• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN SEKTOR KESEHATAN SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN SEKTOR KESEHATAN SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

DIREKTORAT KESEHATAN DAN GIZI MASYARAKAT

KEDEPUTIAN PEMBANGUNAN MANUSIA, MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL /

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

05

KAJIAN SEKTOR KESEHATAN

SUMBER DAYA MANUSIA

KESEHATAN

(2)

SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN

© 2019 by Kementerian PPN/Bappenas

Pengarah

Dr. Ir. Subandi Sardjoko, MSc Penulis

Dr. Nida P. Harahap, MKM.

Reviewer dan Editor

Renova Glorya Montesori Siahaan, SE, MSc Sidayu Ariteja, SE, MPP

Pungkas Bahjuri Ali, STP, MS, PhD Prof. dr. Ascobat Gani, MPH., Dr.PH.

Foto: UNICEF Indonesia

Diterbitkan dan dicetak oleh

Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat

Kedeputian Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan Kementerian PPN/Bappenas

Jalan Taman Suropati No. 2, Jakarta Pusat, 10310 Telp: (021) 31934379, Fax: (021) 3926603

Email: kgm@bappenas.go.id

Cetakan pertama: April 2019 ISBN: 978-623-93153-2-0

Hak Penerbitan @ Kementerian PPN/Bappenas

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari penulis dan penerbit, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, photoprint, microfilm dan sebagainya.

SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN

DIREKTORAT KESEHATAN DAN GIZI MASYARAKAT

KEDEPUTIAN PEMBANGUNAN MANUSIA, MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

KAJIAN SEKTOR KESEHATAN

(3)

Kajian Sektor Kesehatan • v iv • Sumber Daya Manusia Kesehatan

KATA PENGANTAR

SDM kesehatan mempunyai peran yang strategis dalam pelayanan kesehatan dan terus diupayakan oleh pemerintah agar tersedia secara memadai baik dari sisi jumlah, jenis, dan kualitasnyaserta terdistribusi secara merata. Belum terpenuhinya kebutuhan SDM kesehatan di puskesmas dan rumah sakit menjadi titik kritis bagi Indonesia dalam menghadapi tantangan transisi demografi (penduduk menua) dan transisi epidemiologi serta dalam pencapaian target UHC dan SDGs .

Hasil Risnakes 2017 menunjukkan masih kurangnya jumlah SDM kesehatan di puskesmas dan rumah sakit serta tidak terdistribusi secara merata. Kekurangan SDM kesehatan di puskesmas tidak hanya terjadi pada SDM kesehatan pelaksana UKM, namun juga UKP. Padahal puskesmas diharapkan dapat berperan optimal sebagai pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat, serta pusat pelayanan kesehatan. Selain itu, kekurangan dokter spesialis baik medik dasar, penunjang dan spesialis lainnya masih terdapat di RS milik pemerintah maupun swasta. Fokus utama yang perlu menjadi perhatian pemerintah dalam pemenuhan SDM kesehatan ke depan adalah memastikan bahwa terdapat jumlah SDM kesehatan yang cukup baik dalam hal jumlah, jenis dan kompetensinya, serta terdistribusi secara adil dan merata di seluruh Indonesia.

Kajian Sektor Kesehatan merupakan reviu dan analisis terhadap berbagai peraturan, kebijakan dan program pemerintah saat ini, serta identifikasi tantangan pembangunan ke depan termasuk faktor-faktor eksternal, sebagai masukan masukan awal dalam rangka pengusunan RPJMN 2020-2024. Kami yakin bahwa Kajian Sektor Kesehatan dengan topik SDM Kesehatan ini akan sangat bermanfaat untuk para pengambil kebijakan baik di tingkat pusat maupun di daerah.

Semoga kajian ini dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan kesehatan di Indonesia.

Jakarta, April 2019

Subandi Sardjoko

Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan

Kementerian PPN/Bappenas

(4)

Kajian Sektor Kesehatan • vii vi • Sumber Daya Manusia Kesehatan

DAfTAR ISI

Kata Pengantar iv

Ucapan Terima Kasih dan Penghargaan vi

Daftar Isi vii

Daftar Tabel x

Daftar Gambar xi

Daftar Singkatan xii

Ringkasan Eksekutif xvi

1. PENDAHUlUAN 1

1.1 Latar Belakang 2

2. ANAlISIS SITUASI SAAT INI 5

2.1. Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan di Puskesmas 6 2.1.1. Ketersediaan SDM Kesehatan di Puskesmas 6 2.1.2. Pendidikan dan Pelatihan SDM Kesehatan Puskesmas 10 2.1.3. Pengalihan Tugas (Task Shifting) dan

Penugasan Ganda (Multitasking) di Puskesmas 12 2.1.4. Penghasilan dan Insentif SDM Kesehatan Puskesmas 13

2.2. SDM Kesehatan di Rumah Sakit Umum (RSU) 14

2.2.1. Ketersediaan SDM Kesehatan di RSU 14

2.2.2. Pendidikan dan Pelatihan SDM Kesehatan RS 17 2.2.3. Pengalihan Tugas (Task Shifting) dan

Penugasan Ganda (Multitasking) di RS 17

2.2.4. Penghasilan dan Insentif SDM Kesehatan di RS 18 2.3. Ketersediaan SDM Kesehatan di Klinik Swasta 19

2.4. Kualitas Sumber Daya Manusia Kesehatan 19

2.4.1. Akreditasi Institusi Bidang Kesehatan 19

2.4.2. Uji Kompetensi 20

2.4.3. Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD) 21 2.5. Politeknik Kesehatan (Poltekkes) Kementerian Kesehatan 22

UCAPAN TERIMA KASIH DAN PENGHARGAAN

Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang membantu penulisan dan perbaikan laporan ini. Apresiasi yang tinggi diberikan kepada Dr. Pungkas Bahjuri Ali sebagai Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat –Bappenas, Renova Glorya Montesori Siahaan, SE, MSc, Sidayu Ariteja, SE, MPP, serta tim Direktorat KGM lainnya yang telah memberikan input untuk perbaikan tulisan; tim penulis dan sekretariat HSR 2018; Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan – Kementerian Kesehatan (Dr. Siswanto, MPH, DTM dan Dr. dr. Harimat Hendarwan, MKes); Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan (drg. Usman Sumantri, MSc, Dr. Kirana Pritasari, MQIH, dr. Achmad Soebagio Tancarino, MARS, Yulia Fitriani, SKM, MKM, drg. Angger Rina Widowati, MKM, dr. Nurahmiati, MKM, dr. Marwari Edy, MEPID, Khairunnisah, SKM, MKM, Rr. Endah Khristanti Wahyu Wijayanti, SKM, MKM, Yuyun Widyaningsih, SKp, MKM, Samsul Arifin, SKM, M.Epid, dr. I.G.A.N Apriyanti Shinta Dewi, MARS, Timor Utama, SKom, MSi, Imam Wahyudi, SKom, MKom, Suhartati, SKp, MKes, Dra. Hj. Oos Fatimah Rosyati, MKes); LAM PT-Kes (Prof. Usman Chatib Warsa, MD, Ph.D, Prof. Elly Nurachmah, Hesty Dwi Haryudi Putri, SIA); Kementerian Ristek Dikti (Prof. Dr. Aris Junaidi, Aprilia Ekawati Utami, ST, MT); Bank Dunia (dr. Puti Marzoeki, MPH); Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (Dr. dr. Tjut Nurul Alam Yacoeb, SpKK (K)); Konsil Kedokteran Indonesia; Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (Drs. Sulistiono, SKM, MSc); Poltekkes Bandung (Herisman Tisnakomara, SST); Dian Saptika Sari; Nina S. Ginting;

dr. Rooswanti Soeharno, MARS; serta para narasumber yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Kajian ini disusun oleh sebuah tim Kajian Sektor Kesehatan (Health Sector Review) di bawah bimbingan Dr. Ir. Subandi Sardjoko, MSc (Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan - Bappenas) dengan arahan teknis dari Pungkas Bahjuri Ali, STP, MS, PhD (Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat - Bappenas). Adapun koordinator teknis pelaksanaan HSR 2018 adalah Renova Glorya Montesori Siahaan, SE, MSc (Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Bappenas) didukung oleh Prof. dr. Ascobat Gani sebagai team leader HSR 2018.

Kajian yang dilakukan pada tahun 2018 oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/

Bappenas ini mendapatkandukungan dari kementerian/Lembaga terkait, serta dukungan dari UNICEF and DFAT, beserta beberapa mitra pembangunan lain seperti WHO, ADB, World Bank, USAID, UNFPA, WFP, FAO, JICA, UNDP, GIZ, dan Nutrition International. Proses edit dan cetak laporan kajian ini didukung oleh UNICEF Indonesia.

Kajian sektor kesehatan dilakukan secara paralel untuk 10 topik meliputi:

1 Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia 2 Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

3 Kesehatan Reproduksi, Ibu, Neonatal, Anak dan Remaja 4 Pembangunan Gizi di Indonesia

5 Sumber Daya Manusia Kesehatan

6 Penyediaan Obat, Vaksin, dan Alat Kesehatan

7 Pengawasan Obat dan Makanan, termasuk Keamanan Pangan 8 Pembiayaan Kesehatan dan JKN

9 Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

10 Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

vi • Pembangunan Gizi di Indonesia

(5)

Kajian Sektor Kesehatan • ix viii • Sumber Daya Manusia Kesehatan

4.2. Penguatan Sistem Infomasi SDM Kesehatan 41

4.3. Pengembangan Kapasitas SDM Kesehatan Dinas Kesehatan

Provinsi/Kabupaten/Kota 41

4.4. Peningkatan Mutu SDM Kesehatan 42 4.5. Mengembangkan Kebijakan Operasional Task Shifting 43

4.6. Indikator Kinerja 43

Referensi 46

lampiran 49

2.6. Regulasi dan Kebijakan dalam Pengelolaan dan Pengembangan SDM Kesehatan 23

2.6.1. Perencanaan Kebutuhan SDM kesehatan 23

2.6.2. Pemenuhan SDM Kesehatan 24

2.7. Praktik Ganda (Dual Practice) 29

2.8. Sistem Infomasi SDM Kesehatan 30

2.9. SDM Kesehatan Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota 30

3. TANTANGAN DAN ISU STRATEGIS 31

3.1. Ketersediaan dan Distribusi SDM Kesehatan 32 3.1.1. Kekurangan SDM Kesehatan di Puskesmas dan Rumah Sakit 32

3.1.2. Maldistribusi 32

3.2. Kualitas SDM Kesehatan 33

3.3. Task shifting dan Multitasking 33

3.4. Perencanaan Kebutuhan SDM Kesehatan 34

3.5. Sistem Informasi SDM Kesehatan 34

3.6. Kapasitas SDM Kesehatan Dinas Kesehatan 34

3.7. Analisis Lingkungan Strategis dan Tantangan ke Depan 35 3.7.1. Universal Health Coverage (UHC) dan

Sustainable Development Goals (SDGs) 35

3.7.2. Pertumbuhan Penduduk dan Perubahan Beban Penyakit 35

4. ARAH KEBIjAKAN DAN STRATEGI 37

4.1. Pemenuhan SDM Kesehatan 38

4.1.1. Penguatan Perencanaan Kebutuhan SDM Kesehatan Pusat dan Daerah 38 4.1.2. Sinkronisasi Penyusunan Kebijakan Pusat dan Daerah 39 4.1.3. Penyusunan Kebijakan Redistribusi SDM Kesehatan 39 4.1.4. Pengembangan Affirmative Policy SDM Kesehatan khususnya untuk DTPK 39 4.1.5. Evaluasi Efektivitas Kebijakan SDM Kesehatan 40

(6)

Kajian Sektor Kesehatan • xi x • Sumber Daya Manusia Kesehatan

DAfTAR TABEL

Tabel 1 Capaian Indikator SDM Kesehatan di Puskesmas

dalam RPJMN 2015 -2019 Tahun 2016–2017 6 Tabel 2 Proporsi Puskesmas dengan Ketersediaan SDM Kesehatan

di Seluruh Indonesia Tahun 2017 7 Tabel 3 Capaian Indikator SDM Kesehatan di RSU Kelas C Kabupaten/Kota

dalam RPJMN 2015 -2019 15 Tabel 4 Ketersediaan Dokter Spesialis Dasar di RSU Tahun 2017 15 Tabel 5 Ketersediaan Dokter Spesialis Lainnya di RSU Tahun 2017 16 Tabel 6 Akreditasi Program Studi Kesehatan oleh LAM-PTKes Maret 2015 - Mei 2018 20

Tabel 7 Indikator Utama 44

DAfTAR GAMBAR

Gambar 1 Proporsi Puskesmas Tanpa Dokter menurut Provinsi, Tahun 2017 8 Gambar 2 Perbandingan Proporsi Puskesmas Tanpa Dokter antara

Rifaskes 2011 dengan Risnakes 2017 8 Gambar 3 Komposisi SDM Kesehatan di Puskesmas menurut Jenis, Tahun 2017 9 Gambar 4 Perbandingan Rata-rata SDM Kesehatan per Puskesmas,

Rifaskes 2011 dengan Risnakes 2017 10 Gambar 5 Persentase Kelulusan Uji Kompetensi Dokter, Dokter Gigi,

Bidan Perawat dan Ners, 2015 – 2017 21 Gambar 6 Rerata Nilai Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD) 22

(7)

Kajian Sektor Kesehatan • xiii xii • Sumber Daya Manusia Kesehatan

DAfTAR SINGKATAN

ABK Kes Analisis Beban Kerja Kesehatan ATlM Ahli Teknologi Laboratorium Medik

Badan PPSDMK Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan

BKN Badan Kepegawaian Negara

BlU Badan Layanan Umum

BlUD Badan Layanan Umum Daerah CPNS Calon Pegawai Negeri Sipil DBD Demam Berdarah Dengue DINKES Dinas Kesehatan

DKI Daerah Khusus Ibukota

DTPK Daerah Terpencil Kepulauan dan Perbatasan Fasyankes Fasilitas Pelayanan Kesehatan

FK Fakultas Kedokteran

FKTP Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama FKRTl Fasilitas Kesehatan Rujkan Tingkat Lanjut IKU Indikator Kerja Utama

jKN Jaminan Kesehatan Nasional Kab Kabupaten

Kemendagri Kementerian Dalam Negeri KemenKes Kementerian Kesehatan Kemenkeu Kementerian Keuangan

KemenPan RB Kementerian Aparatur Reformasi Birokrasi

KemenristekDikti Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Kesling Kesehatan Lingkunagn

Kesmas Kesehatan Masyarakat KB Keluarga Berencana

KBK Kurikulum Berbasis Kompetensi KIA Kesehatan Ibu dan Anak

KIDI Komite Internsip Dokter Indonesia KKI Konsil Kedokteran Indonesia

lAM-PT KES Lembaga Akreditasi Mandiri Perguruan Tinggi Kesehatan

MDGs Millennium Development Goals (Tujuan Pembangunan Milenium) MEA Masyarakat Ekonomi Asean

Menkes Menteri Kesehatan

MERS Middle East Respiratory Syndrome MTKI Majelis SDM Kesehatan Indonesia

NRI Non Rawat Inap

NHWA National Health Work Force Account

NS Nusantara Sehat

NTT Nusa Tenggara Timur NTB Nusa Tenggara Barat Pemda Pemerintah Daerah PERDA Peraturan Daerah

Permenkes Peraturan Menteri Kesehatan PerPres Peraturan Presiden

PHBS Perilaku Bersih dan Sehat

PIDI Program Internsip Dokter Indonesia PMK Peraturan Menteri Kesehatan PNS Pegawai Negeri Sipil

Poltekkes Politeknik Kesehatan Prodi Program Studi PP Peraturan Pmeerintah

PPPK Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja PT Perguruan Tinggi

PTM Penyakit Tidak Menular PTT Pegawai Tidak Tetap

Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat

QSDS Quantitative Service Delivery Survey

RI Rawat Inap

RISNAKES Riset SDM kesehatan RISFASKES Riset Fasilitas Kesehatan

RMNCH Related to Reproductive, Maternal, Newborn and Child Health RPl Recognized Prior Learning

RS Rumah Sakit

RSK Rumah Sakit Khusus

RSU Rumah Sakit Umum

RSUD Rumah Sakit Umum Daerah

SARS Severe Acute Respiratory Syndrome SDGs Sustainable Development Goals

(8)

xiv • Sumber Daya Manusia Kesehatan

SDM Sumber Daya Manusia

SK Surat Keputusan

SKN Sistem Kesehatan Nasional SOP Standard Operating Procedure Sp.A Spesialis Anak

Sp.An Spesialis Anestesi Sp.B Spesialis Bedah

Sp.jP Spesialis Jantung & Pembuluh Darah Sp.KFR Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi SpKj Spesialis Kesehatan Jiwa

Sp.OG Spesialis Obstetri dan Ginekologi Sp.P Spesialis Paru

Sp.PA Spesialis Patologi Anatomi Sp.PD Spesialis Penyakit Dalam Sp.PK Spesialis Patologi Klinik Sp.Rad Spesialis Radiologi Sp.S Spesialis Syaraf STR Surat Tanda Registrasi TBC Tuberculosis TI Teknologi Informasi Tubel Tugas belajar

TWG Technical Working Group UHC Unversal Health Coverage

UK-CBT Uji Kompetensi – Computerized Based Test UKM Upaya Kesehatan Masyarakat

UKMPPD Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter UKP Upaya Kesehatan Perorangan

UMK Upah Minimum Kerja

UPT Unit Pelaksana Teknis UU Undang-Undang

WKDS Wajib Kerja Dokter Spesialis

Kajian Sektor Kesehatan • xv

(9)

RINGKASAN EKSEKUTIf

1. Pendahuluan

SDM kesehatan merupakan salah satu subsitem dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yang berperanpenting dan strategis dalam pelaksanaan upaya kesehatan dan pencapaian Universal Health Coverage (UHC) serta Sustainable Development Goals (SDGs). Di samping itu, Indonesia juga menghadapi tantangan lain yaitu transisi demografi (penduduk menua) dan transisi epidemiologi yang mengakibatkan Indonesia mengalami tiga beban penyakit (triple burden of disease) yaitu gizi, penyakit menular yang belum terselesaikan dan meningkatnya penyakit tidak menular (PTM) serta re-emerging dan emerging diseases. Tantangan ini akan berdampak pada kebutuhan SDM kesehatan yang lebih kompleks baik dalam jumlah, jenis maupun kompetensinya. Meskipun produksi SDM kesehatan (tenaga medis dan tenaga kesehatan) meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah dan jenis institusi pendidikan tinggi bidang kesehatan, sampai saat ini, pemenuhan SDM kesehatan baik dalam jumlah, kualitas dan distribusi masih merupakan tantangan utama di Indonesia.

2. Analisis Situasi Saat Ini

2.1. Ketersediaan SDM Kesehatan di Puskesmas

Dari 9.669 puskesmas, hampir seluruh puskesmas (>90%) telah memiliki dokter, perawat dan bidan (Risnakes 2017). Namun demikian, masih terdapat kekurangan SDM kesehatan baik pelaksana UKM maupun UKP. Sebanyak >25%-60% puskesmas tidak mempunyai dokter gigi, SDM kesehatan masyarakat, SDM kesehatan lingkungan, tenaga gizi, tenaga kefarmasian dan tenaga ahli teknologi laboratorium medik (ATLM). Berdasarkan provinsi, puskesmas tanpa dokter yang terbanyak terdapat di wilayah Indonesia timur, yaitu Papua, Maluku, Papua Barat, Sulawesi Tenggara dan Nusa Tenggara Timur (>20%-45%).

Kekurangan SDM kesehatan juga terjadi di wilayah Indonesia barat. Kekurangan tenaga ini antara lain disebabkan juga oleh kebijakan moratorium pengangkatan PNS (Peraturan Bersama MenPANRB No.02/SPB/M.PAN-RB/8/2011, Mendagri No.800-632 Tahun 2011, dan Menkeu No.141/PMK.01/2011), dengan pengecualian pengangkatan tenaga dokter, bidan dan perawat.

2.2. Ketersediaan SDM Kesehatan di Rumah Sakit

Hasil Risnakes 2017 menunjukkan dari 1.905 rumah sakit umum (RSU) yang terdiri dari 657 milik pemerintah (Kemenkes dan pemda), 1.097 swasta dan 151 TNI-POLRI, hampir seluruhnya (>99%) telah memiliki dokter umum, kecuali beberapa RSU pemerintah kelas D di Provinsi Maluku (30%) dan Maluku Utara (11%). Namun, masih banyak RSU baik pemerintah maupun swasta yang kekurangan dokter spesialis medik dasar, spesialis penunjang dan spesialis lainnya. Seluruh RS kelas A dan B telah memiliki dokter spesialis medik dasar, namun beberapa RS kelas C dan D tidak memiliki. Sementara itu, ketersediaan dokter spesialis penunjang lebih sedikit dibandingkan dengan spesialis medik dasar. Secara umum, semakin rendah kelas RS semakin sedikit jumlah RSU dengan dokter spesialis medik dasar, spesialis penunjang dan spesialis lainnya. Jumlah dokter spesialis medik, spesialis penunjang dan spesialis lain di RSU pemerintah tidak berbeda jauh dengan RSU swasta, bahkan beberapa jenis dokter spesialis jumlahnya lebih besar di RS swasta.

2.3. Pendidikan dan Pelatihan

Dari hasil Risnakes 2017, rerata SDM kesehatan yang melaksanakan tugas belajar pada tahun 2018 adalah 1,68 orang/puskesmas, terbanyak di Provinsi Maluku (3,32 orang/

puskesmas). Tugas belajar ini merupakan salah satu kebijakan dalam rangka pemenuhan dokter spesialis di RSU. Namun, jumlah peserta yang mengikuti tugas belajar cukup rendah terutama dari wilayah Indonesia timur. Kondisi ini disebabkan karena rendahnya tingkat kelulusan seleksi akademik. Hanya separuh RS (53%) yang memberikan bantuan tugas belajar, terbanyak di Provinsi DKI Jakarta (>60%), Jawa Tengah dan Jawa Timur, sementara terendah di Sulawesi Tenggara (29,6%). Dari 46.278 orang PNS/CPNS dan 10.106 orang non-PNS SDM kesehatan di puskesmas, hanya 9,3% PNS/CPNS dan 2% non-PNS yang pernah mengikuti pelatihan. Sementara itu masih banyak SDM kesehatan di 34 provinsi yang belum mengikuti pelatihan jabatan fungsional. Kondisi ini mengakibatkan SDM kesehatan tersebut belum dapat diangkat ke jabatan fungsional.

2.4. Task Shifting dan Multitasking

Task shifting adalah SDM kesehatan yang mengerjakan tugas di luar latar belakang pendidikan dan atau kompetensi yang dimiliki, di bidang tata laksana pasien. Sementara itu, multitasking adalah SDM kesehatan yang mengerjakan tugas di luar latar belakang pendidikan dan kompetensi yang dimiliki di bidang manajemen. Sebanyak 95,9% puskesmas yang SDM kesehatannya mengerjakan tugas di bidang manajemen dan 66,1% di bidang tata laksana pasien. Tindakan medis umum di puskesmas yang seharusnya merupakan kompetensi dokter, dilakukan juga oleh tenaga farmasi, analis, gizi, kesehatan lingkungan dan kesehatan masyarakat (≤ 5%). Sama halnya dengan puskesmas, sebanyak 74,6% RS yang SDM kesehatannya mengerjakan tugas di luar latar belakang pendidikan dan atau kompetensi yang dimiliki. Sekitar 94,1% dengan penugasan di bidang manajemen dan 52,1% mengerjakan tugas di bidang tata laksana pasien di RS.

2.5. Penghasilan SDM Kesehatan dan Insentif

Sebanyak sepertiga puskesmas (34,5%) dengan SDM kesehatan yang memperoleh penghasilan di bawah upah minimum kabupaten/kota (UMK). Provinsi Sulawesi Barat dan Nusa Tenggara Barat merupakan provinsi yang lebih dari separuh puskesmasnya memiliki SDM kesehatan yang penghasilannya di bawah UMK. Sebaliknya, Provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi dengan jumlah puskesmas yang terbesar jumlah SDM kesehatannya dengan penghasilan di atas UMK (99,7%). Sumber insentif terbesar berasal dari kapitasi JKN (90,6%), diikuti oleh tunjangan kinerja daerah (50,6%). Hampir seluruh provinsi menerima insentif terbesar dari kapitasi JKN (70%-100%), kecuali DKI Jakarta (3,5%).

Di tingkat RS, persentase RS yang penghasilan SDM kesehatannya di bawah UMK sebanyak 24,39%. Provinsi DI Yogyakarta, Jawa Tengah dan DKI Jakarta merupakan provinsi dengan jumlah RS terbesar untuk SDM kesehatan berpenghasilan di atas UMK (91%- 92%). Sebaliknya, Sulawesi Barat dan Maluku Utara merupakan provinsi dengan jumlah RS terbesar untuk SDM kesehatan berpenghasilan di bawah UMK (56%-57%). Meskipun penghasilan SDM kesehatan di RS rendah, namun kepuasan kerja SDM kesehatan di NTT cukup tinggi. Penghasilan SDM kesehatan di RS lebih besar dari puskesmas, yang bersumber antara lain dari jasa pelayanan kesehatan yang cukup besar bila dibandingkan dengan puskesmas.

Kajian Sektor Kesehatan • xvii xvi • Sumber Daya Manusia Kesehatan

(10)

2.6. Ketersediaan SDM Kesehatan di Klinik Swasta

Jumlah rata-rata dokter pada setiap klinik swasta (2 orang) tidak jauh berbeda dengan Puskesmas (1,9 orang). Namun, terdapat kesenjangan jumlah perawat dan bidan antara klinik swasta dan Puskesmas. Rata-rata klinik swasta hanya mempunyai <2 perawat.

Hal ini ditengarai karena klinik swasta tidak memberi pelayanan rawat inap. Selain itu, jumlah tenaga kefarmasian di klinik swasta lebih sedikit, sedangkan ATLM tidak tersedia.

Kondisi ini disebabkan karena tidak semua klinik swasta menyelenggarakan pemeriksaan laboratorium dan pelayanan kefarmasian. Kesempatan SDM kesehatan pada klinik swasta untuk mengikuti pelatihan-pelatihan lebih kecil dibanding dengan puskesmas (31).

2.7. Kualitas SDM Kesehatan

Hampir semua jenis program studi (prodi) pada pendidikan tinggi bidang kesehatan (analis kesehatan, kebidanan, keperawatan, kesehatan masyarakat, farmasi, kesehatan lainnya) dimiliki oleh swasta (>60%-80%), sedangkan prodi kedokteran (termasuk spesialis) dan kedokteran gigi sebagian besar dimiliki oleh pemerintah (hampir 80%). Berdasarkan status akreditasi, semua jenis prodi yang dimiliki swasta memiliki nilai B dan C, sedangkan prodi yang dimiliki pemerintah memiliki nilai A dan B. Selain status akreditasi, parameter kualitas juga dapat dilihat dari uji kompetensi yang diikuti oleh mahasiswa pada akhir masa pendidikan. Kelulusan prodi kedokteran dan kedokteran gigi berkisar 70%, sedangkan lulusan prodi keperawatan, kebidanan dan ners lebih rendah. Sepanjang 2015-2017, terjadi penurunan jumlah lulusan bidan, perawat dan ners yang cukup banyak menjadi <42%.

Jumlah lulusan terendah adalah ners (<40%). Rendahnya kelulusan dalam uji kompetensi tersebut berkorelasi dengan status akreditasi institusi pendidikan tinggi bidang kesehatan.

Semakin rendah nilai akreditasi suatu institusi pendidikan tinggi, maka jumlah kelulusan dalam uji kompetensi juga rendah.

2.8. Kebijakan Pengelolaan dan Pengembangan SDM Kesehatan 2.8.1. Perencanaan Kebutuhan SDM Kesehatan.

Sebanyak 79,8% puskesmas dan 77,9% RS menggunakan Metode Analisis Beban Kerja Kesehatan (ABK Kes) dalam menyusun rencana kebutuhan SDM kesehatan (Risnakes 2017). Dari hasil evaluasi Badan PPSDM Kemenkes, hanya 5 provinsi dimana seluruh kabupaten/kotanya memiliki dokumen perencanaan kebutuhan SDM kesehatan dari seluruh puskesmas dan RSUD yaitu Provinsi Riau, Jambi, Bangka Belitung, Bengkulu dan Sumatera Barat) (21). Dokumen perencanaan ini digunakan sebagai acuan untuk pemenuhan kebutuhan SDM kesehatan di daerah serta sebagai dasar untuk melakukan distribusi serta redistribusi SDM kesehatan di daerah.

2.8.2. Pemenuhan SDM Kesehatan

Pemenuhan SDM kesehatan terdiri dari pemenuhan yang bersifat tetap (PNS dan PPPK) maupun yang bersifat sementara (PTT daerah, penugasan khusus, serta kontrak/honorBLUD/swasta/PMA). Di tingkat puskesmas, pemenuhan SDM kesehatan terdiri dari PTT daerah, Nusantara Sehat (NS) penugasan khusus berbasis tim maupun individu, serta kontrak/honor. Sementara itu, di RS terdiri dari penugasan khusus residen,wajib kerja dokter spesialis (WKDS), serta NS penugasan khusus individu di DTPK.

a) Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS). Perpres 4/2017 tentang Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS) dan Permenkes 69/2016 tentang Penyelenggaraan Wajib Kerja

Dokter Spesialis merupakan kebijakan untuk pemenuhan kebutuhan pelayanan spesialistik di Indonesia. WKDS adalah penempatan dokter spesialis di RS milik pemerintah pusat dan daerah (RS di DTPK, RS rujukan regional dan RS rujukan provinsi). Jenis dokter spesialis yang wajib mengikuti WKDS adalah Sp.A, Sp.OG, Sp.PD, Sp.Bedah dan Sp.An. Adapun masa bakti peserta WKDS mandiri adalah satu tahun, sedangkan untuk penerima beasiswa dan/atau program bantuan biaya pendidikan sesuai dengan perjanjian. Provinsi dengan peserta WKDS terbanyak adalah Jawa Timur, diikuti oleh Sumatera Utara, Jawa Barat dan NTT.

b) Nusantara Sehat (NS). Nusantara Sehat (NS) adalah penugasan khusus SDM kesehatan guna meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan pada puskesmas di DTPK1 dalam kurun waktu 2 tahun. NS dapat berbentuk tim yang terdiri dari 5 jenis SDM kesehatan maupun berbasis individu. Pengadaan peserta NS hingga penempatannya memakan waktu panjang karena seleksi dilakukan dalam 2 tahap yaitu seleksi administrasi dan seleksi yang terdiri wawancara, pengujian kesehatan dan psikotes serta pembekalan selama 35 hari sebelum penempatan, yang tentu saja membutuhkan biaya yang besar. Dalam pelaksanaan rekrutmen, target jumlah SDM kesehatan yang dibutuhkan belum mencapai target, terutama kendala pada perekrutan dokter.

c) Internship. Sejak tahun 2010, dokter yang baru lulus wajib mengikuti Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI), yang merupakan proses pemagangan dalam rangka pemahiran dan pemandirian serta penyelarasan antara hasil pendidikan dengan praktik di lapangan yang merupakan kelanjutan dari pendidikan profesi kedokteran. PIDI berlangsung selama satu tahun (8 bulan di RS dan 4 bulan di puskesmas). Setelah PIDI berakhir, para dokter dapat menempuh jenjang karir sesuai dengan keinginannya. Peserta internsip mendapat bantuan biaya hidup yang kecil. Sejak tahun 2016 hingga Oktober 2018, terdapat sebanyak 50.555 dokter telah melaksanakan internsip yang tersebar di 34 provinsi. Beberapa kendala pelaksanaan PIDI antara lain tidak ada standar untuk pelaksanaan PIDI di wahana yang menyebabkan kesenjangan antarwahana, banyak peserta PIDI yang menunda karena wahana internsip yang tidak sesuai dengan keinginan peserta, serta kurangnya koordinasi antara Komite Internsip Dokter Indonesia (KIDI) dan Sekretariat PIDI provinsi dengan pimpinan wahana internsip. PIDI diharapkan dapat mengatasi maldistribusi dokter, dengan tersedianya dokter di DTPK secara sementara.

2.9. Praktik Ganda (Dual Practice)

Peraturan Menteri Kesehatan No.2052/MENKES/PER/X/2011 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran mengatur bahwa seorang dokter/dokter gigi/dokter spesialis dapat bekerja baik di sektor pemerintah maupun swasta dan praktik mandiri dengan batas maksimum 3 tempat praktik. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan ketersediaan SDM kesehatan di fasyankes primer/sekunder/tersier milik pemerintah dan swasta. Pada kenyataannya, praktik ganda merupakan salah satu faktor yang berkontribusi pada terjadinya maldistribusi SDM kesehatan terutama dokter dan dokter spesialis.

Kajian Sektor Kesehatan • xix xviii • Sumber Daya Manusia Kesehatan

1 Permenkes 33/2018 tentang Penugasan Khusus Tenaga Kesehatan dalam Mendukung Program Nusantara Sehat

(11)

Kajian Sektor Kesehatan • xxi xx • Sumber Daya Manusia Kesehatan

2.10. Sistem Infomasi SDM Kesehatan

Dari hasil evaluasi Badan PPSDM Kesehatan Juni 2018, hampir semua puskesmas sudah melengkapi data individu (>93%). Sementara itu, kelengkapan data individu di RS baru sekitar 6-84%. Sekitar 84% RS pemerintah daerah sudah melengkapi data individu SDM kesehatannya, sedangkan RS swasta baru mencapai 45% (5). Informasi tentang SDM kesehatan juga tersedia dari berbagai sumber yaitu dari internal Kemenkes dan sektor lain, namun belum terintegrasi. Hal ini menyebabkan variasi data antar sumber. Di samping itu, informasi tentang SDM kesehatan yang bertugas di fasyankes swasta belum tercakup.

2.11. SDM Kesehatan di Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota

UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah menetapkan 4 urusan kesehatan yang menjadi kewajiban dan kewenangan daerah. PP 18/2016 tentang Perangkat Daerah sebagai turunan UU 23/2014 menetapkan bahwa RSUD dan puskesmas adalah UPTD yang berada dalam koordinasi dan pembinaan dinas kesehatan. Sebagai pembina kesehatan wilayah, dinas kesehatan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan seluruh aspek kesehatan di wilayah kabupaten/kota, sehingga pencapaian target-target/sasaran pembangunan kesehatan ditentukan oleh kapasitas dan efektivitas dinas kesehatan.

3. Isu dan Tantangan SDM Kesehatan 3.1. Isu Strategis SDM Kesehatan

Kekurangan Sumber Daya Manusia Kesehatan. Kekurangan SDM kesehatan baik yang memberikan pelayanan kesehatan perorangan (dokter, dokter gigi, perawat, bidan, tenaga farmasi, ATLM) maupun yang memberikan pelayanan kesehatan masyarakat (tenaga gizi, SDM kesehatan masyarakat, SDM kesehatan lingkungan) terjadi di semua tingkat fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) baik di tingkat primer (puskesmas), maupun tingkat sekunder dan tersier (rumah sakit). Kekurangan SDM kesehatan ini tidak hanya terjadi di fasyankes milik pemerintah namun juga swasta. Kekurangan SDM kesehatan terutama SDM kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan masyarakat antara lain disebabkan oleh kebijakan moratorium pengangkatan PNS.

Maldistribusi SDM Kesehatan. Sejak desentralisasi, pengangkatan dan penempatan lulusan institusi pendidikan tinggi bidang kesehatan tidak diatur lagi oleh pemerintah. Akibatnya banyak SDM kesehatan, terutama dokter, lebih memilih untuk bekerja di perkotaan terutama di wilayah Indonesia barat, yang memiliki banyak fasilitas pelayanan kesehatan swasta yang menjadi daya tarik (Pull Factor) bagi tenaga dokter dan dokter spesialis untuk bekerja di perkotaan. Dokter spesialis juga keberatan untuk bekerja di RS di DTPK karena keterbatasan sarana pelayanan kesehatan sehingga kesempatan mendapatkan tambahan penghasilan menjadi berkurang. Maldistribusi SDM kesehatan di Indonesia antara lain juga dipengaruhi oleh tidak memadainya insentif baik finansial maupun non finansial. Sistem pembayaran dengan kapitasi dalam Program JKN juga menjadi faktor yang mendorong terjadinya maldistribusi, karena dana kapitasi yang diterima lebih besar di perkotaan dengan jumlah penduduk yang lebih besar.

Kualitas SDM Kesehatan. Masalah kualitas harus dilihat dari hulunya, yaitu dari kualitas institusi pendidikan tinggi bidang kesehatan. Pertumbuhan institusi pendidikan tinggi bidang kesehatan meningkat dengan cepat, terutama di sektor swasta. Pertumbuhan yang

cepat ini tidak diikuti dengan kualitas dari institusi pendidikan kesehatan tersebut. Dari 2.556 institusi pendidikan tinggi bidang kesehatan, masih terdapat 24,1% dengan akreditasi C. Lulusan dari uji kompetensi dokter, dokter gigi, perawat, bidan dan ners dari tahun 2015–2017 belum mencapai 100% lulusan (<80%).Terdapat korelasi antara nilai akreditasi institusi dengan nilai hasil uji kompetensi.

Task Shifting dan Multitasking. Task shifting dan multitasking dilakukan baik oleh SDM kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan perorangan maupun pelayanan kesehatan masyarakat serta terjadi di semua tingkat fasyankes baik primer maupun sekunder dan tersier. Salah satu penyebab terjadinya task shifting dan multitasking adalah kekurangan SDM kesehatan baik medis, tenaga kesehatan dan non kesehatan. Kondisi ini akan berdampak terhadap kualitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat.

Kualitas Penyusunan Perencanaan Kebutuhan SDM Kesehatan. Meskipun cukup banyak kebijakan terkait perencanaan kebutuhan SDM kesehatan yang menetapkan bahwa perencanaan kebutuhan SDMK menjadi tanggung jawab daerah, namun perencanaan kebutuhan SDM kesehatan di daerah belum optimal. Perencanaan kebutuhan SDM belum dikelola secaraprofesional dan tidak berorientasi jangka panjang. Salah satu penyebabnya adalah terbatasnya jumlah dan kemampuan staf, serta tingginya turn over staf yang menangani dan mengawal penyusunan perencanaan kebutuhan SDM baik di pusat maupun daerah.

Penguatan Sistem Informasi SDM Kesehatan. Sistem informasi SDM kesehatan yang dapat menyediakan data SDM kesehatan yang valid, mutakhir, lengkap dan tepat waktu sangat dibutuhkan untuk penyusunan perencanaaan kebutuhan SDM kesehatan dalam rangka pemenuhan SDM kesehatan di daerah. Sistem informasi ini harus terintegrasi secara lintas program (internal Kemenkes) dan lintas sektor (KemenPAN–RB dan BKN), serta dengan kabupaten/kota/provinsi. Namun demikian, regulasi tentang pengembangan sistem informasi SDM kesehatan ini belum tersedia.

Peningkatan Kapasitas SDM Kesehatan Dinas Kesehatan. Sebagai pembina kesehatan wilayah, dinas kesehatan bertanggung jawab dalam pengelolaan pembangunan kesehatan diprovinsi/kabupaten/kota. Kapasitas dinkes provinsi/kabupaten/kota sangat ditentukan oleh kompetensi SDM kesehatannya. Untuk itu, SDM kesehatan yang bertugas di dinkes provinsi/kabupaten/kota harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan tugas dan fungsinya.

3.2. lingkungan Strategis dan Tantangan ke Depan

Universal Health Coverage (UHC) dan Sustainable Development Goals (SDGs). Indonesia menghadapi tantangan dalam upaya mencapai UHC pada tahun 2019 dan SDGs. Pada tahun 2019, UHC diharapkan mencakup seluruh penduduk di Indonesia yang pada akhirnya akan mengakibatkan peningkatanpermintaan dalam pelayanan kesehatan baik dalam hal jenis maupun jumlah. Selain itu, target SDGs kesehatan yang komprehensif membutuhkan pelayanan kesehatan yang mampu menjawab berbagai kebutuhan tersebut. Peningkatan permintaan akan pelayanan kesehatan berimplikasi terhadap peningkatan kebutuhan SDM kesehatan yang lebih kompleks di semua fasyankes (primer, sekunder dan tersier) baik milik pemerintah maupun swasta.

(12)

Kajian Sektor Kesehatan • xxiii xxii • Sumber Daya Manusia Kesehatan

Pertumbuhan Penduduk dan Perubahan Beban Penyakit. Jumlah penduduk diperkirakan akan bertambah, terutama penduduk berumur 60 tahun dan penduduk usia produktif.

Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut dan usia produktif ini, terjadi perubahan pola penyakit yaitu peningkatan Penyakit Tidak Menular (PTM) yang bersifat degeneratif/kronis dan penyakit akibat perubahan gaya hidup terutama pada penduduk dengan usia produktif. Perubahan pola penyakit ini akan menyebabkan perubahan permintaan dan kebutuhan terhadap pelayanan kesehatan, yang pada akhirnya berdampak pada kebutuhan SDM kesehatan yang lebih kompleks.

4. Rekomendasi Strategi

Pemenuhan SDM Kesehatan. Pemenuhan SDM kesehatan harus dalam bentuk kebijakan yang permanen baik di fasyankes primer/sekunder/tersier. Kebijakan yang permanen ini harus mengatur antara lain masa bakti, insentif dan pengembangan karir. Kebijakan harus local specific. Kebijakan ini tidak hanya mengatur tenaga medis dan tenaga kesehatan, tetapi juga tenaga non kesehatan/tenaga penunjang (misalnya akuntan dan tenaga ahli teknologi informasi).

Penguatan Penyusunan Perencanaan Kebutuhan SDM Kesehatan Pusat dan Daerah. Dinkes provinsi/kabupaten/kota dan RS harus memiliki dokumen perencanaan kebutuhan SDM kesehatan jangka pendek (setiap tahun), menengah (5 tahun) dan panjang (10-25 tahun).

Dokumen ini sebagai acuan untuk pemenuhan kebutuhan SDM kesehatan di daerah, distribusi dan redistribusi SDM kesehatan, serta penataan organisasi di daerah. Penyusunan perencanaan kebutuhan SDM kesehatan berbasis analisis beban kerja kesehatan (ABK Kes) secara berjenjang di daerah perlu dikawal secara terus menerus. Selain itu, perlu dilakukan harmonisasi aplikasi perencanaan kebutuhan aparatur oleh MenPan-RB (e-formasi) dengan aplikasi perencanaan kebutuhan SDMK di Kemkes agar pelaksanaan di daerah tidak tumpang tindih.

Sinkronisasi Penyusunan Kebijakan Pusat dan Daerah. Regulasi dan kebijakan untuk pengangkatan dan penempatan SDM kesehatan sudah cukup banyak tersedia. Namun, dalam implementasinya masing–masing sektor menyusun sendiri peraturan turunannya sebagai acuan teknis. Dalam menyusun acuan teknis, perlu dilakukan sinkronisasi antara pusat dan daerah dalam bentuk Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) sehingga mudah dilaksanakan daerah. Selain itu, regulasi tentang pengelolaan SDM kesehatan yang spesifik daerah mengacu pada NSPK perlu disusun dan dapat berupa perda ataupun peraturan Gubernur/Bupati/Walikota agar daerah dapat melakukan pengelolaan dan pengembangan SDM kesehatan sesuai dengan kondisi daerah masing-masing.

Penyusunan Kebijakan Redistribusi SDM Kesehatan. Mutasi merupakan salah satu cara untuk redistribusi dalam rangka mengurangi maldistribusi SDM kesehatan di daerah. Mutasi yang dilakukan dapat mengacu pada perencanaan kebutuhan SDM kesehatan yang telah disusun oleh daerah. Agar proses mutasi dapat dilaksanakan dengan mekanisme yang tidak memakan waktu lama dan mudah dilaksanakan, kebijakan teknis yang lebih operasional (NSPK) perlu disusun bersama oleh Kemendagri, BKN, KemenPAN–RB, Kemenkes, serta daerah.

Pengembangan Affirmative Policy SDM Kesehatan terutama untuk DTPK. Kebijakan afirmasi yang dikembangkan bukanlah kebijakan yang one size fits for all. Kebijakan ini diharapkan dapat bersifat permanen. Kebijakan ini dapat berupa Peraturan Presiden tentang wajib kerja atau pendayagunaan SDM kesehatan dalam bentuk tim, yang terdiri dari pelaksanaUKM maupun UKP untuk ditempatkan di DTPK. Kebijakan ini diharapkan dapat menggantikan Program Nusantara Sehat yang bersifat sementara. Adapun, lama masa bakti disesuaikan dengan lokasi penempatan. Dalam kebijakan ini, pengangkatan SDM kesehatan sebagai PNS dan PPPK tanpa batasan usia. Selain itu, kebijakan ini diharapkan juga mengatur antara lain insentif finansial dan nonfinansial, pendidikan dan pelatihan (diklat) untuk pengembangan kompetensi, serta pengembangan karir pasca masa bakti. Program WKDS tetap dipertahankan dan tidak hanya berlaku untuk 5 jenis spesialis. Jenis spesialis dalam Program WKDS perlu diperluas terutama untuk menghadapi transisi demografi dan transisi epidemiologi.

Evaluasi Efektivitas Kebijakan SDM Kesehatan. Informasi terkait maldistribusi, retensi, motivasi, produktivitas dan praktik ganda SDM kesehatan masih terbatas. Untuk itu, penilaian melalui suatu studi komprehensif dan mendalam perlu dilakukan. Selain itu, evaluasi terhadap penerapan kebijakan pemenuhan SDM kesehatan juga perlu dilakukan untuk melihat efektivitas dan manfaat kebijakan tersebut di lapangan. Dari hasil studi ini diharapkan dapat disusun suatu regulasi/kebijakan yang spesifik dan berbasis bukti untuk mengatasi akar permasalahan isu-isu SDM kesehatan yang ada.

Penguatan Sistem Infomasi SDM Kesehatan. Untuk menghasilkan data SDM kesehatan yang berkualitas, lengkap dan mutakhir, integrasi berbagai sistem informasi yang ada baik secara horizontal maupun vertikal dengan provinsi/kabupaten/kota serta melibatkan fasyankes swasta mutlak dilakukan. Pengembangan sistem informasi SDM kesehatan yang mencakup SDM kesehatan di sektor swasta (RS swasta, klinik swasta, praktik mandiri, dllnya) dapat di uji coba di 3-5 kabupaten/kota di dalam 1-2 provinsi. Selain itu, regulasi yang mengatur interoperabilitas seluruh sistem informasi SDM kesehatan perlu dikembangkan.

Pengembangan Kapasitas SDM Kesehatan Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota. Sebagai pembina kesehatan wilayah, dinas kesehatan bertanggung jawab terhadap semua aspek kesehatan dalam wilayah kabupaten/kota. Untuk itu, peningkatan kapasitas SDM kesehatan dinkes menjadi sangat strategis dalam pembangunan kesehatan. Dinkes membutuhkan SDM kesehatan dengan kompetensi manajemen/administrasi maupun teknis. Dinkes harus menyusun kompetensi teknis bagi SDM kesehatan di dinkes, menyusun kualifikasi dan standar SDM kesehatan yang diperlukan, serta melengkapi SDM kesehatan sesuai standar.

Pemenuhan SDM yang berkompeten di dinkes dapat dilakukan dengan pendidikan lanjutan atau pelatihan tentang kompetensi teknis tersebut.

Peningkatan Mutu SDM Kesehatan. Komite Bersama Kemenristek Dikti dan Kemenkes bertujuan untuk peningkatan kualitas pendidikan, penelitian dan pelayanan, serta merupakan wadah koordinasi antara Kemenristek Dikti dan Kemenkes untuk pendidikan kesehatan.

Pendidikan tinggi dan pelayanan kesehatan merupakan satu kesatuan yang harus dijalankan secara sinergis. Untuk itu perlu dilakukan penguatan komite ini dengan kolaborasi dan komunikasi yang intensif. Dalam mengembangkan institusi pendidikan bidang kesehatan harus memperhatikan demand akan pelayanan kesehatan di masa depan. Komite bersama ini

(13)

1.

PENDAHUlUAN

Sumber daya manuSia keSehatan

KAJIAN SEKTOR KESEHATAN

juga harus mengkaji keberadaan Poltekkes yang menjadi tanggung jawab Kemenkes. Untuk pengembangan dan percepatan pendidikan spesialis, komite bersama ini harus memikirkan terobosan misalnya dengan pendidikan spesialis melalui Hospital Based.

Mengembangkan Kebijakan Operasional Task Shifting. Regulasi yang mengatur task shifting telah tersedia. Namun, diperlukan kebijakan untuk operasionalisasi task shifting di fasyankes primer dan sekunder. Untuk itu, Kemenkes, Kemenristek Dikti, Organisasi Profesi, Kolegium, KKI, Konsil Tenaga Kesehatan, serta Asosiasi Institusi Pendidikan Bidang Kesehatan harus berkolaborasi secara harmonis dalam menyusun, pedoman, modul, pelatihan dan pengawasan dan pembinaan yang berkesinambungan.

Indikator Kinerja. Indikator kinerja berperan penting dalam mengukur capaian tujuan strategis.

Indikator harus realistis dan dapat dicapai dalam periode waktu yang telah ditetapkan. Untuk mencapai target indikator juga perlu memperhitungkan kebutuhan biaya dan sumber daya.

Indikator utama yang akan dikembangkan untuk pemenuhan SDM kesehatan yang berkualitas adalah:

1. Terpenuhinya SDM kesehatan sesuai standar pada semua puskesmas di daerah DTPK 2. Terpenuhinya semua jenis dokter spesialis medik dasar di semua RSUD kelas C dan D di

kabupaten/kota sesuai standar

3. Terpenuhinya semua jenis dokter spesialis penunjang di semua RSUD kelas C sesuai standar

4. Terpenuhinya dokter spesialis lainnya (Sp.JP, Sp.S, Sp.P, Sp.KJ, Sp.Ortopedi, Sp.Onkologi) di semua RSU rujukan (regional dan provinsi) dan RSU kelas B 5. Peningkatan SDM kesehatan dengan jenjang pendidikan <D3 menjadi D3

6. Perda/peraturan Gubernur/Bupati/Walikota tentang pengelolaan SDM kesehatan di provinsi/kabupaten/kota

7. Regulasi tentang masa bakti SDM kesehatan yang spesifik daerah/Affirmative Policy di DTPK

8. NSPK pengelolaan dan pengembangan SDM kesehatan 9. Terpenuhinya SDM kesehatan di dinkes yang kompeten

10. Sistem informasi SDM kesehatan yang terstandar, komprehensif dan interoperabilitas;

11. Kebijakan task shifting yang operasional

12. Dokumen perencanaan kebutuhan SDM kesehatan

xxiv • Sumber Daya Manusia Kesehatan

(14)

1. Pendahuluan • 3 2 • Sumber Daya Manusia Kesehatan

1.1. lATAR BElAKANG

Sumber daya manusia (SDM) kesehatan merupakan salah satu sub-sistem dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Sebagai salah satu elemen SKN, SDM kesehatan mempunyai peranan penting dan strategis dalam pelaksanaan upaya kesehatan serta untuk mendukung pencapaian Universal Health Coverage (UHC) dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs). Indonesia juga menghadapi tantangan transisi demografi (penduduk menua) dan transisi epidemiologi yang mengakibatkan Indonesia mengalami tiga beban penyakit (triple burden of disease) yaitu: 1) masalah gizi; 2) penyakit menular yang belum terselesaikan seperti tuberkulosis (TBC), re-emerging diseases antara lain malaria dan emerging diseases (Flu Burung, Syndrome SARS, Ebola, Nipah, dll); serta 3) meningkatnya penyakit tidak menular (PTM) dan cedera. Tantangan ini akan berdampak pada meningkatnya kebutuhan dan permintaan pelayanan kesehatan (primer, sekunder dan tersier). Pada akhirnya, kondisi ini akan meningkatkan kebutuhan SDM kesehatan yang lebih kompleks baik dalam jumlah, jenis maupun kompetensinya.

Pada dasarnya, permasalahan terkait SDM kesehatan meliputi aspek ketersediaan (availability), keterjangkauan (accessibility), penerimaan (acceptability) dan mutu (quality).

Ketersediaan berarti terdapat kecukupan SDM kesehatan dengan kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan kesehatan masyarakat. Keterjangkauan dapat diartikan bahwa masyarakat dapat menjangkau SDM kesehatan baik dalam hal waktu tempuh dan transportasi, jam buka pelayanan, mekanisme rujukan, dan biaya pelayanan (direct dan indirect cost). Aspek penerimaan (acceptability) meliputi karakteristik dan kemampuan SDM kesehatan untuk memperlakukan setiap orang dengan penuh rasa hormat, serta mampu dipercaya. Dalam aspek mutu terkandung komponen kompetensi, kemampuan, pengetahuan, dan perilaku SDM kesehatan sesuai norma profesional dan sesuai dengan yang diharapkan dari masyarakat (2,3,28).

Walaupun jumlah SDM kesehatan di Indonesia terus meningkat, namun dari segi jumlah masih belum memadai untuk dapat memberikan pelayanan yang optimal. Hasil Riset Tenaga Kesehatan (Risnakes) Kementerian Kesehatan tahun 2017, menunjukkan masih banyak puskesmas yang tidak memiliki atau kekurangan SDM kesehatan, baik untuk melaksanakan upaya kesehatan perorangan (UKP)2 maupun Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM)3. Kondisi serupa juga terjadi di tingkat rumah sakit (RS). Banyak rumah sakit umum (RSU) yang tidak memiliki dokter spesialis medik dasar4, spesialis penunjang5 dan/atau spesialis lainnya6 sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundangan. Di sisi lain, kebanyakan puskesmas dan RS di perkotaan justru memiliki kelebihan SDM kesehatan. Selain itu, cukup banyak dokter spesialis di RS pemerintah yang juga bekerja di RS swasta atau membuka praktek mandiri.

Jumlah dan lokasi RS swasta berperan sebagai pull factor (daya tarik) bagi dokter spesialis untuk bekerja di suatu daerah (9,31).

Kekurangan dan kelebihan SDM kesehatan tersebut menjadikan distribusi SDM kesehatan tidak merata (maldistribusi). Hal ini diperparah dengan desentralisasi yang menyebabkan SDM kesehatan di provinsi atau kabupaten/kota khususnya yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) sulit untuk dipindahkan baik antar-kabupaten/kota dalam satu provinsi, maupun antar-provinsi. Di samping itu, UU29/ 2004 tentang Praktik Kedokteran memperbolehkan praktik ganda (dual practice), dimana dokter/dokter gigi/dokter spesialis bisa mendapatkan surat izin praktik maksimal di tiga lokasi, termasuk lokasi tempat bekerja utama. Kondisi ini menyebabkan banyak dokter/dokter gigi/dokter spesialis keberatan untuk bekerja di luar pulau Jawa, karena kesempatan untuk mendapatkan penghasilan tambahan dari praktik swasta menjadi berkurang. Pada umumnya, dokter/dokter gigi/dokter spesialis terkonsentrasi di pulau Jawa dan kota-kota besar.

Permasalahan SDM kesehatan tidak hanya terkait ketersediaan dan distribusi, namun juga kualitas. Produksi SDM kesehatan meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah dan jenis institusi pendidikan tinggi bidang kesehatan terutama swasta, namun seringkali mengabaikan standardisasi dan kualitas pendidikan yang diberikan. Untuk meningkatkan kualitas institusi pendidikan tinggi tersebut, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemen RistekDikti) telah melakukan pengembangan quality assurance system, antara lain dengan melaksanakan akreditasi yang dilakukan oleh lembaga independen dan mandiri yaitu Lembaga Akreditasi Mandiri Perguruan Tinggi Kesehatan (LAM-PT KES).

Dalam rangka menjamin kualitas lulusan, dilakukan uji kompetensi mahasiswa bidang kesehatan yang merupakan proses pengukuran capaian kemampuan dan perilaku mahasiswa di perguruan tinggi. Uji Kompetensi ini diselenggarakan oleh perguruan tinggi bekerja sama dengan organisasi profesi, lembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi.

Untuk menjaga kualitas dokter dan dokter spesialis, pemantauan dan pembinaan kualitas dokter dan dokter spesialis dilakukan oleh Konsil Kedokteran Indonesia(KKI), sedangkan untuk pemantauan dan pembinaan kualitas SDM kesehatan dilakukan oleh Majelis SDM kesehatan Indonesia (MTKI).

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk pemenuhan SDM kesehatan. Dengan diberlakukannya kebijakan zero growth, regulasi wajib kerja sarjana bagi dokter/dokter gigi dihapus, yang menyebabkan kesulitan dalam distribusi dan redistribusi dokter/dokter gigi.

Sebagai penggantinya, pemerintah pusat melaksanakan kebijakan kontrak kerja bagi dokter/

dokter gigi dan bidan, sebagai Pegawai Tidak Tetap (PTT) untuk mengatasi kekurangan dan distribusi dokter/dokter gigi dan bidan. Meskipun kebijakan pengangkatan dan penempatan SDM kesehatan cukup sering dilakukan dengan beberapa perubahan (masa bakti dipersingkat, insentif yang menarik, diangkat menjadi PNS) namun masalah distribusi masih tetap ada. Di era desentralisasi, kemampuan fiskal dan komitmen pimpinan pemerintah daerah mempengaruhi kebijakan daerah dalam pemenuhan SDM kesehatan.

Peningkatan kapasitas SDM kesehatan di Dinas Kesehatan (Dinkes) juga merupakan isu yang penting. Peraturan Pemerintah 18/2016 tentang Perangkat Daerah menetapkan bahwa Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dan Puskesmas merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) dinkeskabupaten/kota. Dengan demikian, pencapaian target-target/sasaran pembangunan

2 dokter, dokter gigi, perawat, bidan, ahli teknologi laboratorium medik (ATLM)

3 SDM kesehatan masyarakat (termasuk promosi kesehatan), kesehatan lingkungan, kefarmasian dan gizi

4 Spesialis Bedah (Sp.B), Spesialis Obstetri dan Ginekologi (Sp.OG), Spesialis Penyakit Dalam (Sp.PD), Spesialis Anak (Sp.A)

5 Spesialis Anestesi (Sp.An), Spesialis Radiologi (Sp.Rad), Spesialis Patologi Klinik (Sp.PK), Spesialis Patologi Anatomi (Sp.PA), Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi (Sp.KFR)

6 Sp.JP, Sp.Paru, Sp.Syaraf, Sp.Ortopedi, Sp.KJ, dll

(15)

4 • Sumber Daya Manusia Kesehatan

2.

ANAlISIS SITUASI SAAT INI

KAJIAN SEKTOR KESEHATAN

kesehatan baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota ditentukan oleh kapasitas dan efektivitas SDM dinkes. Sebagai konsekuensinya, dinkes harus mempunyai SDM dengan kompetensi sesuai dengan tugas dan fungsinya agar mampu melaksanakan fungsi sebagai pembina kesehatan di wilayahnya.

Sumber daya manuSia keSehatan

(16)

2. Analisis Situasi Saat Ini • 7 6 • Sumber Daya Manusia Kesehatan

diikuti Sumatera Utara (55,3%), Papua (55,1%), Papua Barat (48%), dan DKI Jakarta (47%).

Provinsi Gorontalo memiliki proporsi terbesar puskesmas tanpa tenaga ATLM (93,5%), diikuti Sulawesi Utara (90,9%), DKI Jakarta (89,2%), Maluku (88,9%), dan Sulawesi Tengah (88,4%). Selanjutnya, Provinsi Papua dan DKI Jakarta merupakan provinsi dengan proporsi terbesar Puskesmas tanpa tenaga gizi (50%), diikuti oleh Provinsi Lampung (48,8%), Sumatera Utara (44,5%), dan Bengkulu (43,6%). Provinsi Bengkulu menempati urutan pertama dengan proporsi puskesmas tanpa tenaga kefarmasian(63,7%), diikuti Papua (61,8%), Bali (60%), Maluku (59,1%), dan Sulawesi Utara (48,9%)(lampiran 2)(2).

Selain SDM untuk UKM, pemenuhan SDM kesehatan untuk UKP juga merupakan tantangan di berbagai daerah. Masih terdapat sekitar 7,7% puskesmas tanpa dokter dan 37,5% puskesmas tanpa dokter gigi. Provinsi dengan proporsi Puskesmas tanpa dokter gigi terbesar adalah Provinsi Papua (86,3%), diikuti oleh Papua Barat (80%), Maluku (79,8%), Maluku Utara (73,2%), dan Nusa Tenggara Timur (68,2%). Sementara itu, sekitar 5,1% puskesmas (19 puskesmas) di Provinsi Papua tidak memiliki perawat. Sama halnya, sekitar 106 Puskesmas, dimana 62 diantaranya di Provinsi Papua, tanpa tenaga bidan.

Tabel 2. Proporsi Puskesmas dengan Ketersediaan SDM Kesehatan, 2017

No jenis Tenaga Ada Tidak ada

1 Dokter 92,3% 7,7%

2 Dokter Gigi 62,5% 37,5%

3 Perawat 99,4% 0,6%

4 Bidan 98,9% 1,1%

5 SDM Kesehatan Masyarakat 76,0% 24,0%

6 SDM Kesehatan Lingkungan 69,8% 30,2%

7 Ahli Teknologi Laboratorium Medik 39,7% 60,3%

8 Tenaga Gizi 73,9% 26,1%

9 Tenaga Kefarmasian 67,2% 32,8%

Sumber: Risnakes, Tahun 2017

Gambar 1 di bawah menunjukkan bahwa keberadaan puskesmas tanpa dokter di Indonesia masih cukup banyak. Provinsi Papua menempati urutan pertama dengan provinsi tanpa tenaga dokter (45,2%), diikuti Maluku (44,9%), Papua Barat (40%), Sulawesi Tenggara (29,5%), dan Nusa Tenggara Timur (20,5%)(2).

2.1. SUMBER DAYA MANUSIA (SDM) KESEHATAN DI PUSKESMAS

2.1.1. Ketersediaan SDM Kesehatan di Puskesmas

Jumlah puskesmas yang minimal memiliki 5 jenis tenaga kesehatan (tenaga kesehatan lingkungan, tenaga kefarmasian, tenaga gizi, tenaga kesehatan masyarakat dan Ahli Teknologi Laboratorium Medik/ATLM) merupakan salah satu target prioritas nasional dalam RPJMN 2015-2019 untuk mendukung terwujudnya Program Indonesia Sehat, dengan target 2019 sebanyak 5.600 puskesmas. Hingga 2017, terdapat 2.641 Puskesmas yang sudah memiliki minimal 5 jenis SDM kesehatan dari target 3.000 Puskesmas (88,03%). Beberapa faktor penyebab belum tercapainya target adalah upaya pemenuhan SDM kesehatan masih merupakan upaya pemerintah pusat. Dukungan pemerintah daerah masih sangat terbatas dalam pemenuhan SDM di daerah. Norma, standar, prosedur dan kriteria (NSPK) yang mengatur dukungan daerah dalam pemenuhan SDM kesehatan belum tersedia. Selain itu, regulasi penguatan Sistem Informasi SDM kesehatan masih belum ada, sehingga hasil pemetaan SDM kesehatan di Puskesmas belum dapat digunakan sepenuhnya sebagai acuan dalam usulan pemenuhan kebutuhan SDM kesehatan di daerah (5).

Tabel 1. Capaian Indikator SDM Kesehatan di Puskesmas dalam RPjMN 2015 -2019

Indikator

Tahun 2016 Tahun 2017

Target Realisasi

Target Realisasi

n % n %

Jumlah puskesmas yang minimal memiliki 5 jenis tenaga kesehatan (tenaga kesehatan lingkungan, kefarmasian, gizi, kesehatan

masyarakat dan ATLM)

2.000 1.618 80,90 3.000 2.641 88,03

Sumber: Laporan mid term review RPJMN 2014-2019

Dari 9.699 puskesmas, sekitar 24% puskesmas tanpa tenaga kesehatan masyarakat, 30,2% tanpa tenaga kesehatan lingkungan, 26,1% tanpa tenaga gizi, 32,8% tanpa tenaga kefarmasian, serta terbesar sekitar 60% puskesmas tanpa tenaga ATLM. Provinsi DKI Jakarta menempati urutan pertama puskesmas tanpa tenaga kesehatan masyarakat (183 Puskesmas atau 80,6%), diikuti Papua (49,2%), JawaTimur (45%), Papua Barat (38,7%), Maluku (37,4%), dan Sulawesi Utara (36,0%). Sementara itu, Provinsi Bengkulu menempati urutan pertama dengan proporsi Puskesmas tanpa tenaga kesehatan lingkungan (57%),

(17)

2. Analisis Situasi Saat Ini • 9 8 • Sumber Daya Manusia Kesehatan

Gambar 1. Proporsi Puskesmas Tanpa Dokter Menurut Provinsi, Tahun 2017

Sumber: Risnakes, Tahun 2017

Dari Gambar 2 di bawah, terjadi peningkatan puskesmas tanpa dokter di Indonesia dari 4,2% puskesmas pada tahun 2011 menjadi 7,7% puskesmas di tahun 2017. Peningkatan yang cukup besar terjadi di wilayah timur Indonesia (Papua, Maluku, Papua Barat, Sulawesi Tenggara, NTT dan Maluku Utara). Apabila tidak di atasi, kondisi ini akan menyebabkan semakin melebarnya disparitas tenaga dokter antara wilayah barat dan timur. Peningkatan jumlah puskesmas tanpa dokter di wilayah Timur (Lampiran 1) dapat disebabkan karena meningkatnya jumlah puskesmas baru tanpa disertai dengan peningkatan jumlah dokter. Kekosongan dokter juga disebabkan karena kurangnya minat dokter untuk bekerja di wilayah Indonesia Timur, serta tidak adanya kebijakan/

regulasi wajib kerja bagi lulusan dokter. Penghasilan yang lebih kecil dari UMK menjadi salah satu faktor utama. Hampir sepertiga jumlah SDM kesehatan di Puskesmas (34,5%) memperoleh penghasilan di bawah UMK. Komitmen pemerintah daerah terhadap kesejahteraan SDM kesehatan baik dalam bentuk insentif finansial maupun non-finansial serta jaminan keamanan juga sangat kurang (1,2,8).

Gambar 2. Perbandingan Proporsi Puskesmas Tanpa Dokter

4.2 7.7

32

45.2 44.9

9.3

40

16.3

29.5

9.4

20.5

4.6

19.7 50

45 40 35 30 25 20 20 15 10 5 0

Indonesia Papua Maluku Papua Barat Sulawesi

Tenggara NTT Maluku Utara Rifaskes 2011 Risnaskes 2017

14.9

Sumber: Risfaskes, Tahun 2011 dan Risnakes, Tahun 2017

Gambar 3 menunjukkan bahwa dari seluruh SDM kesehatan yang ada di puskesmas, bidan menempati proporsi terbesar (44,2%), diikuti oleh perawat sebanyak 33,5%.

Sementara itu, jenis SDM kesehatan lainnya memiliki proporsi yang jauh lebih rendah, yaitu dokterdan tenaga kesehatan masyarakat (masing-masing 5,1%), tenaga gizi (2,9%), tenaga kefarmasian (2,8%), tenaga kesehatan lingkungan (2,7%), dokter gigi (1,9%), dan ATLM (1,4%)(2).

Gambar 3. Komposisi SDM Kesehatan di Puskesmas Menurut jenis, Tahun 2017

Bidan, 44.2

Sumber: Risnakes, Tahun 2017

Dari Gambar 4 terlihat bahwa rata-rata perawat per puskesmas meningkat dari 11,8 (2011) menjadi 13,6 (2017), sedangkan jumlah rata-rata bidan meningkat dari 12,1 (2011) menjadi 18,1 (2017). Hal ini dapat disebabkan karena jumlah lulusan pendidikan ke perawatan dan pendidikan kebidanan cukup banyak dan mereka bersedia untuk bekerja di Puskesmas sebagai tenaga sukarela dengan harapan suatu saat dapat diangkat menjadi PNS.

Namun, hampir tidak terdapat perubahan rata-rata SDM kesehatan lainnya yaitu dokter gigi, tenaga gizi, tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan lingkungan dan ATLM (1,2).Salah satu penyebab kekurangan SDM kesehatan UKM dan UKP lainnya di Puskesmas adalah Peraturan Bersama Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 02/SPB/M.PAN-RB/8/2011, Menteri Dalam Negeri Nomor 800-632 Tahun 2011, dan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.01/2011 tentang moratorium pengangkatan PNS dikecualikan untuk pengangkatan tenaga dokter, bidan dan perawat. Di samping itu, jumlah institusi pendidikan SDM kesehatan tersebut jauh lebih sedikit dibandingkan dengan institusi pendidikan bidan dan perawat (lampiran 8).

(18)

2. Analisis Situasi Saat Ini • 11 10 • Sumber Daya Manusia Kesehatan

Gambar 4. Perbandingan Rata-rata SDM Kesehatan per Puskesmas

Sumber Data: Risfaskes Tahun 2011 dan Risnakes Tahun 2017

2.1.2. Pendidikan dan Pelatihan SDM Kesehatan Puskesmas

Pendidikan dan pelatihan adalah upaya dalam pengembangan SDM kesehatan dan merupakan proses penyelenggaraan belajar mengajar dalam rangka meningkatkan pengetahuan, kompetensi/keahlian, sikap dan perilaku SDM kesehatan.

Pendidikan Berkelanjutan (Tugas Belajar)

Tugas belajar (tubel) adalah penugasan yang diberikan oleh pejabat yang berwenang kepada SDM kesehatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi yang dibiayai oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, maupun sumber- sumber lainnya. Tubel bertujuan untuk memenuhi kebutuhan SDM kesehatan yang memiliki keahlian atau kompetensi dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi serta pengembangan organisasi dan meningkatkan pengetahuan, kemampuan, keterampilan, serta sikap dan kepribadian profesional PNS sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam pengembangan karir seorang PNS7. Sementara ijin tubeladalah izin tertulis dari pejabat yang berwenang kepada SDM kesehatan untuk mengikuti atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dengan biaya sendiri tanpa meninggalkan tugas sehari-hari8.

Tubel yang dibiayai Kemenkes terdiri dari tubel reguler (diploma dan akademik) dan tubel profesi (Program Pendidikan Dokter Spesialis/PPDS, Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis/PPDGS, Dokter Sub Spesialis dan Dokter Layanan Primer). Tubel sub spesialis bertujuan untuk pemenuhan SDM kesehatan di RS rujukan nasional, RS rujukan

Provinsi dan RS rujukan regional, serta diberikan dalam bentuk fellowship yang dimulai tahun 2018. Jumlah peserta yang mengikuti PPDS/PPDGS rendah terutama dari wilayah Indonesia Timur, terutama karena rendahnya tingkat kelulusan seleksi akademik. Untuk mengatasi hal ini, telah dilakukan program pemantapan bagi peserta PPDS/PPDGS.

Penempatan SDM kesehatan pasca pendidikan, terutama bagi lulusan PPDS, terkadang tidak sesuai dengan rencana pemenuhan kebutuhan SDM kesehatan di tempat asalnya.

Hal ini disebabkan karena kurangnya dukungan pemerintah daerah dalam penyiapan sarana dan prasarana di RS(5).

Hasil Risnakes 2017 menunjukkan rerata jumlah SDM kesehatan per puskesmas yang akan melaksanakan tugas belajar pada tahun 2018 adalah 1,68 orang/puskesmas, dimana yang tertinggi adalah Provinsi Maluku (3,32 orang/puskesmas). Tubel ini juga merupakan salah satu kebijakan untuk pemenuhan dokter spesialis di RSU. Namun, pemenuhan dokter spesialis di RSU melalui Tubel belum sepenuhnya terpenuhi, karena perencanaan penempatan pasca tubel oleh Pemerintah Daerah (Dinas Kesehatan dan Badan Kepegawaian Daerah) belum optimal, serta masih rendahnya jumlah peserta bantuan PPDS dari DTPK dan rendahnya kepatuhan dokter spesialis untuk ditempatkan di DTPK (5).

Pelatihan

Pelatihan merupakan upaya untuk membekali dan memperbaiki penguasaan berbagai pengetahuan, sikap dan ketrampilan dalam pelaksanaan tugas yang menjadi tanggung jawab SDM kesehatan. Secara nasional, dari seluruh jumlah SDM kesehatan yang ada di Puskesmas (46.278 PNS/CPNS dan 10.106 non-PNS), hanya 9,3% SDM kesehatan yang berstatus PNS/CPNS dan 2% non PNS yang pernah mengikuti pelatihan. Angka ini bervariasi antar-provinsi. Di Provinsi Bangka Belitung dan Sulawesi Utara terdapat >20%

SDM kesehatan puskesmas yang pernah mengikuti pelatihan. Sementara itu, Provinsi DKI Jakarta dan Sulawesi Selatan merupakan provinsi terendah dengan jumlah SDM yang pernah mengikuti pelatihan yaitu masing-masing 5,8% dan 5,7% (Risnakes 2017).

Sepanjang tahun 2015-2016, hanya 30,11% atau 50.694 dari 168.327 SDM kesehatan fungsional (dokter, dokter gigi, bidan, perawat, tenaga gizi, SDM kesling, tenaga kesmas dan tenaga kefarmasian) yang sudah mengikuti pelatihan jabatan fungsional (2). Kondisi ini mengakibatkan banyaknya SDM kesehatan yang belum diangkat ke jabatan fungsional.

Pemda harus mengupayakan pembiayaan untuk pelatihan jabatan fungsional ini.

SDM kesehatan di puskesmas juga mengikuti berbagai macam pelatihan di antaranya pelatihan Perilaku Bersih dan Sehat (PHBS), pemberdayaan masyarakat, serta pelatihan lainnya (promosi kesehatan, program kesehatan peduli remaja, air bersih, sanitasi makan dan minuman, dll). Namun demikian, terdapat beberapa jenis pelatihan yang tidak pernah dilaksanakan dalam 2 tahun terakhir di antaranya pelatihan keluarga berencana, kesehatan maternal, kesehatan bayi baru lahir, kesehatan neonatus dan kesehatan anak, TBC, HIV/AIDS, imunisasi, dan gizi (32).

Quantitative Service Delivery Survey (QSDS) (32) menunjukkan hanya 76% puskesmas ikut serta dalam pelatihan PHBS, 55% untuk pelatihan pemberdayaan masyarakat, serta hanya 31% yang mengikuti pelatihan lainnya. Rendahnya partisipasi SDM kesehatan

7 Permenkes nomor 28/2015 tentang Penyelenggaraan Tugas Belajar Sumber Daya Manusia Kesehatan dan Permenkes nomor 44/2015 tentang Program Bantuan Pendidikan Dokter Spesialis/Pendidikan Dokter Gigi Spesialis 8 Surat Edaran MenPAN-RB nomor 4/2013 tentang Pemberian Tugas Belajar dan Izin Belajar

(19)

2. Analisis Situasi Saat Ini • 13 12 • Sumber Daya Manusia Kesehatan

puskesmas dalam pelatihan disebabkan karena rendahnya peluang terpilih sebagai peserta, kurangnya informasi pelatihan, serta pelatihan tidak dilaksanakan di kabupaten/

kota lokasi Puskesmas atau jarak tempat pelatihan yang jauh. Untuk mengatasinya, sekitar 49% puskesmas yang memotivasi SDM kesehatan untuk belajar mandiri dan 34%puskesmas melakukan pelatihan internal. Pelatihan juga seyogyanya diselenggarakan di dekat Puskesmas untuk menghindari kendala transportasi dan mengurangi lamanya waktu yang dibutuhkan ketika meninggalkan tempat kerja.

SDM kesehatan puskesmas mempunyai kesempatan lebih besar untuk mendapat pelatihan dibandingkan dengan SDM kesehatan di klinik swasta/praktik swasta mandiri. Kurangnya informasi, harus berjalannya pelayanan, serta hampir tidak adanya kesempatan pelatihan dari pemerintah menyebabkan SDM kesehatan di klinik swasta/

praktik swasta mandiri tidak pernah mengikuti pelatihan. Perbaikan sistem pelatihan perlu dilakukan untuk membuka akses bagi SDM kesehatan di fasilitas kesehatan pemerintah dan swasta untuk ikut serta. Pemerintah daerah juga perlu mendorong fasilitas kesehatan swasta untuk memberikan pelatihan bagi SDM kesehatannya.

Pemerintah daerah sebagai penanggung jawab penyelenggaraan pelatihan bertanggung jawab untuk memperbaiki sistem pelatihan dengan menerapkan manajemen pelatihan (dari mulai proses analisis kebutuhan pelatihan sampai proses evaluasi pelatihan) agar mutu pelatihan dapat terjaga (16).

2.1.3. Pengalihan Tugas (Task Shifting) dan Penugasan Ganda (Multitasking) di Puskesmas

Pengalihan Tugas (Task Shifting)

Pengalihan tugas (task shifting) adalah proses suatu penugasan yang dialihkan dari SDM kesehatan yang mempunyai kualifikasi lebih tinggi kepada SDM kesehatan dengan kualifikasi yang lebih rendah dan kurang terlatih serta mengerjakan tugas di luar latar belakang pendidikan dan atau kompetensi yang dimiliki di bidang tata laksana pasien (24,26). Dengan task shifting, pendayagunaan SDM kesehatan yang ada lebih efisien untuk memecahkan kesulitan dalam pemberian pelayanan kesehatan, yang disebabkan kekurangan SDM kesehatan di fasyankes (24,26). Dalam melakukan task shifting, SDM kesehatan yang diberi limpahan tugas mendapatkan insentif berupa penambahan jasa kapitasi dan tambahan honor (2).

Permenkes No. 2052/2011 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran dan UU 38/2014 tentang Keperawatan pasal 29 mengatur tentang task shifting di Indonesia.

Pelimpahan wewenang dapat diberikan kepada perawat, bidan atau SDM kesehatan tertentu lainnya dan diberikan secara tertulis di bawah pengawasan pemberi pelimpahan, serta tindakan yang dilimpahkan tidak bersifat terus menerus. Di samping itu, Undang- Undang 29/2004 tentang Praktik Kedokteran dan UU 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan juga mengatur bahwa dalam keadaan tertentu SDM kesehatan dapat memberikan pelayanan kesehatan di luar kewenangannya. Pelimpahan tindakan dilakukan dengan ketentuan tindakan yang dilimpahkan termasuk dalam kemampuan dan keterampilan yang telah dimiliki oleh penerima pelimpahan.

Hasil Risnakes 2017 menunjukkan 90,2% puskesmas yang SDM kesehatannya mengerjakan tugas di luar latar belakang pendidikan dan atau kompetensi yang dimiliki dan 66,1% puskesmas yang SDM kesehatannya mengerjakan tugas di luar latar belakang pendidikan dan atau kompetensi yang dimiliki di bidang tata laksana pasien. Tindakan medis umum di puskesmas yang merupakan kompetensi dokter dilakukan pula oleh tenaga farmasi, analis, gizi, kesehatan lingkungan dan kesehatan masyarakat (≤ 5%) (2).

Tindakan meracik obat masih dilakukan oleh tenaga yang bukan tenaga farmasi seperti perawat (38,1%), bidan (30,1%), dokter (11,6%), dan SDM kesehatan lainnya (<5%).

Pemeriksaan di laboratorium klinik yang merupakan kewenangan tenaga ATLM juga dilakukan oleh perawat (20,6%) dan bidan (9,4%)(2).

Penugasan Ganda (Multitasking)

Multitasking (penugasan ganda) adalah SDM kesehatan yang mengerjakan tugas di luar latar belakang pendidikan dan kompetensi yang dimiliki yaitu di bidang manajemen.

Hampir seluruh provinsi memiliki puskesmas dengan penugasan di luar latar belakang pendidikan dan kompetensi di bidang manajemen yaitu sebanyak >90% Puskesmas, kecuali DKI Jakarta (77,4%) dan Sulawesi Tenggara (88,2%). Penugasan ini umum terjadi di puskesmas rawat inap dan non rawat inap baik di perkotaan dan pedesaan maupun di daerah terpencil/sangat terpencil. Bidang tugas mencakup bendahara puskesmas, bendahara Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), administrasi kepegawaian, pencatatan dan pelaporan. Persentase tugas sebagai bendahara puskesmas lebih sering terjadi pada puskesmas di daerah terpencil/sangat terpencil (93,7%) dan puskesmas yang berstatus pola pengelolaan keuangan non BLUD (92,2%).

Alasan utama penugasan ganda adalah jumlah SDM yang kurang (2).Seluruh penugasan ditetapkan dengan surat tugas/surat keputusan (SK)kepala puskesmas atau dinas kesehatan. Sama halnya dengan task shifting, dalam melakukan penugasan ganda, SDM kesehatan juga mendapat insentif berupa tambahan honor dan penambahan jasa kapitasi. Lebih dari separuh Puskesmas menyatakan SDM kesehatan yang mendapat tambahan tugas pernah memperoleh pelatihan manajemen, namun umumnya pelatihan tersebut tidak dilakukan secara berkala (2).

2.1.4. Penghasilan dan Insentif SDM Kesehatan Puskesmas

Insentif merupakan salah satu faktor yang mendorong untuk bekerja dengan optimal.

Insentif merupakan pendapatan tambahan di luar gaji/upah yang ditentukan. Tujuan pemberian insentif antara lain adalah untuk memenuhi ketersediaan SDM kesehatan di suatu tempat, sebagai kompensasi wilayah kerja yang sulit, untuk memenuhi standar biaya hidup yang relatif mahal di suatu daerah atau sebagai penghargaan terhadap kinerja.

Dalam konteks manajemen SDM, insentif diperlukan untuk keseimbangan distribusi SDM baik dalam hal kompetensi maupun geografis, serta penghargaan atas kinerja.

Dengan pemberian insentif, diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan motivasi kerja (2,3). Insentif dapat berupa finansial (tunjangan, asuransi, perumahan, transportasi, serta kapitasi JKN) dan non finansial (pelatihan dan pendidikan berkelanjutan, sekolah, sarana rekreasi, fasilitas komunikasi, peluang untuk diangkat menjadi PNS dan peluang peningkatan karir)(2,3).

Referensi

Dokumen terkait

1. Perencanaan tugas belajar disusun mengacu pada dokumen perencanaan SDM kesehatan yang menyeluruh sesuai dengan kajian kebutuhan organisasi dari Unit Kerja

3. pemantauan, evaluasi, dan pelaporan penelitian dan pengembangan kesehatan di bidang sumber daya dan pelayanan kesehatan; dan 4. pelaksanaan administrasi Pusat. Indikator

3. pemantauan, evaluasi, dan pelaporan penelitian dan pengembangan kesehatan di bidang sumber daya dan pelayanan kesehatan; dan 4. pelaksanaan administrasi Pusat. Indikator

Terlaksanakan publikasi hasil penelitian dan pengembangan di bidang sumber daya dan pelayanan kesehatan yang ditandai dengan publikasi ilmiah di bidang sumber daya

Untuk dapat mengungkapkan perkembangan kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan gigi dan mulut di Puskesmas maka penelitian difokuskan pada upaya untuk mendapatkan

Situasi ini menimbulkan kebutuhan akan jenis SDMK yang “baru”, menuntut reformulasi formasi dan konfigurasi SDMK di institusi pelayanan kesehatan, yang tertulis dengan tegas

Dari grafik diatas memperlihatkan bahwa dalam menunjang pelayanan kesehatan pada sarana pelayanan kesehatan di Kabupaten Aceh Utara juga didukung oleh tenaga-tenaga yang bukan

Perencanaan Kebutuhan SDMK tingkat Provinsi 1 Metode Rasio tenaga terhadap Penduduk, untuk menghitung proyeksi kebutuhan SDMK berdasarkan wilayah provinsi; 2 ABK Kesehatan Untuk