• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keluarga merupakan kelompok sosial terkecil dalam masyarakat. Hal ini didukung dengan pernyataan yang disampaikan oleh Littlejohn (2011) setiap keluarga memiliki aspek masing-masing yang meliputi saling ketergantungan, hierarki, perubahan lingkungan, aturan yang ada, tujuan, dan keseimbangan. Keluarga juga dapat diartikan sebagai sekumpulan dua orang atau lebih yang tinggal dalam satu atap yang sama dalam jangka waktu yang lama. Anggotanya memiliki keterikatan satu sama lain dan mereka saling mempertahankan budayanya.

Seringkali keluarga disebut sebagai tempat untuk kembali, tempat untuk berkumpul, tempat paling nyaman, untuk dijadikan tempat bercerita keluh kesah, hingga untuk menyelesaikan sebuah masalah. Manusia selama hidupnya mengalami perkembangan baik itu secara fisik maupun mental. Perkembangan manusia diawali dari bayi, anak-anak, dewasa, dan pada akhirnya akan menjadi tua atau lanjut usia (lansia). Menurut undang-undang no 13 tahun 1998, tentang kesejahteraan lanjut usia pada bab 1 pasal 1 ayat 2, yang dimaksud dari lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Menurut Reimer, Stanley, dan Beare dalam Azizah (2011, p. 12) lansia didefinisikan berdasarkan karakteristik sosial masyarakat yang menganggap bahwa orang telah menjadi tua ketika menunjukkan ciri fisik seperti rambut beruban, kerutan kulit, dan hilangnya gigi.

Dalam usia yang sudah tidak produktif lagi, lansia ini seharusnya berada di bawah pengawasan keluarga dan dirawat oleh anggota keluarganya yang lebih muda. Melihat fungsi keluarga yang seharusnya memiliki fungsi perlindungan, lansia sangat perlu untuk dirawat oleh pihak keluarganya. Keluarga diharapkan memberikan tempat yang nyaman serta lingkungan yang aman untuk keberlangsungan hidup lansia.

(2)

2

Menurut Semium (2010, p. 62) terdapat ibeberapa imasalah iutama

idan ipenyebab igangguan ikepribadian ipada isaat imenginjak iusia ilanjut

iadalah iketerbatasan ifisik iyang idapat imenyebabkan iterhambatnya iuntuk

imelakukan ikegiatan, iperasaan iyang isemakin iberkurang, idan iadanya

iperasaan idirinya iterisolasi idari imasyarakat. iPermasalahan iyang iterutama

iadalah imengenai ipenurunan ikemampuan ifisik isehingga ikekuatan ifisiknya

iberkurang iyang idapat imenyebabkan imunculnya ipenyakit iyang ibisa

imenyebabkan iturunnya iproduktivitas iorang ilanjut iusia. Dengan adanya

masalah tersebut, sering kali mereka merasa dirinya tidak berharga dan kurang dihargai.

Untuk sebagian budaya, menjadi tua merupakan suatu hal yang negatif, tetapi untuk sebagian lainnya menjadi tua adalah suatu hal yang positif. Menurut dimensi budaya yang dikemukakan oleh Hofstede (2020), Indonesia termasuk ke dalam negara yang memandang orang yang sudah lanjut usia atau menjadi tua merupakan suatu hal membahagiakan. Orang yang sudah tua akan melihat anak-anaknya yang sudah berkeluarga dan akan merasa senang karena tugasnya sebagai orang tua yang telah usa i.

Berdasarkan dimensi budaya yang dikeluarkan oleh badan Hofstede, Indonesia termasuk ke dalam negara yang memiliki orientasi jangka panjang. Dimensi ini menjelaskan bagaimana masyarakatnya memandang masa lalu dan bersiap untuk menghadapi masa depan. Indonesia mendapatkan skor tinggi 62 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki budaya pragmatis. Masyarakat Indonesia percaya bahwa kebenaran sangat

GAMBAR 1GRAFIK DIMENSI BUDAYA DARI HOFSTEDE

(3)

3 tergantung pada situasi, konteks, dan waktu. Dalam pandangan budaya berorientasi jangka panjang, masyarakat Indonesia memandang orang yang sudah lanjut usia atau menjadi tua merupakan suatu hal membahagiakan. Orang yang sudah tua akan melihat anak-anaknya yang sudah berkeluarga dan akan merasa senang karena tugasnya sebagai orang tua yang telah usai.

Selain itu, di dalam budaya Indonesia sendiri, sudah menjadi suatu kewajiban seorang anak untuk mengurus orang tuanya yang sudah lanjut usia. Hal ini dibuktikan dengan adanya hari Lanjut Usia Nasional yang dibuat oleh Kementrian Sosial Indonesia. Hari Lanjut Usia Nasional ini diperingkatkan setiap tanggal 29 Mei. Dalam hari Lanjut Usia Nasional, pemerintah menghimbau seluruh masyarakat untuk menghormati dan meningkatkan kualitas kesejahteraan lansia. Berbagai kegiatan yang biasa dilakukan untuk menyejahterakan para lansia, seperti acara senam bersama, penyerahan berbagai paket bantuan, atau acara bakti sosial di panti jompo.

Nyatanya, jumlah lansia di Indonesia semakin hari semakin bertambah banyak bahkan di tahun 2050 diprediksi jumlah lansia dapat mencapai angka 69 juta orang. Hal ini didukung oleh fakta yang dikemukakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019, dimana menjelaskan dari jumlah penduduk di Indonesia, 27 juta penduduk yang ada, ialah orang-orang lanjut usia. Jawa Barat menempati posisi ke 7 terbesar di Indonesia dengan jumlah penduduk lanjut usianya. Banyaknya jumlah lansia di Jawa Barat menunjukkan bahwa angka harapan hidup masyarakat Jawa Barat yang tinggi. Hal ini juga didukung oleh pandangan masyarakat yang melihat bahwa menjadi tua adalah suatu hal yang bernilai positif.

Namun, ketika menginjak usia lanjut, akan muncul beberapa stereotip yang diberikan oleh masyarakat kepada orang lanjut usia (Triningtyas & Asriwanti, 2018, p. 2). Stereotip yang diberikan kepada para lansia yaitu masyarakat seringkali mengecap usia lanjut baga ikan tahap hidup yang tidak menyenangkan. Hal tersebut dikarenakan pada saat usia lanjut akan sulit untuk tetap produktif karena terhalang oleh Kesehatan fisik

(4)

4 dan mental. Kemudian, para lansia ini sering diberi label sebagai orang yang

tidak menyenangkan untuk berada di sekitarnya. iHal iini imuncul ikarena

imasyarakat imenanggap ilansia isebagai ibeban ikarena iharus idiperlakukan

isecara ikhusus. iWalaupun iterdapat ifakta ijumlah ilansia iakan iterus

imeningkat, itetapi ikehadiran imereka iakan ijustru iberada idalam ikelompok

iyang itermarginalkan, iyaitu isuatu ikondisi iyang idalam ibeberapa isituasi

idapat imengucilkan imereka iuntuk idapat iberinteraksi idengan iorang idi

isekitarnya.

Namun, seiring dengan waktu dan kuatnya dampak modernisasi, ternyata nilai-nilai mengenai lansia seperti yang diungkapkan oleh badan Hofstede semakin bergeser. Salah satu dampak negatif dari moderenisasi adalah tumbuhnya sikap individualistic. Menurut Hofstede (2020), ciri-ciri

masyarakat yang individualistik adalah mereka yang tidak

berketergantungan dengan orang lain, serta mendefenisikan citra diri sebagai “Aku” bukan “kita”. Hal ini menyebabkan pergeseran pandangan bahwa orang lanjut usia bisa menjadi beban bagi k eluarga, saudara, dan teman.

Banyak terjadi anak yang tidak mau mengurus orang tuanya karena masalah berkomunikasi. Anak tidak mau memahami komunikasi orang tuanya yang sudah lanjut usia yang semakin lama semakin menurun. Ada juga yang beranggapan bahwa dengan menitipkan orang tuanya di panti jompo, maka kehidupannya akan lebih baik daripada saat tinggal bersama anaknya. Hal ini dikarenakan dalam kehidupan sehari-harinya, antara anak dan orang tua yang sudah lansia sering terjadi adu mulut dan pendapat sehingga anaknya berpikir bahwa apabila orang tuanya tinggal dengan yang sama-sama lansia, maka hidupnya akan lebih bahagia.

Seharusnya dalam komunikasi keluarga berfokus pada komunikasi orang tua dan anak yang bersangkutan untuk membangun realitas social secara bersama. Hubungan yang baik antara anak dan orang tua akan menyebabkan komunikasi di dalam keluarganya juga baik. Begitupun

(5)

5 sebaliknya, ketika hubungan anak dan orang tua tidak baik, maka komunikasinya pun tidak akan berjalan baik.

Hal ini diperberat ketika lansia tersebut termasuk ke dalam kelompok Lesbian Gay Bisexual dan Transgender (LGBT). Komunitas ini sudah tidak asing di telinga masyarakat sejak tahun 1990 -an. Dalam penelitian ini, subjek yang hendak diteliti berasal dari kelompok LGBT, yaitu transgender atau transpuan. Sama seperti manusia biasa, transpuan juga akan mengalami masa tua sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa mereka juga akan disebut sebagai lansia.

Menurut Nurhidayati (2011, p. 3), transpuan idalam ikonteks

ipsikologis imerupakan igejalan transpuanisme, iyakni iseseorang isecara

ijasmani iberjenis ikelaimnnya ijelas idan isempurna. iNamun, isecara ipsikis

icenderung iuntuk imenampilkan idiri isebagai ilawan ijenis. Dengan kata lain,

pada transpuan, jika laki-laki ingin menjadi perempuan dan sebaliknya jika perempuan ingin menjadi laki-laki. Terdapat faktor biologis dan sosial yang bercampur dalam memengaruhi karakter seorang transpuan. Keberadaan transpuan yang ditolak secara sosial lebih disebabkan oleh sebuah masalah yang dianggap tidak normal dari sebuah tata nilai kebudayaan dari kelompok mayoritas masyarakat. Mereka menanggap kelompok transpuan sebagai kelompok yang perlu dihindari karena memiliki perlikau yang menyimpang dari tatanan kebudayaan.

Berdasarkan hasil penelitian dalam Jurnal Equilibrium FKIP Unimuh Makassar, Volume II No. 1 Januari 2016 (Jaruddin & Nurdelia,

2016), menyatakan i46% isangat isetuju ibahwa ikaum itranspuan ibertentangan

idengan inorma isosial, i35% isetuju idan i15 i% iyang itidak isetuju iserta i4%

isangat itidak isetuju. iSehingga, idapat iditarik ikesimpulan ibahwa ipada

iumumnya imasyarakat imenganggap iperilaku itranspuan iitu isebagai iperilaku

imenyimpang.

Banyaknya kasus nyata yang menimpa kaum transpuan ini kerap kali menjadi buah bibir masyarakat Indonesia. Misalnya, di Bekasi ditemukan kasus adanya dua orang transpuan yang dipersekusi dengan cara

(6)

6 ditelanjangi oleh puluhan orang karena masyarakat tersebut melihat transpuan sebagai orang yang terpinggirkan dan pantas untuk menerima hal tersebut. Kedua transpuan tersebut dikejar, dipukuli, digunduli, dan salah satu transpuan tersebut ditelanjangi di depan umum. Kemudian kasus yang sempat memanas, dimana seorang Youtuber bernama Ferdinand Paleka yang melakukan prank kepada kaum transpuan di Bandung. Dirinya memberikan sembako kepada kaum transpuan, tetapi isinya ternyata berupa sampah. Berita ini diunggah oleh Liputan 6 dengan judul “Ferdian Paleka Beri Sampah Kepada Waria dan Anak Jalanan, Baim Wong: Ini Diskriminasi Serta Pelecehan” pada 6 Mei 2020.

Banyaknya jumlah kasus yang menimpa kaum transpuan membuat mereka semakin termarginalkan. Menurut Ketua Lembaga Sosial Masyarakat Arus Pelangi, Yuli Rustinawati, sebanyak 89,3 persen LGBT di Indonesia pernah mengalami kekerasan (Tempo.co, 2016). Kasus diskriminasi ini juga tentunya dialami oleh para transpuan yang sudah lansia. Menurut Yulianus Rettoblaut, pendiri Rumah Singgah Waria “Anak Raja” yang diwawancarai oleh Dw.com (Welle, 2013) mengatakan bahwa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) kurang memperhatikan kaum transpuan yang sudah lansia sehingga dirinyalah yang harus memulai langkah tersebut. Kebanyakan dari LSM yang ada hanya berfokus pada kelompok LGBT yang masih berusia muda.

Khususnya pada saat pandemi seperti ini, para transpuan lansia kesulitan untuk mendapatkan uang karena mereka mendapatkan diskriminasi dari masyarakat. Biasanya, mayoritas transpuan bekerja di sektor non formal sehingga ketika pandemi ini terjadi, mereka kesulitan untuk mendapat pekerjaan karena mereka dianggap sebagai penyakit dan tidak boleh bekerja dengan masyarakat biasa.

Kasus diskriminasi lainnya yang diterima oleh lansia transpuan adalah kasus Mira. Mira adalah seorang transpuan lansia yang kehilangan nyawanya setelah dibakar sekelompok laki-laki karena dituduh mencuri

(7)

7 yang memarkirkan truknya di lingkungan tempat Mira tinggal dan mengaku kehilangan dompet dan handphone setelah bertemu Mira. Namun, supir truk dan rekannya tersebut tidak dapat menemukan barang bukti apapun . Tetapi, para supir truk tersebut tetap mengintrogasi Mira dan mengancam dirinya akan dibakar apabila tidak mengakui. Akhirnya, Mira dib akar oleh kelompok supir truk tersebut, Mira sempat meminta bantuan kepada warga setempat, tetapi naas, Mira meninggal dunia di rumah sakit karena luka bakar yang dialaminya.

Berdasarkan kasus-kasus yang terjadi, terdapat beberapa hal yang tidak seharusnya dialami para transpuan. Berdasarkan artikel yang ditulis

oleh magdelene.co mengenai “Negara iMenutup iMata iTerhadap iKekerasan

iatas iTranspuan” imenjelaskan isepanjang i2017, iterdapat i50 itranspuan idi

iempat ikota idi iIndonesia iyang imenjadi isasaran ikekerasan, imulai idari

ipenggerebekan, ipenganiayaan, iintimidasi, iupaya ikorektif, ihingga

itindakan-tindakan iyang imendegradasi ihak-hak idasar imanusia.

Berdasarkan kasus tersebut, banyak transpuan yang lebih memilih untuk mengasingkan diri dan menilai dirinya sebagai beban dari masyarakat sehingga menimbulkan penilaian diri sendiri sebagai hal yang negatif.

Berdasarkan kasus yang dialami para lansia, maka salah satu jalan keluar agar para lansia tidak ditelantarkan oleh keluarganya adalah dengan menitipkan mereka di panti jompo di mana dari catatan data statistik BPS yang dilansir di artikel yang berjudul “Hasil Survey YPI, Jababeka Senior

Living Merupakan Panti Werdha Terbaik di Indonesia” (Yayasan Peduli

Indonesia, 2019), Indonesia memiliki lebih dari 20 panti werdha dan 250

panti jompo yang tersebar di Indonesia. Fungsi idari ipanti ijompo iatau

iwerdha iini iadalah isebagai isarana iyang iberbentuk irumba iuntuk imenampung

ipara ilansia idengan ifasilitas ilayanan i24 ijam, iserangkaian aktivitas, iserta

ihiburan iyang idibutuhkan isesuai ikebutuhan ipara ilansia.

Terdapat salah satu panti jompo di daerah Depok, Jawa Barat yang cukup menarik untuk diteliti. Panti Jompo tersebut bernama Rumah Singgah Waria “Anak Raja”. Keunikan dari Rumah Singgah Waria “Anak Raja”,

(8)

8 dengan jumlah penghuni sebanyak 831 orang yang Sebagian besarnya adalah lansia, ternyata seluruh penghuninya adalah dari kelompok transpuan. Hal yang menarik lainnya adalah Rumah Singgah Waria “Anaka Raja” ini dinyatakan sebagai panti jompo pertama di dunia untuk kaum transpuan. Hal ini diterbitkan oleh Suara.com, dalam berita yang berjudul “Menengok Rumah Singgah Waria Jompo Satu-satunya di Dunia” pada tahun 2016.

Sebagai kelompok masyarakat yang termarginalkan, keberadaan Rumah Singgah “Waria Anak Raja” ini merupakan sebuah usaha keras yang dilakukan oleh pendiri rumah singgah tersebut. Apalagi, jika dilihat dari lokasinya, yaitu kota Depok, hal ini membuat tantangan semakin besar. Berdasarkan laporan Indeks Kota Toleran tahun 2018 yang dibuat oleh Setara, kota Depok berada pada peringkat 89 dari 94 dengan skor 3.490. Dengan skor tersebut, kota Depok masuk ke dalam 10 peringkat terendah kota intoleran di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

Berada di lingkungan yang tinggi dengan tingkat intoleran, membuat transpuan lansia harus berusaha diterima di lingkungan sekitarnya. Apalagi, mereka termasuk ke dalam kelompok yang sangat

TABEL 110KOTADENGANSKORTOLERANSIRENDAH SUMBER:RINGKASAN EKSEKUTIFIKT,2018

(9)

9 dipandang rendah. Hal ini menyebabkan mereka semakin sulit untuk mendapatkan tempat di masyarakat.

Di kota Depok, tingginya tingkat intoleran disebabkan oleh beberapa aspek yang memicu terjadinya konflik sosial. Aspek tersebut antara lain identitas agama, identitas ras/suku, aspek identitas kewilayahan, sumberdaya ekonomi, aspek relasi sosial, dan aspek relasi politik. Padahal, Depok sendiri dikatakan sebagai kota Religius. Tetapi berdasarkan hasil survey Center for Election and Political Party yang dilakukan oleh FISIP UI, menyatakan bahwa aspek orientasi politik, aspek identitas wilaya, dan identitas agama menjadi aspek yang paling menonjol dalam menyebabkan konflik yang membuat turunnya tingkat toleran di kota Depok.

Selain itu, terdapat beberapa kasus yang disebabkan oleh identitas agama yang terjadi di kota Depok. Misalnya, diskriminasi terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia dalam beribadah. Beberapa badan yang pernah meneliti tentang tingkat intoleran di kota Depok juga menyampaikan bahwa masyarakat kota Depok masih diliputi oleh kecurigaan. Pada tahun 2009, pemerintah kota Depok pernah mencabut izin bangunan gereja HKBP Pangkalan Jati Gandul dengan alasan yang tidak jelas.

Untuk itu, komunikasi merupakan factor yang sangat penting dalam merajut kehidupan berbangsa yang dilandaskan dengan toleransi. Selain itu peran pemerintah juga sangatlah penting untuk mengkomunikasikan toleransi antar masyarakat yang tidak dibatasi dengan aspek apapun. Dengan adanya transpuan yang tinggal di wilayah Depok, hal tersebut menjadi ancaman besar bagi para transpuan karena masyarakat sekitar yang sulit menerima keberadaan mereka.

Sehingga, dalam proses berdirinya Rumah Singgah Waria “Anak Raja” tersebut, terdapat beberapa strategi persuasi yang perlu dilakukan oleh pendiri rumah singgah tersebut. Persuasi tersebut harus dilakukan kepada warga sekitar dan pemerintah karena rumah singgah tersebut berada di lingkungan masyarakat. Maka daripada itu, alasan yang mendasari topik penelitian ini adalah bagaimana strategi persuasi yang dilakukan oleh

(10)

10 pendiri rumah singgah dalam mendirikan Rumah Singgah Waria “Anak Raja” yang berada di kota Depok.

Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi pijakan dan referensi pada penelitian selanjutnya yang berhubungan de ngan kaum transpuan lanjut usia yang berada di lingkungan masyarakat dan kehadiran panti jompo khusus untuk transpuan.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang sudah dipaparkan di atas, maka peneliti merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana proses persuasi dari pendiri Rumah Singgah Waria “Anak Raja” Depok saat mendirikan rumah singgah tersebut? 2. Bagaimana tanggapan masyarakat dan pemerintah saat

berdirinya Rumah Singgah Waria “Anak Raja” ini?

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana proses persuasi dari pendiri Rumah Singgah Waria “Anak Raja” Depok saat mendirikan rumah singgah tersebut.

2. Untuk mengetahui bagaimana tanggapan masyarakat dan pemerintah saat berdirinya Rumah Singgah Waria “Anak Raja” ini.

1.5 Kegunaan Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang hendak dicapai, maka penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat dalam pendidik baik secara langsung maupun tidak langsung. Adapun manfaat penelitian ini adalah

(11)

11 1. Penelitian ini diharapkan bisa memberi kontribusi bagi perkembangan kajian komunikasi interpersonal dalam konteks strategi persuasi demi tercapainya sebuah kesepakatan.

2. Dapat menambah pengetahuan dan sumbangan pemikiran tentang cara meneliti strategi persuasi dalam mencapai kesepakatan.

Kegunaan Praktis:

1. Penelitian ini dilakukan guna memberikan contoh bagi transpuan khususnya yang sudah lanjut usia untuk melihat bentuk dirinya sebagai nilai yang positif agar bisa hidup berdampingan dengan masyarakat sebagaimana mestinya. Serta, penelitian ini juga dilakukan guna memberikan wawasan kepada masyarakat tentang bagaimana proses persuasi yang dilakukan oleh kaum transpuan untuk dapat diterima di lingkungan masyarakat, khususnya mereka yang sudah lanjut usia.

Referensi

Dokumen terkait

Penyerapan tenaga kerja merupakan jumlah tertentu dari tenaga kerja yang digunakan dalam suatu unit usaha tertentu atau dengan kata lain penyerapan tenaga kerja

Setelah dilakukan penilaian kinerja rantai pasok, maka langkah yang terakhir adalah melakukan analisis praktik terbaik sebagai saran perbaikan

[r]

Menurut Waluyo (2014:238) Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 adalah “Pajak Penghasilan yang dikenakan atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tujangan, dan pembayaran

Sebuah distribusi Linux, yang umum disebut dengan "distro", adalah sebuah proyek yang bertujuan untuk mengatur sebuah kumpulan perangkat lunak berbasis Linux dan

Oleh karena itu, peristiwa turunnya Al Qur’an selalu terkait dengan kehidupan para sahabat baik peristiwa yang bersifat khusus atau untuk pertanyaan yang muncul.Pengetahuan

PSEKP selain merupakan institusi penelitian dan kebijakan di Indonesia yang sangat responsif dalam melakukan kajian sosial ekonomi dan kebijakan pertanian dan telah banyak

Untuk merancang permainan game education berjudul Feed Living Beings diperlukan solusi rumus untuk membuat education itu dapat berjalan sesuai proses yang diinginkan agar goal