Diunduh pada hari Rabu, 6 Juni 2018 pada laman:

https://gaya.tempo.co/ read/

1093690/nilai-unbk-smp-turun-ahli- murid-indonesia-terbiasa-hafalan

Sirotnik, K.A. (2002). Promoting responsible accountability in schools and education.

Phi Delta Kappa International. Available at:

http://www.pdkintl.org/kappan/k0205si r.htm . Retrieved on 22nd January 2007.

Smith, M.L., Heinecke, W., and Noble., A.J.

(1997). The politics of assessment: a case study of policy and political spectacle. CSE Technical Report 468. National Center for Research on Evaluation, Standards and Student Testing. Graduate School of Education and Information Studies, University of California, Los Angeles.

Sudiyarto, D. (2018). Kemendikbud: UNBK Tekan Anggaran Ujian Nasional Hingga 70%. TEMPO.CO Retrieved pada hari Rabu, 6 Juni 2018 melalui laman:

https://dunia.tempo.co/read/1095402/a nak-anak-malaysia-cuci-mobil-bantu- bayar-utang- negara

(12)

Suryadi, B. (2018). Kemendikbud akan lakukan Ujian Perbaikan Berbasis Komputer Juli 2018 mendatang. Tribunjakarta.com.

Retrieved pada 29 Mei 2018 melalui laman:http://jakarta.tribunnews.com/20 18/05/08/kemendikbud-akan-lakukan- ujian- perbaikan-berbasis-komputer-juli- 2018-mendatang

Tim Penyusun (2017). Buku saku “Tanya Jawab UN”. BSNP dan Balitbang Kemendikbud.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Yudono, A. (2018). Persiapan UN, Dinas Pendidikan Pangkalpinang Gelar Try Out Berbasis Komputer. BANGKAPOS.COM.

Retrieved pada hari Rabu, 13 Juni 2018 melalui laman:

http://bangka.tribunnews.com/2018/03/

05/persiapan-un-dinas-pendidikan- pangkalpinang-gelar-try-out-berbasis- komputer

Wiliam, D. (2000). Integrating formative and summative functions of assessment. Paper presented to Working Group 10 of the International Congress on Mathematics Education, Makuhari, Tokyo.

Referensi

Dokumen terkait

Bahkan ada yang menyebutkan beberapa kilogram emas diperlukan untuk membuat suatu lapisan komando (bagian yang sangat berkilat jika ditimpa sinar matahari untuk emberikan

Suatu sistem penilaian kinerja berusaha untuk memenuhi kebutuhan dari pihak pemangku kepentingan ( stakeholders) yang berbeda dari organisasi

V KONVERS, INVERS, KONTRAPOSISI VI PENARIKAN KESIMPULAN Selamat datang di CD berprogram Menu Utama Info Guru Diskripsi Materi Pelajaran Kompetensi Dasar Materi Latihan

Sistem pembagian batang yang menghasilkan beberapa jenis sortimen kayu bundar (sistem kayu pendek) dapat menghasilkan volume pemanfaatan, produksi kayu pertukangan,

permen tersebut tiba-tiba saudara RIDWAN menarik kalung yang berada di leher YE KANIA Anak dari GADOH dan langsung lari menuju dimana terdakwa menunggu dan langsung

Faktor pendorong migrasi umumnya adalah harapan akan upah yang lebih tinggi (Todaro 1976). Migrasi merupakan solusi yang banyak dipilih dalam mengatasi keterpurukan ekonomi

Ketika di akhir pembicaraan mengenai definisi, kedua penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan strategi pembelajaran bahasa -dengan mengambil contoh bahasa Indonesia-

176 THOMAS GALANG PRASETYO XII IPA G UNIVERSITAS PARAHYANGAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA UJIAN TULIS 177 ANDITO PRAMADIKA XII KI A UNIVERSITAS INDONESIA TEKNIK MESIN (PARALEL) SIMAK