• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

Sampai tahun 2004, Indonesia berada pada urutan ke 15 negara penghasil gas rumah kaca tertinggi di dunia dengan emisi tahunan 378 juta ton (Mt) CO

2

-e.

Namun pada Conference of Paties (COP) ke 12 di Nairobi, Kenya, dengan dipresentasikannya makalah Wetland International (Hooijer et al., 2006) perhatian dunia secara mendadak tertuju kepada Indonesia, terlebih lagi sesudah Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) yang terdiri dari 3000 pakar itu menerima laporan dari Wetland International ini.

. Emisi gas rumah kaca Indonesia diperkirakan setinggi 3000 Mt atau 3 Giga ton (Gt) CO

2

-e per tahun. Lebih lanjut dikatakan bahwa sekitar 2000 Mt dari total emisi tersebut berasal dari lahan gambut. Diperoleh data bahwa emisi CO2 saat ini dari dekomposisi lahan gambut yang dikeringkan mencapai jumlah 632 Mton/tahun ( antara 355 dan 874 Mton/tahun). Emisi ini akan terus meningkat dalam dekade mendatang apabila tidak ada perubahan dalam praktek pengelolaan lahan dan rencana pengembangan lahan gambut, dan akan berlanjut terus melampaui abad ke-21 (Hooijer, 2006). Emisi dari pembukaan hutan dan perubahan.penggunaan lahan bukan gambut diperkirakan hanya sekitar 500 Mt dan emisi yang berhubungan dengan pembakaran juga sebesar 500 Mt CO

2

-e.

mungkin angka tersebut lebih disebabkan oleh ekstrakpolasi data saat kebakaran di musim kemarau (IPCC, 2006).

COP 13 di Bali tidak menghasilkan resolusi mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Degradation (REDD), baik untuk lahan gambut tanah mineral, maupun sepakat dengan perlunya dilakukan

‘demonstration’ tentang cara pengurangan emisi gas rumah kaca melalui mekanisme REDD.

Karbon dioksida adalah jumlah gas terbesar dalam atmosfer. Gas CO

2

akan diikat oleh biomass tanaman selama proses fotosintesis, kemudian disimpan

dalam tanah sebagai karbon organik melalui perubahan residu tanaman enjadi

bahan organik tanah setelah residu tersebut dikembalikan ke tanah, tanah gambut

yang bertindak sebagai rosot (sink) CO

2

atmosfer (Barchia, 2006).

(2)

Gas CO

2

yang dihasilkan dari dekomposisi bahan organik pada lahan gambut dikendalikan oleh perubahan suhu, kondisi hidrologi, ketersdiaan dan kualitas bahan gambut, tergantung pada faktor lingkungan, sifat tanah, dan teknik budidaya pertanian. Pada suhu tinggi, gas CO

2

dan CH

4

merupakan bentuk gas yang segera terbentuk dan besar jumlahnya. Suhu dan kelembaban baik udara maupun tanah gambut di kawasan tropik sangat dipengaruhi oleh jenis dan kerapatan vegetasi yang menutupinya. Suhu yang tinggi pada keadaan terbuka akan merangsang aktifitas mikroorganisme sehingga perombakan gambut lebih cepat (Noor, 2001).

2. 2. Emisi Karbondioksida (CO

2

) pada Lahan Gambut

Di Indonesia kontribusi terbesar gas rumah kaca berasal dari karbondioksida. Walaupun emisi CO

2

sangat tinggi di pertanian padi tetapi gas ini akan kembali digunakan tanaman padi saat berlangsungnya proses fotosintensis dan akan dikonservasikan ke bentuk biomas tanaman (Setyanto, 2008).

Dalam keadaaan alami lahan gambut merupakan penambat (net sink) dari karbon. Apabila hutan gambut dibuka maka akan terjadi emisi yang sangat tinggi disebabkan oleh pembakaran dan pengaruh drainase. Jika lahan gambut dijadikan kebun kelapa sawit, dalam 15 sampai 25 tahun akan terjadi penambatan (sequestration) sekitar 367 t CO2 atau setara dengan 100 t C/ha dalam bentuk pohon sawit. Namun sejalan dengan itu terjadi pula dekomposisi gambut yang lajunya ditentukan oleh kedalaman drainase dan cara pengelolaan tanah lainnya seperti pemupukan (Agus, 2009).

Emisi karbondioksida ke atmosfer dari lahan gambut melalui dua mekanisme, yaitu:

Drainase untuk pengeringan lahan gambut yang mengarah kepada aerasi bahan gambut dan kemudian menyebabkan terjadinya oksidasi (disebut juga dekomposisi aerobik). Oksidasi material gambut ini menghasilkan emisi gas CO

2

.

Kebakaran yang terjadi di lahan gambut terdegradasi menghasilkan emisi CO

2

.

Namun kebakaran sangat jarang sekali terjadi di kawasan gambut yang tidak

terdegradasi atau yang tidak dikeringkan (BPPT, 2010).

(3)

2.2.1. Hubungan Drainase dengan Emisi CO

2

Drainase tanah gambut dikaitkan pada dua aspek penting yang meliputi:

(1) membuang air yang berlebihan kearah saluran pembuangan air dan (2) mempertahankan permukaan air tanah pada ketinggian tertentu untuk mempertahankan agar subsiden yang terjadi dapat diadaptasi sesuai dengan yang dikehendaki. Fungsi gambut sebagai pengatur hidrologi saat terganggu apabila mengalami drainase yang berlebihan karena material ini memiliki sifat kering tidak-balik dan porositas yang sangat tinggi (Sabiham, 2006 dalam Batubara, 2009).

Konversi hutan dan pengelolaan lahan gambut, terutama yang berhubungan dengan drainase, merubah fungsi lahan gambut dari penambat karbon menjadi sumber emisi GRK. Lahan hutan yang terganggu (yang kayunya baru ditebang secara selektif) dan terpengaruh drainase, emisinya meningkat tajam, bahkan bisa lebih tinggi dibandingkan emisi dari lahan pertanian yang juga didrainase. Hal ini disebabkan oleh banyaknya bahan organik segar yang mudah terdekomposisi pada hutan terganggu (Agus dan Subiksa, 2008).

Hasil penelitian oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan (Sumatera Utara), pada tahun 2009 mendapatkan bahwa setiap ha perkebunan sawit di lahan gambut yang air tanahnya diturunkan sekitar 40 – 70 cm, akan mengemisikan 25- 45 t CO

2

/ha/tahun, bahkan jika air tanah diturunkan hingga 80 cm akan dapat mengemisikan CO

2

sebesar 51 ton CO

2

/ha/tahun (atau sekitar 14 gr CO

2

/m

2

/hari).

Semakin dalam air tanah gambut di drainase, semakin besar tingkat emisi CO

2

.

Sistem drainase di lapang merupakan faktor yang dapat menyebabkan

kehilangan C-organik dan subsiden pada lahan gambut. Proses subsiden

merupakan perubahan sifat gambut secara fisik, kimia dan biologi yang

ditunjukkan di lapangan dengan penurunan lapisan gambut. Hal ini terkait dengan

terjadinya perubahan suhu, ketersediaan O

2

, pH, dan Eh tanah jika dilakukan

drainase pada bahan gambut. Suhu tanah merupakan pengendali utama terhadap

laju dekomposisi bahan gambut dan peranannya sangat dominan bila berinteraksi

dengan ketersediaan O

2

. Ketersediaan O

2

di dalam bahan gambut dapat

mempercepat proses mineralisasi C-organik sehingga bahan gambut menghasilkan

CO

2

dan CH

4

(Handayani, 2009).

(4)

2.2.2. Hubungan Iklim dan Suhu dengan Emisi (CO

2

)

Dalam pengukuran emisi CO

2

terjadi variasi temporal yang tinggi terkait dengan faktor-faktor iklim seperti suhu, kelembaban udara, curah hujan dan distribusi curah hujan pada suatu daerah. Secara garis besarnya, musim di Indonesia dibedakan menjadi musim kemarau dan musim penghujan. Karena kondisi pada musim kemarau jelas berbeda dengan musim penghujan, maka CO

2

sangat dipengaruhi oleh kedua musim tersebut (Handayani, 2009)

Berbagai faktor seperti kadar air tanah, pemupukan, dan suhu tanah, sangat mempengaruhi jumlah emisi selain kedalaman muka air tanah gambut. Informasi tentang berbagai faktor ini diperlukan untuk menyertai data emisi. Selain itu, data pengukuran emisi GRK kebanyakan berasal dari pengukuran jangka pendek sehingga memberikan gambaran emisi sesaat yang bisa jauh lebih tinggi atau jauh lebih rendah dari nilai emisi tahunan yang sebenarnya. Pengukuran emisi GRK jangka panjang dan berulang, diperlukan untuk meningkatkan keyakinan tentang dugaan emisi tahunan yang berasal dari proses dekomposisi gambut (Agus dan Subiksa, 2008).

2.3. Emisi Metan (CH

4

) pada Lahan Gambut

Gas metan adalah salah satu gas rumah kaca yang keberadaannya saat ini telah banyak meresahkan, karena keberadaannya yang mampu meningkatkan efek pemanasan global. Gas metan merupakan salah satu gas rumah kaca yang 21 kali lebih berpotensi menyebabkan efek rumah kaca dibandingkan karbondioksida yang menyebabkan kerusakan ozon dan kenaikan suhu (Yulianto, 2008). Gas tersebut ditengarai berpotensi menyebabkan pemanasan global (global warming).

Kemampuan CH

4

untuk meningkatkan suhu bumi sangat tinggi, karena kapasitas absorbsi infra merah per molekul 25 kali lebih tinggi dibanding CO

2

. Kontribusi CH

4

terhadap pemanasan global sebesar 15% dan menduduki peringkat kedua setelah CO

2

(Suprihati et al., 2006).

Menurut Hadi (2008) bahwa emisi gas rumah kaca khususnya metan dan

sifat mikrobiologi tanah merupakan aspek penting yang perlu dievaluasi sebagai

dampak pembangunan. Metan terbentuk oleh aktivitas bakteri anaerob metanogen.

(5)

Bakteri ini aktif merombak bahan organic dan menghasilkan gas metan (Mulyadi dan Sasa, 2005).

Pembentukan metan secara biogenik merupakan hasil dekomposisi bahan

organik yang dilakukan oleh bakteri methanogen. Bakteri ini berkembang pesat

pada tanah dengan kondisi anaerob, oleh sebab itu banyak dijumpai pada tanah

tergenang. Proses metanogenesis merupakan proses biologi pada tanah yang

dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia tanah seperti suhu tanah, potensial redoks,

pH tanah, akumulasi dan dekomposisi bahan organic, dan varietas tanaman

(Setyanto, 1994 dalam Yulianto, 2008).

Referensi

Dokumen terkait

Mewujudkan 12 karya keramik tempat perhiasan tersebut yaitu anggur, apel, belimbing, durian, jambu air, jeruk, manggis, nanas, papaya, pisang, semangka, strawberry,

Responden dalam penelitian ini ialah penilaian modul dilakukan kepada 2 guru kimia, dan 40 siswa yang telah menggunakan modul berbasis PCK kimia pada materi laju

Untuk menggambarkan inheritance atau pewarisan di dalam pemro- graman, pada saat Anda menggunakan kembali atau mengganti method dari class yang sudah ada, serta ketika

(2) Lingkup kerja Fasilitator dan Operator Komputer diatur dalam Kerangka Acuan Kerja, Pedoman Umum (Pedum), Petunjuk Pelaksanaan (Juklak), PTO Generasi Sehat dan

Tinjauan Umum Tentang Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu, yang dimaksud

Untuk mewujudkan perihal tersebut, perencanaan di daerah Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah baik itu dengan cara pembangunan ruas-ruas jalan baru yang

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan daya dukung struktur perkerasan jalan beton yang diperkaku dan diperkuat dengan sirip yang sirip dalamnya dua diagonal